Anda di halaman 1dari 25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep dan Teori Perawatan Kateter


2.1.1 Pengertian Sistem Perkemihan
sistem perkemihan merupakan merupakan suatu sistem dimana terjadinya proses
penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat zat yang tidak dipergunakan oleh tubuh
dan menyerap zat zat yang masih dipergunakan oleh tubuh. (Sudarmi,2015).

Sistem perkemihan merupakan sistem ekskresi utama dan terdiri atas 2 ginjal (untuk
menyekresi urine), 2 ureter (mengalirkan urine dari ginjal ke kandung kemih), kandung
kemih (tempat urine dikumpulkan dan disimpan sementara), dan uretra (mengalirkan
urine dari kandung kemih ke luar tubuh (Nurachmah & Angriani, 2011).

Sistem perkemihan merupakan organ vital yang berperan penting dalam melakukan
eksresi dan melakukan eliminasi sisa sisa hasil metabolisme tubuh, dan dalam
keseimbangan cairan dan elektrolit. Sistem ini secara kontinu membuang dan
mereabsorbsi air dan substansi terlarut dalam darah, serta mengeliminasi setiap
substansi yang tidak dibutuhkan oleh tubuh. (Wylie, 2011)

Jadi menurut para ahli diatas dapat disimpulkan sistem perkemihan merupakan suatu
sistem organ tempat terjadinya proses penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat-
zat yang tidak dipergunakan oleh tubuh dan menyerap zat-zat yang masih dipergunakan
oleh tubuh. Sistem perkemihan merupakan sistem ekskresi utama dan terdiri atas 2
ginjal , 2 ureter , kandung kemih , dan uretra mengalirkan urine dari kandung kemih ke
luar tubuh .
Sistem ini secara kontinu membuang dan mereabsorbsi air dan substansi terlarut dalam
darah, serta mengeliminasi setiap substansi yang tidak dibutuhkan oleh tubuh.

11
12

2.1.2 Anatomi Sistem Perkemihan


2.1.2.1 Ginjal
Ginjal terletak secara retroperitoneal, pada bagian posterior abdomen, pada
kedua sisi kolumna vertebra. Mereka terletak antara vertebra torakal keduabelas
dan lumbal ketiga. Ginjal kiri biasanya terletak sedikit lebih tinggi dari ginjal
kanan karena letak hati. Ginjal orang dewasa secara rata – rata memiliki panjang
11 cm, lebar 5 – 7,5 cm, dan ketebalan 2,5 cm. Hal yang menahan ginjal tetap
pada posisi di belakang peritonium parietal adalah sebuah masa lemak
peritoneum (kapsul adiposa) dan jaringan penghubung yang disebut fasia gerota
(subserosa) serta kapsul fibrosa (kapsul renal) membentuk pembungkus luar dari
ginjal itu sendiri, kecuali bagian hilum. Ginjal dilindungi lebih jauh lagi oleh
lapisan otot di punggung pinggang, dan abdomen, selain itu juga oleh lapisan
lemak, jaringan subkutan, dan kulit (Black & Hawk, 2014).
2.1.2.2 Ureter
Ureter membentuk cekungan di medial pelvis renalis pada hilus ginjal. Biasanya
sepanjang 25 – 35 cm di orang dewasa, ureter terletak di jaringan penghubung
ekstraperitoneal dan memanjang secara vertikal sepanjang otot psoas menuju ke
pelvis. Setelah masuk ke rongga pelvis, ureter memanjang ke anterior untuk
bergabung dengan kandung kemih di bagian posterolateral. Pada setiap sudut
ureterovesika, ureter terletak secara oblik melalui dinding kandung kemih
sepanjang 1,5 – 2 cm sebelum masuk ke ruangan kandung kemih (Black &
Hawks, 2014)

Ureter mempunyai tiga penyempitan sepanjang perjalanannya, yaitu: (1)


ditempat pelvis renalis berhubungan dengan ureter, (2) di tempat ureter
melengkung pada waktu menyilang apertura perlvis superior, (3) di tempat ureter
menembus dinding vesica urinaria (Snell, 2011). Pembuluh darah yang
memperdarahi ureter adalah arteri renalis, arteri spermatika interna, arteri
hipogastrika, dan arteri vesikalis inferior. Persarafan ureter cabang dari pleksus
mesenterikus inferior, pleksus spermatikus, dan pleksus pelvis. Sepertiga bawah
dari ureter terisi sel – sel saraf yang bersatu dengan rantai aferen dan nervus
13

vagus. Rantai aferen dari nervus torakalis XI, XII, dan nervus lumbalis
(Syaifuddin, 2011).
2.1.2.3 Kandung kemih
Kadung kemih adalah organ kosong yang terletak pada separuh anterior dari
pelvis, di belakang simfisis pubis. Jarak antara kandung kemih dan simfisis pubis
diisi oleh jaringan penghubung yang longgar, yang memungkinkan 7 kandung
kemih untuk melebar ke arah kranial ketika terisi. Peritonium melapisi tepi atas
dari kandung kemih, dan bagian dasar ditahan secara longgar oleh ligamen sejati.
Kandung kemih juga dibungkus oleh sebuah fasia yang longgar (Black &
Hawks, 2014).

Dinding ureter mengandung otot polos yang tersusun dalam berkas spiral
longitudinal dan sirkuler. Kontraksi peristaltik teratur 1 – 5 kali/menit
menggerakan urine dari pelvis renalis ke vesika urinaria, disemprotkan setiap
gelombang peristaltik. Ureter berjalan miring melalui dinding vesika urinaria
untuk menjaga ureter tertutup kecuali selama gelombang peristaltik dan
mencegah urine tidak kembali ke ureter (Syaifuddin, 2011).
2.1.2.4 Uretra dan Meatus
Uretra adalah sebuah saluran yang keluar dari dasar kandung kemih ke
permukaan tubuh. Uretra pada laki – laki dan perempuan memiliki perbedaan
besar. Uretra perempuan memiliki panjang sekitar 4 cm dan sedikit melengkung
ke depan ketika mencapai bukaan keluar, atau meatus, yang terletak di antara
klitoris dan lubang vagina. Pada laki – laki, uretra merupakan saluran gabungan
untuk sistem reproduksi dan pengeluaran urine. Uretra pada lakui – laki memiliki
panjang sekitar 20 cm, dan terbagi dalam 3 bagian utama.
Uretra pars prostatika menjulur sampai 3 cm di bawah leher kandung kemih,
melalui kelenjar prostat, kedasar panggul. Uretra pars membranosa memiliki
panjang sekitar 1 – 2 cm dan berakhir di mana lapisan otot membentuk sfingter
eksterna. Bagian distal adalah kavernosa, atau penis uretra. Sepanjang sekitar 15
cm, bagian ini melintas melalui penis ke orifisum uretra pada ujung penis (Black
& Hawks, 2014).
14

2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Eliminasi Urine


Faktor faktor apakah yang mempengaruhi banyak sedikitnya produksinya urine manusia
(Black & Hawks, 2014).
2.1.3.1 Diet dan Asupan (intake)
Jumlah dan tipe makanan merupakan faktor utama yang memengaruhi output
urine (jumlah urine). Protein dapat menentukan jumlah urine yang dibentuk.
Selain itu, juga dapat meningkatkan pembentukan urine
2.1.3.2 Respons Keinginan Awal untuk Berkemih
Kebiasaan mengabaikan keinginan awal untuk berkemih dapat menyebabkan
urine banyak tertahan di dalam urinaria sehingga memengaruhi ukuran vesika
urinaria dan jumlah urine
2.1.3.3 Gaya Hidup
Perubahan gaya hidup dapat memengaruhi pemenuhan kebutuhan eliminasi
dalam kaitannya terhadap tersedianya fasilitas toilet
2.1.3.4 Stres Psikologis
Meningkatnya stres dapat mengakibatkan meningkatnya frekuensi keinginan
berkemih. Hal ini karena meningkatnya sensitivitas untuk keinginan berkemih
dan jumlah urine yang diproduksi
2.1.3.5 Tingkat Aktivitas
Eliminasi urine membutuhkan tonus otot vesika urinaria yang baik untuk fungsi
sfingter. Hilangnya tonus otot vesika urinaria menyebabkan kemampuan
pengontrolan berkemih menurun dan kemampuan tonus otot didapatkan
dengan beraktivitas
2.1.3.6 Tingkat Perkembangan
Tingkat pertumbuhan dan perkembangan juga dapat memengaruhi pola
berkemih. Hal tersebut dapat ditemukan pada anak, yang lebih memiliki
mengalami kesulitan untuk mengontrol buang air kecil. Namun dengan usia
kemampuan dalam mengontrol buang air kecil
2.1.3.7 Kondisi Penyakit Kondisi penyakit dapat memengaruhi produksi urine,
seperti diabetes melitus
15

2.1.3.8 Sosiokultural Budaya dapat memengaruhi pemenuhan kebutuhan eliminasi


urine, seperti adanya kultur pada masyarakat tertentu yang melarang untuk
buang air kecil di tempat tertentu
2.1.3.9 Kebiasaan Seseorang
Seseorang yang memiliki kebiasaan berkemih mengalami kesulitan untuk
berkemih dengan melalui urineal/pot urine bila dalam keadaan sakit
2.1.3.10 Tonus Otot
Tonus otot yang memiliki peran penting dalam membantu proses berkemih
adalah otot kandung kemih, otot abdomen dan pelvis. Ketiganya sangat
berperan dalam kontraksi pengontrolan pengeluaran urine
2.1.3.11 Pembedahan Efek pembedahan dapat menyebabkan penurunan pemberian obat
anestesi, menurunkan filtrasi glomerulus yang dapat mempengaruhi jumlah
produksi urine
2.1.3.12 Pengobatan Pemberian tindakan pengobatan dapat berdampak pada
terjadinya peningkatan atau penurunan proses perkemihan. Misalnya
pemberian diuretik dapat meningkatkan jumlah urine, sedangkan pemberian
obat antikolinergik dan antihipertensi dapat menyebabkan retensi urine
2.1.3.13 Pemeriksaan Diagnostik Pemeriksaan diagnostik ini juga dapat memengaruhi
kebutuhan eliminasi urine, khususnya prosedur- prosedur yang berhubungan
dengan tindakan pemeriksaan saluran kemih seperti IVY (intra venus
pyelogram), yang dapat membatasi jumlah asupan sehingga mengurangi
produksi urine. Selain itu tindakan sistoskopi dapat menimbulkan
edema lokal pada uretra yang dapat mengganggu pengeluaran urine

2.1.4 Perawatan Kateter


Perawat bertanggung jawab atas kebersihan diri pasien setiap hari, dan membantu pasien
jika pasien tidak bisa mengurus diri mereka sendiri. Tanggung jawab perawat 36 meliputi
pembersihan dari daerah perianal dan genital (Abdella, Banks &Wilmann, 2016).

Perawatan kateter urine indwelling harus diperhatikan agar dapat mencegah terjadinya
bakteriuria. Tindakan asepsis yang ketat diperlukan saat memasang kateter dan perawatan
16

kateter. Asepsis adalah hilangnya mikroorganisme patogen atau penyebab penyakit.


Teknik asepsis adalah prosedur yang membantu mengurangi resiko terkena infeksi (Potter
& Perry, 2009). Tindakan mencuci tangan mutlak harus dilakukan sebelum dan setelah
penanganan kateter, selang dan kantong penampung urine (Potter & Perry, 2009b; Makic
et al, 2011).

Perawatan kateter urine adalah perawatan yang dilakukan menggunakan teknik aseptik
dengan membersihkan permukaan kateter urine dan daerah sekitarnya agar bersih dari
kotoran, smegma, dan krusta yang terbentuk dari garam urine. Berdasarkan rekomendasi
AACN (2009) bahwa bagian dari perawatan kateter urine indwelling adalah hygiene rutin
dua kali sehari di daerah perineal dan kateter urine. Pembersihan dapat dilakukan pada
saat mandi sehari-hari atau saat pembersihan daerah perineum setelah pasien buang air
besar. Bagian dari perawatan kateter urine indwelling juga termasuk pembersihan daerah
meatus uretral. Pembersihan kateter urine yang rutin dapat menghilangkan krusta dari
permukaan kateter sebelah luar (Makic et al, 2011).

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa perawatan kateter adalah Tindakan
asepsis yang ketat diperlukan saat memasang kateter dan perawatan kateter, Asepsis
adalah hilangnya mikroorganisme patogen atau penyebab penyakit. Teknik asepsis adalah
prosedur yang membantu mengurangi resiko terkena infeksi dilakukan menggunakan
teknik aseptik dengan membersihkan permukaan kateter urine dan daerah sekitarnya agar
bersih dari kotoran, smegma, dan krusta yang terbentuk dari garam urine.

2.1.5 Pengertian Kateter Urine


Kateterisasi urine adalah pemasukan selang yang terbuat dari plastik atau karet melalui
uretra menuju kandung kemih.Kateter memungkinkan mengalirnya urin yang
berkelanjutan pada klien yang tidak mampu mengontrol perkemihan atau klien yang
mengalami obstruksi. Kateter juga menjadi alat untuk mengkaji 12 keluaran urin per jam
pada klien yang status hemodinamiknya tidak stabil (Potter et al., 2013).
17

Kateter adalah sebuah alat yang berbentuk pipa yang dipasangkan ke organ tubuh
manusia digunakan untuk mengeluarkan urin dari kandung kemih (Hooton et al 2010 )

Kateter urine membantu pasien dalam proses eliminasinya. Pemasangan kateter


menggantikan kebiasaan normal dari pasien untuk berkemih. Penggunaan kateter
intermiten dalam waktu yang lama dapat menyebabkan pasien mengalami ketergantungan
dalam berkemih (craven dan Zweig, 2010 )

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kateter urine adalah sebuah alat selang
yang terbuat dari plastik atau karet melalui uretra menuju kandung kemih untuk
membantu pasien dalam proses eliminasinya.

2.1.6 Tipe kateterisasi


Menurut Hooton et al (2010), jenis–jenis pemasangan kateter urine terdiri dari kateter
indwelling, kateter intermitten, dan kateter suprapubik. Kateter indwelling biasa juga
disebut retensi kateter/folley kateter indwelling yang dibuat sedemikianrupa sehingga
tidak mudah lepas dari kandung kemih. Kateter indwelling adalah alat medis yang
biasanya disertai dengan penampungan urine yang berkelanjutan pada pasien yang
mengalami dysfungsi bladder. Kateter jenis ini lebih banyak digunakan pada perawatan
pasien akut dibanding jenis lainnya (Newman, 2010).

Menurut Kozier (2010), terdapat 4 jenis kateter berdasarkan bahan yang digunakan, yaitu:
2.1.6.1 Kateter plastik : digunakan sementara karena mudah rusak dan tidak fleksibel.
2.1.6.2 Kateter latex/karet: digunakan untuk penggunaan/pemakaian dalam jangka
waktu singkat (kurang dari 2 atau 3 minggu).
2.1.6.3 Kateter silikon murni/teflon: untuk penggunaan jangka waktu lama 2-3 bulan
karena bahan lebih lentur pada meatus uretra.
2.1.6.4 Kateter PVC (Polyvinylchloride): sangat mahal, untuk penggunaan 4-6 minggu,
bahannya lembut, tidak panas dan nyaman bagi uretra

Menurut Kozier (2010), terdapat 4 jenis kateter berdasarkan bahan yang digunakan, yaitu:
18

2.1.6.3 Kateter plastik : digunakan sementara karena mudah rusak dan tidak fleksibel.
2.1.6.4 Kateter latex/karet: digunakan untuk penggunaan/pemakaian dalam jangka
waktu singkat (kurang dari 2 atau 3 minggu).
2.1.6.5 Kateter silikon murni/teflon: untuk penggunaan jangka waktu lama 2-3 bulan
karena bahan lebih lentur pada meatus uretra.
2.1.6.6 Kateter PVC (Polyvinylchloride): sangat mahal, untuk penggunaan 4-6 minggu,
bahannya lembut, tidak panas dan nyaman bagi uretra.

2.1.7 Perawatan kateter


Perawatan kateter urine indwelling harus diperhatikan agar dapat mencegah terjadinya
bakteriuria. Tindakan asepsis yang ketat diperlukan saat memasang kateter dan
perawatan kateter. Asepsis adalah hilangnya mikroorganisme patogen atau penyebab
penyakit. Teknik asepsis adalah prosedur yang membantu mengurangi resiko terkena
infeksi (Potter & Perry, 2009b). Tindakan mencuci tangan mutlak harus dilakukan
sebelum dan setelah penanganan kateter, selang dan kantong penampung urine (Potter
& Perry, 2009b; Makic et al, 2011)

2.1.8 Tujuan Perawatan Kateter


Tujuan perawatan kateter menurut Temple & Johnson (2010) diantaranya yaitu:
2.1.8.1 Mengurangi kontaminasi bakteri di kandung kemih dan mengurangi infeksi
saluran perkemihan.
2.1.8.1.2 Mempertahankan integritas kulit.

2.1.9 Sop Perawatan Kateter Urine, Univeristas Muhammadiyah Banjarmasin (2013)


2.1.9.1 PRA INTERAKSI
a. Verifikasi Order
b. Siapkan Lingkungan : Jaga Privasi B/P
c. Persiapan Pasien
2.1.9.2 PERSIAPAN ALAT (Bobot 1)
a. Sebuah Nampan bersih Berisi :
1) Waslap atau handuk bersih -2
2) Air Hangat dan sabun
19

3) Losion antiseptik
4) NaCI 0,9 %
5) Perlak/ alas tahan air dan sprei pengangkut
6) Salep antibiotik
7) Sarung Tangan Bersih
8) Sarung Tangan Steril
9) Duk
10) Nampan Ginjal/piala ginjal
11) Plester dan gunting
12) Wadah air hangat dan sabun
13) Kapas bulat/
14) cucing
2.1.9.3 ORIENTASI
a. Beri salam (Assalamualaikum, identifikasi pasien minimal 2 identitas : meminta
pasien menyebutkan Nama / TTL / RMK)
b. Kontrak waktu prosedur
c. Jelaskan tujuan prosedur
d. Memberi klien kesempatan untuk bertanya
e. Meminta persetujuan klien / keluarga
f. Persiapankan peralatan dan perlengkapan yang diperlukan dan Mendekatkan alat
kepasien
2.1.9.4 TAHAP KERJA
a. Baca bismillah
b. Berikan privasi
c. Cuci tangan
d. Atur Posisi Pasien :
Wanita : Posisi telentang dengan lutut ditekuk.
Pria : Posisi telentang
e. Letakan alas tahan air/Perlak dan dibawah pasien bokong klien
f. Selimuti pasien dengan hanya mempaparkan Perineum
g. Pakai Sarung tangan Bersih
20

h. Lepaskan plester penahan agar selang kateter dapat bergerak bebas


i. paparkan Meatus uretra ( dengan tangan yang tidak dominan)
Wanita : lebarkan labia secara perlahan untuk memaparkan Meatus uretra dan
lokasi pemasanganan kateter secara penuh. Pertahankan posisi tangan sepanjang
prosedur.
j. Periksa Meatus uretra dan Jaringan sekitarnya untuk melihat apakah ada Inflamsi,
pembengkakan, dan sekret atau tidak.Perhatikan Jumlah, warna, bau, dan
konseitensi sekret. Tanyakan pasien apakah ia merasakan ada sensasi panas atau
tidak nyaman.
k. Bersihakan area Perineum
l. Bersihkan labia Mayora dengan sabun dan air. Gunakan tangan yang tidak dominan
untuk memisahkan labia dan paha secara perlahan ; dengan tangan yang yang
dominann, Cuci Lipatan -lipatan kulit dan lap dari arah perineum keanus. Ulangi
pada sisi yang lain dengan menggunakan sisi waslap yang lain
m. Lebarkan labia Mayora dengan tangan yang tidak dominan untuk memeparkan
Meatus Uretra dan Orifisium Vagina. Dengan tangan yang dominan, bersihkan
daerah sekitar labia Mayora ,Klitoris, dan orisium vagina secara menyeluruh
dengan sisi lainnya waslap
o. Lepaskan Sarung tangan bersi dan cuci tangan
p. Pakai sarung Tangan Steril
q. Bersihkan kateter dari Meatus Uretra kearah luar sepanjang kurang lebih 3-5 cm
dengan usapan NaCI.
r. Ulangi Langkah (o) dengan kapas usap yang dicelupkan dalam air steril/ NaCI 0,9
%
s. Oleskan salep antibiotik (bila diresepkan) pada Meatus Uretra dan sepanjang 2,5
cm pada kateter dan pada bagian kateter yang direkatkan
t. Posisikan pasien pada posisi aman dan nyaman
u. Lepaskan sarung tangan, buang peralatan yang terkontaminasi dan cuci tangan
v. Catat dan laporkan kondisi perineum, waktu pelaksanaan prosedur, respon pasien
dan keliannan yang ditemukan.
21

2.1.10 Pengkajian
Sebelum kateter urine indwelling dipasang, perlu dilakukan pengkajian status medis
pasien terhadap indikasi pemasangan kateter. Pengkajian juga terhadap status pasien
yang meliputi tingkat kesadaran atau tahap tumbuh kembang, mobilisasi, keterbatasan
fisik, jenis kelamin, usia, dan alergi (Potter & Perry, 2010).

Pasien dengan kateter urine indwelling harus diobservasi untuk mendeteksi adanya
tanda-tanda dan gejala bakteriuria yang berupa urine yang keruh, hematuria, panas,
menggigil, anoreksia dan malaise. Obsevasi daerah sekitar orifisium uretra dilakukan
untuk mengamati drainase dan ekskoriasi. Pemeriksaan kultur urine merupakan cara
yang paling akurat untuk mengkaji kemungkinan infeksi. Warna, bau dan volume urine
juga harus dipantau (Black & Hawks, 2009).

Pengkajian sistem drainase dilakukan untuk memastikan drainase urine adekuat.


Kondisi kateter harus diobservasi untuk memastikan kateter terpasang dan terfiksasi
dengan baik sehingga tidak terjadi penekanan uretra pada sambungan penoskrotal pasien
laki-laki dan tidak menimbulkan tekanan atau regangan pada kandung kemih pasien
laki-laki maupun perempuan. Catatan akurat tentang asupan dan haluaran cairan akan
memberikan informasi tambahan tentang adekuasi fungsi ginjal dan drainase urinearius.
Pola berkemih pasien dikaji untuk mendeteksi faktor predisposisi terjadinya infeksi
saluran kemih. Hal lainnya yang perlu dikaji yaitu pengosongan kandung kemih yang
tidak teratur, personal hygiene dan pengetahuan pasien tentang tindakan pencegahan
infeksi (Black & Hawks, 2009).
2.1.10.5 Pengkajian urine
a. Asupan dan Haluaran Kaji asupan cairan rata-rata klien setiap hari. Ukur
semua sumber asupan cairan, termasuk asupan oral, infus cairan IV,
makanan yang diberikan melalui selang, dan cairan yang dimasukkan ke
dalam selang nasogastrik atau selang gaster. Perubahan volume urine
merupakan indikator perubahan cairan atau penyakit ginjal yang signifikan.
Perawat melaporkan setiap peningkatan/penurunan volume yang ekstrim.
Yang perlu mendapat perhatian adalah apabila haluaran urine perjam kurang
22

dari 30 ml yang berlangsung selama lebih dari 2 jam. Begitu juga apabila
volume urine yang banyak keluar secara terus-menerus (poliuria), yakni
lebih dari 2000 sampai 2500 ml, hal ini harus dilaporkan kepada dokter.
a) Karakteristik Urine
1) Warna
Warna urine normal bervariasi dari warna pucat, agak kekuningan
sampai coklat (seperti warna madu), tergantung pada kepekatan
urine. Urine biasanya lebih pekat pada pagi hari atau pada klien yang
menderita kekurangan volume cairan. Apabila seseorang minum
cairan lebih banyak, urine menjadi lebih encer. Perdarahan dari
ginjal atau ureter menyebabkan warna urine menjadi merah gelap,
perdarahan dari kandung kemih atau uretra menyebabkan warna
urine menjadi merah terang
2) Kejernihan
Urine yang normal tampak transparan saat dikeluarkan. Warna urine
yang ditampung dalam suatu wadah selama beberapa menit akan
menjadi keruh. Urine yang baru dikeluarkan oleh klien yang
menderita penyakit ginjal dapat tampak keruh atau berbusa akibat
tingginya konsentrasi protein. Urine juga tampak pekat dan keruh
akibat adanya bakteri.
3) Bau
Urine memiliki bau yang khas. Semakin pekat warna urine, semakin
kuat baunya. Urine yang dibiarkan dalam jangka waktu lama akan
mengeluarkan bau amonia. Hal ini umum terjadi pada klien yang
secara berulang-ulang mengalami inkontinensia urine.
b. Pemeriksaan harus berfokus pada hal-hal berikut:
1) Program dokter untuk perawatan kateter tertentu (larutan antiseptik atau
salep)
2) Status kandung kemih (distensi mengidentifikasikan penurunan
kepatenan kateter).
23

3) Abnormalitas genitalia (misalnya, pembengkakan, kemerahan,


drainase).
4) Warna, bau, dan jumlah urine.
5) Alergi klien dengan sarung tangan lateks atau terhadap antiseptik
(misalnya, povidon iodin atau betadine).
6) Reaksi emosional klien dan perasaan yang berhubungan dengan kateter
dan perawatannya. (Temple & Johnson, 2010)

2.2 Konsep Infeksi Saluran Kemih


2.2.1 Pengertian Infeksi Saluran Kemih
Infeksi Saluran Kemih merupakan masalah yang sering ditemukan, terhitung 6 sampai
7 juta kunjungan klinik setiap tahun. Mayoritas kasus didominasi oleh wanita. dengan
berkembang biaknya mikroorganisme didalam saluran kemih, yang dalam keadaan
normal tidak mengandung bakteri, virus atau mikroorganisme lainnya.

Infeksi saluran kemih (ISK) adalah suatu keadaan dimana kuman atau mikroba tumbuh
dan berkembang biak dalam saluran kemih dalam jumlah bermakna (IDAI, 2011).
Istilah ISK umum digunakan untuk menandakan adanya invasi mikroorganisme pada
saluran kemih (Haryono, 2012). ISK merupakan penyakit dengan kondisi dimana
terdapat mikroorganisme dalam urin yang jumlahnya sangat banyak dan mampu
menimbulkan infeksi pada saluran kemih (Dipiro dkk, 2011).

(ISK) adalah keadaan adanya infeksi yang ditandai dengan pertumbuhan dan
perkembangbiakan bakteri dalam saluran kemih, meliputi infeksi parenkim ginjal
sampai kandung kemih dengan jumlah bakteriuria yang bermakna (Soegijanto, 2010).

(ISK) adalah infeksi akibat berkembang biaknya mikroorganisme di dalam saluran


kemih, yang dalam keadaan normal air kemih tidak mengandung bakteri, virus atau
mikroorganisme lain. Infeksi saluran kemih dapat terjadibaik di pria maupun wanita dari
semua umur, dan dari kedua jenis kelamin ternyata wanita lebih sering menderita
daripada pria (Sudoyo Aru,dkk 2013).
24

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa perawatan kateter adalah (ISK) Infeksi
Saluran kemih adalah suatu keadaan dimana kuman atau mikroba atau bakteri tumbuh
dan berkembang biak dalam saluran kemih, yang dalam keadaan normal air kemih tidak
mengandung bakteri, virus atau mikroorganisme lain

2.2.2 Etiologi Infeksi Saluran Kemih


Infeksi Saluran Kemih disebabkan olteh mikroorganisme patogenik antara lain
Escherichia coli, Klebsiella, Proteus, Pseudomonas, Enterobacter, Providencia,
Serratia, Streptococcus dan Staphylococcus (Toto Suharto & Abdul Majid, 2009).
Faktor resiko yang umum pada ISK adalah :
2.2.2.1 Ketidakmampuan kandung kemih untuk mengosongkan isinya secara sempurna
2.2.2.2 Penurunan daya tahan tubuh
2.2.2.3 Peralatan yang dipasangkan pada saluran perkemihan seperti kateter dan
prosedur sistokopi

2.2.3 Manisfestasi Klinis Infeksi Saluran Kemih


Tanda gejala berhubungan dengan ISK bervariasi. Separuh dari klien yang adanya
bakteri dalam urin (bakteriuria) tidak menunjukan adanya gejala (asimtomatik). (Toto
Suharto & Abdul Majid, 2009 )
Gejala yang sering ditemukan pada ISK adalah :
2.2.3.1 Nyeri dan rasa panas ketika berkemih (disuria), polakisuria, dan terdesak ingin
berkemih (asimtomatik)
2.2.3.2 Stranguria ( sulit berkemih dan disertai kejang otot pinggang)
2.2.3.3 Tenesmus (rasa nyeri dengan keinginan untuk mengosongkan kandung kemih
meskipun telah kosong)
2.2.3.4 Nokturia (kecenderungan sering buang air kecil pada malam hari)
2.2.3.5 Prostatismus (kesulitan memulai berkemih)
25

2.2.4 Faktor Penyebab Infeksi Saluran Kemih


Beberapa penelitian menunjukkan adanya faktor-faktor yang dapat menyebabkan
terjadinya ISK seperti umur, jenis kelamin, berbaring lama, penggunaan obat
immunosupresan dan steroid, pemasangan katerisasi, kebiasaan menahan kemih,
kebersihan genitalia, dan faktor predisposisi lain (Sholihah, 2017)

2.2.5 Pemeriksaan diagnostik Infeksi Saluran Kemih


Infeksi saluran kemih dapat diketahui dengan beberapa gejala seperti demam, susah
buang air kecil, nyeri setelah buang air besar (disuria terminal), sering buang air kecil,
kadang-kadang merasa panas ketika berkemih, nyeri pinggang dan nyeri suprapubik
(Kemkes RI , 2011).

Dikatakan ISK jika terdapat kultur urin positif ≥100.000 CFU/mL. Ditemukannya
positif (dipstick) leukosit esterase adalah 64 - 90%. Positif nitrit pada dipstick urin,
menunjukkan konversi nitrat menjadi nitrit oleh bakteri gram negatif tertentu (tidak
gram positif), sangat spesifik sekitar 50% untuk infeksi saluran kemih. Temuan sel darah
putih (leukosit) dalam urin (piuria) adalah indikator yang paling dapat diandalkan
infeksi (> 10 WBC / hpf pada spesimen berputar) adalah 95% sensitif tapi jauh kurang
spesifik untuk ISK. Secara umum, > 100.000 koloni/mL pada kultur urin dianggap
diagnostik untuk ISK (M.Grabe dkk, 2015).

Penegakan diagnosis ISK selain dengan manifestasi klinis juga diperlukan pemeriksaan
penunjang seperti analisis urin rutin, pemeriksaan mikroskop urin segar tanpa sentrifus,
kultur urin juga jumlah kuman CFU/ml.1 Cara pengambilan urin juga perlu diperhatikan
agar terhindar dari kontaminasi bakteri yang berada di kulit vagina atau preputium.
26

2.2.5.1 Pemeriksaan Urine


Untuk mendiagnosis ISK dapat memakai analisa urine rutin, pemeriksaan
mikroskopis urine segar, kultur urine serta jumlah bakteri/mL urine. Standart
baku untuk penegakan diagnosis ISK adalah kultur urine.

Pemeriksaan rutin adalah pemeriksaan penyaring, yaitu beberapa macam,


pemeriksaan yang dianggap sebagai dasar bagi pemeriksaan selanjutnya dan
yang menyertai pemeriksaan badan tanpa pendapat khusus (Gandasoebrata,
2013).

Pemeriksaan rutin mencakup pemeriksaan :


a. fisik/ maksroskopik, seperti warna, kejernihan dan berat jenis;
b. kimia, meliputi glukosa, protein, bilirubin, urobilinogen, 14 pH, darah, keton,
nitrit, dan leukosit esterase; dan
c. mikroskopis struktur dalam sedimen.

Sampel yang digunakan untuk urinalisis rutin setidaknya harus 15 mL


(Riswanto, dan Rizki, 2015)
a. Pemeriksaan fisik/ maksroskopik Pemeriksaan fisik urine meliputi penentuan
warna, kejernihan, bau dan berat jenis. Pemeriksaan ini memberikan
informasi awal mengenai gangguan seperti perdarahan gromerulus, penyakit
hati, gangguan metabolisme bawan dan infeksi saluran kemih (ISK)
b. Pemeriksaan kimia Pemeriksaan kimia urine memberikan informasi
mengenai ginjal dan fungsi hati, metabolisme karbohidrat, dan asam-basa.
Test kimia konvensional dilakukan menggunakan tabung reaksi dan hasil
ujinya dengan mengamati adanya endapan atau kekeruhan atau perubahan
warna setelah penambahan bahan kimia cair dengan atau tanpa pemanasan.
Tes yang paling umum diigunakan sekarang ini adalah test carik celup
menggunakan strip reagen, dimana reagen ini tersedia dalam bentuk kering
siap pakai, relatif stabil, murah, volume urine yang dibutuhkan sedikit, serta
tidak memerlukan persiapan reagen (Riswanto, dan Rizki, 2015).
27

c. Pemeriksaan sedimen Pemeriksaan mikroskopis dari sedimen urine adalah


bagian yang paling standar dan paling memakan waktu dari urinalisis rutin.

Pemeriksaan mikroskopis membutuhkan banyak penanganan dalam


mempersiapkan sampel dan melakukan analisis sedimen. Nilai dari pemeriksaan
mikroskopis tergantung pada dua faktor utama, yaitu pemeriksaan spesimen
yang sesuai, dan pengetahuan dari orang yang melakukan pemeriksaan
(Riswanto, dan Rizki, 2015).

Metode pemeriksaan kimia Dalam pemeriksaan zat terlarut dalam urine, bisa
dilakukan dengan dua metode. Yaitu metode kimia basah dan carik celup.
a. Kimia basah Pemeriksaan kimia basah meliputi pemeriksaan glukosa dan zat
pereduksi lain (galaktosa, laktosa, pentosa, fruktosa, dan maltosa), protein
(termasuk protein Bence Jones, dan mikroalbumin), bilirubin, urobilinogen
dan benda keton. Volume sampel yang dibutuhkan lebih besar daripada
pemeriksaan yang menggunakan strip reagen. (Riswanto, dan Rizki, 2015)
b. Carik celup (Strip) Tes kimia dengan metode strip reagen saat ini begitu
sederhana, cepat, dan hemat biaya (dalam hal reagen, personel) dengan
sensitivitas dan spesifitas yang tinggi dan tidak memerlukan urine dalam
jumlah yang besar untuk pengujian. Reaksi yang terlibat dalam uji strip
sebagian besar berdasarkan pada prinsip prinsip yang sama seperti pada
pemeriksaan kimia basah (Brunzel, 2013).

Reaksi diinterpretasikan dengan membandingkan warna yang dihasilkan pada


strip reagen dengan bagan warna yang disediakan oleh produsen. Kuat/lemahnya
warna yang dihasilkan berhubungan dengan konsentrasi zat dalam urine.
Tergantung pada tes yang dilakukan, hasilnya dilaporkan sebagai
1) konsentrasi (miligram per desiliter);
2) kecil/sedikit/trace, sedang, atau besar;
3) menggunakan sistem plus (1+, 2+, 3+, 4+); atau
28

4) positif, negatif, atau normal. Berat jenis dan pH adalah pengecualian, hasilnya
dilaporkan dalam satuan masing-masing (Strasinger dan Lorenzo, 2008).

Menurut panduan dari CLSI, pemeriksaan kimia rutin untuk urine mencakup
pemeriksaan glukosa, protein (albumin), bilirubin, urobilinogen, pH, berat jenis,
darah/ hemoglobin, benda keton (asam asetoasetat dan/atau aseton), nitrit, dan
leukosit esterase.
1) Glukosa Metode strip reagen dinilai lebih bagus dibandingkan uji kimia basah
tradisional karena lebih spesifik untuk glukosa dan waktu pengujian relatif
singkat. Strip reagen untuk glukosa dilekati dua enzim, yaitu glukosa oksidase
dan peroksidase, serta zat warna (kromogen), seperti orto-tuluidin, kalium
iodida, tetrametilbensidin atau 4- aminoantipirin. Perubahan warna yang
terjadi tergantung pada kromogen yang digunakan dalam reaksi. Hasil tes
positif harus dikaitkan dengan temuan yang lain, seperti berat jenis, keton dan
albumin. Namun yang lebih 17 penting, korelasi harus dilakukan dengan
kadar glukosa darah serta riwayat penyakit, riwayat keluarga dan gambaran
klinis (Riswanto,2015).
2) Protein Metode yang digunakan dalam strip reagen untuk deteksi protein
adalah kolorimetri. Indikator yang digunakan pada berbagai strip reagen dan
perubahan warna yang dihasilkan dapat berbeda tergantung produsen strip
reagen ( Mundt dan Shanahan, 2011).
3) Bilirubin Pemeriksaan rutin terhadap bilirubin urin dalam strip reagen
menggunakan reaksi diazo. Bilirubin bereaksi dengan garam diazoniu dalam
suasana asam menghasilkan azodye, dengan warna mulai dari coklat atau
merah. Reaksi warna strip reagen untuk bilirubin lebih sulit diinterpretasikan
daripada reaksi strip reagen untuk analit lainnya dan mudah dipengaruhi oleh
pigmen lain yang ada dalam urine (Riswanto,2015).
4) Urobilinogen Tes skrining urobilinogen didasarkan pada reaksi aldehid
Erlich, dimana urobilinogen beraksi dengan senyawa diazonium (p-
dimethylaminobenzaldehyde) dalam suasana asam membentuk warna merah
29

azo. Namun, adanya bilirubin dapat 18 mengganggu pemeriksaan karena


membentuk warna hijau (Mundt dan Sahanahan, 2011).
5) pH kebanyakan merk strip reagen menggunakan dua macam indikator
(indikator ganda), yaitu metil merah dan bromtimotil biru, dan bereaksi
dengan ion H+ memberikan warna jingga, hijau, dan biru seiring dengan
peningkatan pH. Strip reagen mengukur rentang pH 5,0 sampai 9,0 dengan
estimasi pengukuran 0,5 sampai 1, tergantung produsen strip reagen
(Riswanto, dan Rizki, 2015).
6) Berat jenis Penetapan berat jenis urin menggunakan strip reagen lebih praktis,
cepat, dan tepat daripada metode konvensional. Strip mengandung tiga bahan
utama, yaitu polielektrolit, substansi indkator dan buffer. Pembacaan
dilakukan dalam interval 0,005 dari berat jenis 1,000 sampai 1,030. Urine
yang mengandung glukosa atau urea tinggi menyebabkan berat jenis
cenderung tinggi dan protein sedang atau ketoasidosis dapat menyebabkan
berat jenis cenderung rendah (Riswanto, dan Rizki, 2015).
7) Darah Pemeriksaan dengan strip reagen mendeteksi eritrosit, hemoglobin
bebas, maupun mioglobin, namun reaksi sensitif terhadap hemoglobin dan
mioglobin daripada eritrosit. Pad reagen diresapi dengan kromogen
tetrametilbenzidin dan peroksida. Adanya eritrosit utuh akan memberikan
reaksi berupa bintik – bintik hijau, sedangkan hemoglobin bebas dan
mioglobin akan memberikan warna hijau atau hijau- biru tua (Mundt dan
Shanahan, 2011).
8) Keton Strip reagen berisi sodium nitroprusid (nitroferisianida) dan buffer basa
yang bereaksi dengan keton urine membentuk warna ungu atau merah marum.
Sampel urine untuk pemeriksaan benda keton adalah urine acak atau sewaktu.
Hasil pemeriksaan keton dilaporkan secara kualitatif (negatif, 1+, 2+, 3+) atau
semikuantitatif (negatif, 5, 15, 40, 80, 160 mg/dL) (Riswanto, dan Rizki,
2015).
9) Nitrit Dasar tes kimia nitrit adalah kemampuan bakteri tertentu untuk
mereduksi nitrat (NO3) menjadi nitrit (NO2). Nitrit terdeteksi oleh reaksi
Greiss, dimana nitrit pada pH asam bereaksi dengan amina aromatik (asam
30

p-arsanilat atau sulfanilamide) membentuk senyawa diazonium yang


kemudian bereaksi dengan tetrahidrobenzoquinolin menghasilkan warna
azo yang merah muda (Strasinger dan Lorenzo, 2008).
Spesimen yang baik untuk pemeriksaan nitrit adalah urine pagi pertama
(McPherson dan Pincus, 2011).
10) Leukosit Uji strip reagen mendeteksi esterase leukosit yang ditemukan
dalam granula azurofilik leukosit granulositik (neutrofil, eosinofil dan
basofil ), serta monosit dan makrofag. Prinsipnya adalah aksi esterase
leukosit memecah ester yang diresapkan dalam pad reagen membentuk
senyawa aromatik. Segera setelah hidrolisis ester, reaksi azocoupling terjadi
antara senyawa aromatik yang dihasilkan dan garam azodium yang
disediakan dalam pad tes menghasilkan warna azo dari krem sampai ungu
(Riswanto, dan Rizki, 2015).

Urine analyzer Urine analyzer merupakan alat laboratorium yang berfungsi


untuk membantu analisis sampel urine dari pasien, yang dibutuhkan dokter
dalam proses diagnosis. Pemeriksaan kimia urine dan pemeriksaaan endapan
urine merupakan pemeriksaan urine rutin yang befungsi untuk membantu
diagnosis dari suatu penyakit yang ada dalam tubuh. Pemeriksaan endapan pada
dasarnya adalah memeriksa kandungan endapan yang ada pada urine, sedangkan
pemeriksaan kimia urine adalah pemeriksaan berdasarkan reaksi biokimia antara
dengan bahan- bahan kimia.

Pemeriksaan kimia urine dapat dilakukan dengan menggunakan urinetest strips.


Pada setiap strip, terkandung bahan kimia yang berbeda- beda, dimana
perubahan warna pada setiap strip akan mengindikasikan ada atau tidaknya
bahan kimia tertentu dalam urine. Alat yang dapat membantu menganalisis atau
membantu pembacaan hasil urine test strips adalah urine chemistry analyzer.
Urine chemistry analyzer dapat digunakan untuk menganalisis berat jenis urine,
pH, leukosit, nitrit, protein, glukosa, keton, urobilinogen, bilirubin, dan eritrosit
yang terkandung dalam urine.
31

Pengukuran alat ini dapat diset menggunakan satuan konvensional maupun


satuan internasional. Pada urine chemistry analyzer terdapat memori yang
digunakan untuk menyimpan sementara hasil analisis dan thermal printer yang
digunakan untuk mencetak hasil analisis. Prinsip kerja dari urine chemistry
analyzer adalah reflectance photometry (pengukuran pantulan cahaya) dimana
alat mengukur intensitas cahaya dari pantulan sinar pada setiap bagian urine test
strips yang disinari oleh sinar LED dengan panjang gelombang yang sudah
ditentukan. Sebuah LED memancarkan sinar dengan panjang gelombang yang
telah ditentukan ke permukaan test pad dengan susut maksimum, sehingga
permukaan dari setiap bagian urine test strips tersinari oleh LED. Sinar yang
terpantul dari urine test strips akan diterima oleh detektor.

Waktu pemeriksaan dari mulai mencelupkan urine test strips 22 hingga selesai
mencetak adalah 55- 65 detik. Sinyal analog yang diterima oleh detektor akan
dikirim ke ADC (Analog to Digital Converter) untuk diubah menjadi sinyal
digital agar bisa diproses oleh mikroprosesor. Pada mikroprosesor, data hasil
pembacaan setiap dari urine test strips akan dikonversi menjadi nilai reflektansi
relatif yang mengacu pada standar kalibrasi. Hasil pengolahan mikroprosesor
akan disimpan dalam memori, dikirim ke komputer atau langsung dicetak
(Noviyanto, 2013).

Analisis darah dalam urine Setiap jumlah eritrosit yang lebih dari 5 sel per
mikroliter urine dianggap bermakna secara klinis, maka pemeriksaan visual
terhadap warna tidak dapat diandalkan untuk mendeteksi keberadaan darah.
Pemeriksaan mikrsokopis dari sedimen urine menunjukan eritrosit utuh (intact),
namun hemoglobin bebas yang dihasilkan baik oleh gangguan hemolitik atau
lisisnya eritrosit tidak terdeteksi (Riswanto, dan Rizki, 2015).

Pemeriksaan dengan strip reagen (dipstik) mendeteksi eritrosit, hemoglobin


bebas, maupun mioglobin, namun reaksi lebih sensitif terhadap hemoglobin dan
32

mioglobin daripada eritrosit. Prinsip pemeriksaan darah dalam urine adalah


dengan menggunakan pseudoperoksidase dari hemoglobin untuk mempercepat
reaksi antara hidrogen peroksidase dan kromogen tetramethylbenzidine untuk
menghasilkan kromogen teroksidasi yang berwarna hijau kebiruan (Mundt dan
Shanahan, 2011).

Eritrosit yang utuh dipecah menjadi hemoglobin dengan adanya aktivitas


peroksidase. Hasil pemeriksaan dinyatakan dalam samar-samar , +1, +2, dan +3
(Strasinger dan Lorenzo, 2008). Prinsip reaksi pemeriksaan darah dalam urine
ditunjukan pada Gambar 1. hemoglobin H₂O₂ + kromogen kromogen teroksidasi
+ H₂O peroksidase Gambar 1.

Prinsip reaksi pemeriksaan darah dalam urine Reaksi biasanya dibaca 60 detik,
dan perubahan warna yang terjadi dari oranye menjadi hijau sampai biru tua.
Ada dua skala warna terpisah untuk eritrosit dan hemoglobin. Eritrosit utuh
mungkin menunjukaan reaksi pola skepel atau bintik-bintik dengan tidak adanya
hemoglobin bebas. Hasilnya dapat dilaporkan sebagai negatif, trace, kecil,
sedang atau besar, atau menggunakan sistem plus (1+, 2+, 3+) sesuai dengan
grafik warna yang disediakan produsen (Mundt dan Shanahan, 2011).

Strip reagen dapat mendeteksi konsentrasi sedikitnya lima eritrosit per mikroliter
urine, namun harus berhati-hati ketika membandingkan sensitivitas hemoglobin
dengan eritrosit, diasumsikan bahwa sekitar 30 pikogram hemoglobin
terkandung dalam setiap eritrosit, sehingga 10 24 eritrosit yang lisis setara
dengan sekitar 0,03 mg/dL hemoglobin (Riswanto, dan Rizki, 2015).

2.2.6 Penatalaksanaan Infeksi Saluran Kemih


Pengobatan ISK bertujuan untuk membebaskan saluran kemih dari bakteri dan
mencegah atau mengendalikan infeksi berulang. Ada beberapa metode pengobatan ISK
yang lazim dipakai. (Toto Suharto & Abdul Majid, 2009 )
2.2.6.1 Pengobatan dosis tunggal, yaitu obat yang diberikan satu kali.
33

2.2.6.2 Pengobatan jangka pendek, yaitu 1-2 minggu.


2.2.6.3 Pengobatan jangka panjang, yaitu 3-4 minggu.
2.2.6.4 Pengobatan profilaktik, yaitu 1 kali sehari dalam waktu 3-6 bulan.
Dalam pendekatan klinis pengobatan ISK, pemilihan antibiotik adalah penting.
Antibiotik yang sering digunakan adalah aspisilin, trimetropim-
silfametoksasol, kloramfenikol, sefotaksim, amikasin.

2.2.7 Pencegahan Infeksi Saluran Kemih


Pencegahan Upaya pencegahan ISK akibat kateterisasi difokuskan pada teknik
pemasangan kateter yang baik dan indikasi yang tepat. Pemasangan kateter harus
dilakukan oleh petugas medis yang sudah terlatih dan menggunakan teknik aseptik yang
direkomendasikan, memakai peralatan steril. ISK akibat kateterisasi juga sering
disebabkan oleh pemasangan kateter indwelling (jangka lama) yang berlebihan atau
tidak tepat seperti pada pasien inkontinensia urin tanpa indikasi pemasangan kateter,
untuk kenyamanan pasien, atas permintaan pasien atau untuk pengawasan jumlah urin
pasien tidak kritis.

Kateter indwelling segera dilepas jika sudah tidak ada indikasi lagi. Sebagai alternative
dapat digunakan kateter intermittent atau kateter suprapubis dengan risiko ISK akibat
kateterisasi lebih kecil.12 Upaya pencegahan lain juga harus diperhatikan seperti
perawatan meatus uretra, pengambilan specimen urin yang tepat, saat penggantian
kateter yang tepat dan juga edukasi pada pasien dan keluarganya. Antibiotik profi laksis
belum direkomendasikan. Antimikrobial topikal pada permukaan kateter juga tidak
signifikan menurunkan ISK akibat kateterisasi (CAUTI,
2012).
34

2.3 Hubungan Perawatan Kateter dengan Kejadian Infeksi Saluran Kemih


Infeksi saluran kemih (ISK) adalah suatu keadaan dimana kuman atau mikroba tumbuh dan
berkembang biak dalam saluran kemih dalam jumlah bermakna (IDAI, 2011). Istilah ISK
umum digunakan untuk menandakan adanya invasi mikroorganisme pada saluran kemih
(Haryono, 2012). ISK merupakan penyakit dengan kondisi dimana terdapat mikroorganisme
dalam urin yang jumlahnya sangat banyak dan mampu menimbulkan infeksi pada saluran
kemih (Dipiro dkk, 2011).

Berbagai jenis orgnisme dapat menyebabkan ISK. Escherichia coli (80% kasus) dan organism
enterik garam-negatif lainny merupakan organisme yang paling sering menyebabkan ISK :
kuman-kuman ini biasanya ditemukan di daerah anus dan perineum. Organisme lain yag
menyebabkan ISK antara lain Proteus, Pseudomonas, Klebsiella, Staphylococcus aureus,
Haemophilus, dan Staphylococcus koagulsenegatif. Beberapa faktor menyebabkan
munculnya ISK di masa kanak-kanak (Wong, 2012)

Salah satu upaya untuk menekan angka kejadian infeksi nosokomial saluran kemih adalah
dengan melakukan perawatan dower kateter dengan kualitas yang baik sesuai dengan standar
operasinal perawatan kateter dan prosedur pencegahan infeksi. Untuk itulah penulis tertarik
melakukan penelitian tentang Studi Literatur Efektifitas Perawatan Kateter Terhadap
Kejadian Resiko Infeksi Saluran Kemih Pada Pasien Penyakit Dalam Wanita

2.4 Kerangka Konsep


Berdasarkan landasan teori diatas, maka dapat disusun kerangka konsep penelitian sebagai
berikut:
Variabel bebas Variabel
Kejadian Infeksiterikat
Saluran
Pelaksanaan Perawatan
Kemih Pada Pasien
Kateter
Keterangan : Penyakit Dalam

Variabel diteliti :
Berpengaruh :
35

2.5 Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah Pelaksanaan Perawatan Kateter Efektif Terhadap Penurunan
Kejadian Resiko Infeksi Saluran Kemih Pada Pasien Penyakit Dalam Wanita

Anda mungkin juga menyukai