Anda di halaman 1dari 14

Konsep Dasar

Gangguan Eliminasi Urine


1. Pengertian Gangguan Eliminasi Urine

Eliminasi urine tergantung kepada fungsi ginjal, ureter, kandung kemih, dan
uretra. Ginjal menyaring produk limbah dari darah untuk membentuk urine. Ureter
mentranspor urine dari ginjal ke kandung kemih. Kandung kemih menyimpan urine
sampai timbul keinginan untuk berkemih. Urine keluar dari tubuh melalui uretra. Semua
organ sistem perkemihan harus utuh dan berfungsi supaya urine berhasil dikeluarkan
dengan baik (Potter & Perry, 2010).
Eliminasi urine merupakan salah satu dari proses metabolik tubuh. Zat yang
tidak dibutuhkan, dikeluarkan melalui paru-paru, kulit, ginjal dan pencernaan. Paru-paru
secara primer mengeluarkan karbondioksida, sebuah bentuk gas yang dibentuk selama
metabolisme pada jaringan. Hampir semua karbondioksida dibawa ke paru-paru oleh
sistem vena dan diekskresikan melalui pernapasan. Kulit mengeluarkan air dan natrium /
keringat. Ginjal merupakan bagian tubuh primer yang utama untuk mengekskresikan
kelebihan cairan tubuh, elektrolit, ion-ion hidrogen, dan asam (Alimul Hidayat, 2008).

2. Sistem Tubuh yang Berperan dalam Eliminasi Urine

a. Ginjal

Ginjal adalah sepasang organ retroperineal yang integral dengan


homeostasis tubuh dalam mempertahankan keseimbangan, termasuk keseimbangan
fisika dan kimia. Ginjal menyekresi hormone dan enzim yang membantu pengaturan
produksi eritrosit, tekanan darah, serta metabolisme kalsium dan fosfor. Ginjal
membuang sisa metabolisme dan menyesuaikan ekskresi air dan pelarut. Ginjal
mengatur volume cairan tubuh, asiditas dan elektrolit, sehingga mempertahankan
komposisi cairan yang normal (Baradero et all dalam Prabowo, 2014).
Ginjal menyaring zat sisa metabolisme yang terkumpul dalam darah. Darah
mencapai ginjal melalui arteri renalis yang merupakan cabang aorta abdominalis.
Sekitar 20 % sampai 25 % curah jantung bersikulasi setiap hari melalui ginjal. Setiap
ginjal berisi 1 juta nefron.Nefron yang merupakan unit fungsional ginjal, membentuk
urine (Potter & Perry, 2010).
Nefron merupakan unit fungsional ginjal, di mana pada masing-masing ginjal
terdiri atas 1-4 juta nefron. Nefron terdiri atas komponen vascular dan tubular.
Komponen vascular atau pembuluh darah kapiler di antaranya adalah arteriola aferen,
glomerulus, arteriola eferen, dan kapiler pertubular. Sedangkan komponen tubular
merupakan penampung hasil filtrasi dari glomerulus, terdiri atas kapsula Bowman,
tubulus kontortus prosikmal, ansa Henle, tubulus kontortus distal, serta tubulus dan
duktus pengumpul. Salah satu komponen penting nefron adalah glomerulus yang
merupakan cabang dari arteriola aferen dan membentuk anyaman-anyaman kapiler.
Di dalam glomerulus inilah terjadi proses filtrasi (Tarwoto & Wartonah, 2011).

Ginjal terdiri atas tiga area, yaitu: korteks, medulla, dan pelvis.
1) Korteks
Korteks merupakan bagian paling luar ginjal, terletak di bawah kapsula fibrosa
sampai dengan lapisan medulla, tersusun atas nefron-nefron yang jumlahnya lebih
dari 1 juta. Semua glomerulus berada di korteks dan 90 % aliran darah menuju
pada korteks.
2) Medulla
Medulla terdiri atas saluran–saluran atau duktus pengumpul yang disebut piramida
ginjal yang tersusun antara 8-18 buah.
3) Pelvis
Pelvis merupakan area yang terdiri atas kaliks minor yang kemudian bergabung
menjadi kaliks mayor. Empat sampai lima kali kaliks minor bergabung menjadi
kaliks mayor dan dua sampai tiga kaliks mayor bergabung menjadi pelvis ginjal
yang berhubungan dengan ureter bagian proksimal (Tarwoto & Wartonah, 2011).
Fungsi ginjal:
a) Pengaturan
volume dan komposisi darah. Ginjal berperan dalam pengaturan volume darah dan
komposisi darah melalui mekanisme pembuangan atau sekresi cairan. Misalnya
jika intake cairan melebihi kebutuhan, maka ginjal akan membuang lebih banyak
cairan yang keluar dalam bentuk urine, sebaliknya jika kekurangan cairan maka
ginjal akan mempertahankan cairan yang keluar dengan sedikit urine yang
dikeluarkan. Jumlah cairan yang keluar dan dipertahankan tubuh berpengaruh
terhadap pengenceran dan pemekatan darah serta volume darah.
Di dalam ginjal juga diproduksi hormon eritropoietin yang dapat menstimulasi
pembentukan sel darah merah. Pada kondisi kekurangan darah, anemia, atau
hipoksia, maka akan lebih banyak diproduksi eritropoietin untuk memperbanyak
produksi sel darah merah.
b) Pengaturan jumlah dan konsentrasi elektrolit pada cairan ekstrasel, seperti natrium,
klorida, bikarbonat, kalsium, magnesium, fosfat, dan hidrogen. Konsentrasi elektrolit
ini mempengaruhi pergerakan cairan intrasel dan ekstrasel. Bila terjadi pemasukan
dan kehilangan ion-ion tersebut, maka ginjal akan meningkatkan atau mengurangi
sekresi ion-ion penting tersebut.
c) Membantu mempertahankan keseimbangan asam basa (pH) darah.
Pengendalian asam basa darah oleh ginjal dilakukan dengan sekresi urine yang
asam atau basa melalui pengeluaran ion hidrogen atau bikarbonat dalam urine.
d) Pengaturan tekanan darah. Ginjal berperan dalam pengaturan tekanan darah
dengan menyekresi enzim rennin yang mengaktifkan jalur rennin-angiotensin dan
mengakibatkan perubahan vasokontriksi atau vasodilatasi pembuluh darah
sehingga dapat meningkatkan tekanan darah atau menurunkan tekanan darah.
e) Pengeluaran dan pembersihan hasil metabolisme tubuh seperti urea, asam urat,
dan kreatinin yang jika tidak dikeluarkan dapat bersifat toksik khususnya pada otak.
f) Pengeluaran komponen-komponen asing seperti pengeluaran obat, peptisida, dan
zat-zat berbahaya lainnya (Tarwoto & Wartonah, 2011).

b. Ureter

Ureter merupakan saluran yang berbentuk tabung dari ginjal ke kandung


kemih, panjangnya 25-30 cm dengan diameter 6 mm, berjalan mulai dari pelvis renal
setinggi lumbal ke-2. Posisi ureter miring dan menyempit di tiga titik, yaitu: di titik asal
ureter pada pelvis ginjal, titik saat melewati pinggiran pelvis, dan titik pertemuan
dengan kandung kemih. Posisi miring dan adanya penyempitan ini dapat mencegah
terjadinya refluks aliran urine.
Ada tiga lapisan jaringan pada ureter, yaitu: pada bagian dalam adalah epitel
mukosa, bagian tengah laipsan otot polos, dan bagian luar lapisan fibrosa. Ureter
berperan aktif dalam transpor urine. Urine mengalir dari pelvis ginjal melalui ureter
dengan gerakan peristaltiknya. Adanya ketegangan pada ureter menstimulasi
terjadinya kontraksi di mana urine akan masuk ke kandung kemih. Rangsangan saraf
simpatis dan parasimpatis juga mengontrol kontraksi ureter mengalirkan urin (Tarwoto
& Wartonah, 2011).

c. Kandung Kemih

Kandung kemih merupakan sebuah kantong yang terdiri atas otot halus yang
berfungsi sebagai penampung air seni (urine). Dalam kandung kemih, terdapat lapisan
jaringan otot yang memanjang ditengah dan melingkar disebut sebagai detrusor dan
berfungsi untuk mengeluarkan urin. Pada dasar kandung kemih, terdapat lapisan
tengah jaringan otot yang berbentuk lingkaran bagian dalam atau disebut sebagai otot
lingkar yang berfungsi menjaga saluran antara kandung kemih dan uretra, sehingga
uretra dapat menyalurkan urin dari kandung kemih keluar tubuh (Alimul Hidayat,
2008).
Penyaluran rangsangan ke kandung kemih dan rangsangan motoris ke otot
lingkar bagian dalam diatur oleh sistem simpatis. Akibat dari rangsangan ini, otot
lingkar menjadi kendur dan terjadi kontraksi sphincter bagian dalam sehingga urine
tetap tinggal dalam kandung kemih. Sistem parasimpatis menyalurkan rangsangan
motoris kandung kemih dan rangsangan penghalang ke bagian dalam otot lingkar.
Rangsangan ini dapat menyebabkan terjadinya kontraksi otot detrusor dan kendurnya
sphincter (Alimul Hidayat, 2008).

d. Uretra

Urine mengalir dari kandung kemih melalui uretra dan keluar dari tubuh
melalui meatus uretra. Normalnya, aliran turbulen urine melalui uretra akan
membersihkannya dari bakteri. Membran mukosa melapisi uretra, dan kelenjar uretra
menyekresikan mukus ke dalam saluran uretra.
Uretra dikelilingi oleh lapisan otot polos yang tebal. Selain itu, uretra turun
melalui lapisan otot-otot lurik yang disebut otot panggul. Jika otot ini berkontraksi,
aliran urine melalui uretra dapat dicegah (Potter & Perry, 2010).
Pada wanita panjangnya sekitar 4 cm, lokasinya antara klitoris dengan liang
vagina. Panjang uretra laki-laki sekitar 20 cm, terbagi atas 3 bagian: prostatik uretra
yang panjangnya sekitar 3 cm, terletak di bawah leher kandung kemih sampai kelenjar
prostat, bagian kedua adalah membranasea uretra yang panjangnya 1-2 cm yang di
sekitarnya terdapat sfingter utetra eksterna, dan pada bagian akhir adalah kavernus
atau penile utetra yang panjangnya sekitar 15 cm memanjang dari penis sampai
orifisium uretra (Tarwoto & Wartonah, 2011).
Fungsi dari uretra adalah menyalurkan urine dari kandung kemih ke luar.
Adanya sfingter uretra interna yang dikontrol secara involunter memungkinkan urine
dapat keluar serta sfingter uretra eksterna memungkinkan pengeluaran urin dapat di
kontrol. Di samping untuk pengeluaran urine, pada laki-laki uretra juga tempat
pengeluaran sperma pada saat ejakulasi (Tarwoto & Wartonah, 2011).

3. Proses Eliminasi Urine

Beberapa struktur otak memengaruhi fungsi kandung kemih, termasuk korteks


serebri, thalamus, hipotalamus, dan batang otak. Struktur tersebut akan menghambat
keinginan berkemih. Berkemih yang normal melibatkan kontraksi kandung kemih dan
relaksasi sfingter uretra dan otot panggul yang terkoordinasi (Potter & Perry, 2010).
Urine diproduksi oleh ginjal sekitar 1 ml/menit, tetapi dapat bervariasi antara 0,5-
2 ml/menit, aliran urine masuk ke kandung kemih dikontrol oleh gelombang peristaltik
yang terjadi setiap 10-150 detik.
Aktivitas saraf parasimpatis meningkatkan frekuensi peristaltik dan stimulasi
simpatis menurunkan frekuensi. Banyaknya aliran urine pada uretra dipengaruhi oleh
adanya refleks uretrorenal. Refleks ini diaktifkan oleh adanya obstruksi karena kontriksi
ureter dan juga kontriksi arterior aferen yang berakibat pada penurunan produksi urine,
demikian juga pada adanya obstruksi ureter karena batu ureter (Tarwoto & Wartonah,
2011).
Kandung kemih dipersarafi oleh saraf dari pervis, baik sensorik maupun motorik.
Pengaktifan saraf parasimpatis menyebabkan kontraksi dari otot detrusor. Normalnya,
sfingter interna pada leher kandung kemih berkontraksi dan akan relaksasi ketika otot
kandung kemih berkontraksi. Sedangkan sfingter eksterna dikontrol berdasarkan
kesadaran (volunter) dan dipersarafi oleh nervus pudendal yang merupakan serat saraf
somatik (Tarwoto & Wartonah, 2011).
Refleks berkemih dimulai ketika terjadi pengisian kandung kemih. Jika ada 30-
50 ml urine, maka terjadi peningkatan tekanan pada dinding kandung kemih. Makin
banyak urine yang terkumpul, makin besar pula tekanannya. Peningkatan tekanan akan
menimbulkan refleks peregangan oleh reseptor regang sensorik pada dinding kandung
kemih kemudian dihantarkan ke medulla spinalis segmen sakralis melalui nervus pelvikus
dan kemudian secara refleks kembali lagi ke kandung kemih untuk menstimulasi otot
detrusor untuk berkontraksi (Alimul Hidayat, 2008).
Siklus ini terus berulang sampai kandung kemih mencapai kontraksi yang kuat,
kemudian refleks akan melemah dan menghilang sehingga refleks berkemih berhenti. Hal
ini menyebabkan kandung kemih berelaksasi. Sementara itu jika terjadi kontraksi yang
kuat, maka akan menstimulasi nervus pudendal ke sfingter eksternus untuk
menghambatnya. Jika penghambatan sinyal kontriktor volunter ke sfingter eksterna di
otak kuat, maka terjadilah proses kemih (Alimul Hidayat, 2008).
Proses berkemih juga dikontrol oleh saraf pusat. Ketika terjadi rangsangan
peregangan pada dinding otot detrusor akibat adanya pengisian urine dikandung kemih,
melalui serat saraf sensorik di nervus pelvis dihantarkan stimulus tersebut ke
hipotalamus. Dari hipotalamus kemudian dihantarkan ke korteks serebri, selanjutnya
korteks serebri merespons dengan mengirimkan sinyal ke sfingter interna dan eksterna
untuk relaksasi sehingga pengeluaran urine terjadi. Proses berkemih juga difasilitasi oleh
kontraksi dinding abdomen dengan meningkatkan tekanan dalam kandung kemih
sehingga mengakibatkan urine masuk ke leher kandung kemih dan menimbulkan refleks
berkemih (Tarwoto & Wartonah, 2011).
Menurut Tarwoto dan Wartonah (2011) faktor-faktor yang mempengaruhi
kemampuan berkemih diantaranya :
a) Pertumbuhan dan perkembangan
Usia dan berat badan dapat mempengaruhi jumlah pengeluaran urine. Pada usia
lanjut volume bladder berkurang, demikian juga wanita hamil sehingga frekuensi
berkemih juga akan lebih sering.
b) Sosiokultural
Budaya dapat mempengaruhi pemenuhan kebutuhan eliminasi urine, seperti adanya
kultur pada masyarakat tertentu yang melarang untuk buang air kecil di tempat
tertentu.
c) Psikologis
Meningkatnya stress dapat meningkatkan frekuensi keinginan berkemih. Hal ini
dikarenakan meningkatnya sensitivitas untuk keinginan berkemih dan jumlah urine
yang diproduksi.
d) Tonus otot
Eliminasi urine membutuhkan tonus otot bladder, otot abdomen, dan pelvis untuk
berkontraksi. Jika ada gangguan tonus otot, dorongan untuk berkemih juga akan
berkurang.
e) Intake cairan dan makanan
Alkohol menghambat Anti Diuretik Hormon (ADH) untuk meningkatkan pembuangan
urine, minuman yang mengandung kafein dapat meningkatkan pembuangan dan
ekskresi urine.
f) Pengobatan
Efek pengobatan menyebabkan peningkatan atau penurunan jumlah urine. Seperti
pemberian diuretic dapat meningkatkan jumlah urine, sedangkan pemberian obat
antikolinergik atau antihipertensi dapat menyebabkan retensi urine.
g) Pemeriksaan diagnostik
Prosedur diagnostik yang berhubungan dengan tindakan pemeriksaan saluran kemih
seperti intra venous pyelogram (IVP), dengan membatasi jumlah asupan dapat
mempengaruhi produksi urine. Kemidian tindakan sistokopi dapat menimbulkan
edema lokal pada uretra yang dapat mengganggu pengeluaran urine.

4. Perubahan Pola Eliminasi Urine

Menurut Alimul, Hidayat (2008) perubahan pola eliminasi terdiri atas :


a) Frekuensi
Frekuensi merupakan banyaknya jumlah berkemih dalam sehari. Peningkatan
frekuensi berkemih dikarenakan meningkatnya jumlah cairan yang masuk. Frekuensi
yang tinggi tanpa suatu tekanan asupan cairan dapat disebabkan oleh sistitis.
Frekuensi tinggi dapat ditemukan juga pada keadaan stress atau hamil.
b) Urgensi
Urgensi adalah perasaan seseorang yang takut mengalami inkontinensia jika tidak
berkemih. Pada umumnya, anak kecil memiliki kemampuan yang buruk dalam
mengontrol sphincter eksternal. Biasanya, perasaan segera ingin berkemih terjadi
pada anak karena kurangnya kemampuan pengontrolan pada sphincter.
c) Disuria
Disuria adalah rasa sakit dan kesulitan dalam berkemih. Hal ini sering ditemukan pada
penyakit infeksi saluran kemih, trauma, dan striktura uretra.
d) Poliuria
Poliuria merupakan produksi urine abnormal dalam jumlah besar oleh ginjal, tanpa
adanya peningkatan asupan cairan. Biasanya, hal ini dapat ditemukan pada penyakit
diabetes mellitus dan penyakit gagal ginjal kronis.
e) Urinaria Supresi
Urinaria supresi adalah berhentinya produksi urine secara mendadak. Secara normal,
urine diproduksi oleh ginjal pada kecepatan 60-120 ml/jam secara terus-menurus.
Konsep Dasar Gagal Ginjal Kronik (GGK)
1. Pengertian

Gagal ginjal kronik atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan fungsi
renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan
uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner & Suddarth, 2001).
Menurut Mc Clellan, 2006 dijelaskan bahwa gagal ginjal kronis merupakan kondisi
penyakit pada ginjal yang persisten (keberlangsungan ≥ 3 bulan) dengan kerusakan
ginjal dan kerusakan Glomerular Filtration Rae (GFR) dengan angka GFR ≤ 60
ml/menit/1.73 (Prabowo, 2014).
Gagal ginjal kronik adalah penurunan faal ginjal yang menahun mengarah pada
kerusakan jaringan ginjal yang tidak reversible dan progresif. Adapun gagal ginjal
terminal adalah fase terakhir dari gagal ginjal kronik dengan faal ginjal sudah sangat
buruk.
Kedua hal tersebut biasa dibedakan dengan tes klirens kreatinin (Irwan, 2016). Dari
beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan gagal ginjal kronik adalah penyakit renal
tahap akhir dimana ginjal gagal mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan
dan elektrolit yang berlansung ≥ 3 bulan.

2. Penyebab

Gagal ginjal kronis sering kali menjadi penyakit komplikasi dari penyakit lainnya,
sehingga merupakan penyakit sekunder (secondary illness). Penyebab yang sering
adalah diabetes mellitus dan hipertensi.
Selain itu, ada beberapa penyebab lainnya dari gagal ginjal kronis, yaitu: (Prabowo,
2014)
a. Penyakit glomerular kronis (glomerulonefritis),
b. Infeksi kronis (pyelonephritis kronis, tuberculosis),
c. Kelainan kongenital (polikistik ginjal),
d. Penyakit vaskuler (renal nephrosclerosis),
e. Obstruksi saluran kemih (nephrolithiasis),
f. Penyakit kolagen (systemic lupus erythematosus),
g. Obat-obatan nefrotoksik (aminoglikosida).

3. Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala klinis pada gagal ginjal kronis dikarenakan gangguan yang bersifat
sistemik. Ginjal sebagai organ koordinasi dalam peran sirkulasi memiliki fungsi yang
banyak (organs multifunction), sehingga keruskan kronis secara fisiologis ginjal akan
mengakibatkan gangguan keseimbangan sirkulasi dan vasomotor. Berikut ini adalah
tanda dan gejala yang ditunjukkan oleh gagal ginjal kronis (Prabowo, 2014):
a. Ginjal dan gastrointestinal
Sebagai akibat dari hiponatremi maka timbul hipotensi, mulut kering, penurunan turgor
kulit, kelemahan, fatique dan mual. Kemudian terjadi penurunan kesadaran
(somnolen) dan nyeri kepala yang hebat. Dampak dari peningkatan kalium adalah
peningkatan iritabilitas otot dan akhirnya otot mengalami kelemahan. Kelebihan cairan
yang tidak terkompensasiakan mengakibatkan asidosis metabolik. Tanda paling khas
adalah terjadinya penurunan urine output dengan sedimentasi yang tinggi.
b. Kardiovaskuler
Biasanya terjadi hipertensi, aritmia, kardiomyopati, uremic pericarditis, effuse
pericardial (kemungkinan bisa terjadi tamponade jantung), gagal jantung, edema
periorbital dan edema perifer.
c. Respiratory system
Biasanya terjadi edema pulmonal, nyeri pleura, friction rub dan efusi pleura, crackles,
sputum yang kental, uremic pleuritis dan uremic lung dan sesak napas.
d. Gastrointestinal
Biasanya menunjukkan adanya inflamasi dan ulserasi pada mukosa gastrointestinal
karena stomatitis, ulserasi dan perdarahan gusi, dan kemungkinan juga disertai
parotitis, esophagitis, gastritif, ulseratif duodenal, lesi pada usus halus/usus besar,
colitis dan pankreatis. Kejadian sekunder biasanya mengikuti seperti anoreksia,
nausea dan vomiting.
e. Integument
Kulit pucat kekuning-kuningan, kecoklatan, kering dan nada scalp. Selain itu biasanya
juga menunjukkan adanya purpura, ekimosis, petechiae dan timbunana urea pada
kulit.
f. Neurologis
Biasanya ditunjukkan dengan adanya neuropathy perifer, nyeri, gatal pada lengan dan
kaki. Selain itu, juga adanya kram pada otot dan reflex kedutan, daya memori
menurun, apatis, rasa kantuk meningkat, iritabilitas, pusing, koma, dan kejang. Dari
hasil EEG menunjukkan adanya perubahan metabolic encephalopathy.
g. Endokrin
Biasanya terjadi infertilitas dan penurunan libido, amenorrhea dan gangguan siklus
menstruasi pada wanita, impoten, penurunan sekresi sperma, peningkatan sekresi
aldosterone dan kerusakan metabolism karbohidrat.
h. Hematopoitik
Terjadi anemia, penurunan waktu hidup sel darah merah, trombositopenia (dampak
dari dialysis), dan kerusakan platelet. Biasanya masalah yang serius pada system
hematologi ditunjukkan dengan adanya perdarahan (purpura,ekimosis dan petechiae).
i. Musculoskeletal
Nyeri pada sendi dan tulang, demineralisasi tulang, fraktur pathologis, dan kalsifikasi
(otak, mata, sendi, miokard).

4. Patofisiologi

Menurut Brunner dan Suddarth, 2001 fungsi renal menurun, produk akhir metabolism
protein (yang normalnya diekskresikan ke dalam urine) tertimbun dalam darah. Terjadi
uremia dan mempengaruhi setiap system tubuh. Semakin banyak timbunan produk
sampah, maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia membaik setelah
dialysis. Gangguan klirens renal. Banyak masalah muncul pada gagal ginjal sebagai
akibat dari penurunan jumlah glomeruli yang berfungsi, yang menyebabkan penurunan
klirens susbstansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal.
Penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) dapat dideteksi dengan mendapatkan urin 24-
jam untuk pemeriksaan klirens kreatinin.
Menurunya filtrasi glomerulus (akibat tidak berfungsinya glomeruli) klirens kreatinin akan
menurun dan kadar kreatinin serum akan meningkat. Selain itu, kadar nitrogen urea
darah (BUN) biasanya meningkat. Kreatinin serum merupakan indikator yang paling
sensitif dari fungsi renal karena substansi ini diproduksi secara konstan oleh tubuh. BUN
tidak hanya dipengaruhi oleh penyakit renal, tetapi juga oleh masukan protein dalam diet,
katabolisme (jaringan dan luka RBC), dan medikasi seperti steroid.
Retensi cairan dan natrium. Ginjal juga tidak mampu untuk mengkonsentrasikan atau
mengencerkan urin secara normal pada penyakit ginjal tahap akhir, respon ginjal yang
sesuai terhadap perubahan masukan cairan dan elektrolit sehari-hari, tidak terjadi.
Pasien sering menahan natrium dan cairan, meningkatkan risiko terjadinya edema, gagal
jantung kongestif, dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi aksis
reninangiotensin dan kerjasama keduanya meningkatkan sekresi aldosterone. Pasien lain
mempunyai kecendrungan untuk kehilangan garam, mencetuskan risiko hipotensi dan
hipovolemia. Episode muntah dan diare menyebabkan penipisan air dan natrium, yang
semakin memperburuk status uremik.
Dengan semakin berkembangnya penyakit renal, terjadi asidosis metabolic seiring
dengan ketidakmampuan ginjal mengekskresikan muatan asam yang berlebihan.
Penurunan sekresi asam terutama akibat ketidakmampuan tubulus ginjal untuk
menyekresi amonia dan mengabsorbsi natrium bikarbonat.
Penurunan ekskresi fosfat dan asam organik lain juga terjadi. Anemia terjadi sebagai
akibat dari produksi eritropoetin yang tidak adekuat, memendeknya usia sel darah merah,
defisiensi nutrisi, dan kecendrungan untuk mengalami perdarahan akibat status uremik
pasien, terutama dari saluran gastrointestinal. Eritropoetin, suatu substansi normal yang
diproduksi oleh ginjal, menstimulasi sum-sum tulang untuk menghasilkan sel darah
merah.
Pada gagal ginjal, produksi eritropoetin menurun dan anemia berat terjadi, disertai
keletihan, angina dan sesak napas.
Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat. Abnormalitas utama yang lain pada gagal ginjal
kronis adalah gangguan metabolisme kalsium dan fosfat. Kadar serum kalsium dan fosfat
tubuh memiliki hubungan saling timbal balik, jika salah satunya meningkat, yang lain akan
turun.
Dengan menurunnya filtrasi melalui glomerulus ginjal, terdapat peningkatan kadar fosfat
serum dan sebaliknya penurunan kadar serum kalsium. Penurunan kadar kalsium serum
menyebabkan sekresi parathormon dari kelenjar paratiroid. Namun demikian, pada gagal
ginjal, tubuh tidak berespons secara normal terhadap peningkatan sekresi parathormon,
dan akibatnya, kalsium di tulang menurun, menyebabkan perubahan pada tulang dan
penyakit tulang. Selain itu, metabolit aktif vitamin D (1,25-dihidrokolekalsiferol) yang
secara normal dibuat di ginjal menurun seiring dengan berkembangnya gagal ginjal.
Penyakit tulang uremik, sering disebut osteodistrofi renal, terjadi dari perubahan
kompleks kalsium, fosfat dan keseimbangan parathormon.
Laju penurunan fungsi ginjal dan perkembangan gagal ginjal kronis berkaitan dengan
gangguanyang mendasari, ekskresi protein dalam urin, dan adanya hipertensi. Pasien
yang mengekskresikan secara signifikan sejumlah protein atau mengalami peningkatan
tekanan darah cenderung akan cepat memburuk daripada mereka yang tidak mengalami
kondisi ini.

5. PemeriksaanPenunjang

Menurut Baughman, 2000 pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan untuk menegakkan


diagnose gagal ginjal kronis:
a. Biokimiawi
Pemeriksaan utama dari analisa fungsi ginjal adalah ureum dan kreatinin plasma.
Untuk hasil yang lebih akurat untuk mengetahui fungsi ginjal adalah dengan analisa
creatinine clearance (klirens kreatinin). Selain pemeriksaan fungsi ginjal (Renal
function test), pemeriksaan kadar elektrolit juga harus dilakukan untuk mengetahui
status keseimbangan elektrolit dalam tubuh sebagai bentuk kinerja ginjal.
b. Urinalisis
Urinalisis dilakukan untuk menapis ada/tidaknya infeksi pada ginjal atau ada/tidaknya
perdarahan aktif akibat inflamasi pada jaringan parenkim ginjal.
c. Ultrasonografi Ginjal
Imaging (gambaran) dari ultrasonografi akan memberikan informasi yang mendukung
untuk menegakkan diagnosis gagal ginjal. Pada klien gagal ginjal biasanya
menunjukkan adanya obstruksi atau jaringan parut pada ginjal. Selain itu, ukuran dari
ginjal pun akan terlihat.

6. Penatalaksanaan

Mengingat fungsi ginjal yang rusak sangat sulit untuk dilakukan pengembalian, maka
tujuan dari penatalaksanaan klien gagal ginjal kronis adalah untuk mengoptimalkan
fungsi ginjal yang ada dan mempertahankan keseimbangan secara maksimal untuk
memperpanjang harapan hidup klien. Sebagai penyakit yang kompleks, gagal ginjal
kronis membutuhkan penatalaksanaan terpadu dan serius, sehingga akan meminimalisir
komplikasi dan meningkatkan harapan hidup klien. Oleh karena itu, beberapa hal yang
harus diperhatikan dalam melakukan penatalaksanaan pada klien gagal ginjal kronik
(Prabowo, 2014):
a. Perawatan kulit yang baik
Perhatikan hygiene kulit pasien dengan baik melalui personal hygiene (mandi/seka)
secara rutin. Gunakan sabun yang mengandung lemak dan lotion tanpa alcohol untuk
mengurangi rasa gatal. Jangan gunakan gliserin/sabun yang mengandung gliserin
karena akan mengakibatkan kulit tambah kering.
b. Jaga kebersihan oral
Lakukan perawatan oral hygiene melalui sikat gigi dengan bulu sikat yang
lembut/spon. Kurangi konsumsi gula (bahan makanan manis) untuk mengurangi rasa
tidak nyaman di mulut.
c. Beri dukungan nutrisi
Kolaborasi dengan nutritionist untuk menyediakan menu makanan favorit sesuai
dengan anjuran diet. Beri dukungan intake tinggi kalori, rendah natrium dan kalium
d. Pantau adanya hyperkalemia
Hyperkalemia biasanya ditunjukkan dengan adanya kejang/kram pada lengan dan
abdomen, dan diarea. Selain itu pemantauan hyperkalemia dengan hasil ECG.
Hyperkalemia bisa diatasi dengan dialysis.
e. Atasi hiperfosfatemia dan hipokalsemia
Kondisi hiperfosfatemia dan hipokalsemia bisa diatasi dengan pemberian antasida
(kandungan alumunium/kalsium karbonat).
f. Kaji status hidrasi dengan hati-hati
Dilakukan dengan memeriksa ada/tidaknya distensi vena jugularis, ada/tidaknya
crackles pada auskultasi paru. Selain itu, status hidrasi bisa dilihat dari keringat
berlebih pada aksila, lidah yang kering, hipertensi dan edema perifer. Cairan hidrasi
yang diperbolehkan adalah 500-600 ml atau lebih dari haluaran urin 24 jam.
g. Kontrol tekanan darah
Tekanan darah diupayakan dalam kondisi normal. Hipertensi dicegah dengan
mengontrol volume intravaskuler dan obat-obatan anti hipertensi.
h. Pantau ada/tidaknya komplikasi pada tulang dan sendi.
i. Latih klien napas dalam dan batuk efektif untuk mencegah terjadinya kegagalan
napas akibat obstruksi.
j. Jaga kondisi septik dan aseptic setiap prosedur perawatan (pada perawatan
luka operasi)
k. Observasi adanya tanda-tanda perdarahan
Pantau kadar hemoglobin dab hematocrit klien. Pemberian heparin selama klien
menjalani dialysis harus disesuaikan dengan kebutuhan.
l. Atasi komplikasi dari penyakit
Sebagai penyakit yang sangat mudah menimbulkan komplikasi, maka harus dipantau
secara ketat. Gagal jantung kongestif dan edema pulmonal dapat diatasi dengan
membatasi cairan, diet rendah natrium, diuretic, preparat inotropic (digitalis/dobutamin)
dan lakukan dialysis jika perlu. Kondisi asidosis metabolic bisa diatasi dengan
pemberian natrium bikarbonat atau dialysis.
m. Laporkan segera jika ditemui tanda-tanda pericarditis (friction rub dan nyeri
dada).
n. Tata laksana dialisis/transplantasi ginjal. Untuk membantu mengoptimalkan fungsi
ginjal maka dilakukan dialysis. Jika memungkinkan koordinasikan untuk dilakukan
transplantasi ginjal.

7. Komplikasi

Menurut Baughman, 2000 komplikasi yang dapat ditimbulkan dari penyakit gagal ginjal
kronis adalah:(Prabowo, 2014)
a. Penyakit tulang
Penurunan kadar kalsium (hipokalsemia) secara langsung akan mengakibatkan
dekalsifikasi matriks tulang, sehingga tulang akan menjadi rapuh (osteoporosis) dan
jika berlangsung lama akan menyebabkan fraktur patologis.
b. Penyakit kardiovaskuler
Ginjal sebagai kontrol sirkulasi sistemik akan berdampak secara sistemik berupa
hipertensi, kelainan lipid, intoleransi glukosa, dan kelainan hemodinamik (sering terjadi
hipertrofi ventrikel kiri).
c. Anemia
Selain berfungsi dalam sirkulasi, ginjal juga berfungsi dalam rangkaian hormonal
(endokrin). Sekresi eritropoetin yang mengalami defisiensi di ginjal akan
mengakibatkan penurunan hemoglobin.
d. Disfungsi seksual
Dengan gangguan sirkulasi pada ginjal, maka libido sering mengalami penurunan dan
terjadi impotensi pada pria. Pada wanita, dapat terjadi hiperprolaktinemia.
Pathway Gangguan Eliminasi Urine
(pada GGK)

Kerusakan nefron ginjal

Penurunan jumlah nefron ginjal

Kerusakan nefron ginjal > 90%

Gagal Ginjal Kronik (GGK)

Laju filtrasi glomerulus Kreatinin

Ginjal tidak mampu Peningkatan Syndrom uremia


mengeluarkan urin Na & K

Produksi urin Masuk ke


Di kulit Organ
vaskuler Gastrointestinal

Disuria / anuria Vol. vaskuler Gangguan


Integritas Mual, muntah
Kulit

Gangguan Eliminasi Urin Tekanan


Hidrostatik Ketidakseimbangan
Nutrisi Kurang dari
Kebutuhan Tubuh
Ektravasasi

Edema Kelebihan
Volume
Cairan
Konsep Asuhan Keperawatan Eliminasi Urine
pada Pasien Gagal Ginjal Kronik (GGK)

1. Pengkajian

a. Kebiasaan berkemih

Pengkajian ini meliputi bagaimana kebisaan berkemih serta hambatannya. Frekuensi


berkemih tergatung pada kebiasaan dan kesempatan. Banyak orang berkemih setiap
hari pada waktu bangun tidur dan tidak memerlukan waktu untuk berkemih pada waktu
malam hari.

b. Pola berkemih

 Frekuensi berkemih
frekuesi berkemih menentuka berapa kali individu berkemih dalam waktu 24 jam
 Urgensi
Perasaan seseorang untuk berkemih seperti seseorang ke toilet karena takut
megalami inkotinensia jika tidak berkemih
 Disuria
Keadaan rasa sakit atau kesulitan saat berkemih. Keadaan ini ditemukan pada
striktur uretra, infeksi saluran kemih, trauma pada vesika urinaria.
 Poliuria
Keadaan produksi urine yang abnormal yang jumlahnya lebih besar tanpa adanya
peingkata asupa caira. Keadaan ini dapat terjadi pada penyekit diabetes, defisiensi
ADH, dan penyakit kronis ginjal.
 Urinaria supresi
Keadaan produksi urine yang berhenti secara medadak. Bila produksi urine kurag
dari 100 ml/hari dapat dikataka anuria, tetapi bila produksiya atara 100–500 ml/hari
dapat dikatakan sebagai oliguria.

c. Volume urine

Volume urine menentukan berapa jumlah urine yang dikeluarkan dalam waktu 24 jam.

d. Faktor yang mempengaruhi kebiasaan berkemih

 Diet dan asupan (diet tinggi protein dan natirum) dapat mempengaruhi jumlah urin
yang dibentuk, sedangkan kopi dapat meningkatkan jumlah urin
 Gaya hidup
 Stress psikologi dapat meingkatkan frekuensi keinginan berkemih.
 Tingkat aktivitas

e. Keadaan Urine

Keadaan urine meliputi : warna, bau, berat jeis, kejernihan, pH, protein, darah,
glukosa.

f. Tanda klinis gangguan elimiasi urine seperti retensi urine, inkontinensia urine.

g. Pemeriksaan Fisik

1) Keluhan umum: lemas, nyeri pinggang.


2) Tingkat kesadaran composmentis sampai coma
3) Pengukuran antropometri: BB menurun, LILA menurun
4) Tanda vital: TD meningkat, suhu meningkat, nadi lemah, disritmia, pernapasan
kusmaul, tidak teratur.
5) Kepala:
a) Mata : konjungtiva anemis, mata merah, berair, penglihatan kabur, edema
peeriorbital.
b) Rambut : rambut mudah rontok, tipis dan kasar.
c) Hidung : pernapasan cuping hidung
d) Mulut : ulserasi dan perdarahan, nafas berbau ammonia, mual, muntah serta
cegukan, peradangan gusi.
e) Leher : pembesaran vena leher

6) Dada dan toraks : penggunaan otot bantu pernafasan, pernafasan dangkal dan
kusmaul serta krekels, nafas dangkal, pneumonitis, edema pulmoner, friction rub
pericardial.

7) Abdomen :nyeri area pinggang, asites.

8) Genital : atropi testikuler, amenore

9) Ekstremitas : capillary refill time > 3 detik, kuku rapuh dan kusam serta tipis,
kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapak kaki, foot drop, kekuatan otot.

10) Kulit : ekimosis, kulit kering, bersisik, warna kulit abu-abu, mengkilat atau
hiperpigmentasi, gatal (pruritus), kuku tipis dan rapuh, memar (purpura), edema.

11) Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang pada GGK menurut Price dan Wilson, 2005:


a) Urin
(1) Volume, biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (oliguria) atau urin tidak ada
(2) Warna, secara abnormal urin keruh mungkin disebabkan oleh pus, bakteri,
lemak, partikel koloid, fosfat atau urat.
(3) Berat jenis urin, kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukkan
kerusakan ginjal berat).
(4) Klirens kreatinin, mungkin menurun
(5) Natrium, lebih besar dari 50 meq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi
natrium.
(6) Protein, derajat tinggi proteinuria (3-4 +) secara kuat menunjukkan kerusakan
glomerulus.

b) Darah

(1) Hitung darah lengkap, Hb menurun pada adanya anemia, Hb biasanya


kurang dari 7-8 gr.
(2) Sel darah merah, menurun pada defesien eritropoetin seperti azotemia.
(3) GDA, Ph menurun, asidosis metabolic (kurang dari 7,2) terjadi karena
kehilangan kemampuan ginjal untuk mengekresi hydrogen dan ammonia atau
hasil akhir katabolisme protein, bikarbonat menurun, PaCO2 menurun.
(4) Kalium, peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai perpindahan seluler
(asidosis) atau pengeluaran jaringan.
(5) Magnesium fosfat meningkat.
(6) Kalsium menurun.
(7) Protein (khusus albumin), kadar serum menurun dapat menunjukkan
kehilangan protein melalui urin, perpindahan cairan, penurunan pemasukkan
atau sintesa karena kurang asam amino esensial.
(8) Osmolaritas serum : lebih besar dari 285 mOsm/kg, sering sama dengan urin

c) Pemeriksaaan radiologik

(1) Foto ginjal, ureter dan kandung kemih (kidney, ureter dan bladder/KUB):
menunjukkan ukuran ginjal, ureter, kandung kemih dan adanya obstruksi
(batu).
(2) Pielogram ginjal: mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstravaskuler,
massa.
(3) Sistouretrogram berkemih: menunjukkan ukuran kandung kemih, refluks
kedalam ureter dan retensi.
(4) Ultrasonografi ginjal: menentukan ukuran ginjal dan adanya masa, kista,
obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas.
(5) Biopsy ginjal: merupakan salah satu pemeriksaan diagnostik yang terpenting
yang telah berkembang berapa abad terakhir dan telah menghasilkan
kemajuan yang sangat pesat dalam pengetahuan riwayat ginjal.
Indikasi utama biopsy ginjal adalah untuk mendiagnosis penyakit ginjal difus
dan mengikuti perkembangan lebih lanjut, dilakukan secara endoskopik,
untuk menentukan sel jaringan untuk diagnostic histologi.
(6) Endoskopi ginjal dan nefroskopi: dilakukan untuk menentukan pelis ginjal
(keluar batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektif).
(7) Elektrokardiografi/EKG : mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan
elektolit dan asam basa
(8) Fotokaki, tengkorak, kolumna spinal dan tangan, dapat menunjukkan
demineralisasi, kalsifikasi.
(9) Pielogram intravena (IVP), menunjukkan keberadaan dan posisi ginjal, ukuran
dan bentuk ginjal.

2. Diagnosa Keperawatan

Kemungkinan diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan GGK adalah
(NANDA, 2015-2017):
a. Gangguan eliminasi urin : Urinary suppressions berhubungan dengan penurunan
frekuensi urin, dan olyguria.
b. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi.
c. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pruritus

3. Intervensi Keperawatan

Tabel Intervensi NOC & NIC

No Diagnosa NOC NIC


1 Gangguan Eliminasi 1. Urinary Elimination 1) Urinary Retention Care
Urine : Disfungsi d) Intake cairan a) Monitor eliminasi urine,
pada eliminasi urin dalam rentang termasuk frekuensi, konsistensi,
normal bau, volume, dan warna yang
Batasan e) Balance cairan sesuai
Karakteristik: seimbang b) Catat waktu eliminasi urine
1. Disuria terakhir
2. Nokturia c) Anjurkan pasien / keluarga
untuk mencatat output urine
yang sesuai
d) Identifikasi output urine,
masalah berkemih ada
sebelumnya
e) Memonitor efek dari obat-
obatan yang diresepkan
f) Memantau tingkat distensi
kandung kemih dengan palpasi
dan perkusi
2 Kelebihan volume 1. Keseimbangan 1) Manajemen cairan
cairan b/d cairan a) Memantau tingkat serum
gangguan a. Keseimbangan elektrolit
mekanisme intake dan output b) Memantau albumin serum dan
regulator dalam 24 jam kadar total protein
b. Tidak terjadinya c) Memantau EKG untuk
Batasan edema perifer perubahan yang berhubungan
Karakteristik: c. Tidak terjadinya dengan kalium abnormal,
1. Azotemia mata cekung kalsium dan magnesium
2. Penurunan Hb d. Kelembaban d) Pantau tanda-tanda / gejala
3. Edema mukosa kulit hyperkalemia seperti mual,
4. Ketidak dalam keadaan muntah, kram perut,
seimbangan normal kelemahan, takikardi ventrikel.
elektrolit e. Elektrolit serum e) Memantau kecukupan ventilasi
5. Asupan dalam keadaan
melebihi normal 2) Monitoring cairan
haluaran a) Tentukan riwayat jumlah dan
6. Oliguria jenis asupan cairan dan
7. Dypsnea kebiasaan eliminasi
b) Memantau asupan dan
keluaran
c) Memantau nilai elektrolit serum
dan urin yang sesuai
d) Memantau serum dan urin
kadar osmolalitas
e) Memantau membrane mukosa,
turgor kulit dan haus.
f) Monitor warna, kuantitas dan
berat jenis urin
g) Berikan agen farmakologis
untuk meningkatkan output urin
h) Berikan cairan IV yang sesuai.

3 Kerusakan 1. Integritas jaringan: 1) Monitor elektrolit


integritas kulit dan membrane a) Monitor jumlah serum elektrolit
kulit b/d pruritus mukosa b) Monitor albumin serumdan
a) Tidak ada kulit jumlah total protein sebagai
Batasan yang mengelupas indikasi
karakteristik: b) Elastisitas kulit c) Monitor kadar osmolaritas
1. Kerusakan dalam keadaan serum dan urin
lapisan kulit baik d) Monitor tanda dan gejala dari
(dermis) c) Tidak ada lesi hyperkalemia
2. Gangguan dikulit akibat
permukaan garukan 2) Pengawasan kulit
kulit a) Pantau warna dan suhu kulit
3. Invasi sruktur b) Monitor kulit yang kekeringan
tubuh yang berlebihan dan
kelembaban
c) Pantau infeksi terutama dari
daerah edema
d) Monitor kulit untuk ruam dan
lecet
e) Dokumentasikan perubahan
membrane mukosa atau kulit

Anda mungkin juga menyukai