Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN

GANGGUAN ELEMINASI URINE

NAUVAL LANDIS IQBAL

J230181024

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2018
I. PENGERTIAN
Eleminasi merupakan proses pembuangan sisa-sisa metabolisme
tubuh. Pembuangan dapat melalui urine ataupun bawel. Eliminasi
urine normalnya adlah pengeluaran cairan. Proses pengeluaran ini
sangat bergantung pada fungsi-fungsi organ eleminasi urine seperti
ginjal, ureter, bladder, dan uretra. Ginjal memindahkan air dari darah
dalam bentuk urine. Ureter mengalirkan urine ke bladder. Bladder
ditampung sampai mencapai batas tertentu yang kemudian
dikeluarkan melalui uretra (Tarwoto dan Hartonah, 2006).

II. ANATOMI FISIOLOGI


Eliminasi urine tergantung kepada fungsi ginjal, ureter, kandung
kemih, dan uretra. Semua organ sistem perkemihan harus utuh dan
berfungsi dengan baik, supaya urine berhasil di keluarkan dengan baik
(Potter & Perry, 2005).
1. Ginjal
Ginjal adalah organ berbentuk kacang berwarna merah tua,
panjang 12,5 cm dan tebalnya 2,5 cm. Beratnya kurang lebih 125
sampai 175 gram pada laki-laki dan 115-155 gram pada wanita.
Ginjal terletak pada bagia belakang rongga abdomen bagian atas
setinggi vertebrata thorakal 11 dan 12, ginjal dilindungi oleh otot-
otot abdomen, jaringan lemak atau kapsul adiposa.
Nefron merupakan unut struktural dan fungsional ginjal. 1
ginjal mengandung 1 sampai 4 juta nefron yang merupakan unit
pembentuk urine. Proses filtrasi, absorbsi dan sekresi dilakukan di
nefron. Filtrasi terjadi di glomerulus yang merupakan yang
merupakan gulungan kapiler dan dikelilingi kapsul epitel
berdinding ganda yang disebut kapsul bowman.
Fungsi utama ginjal adalah mengeluarkan sisa nitrogen, toksin,
ion dan obat-obatan, mengatur jumlah dan zat-zat kimia dalam
tubuh, mempertahankan keseimbangan antara air dan garam-garam
serta asam dan basa, menghasilkan renin, enzim untuk membantu
pengaturan tekanan darah, menghasilkan hormon Universitas
Sumatera Utara 4 eritropoitin yang menstimulasi pembentukan sel-
sel darah merah di sum-sum tulang dan membantu dalam
pembentukan vitamin D.
2. Ureter
Setelah urine terbentuk kemudian akan di alirkan ke pelvis
ginjal lalu ke bladder melalui ureter. Panjang ureter pada orang
dewasa antara 26 sampai 30 cm dengan diameter 4 sampai 6 mm.
Setelah meninggalkan ginjal, ureter berjalan ke bawah dibelakang
peritoneum ke dinding bagian belakang kandung kemih. Lapisan
tengah ureter terdiri atas otot-otot yang di stimulasi oleh transmisi
impuls elektrik berasal dari saraf otonom. Akibat gerakan
peristaltik ureter maka urine di dorong ke kandung kemih.
3. Kandung kemih
Kandung kemih merupakan tempat penampungan urine,
terletak di dasar panggul pada daerah retroperitoneladan terdiri atas
otot-otot yang dapat mengecil. Kandung kemih terdiri atas dua
bagian fundus atau body yang merupakan otot lingkar, tersusun
dari otot detrusor danbagian leher yang berhubungan langsung
dengan uretra. Pada leher kandung kemih terdapat spinter interna.
Spinter ini di kontrol oleh sistem saraf otonom. Kandung kemih
dapat menampug 300 sampai 400 ml urine.
4. Uretra
Merupakan saluran pembuangan urine yang langsung keluar
dari tubuh. Kontrol pengeluaran urine terjadi karena adanya spinter
kedua yaitu spinter eksterna yang dapat di kontrol oleh kesadaran
kita. Panjang uretra wanita lebih pendek yaitu 3,7 cm sedangkan
pria 20 cm. Sehingga pada wanita lebih sering beresiko terjadinya
infeksi saluran kemih (Hidayat, 2006).

III. NILAI-NILAI NORMAL


Jumlah urine normal rata-rata sebanyak 1 sampa 2 liter sehari,
tetapi berbeda-beda sesuai jumlah cairan yang dimasukkan.
Banyaknya bertambah pula bila terlampau banyak protein yang
dimakan, sehingga tersedia cukup cairan yang diperlukan untuk
melarutkan urea. Urin normal berwarna bening orange pucat tanpa
endapan, baunya tajam, reaksinya sedikit asam terhadap lakmus
dengan pH rata-rata 6, berat jenisnya berkisar dari 1,010 sampai 1,025
(Pearce, 2009).

IV. JENIS KELAINAN GANGGUAN


1. Retensi urine
Retensi urine merupakan penumpukan urine dalam kandung kemih
akibat ketidakmampuan kandung kemih untuk mengkosongkan
kandung kemih. Hal ini menyebabkan distensi vesika urinaria atau
merupakan keadaan ketika seseorang mengalami pengosongan
kandung kemih yang tidak lengkap. Dalam keadaan distensi,
vesika urinaria dapat menampung urine sebanyak 3000-4000 ml
urine.
2. Inkontinensia urine
Inkontinensia urine merupakan ketiakmampuan otot sphinter
ekaternal sementara atau menetap untuk mengontrol urine. Secara
umum, penyebab dari inkontinensia urine adalah proses penuaan
(aging proses), pembesaran kelenjar prostat, serta penurunan
kesadaran, serta penggunaan obat narkotika dan sedatif.
3. Enuresis
Enuresis merupakan ketidaksanggupan menahan kemih
(mengompol) yang diakibatkan tidak mampu mengontrol sphincter
eksterna. Biasanya, enuresis terjadi pada anak atau jompo.
Umumnya, enuresis terjadi pada malam hari (nocturnal enuresis).
4. Perubahan pola eliminasi urine
Perubahan pola eleminasi urine merupakan keadaan seseorang
yang mengalami gangguan pada elemisasi urine karena obstruksi
anatomis, kerusakan motorik sensorik, dan infeksi saluran kemih.
Perubahan pola eleminasi terdiri atas :
a. Frekuensi
Frekuensi merupakan banyaknya jumlah berkemih dalam
sehari. Peningkatan frekuensi berkemih dikarenakan
meningkatnya jumlah cairan yang masuk. Frekuensi yang
tinggi tanpa suatu tekanan asupan cairan dapat disebabkan oleh
sistitis. Frekuensi tinggi dapat ditemukan juga pada keadaan
stres atau hamil.
b. Urgensi
Urgensi adalah perasaan seseorang yang takut mengalami
inkonttinensia jika tidak berkemih. Pada umumnya, anak kecil
memiliki kemapuan yang buruk dlam mengontrol pada
sphincter.
c. Disuria
Disuria adalah rasa sakit dan kesulitan dalam berkemih. Hal ini
sering ditemukan pada penyakit infeksi saluran kemih, trauma,
dan striktur uretra.
d. Poliuria
Poliuria merupakan produksi urine abnormal dalam jumlah
besar oleh ginjal, tanpa adanya peningkatan asupan cairan.
Biasanya, hal ini dapat ditemukan pada penyakit diabetes
melitus dan penyakit ginjal kronis.
e. Urinaria supresi
Urinaria supresi adalah berhentinya produksi urine secara
mendadak. Secara normal, urine diproduksi oleh ginjal pada
kecepatan 60-120 ml/jam secara terus-menerus (Ardhiyanti,
2014).

V. PATOFISIOLOGIS DAN PATHWAYS


Gangguan pada eleminasi sangat beragam seperti yang telah
dijelaskan diatas. Masing-masing gangguan tersebut disebabkan oleh
etiologi yang berbeda. Pada pasiendengan usia tua, trauma yang
menyebabkan ceera medulla spinal, akan menyebabkan gangguan
dalam mengontrol urin/inkontinensia urin. Gangguan traumatik pada
tulang belakang bisa mengakibatkan kerusakan pada medulla spinalis.
Lesi traumatik pada medula spinalis tidak selalu terjadi bersama-sama
dengan adanya fraktur atau dislokasi. Tanpa kerusakan yang nyata
pada tulang belakang, efek traumatiknya bisa mengakibakan efek
yang nyata di medula spinalis. Cedera medula spinalis (CMS)
merupakan salah satu penyebab gangguan fungsi saraf termasuk pada
persyarafan berkemah dan defekasi.
Komplikasi cedera spinal dapat menyebabkan syok neurogenik
dikaitkan dengan cedera medula spinalis yang umumnyadikaitkan
sebagai syok spinal. Syok spinal merupakan depresi tiba-tiba aktivitas
refleks pada medula spinalis (areflexia) di bawah tingkat lesi menjadi
paralisis komplet dan fleksid, dan reflek-refleknya tidak ada. Hal ini
mempengaruhi reflek yang merangsang fungsi berkemih dan defekasi.
Distensi usus dan ileus paralitik disebabkan oleh depresi reflek yang
dapat diatasi dengan dekompresi usus (Brunner & Suddarth, 2002).
Hal ini senada disampaikan Sjamsuhidajat (2004), pada syok spinal
terdapat tanda gangguan fungsi autonom berupa kulit kering karena
tidak berkeringat dan hipotensi ortostatik serta gangguan fungsi
kandung kemih dan gangguan defekasi.
Proses berkemih melibatkan 2 proses yang berbeda yaitu pengisian
dan penyimpanan urine dan pengosongan kandung kemih. Hal ini
saling berlawanan dan bergantian secara normal. Aktivitas otot-otot
kandung kemih dalam hal penyimpanan dan pengeluaran urin
dikontrol oleh sistem saraf otonom dan somatik. Selama fase
pengisian, pengaruh sistem saraf simpatis terhadap kandung kemih
menjadi bertekanan rendah dengan meningkatkan resistensi saluran
kemih. Penyimpanan urin dikoordinasikan oleh hambatan sistem
simpatis dari aktivitas kontraktril otot detrusor yang dikaitkan dengan
peningkatan tekanan otot dari leher kandung kemih dan proksimal
uretra.
Pengeluaran urine secara normal timbul akibat dari kontraksi yang
simultan otot detrusor dan relaksasi saluran kemih. Hal ini
dipengaruhi oleh sistem saraf parasimpatik yang memppunyai
neurotransmiter utama yaitu asetilkholin, suatu agen kolinergik.
Selama fase pengisian, impuls afferen ditransmisikan ke saraf sensoris
pada ujung ganglion dorsal spinal sakral segmen 2-4 dan informasikan
ke batang otak. Impuls saraf dari batang otak menghambat aliran
parasimpatis dari pusat kemih sakral spinal. Selama fase pengosongan
kandung kemih, hambatan pada aliran parasimpatis sakral dihentikan
dan timbul kontraksi otot detrusor.
Hambatan aliran simpatis pada kandung kemih menimbulkan
relaksasi pada otot uretra trigonal dan proksimal. Impuls berjalan
sepanjang nervus pudendus untuk merelaksasikan oto halus dan skelet
dari sphincter eksterna. Hasilnya keluarnya urine dengan resistensi
saluran yang minimal.pasien post operasi dan post partum merupakan
bagian yang terbanyak menyebabkan retensi akut. Fenomena ini
terjadi akibat dari trauma kandung kemih an edema sekunder akibat
tindakan pembedahan atau obstetri, epidural anestesi, obat-obat
narkotik, peregangan atau trauma saraf pelvik, hematoma pelvik, nyeri
insisi episiotomi atau abdominal, khususnya pada pasien yang
mengosongkan kandung kemihnya dengan manuver valsalva. Retensi
urine pos operasi biasanya membaik sejalan dengan waktu dan
drainase kandung kemih yang adekuat.
Pathways

Trauma tulang Operasi pada Adanya bekuan BPH, karsinoma


belakang abdomen bawah darah/batu prostat, striktur
uretra, trauma uretra

Terdapat efek
Luka pada medula
anestesi & Terjadinya
spinalis (S2-S3) Obstruksi
analgesik narkotik penyempitan
saluran kemih
saluran kemih

Kerusakan saraf
simpatis dan Impuls sensorik dan
parasimpatis motorik terganggu Pengeluaran
urine terhambat

Menurunnya Penimbunan urine


kemampuan detrusor di dalam vesika
dan spinchter untuk urinaria
merespon keinginan
berkemih

Kesulitan untuk
mengontrol urinasi

Inkontinensia Retensi
urine urine

Gangguan eleminasi urine


VI. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Urinalisis
b. Kultur urine
2. Radilogi
a. Rontgenogram abdomen
b. Pielogram intravena
c. Pemindaian (scan) ginjal
d. Computerized Axial Tomography
e. Ultrasound ginjal
f. Sistoskopi
g. Biopsi ginjal
h. Angiografi (arteriogram)

VII. PENATALAKSANAAN KOLABORATIF


1. Mempertahankan kebiasaan eleminasi
Perawat mempelajari waktu saat klien berkemih normal,
seperti saat bangun tidur atau sebelum makan. Klien biasanya
memerlukan waktu untuk berkemih. Kebutuhan untuk berespons
terhadap keinginan berkemih klien juga merupakan hal yang
penting. Penundaan dalam membantu klien ke kamar mandi dapat
mengganggu proses berkemih normal dan menyebabkan
inkontinensia.
2. Penggunaan obat-obatan
Terapi obat-obatan yang diberikan secara tersendiri atau yang
bersamaan dengan terapi lain dapat membantu masalah
inkontinensia dan retensi. Terdapat 3 tipe obat-obatan. Satu obat
merelaksasi kandung kemih yang mengalami ketegangan atau
spasme sehingga meningkatkan kapasitas kandung kemih. Satu
obat menstimulus kontraksi kandung kemih sehingga
meningkatkan pengosongan kandung kemih. Dan satu obat lainnya
menyebabkan relaksasi otot polos prostat, mengurangi obstruksi
pada aliran uretra.
3. Kataterisasi
Kataterisasi kandung kemih dilakukan dengan memasukkan
selang plastik atau karet melalui uretra kedalam kandung kemih.
Kateter memungkinkan mengalirna urine yang berkelanjutan yang
tidak mampu mengontrol perkemihan atau klien yang mengalami
obstruksi. Kateter juga menjadi alat yang digunakan untuk
mengukur haluan urine per jam pada klien yang status
hemodinamiknya tidak stabil.
4. Pencegahan infeksi
Klien yang di kateterisasi dapat mengalami infeksi melalui
berbagai cara. Mempertahankan drainase urine tertutup, merupakan
tindakan yang penting untuk mengontrol infeksi. Sistem yang
rusak dapat menyebabkan masuknya organisme. Daerah yang
memiliki resiko ini adalah daerah insersi kateter, kantung drainase,
clap, dan sambungan antara selang dan kantung. Irigasi dan
instilasi katater diperlukan untuk mempertahankan kepatenan urine
menetap, kadang-kadang perlu mengirigasi atau membilas katater.
5. Menguatkan otot dasar panggul
Latihan dasar panggul meningkatkan kekuatan otot dasar
panggul yang terdiri dari kontraksi kelompok otot yang berulang.
6. Bladder retraining
Tujuan bladder retraining ialah untuk mengembalikan pola
normal perkemihan dengan menghambat atau menstimulus
pengeluaran air kemih (Burke, 1992).

VIII. ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
a. Kebiasaan berkemih
Pengkajian ini meliputi bagaimana kebiasaan berkemih serta
hambatannya. Frekuensi berkemih tergantung pada kebiasaan
dan kesempatan. Banyak orang berkemih setiap hari pada
waktu bangun tidur dan tidak memerlukan waktu untuk
berkemih pada waktu malam hari.
b. Pola berkemih
 Frekuensi berkemih
Frekuensi berkemih menentukan berapa kali individu
berkemih dalam waktu 24 jam
 Urgensi
Perasaan seseorang untuk berkemih seperti seseorang ke
toilrt karena takut mengalami inkontinensia jika tidak
berkemih.
 Disuria
Keadaan rasa sakit atau kesulitan saat berkemih. Keadaan
ini ditemukan pada struktur uretra, infeksi saluran kemih,
trauma pada vesika urinaria.
 Poliuria
Keadaan produksi urine yang abnormal yang jumlahnya
lebih besar tanpa adanya peningkatan asupan cairan.
Keadaan ini dapat terjadi pada penyakit diabetes,
defisiensi ADH, dan penyakit kronis ginjal.
 Urinaria supresi
Keadaan produksi urine yang berhenti secara mendadak.
Bila produksi urine kurang dari 100 ml/hari dapat
dikatakan anuria, tetapi bila produksinya antara 100-500
ml/hari dapat dikatakan sebagai oliguria.
c. Volume urine
Volume urine menentukan berapa jumlah urine yang
dikeluarkan dalam 24 jam.
d. Faktor yang mempengaruhi kebiasaan berkemih
 Diet dan asupan (diet tinggi protein dan natrium) dapat
mempengaruhi jumlah urine yang dibentuk, sedangkan
kopi dapat meningkatkan jumlah urine
 Gaya hidup
 Stress psikologis dapat meningkatkan frekuensi keinginan
berkemih
 Tingkat aktivitas
e. Keadaan urine
Keadaan urine meliputi : warna, bau, berat jenis, kejernihan
pH, protein, darah, glukosa.
f. Tanda klinis gangguan eleminasi urine seperti retensi urine,
inkontinensia urine
2. Diagnosa keperawatan
a. Inkontinensia urine refleks berhubungan dengan gangguan
neurologis yang ditandai dengan tidak adanya dorongan untuk
berkemih.
b. Retensi urine berhubungan dengan penurunan absorbsi cairan
ditandai dengan distensi kandung kemih
c. Gangguan eleminasi urine berhubungan dengan gangguan
sensorik
3. Intervensi keperawatan
a. Diagnosa 1
 Jelaskan prosedur dan rasional dari pemasangan kateter.
 Monitor intake dan output cairan (jumlah, warna
frekuensi)
b. Diagnosa 2
 Anjurkan pasien atau keluarga untuk melaporkan output
urine
 Monitoring output urine meliputi frekuensi, konsistensi,
bau, volume, dan warna.
 Monitoring tanda dan gejala pasti dari retensi urine klien
c. Diagnosa 3
 Monitoring output urine meliputi frekuensi, konsistensi,
bau, volume, dan warna.
 Monitoring tanda dan gejala pasti dari retensi urine klien.
 Catat waktu terakhir berkemih
 Jelaskan prosedur dan rasional dari pemasangan katater
 Monitor intake dan output cairan (jumlah, warna,
frekuensi).

IX. DAFTAR PUSTAKA


Ardhiyanti, Yulrina., dkk. (2014). Panduan lengkap keterampilan
dasar kebidanan I. Yogyakarta: Deepublish.
Brunner & Suddarth. (2002). Buku ajar keperawatan medikal bedah
edisi 8 volume 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Hidayat, A. A. A. (2006). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia:
Aplikasi Konsep dan Proses Keperawatan. Jakarta. Salemba
Medika.
NANDA International. (2015). Diagnosa Keperawatan definisi dan
klasifikasi 2015-2017 edisi 10. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Pearce, E.C. (2009). Anatomi dan fisiologi untuk paramedic. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Sjamsuhidajat. (2004). Buku ajaran medikal bedah. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Tarwoto & Wartonah. (2006). Kebutuhan dasar manusia dan proses
keperawatan edisi ke-3. Jakarta: Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai