Anda di halaman 1dari 37

STUDI KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY.S DENGAN GANGGUAN SISTEM


SIRKULASI: DIABETES MELLITUS GANGREN & ANEMIA DI RUANG
PENYAKIT DALAM II RSUD BLAMBANGAN

Untuk memenuhi persyaratan program Profesi Ners

Oleh :

I Ketut Anggas Dwi Antara


2020.04.023

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BANYUWANGI


2021
STUDI KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY.S DENGAN GANGGUAN SISTEM


SIRKULASI: DIABETES MELLITUS GANGREN & ANEMIA DI RUANG
PENYAKIT DALAM II RSUD BLAMBANGAN

Telah dipertahankan di depan penguji pada tanggal:

Susunan Penguji:

Perseptor Institusi : Ns. Hirdes Harlan, S.Kep

Banyuwangi.......

Koordinator Program Studi Ners,

Ns. Essy Sonontiko Sayekti, S.Kep


NIK: 06.013.0907
STUDI KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY.S DENGAN GANGGUAN SISTEM


SIRKULASI: DIABETES MELLITUS GANGREN & ANEMIA DI RUANG
PENYAKIT DALAM II RSUD BLAMBANGAN

Telah disetujui oleh pembimbing Institusi dan Pembimbing Klinik

Ujian akan dilaksanakan pada:

........................................................

Susunan Penguji:

Perseptor Institusi Mahasiswa

.................................. ..............................

Banyuwangi.......

Koordinator Program Studi Ners,

Ns. Essy Sonontiko Sayekti, S.Kep


NIK: 06.013.0907
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Diabetes Mellitus (DM) yang umum dikenal sebagai kencing manis

adalah penyakit yang ditandai dengan hiperglikemia (peningkatan kadar gula

darah) yang terus menerus dan bervariasi, terutama setelah makan. Diabetes

Mellitus sendiri merupakan penyakit kronis yang akan diderita seumur hidup

sehingga progresifitas penyakit akan terus berjalan, yang pada suatu saat akan

menimbulkan komplikasi. Diabetes Mellitus biasanya berjalan lambat dengan

gejala-gejala yang ringan sampai berat, bahkan dapat menyebabkan kematian

akibat baik komplikasi akut maupun kronis. Dengan demikian Diabetes

Mellitus bukanlah suatu penyakit yang ringan (Putra R. & Khairul, 2018).

Diabetes Mellitus memiliki resiko untuk terjadinya komplikasi kronik

yaitu : penyakit jantung koroner dan stroke, kidney failure, retinopati dan

gangren. Gangren merupakan komplikasi tersering pada seseorang

penyandang Diabetes Melliitus akibat infeksi, ulserasi yang berhubungan

dengan abnormalitas neurologis, penyakit vaskuler perifer dengan derajat yang

bervariasi atau komplikasi metabolik dari Diabetes Mellitus pada ekstremitas

bawah. Resiko amputasi pada gangren 15-40 kali lebih sering pada penderita

Diabetes Mellitus dibandingkan dengan non Diabetes Mellitus pada kejadian

non traumatik. Gangren merupakan gangren yang sering dijumpai pada

penderita Diabetes Mellitus yang mengalami kematian jaringan karena

obstruksi pembuluh darah yang memberikan nutrisi ke jaringan tersebut dan

merupakan salah satu komplikasi dari penyakit Dieabetes Melitus. Gangren


dapat terjadi pada setiap bagian tubuh yang terendah terutama pada

ekstremitas bagian bawah. Diabetes Mellitus dalam waktu yang lanjut akan

menyebabkan komplikasi angiopathy dan neuropaty yang merupakan

penyebab dasar terjadinya gangren (Dwi E, 2016). Selain itu, komplikasi

gangguan fungsi ginjal diabetes atau nefropati diabetik dapat meningkatkan

morbiditas dan mortlitas secara bermakna salah satunya adalah anemia, namun

penyebab uutama diperkirakan karena terjadi defisiensi relatif dari eritropoetin

(Clara dkk, 2016).

Anemia atau kurang darah merupakan keadaan saat jumlah sel darah

merah atau jumlah hemoglobin (protein pembawa oksigen) dalam sel darah

merah berada dibawah normal. Sel darah merah mengandung oksigen yang

memungkinkan mereka mengangkut oksigen dari paru-paru dan

mengantarkannya ke seleuruh tubuh (Hadianaah & Suprapto, 2016).

Menurut Organisasi International Diabetes Federation (IDF)

memperkirakan terdapat 463 juta orang pada usia 20-79 tahun di dunia

menderita Diiabetes Mellitus pada tahun 2019 atau setara dengan angka

prevalensi sebesar 9,3% dari total peduduk pada usia yang sama. Berdasarkan

jenis kelamin IDF memperkirakan prevalensi diabetes di tahun 2019 yaitu 9%

pada perempuan dan 9,65% pada laki-laki. Angka diprediksi akan terus

meningkat hingga mencapai 578 juta jiwa di tahun 2030 dan 700 juta jiwa

ditahun 2045 (IDF, 2019). Sedangkan di Indonesia kasus Diabetes Mellitus

Indonesia menempati posisi ke 7 dari 10 negara pada tahun 2019 dengan

prevalensi 10,7%. Sedangkan di Jawa Timur penderita Diabetes Mellitus pada

tahun 2018 mencapai 2,6%, dan di Banyuwangi 1,5% penderita Diabetes


Mellitus (RISKESDAS, 2018). Data RSUD Blambangan pada tahun 2020

terdapat 194 kasus Diabetes Mellitus Gangren, sedangkan pada tahun 2021

bulan Januari – Juni terdapat 29 kasus Diabetes Mellitus Gangren.

Menurut data World Health Organization (WHO) (2016), prevalensi

anemia di dunia lebih dari 30% atau 2 milyar orang (RISKESDAS, 2018).

Sedangkan di Indonesia angka prevalensi anemia secara nasional pada semua

kelompok umur adalah 21,7%. Prevalensi anemia pada perempuan relatif

tinggi (23,90%) dibandingkan degan laki-laki (18,40%) (RISKESDAS, 2018).

Sedangkan prevalensi anemia di Jawa Timur sebesar 58% di tahun 2018, dan

di Banyuwangi 53,5% (RISKESDAS, 2018). Sedangkan di RSUD

Blambangan pada tahun 2020 terdapat 213 kasus Anemia, sedangkan pada

tahun 2021 dari bulan Januari – Juni terdapat 32 kasus Anemia.

Diabetes Mellitus merupakan penyakit kronis yang terjadi ketika

pankreas tidak memproduksi insulin yang cukup atau ketika tubuh tidak dapat

secara efektif menggunakan insulin yang dihasilkan. Insulin adalah hormon

yang mengatur gula darah. Proses masalah kaki pada penderita Diabetes

Mellitus terjadi diawali dengan adanya hiperglikemia atau gula darah tinggi

yang meningkat merupakan efek umum dari diabetes mellitus yang tidak

terkontrol dan dari waktu ke waktu menyebabkan kerusakan serius pada

neuropati dan pembuluuh darah. Baik neuropati sensorik maupun motorik dan

autonom menyebabkan berbagai perubahan pada otot kulit selanjutnya

mengakibatkan distribusi tekanan pada telapak kaki dan kemudan menjadi

ulkus. Adanya kerentanan pada infeksi membuat infeksi menjadi merebak

menjadi infeksi yang luas. Faktor aliran darah yang kurang akan lebih lanjut
menambah rumitnya pengelolaan kaki diabetes. Efek merugikan yang

ditimbulkan oleh hiperglikemia yaitu tterhadap aliran darah dan perfusi

jaringan. Dengan demikian kebutuhan nutrisi dan oksigen maupun antibiotik

tidak mencukupi atau tidak maampu mencapai jaringan perifer, dan tidak

memenuhi kebutuhan metabolisme pada lokasi tersebut, sehingga terjadi

perfussi perifer tidak efektif yang sering ditandai dengan pengisian kapiler > 3

detik, nadi perifer menurun atau tidak teraba, akral teraba dingin, warna kulit

pucat, turgor kulit menurun, penyembuhan luka lambat dan berlangsung lama

akan mengganggu fungsi ginjal yang berkaitan dengan terjadinya anemia.

(SDKI, 2016). Anemia merupakan suatu keadaan dimana kadar hemooglobin

dibawah normal. Hemoglobin merupakan komponen utama eritrosit yang

berfungsi membawa oksigen dan karbondioksida. Warna merah pada darah

disebabkan oleh kandungan hemoglobin (Hb) yang merupakan susunan

protein yang komplek yang terdiri dari protein, globulin dan heme (Masrizal,

2016). Hiperglikemia kronis dapat menyebabkan lingkungan hipoksia dalam

interstitium ginjal, adanya gangguan pada ginjal ini berpengaruh pada LFG

(Laju Filtrasi Glomerular) dan juga menandakan semakin sedikitnya nefron

yang berfungsi sehingga terjadi gangguan produksi eritropoetin yang

dihasilkan oleh sel fibroblas peritubular. Eritropoetin merangsang sumsum

tulang untuk membuat sel darah merah, sehingga jika terjadi gangguan dalam

pembentukannya, hemoglobin tidak maksimal dibentuk dan terjadilah anemia

(Clara dkk, 2016). Kurangnya kadar sel darah merah atau hemoglobin yang

berlanjut mengakibatkan penderita Diabetes Mellitus mengalami pusing,

lemas, akral dingin, mati rasa, kesemutan dan pucat dan terjadilah gangguan
pada sistem sirkulasi yaitu perfusi perifer, jika tidak segera ditangani akan

mengalami kematian jaringan sampai beresiko di amputasi yang berujung

kecacatan.

Penatalaksanaan Diabetes Mellitus terdiri dari, terapi farmakologi yaitu

meliputi pemberian obat anti diabetes mellitus oral dan injeksi insulin, terapi

non farmakologi yaitu meliputi perubahan gaya hidup dengan melakukan

pengaturan pada makanan yang sesuai dengan gizi medis, meningkatkan

aktivitas jasmani, dan edukasi berbagai masalah yang berkaitan dengan

penyakit Diabetes Mellitus yang dilakukan secara terus menerus. Olahraga

yang terukur, teratur, terkendali dan berkesinambungan. Frekuensi yang

dianjurkan 3-5 kali perminggu, intensitasnya yang dianjurkan sebesar 40-70%

(ringan sampai sedang). Salah satu olah rafa yang dianjurkan adalah senam

kaki (Barners, 2016).

Kondisi ini akan mempermudah saraf menerima nutrisi dan oksigen

sehingga dapat meningkatkan fungsi saraf. Senam kaki dapat membuat

kontraksi otot-otot yang menyebabkan terbukanya kanal ion positif yang dapat

mempermudah aliran penghantaran impuls saraf. Selain itu pemberian

transfusi darah melalui IV adalah salah satu penatalaksaan yang bisa diberikan

kepada penderita DM Gangren yang mengalami gangguan pada sistem

sirkulasi darah (Guyton & Hal, 2017).

1.2 Tujuan Penulisan

1.2.1 Tujuan Umum

Tujuan yang ingin dicapai dalam penyusunan makalah ini adalah

penulis mampu mengungkapkan pola pikir ilmiah dalam memberikan


asuhan keperawatan pada klien dengan Diabetes Mellitus & Anemia

secara komprehensif dan memperoleh pengalaman secara nyata tentang

Diabetes Mellitus & Anemia.

1.2.2 Tujuan Khusus

Setelah dilakukan penulisan asuhan keperawatan ini penulis mampu :

1) Melakukan pengkajian, identifikasi klien dengan Diabetes Mellitus

dan Anemia

2) Menganalisa dan merumuskan diagnosa keperawatan yang

diperoleh dari pengkajiaan.

3) Menyusun perencanaan keperawatan

4) Melaksanakan tindakan keperawatan, berdasarkan rencana yang

telah disusun dalam intervensi keperawatan

5) Melaksanakan evaluasi tindakan keperawatan yang telah

dilaksanakan berdasarkan kriteria standart.

1.3 Pengambilan Data

Pengambilan data dilakukan berdasarkan penelitian observasi, penulis

melakukan pengamatan dan turut serta dalam memberikan tindakan

pelayanan keperawatan.
BAB 2

TINJAUAN TEORITIS

2.1 Anatomi Darah

Gambar 2.1 Anatomi darah


1. Air : 91%

2. Protein : 3% (albumin, globulin, protombin, dan fibrinogen)

3. Mineral : 0,9% (natrium klorida, natrium bikarbonat, garam fosfat, magnesium,

kalsium, dan zat besi)

4. Bahan organic :0,1% (glukosa, lemak, asam urat, kreatinin, kolesterol dan asam

amino)

2.1.1 Anatomi Darah

Darah adalah cairan yang terdapat pada semua makhluk hidup

(kecuali tumbuhan) tingkat tinggi yang berfungsi mengirimkan zat-zat

dan oksigen yang dibutuhkan oleh jaringan tubuh, mengangkut bahan-


bahan kimia hasil metabolisme, dan juga sebagai pertahanan tubuh

terhadap virus atau bakteri. Istilah medis yang berkaitan dengan darah

diawali dengan kata hemo- atau hemato- yang berasal dari bahasa Yunani

haima yang berarti darah. Darah memiliki warna merah yang berasal dari

kandungan oksigen dan karbon dioksida di dalamnya. Adanya oksigen

dalam darah diambil dengan jalan bernafas, dan zat ini sangat berguna

pada peristiwa pembakaran/metabolisme di dalam tubuh.

Viskositas/kekentalan darah lebih kental daripada air yang mempunyai

BJ 1,041-1,067, temperature 38°C, dan pH 7,37-7,45. Warna darah

bervariasi dari merah terang sampai merah tua kebiruan, tergantung pada

kadar oksigen yang di bawa sel darah merah. Darah pada tubuh manusia

mengandung 55% plasma darah (cairan darah) dan 45% sel-sel darah

(darah padat). Jumlah darah pada tubuh orang dewasa sebanyak kira-kira

1/13 dari berat badan atau sekitar 4-5 liter. Jumlah darah tersebut pada

setiap orang berbeda-beda. Tergantung kepada umur, ukuran tubuh, dan

berbanding terbalik dengan jumlah jaringan adiposa pada tubuh (C.

Pearce & Evelyn, 2016).

Darah manusia adalah cairan jaringan tubuh. Fungsi utamanya

adalah mengangkut oksigen yang diperlukan oleh sel-sel di seluruh

tubuh. Darah juga menyuplai jaringan tubuh dengan nutrisi, mengangkut

zat-zat sisa metabolisme, dan mengandung berbagai bahan penyusun

sistem imun yang bertujuan mempertahankan tubuh dari berbagai

penyakit. Hormon-hormon dari sistem endokrin juga diedarkan melalui

darah (Guyton & Arthur C, 2015).


2.1.2 Fisiologi Darah
Fungsi Darah Pada Tubuh Manusia :
1. Alat pengangkut air dan menyebarkannya ke seluruh tubuh
2. Alat pengangkut oksigen dan menyebarkannya ke seluruh tubuh
3. Alat pengangkut sari makanan dan menyebarkannya ke seluruh tubuh
4. Alat pengangkut hasil oksidasi untuk dibuang melalui alat ekskresi
5. Alat pengangkut getah hormon dari kelenjar buntu
6. Menjaga suhu temperatur tubuh
7. Mencegah infeksi dengan sel darah putih, antibodi dan sel darah beku.
Mengatur keseimbangan asam basa tubuh, dll (Guyton & Arthur C,
2015)
Bagian darah
Air 91%
Protein 3% (albumin, globulin, protombin dan fibrinogen)
Mineral 0,9% (natrium klorida, natrium bikarbonat, garam fosfat,
magnesium, kalsium dan zat besi)
Bahan Organik 0,1% (glukosa, lemak, asam urat, kreatinin, kolesterol dan
asam amino)

2.1.3 Karakteristik Darah


1. Plasma Darah
2. Macam-macam Sel Darah
a. Sel Darah Merah (eritrosit)
b. Sel Darah Putih (leukosit)
c. Sel Pembeku Darah (trombosit)/ Platelet
3. Plasma + Sel Darah : Whole Blood
A. Plasma Darah
1. Pengertian Plasma Darah (Cairan Darah)
Plasma darah adalah cairan darah berbentuk butiran-butiran darah yang

tidak berwarna dalam darah Di dalamnya terkandung benang-benang fibrin /

fibrinogen yang berguna untuk menutup luka yang terbuka. Plasma darah juga

mengandung berbagai macam zat organik, anorganik, dan air (C.Pearce & Evelyn,

2016)

1. Komponen Penyusun Plasma Darah

a. Air : 91%
b. Protein plasma darah : 7%
c. Komponen lainya
Asam amino, lemak, glukosa, urea, garam,0,9%
Hormon, antibody.0,1%
Senyawa atau zat-zat kimia yang larut dalam cairan darah antara lain sebagai

berikut:

1) Sari makanan dan mineral yang terlarut dalam darah, misalnya monosakarida,

asam lemak, gliserin, kolesterol, asam amino, dan garam-garam mineral.

Garam-garam mineral meliputi:

a. kation : Na+, K++, Ca++, Mg++

b. anion : Cl-, HCO3-, PO4-

2) Enzim, hormon, dan antibodi, sebagai zat-zat hasil produksi sel-sel.

3) Protein yang terlarut dalam darah (7%), molekul-molekul ini berukuran cukup

besar sehingga tidak dapat menembus dinding kapiler. Contoh:

a) Albumin (4%), protein plasma yang paling banyak mengikat banyak zat

(sebagai contoh, bilirubin, garam empedu, dan penisilin) untuk

transportasi melalui plasma dan sangat berperan dalam menentukan

tekanan osmotik darah karena jumlahnya.


b) Globulin (2,7%), terdapat tiga subkelas; Globulin alfa (α), beta (β), dan

gamma (γ);

1) Globulin alfa dan beta spesifik mengikat dan mengangkut sejumlah zat

dalam plasma, misalnya hormon tiroid, kolersterol, dan besi.

2) Banyak faktor yang berperan dalam proses pembekuan darah terdiri dari

globulin alfa dan beta.

3) Globulin alfa yang berperan penting dalam pengaturan keseimbangan

garam di tubuh.

4) Globulim gamma adalah imunnoglobulin (antibodi), yang penting bagi

mekanisme pertahanan tubuh.

c) Fibrinogen (0,3%), berperan penting dalam pembekuan darah.

4) Urea dan asam urat, sebagai zat-zat sisa dari hasil metabolisme.

5) O2, CO2, dan N2 sebagai gas-gas utama yang terlarut dalam plasma.

Peran Plasma darah sangatlah bervariasi yaitu

1. berfungsi mengangkut air

2. mengangkut mineral, ion ion misalnya ion karbonat

3. mengangkut sari-sari makanan ke seluruh jaringan tubuh.

4. mengangkut panas hasil oksidasi , sehingga panas tubuh kita bisa merata

dan bisa mempertahankan suhu tubuh itu (37o) dengan membuang panas

yang berlebihan itu lewat keringat

5. mengangkut hasil sisa oksidasi sel CO2 yang diangkut dalam bentuk

HCO3 -

6. mengangkut hormon
7. mengangkut antibody / zat immun
8. mengangkut zat ekskresi dari jaringan tubuh ( urea) ke ginjal

Bagian plasma darah yang mempunyai fungsi penting adalah

serum. Serum merupakan plasma darah yang dikeluarkan atau dipisahkan

fibrinogennya dengan cara memutar darah dalam sentrifuge. Serum

tampak sangat jernih dan mengandung zat antibodi. Antibodi merupakan

protein yang dapat mengenali dan mengikat antigen ( protein asing)

tertentu. Antibodi ini berfungsi untuk membinasakan protein asing yang

masuk ke dalam tubuh. Protein asing yang masuk ke dalam tubuh disebut

antigen. Antigen adalah molekul Protein asing yang tidak dikenal yang

masuk ke plasma darah , adanya antigen maka akan terbentuk antibody

(Antibody jumlahnya berbanding lurus dengan antigen yang ada) maka

orang yang sakit karena adanya kuman ( antigen asing) , dan bisa sehat

dipastikan di tubuhnya (plasma darahnya) banyak antibody special kuman

tersebut sehingga ia sudah kebal terhadap kuman yang menyebabkan

penyakit tersebut.

Berdasarkan cara kerjanya, antibodi dalam plasma darah dapat

dibedakan sebagai berikut.

1) Aglutinin : menggumpalkan antigen.

2) Presipitin : mengendapkan antigen.

3) Antitoksin : menetralkan racun.

4) Lisin : menguraikan antigen.

5) Netralisasi : antigenik menutup tempat yang toksik ( beracun)


Antigen yang terdapat dalam sel darah dikenal dengan nama aglutinogen,

sedangkan antibodi terdapat di dalam plasma darah dinamakan aglutinin.

Di dalam darah terdapat dua jenis aglutinogen, yaitu aglutinogen A dan

aglutinogen B. Berdasarkan ada tidaknya aglutinogen dalam darah, Landsteiner

membagi empat macam golongan darah, yaitu darah golongan A, B, AB, dan O.

Sistem penggolongan darah ini dinamakan sistem ABO.

B. Sel Darah Merah (Eritrosit)


.

Sel darah merah berupa cakram kecil bikonkaf, cekung pada kedua sisinya,

sehingga dilihat dari samping namapak seperti dua buah bulan sabit yang saling

bertolak belakang. Berdiameter 8 mikron, dan mempunyai ukuran ketebalan

sebagai berikut: pada bagian yang paling tebal, tebalnya 2 mikron, sedangkan

pada bagian tengah tebalnya 1 mikron atau kurang (Syaifuddin, 2017).


Volume rata-rata sel darah merah adalah sebesar 83 mikron kubik. Dalam

setiap millimeter kubik darah terdapat 5.000.000 sel darah. Strukturnya terdiri atas

pembungkus luar atau stroma, berisi massa hemoglobin. Sel darah merah

memerlukan protein karena strukturnya terbentuk dari asam amino. Mereka juga

memerlukan zat besi, sehingga untuk membentuk penggantinya diperlukan diet

seimbang yang berisi zat besi. Pembentukan sel darah merah. Sel darah merah di

bentuk di dalam sumsum tulang, terutama dari tulang pendek, pipih dan tak

beraturan, dari jaringan kanselus pada ujung tulang pipa dan dari sumsum dalam

batang iga-iga dan dari sternum. Di dalam sumsum tulang terdapat banyak sel

pluripoten hemopoietik stem yang dapat membentuk berbagai jenis sel darah. Sel-

sel ini akan terus menerus direproduksikan selama hidup manusia, walaupun

jumlahnya akan semakin berkurang sesuai dengan bertambahnya usia

(Syaifuddin, 2017).

Sel pertama yang akan dapat diketahui termasuk ke dalam rangkaian sel-sel

darah merah dapat disebut sebagai proeritroblas. Dengan rangsangan yang sesuai

maka dari sel-sel stem ini dapat dibentuk banyak sekali sel-sel. Sekali

proeritroblas ini terbentuk, maka ia akan membelah beberapa kali sampai akhirnya

akan terbentuk 8 sampai 16 sel-sel darah merah yang matur. Sel-sel baru dari

generasi pertama ini disebut sebagai basofil eritroblas sebab  dapat di cat dengan

zat warna basa; dan sel-sel ini pada saat ini akan mengumpulkan sedikit sekali

hemoglobin. Tetapi pada generasi berikutnya yang disebut sebagai polikromatofil


eritroblas akan mulai terbentuk cukup hemoglobin sehingga sel-sel ini

mempunyai gambaran polikromatofil. Sesudah terjadi pembelahan lainnya atau

selebihnya, maka akan terbentuk lebih banyak lagi hemoglobin dan sel-sel ini lalu

disebut sebagai ortokromatik eritroblas dimana warnanya sekarang dapat menjadi

merah oleh karena adanya hemoglobin. Akhirnya, bila sitoplasma dari sel-sel ini

sudah dipenuhi oleh hemoglobin sehingga mencapai konsentrasi ±34%, maka

nukleus akan memadat sampai ukurannya menjadi kecil dan terdorong dari sel.

Pada saat yang sama retikulum endoplasma akan mereabsorbsi. Dimana pada

tahap ini sel tersebut disebut sebagai retikulosit oleh karena masih mengandung

sedikit bahan-bahan basofilik mengandung sisa-sisa Golgi, mitokondria dan

sedikit organela sitoplamik yang lain. Pada tahap retikulosit ini sel-sel tersebut

akan berjalan masuk ke dalam darah kapiler dengan cara diapedesis (terperas

melalui pori-pori membran). Bahan-bahan basofilik yang tesisa di dalam

retikulosit tada dalam keadaan normalnya akan menghilang dalam waktu satu

sampai dua hari dan sel ini lalu disebut sebagai eritrosit matur. Oleh karena waktu

hidup eritrosit ini pendek, maka pada umumnya konsentrasi seluruh sel-sel darah

merah dalam darah itu pada keadaan normal jumlahnya kurang dari 1%

(Syaifuddin, 2017).

Rata-rata panjang hidup darah merah kira-kira 115 hari. Sel menjadi usang,

dan dihancurkan dalam sistema retikulo-endotelia, terutama dalam limpa dan hati.

Globin dari hemoglobin dipecah menjadi asam amino untuk digunakan sebagai

protein dalm jaringan-jaringan dan zat besi dalam hem dari hemoglobin

dikeluarkan untuk digunakan dalam pembentukan sel darah merah lagi. Sisa hem

dari hemoglobin diubah menjadi bilirubin (pigmen kuning) dan biliverdin yaitu
yang berwarna kehijau-hijauan yang dapat dilihat pada perubahan warna

hemoglobin yang rusak pada luka memar. Konsentrasi sel-sel darah merah di

dalam darah, pada pria normal jumlah rata-rata sel-sel darah merah per millimeter

kubik adalah 5.200.000 (± 300.000) dan pada wanita normal jumlahnya 4.700.000

(±300.000). Jumlah sel-sel darah merah ini bervariasi pada kedua jenis kelamin

dan pada perbedaan umur, pada ketinggian tempat seseorang itu tinggal akan

mempengaruhi jumlah sel darah merah (Syaifuddin, 2017).

Hemoglobin adalah molekul protein pada sel darah merah yang berfungsi

sebagai media transport oksigen dari paru paru ke seluruh jaringan tubuh dan

membawa karbondioksida dari jaringan tubuh ke paru paru (C. Pearce & Evelyn,

2016).
1) Kadar normal hemoglobin
Kadar hemoglobin menggunakan satuan gram/dl. Yang artinya

banyaknya gram hemoglobin dalam 100 mililiter darah.

Nilai normal hemoglobin tergantung dari umur pasien :


 Bayi baru lahir : 17-22 gram/dl
 Umur 1 minggu : 15-20 gram/dl
 Umur 1 bulan : 11-15 gram/dl
 Anak anak : 11-13 gram/dl
 Lelaki dewasa : 14-18 gram/dl
 Perempuan dewasa : 12-16 gram/dl
 Lelaki tua : 12.4-14.9 gram/dl
 Perempuan tua : 11.7-13.8 gram/dl
2) Eritroposis
Pembentukan sel darah merah (eritroposis) adalah subyek pengaturan

“feedback”. Eritroposis diatur oleh suatu hormone glikoprotein yang beredar yang

dinamakan eritropoeitin yang dibentuk oleh kerja dari faktor ginjal pada globulin

plasma. Hormone ini mempermudah diferensiasi sistem sel menjadi proeritroblast.

Kerapuhan sel darah merah (C. Pearce & Evelyn, 2016)

Faktor penghambat pembentukan eritroposis adalah kenaikan sel darah

merah dalam sirkulasi yang mencapai nilai diatas normal sedangkan pembentukan

eritroposis dirangsang oleh anemia, hipoksia, dan kenaikan jumlah sel darah

merah yang beredar adalah gambaran yang menonjol dari aklimanisasi pada

dataran tinggi. Sel-sel darah merah, seperti sel-sel lainnya , mengkerut dalam

larutan dengan tekanan osmotic yang lebih tinggi dari tekanan osmotik plasma.

Pada larutan yang tekanan osmotiknya lebih rendah sel darah merah akan

membengkak, menjadi cembung dan kemudian kehilangan hemoglobinnya

(hemolisis). Haemoglobin eritrosit yang hemolisis larut dalam plasma, member


warna merah pada plasma. Bila kerapuhan osmotiknya normal, sel darah merah

mulai hemolisis bila dimasukkan dalam larutan NaCl 0,48% dan pada larutan

NaCl 0,33% hemolisis adalah sempurna. Pada sferositosis herediterb(ikterus

hemolitik congenital) sel-sel adalah sferositik dalam plasma normal dan lebih

banyak terjadi hemolisis daripada sel-sel normal pada larutan natrium khlorida

hipotonik (kerapuhan sel darah merah abnormal) (C. Pearce & Evelyn, 2016).

Sel darah merah juga dapat dilisiskan oleh obat-obatan dan infeksi.

Mudahnya hemolisis sel darah merah terhadap zat-zat ini meningkat pada

defisiensi enzim glukosa 6-fosfat dehidrogenase (G6PD) , yaitu enzim yang

mengkatalisis langkah permulaan oksidasi glukosa melalui heksosa monofosfat

shunt. Jalan ini menghasilkan NAPDH, yang diperlukan pada beberapa jalan

untuk memperahankan kerapuhan sel darah merah. Defisiensi aktivasi G6DP

congenital dalam sel darah merah disebabkan adanya variant-variant enzim sering

terjadi. Sebenarnya defisiensi G6DP adalah abnormalitas enzim yang secara

genetik paling sering ditemukan pada manusia. Lebih dari 80 variant genetik

G6DP telah ditemukan, 40 diantaranya tidak menyebabkan penurunan aktivitas

enzim yang banyak, tetapi lainnya menyebabkan penurunan aktivitas dan

peningkatan sensitivitas terhadap zat-zat hemolitik dan anemia hemolitik.

Defisiensi G6DP yang berat juga menghambat daya bunuh granulosit terhadap

bakteri dan merupakan predisposial terhadap infeksi berat (C. Pearce & Evelyn,

2016).
C. Sel Darah Putih (Leukosit)

Rupanya bening dan tidak berwarna, bentuknya lebih besar dari sel darah

merah, tetapi jumlahnya lebih kecil. Leukosit merupakan unit yang mobil/aktif

dari sistem pertahanan tubuh. Sistem perthanan ini sebagian dibentuk di dalam

sumsum tulang (granulosit dan monosit dan sedikit limfosit) dan sebagian lagi di

salam jaringan limfe (limfosit dan sel-sel plasma), tapi setelah dibentuk sel-sel ini

kana diangkut didalam darah menuju ke bermacam-macam bagian tubuh untuk

dipergunakan. Granulosit atau sel polimorfonuklear merupakan hampir 75% dari

seluruh jumlah sel darah putih. Mereka terbentuk dalam sumsum merah tulang.

Sel ini berisi sebuah nukleus yang berbelah banyak dan protoplasmanya berbulir.

Karena itu disebut sel berbulir atau granulosit. Kekurangan granulosit disebut

granulositopenia. Sedangkan tidak adanya granulosit disebut agranulositosis yang

timbul setelah makan obat tertentu, termasuk juga beberapa antibiotika (C. Pearce

& Evelyn, 2016).


Fungsi sel darah putih , granulosit dan monosit mempunyai peranan

penting dalam perlindungan badan terhadap mikroorganisme. Dengan

kemampuannya sebagai fagosit (fago-saya makan), mereka memakan bakteri-

bakteri hidup yang masuk ke peredaran darah. Dengan kekuatan gerakan

amuboidnya ia dapat bergerak bebas di dalam dan dapat keluar pembuluh

darah dan berjalan mengitari seluruh bagian tubuh. Dengan demikian sel

darah putih mempunyai fungsi :

1. Mengepung daerah yang terkena infeksi atau cedera

2. Menangkap organisme hidup dan menghancurkannya

3. Menyingkirkan bahan lain seperti kotoran-kotoran, serpihan kayu, benang

jahitan (catgut), dll dengan cara yang sama.

Sebagai tambahan granulosit memiliki enzim yang dapat memecah

protein, yang memungkinkan merusak jaringan tubuh, menghancurkan dan

membuangnya. Dengan ini jaringan yang sakit atau terluka dapat dibuang dan

dimungkinkan sembuh. Sebagai hasil kerja fagositik dari sel darah putih,

peradangan dapat dihentikan sama sekali. Bila kegiatannya tidak dapat berhasil

dengan sempurna, maka dapat terbentuk nanah. Nanah berisi “jenazah” dari

kawan dan lawan. Fagosit yang terbunuh dalam perjuangannya melawan kuman

yang menyerbu masuk disebut sel nanah (C. Pearce & Evelyn, 2016).

Klasifikasi leukosit. Ada lima jenis leukosit dalam sirkulasi darah, yang di

bedakan berdasarkan ukuran, bentuk nukleus, dan ada tidaknya granula

sitoplasma. Sel yang mempunyai granula sitoplasma disebut granulosit, dan sel

yang tidak mempunyai granula disebut agranulosit.


2.2 KONESEP DIABETES MELLITUS GANGREN & ANEMIA

2.2.1 Definisi Diabetes Mellitus Gangren & Anemia

Diabetes Mellits merupakan penyakit yang ditandai dengan

terjadinya hiperglikemia dan gangguan metabolisme karbohidrat,

lemak, dan protein yang dihubungkan dengan kekurangan secara

absolut atau relatif dari kerja dan atau sekresi insulin. Gejala awal yang

timbul pada penderita Diabetes Mellitus ditandai dengan polidipsia

(banyak minum), poliuria (banyak berkemih), polifagia (banyak

makan), kesemutan, lemas, mata kabur, penurunan berat badan

(Buraerah, 2017).

Diabetes Mellitus merupkan penyakit yang disebabkan

penurunan kadar hormon insulin yang diproduksi oleh kelenjar

pankreas sehingga menimbulkan peningkatan kadar gula darah (Diana

L, & Priambodo, 2018).

Gangren adalah jaringan nekrosis atau jaringan mati yang

disebabkan oleh adanya emboli pembuluh darah besar arteri pada

bagian tuubuh sehingga suplai darah terhenti. Ulkus diabetik/gangren

adalah salah satu komplikasi dari penyakit Diabetes Mellitus yang

disebabkan adanya neuropati dan gangguan vaskuler di daerah kaki

(Asni S, Khudazi A, Dwi H, 2016).

Gangren merupakan kematian jaringan yang disebabkan oleh

penyumbatan pembbuluh darah (iskemik nekrosis) karena adanya

mikroemboli aterotrombosis akibat penyakit vaskuler perifer yang


menyertai penderita Diabetes Mellitus sebagai komplikasi menahun

dari diabetes itu sendiri. Gangren sering mempengaruhi ekstremitas,

termasuk jari-jari tangan dan kaki, bisa juga pada otot dan organ

internal. Luka gangren merupakan keadaan yang diawali dengan adanya

hipoksia jaringan dimana oksigen dalam jaringan berkurang, hal ini

akan mempengaruhi aktivitas vaskuler dan seluler jaringan sehingga

mengakibatkan kerusakan jaringan (Huda N, 2017)

Anemia adalah komplikasi yang paling sering terjadi pada

penderita Diabetes Mellitus, khususnya jika disertai dengan nefropati

atau gangguan renal. Anemia kroniis menyebabkan hipoksia jaringan

yang merupakan kunci dari diabetes menyeebabkan kerusakan organ.

Anemia adalah faktor resiko untuk progresifitas End Stage Renal

Disease (ESRD) pada penderita dengan ginjal kronis, dengan atau tanpa

diabetes (Ito et al, 2018).

Anemia merupakan keadaan rendahnya jumlah sel darah merah

dan kadar Hb atau hematokrit dibawah normal. Anemia bukan

merupakan penyakkit, melainkan pencerminan keadaan suatu penyakit

atau gangguan fungsi tubuh (Smeltzer, 2015).

2.2.2 Etiologi
2.2.2.1 Etiologi Diabetes Mellitus
a. DM Tipe I:

Diabetes Mellitus tipe I ditandai oleh penghancuran sel-sel beta

pankreas. Kombinasi faktor genetik, imunologi, dan mungkin pula

lingkungan (misalnya, infeksi virus) diperkirakan turut

menimbulkan dekstruksi sel beta.


1) Faktor genetik

Penderita diabetes tidak diwarisi tipe I itu sendiri, tetapi

mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik kearah

terjadinya diabetes melitus tipe I. Kecenderungan genetik ini

ditemukan pada individu yang memiliki tipe antigen HLA

(human leococyte antigen) tertentu. HLA merupakan kumpulan

gen yang bertanggung jawab atau antigen transplantasi dan

proses imun lainnya.

2) Faktor Imunologi

Pada diabetes mellitus tipe I terdapat bukti adanyya suatu respon

autoimun. Respon ini merupakan respon abnormal karena

antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara

bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnyya seolah-

olah sebagai jaringan asing.

3) Faktor Lingkungan

a. Virus dan bakteri penyebab DM adalah rubella, mumps, dan

human coxsackievirus B4. Melalui mekanisme infeksi sistolitik

dalam sel beta, virus ini mengakibatkan destruksi atau

kerusakan sel. Dapat juga, virus ini menyerang melalui reaksi

autoimunitas yang menyebabkan hilangnya autoimun dalam sel

beta. Diabetes melitus akibat bakteri masih belum dapat


dideteksi. Namun para ahli kesehatan menduga bakteri cukup

berperan menyebabkan DM.

b. Bahan toksik atau beracun, bahan beracun yang mampu

merusak sel beta secara langsung adalah allaxan, pirinuron

(rodentisida), dan streptozocin (produk dari jenis jamur). Bahan

lain adalah sianida yang berasal dari singkong.

b. DM Tipe II:
Faktor obesitas, usia, jenis kelamin, kebiaaan merokok, riwayat

keluarga, pola makan, gaya hidup. Mekanisme yang tepat yang

menyebabkan retensi insulin dalam gangguan sekresi insulin pada

diabetes tipe II masih masih belum diketahui (Huda N, 2017).

2.2.2.2 Etiologi Gangren

Penyebab dari gangren adalah adanya penebalan pada

pembuluh darah besar (makroangiopati) yang biasa disebut

aterosklerosis, gangren disebabkan karena adanya kematian jaringan

yang dihasilkan dari penghentian suplaai darah ke organ

terpengaruh. Pembuluh darah membawa sel-sel darah merah yang

pada gilirannya membawa kehidupan memberi oksigen untuk

semua jaringan. Darah juga membawa nutrisi, seperti glukosa, asam

amino dan asam lemak yang penting untuk fungsi normal jaringan

(Melinda, 2016).

Infeksi menyebabkan pembengkakkan terkena organ dan

penghentian aliran darah. Ini umumnya terjadi pada kondisi gangren

basah. Diabetes lebih lanjut dapat menyebabkan resiko gangren

karena gangren berkembang menjadi komplikasi dari luka terbuka


atau sakit. Penyebab dari luka gangren basah adalah akibat dari

cedera traumatis seperti kecelakaan mobil, luka tembak, atau luka

karena instrumen tajam (Notoatmodjo, 2015).

2.2.2.3 Etiologi Anemia

Penyebab dari anemia antara lain:

a. Gangguan produksi sel darah merah, yang dapat terjadi karena:

1. Perubahan sintesa Hb yang dapat menimbulkan anemia

2. Perubahan sintesa DNA akibat kekurangan nutrien

3. Fungsi sel induk (stem sel) terganggu

4. Infiltrasi sumsum tulang

b. Kehilangan darah

1. Akibat karena perdarahan

2. Kronis karena perdarahan

3. Hemofilia (defisiensi faktor pembekuan darah)

c. Meningkatnya pemecahan eritrosit (hemolisis) yang dapat

terjadi karena:

1. Faktor bawaan karena kekurangan enim G6PD

2. Faktor yang didapat, yaitu bahan yang dapat merusak

eritrosit

d. Bahan baku untuk membentuk eritrosit tidak ada

Ini merupakan penyebab tersering dari anemia dimana terjadi

kekurangan zat gizzi yang diprlukan untuk sintesis eritrosit,

antara lain: besi, vitamin B112 dan asam folat.

2.2.3 Patofisiologi
Hiperglikemia yang dialami penderita Diabetes Mellitus

disebabkan oleh beberapa faktor, sesuai dengan tipe dari diabetes secara

umum. DM Tipe I basanya ditandai oleh defisiensi insulin absolut

karena kerusakan sel beta pankreas akibat serangaan autoimun.

Diabetes ini paling sering berkembang pada anak-anak, bermanifestasi

pada pubertas dan memburuk sejalan dengan bertambahnya usia. Untuk

bertahan hidup diabetes tipe ini memerlukan insulin eksogen seumur

hidupnya.

Diabetes tipe II disebabkan oleh gabungan dari resistensi perifer

terhadap kerja insulin dan respons sekresi insulin yang tidak adekuat

oleh sel-sel beta pankreas (defisiensi insulin relatif). Kondisi tersebut

dapat terjadi karena beberpa faktor diantaranya genetik, gaya hidup, dan

diit yang mempengaruhi obesitas. Resistensi insulin dan gangguan

sekresi insulin akan menyebabkan toleransi glukosa terganggu yang

akan mengawali DM Tipe II dengan manifestasi hiperglikemia

(Ozougwu et al, 2016). Kondisi hiperglikemia pada pasien DM tersebut

bermanifestasi pada tiga gejala klasik diabetes yaitu 3P (Poliuria,

polidipsia, dan polifagia). Poliuria 9sering berkemih), akibat kondisi

hiperglikemia melampaui ambang reabsorpsi ginjal sehinga

menimbulkan glukosuria. Kondisi glukosuria selanjutnya menyebabkan

diuresis osmotik sehingga timbul manifestasi banyak buang air kecil.

Polidipsia (sering merasa haus), kondisi polidipsia sangat berkaitan erat

dengan poliuria, karena banyaknya pegeluaran cairan tuubuh melalui

ginjal ditambah kondisi tubuh mengalami hipersmolar akibat


peningkatan glukosa dalam tubuh menyebabkan konsisi tubuh akan

mengalami penurunan cairan intrasel. Selanjutnya kondisi tersebut

menyebabkan stimulasi osmoreseptor pusat haus di otak sehingga

penderita DM sering mengeluh haus.

Polifagia (peningkatan nafsu makan), kondisi ini disebabkan

enurunan insulin mengakibatkan penggunaan glukosa oleh sel menurun,

sehingga menimbulkan pembentukan glukosa dari non-karbohidrat,

yaitu dari protein dan lemak (lipolisis). Peningkatan lipolisis dan

katabolisme protein akan menyebabkan keseimbangan energi negatif

yang kemudian akan meningkatkan nagsu makan.

Penderita Diabetes Mellitus seringkali tidak menjaga pola makan

dan gaya hidupnya. Penderita DM seringkali mengalami luka pada

ekstremitas bagian bawah karena ekstremitas bagian bawah adalah

organ yang dominan digunakan untuk beraktifitas. Hiperglikemia akan

meninmbulkan komplikasi yang dapat mengganggu sistem sirkulasi

darah ke jaringan hingga menyebabkan gangguan pada sistem ginjal

atau renal sehingga fungsi ginjal tidak dapat bekerja dengan baik dan

mengganggu sistem LFG dan menyebabkan anemia/ kekurangan sel

darah merah di jaringan tubuh. Kondisi ini akan berpengaruh pada

proses penyembuhan luka. Luka akan melebar dan lambat laun akan

mengalami kematian jaringan akibat tergaangguanya sistem sirkulasi

dalam tubuh, terlebih lagi penderita kurangnyya aktifitas gerak akan

semakin memperpaarah kondisi luka hingga menyebabkan gangren.

2.2.4 Manifestasi Klinis


2.2.4.1 Manifestasi Klinis Diabetes Mellitus

Penderita Diabetes Mellitus ditandai dengan adanya:

a. Polidipsia (banyak minum)

b. Polifagia (banyak makan)

c. Poliuria (banyak berkemiih)

d. Lemas

e. Berat badan menurun

f. Kesemutan

g. Mata kabur

h. Impotensia pada pria

i. Keputihan pada wanita

Tanda dan gejala lain yang timbul adalah mudah sakit yang lama,

gatal/bisul, luka lama sembuh, dan cepat merasa kelelahan

(Wahyuni, 2017).

2.2.4.2 Manifestasi Klinis Gangren

Penderita Diabetes Mellitus yang berlangsung lama akan

menyebabkan komplikasi yaitu ulkus diabetik/ gangren, berikut

tanda gejala gangren pada penderita Diabetes Mellitus :

a. Perubahan warna kulit

b. Perubahan bentuk kaki

c. Atropi otot kaki, dingin dan menebal

d. Sensasi rasa berkurang

e. Kulit kering
f. Kerusakan jaringan (nekrosis)

g. Sering kesemutan

h. Penurunan ketajaman penglihatan

i. Terbentuk sebuah garis jelas antara kulit yang sehat dan rusak

j. Nyeri berat diikuti tanda mati rrasa

k. Timbul bau busuk dari bagian yang sakit

l. Nyeri kaki saat istirahat

2.2.4.3 Manifestasi Klinis Anemia

Tanda dan gejala yang muncul merefleksikan gangguan

fungsi dari berbagai sistem dalam tubuh antara lain penurunan

kinerja fisik, dengan mengetahui tanda gejala yakni lemah, letih,

lesu, lelah, lalai. Gejala ini biasanya akan munculnya skelera pucat

pada bagian kelopak matanya). Anemia biasanya menyebabkan

kelelahan, kelemahan, kurang tenaga, dan kepala terasa pusing. Bila

anemia bertambah berat, akan menyebabkan stroke atau serangan

jantung (Price, 2016).


2.2.5 WOC
Pattway (Padilla, 2016)
Defisinsi Insulin

Ketidakstabilan
Glukagon Penurunan kadar glukosa
meningkat pemakaian darah Dehidrasi
glukosa
darah
Glukoneogenesis Sel Trombosis
kekurangan Keletihan
Glikosuria nutrisi

Aterosklerosis Makrovaskuler
Lemak
Osmotik Kekurangan
- Nefropati
deuresis volume - Ginjal - Retinopati
cairan - Mata
Ketogenesis - Neuropati
- saraf

Ketonemia Nyeri
Resiko Injury
Akut

PH Perfusi
Perifer Kebas, kesemutan Hb menurun
disertai nyeri Anemia LFG terganggu
Tidak
Mual
Efektif
muntah

Resiko
defisit
nutrisi
2.2.6 Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
1) Kadar glukosa plasma puasa lebih besar atau sama dengan 126
mg/dL.
2) Kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dL (normal; < 140
mg/dL)
3) Gula darah prospandial ≥ 200 mg/dL
4) Hemoglobin glikosilasi (HbA 1c) meningkat
5) Urinalisis dapat menunjukkan aseton atau glukosa
b. Prosedur diagnostik
Pemeriksaan oftalmik menunjukkan aseton atau glukosa
2.2.7 Penatalaksanaan
2.2.7.1 Penatalaksanaan Medis

Anda mungkin juga menyukai