Anda di halaman 1dari 33

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN Tn.

“ M ”

DENGAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN ELIMINASI

DI RUANG FLAMBOYAN

RSUD PANEMBAHAN SENOPATI

Disusun oleh :

LUSI ISMAYANTI

2920183304

2B

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN NOTOKUSUMO

YOGYAKARTA

2018/2019
LEMBAR PERSETUJUAN

Asuhan keperawatan pada pasien Tn. M dengan gangguan pemenuhan kebutuhan


eliminasi di Ruang Flamboyan RSUD Panembahan Senopati Bantul. Laporan ini
disusun untuk memenuhi tugas individu Praktik Klinik Keperawatan Dasar pada
semester III, pada :

Hari : Senin

Tanggal : 2 Desember 2019

Tempat : RSUD PANEMBAHAN SENOPATI

Praktikan

(Lusi Ismayanti)

Pembimbing Lahan (CI) Pembimbing Akademik

(Purwanto,S.Kep.,Ns ) (Taukhit,S.Kep.,Ns.,M.Kep)

2
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas Berkat
dan Rahmat-Nyalah, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan ini dengan
lancar.

Pada penyusunan laporan ini, penulis mendapat bantuan dari pihak lain
secara langsung maupun tidak langsung, oleh karena itu tidak lupa penulis
mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bp. Giri Susilo Adi, S.Kep.,Ns., M.Kep selaku Direktur Akper


Notokusumo atas pengarahan dan bimbingan yang telah diberikan.
2. Bp. Purwanto,S.Kep.,Ns selaku Pembimbing Lahan RSUD Panembahan
Senopati Bantul di Ruang Flamboyan atas pengarahan dan bimbingan
yang telah diberikan.
3. Ibu Prima Daniyati Kusuma, S.Kep.,Ns., M.Kep selaku Koordinator PKK
KDM Stikes Notokusumo atas pengarahan dan bimbingan yang telah
diberikan.
4. Bp. Taukhit,S.Kep.,Ns.,M.Kep selaku Pembimbing Akademik Stkes
Notokusumo atas pengarahan dan bimbingan yang telah diberikan.
5. Seluruh teman-teman dari Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Notokusumo
Yogyakarta.

Dengan segenap kerendahan hati penulis menyadari masih banyak


kekurangan dan penyusulan lporan ini, sehingga kritik dan saran yang
membangun senantiasa penulis harapkan demi perbaikan lebih lanjut.

Yogyakarta, 2 Desember 2019

Lusi Ismayant

3
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN.................................................................................... 2

KATA PENGANTAR ............................................................................................ 3

DAFTAR ISI ........................................................................................................... 4

BAB I ...................................................................................................................... 5

PENDAHULUAN .................................................................................................. 5

A. Latar Belakang ............................................................................................. 5

B. Tujuan .......................................................................................................... 6

BAB II ..................................................................................................................... 7

KONSEP DASAR................................................................................................... 7

A. Definisi ......................................................................................................... 7

B. Etiologi ......................................................................................................... 8

C. Manifestasi Klinik ...................................................................................... 12

D. Patofisiologi ............................................................................................... 14

E. Pathways .................................................................................................... 16

F. Pemeriksaan Penunjang atau Pemeriksaan Diagnostik .............................. 19

G. Komplikasi ................................................................................................. 20

H. Penatalaksanaan ......................................................................................... 21

BAB III ................................................................................................................. 24

TINJAUAN KASUS ............................................................................................. 24

A. Pengkajian .................................................................................................. 24

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN ............................................................... 25

C. INTERVENSI KEPERAWATAN ............................................................. 26

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 32

4
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebutuhan eliminasi merupakan salah satu kebutuhan dasar


manusia. Menurut Abraham Maslow (1970) kebutuhan dasar manusia ada
Iima tingkatan. Kebutuhan dasar fisiologis dan keselamatan merupakan
prioritas pertama. Kebutuhan eliminasi termasuk dalam kebutuhan
fisiologis manusia, artinya merupakan kebutuhan dasar yang harus sangat
diperhatikan dan diutamakan. Eliminasi merupakan proses pembuangan
sisa-sisa metabolisme tubuh berupa cairan (urine) dan feces (tinja).
Kebutuhan eliminasi dalam kondisi sehat/norma akan berjalan dengan baik
tetapi dalam kondisi tidak normal/sakit mungkin terjadi gangguan
(Morgan, 2014).
Kebutuhan eliminasi fekal merupakan kebutuhan dasar untuk
buang air besar. Kebutuhan ini diatur oleh istem gastrointestinal bawah
yang meliputi usus halus dan usus besar, usus halus terdiri dari duodenum,
jejenum dan ileum. Usus besar merupakan bagian bawah atau bagian
ujung dari saluran pencerahan, dimulai dari katup ileum caecum sampai ke
dubur(anus) (Hidayat, 2012).
Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan seseorang untuk
menahan keluarnya urine. Keadaan ini dapat menimbulkan berbagai
pernasalahan, antara lain masalah medik, sosial maupun ekonomi.
Masalah medik berupa iritasi dan kerusakan kulit disekitar kemaluan,
masalah perasaan malu, mengisolasi diri dari pergaulannya dan
mengurung diri dirumah (Purnomo, 2011)
Inkontinensia Fekal adalah hilangnya kemampuan otot untuk
mengontrol pengeluaran feses dan gas yang melalui spinter anus akibat
kerusakan fungsi spinter atau persarafan di daerah anus. Penyebabnya

5
karena penyakit-penyakit neuromoskular, trauma spinal cord, tumor
Spinter anus eksternal (Mongan, 2014).

B. Tujuan

1. Tujuan Umum
Mahasiswa dapat memberikan asuhan keperawatan yang sistematis
dan lengkap pada klien dengan kebutuhan eliminasi.
2. Tujuan Khusus
Setelah menyusun laporan pendahuluan diharapkan mahasiswa dapat :
a. Mahasiswa mampu memahami definisi gangguan kebutuhan
eliminasi
b. Mahasiswa mampu memahami etiologi gangguan kebutuhan
eliminasi
c. Mahasiswa mampu memahami tentang manifestasi klinik
gangguan kebutuhan eliminasi
d. Mahasiswa mampu memahami patofisiologi gangguan kebutuhan
eliminasi
e. Mahasiswa mampu memahami pathways gangguan kebutuhan
eliminasi
f. Mahasiswa mampu memahami tentang pemeriksaan penunjang
gangguan kebutuhan eliminasi
g. Mahasiswa mampu memahami tetang komplikasi yang terjadi
dalam gangguan kebutuhan eliminasi
h. Mahasiswa mampu memahami tentang penatalaksanaan gangguan
kebutuhan eliminasi
i. Mahasiswa mampu memahami pengkajian fokus gangguan
kebutuhan eliminasi
j. Mahasiswa mampu memahami diagnosa keperawatan pada
gangguan kebutuhan eliminasi
k. Mahasiswa mampu memahami tujuan dan intervensi dari diagnosa
keperawatan gangguan kebutuhan eliminasi

6
BAB II

KONSEP DASAR

A. Definisi

Zat sisa metabolisme yang tidak berguna lagi bagi tubuh harus
dikeluarkan (di eliminasi) dari dalam tubuh karena dapat menjadi racun.
Proses eliminasi ini dapat dibagi menajdi eliminasi urin (buang air kecil)
dan eliminasi fekal (buang air besar).
Eliminasi adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh baik
berupa urine atau bowel(feses). Defekasi adalah pengeluaran feses dari
anus dan rectum. Hal ini juga disebut bowel movement (Mubarak, 2015).
Kebutuhan eliminasi urine merupakan merupakan kebutuhan dasar
untuk dapat buang aiir kecil secara normal. Untuk memenuhi kebutuhan
eliminasi urin kita perlu memahami berbagai sistem atau organ yang
berperan, seperti ginjal, ureter, bleder dan uretra, yang dibahas dalam mata
kuliah anatomi dan fisiologi. Namun demikian mari kita coba review
kembali berbagai hal terkait kebutuhan eliminasi urin, seperti bagaimana
proses berkemih, faktor apa saja yang memengaruhi eliminasi urin,
masalah/ gangguan eliminasi utin dan bagaimana asuhan keperawatan
(Hidayat, 2012).
Kebutuhan eliminasi fekal merupakan kebutuhan dasar untuk
buang air besar. Kebutuhan ini diatur oleh sistem gastrointestinal bawah
yang meliputi usus halus dan usus besar, usus halus terdiri dari duodenum,
jejenum dan ileum. Usus besar merupakan bagian bawah atau bagian
ujung dari saluran pencerahan, dimulai dari katup ileum caecum sampai ke
dubur(anus) (Hidayat, 2012).

7
B. Etiologi

( Menurut Hidayat, 2015)


1. Faktor yang mempengaruhi eliminasi urine
a. Diet dan asupan
Jumlah dan tipe makanan merupakan faktor utama yang
mempengaruhi output atau jumlah urine. Protein dan natrium
dapat menentukan jumlah urine yang di bentuk. Selain itu kopi
juga dapat meningkatkan pembentukan urin.
b. Respon keinginan awal untuk berkemih.
Kebiasaan mengabaikan keinginan awal untuk berkemih
dapat menyebabkan urin banyak tertahan di dalam vesika
urinaria sehingga memengaruhi ukuran vesika urinaria dan
jumlah pengeluaran urin.
a. Gaya hidup
Perubahan gaya hidup dapat mempengaruhi kebutuhan
eliminasi, dan kaitanya dengan ketersediaan toilet.
b. Stress psikologi
Meningkatnya stress dapat mengakibatkan seringnya
frekuensi keinginaan berkemih. Hal ini karena meningkatnya
sensitivitas untuk keinginan awal berkemih dan jumlah urine
yang di produksi.
c. Tingkat aktivitas
Eliminasi urin membutuhkan tonus otot vesika urinaria
yang baik untuk fungsi sfingter. Hilangnya tonus otot vesika
menyebabkan kemampuan pengontrolan berkemih menurun dan
kemampuan tonus otot didapatkan dengan beraktivitas.
d. Tingkat perkembangan
Tingkat pertumbuhan dan perkembangan dapat
memperngaruhi pola berkemih. Karena dapat ditemukan pada
anak-anak yang lebih memiliki kecenderungan untuk mengalami

8
kesulitan mengontrol BAK dan bertambahnya usia dapat
meningkatkan cara mengontrol BAK.
e. Kondisi penyakit
Seperti DM dapat mempengaruhi produksi urine.
f. Sosiokultural
Budaya dapat mempengaruhi pemenuhan kebutuhan
eliminasi urine, seperti adanya kultur masyarakat yang melarang
untuk buang air kecil di tempat tertentu.
g. Kebiasaan seseorang
Dalam keadaan tirah baring, seseorang yang sakit akan
merasa kurang nyaman atau bahkan kesulitan untuk berkemih
melalui urinal atau pot urine karena terbiasa berkemih di toilet.
h. Tonus otot
Tonus otot yang memiliki peran penting dalam membantu
proses berkemih dalam kandung kemih, otot abdomen dan
pelvis. Ketiganya sangat berperan dalam kontraksi pengontrolan
pengeluaran urine.
i. Pembedahan
Efek pembedahan dapat menurunkan filtrasi glomerulus
yang dapat menyebabkan penurunan jumlah produksi urin karena
dampak dari pemberian obat anestesi.
j. Pengobatan
Efek pengobatan menyebabkan peningkatan atau
penurunan jumlah urine. Misalmya, pemberian diuretik dapat
meningkatkan jumlah urine, sedangkan pemberian obat
antikolinergik atau antihipertensi dpat menyebabkan retensi
urine.
k. Pemeriksaan diagnostik
Prosedur diagnostik yang berhubungan dengan tindakan
pemeriksaan saluran kemih seperti intravenous pylogram ( IVP),
dengan membatasi jumlah asupan dapat mempengaruhi produksi

9
urine. Kemudian, tindakan cystoscopy dapat menimbulkan
edema lokal pada uretra yang dapat mengganggu pengeluaran
urine.
2. Faktor yang mempengaruhi eliminasi fekal
a. Usia
Setiap tahap perkembangan atau usia memiliki kemampuan
mengontrol defekasi yang berbeda. Bayi belum memiliki
kemapuan mengontrol secara penuh dalam buang air besar,
sedangkan orang dewasa sudah memliki kemampuan mengontrol
secara penuh, dan pada usia lanjut proses pengontrolan tersebut
mengalami penurunan.
b. Diet
Diet atau pola atau jenis makanan yang dikonsumsi dapat
mempengaruhi proses defekasi. Makanan yang memiliki
kandungan serat tinggi dan mempunyai proses percepatan
defekasi dan jumlah yang dikonsumsi pun dapat
mempengaruhinya.
c. Asupan cairan
Pemasukan cairan yang kurang dalam tubuh membuat
defekasi menjadi keras oleh karena proses absorpsi kurang
sehingga dapat mempengaruhi kesulitan proses defeksi.
d. Aktivitas
Aktivitas dapat mempengaruhi proses defekasi karena
melalui aktivitas tonus otot abdomen, pelvis, dan diafragma
dapat membantu kelancaran proses defekasi, sehingga proses
gerakan peristaltik pada daerah kolon dapat bertambah baik dan
memudahkan dalam membantu proses kelancaran proses
defekasi.

10
e. Pengobatan
Pengobatan dapat mempengaruhi proses defekasi, seperti
penggunaan laksansia (obat pencahar) atau antasida yang terlalu
sering.
f. Gaya hidup
Kebiasaan atau gaya hidup dapat mempengaruhi proses
defekasi. Hal ini dapat terlihat pada seseorang yang memiliki
gaya hidup sehat atau kebiasaan melakukan buang air besar
ditempat yang bersih atau toilet. Maka, ketika orang tersebut
buang air besar ditempat yang terbuka atau tempat yang kotor, ia
mengalami kesulitan dalam proses defekasi.
g. Penyakit
Beberapa penyakit dapat mempengaruhi proses defekasi,
biasanya penyakit-penyakit yang berhubungan langsung pada
sistem pencernaan seperti gaastroenteritis atau penyakit infeksi
lainnya.
h. Nyeri
Adanya nyeri dapat mempengaruhi kemampuan/keinginan
untuk berdefekasi, seperti nyeri pada beberapa kasus hemoroid
dan episiotomi.
i. Kerusakan sensoris dan motoris
Kerusakan pada sistem sensoris dan motoris dapat
mempengaruhi proses defekasi karena menimbulkan proses
penurunan stimulasi sensoris dalam berdefekasi. Hal tersebut
dapat diakibatkan oleh kerusakan pada tulang belakang atau
kerusakan saraf lainnya.

11
C. Manifestasi Klinik

( Menurut Mubarak, 2015)


1. Manifestasi klinik Gangguan eliminasi urine
a. Retensi urine
1) Tanda dan gejala
a) Ketidaknyamanan daerah pubis
b) Distensi vesika urinaria
c) Ketidaksanggupan untuk berkemih
d) Sering berkemih saat vesika urinaria berisi sedikit
b. Inkontinensia urine
1) Inkontinensia dorongan
a) Sering miksi ( lebih dari dua jam sekli
b) Spasme kandung kemih.
2) Inkontensia Total
a) Aliran konstan yang terjadi pada saat tidak diperkirakan.
b) Tidak ada distensi kandung kemih.
c) Nokturia
d) Pengobatan inkontensia tidak berhasil.
3) Inkontensia Stres
a) Adanya urine menetes dengan peningkatan tekanan
abdomen.
b) Adanya dorongan berkemih.
c) Sering miksi (lebih dari dua jam sekali)
4) Inkontensia Reflek
a) Tidak ada dorongan untuk berkemih
b) Merasa kandung kemih penuh
5) Inkontinensia Fungsional
a) Adanya dorongan untuk berkemih
b) Kontraksi kandung kemih cukup kuat untuk mengeluarkan
urine.

12
2. Manifestasi klinik gangguan eliminasi fekal
a. Konstipasi
1) Pengeluaran feses yang sulit, keras, dan mengejan
2) BAB kurang dari 3x dalam seminggu
b. Impaksi feses ( tertahannya feses)
1) Adanya pembesaran
2) Rasa ingin buang air besar
3) Rasa sakit di bagian rectum
c. Diare
1) Nyeri atau kejang pada abdomen
2) Kadang disertai darah atau mukus
3) Mual atau muntah
d. Inkontinensia Fekal
1) Feses keluar untuk waktu tertentu
2) Feses bersifat iritan
3) Iritasi pada sekitar anus atau bokong
e. Flatulens
1) Distensi pada lambung dan usus
2) Terdengar bunyi timpani di abdomen
3) Rasa tidak nyaman pada daerah abdomen

13
D. Patofisiologi

1. Inkontinensia urine
Dalam proses berkemih yang normal dikendalikan oleh mekanisme
volunter dan involunter. Sfingteruretra eksternal dan otot dasar panggul
yang berada dibawah kontrol mekanisme volunter. Sedangkan pada otot
detrusor kandung kemih dan sfingter uretra internal berada pada bawah
kontrol sistem saraf otonom. Ketika otot detrusor berelaksasi maka
terjadinya proses pengisian kandung kemih dan sebaliknya jika otot ini
berkontraksi maka proses berkemih (pengosongan kandung kemih) akan
berlangsung. Dengan kontraksi otot detrusor kandung kemih disebabkan
dengan aktivitas saraf parasimpatis, dimana aktivitas itu dapat terjadi
karena dipicu oleh asetilkoline. Ketika terjadi perubahan-perubahan
pada mekanisme normal ini maka dapat menyebabkan proses berkemih
terganggu. Pada usia lanjut baik wanita atau pria terjadinya perubahan
anatomis dan fisiologis dari sistem urogenital bagian bawah. Perubahan
tersebut akan berkaitan dengan menurunnya kadar hormon estrogen
pada wanita dan hormon androgen pada pria. Perubahan yang terjadi ini
berupa peningkatan fibrosis dan kandungan kolagen pada dinding
kandung kemih yang dapat mengakibatkan fungsi kontraktil dari
kandung kemih tidak efektif lagi.
Pada otot uretra dapat terjadi perubahan vaskularisasi pada lapisan
submukosa, atrofimukosa dan penipisan otot uretra. Dengan keadaan ini
menyebabkan tekanan penutupan uretra berkurang. Otot dasar panggul
juga dapat mengalami perubahan merupa melemahnya fungsi dan
kekuatan otot. Secara keseluruhan perubahan yang terjadi pada sistem
urogenital bagian bawah akibat dari proses menua sebagai faktor
kontributor terjadinya Inkontinensia urine (Setiati dan Pramantara, 2007
dalam Jayani, 2010).

14
2. Inkontinensia fekal
Mekanisme yang terlibat dalam kontrol defekasi amat kompleks
namun secara garis besar dikelompokkan menjadi faktor kolon, otot
neurologis, dan anorektal. Khusus dibidang obstetri, persalinan adalah
faktor utama terjadinya inkontinensia fekal akibat trauma pada sfingter
anus. Keadaan ini dibuktikan oleh penelitian Sultan dkk yang
menemukan 35% primipara mengalami kerusakan sfingter setelah
dilakukan evaluasi dengan USG anal setelah 6 minggu persalinan,
sebelumnya diduga tidak ada masalah. Ditemukan pula bahwa l3% dari
wanita primipara akhimya mengeluh alcibatin kontinensia fekal setelah
melahirkan kasus inkontinensia fekal ditemukan pada 1/3 wanita yang
mengalami keluhan inkontinensia urin dan sebanyak 7% dari wanita
yang mengalami prolaps organ pelvis (Ariadi, 2010).

15
E. Pathways

a. Eliminasi Urine

16
17
b. Eliminasi fekal

Refleks defekasi
parasimpatis

Feses masuk rectum

Saraf rectum

Di bawa ke spinal cord

Kembali ke colon desenden, sigmoid dan


rectum

Intensifkan peristaltik

Kelemahan spingter interna


anus

Inkontinensia alvi

18
F. Pemeriksaan Penunjang atau Pemeriksaan Diagnostik

(Menurut Mubarak, 2015)


1. Pemeriksaan penunjang atau pemeriksaan diagnostik eliminasi fekal
a. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan pada daerah abdomen,
rektum, anus dan feses.
1) Abdomen
a) Inspeksi : bentuk abdomen, kesimetrisan adanya distensi atau
gerak peristaltik.
b) Auskultasi : dengarkan bising usus, suara usus dikaji dengan
stetoskop.
c) Perkusi : lakukan perkusi abdomen untuk mengetahui adanya
distensi berupa cairan, massa atau udara.
d) Palpasi : untuk mengetahui konsistensi abdomen serta adanya
nyeri tekan atau massa di permukaaan abdomen.
2) Rectum dan anus
a) Inspeksi : amati daerah perineal untuk melihat adanya tanda-
tanda inflamasi, luka parut, perubahan warna, lesi, lecet,
konsistensi, hemoroid, warna, ukuran.
b) Palpasi : palpasi dinding rectum dan rasakan adanya nodul,
massa dan nyeri tekan.
3) Feses
a) Konsistensi
b) Bentuk
c) Bau
d) Darah
b. Pemeriksaan diagnostik
1) Pandangan langsung, yaitu pandang teknik secara langsung
a) Anoskopi : pandangan dari saluran anus
b) Protoskopi : pandangan pada rectum

19
c) Proktosigmoidoskopi : pandangan pada rektum dan kolon
sigmoid.
2) Roentgenografi : Roentgenografi dari usus besar dengan
memasukkan barium ke dalam kolon.
2. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan diagnostik eliminasi urine
a. Pemeriksaan fisik
1) Kulit : Mengkaji turgot kulit.
2) Ginjal : kaji adanya nyeri tekan di daerah pinggul.
3) Kandung kemih : kaji adanya nyeri tekan
b. Tes Diagnostik
1) Pemeriksaan urine. Hal yang dikaji meliputi warna,
kejernihan, dan bau urine. Untuk melihat kejanggalan, bisa
dilakukan pemeriksaan protein, glukosa, dll.
2) Tes darah. Pemeriksaan meliputi BUN, bersihan kreatinin,
nitrogen non protein (NPN), sitoskopi dan intravenous
pyelogram.

G. Komplikasi

1. Komplikasi elminasi urine


a. Inkontinensia urine
b. Retensi urine
c. Enuresis
d. Poliuria
e. Oliguria dan anuria
2. Komplikasi eliminasi fekal
a. Konstipasi
b. Impaksi feses
c. Diare
d. Inkontinensia usus
e. Flatulensi

20
H. Penatalaksanaan

1. Penatalaksanaan gangguan eliminasi urine


Menurut Suparman dan Rompas (2008) penatalakanaan pada
inkontinensia urin adalah sebagai berikut :
a. Pemakaian pad/diapers (pampers) atau peralatan untuk mencegah
keluarnya urin.
b. Latihan memperkuat otot dasar pelvis (senam KEGEL).
Senam KEGEL ini berfungsi untuk memperkuat otot-otot dasar
pelvis yang menyokong kandung kemih dan penutup uretra. Latihan
ini berguna pada stres inkontinensia dan urge inkontinensia.
c. Bladder Training
d. Medikamentosa/obat-obatan berupa:
Terapi medikamentosa yang dipergunakan dapat kita bedakan atas:
1) Terapi untuk urge inkontinensia:
2) Antikolinergik
Kerjanya menghambat kontraksi dari kandung kemih, yang
berlebihan meningkatkan kapasitas kandung kemih, dan
memperlambat rasa ketergesaan untuk berkemih.
3) Antispasmodik
Kerjanya membantu merelaksasi otot-otot kandung kemih.

1. Penatalaksanaan gangguan eliminasi fekal


Menurut Ariadi (2010), penatalaksanaan inkontinensia alvi
melalui prosedur non operatif dan prosedur operatif.
a. Prosedur Non Operatif
1) Diet
Perubahan diet yang dianjurkan pada pasien
inkontinensia fekal dengan mengkonsumsi makan padat yang
berserat tinggi. Dengan cara ini akan dihasilkan feses yang lebih

21
padat sehingga pelepasannya dapat dikontrol walaupun terdapar
spinkter anus yang lemah cara ini juga dikombinasi dengan
penggunaan Loperamide karena memiliki efek samprng yang
kecil. Tujuannya untuk mengurangi berat feses, mengurangi
motilitas rektum, den meningkatkan refleks inhibisi dari
rektoanal.
2) Latihan Biofeedback
Teknik biofeedback diharapkan pasien mampu kontraksi
spinkter anus ekstemal secara bertahap sebagai respon pengisian
feses dalam rektum. Prinsip kerjanya dengan menempatkan
balon di rongga rektum sehingga mirip proses pengisian rektum
oleh feses. Secara bertahap balon diperbesar ukurannya seiring
dengan peningkatan kemampuan pasien untuk mengendalikan
kekuatan kontraksi otot spinkter anus ekstemal. Kasus-kasus
yang direkomendasikan mernpergunakan biofeedback adalah
kasus inkontinensia fekal akibat diabetes, persainan, dan setelah
pembedahan pada anus.
3) Klisma.
Penanganan inkontinensia fekal dengan klisma
ditujukan pada kasus dimana pasien tidak mampu
mengosongkan rektum secara baik. Tindakan krisma dilakukan
dengan supositoria atau pencucian dengan air biasa atau larutan
phospal setelah dilakukan pengosongan rektum selanjutnya
pasien meminum laksatif setelah makan dikombinasi dengan
rektal suppositoria.
b. Penanganan Secara Operatif
Penanganan operatif dipilih apabila tindakan konservatif gagal
atau penyebabnya memang memerlukan tindakan operatif.
1) Spinkteroplasti
Persiapan operasi meliputi pengosongan rektum dengan
klisma . Profilaksis antibiotika diberikan berupa metronidazol

22
dan golongan sephalosporin generasi ketiga secara intravena,
yang kemudian dilanjutkan pasca operasi. Apabila kerusakan
spinkter yang terjadi akibat suatu tauma tindakan operasi
sebaiknya ditunggu 3 - 6 bulan supaya proses inflamasi mereda,
sehingga jaringan menjadi lebih lunak dan mudah digerakkan.
Setelah foley cateter terpasang pasien ditempatkan dalam posisi
litotomi atau posisi prone jackknife. Posisi prone jacldrnife
kelebihan karena menyebabkan otot pantat turun sehingga
memberikan lapangan pandang yang luas pada asisten. Apabila
tindakan sfingteroplasti tidak berhasil perlu dipertimbangkan
tindakan lain seperti : transposisi otot, kolostomi, atau spinkter
anus buatan.

23
BAB III

TINJAUAN KASUS

A. Pengkajian

1. Kebutuhan eliminasi urine


a. Kebiasaan berkemih
Frekuensi berkemih bergantung pada kebiasaan dan
kesempatan. Banyak orang berkemih setiap hari pada waktu
bangun tidur dan tidak memerlukan waktu untuk berkemih pada
malam hari.
b. Pola berkemih
1) Frekuensi berkemih
Frekuensi berkemih menetukan berapa kali individu
berkemih dalam waktu 24 jam.
2) Urgensi
Perasaan seseorang untuk berkemih seperti seseorang sering
ketoilet karena takut mengalami inkontinensia jika tidak
berkemih.
3) Disuria
Keadaan rasa sakit atau kesulitan saat berkemih
4) Poliuria
Keadaan produksi urine yang abnormal dalam jumlah bear
tanpa adanya peningkatan asupan cairan.
5) Urinaria supresi
Keadaan produksi urine secara mendadak. Seperti penyakit
ginjal.
c. Volume urine
Volume urin menentukan berapa jumlah urine yang di keluarkan
dalam 24 jam.
d. Faktor yang mempengaruhi kebiasaan buang air kecil

24
1) Diet dan asupan
2) Gaya hidup
3) Stress psikologis
4) Tingkat aktivitas
e. Keadaan urine
Warna, bau, kejernihan, Ph, protein, darah, glukosa.
2. Kebutuhan eliminasi fekal
a. Pola defekasi dan keluhan selama defekasi
Secara normal pola defekasi pada bayi sebanyak 4-6 kali/hari,
sedangkan orang dewasa adalah 2-3 kali/hari dengan jumlah rata-
rata pembuangan perhari adalah 150g.
b. Keadaan feses
Warna, bau, konsistensi, bentuk.
c. Faktor yang mempengaruhi eliminasi fekal
d. Pemeriksaan fisik

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Diagnosis keperawatan gangguan kebutuhan eliminasi urine


a. Gangguan pola Eliminasi urine berhubungan dengan gangguan
neuromuskuler, spasme bladder, trauma pelvic, infeksi saluran
kemih, trauma medulla spinalis
b. Retensi urine berhubungan dengan obstruksi mekanik, pembesaran
prostat, trauma, pembedahan, kehamilan
2. Diagnosis keperawatan gangguan kebutuhan eliminasi fekal
a. Diare berhubungan dengan malabsorpsi
b. Resiko konstipasi berhubungan dengan penurunan motilitas traktus
gastrointestinal

25
C. INTERVENSI KEPERAWATAN

1. Intervensi keperawatan gangguan eliminasi urine


No Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional
1. Gangguan pola eliminasi Setelah dilakukan tindakan Perawatan Inkontinensia
urine inkontinensia keperawatan selama 3x24 Urin (0610)
berhubungan dengan jam, gangguan pola 1. Monitor eliminasi 1. Membantu mencegah
a. Gangguan eliminasi urine urine meliputi distensi atau
neuromoskuler inkontinensia berkurang, frekuensi, konsistensi, komplikasi
b. Spasme bladder dengan kriteriahasil: bau, volume dan warna
c. Trauma pelvic Kontinensia Urin (0502) urin
d. Infeksi saluran kemih 1. Klien dapat mengontrol 2. Tingkatkan aktivitas 2. Meningkatkan
e. Trauma medulla pengeluaran urine dengan kolaborasi kekuatan otot ginjal
spinalis setiap 4 jam dokter/fisioterapi dan fungsi bladder
2. Tidak ada tanda-tanda 3. Kolaborasi dalam 3. Menguatkan otot dasar
retensi dan bladder training pelvis
inkontinensia urine 4. Hindari faktor 4. Mengurangi/
3. Klien berkemih dalam pencetus inkontinensia menghindari

26
keadaan rileks urine seperticemas inkontinensia
5. Kolaborasi dengan 5. Mengatasi faktor
dokter dalam penyebab
pengobatan dan 6. Meningkatkan
kateterisasi pengetahuan dan
6. Jelaskan tentang: diharapkan pasien
a. Pengobatan lebih kooperatif
b. Kateter
c. Penyebab
2. Retensi urine berhubungan Setelah dilakukan tindakan Perawatan Inkontinensia
dengan keperawatan selama 3x24 Urin (0610)
a. Obstruksi mekanik jam, retensi urine teratasi. 1. Monitor keadaan 1. Menentukan masalah
b. Pembesaran prostat Dengankriteriahasil: bladder setiap 2 jam
c. Trauma Kontinensia Urin (0502) 2. Ukur intake dan output 2. Memonitor
d. Pembedahan 1. Pasien dapat cairan setiap 4 jam keseimbangan cairan
e. Kehamilan mengontrol 3. Berikan cairan 2000
pengeluaran bladder ml/hari dengan 3. Menjaga devisit cairan
setiap 4 jam kolaborasi
2. Tanda dan gejala 4. Kurangi minum setelah 4. Mencegah nokturia

27
retensi urine tidak ada 6 jam 5. Membantu memonitor
5. Kajidan monitor keseimbangan cairan
analisis urine elektrolit 6. Meningkatkan fungsi
dan berat badan ginjal dan bladder
6. Lakukan 7. Relaksasi pikiran dapat
latihanpergerakkan meningkatkan
7. Lakukan relaksasi kemampuanberkemih
ketika duduk berkemih 8. Menguatkan otot
8. Ajarkan teknik latihan pelvis
dengan kolaborasi
dokter/fisioterapi 9. Mengeluarkan urine
9. Kolaborasi dalam
pemasangan kateter

28
2. Intervensi keperawatan gangguan eliminasi fekal
No Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional
1. Diare berhubungan dengan Setelah dilakukan asuhan Manajemen Diare (0460)
malabsorpsi keperawatan selama 3x24 1.Identifikasi factor 1. Dengan mengetahui
jam, diharapkan BAB klien penyebab diare faktor penyebab dapat
normal dengan kriteria hasil : 2.Ajarkan klien untuk menghindarkan klien
Eliminasi Usus (0503) mengggunakan obat anti dari diare yang lebih
a. Pola eliminasi klien teratur diare parah
b. Konsistensi feses klien 3.Instruksikan pada 2. Untuk membantu
lembut tak berbentuk pasien/keluarga untuk penghentian diare
c. Warna feses klien normal mencatat warna, jumlah, 3. Menunjukkan
frekuensi, dan perkembangan selama
konsistensi feses perawatan
4.Evaluasi intake makanan 4. Mengobservasi jumlah
5.Observasi turgor kulir makanan yang dapat
secara rutin dikonsumsi dan dicerna
6.Monitor kulit disekitar 5. Untuk menentukan
anus/perianal status dehidrasi

29
7.Instruksikan klien agar 6. Diare dapat
menghindari menyebabkan kerusakan
penggunaan laksatif integritas kulit perianal
8.Ajarkan klien teknik 7. Penggunaan lakstif akan
menurunkan stress memperparah keadaan
diare pasien jika tidak
diimbangi dengan intake
makanan dan cairan
yang seimbang
8. Dengan reksasi dapat
membantu menurunkan
tingkat kecemasan klien
2. Resiko konstipasi Setelah dilakukan asuhan Manajemen Nutrisi (1100)
berhubungan dengan keperawatan selama 1. Anjrukan diet yang 1. Untuk mencegah
penurunan motikitas Diharapkan konstipasi klien tinggi serat konstipasi
traktus gastriuntestinal dapat teratasi dengan kriteria 2. Berikan snack terutama 2. Untuk melancarkan
hasil : kaya akan cairan pencernaan
Kontinensia Usus (0500) seperti jus ataupun
3. Mengenali keinginan buah segar

30
untuk defekasi
ditingkatkan dari skala 1
menjadi skala 3 (kadang- Manajemen Konstipasi 3. Untuk mengetahui ada
kadang) (0450) tidaknya tanda-tanda
4. Mempertahankan pola 3. Monitor tanda-tanda konstipasi
pengeluaran feses yang konstipasi 4. Menunjukkan
bisa diprediksi 4. Instruksikan pasien perkembangan selama
ditingkatkan dari skala 1 atau keluarga untuk perawatan
ke skala 3 mencatat karakteristik
5. Tekanan sfingter memadai feses yang keluar
untuk mengontrol buang (warna, volume,
air besar ditingkatkan dari konsistensi, frekuensi)
skala 1 ke skala 2

31
DAFTAR PUSTAKA

Ariadi. 2010. “Inkontinensia Fekal”. Skripsi. Padang : FOG Universitas Andalas

Hidayat, A & Musrifatul, U 2015. “Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia, edisi


2”. Jakarta : Salemba Medika.

Jayani, Lusila Putri Dwi. 2010. “Hubungan Kelebihan Berat Badan dengan
Inkontinensia Urin pada Wanita Di Wilayah Surakarta”. Skripsi. Surakarta :
FKIP Universitas Sebelah Maret

Mubarak, I, dkk 2015. “Buku Ajar Ilmu Keperawatan Dasar”. Jakarta : Salemba
Medika.

Mongan, Ruth. 2014. Pemenuhan Kebutuhan Eliminasi. Yogyakarta : Fitramaya

Purnomo, Basuki B. 2011. Dasar-Dasar Urologi. Jakarta : CV. Sagung Selo

Sutanto, A & Yuni, F 2017. “Kebutuhan Dasar Manusia Teori dan Aplikasi
dalam Praktik Keperawatan Profesional”. Yogyakarta : Pustaka Baru Stres.

Suparman dan Rompas, 2008, ‘Inkontinensia Urin pada Perempuan Menopause’,


Maj Obstet Ginekol Indones, vol. 32, no.1, hh. 48-54

32
33

Anda mungkin juga menyukai