Anda di halaman 1dari 21

BAB 1

PENDAHULUAN

Pionefrosis merupakan urine yang terinfeksi dan bersifat purulent di dalam


sistem traktus urinarius yang mengalami obstruksi. Gejala pionefrosis menyerupai
abses yaitu demam, menggigil, dan flank pain, walaupun pada beberapa pasien
tidak bergejala. Pionefrosis dapat disebabkan oleh beberapa kondisi patologis
yang mengakibatkan adanya ascending infection dalam traktus urinarius atau
penyebaran bakteri secara hematogen.1
Obstruksi traktus urinarius dapat mengakibatkan terjadinya pielonefritis
yang ditandai dengan meningkatnya leukosit, bakteri, dan debris sehingga
menimbulkan pionefrosis. Dengan terkumpulnya pus, kondisi pasien dapat
memburuk dengan cepat dan timbul sepsis. Oleh karena itu, pengenalan awal dan
penanganan infeksi akut pada ginjal, khususnya pada pasien-pasien dengan
kecurigaan obstruksi pada traktus urinarius sangat penting.1
Pasien-pasien dengan pionefrosis yang tidak diketahui pada tahap awal
akan cepat memburuk dan timbul syok septik. Sebagai tambahan dari resiko
kematian akibat syok septik, komplikasi lain dari diagnosis dan penanganan yang
terlambat dari pionefrosis adalah kerusakan ireversibel dari ginjal sehingga
memerlukan tindakan nefrektomi. Penanganan infeksi pada pasien dengan
obstruksi ginjal tidak cukup dengan antibiotik dan memerlukan intervensi
pembedahan. 1
Pionefrosis jarang terjadi, dan insidensinya tidak pernah dilaporkan.
Resiko pionefrosis meningkat pada pasien-pasien dengan obstruksi traktus
urinarius bagian atas sekunder dari penyebab yang berbeda-beda (batu, tumor,
obstruksi ureteropelvik junction). 2,3

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Anatomi Saluran Kemih


Saluran Kemih dibagi atas dua bagian yakni bagian atas dan bagian bawah.
Saluran kemih bagian atas terdiri atas ginjal dan saluran yang disebut ureter.
Fungsi saluran ini adalah menghubungkan ginjal dengan kandung kemih. Masingmasing ginjal memiliki sebuah ureter.4
Saluran kemih bagian bawah terdiri atas kandung kemih dan saluran yang
disebut uretra. Fungsi uretra adalah mengalirkan urin dari kandung kemih keluar
tubuh.5

Gambar 2.1 Anatomi Urogenital6

2.1.1. Saluran Kemih Bagian Atas


2.1.1.1.
Ginjal
Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang terletak di rongga
retroperitoneal bagian atas. Bentuk menyerupai kacang, dengan sisi cekungnya
menghadap ke arah medial. Cekungan ini disebut hilus renalis yang di dalamnya

terdapat apeks pelvis renalis dan struktur lain yang merawat ginjal yakni
pembuluh darah, sistem limfatik dan sistem saraf. Berat dan besar ginjal sangat
bervariasi, hal ini tergantung pada jenis kelamin, umur, serta ada tidaknya ginjal
pada sisi yang lain. Dalam hal ini, ginjal lelaki relatif lebih besar ukurannya
daripada perempuan. Ukuran rerata ginjal orang dewasa adalah 11,5 cm
(panjang) x 6 cm (lebar) x 3,5cm (tebal). Beratnya bervariasi antara 120-170
gram, atau kurang lebih 0,4% dari berat badan.Struktur ginjal dibagi menjadi 2
bagian, yaitu korteks dan medula ginjal. Korteks ginjal terletak lebih
superfisial dan di dalamnya terdapat berjuta-juta nefron. Nefron merupakan unit
fungsional terkecil ginjal. Medula ginjal yang terletak lebih profundus banyak
terdapat duktuli atau saluran kecil yang mengalirkan hasil ultrafiltrasi berupa urin.
Nefron terdiri atas glomerulus, tubulus kontortus proksimalis, tubulus kontortus
distalis dan duktus kolegentes. Darah
metabolisme

tubuh

yang

membawa

sisa

hasil

difiltrasi (disaring) di dalam glomerulus dan kemudian

setelah sampai di tubulus ginjal, beberapa zat yang masih diperlukan tubuh
mengalami reabsorbsi dan zat sisa metabolisme yang tidak diperlukan oleh
tubuh mengalami sekresi membentuk urin. Urin yang terbentuk di dalam nefron
disalurkan melalui piramida ke sistem pelvikalis ginjal untuk kemudian
disalurkan ke dalam ureter. Sistem pelvikalis ginjal terdiri atas kaliks minor,
infundibulum, kaliks mayor dan pelvis renalis. Mukosa sistem pelvikalis terdiri
atas epitel transisional dan dindingnya terdiri atas otot polos yang mampu
berkontraksi untuk mengalirkan urin sampai ke ureter.Suplai darah ke ginjal
diperankan oleh arteri dan vena renalis. Arteri renalis merupakan cabang
langsung dari aorta abdominalis dan vena renalis yang bermuara langsung ke
dalam vena kava inferior. Vena dan arteri renalis keduanya membentuk pedikel
ginjal. Arteri renalis memasuki ginjal dan vena keluar dari ginjal di dalam area
yang disebut hilus renalis. Arteri renalis bercabang menjadi arteri interlobaris,
yang berjalan di dalam kolumna Bertini (diantara piramida renalis), kemudian
membelok membentuk busur mengikuti basis piramida sebagai arteri arkuata, dan
selanjutnya menuju korteks sebagai arteri lobularis. Arteri ini bercabang kecil
menuju ke glomeruli sebagai arteri afferen dan dari glomeruli keluar arteri eferen

yang menuju ke tubulus ginjal. Sistem arteri ginjal adalah end arteries, yaitu arteri
yang tidak mempunyai anastomosis dengan cabang dari arteri lain. Ginjal
mendapatkan persarafan melalui pleksus renalis, yang seratnya berjalan
bersamaan

dengan

arteri

renalis.

Input

dari

sistem

simpatetis

menyebabkan vasokontriksi yang menghambat aliran darah ke ginjal. Impuls


sensorik dari ginjal berjalan menuju korda spinalis segmen T10-11.Fungsi ginjal
diantaranya (1) mengkontrol sekresi hormon aldosterone dan ADH (Anti Diuretic
Hormone) yang berperan dalam mengatur jumlah cairan tubuh, (2) mengatur
metabolism ion kalsium dan vitamin D, (3) menghasilkan beberapa hormon antara
lain: eritropoetin yang berperan dalam pembentukan sel darah merah, renin yang
berperan dalam mengatur tekanan darah, serta hormone prostaglandin yang
berguna dalam berbagai mekanisme tubuh.7

Gambar 2.2 Ginjal8

2.1.1.2.

Ureter

Ureter adalah saluran yang menghubungkan ginjal dengan kandung kemih.


Memiliki panjang bervariasi tiap individu sekitar 30 cm dengan diameter 6 mm
dan memiliki bentuk seperti lengkungan huruf S. Hal ini mengakibatkan
terbentuknya daerah yang relatif sempit, yakni: (1) perbatasan antara ureter
4

dengan pelvis renalis atau dikenal dengan ureteropelvic junction, (2) persilangan
antara ureter dengan arteri iliaka di rongga pelvis, dan (3) saat ureter masuk ke
dalam kandung kemih.5 Ureter masuk dari belakang kandung kemih dengan sudut
tertentu untuk mencegah kembalinya urin ke ginjal. Ureter terdiri atas tiga lapisan,
yakni: mukosa yang dilapisi sel epitel transisional, otot polos sirkuler, dan otot
polos longitudinal. Kontraksi dan relaksasi kedua otot ini menyebabkan gerakan
yang dapat mengalirkan urin masuk ke dalam kandung kemih.4

2.1.2. Saluran Kemih Bagian Bawah


2.1.2.1.
Vesika Urinaria
Kandung kemih adalah organ berongga yang dilapisi oleh otot dan terletak di
posterior tulang pubis. Lapisan mukosa kandung kemih bagian dalam adalah
epitel transisional. Di atas lapisan ini terdapat lapisan otot detrusor yang saling
beranyaman dan berfungsi dalam kontraksi kandung kemih.4
Ketika kosong, kandung kemih terletak di belakang simfisis pubis, ketika
penuh, kandung kemih dapat terllihat naik di atas simfisis pubis dan dapat
diperkusi serta dipalpasi dengan mudah.5
Pada bagian bawah kandung kemih terdapat daerah berbentuk segitiga
yang disebut trigon. Urin dari ureter masuk ke dalam kandung kemih melalui
bagian atas trigon dan keluar dari kandung kemih menuju uretra melalui bagian
bawah trigon.4
Leher kandung kemih berbentuk seperti corong yang memanjang dan
berhubungan langsung dengan uretra. Sfingter internal yang terdapat di leher
kandung kemih adalah bagian otot yang menebal. Sfingter ini dibentuk dari
jalinan dan kumpulan serat-serat otot detrusor bagian distal yang selanjutnya akan
membentuk uretra. Sfingter ini menutup dengan kuat dalam keadaan normal untuk
mencegah agar urin tidak mengalir keluar dari kandung kemih.5

2.1.2.2.

Uretra

Uretra adalah saluran yang berfungsi membuang urin dari kandung kemih ke luar
tubuh. Pada pria, uretra terhubung dengan sistem saluran yang membawa sperma.
Panjang uretra pria sekitar 20-25 cm. Pada bagian bawah uretra, terdapat sfingter
eksterna yang terdiri dari dua kelompok otot yang membungkus sekeliling uretra.
Otot yang pertama berasal dari otot pelvis dan berfungsi untuk menghambat urin
yang keluar ketika terjadi kenaikan tekanan secara mendadak, misalnya ketika
sedang batuk, bersin, atau mengangkat beban berat. Otot yang kedua berasal dari
dinding uretra itu sendiri. Komponen ini memberikan kemampuan untuk
menghambat menetesnya urin secara terus menerus.4
Secara anatomis terbagi 2 bagian, yaitu uretra posterior dan uretra
anterior. Uretra dilengkapi dengan sfingter uretra interna yang terletak pada
perbatasan buli-buli dan uretra, serta sfingter uretra eksterna yang terletak pada
perbatasan uretra anterior dan posterior. Sfingter uretra interna terdiri atas otot
polos yang dipersarafi oleh sistem simpatetik sehingga pada saat buli-buli penuh
sfingter terbuka.Sfingter uretra eksterna terdiri atas otot bergaris yang dipersarafi
oleh sistem somatik. Aktifitas sfingter uretra eksterna ini dapat diperintah sesuai
dengan keinginan seseorang. Panjang uretra wanita kurang lebih 3-5 cm,
sedangkan uretra pria dewasa kurang lebih 23-25 cm. Uretra posterior pada pria
terdiri atas 1) uretra pars prostatika, yakni bagian uretra yang di lingkupi oleh
kelenjar prostat, dan 2) uretra pars membranasea. Uretra anterior adalah bagian
uretra yang dibungkus oleh korpus spongiosum penis. Uretra anterior terdiri atas
(1) pars bulbosa, (2) pars pendularis, (3) fossa navikularis, dan (4) meatus uretra
eksterna. Panjang uretra wanita lebih kurang 4 cm dengan diameter 8 mm. Berada
dibawah simfisis pubis dan bermuara di sebelah anterior vagina. Kurang lebih
sepertiga medial uretra, terdapat sfingter uretra eksterna yang terdiri atas
otot bergaris. Tonus otot sfingter uretra eksterna dan tonus otot levator ani
berfungsi mempertahankan agar urin tetap berada di dalam buli-buli pada
saat perasaan ingin miksi.7

Uretra wanita, memiliki panjang 4 cm, lebih pendek daripada pria. Wanita
juga memiliki sfingter eksterna yang terdiri dari dua kelompok otot. Namun, otot
yang berfungsi paling penting dalam menghentikan urin adalah otot pelvis.
Sfingter eksterna dipengaruhi oleh saraf somatis sehingga hanya terbuka ketika
seseorang memerintahkannya dengan sadar.4

Gambar 2.3 Uretra9

2.2.

Fisiologi Ginjal

Fungsi primer ginjal adalah mempertahankan volumer dan komposisi cairan


ekstrasel dalam batas-batas normal. Komposisi dan volume cairan ekstrasel ini
dikontrol oleh filtrasi glomerulus, reabsorpasi dan sekresi tubulus.
Peristiwa Filtrasi di Glomerolus berlangsung melalui 3 lapisan sel :

Lapisan sel Endothel Capiler


Membrana basalis
Lapisan Epitel Capsula Bowmani

Adapun faktor-faktor yang berpengaruh pada filtrasi Glomerolus adalah:

Aliran darah ke ginjal


Constrictie Arteriole Afferent
Constrictie Arteriole Efferent
Rangsangan Simpatis
Tekanan darah
Tekanan Intra Kapsuler
Konsentrasi protein plasma
Permeabilitas membrane
Pada lumen tubulus terjadi reabsorbsi dan sekresi berbagai macam zat.

Pada tubulus proximal terjadi reabsorbsi sempuran (100% direabsorbsi) zat-zat


glukosa, asam amino dan protein, sedangkan air, Na+, Cl-, K+ direabsorbsi
sebanyak kurang lebih 80%. Bagian desenden dari ansa henle sangat permeable
terhadap air, namun pada pars ascenden tidak permeabel terhadap air. Pada pars
ascenden ansa henle dapat terjadi reabsorbsi aktif Na+ dan Cl-. Permeabilitas air
pada tubulus distal dipengaruhi oleh anti-diuretic hormon. Pada tubulus distal ini
juga terjadi reabsorbsi aktif Na+ dan Cl-, serta terjadi sekresi H+, K+, dan NH3-.

Fungsi Utama Ginjal

Fungsi Ekskresi
1. Mempertahankan osmolalitis plasma sekitar 258 m osmol dengan
mengubah-ubah ekresi air.
2. Mempertahankan pH plasma skitar 7,4 dengna mengeluarkan
kelebihan H+ dan membentuk kembali HCO3.
3. Mengekskresikan produk akhir nitrogen dari metabolisme protein,

terutama urea, asam urat dan kreatinin.


Fungsi Non-ekskresi (Endokrin)
1. Menghasilkan renin-penting untuk pengaturan tekanan darah.
2. Menghasilkan eritropoietin-faktor penting dalam stimulasi produk sel
darah merah oleh sumsum tulang.
3. Metabolisme vitamin D menjadi bentuk aktifnya.
4. Degenerasi insulin
5. Menghasilkan prostaglandin

2.3.
Pionefrosis
2.3.1. Definisi
Sumbatan saluran kemih yang disebabkan oleh pyelonephritis dapat menghasilkan
kumpulan dari sel darah putih, bakteri, dan debris pada ginjal yang kemudian
menjadi pyonefrosis. Pyonefrosis merupakan infeksi pada sistem pengumpul
ginjal. Pus berkumpul di pelvis ginjal dan menyebabkan distensi dari ginjal. Pada
situasi seperti ini, pasien dapat dengan cepat terjadi sepsis. Jadi, mengenali lebih

awal dan penatalaksaan infeksi akut pada ginjal, terutama pada pasien dengan
kecurigaan obstruksi saluran kemih, menjadi sangat penting.
Serupa dengan abses, pyonefrosis biasanya berhubungan dengan demam,
mengigil dan nyeri pada regio flank, namun beberapa pasien dapat asimptomatik.
Pyonefrosis dapat disebabkan oleh kondisi patologis berspektrum luas yang
meliputi infeksi ascending pada saluran kemih atau penyebaran bakteri patogen
secara hematogen.

2.3.2. Etiologi10,11,12
Infeksi traktus urinarius bagian atas yang dikombinasi dengan obstruksi dan
hidronefrosis dapat mengakibatkan terjadinya pionefrosis. Hal ini dapat
berkembang menjadi abses renal dan perirenal. 10,11,12

Faktor resiko untuk

terjadinya pyonephrosis adalah keadaan immunosupresi akibat obat-obatan


(steroids), penyakit (diabetes mellitus, AIDS), dan obstruksi pada traktus urinarius
(batu, tumor, obstruksi ureteropelvic junction, horseshoe kidney). Pasien-pasien
yang immunokompromis dan yang diobati dengan antibiotika jangka panjang
mempunyai resiko untuk terinfeksi jamur. Ketika terbentuk fungus ball, mereka
dapat mengobstruksi pelvis renal atau ureter, mengakibtakn terjadinya pionefrosis.
Xanthogranulomatous pyelonephritis, merupakan kondisi klinik dimana terdapat
calculus pada ginjal bagian atas dan infeksi, kondisi ini dapat mengakibatkan
pionefrosis apabila terjadi obstruksi.
Pionefrosis tidak umum terjadi pada orang dewasa, anak-anak, dan
neonatus. Namun, akhir-akhir ini pionefrosis ditemukan terjadi pada beberapa
neonatus dan orang dewasa, menjelaskan bahwa pionefrosis dapat terjadi pada
semua golongan usia. Proses tejadinya pyonephrosis terdiri dari 2 bagian, yaitu:
infeksi dan obstruksi.

Infeksi

10

Seperti yang dilaporkan dari beberapa literatur, berbagai agen infeksius dapat
diisolasi pada pasien dengan pionefrosis. Berikut ini merupakan agen infeksius
penyebab pionefrosis, diurutkan dari yang insidensinya paling sering:
1. Escherichia coli
2. Enterococcus species
3. Candida species dan infeksi jamur lainnya
4. Enterobacter species
5. Klebsiella species
6. Proteus species
7. Pseudomonas species
8. Bacteroides species
9. Staphylococcus species
10. Salmonella species
11. Tuberculosis (dapat menyebabkan infeksi dan striktur)
Obstruksi
Etiologi dari obstruksi dapat diakibatkan oleh faktor-faktor berikut:
1. Batu dan staghorn calculi pada 75% pasien.
2. Fungus balls
3. Metastatik retroperitoneal fibrosis (tumor ginjal, Ca testes, Ca colon))
4. Obstruksi Ca sel transisional
5. Kehamilan
6. Obstruksi ureteropelvic junction
7. Obstruksi ureterocele
8. Obstruksi ureterovesical junction
9. Stasis urine kronik dan hydronephrosis sekunder dari neurogenic bladder
10. Striktur ureter
11. Papillary necrosis
12. Tuberculosis
13. Duplicated kidneys dengan komponen obstruktif
14. Neurogenic bladder
15. Penyebab jarang lainnya, seperti sciatic hernias yang mengakibatkn obstruksi
ureteral

2.3.3. Patofisiologi
Eksudat purulen berkumpul didalam tubulus kolektikus yang mengalami
hidronefrosis dan membentuk abses. Eksudat purulen ini terdiri dari sel-sel

11

radang, organisme infeksius, dan nekrotik urothelium. Mereka terlindung dari


sistem imun tubuh dan antibiotik. Jika tidak diketahui dan ditangani secara tepat,
proses infeksius ini akan semakin berkembang, dan pasien mengalami perburukan
dan urosepsis.

2.3.4. Manifestasi Klinis


Gejala klinik pasien-pasien dengan pyonephrosis bervariasi dari asimptomatik
bakteriuria (15%) sampai sepsis. Kecurigaan terhadap penyakit ini harus
ditingkatkan apabila memeriksa pasien dengan riwayat demam, flank pain, infeksi
traktus urinarius, dan obstruksi atau hidronefrosis. Pada pemeriksaan fisik, dapat
teraba suatu massa intraabdominal yang dapat diasosiasikan dengan ginjal yang
mengalami hidronefrosis.

2.3.5. Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium13
Pemeriksaan darah lengkap, diff. count, ureum, kreatinin, urinalisis dengan kultur,
dan kultur darah diindikasikan pada pasien dengan suspek pyonephrosis.
Pemeriksaan C-reactive protein belakangan ini diusulkan untuk membantu
diagnosis ginjal dengan hydronephrosis yang terinfeksi. Kultur urine dari cairan
diatas area obstruksi harus dilakukan untuk membantu menentukan terapi
antibiotik. Spesimen kultur dapat diperoleh dari kateter. Kultur juga harus
diperoleh dari tube percutaneous pada saat dilakukan nephrostomy.
o

Hasil lab dapat menunjukkan leukositosis dan bakteriuria; akan


tetapi kedua hasil ini tidak spesifik untuk pyonephrosis dan dapat
disebabkan oleh penyakit lain (pyelonephritis, infeksi traktus urinarius
inkomplit).

12

Pyuria, walaupun sering timbul pada pyonephrosis namun tidak

spesifik. Bakteriuria, demam, rasa nyeri, dan leukositosis 30% dapat


tidak timbul pada pasien-pasien dengan pyonephrosis.
Imaging
Pemeriksaan radiografik rutin umumnya tidak dilakukan pada pasien-pasien
dengan infeksi traktus urinarius tanpa komplikasi

Akan tetapi, pemeriksaan

radiografik yang tepat sangat bermanfaat untuk mendiagnosis pyonephrosis,


emphysematous pyelonephritis, dan abscess renal atau perirenal ketika pasienpasien tidak mengalami perkembangan dengan terapi antibiotik.14
1.

Ultrasonografi
Sensitifitas

ultrasonografi

ginjal

untuk

membedakan

hydronephrosis dari pyonephrosis mencapai 90%, dan spesifitasnya


mencapai 97%.
Hasil ultrasonografik yang mengarah ke hydronephrosis dan

pyonephrosis menunjukkan adanya koleksi debris dalam tubulus


kolektivus. Keberadaan debris dan lapisan echoes dengan amplitude
rendah

pada

ginjal

yang

hydronephrosis

menunjukkan

adanya

pyonephrosis. Gambaran ini cukup spesifik dimana ketidakadaannya


dapat menyingkirkan kemungkinan pyonephrosis dengan derajat akurasi
yang tinggi.
2.

Computed tomography scanning


o

CT scan sangat membantu dalam mendiagnosis pyonephrosis.


Keuntungan dari CT scan adalah dapat menggambarkan adanya
obstruksi dengan jelas, fungsi dari ginjal, dan tingkat keparahan dari
hydronephrosis, dan berbagai kelainan abdominal lainnya termasuk

13

metastasis Ca, retroperitoneal fibrosis, dan batu ginjal yang tidak


terlihat lewat sonogram.

Kriteria diagnosisi untuk pyoenephrosis pada CT scan adalah (1)


peningkatan ketebalan dinding pelvis renal lebih dari 2 mm, (2) isi dari
pelvis renal dan debris terlihat, (3) perirenal fat stranding.

14

3.

Magnetic resonance imaging:


Suatu metode untuk membedakan pyonephrosis dari hydronephrosis
didasarkan atas difusi pada MRI. Pada studi pencitraan ini, pyonephrosis
berkorelasi

dengan

signal

hyperintense

dalam

sistem

kolektivus

(menggambarkan adanya pus pada sistem), sementara ginjal yang


hydronephrotic tanpa pus hypointense.

2.3.6. Penatalaksanaan
Pionefrosis merupakan kegawatdaruratan bedah dan membutuhkan intervensi
cepat. Pionefrosis dapat ditangani dengan dekompresi antegrade atau retrograde.
Dekompresi retrograde, atau pemasangan ureteral stent, diindikasikan pada
pasien-pasien

tanpa instabilitas hemodinamik. Antibiotik intravena harus

diberikan sebelum pemasangan stent. Kerugian dari dekompresi retrograde adalah


tidak adanya akses antegrade untuk studi radiografik, kateter urine yang lebih
kecil dibandingkan akses percutaneus, peningkatan gejala iritasi sistem urinaria,
tidak bisa memberikan medikasi antibiotik lewat tube nephrostomy, dan
keterbatasan percutaneus chemolysis yang berfungsi untuk menghancurkan batu.
Untuk memaksimalkan drainase, kateter urethral harus dibiarkan ditempat setelah
pemasangan stent.
Pendekatan secara retrograde biasanya membutuhkan anestesi umum, dan
proses bypass pada obstruksi tidak dapat dilakukan pada beberapa pasien. Sebagai
tambahan, aliran balik urine yang terinfeksi dari pyelovenous, pyelolymphatic,
dan pyelosinus ke sistem peredaran darah merupakan resiko dari manipulasi
retrograde. Hal ini dapat menyebabkan sepsis iatrogenic.
Penanganan definitif dari batu dan obstruksi dengan ureteroscopy,
lithotripsy, atau endopyelotomy merupakan kontraindikasi utuk penanganan
pertama dari pasien-pasien dengan pyonephrosis. Jika pemasangan stent

15

retrograde dipilih, ahli bedah harus meminimalkan instrumentasi dan retrograde


pyelography serta dekompresi obstruksi dengan trauma minimal pada traktus
urinarius. Walaupun dilakukan pada beberapa institusi, cara ini tidak
direkomendasikan karena dapat menimbulkan sepsis dan memperparah infeksi.
Penanganan

antegrade

dengan

pemasangan

tube

nephrostomy

percutaneous diindikasikan pada pasien dengan instabilitas hemodinamik atau


sepsis. Jika beberapa berpendapat bahwa tehnik ini lebih invasif, namun
pemasangan

tube

nephrostomy

mempunyai

keuntungan.

Melalui

tube

nephrostomy maka dapat dimasukkan obat-obatan langsung ke dalam tubulus


kolektivus dan ureter untuk mengatasi infeksi, batu terkadang dapat dihancurkan
secara kimiawi lewat irigasi antegrade. Studi radiografik secara antegrade sangat
membantu dalam rencana terapi saat kondisi pasien sudah stabil. Keuntungan
yang paling penting dari cara ini adalah dimungkinkannya drainase pada unit
ginjal yang terinfeksi dengan trauma dan resiko yang minimal terhadap pasien.
Kerugian dari pemasangan tube nephrostomy adalah kemungkinan adanya
trauma ginjal dan kesulitan penempatan tube pada beberapa pasien karena bentuk
tubuh atau hydronephrosis ringan yang membuat penentuan lokasi lewat
ultrasonografi menjadi sulit.
Pada manajemen pyonephrosis, tube nephrostomy tidak boleh ditempatkan
secara transpleural. Hal ini untuk menghindari terjadinya pneumothorax, infeksi
pleural, dan pembentukan empyema.
Pemasangan tube secara percutaneous pada area suprapubic yang dibantu
lewat ultrasonografi atau radiografi dapat sangat membantu pada beberapa pasien
dengan urosepsis akibat obstruksi vesica urinaria ketika Foley kateter tidak dapat
dipasang.

2.3.7. Komplikasi 12

16

Sepsis merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada periode


perioperative saat terapi terlambat. Peritonitis general dapat muncul dari rupture
ginjal pionefrotik.
Pada 1996, dilaporkan kasus pertama abses spleen yang berkembang dari
rupturnya pionefrosis setelah terjadinya peritonitis general. Fistula renokolonik,
renoduodenal, dan renokutaneus juga menjadi komplikasi yang sering terjadi.
Komplikasi lain yang lebih jarang terjadi yaitu pneumoperitoneum dari lithogenic
pyonephrosis, nephrobronchial fistula, renal vein thrombosis, psoas abscess
and/or perinephric abscess, dan rhabdomyolysis.
Terlambatnya diagnosis dan terapi dapat menyebabkan kehilangan fungsi
renal akibat kerusakan parenkim. Hematoma perinefrik, transfuse darah, dan
nephrostomy tube revision juga merupakan komplikasi dari drainase perkutaneus.

2.3.8. Prognosis
Prognosis pionefrosis baik pada kebanyakan pasien yang mendapatkan diagnosis
dan terapi yang sesuai. Pyonephrosis merupakan stadium akhir dari ginjal yang
mengalami obstruksi dan terinfeksi. Ginjal sama sekali tidak berfungsi dan berisi
pus yang kental. Foto polos abdomen menunjukkan adanya udara urogram yang
disebabkan oleh gas yang dilepaskan oleh organisme yang menginfeksi.

BAB 3
PENUTUP

17

Pionefrosis merupakan urine yang terinfeksi dan bersifat purulent di dalam


sistem traktus urinarius yang mengalami obstruksi. Gejala pionefrosis menyerupai
abses yaitu demam, menggigil, dan flank pain, walaupun pada beberapa pasien
tidak bergejala. Pionefrosis dapat disebabkan oleh beberapa kondisi patologis
yang mengakibatkan adanya ascending infection dalam traktus urinarius atau
penyebaran bakteri secara hematogen.
Pemeriksaan darah lengkap, diff. count, ureum, kreatinin, urinalisis dengan
kultur, dan kultur darah diindikasikan pada pasien dengan suspek pyonephrosis.
Pemeriksaan C-reactive protein belakangan ini diusulkan untuk membantu
diagnosis ginjal dengan hydronephrosis yang terinfeksi. Kultur urine dari cairan
diatas area obstruksi harus dilakukan untuk membantu menentukan terapi
antibiotik. Spesimen kultur dapat diperoleh dari kateter. Kultur juga harus
diperoleh dari tube percutaneous pada saat dilakukan nephrostomy.
Pasien-pasien dengan pionefrosis yang tidak diketahui pada tahap awal
akan cepat memburuk dan timbul syok septik. Sebagai tambahan dari resiko
kematian akibat syok septik, komplikasi lain dari diagnosis dan penanganan yang
terlambat dari pionefrosis adalah kerusakan ireversibel dari ginjal sehingga
memerlukan tindakan nefrektomi. Penanganan infeksi pada pasien dengan
obstruksi ginjal tidak cukup dengan antibiotik dan memerlukan intervensi
pembedahan. 1

DAFTAR PUSTAKA

18

1. St Lezin M, Hofmann R, Stoller ML. Pyonephrosis: diagnosis and


2.

treatment. Br J Urol. Oct 1992;70(4):360-3.


Perimenis P. Pyonephrosis and renal abscess associated with kidney

tumours. Br J Urol. Nov 1991;68(5):463-5.


3. Wah TM, Weston MJ, Irving HC. Lower moiety pelvic-ureteric junction
obstruction (PUJO) of the duplex kidney presenting with pyonephrosis in
adults. Br J Radiol. Dec 2003;76(912):909-12.
4. Drake, R.L., Vogl, A.W., Mitchell, A.W.M. (2010) Grays Anatomy for
Students 2nd Edition. Amerika Serikat: Elsevier.
5. Stoller, L. (2012) Urinary Stone Disease. In: McAnich, J &Tanagho, E.
eds. Smiths General Urology 18th Edition. Amerika Serikat: McGraw Hill.
6. Thompson, E.G., Seifer, A.L., 2012.Male Urinary System. Diperoleh
dari: http://www.webmd.com/men/male-urinary-system

[Diakses

pada

April 2014].
rd
7. Purnomo, B.B., 2011. Dasar-dasar Urologi. 3 .Jakarta: Sagung Seto.
8. OpenStax College, 2013. Gross Anatomy of the Kidney, OpenStax-CNX,
Diperoleh

dari:

http://cnx.org/content/m46429/latest/?

collection=col11496/latest [Diakses pada 2 April 2014]


9. National Cancer Institute, 2013. PDQ Urethral Cancer Treatment.
Bethesda,

MD:

http://www.meb.uni-

National

Cancer

Institute.

Diperoleh

bonn.de/cancer.gov/CDR0000435963.html

dari:

[Diakses

pada 2 April 2014]


10. Roberts JA. Pyelonephritis, cortical abscess, and perinephric abscess. Urol
Clin North Am. Nov 1986;13(4):637-45.
11. Sugiura S, Ishioka J, Chiba K, et al. [A case report of splenic abscesses due to
pyonephrosis]. Hinyokika Kiyo. Apr 2004;50(4):265-7.
12. Hendaoui MS, Abed A, M'Saad W, et al. [A rare complication of renal
lithiasis: peritonitis and splenic abscess caused by rupture of pyonephrosis]. J
Urol (Paris). 1996;102(3):130-3.
13. Wu TT, Lee YH, Tzeng WS, et al. The role of C-reactive protein and
erythrocyte sedimentation rate in the diagnosis of infected hydronephrosis
and pyonephrosis. J Urol. Jul 1994;152(1):26-8.
14. Baumgarten DA, Baumgartner BR. Imaging and radiologic management of
upper urinary tract infections. Urol Clin North Am. Aug 1997;24(3):545-69.

19

20

1 St Lezin M, Hofmann R, Stoller ML. Pyonephrosis: diagnosis and treatment. Br J Urol. Oct 1992;70(4):360-3.
2 Perimenis P. Pyonephrosis and renal abscess associated with kidney tumours. Br J Urol. Nov 1991;68(5):463-5.
3 Wah TM, Weston MJ, Irving HC. Lower moiety pelvic-ureteric junction obstruction (PUJO) of the duplex kidney
presenting with pyonephrosis in adults. Br J Radiol. Dec 2003;76(912):909-12.

Drake, R.L., Vogl, A.W., Mitchell, A.W.M. (2010) Grays Anatomy for Students 2nd Edition.
Amerika Serikat: Elsevier.
4

5 Stoller, L. (2012) Urinary Stone Disease. In: McAnich, J &Tanagho, E. eds. Smiths General

Urology 18th Edition. Amerika Serikat: McGraw Hill.


Thompson, E.G., Seifer, A.L., 2012.Male Urinary System. Diperoleh dari:
http://www.webmd.com/men/male-urinary-system [Diakses pada 2 April 2014].
6

rd

Purnomo, B.B., 2011. Dasar-dasar Urologi. 3 .Jakarta: Sagung Seto.

8 OpenStax College, 2013. Gross Anatomy of the Kidney, OpenStax-CNX, Diperoleh dari:

http://cnx.org/content/m46429/latest/?collection=col11496/latest [Diakses pada 2 April 2014]


National Cancer Institute, 2013. PDQ Urethral Cancer Treatment. Bethesda, MD: National Cancer
Institute. Diperoleh dari: http://www.meb.uni- bonn.de/cancer.gov/CDR0000435963.html [Diakses
pada 2 April 2014]
9

10 Roberts JA. Pyelonephritis, cortical abscess, and perinephric abscess. Urol Clin North Am. Nov 1986;13(4):63745.

11 Sugiura S, Ishioka J, Chiba K, et al. [A case report of splenic abscesses due to pyonephrosis]. Hinyokika
Kiyo. Apr 2004;50(4):265-7.

12 Hendaoui MS, Abed A, M'Saad W, et al. [A rare complication of renal lithiasis: peritonitis and splenic abscess
caused by rupture of pyonephrosis]. J Urol (Paris). 1996;102(3):130-3.

13 Wu TT, Lee YH, Tzeng WS, et al. The role of C-reactive protein and erythrocyte sedimentation rate in the
diagnosis of infected hydronephrosis and pyonephrosis. J Urol. Jul 1994;152(1):26-8.

14 Baumgarten DA, Baumgartner BR. Imaging and radiologic management of upper urinary tract infections. Urol Clin
North Am. Aug 1997;24(3):545-69.

Anda mungkin juga menyukai