DI RUANG KEMUNING
Disusun Oleh :
NIM : P27901121056
2.1.1 Definisi
Menurut kamus bahasa Indonesia, eliminasi adalah pengeluaran, penghilangan,
penyingkiran, penyisihan.dalam bidang kesehatan, Eliminasi adalah proses pembuangan sisa
metabolisme tubuh baik berupa urin atau bowel (feses). Eliminasi pada manusia digolongkan
menjadi 2 macam, yaitu:
1. Defekasi
Buang air besar atau defekasi adalah suatu tindakan atau proses makhluk hidup untuk
membuang kotoran atau tinja yang padat atau setengah-padat yang berasal dari sistem
pencernaan (Dianawuri, 2018).
2. Miksi
Miksi adalah proses pengosongan kandung kemih bila kandung kemih terisi. Miksi ini sering
disebut buang air kecil.
2.1.2 Anatomi Fisiologi
Sistem perkemihan merupakan suatu sistem dimana terjadinya proses penyaringan
darah (sehingga darah bebas dari zat-zat yang yang tidak dipergunakan oleh tubuh) dan
menyerap zat-zat yang masih dipergunakan oleh tubuh. Zat-zat yang tidak
dipergunakan lagi oleh tubuh larut dalam air dan dikeluarkan dari tubuh berupa urin (air
kemih). (Syaifuddin, 2019).
Sistem perkemihan memiliki fungsi :
1. Keseimbangan transportasi air dan zat terlarut.
2. Mensekresi hormon yang membantu mengatur tekanan darah, erithropoietin dan
metabolism kalsium.
3. Menyimpan nutrient.
4. Ekskresi zat buangan.
5. Mengatur keseimbangan asam basa.
6. Membentuk urin.
4
Gambar 2.1 Sistem Urinaria
Sistem perkemihan disebut juga urinari sistem atau renal sistem. Terdiri dari:
1. Dua buah ginjal, yang berfungsi membuang zat-zat sisa metabolisme atau zat
yang berlebihan dalam tubuh serta membentuk urin.
2. Dua buah ureter, yang berperan untuk mentransport urin ke kandung
kemih/bladder.
3. Kandung kemih/bladder, yang merupakan tempat penampungan urin.
4. Uretra, yang merupakan saluran yang mengalirkan urin
6
gerakan peristaltik yang mendorong urin masuk ke dalam kandung kemih.
2.1.2.3 Anatomi Kandung Kemih
Vesika urinaria atau kandung kemih terletak dibelakang simpisis pubis, berfungsi
menampung urin untuk sementara waktu. Organ ini berbentuk seperti buah pir
(kendi).letaknya di belakang simfisis pubis di dalam rongga panggul. Vesika urinaria dapat
mengembang dan mengempis seperti balon karet.
Terdapat segitiga bayangan yang terdiri atas 3 lubang yaitu 2 lubang ureter dan satu
lubang uretra pada dasar kandunng kemih yang disebut dengan trigonum/trigon. Lapisan
dinding kandung kencing (dari dalam keluar): lapisan mukosa, submukosa, ototpolos dan
lapisan fibrosa.Lapisan otot disebut dengan otot detrusor.
Otot longitudinal pada bagian dalam dan luar dan lapisan sirkular pada bagian tengah.
Ukuran kandung kencing berbeda-beda. Pada usia dewasa kandung kencing mampu
menampung sekitar 300-500 ml urin. Pada keadaan tertentu kandung kencing dapat
menampung dua kali lipat lebih jumlah keadaan normal.
Miksi/berkemih/buang air kecil merupakan proses pengosongan kandung kemih bila
kandung kemih terisi. Dua langkah utama yaitu: jika kandung kemih terisi secara progresif
sampai tegangan dindingnya meningkat diatas nilai ambang akan mencetuskan refleks
miksi dan refleks miksi akan berusaha mengosongkan kandung
kemih,menimbulkan kesadaran akan keinginan berkemih. Meskipun refleks miksi
adalah autonom medula spinalis, refleks ini bisa juga dihambat atau ditimbulkan oleh pusat
korteks serebri atau batang otak.
Persyarafan utama kandung kemih adalah nervus pelvikus yang berhubungan
dengan medulla spinalis melalui pleksus sakralis terutama berhubungan dengan medulla
spinalis segmen S2 dan S3. Serat sensorik mendeteksi derajat regangan pada dindingkandung
kemih. Saraf mototrik yang menjalar dalam nervus pelvikus adalah serat
parasimpatis.
Selain nervus pelvikus terdapat dua tipe persyarafan lain yang penting untuk
kandung kemih yaitu serat otot lurik yang berjalan melalui nervus pudendal menuju sfingter
eksternus. Ini adalah serat saraf somatik yang mempersyarafi dan mengontrol otot lurik pada
sfingter. Kandung kemih juga menerima syaraf simpatis dari rangkaian simpatis melalui
nervus hipogastrikus terutama berhubungan dengan segmen L2 medulla spinalis. Serat
simpatis ini merangsang pembuluh darah dan sedikit mempengaruhik ontraksi kandung
kemih. Beberapa serat syaraf sensorik juga berjalan melalui syaraf simpatis dan penting
dalam menimbulkan sensasi rasa penuh dan rasa nyeri.
Gambar 2.4 Kandung Kemih
10
b. Cairan
Pemasukan cairan juga mempengaruhi eliminasi feses. Ketika pemasukan cairan yang
adekuat ataupun pengeluaran (cth: urine, muntah) yang berlebihan untuk beberapa
alasan, tubuh melanjutkan untuk mereabsorbsi air dari chyme ketika ia lewat di
sepanjang colon. Dampaknya chyme menjadi lebih kering dari normal, menghasilkan
feses yang keras. Ditambah lagi berkurangnya pemasukan cairan memperlambat
perjalanan chyme di sepanjang intestinal, sehingga meningkatkan reabsorbsi cairan
dari chime.
c. Meningkatnya stress psikologi
Dapat dilihat bahwa stres dapat mempengaruhi defekasi. Penyakit-penyakit tertentu
termasuk diare kronik, seperti ulcus pada collitis, bisa jadi mempunyai komponen
psikologi. Diketahui juga bahwa beberapa orang yagn cemas atau marah dapat
meningkatkan aktivitas peristaltik dan frekuensi diare. Ditambah lagi orang yang
depresi bisa memperlambat motilitas intestinal, yang berdampak pada konstipasi.
d. Kurang aktifitas, kurang berolahraga, berbaring lama.
Pada pasien immobilisasi atau bedrest akan terjadi penurunan gerak peristaltic dan
dapat menyebabkan melambatnya feses menuju rectum dalam waktu lama dan terjadi
reabsorpsi cairan feses sehingga feses mengeras.
e. Obat-obatan
Beberapa obat memiliki efek samping yang dapat berpengeruh terhadap eliminasi
yang normal. Beberapa menyebabkan diare; yang lain seperti dosis yang besar dari
tranquilizer tertentu dan diikuti dengan prosedur pemberian morphin dan codein,
menyebabkan konstipasi. Beberapa obat secara langsung mempengaruhi eliminasi.
Laxative adalah obat yang merangsang aktivitas usus dan memudahkan eliminasi
feses. Obat-obatan ini melunakkan feses, mempermudah defekasi. Obat-obatan
tertentu seperti dicyclomine hydrochloride (Bentyl), menekan aktivitas peristaltik dan
kadang-kadang digunakan untuk mengobati diare.
f. Usia; Umur tidak hanya mempengaruhi karakteristik feses, tapi juga
pengontrolannya. Anak-anak tidak mampu mengontrol eliminasinya sampai sistem
neuromuskular berkembang, biasanya antara umur 2 – 3 tahun. Orang dewasajuga
mengalami perubahan pengalaman yang dapat mempengaruhi proses pengosongan
lambung. Di antaranya adalah atony (berkurangnya tonus otot yang normal) dari otot-
otot polos colon yang dapat berakibat pada melambatnya peristaltik dan mengerasnya
(mengering) feses, dan menurunnya tonus dari otot-otot perut yang juga
menurunkan tekanan selama proses
pengosongan lambung. Beberapa orang dewasa juga mengalami penurunan kontrol
terhadap muskulus spinkter ani yang dapat berdampak pada proses defekasi.
g. Penyakit-penyakit seperti obstruksi usus, paralitik ileus, kecelakaan pada spinal cord
dan tumor. Cedera pada sumsum tulang belakan dan kepala dapat menurunkan
stimulus sensori untuk defekasi. Gangguan mobilitas bisa membatasi kemampuan klien
untuk merespon terhadap keinginan defekasi ketika dia tidak dapat menemukan toilet
atau mendapat bantuan. Akibatnya, klien bisa mengalami konstipasi. Atau seorang klien
bisa mengalami fecal inkontinentia karena sangat berkurangnya fungsi dari spinkter ani.
2.1.4 Faktor predisposisi/Faktor pencetus
1. Respon keinginan awal untuk berkemih atau defekasi.
Beberapa masyarakat mempunyai kebiasaan mengabaikan respon awal untuk
berkemih atau defekasi. Akibatnya urine banyak tertahan di kandung kemih. Begitu pula
dengan feses menjadi mengeras karena terlalu lama di rectum dan terjadi reabsorbsi cairan.
2. Gaya hidup.
Banyak segi gaya hidup mempengaruhi seseorang dalam hal eliminasi urine dan
defekasi. Tersedianya fasilitas toilet atau kamar mandi dapat mempengaruhi frekuensi
eliminasi dan defekasi. Praktek eliminasi keluarga dapat mempengaruhi tingkah laku.
3. Stress psikologi
Meningkatnya stress seseorang dapat mengakibatkan meningkatnya frekuensi
keinginan berkemih, hal ini karena meningkatnya sensitif untuk keinginan berkemih dan atau
meningkatnya jumlah urine yang diproduksi.
4. Tingkat perkembangan.
Tingkat perkembangan juga akan mempengaruhi pola berkemih. Pada wanita hamil
kapasitas kandung kemihnya menurun karena adanya tekanan dari fetus atau adanya lebih
sering berkemih. Pada usia tua terjadi penurunan tonus otot kandung kemih dan penurunan
gerakan peristaltik intestinal.
5. Kondisi Patologis.
Demam dapat menurunkan produksi urine (jumlah & karakter).
6. Obat-obatan, diuretiik dapat meningkatkan output urine. Analgetik dapat terjadi
retensi urine.
2.1.5 Klasifikasi
2.1.5.1 Eliminasi Urin
1. Retensi urine
Retensi urine adalah akumulasi urine yang nyata didalam kandung kemih akibat
ketidakmampuan mengosongkan kandung kemih.
2. Dysuria
Adanya rasa nyeri, sakit atau kesulitan dalam berkemih.
3. Polyuria
Produksi urine abnormal dalam jumlah besar oleh ginjal , seperti 2500 ml / hari ,
tanpa adanya intake cairan.
4. Inkontinensi Urin
Ketidaksanggupan sementara atau permanen otot spingter eksternal untuk mengontrol
keluarnya urin dari kantong kemih.
5. Urinari suppresi Adalah berhenti mendadak produksi urin
2.1.5.2 Eliminasi Fekal
a. Konstipasi
Konstipasi adalah penurunan frekuensi defekasi , yang diikuti oleh pengeluaran feses
yang lama atau keras dan kering.
b. Impaksi
Impaksi feses merupakan akibat dari konstipasi yang tidak diatasi. Impaksi adalah
kumpulan feses yang mengeras, mengendap di dalam rektum, yang tidak dapat
dikeluarkan.
c. Diare
Diare adalah peningkatan jumlah feses dan peningkatan pengeluaran feses yang cair
dan tidak berbentuk. Diare adalah gejala gangguan yang mempengaruhi proses
pencernaan , absorpsi, dan sekresi di dalam saluran GI.
d. Inkontinensia
Inkontinensia feses adalah ketidakmampuan mengontrol keluarnya feses dan gas dari
anus.
e. Flatulen
Flatulen adalah penyebab umum abdomen menjadi penuh, terasa nyeri, dan kram.
f. Hemoroid
Adalah vena-vena yang berdilatasi, membengkak dilapisan rectum.
2.1.6 Patofisiologi (pathway)
2.1.6.1 Gangguan Eliminasi Urin
Gangguan pada eliminasi sangat beragam seperti yang telah dijelaskan di atas.
Masing-masing gangguan tersebut disebabkan oleh etiologi yang berbeda. Pada pasien
dengan usia tua, trauma yang menyebabkan cedera medulla spinal, akan menyebabkan
gangguan dalam mengkontrol urin atau inkontinensia urin. Gangguan traumatik pada tulang
belakang bisa mengakibatkan kerusakan pada medulla spinalis. Lesi traumatik pada medulla
spinalis tidak selalu terjadi bersama-sama dengan adanya fraktur atau dislokasi. Tanpa
kerusakan yang nyata pada tulang belakang, efek traumatiknya bisa mengakibatkan efek yang
nyata di medulla spinallis. Cedera medulla spinalis (CMS) merupakan salah satu penyebab
gangguan fungsi saraf termasuk pada persyarafan berkemih dan defekasi.
Komplikasi cedera spinal dapat menyebabkan syok neurogenik dikaitkan dengan
cedera medulla spinalis yang umumnya dikaitkan sebagai syok spinal. Syok spinal
merupakan depresi tiba-tiba aktivitas reflex pada medulla spinalis (areflexia) di bawah
tingkat cedera.
Dalam kondisi ini, otot-otot yang dipersyarafi oleh bagian segmen medulla yang ada di
bawah tingkat lesi menjadi paralisis komplet dan fleksid, dan refleks-refleksnya tidak ada.
Hal ini mempengaruhi refleks yang merangsang fungsi berkemih dan defekasi. Distensi usus
dan ileus paralitik disebabkan oleh depresi refleks yang dapat diatasi dengan dekompresi usus
(Brunner & Suddarth, 2002). Hal senada disampaikan Sjamsuhidajat (2004), pada komplikasi
syok spinal terdapat tanda gangguan fungsi autonom berupa kulit kering karena tidak
berkeringat dan hipotensi ortostatik serta gangguan fungsi kandung kemih dan gangguan
defekasi.
Proses berkemih melibatkan 2 proses yang berbeda yaitu pengisian dan penyimpanan
urine dan pengosongan kandung kemih. Hal ini saling berlawanan dan bergantian secara
normal. Aktivitas otot-otot kandung kemih dalam hal penyimpanan dan pengeluaran urin
dikontrol oleh sistem saraf otonom dan somatik. Selama fase pengisian, pengaruh sistem
saraf simpatis terhadap kandung kemih menjadi bertekanan rendah dengan meningkatkan
resistensi saluran kemih. Penyimpanan urin dikoordinasikan oleh hambatan sistem simpatis
dari aktivitas kontraktil otot detrusor yang dikaitkan dengan peningkatan tekanan otot dari
leher kandung kemih dan proksimal uretra.
Pengeluaran urine secara normal timbul akibat dari kontraksi yang simultan otot
detrusor dan relaksasi saluran kemih. Hal ini dipengaruhi oleh sistem saraf parasimpatis yang
mempunyai neurotransmiter utama yaitu asetilkholin, suatu agen kolinergik. Selama fase
14
pengisian, impuls afferen ditransmisikan ke saraf sensoris pada ujung ganglion dorsal spinal
sakral segmen 2-4 dan informasikan ke batang otak. Impuls saraf dari batang otak
menghambat aliran parasimpatis dari pusat kemih sakral spinal. Selama fase pengosongan
kandung kemih, hambatan pada aliran parasimpatis sakral dihentikan dan timbul kontraksi
otot detrusor.
Hambatan aliran simpatis pada kandung kemih menimbulkan relaksasi pada otot
uretra trigonal dan proksimal. Impuls berjalan sepanjang nervus pudendus untuk
merelaksasikan otot halus dan skelet dari sphincter eksterna. Hasilnya keluarnya urine dengan
resistensi saluran yang minimal. Pasien post operasi dan post partum merupakan bagian yang
terbanyak menyebabkan retensi urine akut. Fenomena ini terjadi akibat dari trauma kandung
kemih dan edema sekunder akibat tindakan pembedahan atau obstetri, epidural anestesi, obat-
obat narkotik, peregangan atau trauma saraf pelvik, hematoma pelvik, nyeri insisi episiotomi
atau abdominal, khususnya pada pasien yang mengosongkan kandung kemihnya dengan
manuver Valsalva. Retensi urine post operasi biasanya membaik sejalan dengan waktu dan
drainase kandung kemih yang adekuat.
2.1.6.2. Gangguan Eliminasi Fekal
Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini juga disebut bowel
movement. Frekwensi defekasi pada setiap orang sangat bervariasi dari beberapa kali perhari
sampai 2 atau 3 kali perminggu. Banyaknya feses juga bervariasi setiap orang. Ketika
gelombang peristaltik mendorong feses kedalam kolon sigmoid dan rektum, saraf sensoris
dalam rektum dirangsang dan individu menjadi sadar terhadap kebutuhan untuk defekasi.
Defekasi biasanya dimulai oleh dua refleks defekasi yaitu refleks defekasi instrinsik.
Ketika feses masuk kedalam rektum, pengembangan dinding rektum memberi suatu signal
yang menyebar melalui pleksus mesentrikus untuk memulai gelombang peristaltik pada kolon
desenden, kolon sigmoid, dan didalam rektum. Gelombang ini menekan feses kearah anus.
Begitu gelombang peristaltik mendekati anus, spingter anal interna tidak menutup dan bila
spingter eksternal tenang maka feses keluar.
Refleks defekasi kedua yaitu parasimpatis. Ketika serat saraf dalam rektum
dirangsang, signal diteruskan ke spinal cord (sakral 2 – 4) dan kemudian kembali ke kolon
desenden, kolon sigmoid dan rektum. Sinyal – sinyal parasimpatis ini meningkatkan
gelombang peristaltik, melemaskan spingter anus internal dan meningkatkan refleks defekasi
instrinsik. Spingter anus individu duduk ditoilet atau bedpan, spingter anus eksternal tenang
dengan sendirinya.
Pengeluaran feses dibantu oleh kontraksi otot-otot perut dan diaphragma yang akan
meningkatkan tekanan abdominal dan oleh kontraksi muskulus levator ani pada dasar
panggul yang menggerakkan feses melalui saluran anus. Defekasi normal dipermudah dengan
refleksi paha yang meningkatkan tekanan di dalam perut dan posisi duduk yang
meningkatkan tekanan kebawah kearah rektum. Jika refleks defekasi diabaikan atau jika
defekasi dihambat secara sengaja dengan mengkontraksikan muskulus spingter eksternal,
maka rasa terdesak untuk defekasi secara berulang dapat menghasilkan rektum meluas untuk
menampung kumpulan feses. Cairan feses di absorpsi sehingga feses menjadi keras dan
terjadi konstipasi.
2.1.7 Manifestasi Klinis (Tanda dan Gejala)
2.1.7.1 Gangguan Eliminasi urin
a. Retensi Urin
• Ketidak nyamanan daerah pubis.
• Distensi dan ketidaksanggupan untuk berkemih.
• Urine yang keluar dengan intake tidak seimbang.
• Meningkatnya keinginan berkemih dan resah
• Ketidaksanggupan untuk berkemih
b. Inkontinensia urin
• pasien tidak dapat menahan keinginan BAK sebelum sampai di WC
• pasien sering mengompol
2.1.7.2 Gangguan Eliminasi Fekal
a. Konstipasi
• Menurunnya frekuensi BAB
• Pengeluaran feses yang sulit, keras dan mengejan
• Nyeri rektum
b. Impaction/impaksi
• Tidak BAB
• Anoreksia
• Kembung/kram
• Nyeri rektum
c. Diare
• BAB sering dengan cairan dan feses yang tidak berbentuk
• Isi intestinal melewati usus halus dan kolon sangat cepat
• Iritasi di dalam kolon merupakan faktor tambahan yang
menyebabkan meningkatkan sekresi mukosa.
• feses menjadi encer sehingga pasien tidak dapat mengontrol dan
menahan BAB.
d. Inkontinensia Fekal
• Tidak mampu mengontrol BAB dan udara dari anus,
• BAB encer dan jumlahnya banyak
• Gangguan fungsi spingter anal, penyakit neuromuskuler, trauma
spinal cord dan tumor spingter anal eksternal
e. Flatulens
• Menumpuknya gas pada lumen intestinal,
• Dinding usus meregang dan distended, merasa penuh, nyeri dan kram.
• Biasanya gas keluar melalui mulut (sendawa) atau anus (flatus)
f. Hemoroid
• pembengkakan vena pada dinding rectum
• perdarahan jika dinding pembuluh darah vena meregang
• merasa panas dan gatal jika terjadi inflamasi
▪ nyeri
2.1.8 Komplikasi
• Prolaps. Bagian dari vagina, kandung kemih, dan terkadang uretra dapat jatuh ke
pintu masuk vagina. Hal ini biasanya disebabkan oleh melemahnya otot dasar
panggul.
20
Merupakan alat diagnostik yang noninvasif yang berharga dalam mengkaji
gangguan perkemihan. Alat ini menggunakan gelombang suara yang tidak
dapat didengar, berfrekuensi tinggi, yang memantul dari struktur jaringan.
4. Prosedur Invasif
a. Sistoscopy
Sistocopy terlihat seperti kateter urine. Walaupun tidak fleksibel tapi
ukurannya lebih besar sistoscpy diinsersi melalui uretra klien. Instrumen ini
memiliki selubung plastik atau karet. Sebuah obturator yang membuat skop
tetap kaku selama insersi. Sebuah teleskop untuk melihat kantung kemih dan
uretra, dan sebuah saluran untuk menginsersi kateter atau isntrumen bedah
khusus.
b. Biopsi Ginjal
Menentukan sifat, luas, dan progronosis ginjal. Prosedur ini dilakukan dengan
mengambil irisan jaringan korteks ginjal untuk diperiksa dengan tekhnik
mikroskopik yang canggih. Prosedur ini dapat dilakukan dengan metode
perkutan (tertutup) atau pembedahan (terbuka).
c. Angiography (arteriogram)
Merupakan prosedur radiografi invasif yang mengefaluasi sistem arteri ginjal.
Digunakan untuk memeriksa arteri ginjal utama atau cabangnya untuk
mendeteksi adanya penyempitan atau okulasi dan untuk mengefaluasi adanya
massa (cnth: neoplasma atau kista)
5. Sitoure Terogram Pengosongan (volding cystoureterogram)
Pengisian kandung kemih dengan zat kontras melalui kateter. Diambil foto
saluran kemih bagian bawah sebelum, selama dan sesudah mengosongkan
kandung kemih. Kegunaannya untuk mencari adanya kelainan uretra (misal,
stenosis) dan untuk menentukan apakah terdapat refleks fesikoreta.
6. Arteriogram Ginjal
Memasukan kateter melalui arteri femonilis dan aorta abdominis sampai
melalui arteria renalis. Zat kontras disuntikan pada tempat ini, dan akan
mengalir dalam arteri renalis dan kedalam cabang-cabangnya.
Indikasi :
a. Melihat stenosis renalis yang menyebabkan kasus hiperrtensi
Mendapatkan gambaran pembuluh darah suatuneoplasma
c. Terapi farmakologi
d. Terapi pembedahan
e. Modalitas lain