Disusun Oleh:
Dian Puspitasari
SK.321.014
3. Kandung kemih
Kandung kemih merupakan suatu organ cekung yang dapat
berdistensi dan tersusun atas jaringan otot serta merupakan wadah tempat
urine dan merupakan ekskresi. Pada pria kandung kemih terletak pada
rectum bagian posterior dan wanita kandung kemih terletak pada dinding
anterior uterus dan vagina. Bentuk kandung kemih berubah saat ia terisi
urine. Kandung kemih dapat menampung sekitar 600ml urine walaupun
pengeluaran urine normal sekitar 300ml.
Dalam keadaan penuh, kandung kemih membesar dan membentang
sampai keatas simpisis pubis. Trigonum (suatu daerah segitiga yang halus
pada permukaan bagian dalam kandung kemih) merupakan dasar kandung
kemih.
Dinding kandung kemih memiliki 4 lapisan: lapisan mukosa di dalam,
sebuah lapisan submukosa pada jaringan penyambung, sebuah lapisan otot
dan lapisan serosa di bagian luar. Sfingter uretra interna, yang tersusun atas
kumpulan otot yang berbentuk seperti cincin, berada pada dasar kandung
kemih tempat sfingter tersebut bergabung dengan uretra. Sfingter
mencegah urine keluar dari kandung kemih dan berada di bawah control
volunter (kontrol otot yang di sadari).
4. Uretra
Urine keluar dari kandung kemih melalui uretra keluar dari tubuh
melalui meatus uretra. Dalam kondisi normal aliran urine yang mengalami
turbulansi membuat urine bebas dari bakteri. uretra pada wanita memiliki
panjang sekitar 4 sampai 6,5cm. Panjang uretra yang pendek pada wanita
menjadi faktor redisposisi untuk mengalami infeksi. Bakteri dapat dengan
mudah masuk ke dalam uretra dari daerah perineum. Uretra pada pria yang
merupakan saliran perkemihan dan jalan keluar sel serta sekresi dari organ
reproduksi, memiliki panjang 20cm. Uretra pada pria ini memiliki 3 bagian
yaitu: uretra prostatic, uretra membranose, dan uretra penil/uretra prostatic.
Pada wanita, meatus urinarius (lubang) terletak diantara labia minora,
di atas vagina dan di bawah klitoris. Pada pria, meatus terletak pada ujung
distal penis (Tarwoto&Wartonah, 2006 )
5. Cara Kerja Perkemihan
Beberapa struktur otak yang mempengaruhi fungsi kandung kemih
meliputi korteks serebral, thalamus, hipotalamus, dan batang otak. Secara
bersama-sama, struktur otak ini menekan kontraksi otot dektrusol kandung
kemih sampai individu ingin berkemih/ buang air. Dua pusat di pons yang
mengatur mikturisi / berkemih, yaitu : pusat M mengaktifkan refleks otot
dektrusol dan pusat L mengkoordinasikan tonus otot pada dasar panggul.
Pada saat berkemih, respon yang terjadi kontraksi kantong kemih relaksasi
otot pada dasar panggul yang koordinasi.
Dalam kondisi normal dapat menampung 600ml urine namun,
keinginan untuk berkemih dapat di rasakan pada saat kandung kemih terisi
urine dalam jumblah yang kecil (150-200ml pada orang dewasa dan 50-
200ml pada anak kecil). Implus syaraf parasimpatis dari pusat mikturisi
menstimulasi otot detrusor untuk berkontraksi, secara teratur sfingter uretra
interna juga berelaksasi sehingga urine dapat masuk ke dalam uretra,
walaupun berkemih belum terjadi. Apabila individu memilih untuk tidak
berkemih, sfingter urinarius eksterna dalam keadaan berkontraksi dan
refleks mikturisi di hambat. Namun pada saat individu memilih untuk
berkemih sfingter eksterna berelaksasi, refleks mikturisi menstimulasi otot
detrusor untuk berkontraksi sehingga terjadilah pengosongan kandung
kemih yang efisien. Apabila keinginan untuk berkemih di abaikan berulang
kali, daya tampung kandung kemih dapat menjadi maksimal dan
menimbulkan tekanan pada sfingter sehingga dapat membuat control
volunteer tidak mungkin lagi di lanjutkan.
Kerusakan pada medulla spinalis di atas daerah sakralis menyebabkan
hilangnya control volunter berkemih, tetapi jalur refleks berkemih dapat
tetap utuh sehingga memungkinkan terjadinya berkemih secara refleks.
Kondisi ini disebut refleks kandung kemih.
C. Faktor predisposisi/Faktor pencetus
1. Respon keinginan awal untuk berkemih atau defekasi.
Beberapa masyarakat mempunyai kebiasaan mengabaikan respon awal
untuk berkemih atau defekasi. Akibatnya urine banyak tertahan di kandung
kemih. Begitu pula dengan feses menjadi mengeras karena terlalu lama di
rectum dan terjadi reabsorbsi cairan.
2. Gaya hidup.
Banyak segi gaya hidup mempengaruhi seseorang dalam hal eliminasi
urine dan defekasi. Tersedianya fasilitas toilet atau kamar mandi dapat
mempengaruhi frekuensi eliminasi dan defekasi. Praktek eliminasi
keluarga dapat mempengaruhi tingkah laku.
3. Stress psikologi
Meningkatnya stress seseorang dapat mengakibatkan meningkatnya
frekuensi keinginan berkemih, hal ini karena meningkatnya sensitif untuk
keinginan berkemih dan atau meningkatnya jumlah urine yang diproduksi.
4. Tingkat perkembangan.
Tingkat perkembangan juga akan mempengaruhi pola berkemih. Pada
wanita hamil kapasitas kandung kemihnya menurun karena adanya tekanan
dari fetus atau adanya lebih sering berkemih. Pada usia tua terjadi
penurunan tonus otot kandung kemih dan penurunan gerakan peristaltik
intestinal.
5. Kondisi Patologis.
Demam dapat menurunkan produksi urine (jumlah & karakter).
6. Obat-obatan, diuretiik dapat meningkatkan output urine. Analgetik dapat
terjadi retensi urine.
F. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan USG
2. Pemeriksaan foto rontgen
3. Pemeriksaan laboratorium urin dan feses
G. Penatalaksanan Medis
1. Dengan cara memasang kateter pria dan kateter wanita , dan juga kondom
kateter. Dengan tujuan :
a. Untuk segera mengatasi distensi kandung kemih
b. Untuk pengumpulan specimen urine
c. Untuk mengukur residu urine setelah miksi di dalam kandung kemih
d. Untuk mengosongkan kandung kemih sebelum dan selama pembedahan
H. Pengkajian Keperawatan
1. Riwayat keperawatan eliminasi
Riwayat keperawatan eliminasi fekal dan urin membantu perawat
menentukan pola defekasi normal klien. Perawat mendapatkan suatu
gambaran feses normal dan beberapa perubahan yang terjadi dan
mengumpulkan informasi tentang beberapa masalah yang pernah terjadi
berhubungan dengan eliminasi, adanya ostomy dan faktor-faktor yang
mempengaruhi pola eliminasi.
Pengkajiannya meliputi:
a. Pola eliminasi
b. Gambaran feses dan perubahan yang terjadi
c. Masalah eliminasi
d. Faktor-faktor yang mempengaruhi seperti : penggunaan alat bantu,
diet, cairan, aktivitas dan latihan, medikasi dan stress.
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik abdomen terkait dengan eliminasi alvi meliputi
inspeksi, auskultasi, perkusi dan palpasi dikhususkan pada saluran
intestinal. Auskultasi dikerjakan sebelum palpasi, sebab palpasi dapat
merubah peristaltik. Pemeriksaan rektum dan anus meliputi inspeksi dan
palpasi. Inspeksi feses, meliputi observasi feses klien terhadap warna,
konsistensi, bentuk permukaan, jumlah, bau dan adanya unsur-unsur
abdomen. Perhatikan tabel berikut :
KARAKTERISTIK FESES NORMAL DAN ABNORMAL
Karakteristik Normal Abnormal Kemungkinan penyebab
Warna Dewasa : Pekat / putih Adanya pigmen empedu
kecoklatan (obstruksi empedu);
Bayi : kekuningan pemeriksaan
diagnostik
menggunakan barium
Hitam / spt ter. Obat (spt. Fe); PSPA
(lambung, usus
halus); diet tinggi
buah merah dan sayur
hijau tua (spt. Bayam)
Merah PSPB (spt. Rektum),
beberapa makanan spt
bit.
Pucat Malabsorbsi lemak; diet
tinggi susu dan
produk susu dan
rendah daging.
Orange atau Infeksi usus
hijau
Konsistensi Berbentuk, lunak,Keras, kering Dehidrasi, penurunan
agak cair / motilitas usus akibat
lembek, basah. kurangnya serat,
kurang latihan,
gangguan emosi dan
laksantif abuse.
Diare Peningkatan motilitas
usus (mis. akibat
iritasi kolon oleh
bakteri).
Bentuk Silinder (bentukMengecil, bentuk Kondisi obstruksi rektum
rektum) dgn Æ pensil atau
2,5 cm u/ orang seperti benang
dewasa
Jumlah Tergantung diet
(100 – 400
gr/hari)
Bau Aromatik : dipenga-Tajam, pedas Infeksi, perdarahan
ruhi oleh
makanan yang
dimakan dan
flora bakteri.
Unsur Sejumlah kecilPus Infeksi bakteri
pokok bagian kasarMukus Konsidi peradangan
makanan yg tdkParasit Perdarahan
dicerna, Darah gastrointestinal
potongan bak-Lemak dalam Malabsorbsi
teri yang mati, jumlah besar Salah makan
sel epitel,Benda asing
lemak, protein,
unsur-unsur
kering cairan
pencernaan
(pigmen empedu
dll)
3. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik saluran gastrointestinal meliputi tehnik visualisasi
langsung / tidak langsung dan pemeriksaan laboratorium terhadap unsur-
unsur yang tidak normal.
I. Diagnosa Keperawatan
1. Retensi urine berhubungan dengan kelemahan otot detrusor
2. Gangguan pola eliminasi urine berhubungan dengan inkontinensia
3. Inkontinensia fungsional berhubungan dengan penurunan isyarat kandung
kemih
J. Rencana Keperawan
Daftar Pustaka
Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Eliminasi. Terdapat pada :
http://911medical.blogspot.com/2007/06/asuhan-keperawatan-klien-dengan-
masalah.html
Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Vol 3. enerbit
Kedokteran EGC: Jakarta.
Harnawatiaj. 2010. Konsep Dasar Pemenuhan Kebutuhan Eliminasi Fekal.
Terdapat pada : http://harnawatiaj.wordpress.com/2008/03/14/konsep-dasar-
pemenuhan-kebutuhan-eliminasi-fecal/
Septiawan, Catur E. 2008. Perubahan Pada Pola Urinarius. Terdapat pada:
www.kiva.org
Sjamsuhidajat. 2004. Buku Ajar Medikal Bedah. Penerbit Kedokteran EGC:
Jakarta.
Supratman. 2000. askep Klien Dengan Sistem Perkemihan
Andi Visi Kartika. Retensi Urin Pospartum.
Http://www.jevuska.com/2007/04/19/retensi-urine-post-partum
Siregar, c. Trisa , 2004, Kebutuhan Dasar Manusia Eliminasi BAB, Program Studi
Ilmu Keprawatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Johnson M., Meridean, M., Moorhead, 2010. NANDA, NIC, NOC. PENERBIT:
MOSBY