Anda di halaman 1dari 20

1

LAPORAN PENDAHULUAN

A. Definisi Eliminasi Urin


Eliminasi urine adalah pengeluaran cairan sebagai hasil filtrasi dari
plasma darah di glomerulus. Dari 180 liter darah yang masuk ke ginjal
untuk difiltrasi, hanya 1-2 liter saja yang dapat berupa urine, sebagian
besar filtrasi akan diserap kembali di tubulus ginjal untuk dimanfaatkan
oleh tubuh (Tarwoto dan Wartonah, 2011 : 87).
Eliminasi urin merupakan fungsi dasar yang sering dilupakan. Jika
terjadi gagal fungsi eliminasi, semua sistem organ akan terpengaruh.
Klien juga merasakan penderitaan emosional akibat perubahan citra
tubuh perawat harus memahami alasan gangguan eliminasi urine,
mencari solusi yang tepat, dan memberikan pemahaman serta
sensitivitas terhadap semua kebutuhan klien.
Eliminasi urine bergantung pada ginjal, ureter, kandung kemih, dan
uretra. Ginjal membuang zat sisa dari darah untuk membentuk urine.
Ureter mentranspor urine dari ginjal ke kandung kemih. Kandung kemih
menampung urine sampai ada dorongan berkemih. Urine meninggalkan
tubuh melalui uretra. Semua organ sistem urine harus utuh dan fungsional
agar zat sisa dapat terbuang dengan baik (Potter dan Perry, 2010 : 342).

B. Anatomi dan Fisiologi Eliminasi Urine


Menurut Potter dan Perry (2010 : 342-344) adapun anatomi fisiologi
eliminasi urine terdiri dari :
1. Anatomi eliminasi urine
a. Ginjal
Ginjal terletak di samping kolumna vertebralis di belakang
peritoneum dan di depan otot punggung. Ginjal kanan terletak lebih
rendah karena posisi hati yang berada di atasnya. Ginjal menyaring
zat sisa metabolisme yang terkumpul dalam darah. Darah mencapai
ginjal melalui arteri renalis yang merupakan cabang aorta
abdominalis, sekitar 20-25% curah jantung bersirkulasi tiap menit
melalui ginjal. Nefron merupakan unit fungsional ginjal yang
membentuk urine. Nefron tersusun atas glomerulus, kapsula

1
2

bowman, tubulus konvolusi proksimal, lengkung henle, tubulus


distal, dan duktus.
Sekelompok pembuluh darah menyusun jaringan kapiler di
glomerulus, glomerulus merupakan lokasi filtrasi awal dan awal
pembentukan urine. Kapiler glomerulus memungkinkan filtrasi air,
glukosa, asam amino, urea, kreatinin, dan elektrolit utama ke dalam
kapsula bowman. Protein besar dan sel darah tidak akan dapat
melewati filtrasi glomerulus, adanya protein besar di urine
(proteinuria) merupakan tanda cedera glomerular. Glomerulus
menyaring dengan kecepatan sekitar 125 ml per menit.
Tidak semua filtrat glomerular akan dibuang sebagai urine. Sekitar
99% filtrat diabsorpsi kembali ke dalam plasma, dan 1% sisanya
diekskresikan sebagai urine (Copstead dan Banasik, 2005). Ginjal
berperan penting dalam keseimbangan cairan dan elektrolit.
Walaupun keluaran bergantung pada asupan, keluaran urine
dewasa normal adalah 1500-1600 ml/hari. Keluaran yang berkurang
dari 30 ml/jam mengindikasikan kemungkinan gangguan ginjal.
Ginjal memproduksi beberapa substansi penting bagi produksi sel
darah merah, tertekan darah, dan mineralisasi tulang. Ginjal
mempertahankan volume sel darah merah normal dengan
memproduksi eritropoietin. Eritropotein berfungsi di dalam sumsum
tulang untuk merangsang produksi dan pematangan sel darah
merah dan memperpanjang usia sel darah merah yang matang
(Copstead dan Banasik, 2005). Klien dengan gangguan ginjal kronis
tidak dapat memproduksi hormon ini dalam jumlah yang cukup
sehingga rentan terhadap anemia.
Hormon ginjal mempengaruhi tekanan darah dengan beberapa
cara. Saat terjadi iskemia renal (penurunan suplai darah), renin
dilepas dari sel jukstaglomerular. Renin merupakan enzim yang
mengubah angiotensinogen (substansi yang disintesis di hati)
menjadi angiotensin I. Kemudian angiotensin I diubah menjadi
angiotensin II di paru-paru. Angiotensin II menyebabkan
vasokontriksi dan merangsang pelepasan aldosteron dari korteks
adrenal. Aldosteron akan menyebabkan retensi air yang akan
meningkatkan volume darah. Ginjal juga memproduksi
3

prostaglandin E2 dan prostasiklin, yang membantu


mempertahankan aliran darah ginjal melalui vasodilatasi.
Mekanisme ini meningkatkan tekanan darah arterial dan aliran
darah ginjal (Copstead dan Banasik, 2005). Ginjal mempengaruhi
regulasi kalsium dan fosfat dengan memproduksi substansi yang
mengubah vitamin D menjadi bentuk yang aktif. Klien dengan
gangguan ginjal kronis tidak memiliki vitamin D aktif dalam jumlah
yang cukup sehingga rentan terhadap penyakit tulang ginjal akibat
demineralisasi tulang yang ditimbulkan oleh gangguan absorpsi
kalsium.
b. Ureter
Ureter merupakan struktur seperti tabung yang memasuki kandung
kemih. Urine dari ureter yang menuju kandung kemih biasanya
steril. Gerakan peristaltik yang menyebabkan urine memasuki
kandung kemih dalam bentuk semprotan, bukan secara terus-
menerus. Ureter memasuki kandung kemih dengan posisi oblik
melalui dinding kandung kemih posterior. Susunan ini mencegah
refluks urine saat mikturisi, dengan adanya kompersi ureter pada
tautan ureterovesikal (pertemuan ureter dengan kandung kemih).
Obstruksi di dalam ureter, seperti batu ginjal (kalkulus renal),
menimbulkan gerakan peristaltik yang kuat dalam usahanya
mnghilangkan obstruksi di kandung kemih. Hal ini serig
menimbulkan nyeri yang disebut kolik renal.
c. Kandung kemih
Kandung kemih merupakan organ berotot yang dapat merenggang
dan memiliki rongga. Organ ini berfungsi menyimpan dan
mengekskresikan urine. Dalam keadaan kosong, kandung kemih
terletak pada rongga pelvis di belakang simfisis pubis. Pada pria,
kandung kemih terletak di depan dinding anterior rektum;
sedangkan pada wanita terletak di depan dinding anterior uterus
dan vagina.
Kandung kemih dapat membesar saat terisi urine. Tekanan di
dalam kandung kemih biasanya rendah walaupun sedang terisi
sebagian, sehingga hal ini melindungi dari bahaya infeksi. Saat
kandung kemih penuh, ia akan mengembang dan membesar di atas
4

simfisis pubis. Kandung kemih yang sangat membesar dapat


berada setinggi umbilikus. Pada kehamilan, fetus mendorong
kandung kemih sehingga kapasitasnya berkurang dan menimbulkan
rasa penuh. Efek ini terjadi pada trimester pertama dan ketiga.
Trigonus (area segitiga pada permukaan dalam kandung kemih)
berada pada dasar kandung kemih. Setiap pembukaan terletak
pada ketiga sudut trigonus. Dua pembukaan terdiri atas satu
saluran bagi ureter dan satu untuk uretra.
d. Uretra
Urine mengalir dari kandung kemih melalui uretra dan keluar dari
tubuh melalui meatus uretra. Normalnya, aliran turbulen urine
melalui uretra akan membersihkannya dari bakteri. Membran
mukosa melapisi uretra, dan kelenjar uretra menyekresikan mukus
ke dalam saluran uretra. Uretra di kelilingi oleh lapisan otot polos
yang tebal. Selain itu, uretra turun melalui lapisan otot-otot lurik
yang disebut otot panggul. Jika otot ini berkontraksi, aliran urine
melalui uretra dapat dicegah (Copstead dan Banasik, 2005).
Pada wanita, panjang uretra sekitar 4-6,5 (11/2-21/2 inci) cm.
sfingter uretra eksternal yang terletak di pertengahan uretra
memungkinkan aliran urine secara volunter. Ukuran yang pendek ini
memungkinkan infeksi pada wanita. Bakteri mudah memasuki
uretra dari area peritoneum. Pada pria, uretra yang panjangnya
kurang lebih 20 cm merupaka saluran urine sekaligus saluran bagi
sel, dan sekresi organ reproduksi. Uretra pria memliki 3 bagian,
yaitu: uretra prostatika, uretra membranosa dan uretra penil (pars
cavernosa).
2. Fisiologi eliminasi urine
Beberapa struktur otak mempengaruhi fungsi kandung kemih,
termasuk korteks serebri, talamus, hipotalamus, dan batang otak,
struktur tersebut akan menghambat keinginan berkemih. Berkemih
yang normal melibatkan kontraksi kandung kemih dan relaksasi
sfingter uretra dan otot panggul yang terkordinasi.
Kandung kemih normalnya dapat menampung 600 ml urine, tetapi
seseorang akan merasakan keinginan berkemih saat kandung kemih
mengandung urine sebanyak 150-200 ml pada dewasa, dan 50-100 ml
5

pada anak-anak. Jika volume terus bertambah, dinding kandung kemih


akan merenggang dan mengirimkan impuls sensorik ke pusat mikturisi
di korda spinalis bagian sakrum. Impuls dari pusat mikturisi akan
merespons atau mengembalikan dorongan berkemih, sehingga
berkemih berada di bawah kontrol volunter. Jika individu memilih untuk
tidak berkemih, sfingter external akan tetap berkontraksi dan
menghambat refleks mikturisi. Namun jika ia telah siap berkemih,
sfingter eksternal akan berelaksasi dan refleks mikturisi akan
merangsang otot detruksor untuk berkontraksi sehingga terjadi
pengosongan kandung kemih yang efektif. Jika kandung kemih terlalu
penuh, tekanan kandung kemih akan melebihi tekanan sfingter dan
terjadi pengeluaran urine secara involunter.

C. Karakteristik Urine
Menurut Tarwoto dan Wartonah (2011 : 97) karakteristik dan
komposisi urine adalah sebagai berikut :
1. Volume
Pada orang dewasa rata-rata urine yang dikeluarkan setiap berkemih
berkisar 250-400ml, tergantung dari intake dan kehilangan cairan. Jika
pengeluaran urine kurang dari 30 ml/jam, kemungkinan terjadi tidak
adekuatnya fungsi ginjal.
2. Warna
Urine normal warnanya kekuning-kuningan jernih, warna ini terjadi
akibat adanya urobilin. Warna lain seperti kuning gelap atau kuning
coklat dapat terjadi pada dehidrasi. Obat-obatan juga dapat mengubah
warna urine seperti warna merah atau oranye gelap.
3. Bau bervariasi tergantung komposisi
Bau urine aromatik yang menyengat atau memusingkan timbul karena
mengandung amonia.
4. pH sedikit asam antara 4,5–8 atau rata–rata 6,0.
pH dipengaruhi oleh intake makanan. Misalnya urine vegetarian
menjadi sedikit basa.
5. Berat jenis 1.003-1.030.
6. Komposisi air 93-97%.
7. Osmolaritas (konsentrasi osmotik) 855-1.335 mOsm/liter.
6

8. Bakteri tidak ada.

D. Klasifikasi Gangguan
Menurut Potter dan Perry (2010 : 347) sebagian besar klien dengan
gangguan berkemih tidak mampu menyimpan urine atau mengosongkan
kandung kemih secara komplit. Gangguan ini dapat diakibatkan oleh
masalah fungsi kandung kemih. Instruksi aliran urine, atau
ketidakmampuan mengendalikan miksi volunter klien dapat mengalami
perubahan permanen ataupun temporer pada jalur ekskresi urine.
1. Retensi urine
Retensi urine adalah penumpukan urine akibat ketidakmampuan
pengosongan kandung kemih. Normalnya, produksi urine mengisi
kandung kemih dan mencegah aktivasi reseptor sampai terjadi distensi
dengan ketegangan tertentu. Refleks miksi akan terjadi, dan kandung
kemih menjadi kosong. Pada retensi urine, kandung kemih tidak
mampu merespons refleks miksi sehingga tidak terjadi pengosongan.
Urine terus berkumpul di dalam kandung kemih dan membuat
dindingnya tegang sehingga timbul perasaan tertekan, tidak nyaman,
nyeri simfisis pubis, kegelisahan, dan diaforesis.
Dengan berlanjutnya retensi, terjadi retensi dengan overflow. Tekanan
di kandung kemih mencapai titik dimana sfingter uretra eksternal tidak
mampu menahan urine. Sfingter akan terbuka untuk memungkinkan
urine keluar dalam jumlah sedikit (25-60 ml). Saat urine keluar,
tekanan kandung kemih berkurang sehingga sfingter dapat menutup
kembali. Klien retensi dapat mengeluarkan urine dengan jumlah kecil
2-3 kali dalam satu jam, tetapi adanya distensi kandung kemih dan
rasa nyeri.
Menurut Vaughans (2013 : 312) seorang pasien yang mempunyai
retensi urine punya tanda-tanda dan gejala-gejala berikut :
a. Ketidaknyamanan untuk buang air kecil atau buang air dalam jumlah
sedikit yang sering (25-50 mL setiap 2-3 jam).
b. Tidak nyaman di area publik.
c. Pembengkakan kandung kemih di area suprapubik.
d. Ketidaksesuaian signifikan antara asupan cairan dan keluaran urine.
Jika retensi urine tidak diperbaiki, akan menyebabkan hilangnya
7

ketegangan kandung kemih, ISP, dan kerusakan ginjal karena aliran


balik urine.
Pada retensi akut, tanda utama adalah distensi kandung kemih dan
ketiadaan keluaran urine dalam beberapa jam. Klien di bawah
pengaruh obat anestesi atau analgesik hanya merasakan tekanan,
tetapi klien yang sadar akan merasakan nyeri berat saat kandung
kemih berdistensi di atas kemampuan normalnya. Pada retensi berat,
kandung kemih dapat mengandung 2000-3000 ml urine. Retensi terjadi
sebagai akibat obstruksi uretra, trauma operatif atau persalinan,
perubahan saraf motorik dan sensorik pada kandung kemih, efek
samping obat, atau ansietas.
2. Infeksi saluran kemih
Infeksi saluran kemih merupakan infeksi nosokomial (health care-
associated infection/HAI). Banyak infeksi nosokomial urinal terjadi
akibat tindakan kateterisasi atau pembedahan. E.coli merupakan
patogen penyebab ISK utama yaitu 75%-95% (Mehnert – Kay, 2005).
Bakteriuria (bakteri di dalam urine) mengakibatkan penyebaran
organisme ke ginjal dan dapat menimbulkan bakteremia atau
urosepsis (bakteri dalam aliran darah) (Lewis dkk., 2007).
Mikroorganisme umumnya memasuki saluran kemih melalui uretra.
Bakteri menghuni uretra distal dan genital eksternal pada pria dan
wanita, dan juga pada vagina.
Klien ISK bawah mengalami rasa nyeri atau terbakar saat berkemih
(disuria) saat urine melewati jaringan yang meradang. Seiring
perburukan, dapat timbul demam, menggigil, mual, munm tah, dan
malaise.
3. Inkontinensia perkemihan
Inkontinensia perkemihan adalah ketidaknyamanan untuk mengontrol
pengosongan kandung kemih. Ini bisa sementara atau kronis dan
terjadi untuk berbagai alasan. Seorang pasien yang mempunyai
inkontinensia perkemihan tidak akan mengungkapkan pada dokter
karena malu. Selain itu, individu dapat berhenti dari aktivitas yang
melibatkan interaksi dengan orang karena takut rembesan dan bau
urine akan diketahui orang lain. Pasien yang mengalami inkontinensia
kronis juga akan mengalami kerusakan kulit (Vaughans, 2013 : 312).
8

Menurut Mubarak (2008 : 117) ada dua jenis inkontinensia urine, yaitu
inkontinensia stres dan inkontinensia urgensi.
a. Inkontinensia stres. Inkontinensia stres saat tekanan intraabdomen
meningkat dan menyebabkan kompresi kandung kemih. Kondisi ini
biasanya terjadi ketika seseorang batuk atau tertawa. Penyebabnya
antara lain peningkatan tekanan intraabdomen, perubahan
degeneratif terkait usia, dll.
b. Inkontinensia urgensi. Inkontinensia urgensi terjai saat klien
mengalami pengeluaran urine involunter karena desakan yang kuat
dan tiba-tiba untuk berkemih. Penyebabnya antara lain infeksi
saluran kemih bagian bawah, spasme kandung kemih, overdistensi
kandung kemih, penurunan kapasitas kandung kemih, peningkatan
konsumsi kafein atau alkohol, serta peningkatan konsentrasi urine
(Taylor, 1989).
4. Enuresis (mengompol)
Enuresis adalah peristiwa berkemih tidak disadari pada anak yang
usianya melampaui batas usia normal kontrol kandung kemih
seharusnya tercapai. Enuresis lebih banyak terjaid pada anak-anak di
malam hari (enuresis nokturnal). Faktor penyebabnya antara lain
kapasitas kandung kemih yang kurang dari normal, infeksi saluran
kemih, konsumsi makanan yang banyak mengandung garam dan
mineral, takut keluar malam, dan gangguan pola miksi.
5. Sering berkemih (frekuensi)
Sering berkemih (frekuensi) adalah meningkatnya frekuensi berkemih
tanpa disertai peningkatan asupan cairan. Kondisi ini biasanya terjadi
pada wanita hamil (tekanan rahim pada kandung kemih), kondisi stres,
dan infeksi saluran kemih.
6. Urgensi
Urgensi adalah perasaan yang sangat kuat untuk berkemih. Ini biasa
terjadi pada anak-anak karena kemampuan kontrol sfingter mereka
yang lemah. Gangguan ini biasanya muncul pada kondisi stres
psikologis dan iritasi uretra.
9

E. Faktor Yang Mempengaruhi Perkemihan


Menurut Potter dan Perry (2010 : 345–347) faktor yang mempengaruhi
perkemihan adalah:
1. Kondisi penyakit
Proses penyakit yang mempengaruhi eliminasi urine akan
mempengaruhi fungsi ginjal (perubahan volume atau kualitas urine), aksi
eliminasi urine, atau keduanya. Kondisi yang mempengaruhi volume dan
kualitas urine dikategorikan sebagai prerenal, renal, atau pascarenal.
Gangguan fungsi ginjal dapat diakibatkan oleh berkurangnya aliran
darah menuju dan melalui ginjal (prerenal), penyakit di jaringan ginjal
(renal), atau obstruksi di saluran kemih bawah (pascarenal). Kondisi
saluran kemih bawah seperti penyempitan uretra, gangguan persarafan
kandung kemih, atau kelemahan otot pelvis dan/ atau perineum dapat
mempengaruhi eliminasi urine.
Banyak penyakit yang mempengaruhi kemampuan mikturisi. Diabetes
melitus dan sklerosis multipel mengubah fungsi saraf sehingga dapat
terjadi kehilangan tonus kandung kemih, penurunan sensasi kandung
kemih yang penuh, atau ketidakmampuan untuk menghambat kontraksi
kadung kemih. Pria lansia sering menderita hiperplasia prostatik jinak
(benign prostatic hyperplasia/BPH) yang membuat mereka rentan
terhadap retensi dan inkontinensia. Klien dengan gangguan kognitif
seperti penyakit Alzheimer kehilangan kemampuannya untuk merasakan
kandung kemih yang penuh atau tidak mampu mngingat prosedur
berkemih. Penyakit yang mengganggu aktivitas fisik akan mengganggu
kemampuan berkemih. Penyakit sendi degeneratif dan parkinsonisme
merupakan contoh kondisi yang menimbulkan kesulitan dalam
menggunakan fasilitas toilet.
Penyakit yang merusak jaringan ginjal secara tidak reversibel akan
menimbulkan penyakit ginjal terhadap akhir (end-stage renal
disease/ERSD). Akhirnya klien akan merasakan gejala sindroma uremik.
Peningkatan zat sisa nitrogen gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit, mual muntah, nyeri kepala, koma, serta kejang merupakan ciri-
ciri sindroma ini. Penanganan yang agresif dibutuhkan pada perburukan
gejala tersebut. Penanganan ini disebut terapi sulih ginjal.
10

2. Faktor sosiokultural
Berkemih memiliki tingkat privasi yang berbeda pada bagian norma
budaya. Warga Amerika Utara menganggap ini sebagi hal yang pribadi,
sedangkan produk Eropa menerima fasilitas toilet bersama. Harapan
sosial (misalnya saat istirahat sekolah) memengaruhi waktu berkemih.
3. Faktor psikologis
Stres dan kegelisahan akan menimbulkan rasa ingin berkemih
secepatnya dan peningkatan frekuensi berkemih. Kegelisahan membuat
seseorang tidak mampu berkemih secara komplit; akibatnya, dorongan
berkemih dengan secara kembali. Ketegangan emosional menyebabkan
kesulitan dalam relaksasi otot abdominal dan perineum. Berkemih di
toilet umum terkadang menimbulkan ketidakmampuan berkemih. Privasi
dan waktu yang cukup untuk berkemih merupakan hal yang penting bagi
sebagian besar orang.
4. Keseimbangan cairan
Ginjal mempertahankan keseimbangan antara retensi dan ekskresi
cairan jika cairan dan konsentrasi elektrolit dan solut berada dalam
keseimbangan, maka peningkatan asupan cairan akan meningkatkan
produksi urine. Jumlahnya akan bervariasi sesuai dengan asupan
makanan dan cairan. Volume urine yang dibentuk di malam hari adalah
setengah dari volume selama siang hari karena berkurangnya asupan
dan metabolisme. Nokturia (terbangun di malam hari untuk berkemih)
merupakan tanda gangguan ginjal pada individu yang sehat, asupan
cairan dalam makanan dan cairan akan seimbang dengan keluaran
cairan di urine, feses, perspirasi, dan respirasi. Keluaran urine yang
berlebihan disebut poliuria. Keluaran urine yang berkurang walaupun
asupannya normal disebut oliguria. Oliguria sering terjadi saat terjadi
kehilangan cairan melalui mekanisme lain (perspirasi, diare, atau
muntah). Hal ini juga terjadi pada penyakit ginjal dini. Anuria sering
terjad pada penyakit ginjal berat, yang tidak terjadinya produksi urine.
Konsumsi cairan tertentu dapat mempengaruhi produksi dan ekskresi
urine. Kopi, the, coklat, dan minuman cola yang mengandung kafein kan
mendorong pembentukan urine (diuresis). Alkohol menghambat
pelelpasan hormon antidiuretik (ADH), dan meningkatkan keluaran
cairan melalui urine.
11

Kondisi demam mempengaruhi produksi urine. Klien dengan perspirasi


yang berlebihan akan kehilangan cairan melalui kehilangan cairan yang
tidak disadari, yang akibatnya menurunkan produksi urine. Demam
menyebabkan peningkatan metabolisme tubuh dan penumpukan zat
sisa. Walaupun volume urine berkurang, tetapi terjadi peningkatan
konsentrasi.
5. Prosedur operasi
Stres operasi awalnya memicu sindroma adaptasi umum. Klien biasanya
mengalami perubahan keseimbangan cairan sebelum operasi karena
proses penyakit atau puasa praoperasi, yang akan mengurangi keluaran
urine. Respons stres melepaskan ADH dalam kadar yang lebih banyak,
sehingga terjadi peningkatan reabsorpsi air. Stres juga meningkatkan
kadar aldosteron sehingga terjadi retensi garam dan air. Kedua
substansi ini mengurangi keluaran urine sebagai usaha
mempertahankan volume cairan sirkulasi.
Anestesi dan analgesik narkotik memperlambat kecepatan filtrasi
glomerulus, sehingga keluaran urine akan menurun. Zat ini juga
mengganggu jalannya impuls sensorik dan motorik antara kandung
kemih, korda spinalis, dan otak. Klien sering tidak mampu merasakan
kandung kemih yang penuh dan tidak mampu melalui atau
menghentikan mikturisi. Anestesi spinal, secara khusus, menimbulkan
retensi urine karena klien tidak mampu merasakan keinginan berkemih;
dan juga kemungkinan ketidakmampuan otot berkemih dan sfingter
uretra untuk merespons (Lewis dkk, 2007).
Operasi struktur abdomen bawah pelvis terkadang mengganggu
perkemihan karena adanya trauma lokal pada jaringan sekitar. Setelah
menjalani operasi pada ureter, kandung kemih, dan uretra, klien
biasanya akan menjalani pemasangan kateter urine.
6. Obat-obatan
Diuretik mencegah reabsorpsi air dan elektrolit tertentu sehingga terjadi
peningkatan keluaran urine. Penggunaan antikolinergik (atropin) atau
antihistamin (difenhidramin) sering menyebabkan retensi urine.
Beberapa obat dapat mengubah warna urine. Phenazopyridine
mengubah warn aurine menjadi seperti warna karat; amitriptyline
menimbulkan warna hijau atau biru, sedangkan levodopa mengubah
12

warna urine menjadi coklat atau hitam. Obat kemoterapi kanker juga
merubah warna urine dan bersifat toksik bagi ginjal atau kandung kemih.
Klien dengan gangguan ginjal membutuhkan penyesuaian dosis obat
yang diekresikan lewat ginjal.
7. Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan sistem kemih mempengaruhi mikturisi. Beberapa prosedur
seperti, pielogram intravena, mengharuskan pembatasan cairan pra-
pemeriksaan. Retensi asupan cairan umumnya menurunkan keluaran
urine. Pemeriksaan diagnostik (sitoskopi) yang melibatkan visualisasi
langsung dari struktur kemih menyebabkan edema lokal secara uretra
dan spasme sfingter kandung kemih. Setelah prosedur, klien dapat
mengalami kesulitan berkemih atau mengeluarkan urine berwarna
merah atau merah muda karena trauma mukosa uretra atau kemih.

F. Pengkajian Fungsional
Pengkajian merupakan salah satu tahap dalam membuat asuhan
keperawatan. Adapun pengkajian yang diperlukan pada pasien dengan
gangguan eliminasi urine menurut Mubarak dan Cahyatin (2008 : 120-
121) terdiri dari :
1. Riwayat Keperawatan
a. Pola berkemih
Apakah pola berkemihnya termasuk dalam kategori normal atau
apakah ia merasa ada perubahan pada pola berkemihnya. Selain
itu tanyakan pula faktor-faktor yang mempengaruhi pola
berkemihnya.
b. Frekuensi berkemih
1) Kebiasaan berkemih antara individu satu dan yang lain tidak
sama terkadang 5 kali/hari, tergantung kebiasaan seseorang.
2) Pada siang hari miksi terjadi sebanyak 70%, sedangkan sisanya
dilakukan pada malam hari, menjelang dan sesudah bangun
tidur.
3) Berkemih dilakukan saat bangun tidur dan sebelum tidur.
13

c. Volume berkemih
Kaji perubahan volume berkemih untuk mengetahui adanya
ketidakseimbangan cairan dengan membandingkannya dengan
volume berkemih normal.
d. Asupan dan haluaran cairan
1) Catat haluaran urine selama 24 jam.
2) Kaji kebiasaan minum klien setiap hari (jenis dan jumlah cairan
yang diminum).
3) Catat asupan cairan per oral, lewat makanan, lewat cairan infus,
atau NGT (jika ada).
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik perkemihan meliputi :
a. Abdomen
Kaji dengan cermat adanya pembesaran, distensi kandung kemih,
pembesaran ginjal, nyeri tekan pada kandung kemih.
b. Genetalia
Kaji kebersihan daerah genetalia. Amati adanya bengkak, rabas,
atau radang pada meatus uretra. Pada laki-laki, kaji adanya lesi,
pembesaran skrotum atau nyeri tekan. Sedangkan pada wanita,
kaji adanya lesi, nodul, dan adanya radang pada labia minora
maupun mayora.
c. Urine
Kaji karakteristik urine klien, bandingkan dengan karakteristik urine
normal.
3. Tes Diagnostik
a. Pemeriksaan urine
Hal yang perlu dikaji meliputi warna, kejernihan, dan bau urine.
Untuk melihat adanya kejanggalan, bisa dilakukan pemeriksaan
protein, glukosa dll.
b. Tes darah
Pemeriksaan meliputi BUN, bersihan kreatinin, nitrogen non protein
(NPN), sitoskopi, intravenous pyelogram (IVP).
14

G. Diagnosa Keperawatan
Menurut Mubarak dan Cahyatin (2008 : 121) masalah keperawatan
untuk eliminasi urine meliputi satu masalah umum dan beberapa masalah
khusus. Masalah umumnya adalah gangguan eliminasi urine, sedangkan
masalah khususnya meliputi:
1. Inkontinensia urine fungsional
2. Inkontinensia urine refleks
3. Inkontinensia urine stres
4. Inkontinensia urine total
5. Inkontinensia urine urgensi
6. Retensi urine
Diagnosa Keperawatan Menurut Herdman dan Kamitsuru (2015 : 204
dan 207)
1. Inkontinensia Urin Stres
a. Definisi
Rembesan urine tiba-tiba karena aktivitas yang meningkatkan
tekanan intra-abdomen.
b. Batasan Karakteristik
1) Rembesan involunter sedikit urine (mis., pada saat batuk,
tertawa, bersin, atau olahraga).
2) Rembesan involunter sedikit urine pada tidak adanya kontraksi
detrusor.
3) Rembesan involunter sedikit urine pada tidak adanya
overdistensi kandung kemih.
c. Faktor yang Berhubungan
1) Defisiensi sfingter uretra intrinsik
2) Kelemahan otot pelvik
3) Peningkatan tekanan intraabdomen
4) Perubahan degeneratif pada otot-otot pelvik
2. Retensi Urine
a. Definisi
Pengosongan kandung kemih tidak tuntas
b. Batasan Karakteristik :
1) Berkemih sedikit
2) Distensi kandung kemih
15

3) Disuria
4) Inkontinensia aliran berlebih
5) Menetes
6) Residu urine
7) Sensasi kandung kemih penuh
8) Sering berkemih
9) Tidak ada haluaran urine
c. Faktor yang Berhubungan :
1) Inhibisi arkus refleks
2) Sfingter kuat
3) Sumbatan saluran perkemihan
4) Tekanan ureter tinggi

H. Perencanaan
1. Diagnosa Keperawatan : Inkontinensia Urine Stres
a. NOC : Kontinensia Urin
Definisi : Mengendalikan eliminasi urin dari kandung kemih
Tujuan : Klien mampu meningkatkan kontinensia urin
dengan optimal setelah dilakukan tindakan keperawatan, dengan
indikator :
Indikator 1 2 3 4 5
Mengenali keinginan untuk
berkemih
Menjaga pola berkemih yang
teratur
Respon berkemih sudah tepat
waktu
Berkemih di tempat yang tepat
Menuju toilet diantara waktu ingin
berkemih dan benar-benar ingin
segera berkemih
Keterangan Skala :
1) Tidak pernah menunjukkan
2) Jarang menunjukkan
3) Kadang-kadang menunjukkan
4) Sering menunjukkan
5) Secara konsisten menunjukkan
16

b. NIC 1 : Latihan Otot Pelvis


Definisi : Memperkuat dan melatih otot levator ani dan otot-
otot urogenital secara sadar, kontraksi berulang untuk mengurangi
stres, urgensi berkemih atau berbagai tipe inkontinensia urin
Aktivitas :
1. Kaji kemampuan urgensi berkemih pasien
2. Sediakan informasi mengenai latihan otot pelvis ini dalam bentuk
tulisan mengenai langkah-langkah pelaksanaannya
3. Intruksikan pasien untuk menahan otot-otot sekitar uretra dan
anus, kemudian relaksasi, seolah-olah ingin menahan buang air
kecil atau buang air besar
4. Instruksikan pasien untuk tidak mengontraksikan perut, pangkal
paha dan pinggul; menahan nafas atau mengejan selama latihan
5. Instruksikan pasien perempuan untuk mengidentifikasi letak
levator ani dan otot-otot urogenital dengan meletakkan jari di
vagina dan menekannya
6. Instruksikan pasien untuk melakukan latihan pengencangan otot,
dengan melakukan 300 kontraksi setiap hari, menahan kontraksi
selama 10 detik, dan relaksasi selama 10 menit diantara sesi
kontraksi, sesuai dengan protokol
7. Instruksikan pasien untuk dapat mencatat inkontinensia yang
terjadi setiap harinya untuk melihat perkembangannya
8. Informasikan pasien bahwa latihan ini akan efektif jika dilakukan
6-12 minggu
9. Ajarkan pasien untuk memonitor keefektifan latihan dengan
mencoba menahan BAK 1 kali dalam seminggu
10.Kombinasikan terapi biofeedback atau stimulasi elektrik pada
pasien sesuai kebutuhan untuk mengidentifikasi kontraksi otot
dan atau untuk meningkatkan kekuatan kontraksi otot
c. NIC 2 : Perawatan Inkontinensia Urin
Definisi :Membantu pasien untuk memulihkan
inkontinensianya dan mempertahankan integritas kulit perineum
17

Aktivitas :
1. Identifikasi faktor apa saja penyebab inkontinensia pada pasien
(misalnya, urin output, pola berkemih, fungsi kognitif, masalah
perkemihan, residu paska berkemih, dan obat-obatan)
2. Monitor eliminasi urin, meliputi frekuensi, konsistensi, bau,
volume dan warna urin
3. Jaga privasi pasien saat berkemih
4. Bantu untuk meningkatkan atau mempertahankan harapan
pasien
5. Bantu pasien untuk memilih diapers atau popok kain yang sesuai
untuk penanganan sementara selama terapi pengobatan sedang
dilakukan
6. Bersihkan kulit sekitar area genetalia secara teratur
7. Batasi intake cairan 2-3 jam sebelum tidur
8. Berikan obat-obatan diuretik sesuai jadwal minimal untuk
mempengaruhi irama sirkandian tubuh
9. Instruksikan pasien dan keluarga untuk mencatat pola dan
jumlah urin output
10.Diskusikan bersama pasien mengenai prosedur tindakan dan
target yang diharapkan
2. Diagnosa Keperawatan : Retensi Urine
a. NOC : Eliminasi Urin
Definisi : Pengumpulan dan pembuangan urin
Tujuan : Klien mampu melakukan eliminasi urin dengan
optimal setelah dilakukan tindakan keperawatan, dengan indikator :
Indikator 1 2 3 4 5
Pola eliminasi
Jumlah urin
Intake cairan
Mengosongkan kantong kemih
sepenuhnya
Mengenali keinginan untuk berkemih

Keterangan Skala :
1) Sangat terganggu
2) Banyak terganggu
3) Cukup terganggu
18

4) Sedikit terganggu
5) Tidak terganggu
b. NIC 1 : Kateterisasi Urin
Definisi : Insersi kateter ke dalam kandung kemih untuk
drainase urin sementara atau permanen
Aktivitas :
1) Monitor intake dan output
2) Berikan privasi dan tutupi pasien dengan baik untuk kesopanan
(yaitu, hanya mengekspos area genetalia)
3) Jelaskan prosedur dan rasionalisasi kateterisasi
4) Pertahankan teknik aseptik
5) Posisikan pasien dengan tepat
6) Pastikan pencahayaan yang tepat untuk visualisasi anatomi
yang tepat
7) Isi bola kateter sebelum pemasangan kateter untuk memeriksa
ukuran dan kepatenan kateter
8) Pasang alat dengan tepat
9) Lakukan atau ajarkan pasien untuk membersihkan selang
kateter di waktu yang tepat
10) Ajarkan pasien dan keluarga mengenai perawatan kateter yang
tepat
c. NIC 2 : Perawatan Retensi Urin
Definisi : Bantuan dalam menghilangkan distensi kandung
kemih
Aktivitas :
1) Monitor derajat distensi kandung kemih dengan palpasi dan
perkusi
2) Monitor efek dari obat-obat yan diresepkan, seperti calcium
channel blockers dan anticholinergics
3) Lakukan pengkajian komprehensif sistem perkemihan fokus
terhadap inkontinensia (misalnya., urin output, pola berkemih,
fungsi kognitif, masalah saluran perkemihan sebelumnya)
4) Berikan privasi dalam melakukan eliminasi
5) Berikan waktu yang cukup untuk pengosongan kandung kemih
(10 menit)
19

6) Berikan manuver Crede (tekanan intra abdomen yang keras dan


tiba-tiba), jia diperlukan
7) Stimulasi refleks kandung kemih dengan membasahi abdomen
dengan air dingin, memberikan sentuhan pada paha bagian
dalam atau air yang mengalir
8) Gunakan kateter untuk residu urin, sesuai kebutuhan
9) Lakukan pemasangan kateter sementara, sesuai kebutuhan
10) Rujuk pada spesialis perkemihan, sesuai kebutuhan

DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, Gloria M., et al. 2013. Nursing Interventions Classification. Moco


Media, Yogyakarta.
20

Herdman, T Heather dan Shigemi Kamitsuru ed. 2015. NANDA Internasional


Inc. Diagnosa Keperawatan:Definisi & Klasifikasi 2015-2017, Ed.10. EGC,
Jakarta.

Moorhead, Sue, et al.,. 2013. Nursing Outcomes Classification. Moco Media,


Yogyakarta.

Mubarak, Wahit Iqbal dan Nurul Cahyatin. 2008. Buku Ajar Kebutuhan Dasar
Manusia Teori dan Aplikasi dalam Praktik. EGC, Jakarta.

Potter, Patricia A dan Anne G. Perry. 2010. Fundamental Keperawatan Buku 3


Edisi 7. Salemba Medika, Jakarta.

Tarwoto dan Wartonah. 2011. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses


Keperawatan. Salemba Medika, Jakarta.

Vaughans, Bennita W. 2013. Keperawatan Dasar. Rapha Publishing,


Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai