Anda di halaman 1dari 23

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Fisiologi Sistem Perkemihan
Sistem perkemihan terdiri atas ginjal, ureter, kandung kemih,
dan uretra (Muttaqin & Sari, 2011).
1. Ginjal
Ginjal adalah sepasang organ yang bersimpai yang
terletak di area peritoneum. Sebuah arteri renalis dan sebuah
vena renalis keluar dari setiap ginjal di daerah hilus. Sekitar
25% curah jantung mengalir ke ginjal. Darah difiltrasi di ginjal
untuk membersihkan zat-zat sisa terutama urea dan senyawa
yang

mengandung

nitrogen

dan

mengatur

elektrolit

ekstravaskuler dan volume intravaskuler. Karena aliran darah


ginjal berjalan dari korteks ke medula dan karena medula
memiliki aliran darah yang relatif kecil dibandingkan dengan
aktivitas metaboliknya yang tinggi, tekanan oksigen normal di
medula lebih rendah daripada di bagian-bagian ginjal lainnya.
Hal ini menyebabkan medula rentan terhadap cedera iskemik.
Satuan anatomis fungsi ginjal adalah nefron, suatu
struktur yang terdiri atas berkas kapiler yang dinamai
glomerulus, tempat darah disaring, dan tubulus ginjal, tempat
air dan garam dalam filtrat diserap kembali. Setiap ginjal
manusia memiliki sekitar satu juta nefron (McPhee & Ganong,
2011).
Secara anatomi, kedua ginjal terletak pada setiap sisi
dari kolumna tulang belakang antara T12 dan L3. Ginjal kiri
terletak

agak

lebih

superior

dibanding

ginjal

kanan.

Permukaan anterior ginjal kiri diselimuti oleh lambung,


pankreas, jejunum, dan sisi fleksi kolon kiri. Permukaan

superior setiap ginjal terdapat kelenjar adrenal (Muttaqin &


Sari, 2011).
Pembentukan urine dimulai dengan filtrasi sejumlah
besar cairan yang bebas protein dari kapiler glomerulus ke
kapsul bowman. Kebanyakan zat dalam plasma, kecuali untuk
protein, difiltrasi secara bebas sehingga konsentrasinya pada
filtrat glomerulus dalam kapsula bowman hampir sama
dengan dalam plasma. Ketika cairan yang telah difiltrasi ini
meninggalkan

kapsula

bowman

dan

mengalir

melewati

tubulus, cairan diubah oleh reabsorbsi air dan zat terlarut


spesifik yang kembali ke dalam darah atau oleh sekresi zatzat lain dari kapiler peritubulus ke dalam tubulus. Produksi
urine

akan

memelihara

homeostasis

tubuh

dengan

meregulasi volume dan komposisi dari darah. Proses ini


berupa ekskresi dan eliminasi dari berbagai larutan, terutama
hasil sisa metabolisme yang meliputi hal-hal sebagi berikut :
(1) urea, sebanyak 21 g urea dihasilkan manusia setiap
harinya terutama pada saat pemecahan asam amino; (2)
kreatinin,

kreatinin

dihasilkan

di

dalam

jaringan

muskuloskeletal pada saat pemecahan kreatin fosfat yang


digunakan

untuk

membentuk

energi

yang

tinggi

pada

kontraksi otot. Tubuh menghasilkan sekitar 1,8 g kreatinin


setiap hari dan hampir semua dikeluarkan di dalam urine (3)
asam urat, asam urat dibentuk pada saat daur ulang basa
nitrogen dari molekul RNA. Tubuh manusia menghasilkan
sekitar 480 mg asam urat setiap harinya.
2. Ureter
Ureter adalah organ yang berbentuk tabung kecil yang
berfungsi mengalirkan urine dari pielum ginjal ke dalam
kandung kemih. Pada orang dewasa, panjangnya kurang lebih
20 cm. Dindingnya terdiri atas mukosa yang dilapisi oleh sel-

sel transisional, otot-otot polos sirkuler dan longitudinal yang


dapat melakukan gerakan peristaltik (berkontraksi) guna
mengeluarkan urine ke kandung kemih.
Jika karena suatu sebab terjadi sumbatan pada aliran
urine, terjadi kontraksi otot polos yang berlebihan yang
bertujuan

untuk

mendorong/mengeluarkan

sumbatan

tersebut dari saluran kemih. Kontraksi ini dirasakan sebagai


nyeri kolik yang datang secara berkala, sesuai dengan irama
peristaltik ureter.
Ureter

memasuki

kandung

kemih

menembus

otot

detrusor di daerah trigonum kandung kemih. Tonus normal


dari otot detrusor pada dinding kandung kemih cenderung
menekan ureter, dengan demikian mencegah aliran balik
urine dari kandung kemih saat terjadi tekanan di kandung
kemih. Setiap gelombang peristaltik yang terjadi sepanjang
ureter akan meningkatkan tekanan dalam ureter sehingga
bagian yang menembus kandung kemih membuka dan
memberi kesempatan urine mengalir ke dalam kandung
kemih.
3. Kandung Kemih
Kandung kemih berfungsi menampung urine dari ureter
dan

kemudian

mengeluarkan

melalui

uretra

dalam

mekanisme miksi (berkemih). Dalam menampung urine,


kandung kemih mempunyai kapasitas maksimal, di mana
orang dewasa besarnya adalah 300-450 ml. Pada saat
kosong kandung kemih terletak di belakang simfisis pubis dan
pada saat penuh berada di atas simfisis sehingga dapat
dipalpasi dan diperkusi.
Kandung kemih adalah organ berongga yang terdiri atas
tiga lapis otot detrusor yang saling beranyaman. Serat-

seratnya meluas ke segala arah dan bila berkontraksi dapat


meningkatkan tekanan dalam kandung kemih menjadi 40-60
mmHg, dengan demikian kontraksi otot detrusor adalah
langkah terpenting untuk mengosongkan kandung kemih. Selsel otot polos dari otot detrusor terangkai satu sama lain
sehingga timbul aliran listrik berhambatan rendah dari satu
sel ke sel yang lain. Oleh karena itu, potensial aksi dapat
menyebar ke seluruh otot detrusor, dari satu sel otot ke sel
otot yang berikutnya sehingga terjadi kontraksi seluruh
kandung kemih.
4. Uretra
Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urine
keluar dari kandung kemih melalui proses miksi. Secara
anatomis uretra dibagi menjadi dua bagian yaitu uretra
posterior dan uretra anterior. Pada pria, organ ini berfungsi
juga dalam menyalurkan cairan mani. Uretra diperlengkapi
dengan sfingter uretra interna yang terletak pada perbatasan
kandung kemih dan uretra, serta sfingter uretra eksterna
yang terletak pada perbatasan uretra anterior dan posterior.
Sfingter uretra interna terdiri atas otot polos yang dipersarafi
oleh sistem simpatik sehingga pada saat kandung kemih
penuh, sfingter ini terbuka. Sfingter uretra eksterna terdiri
atas otot bergaris dipersarafi oleh sistem somatik yang dapat
diperintah sesuai dengan keinginan seseorang. Pada saat
BAK, sfingter ini terbuka dan tetap tertutup pada saat
menahan urine.
Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak di
sebelah kandung kemih, di depan rektum dan membungkus
uretra posterior. Prostat menghasilkan suatu cairan yang
merupakan salah satu komponen cairan ejakulasi. Cairan ini
dialirkan melalui duktus sekretorius dan bermuara di uretra

posterior untuk kemudian dikeluarkan bersama cairan semen


yang lain pada saat ejakulasi. Jika kelenjar ini mengalami
hiperplasia jinak atau berubah menjadi kanker ganas dapat
membuat

uretra

posterior

menjadi

buntu

sehingga

mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran kemih.


Berkemih (micturition) adalah pengeluaran urine dari
tubuh. Berkemih terjadi sewaktu sfingter uretra internal dan
eksternal di dasar kandung kemih berelaksasi. Sewaktu
kandungkemih berkontraksi, sfingter internal membuka. Pada
proses selanjutnya, informasi sensorik mengenai peregangan
kandung kemih berjalandari korda spinalis ke batang otak dan
korteks

serebelum

sehingga

individu

dapat

merasakan

keinginan berkemih (Muttaqin & Sari, 2011).


2.2 Definisi
Striktur uretra adalah suatu kondisi penyempitan lumen
uretra.

Striktur

uretra

menyebabkan

gangguan

dalam

berkemih, mulai dari aliran berkemih yang mengecil sampai


sama sekali tidak dapat mengalirkan urine keluar dari tubuh
(Muttaqin & Sari, 2011).
Striktur uretra adalah penyempitan dari lumen uretra
sebagai akibat dari pembentukan jaringan fibrotik (jaringan
parut pada uretra dan / atau pada daerah peri uretra)
(Nursalam & Baticaca, 2009).
Striktur uretra adalah penyempitan lumen uretra karena
fibrosis pada dindingnya. Penyempitan lumen ini disebabkan
karena dindingnya mengalami fibrosis dan pada tingkat yang
lebih parah terjadi fibrosis korpus spongiosum (Purnomo,
2011).

2.3 Klasifikasi

Sesuai dengan derajat penyempitan lumennya, striktur


uretra dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu:
1. Ringan. Jika oklusi yang terjadi kurang dari 1/3 diameter
lumen uretra.
2. Sedang. Jika terdapat oklusi 1/3 sampai dengan
diameter lumen uretra.
Berat. Jika terdapat oklusi lebih besar dari diameter lumen
uretra.
Pada penyempitan derajat berat kadang kala teraba
jaringan keras di korpus spongiosum yang dikenal dengan
spongiofibrosis (Purnomo, 2011).

Gambar 1 Derajat Penyempitan Lumen (stiktur Uretra) (Purnomo,


2011) hal. 144
2.4 Etiologi
Penyebab umum suatu penyempitan uretra adalah
akibat traumatik atau iatrogenik. Penyebab lainnya adalah
inflamasi, proses keganasan, dan kelainan bawaan pada
uretra (Muttaqin & Sari, 2011). Infeksi yang paling sering
menimbulkan striktur uretra adalah infeksi oleh kuman
gonokokus yang telah menginfeksi uretra beberapa tahun

sebelumnya. Keadaan ini sekarang jarang dijumpai karena


banyak pemakaian antibiotika yang memberantas uretritis.
Trauma yang menyebabkan striktur uretra adalah trauma
tumpul pada selangkangan (straddle injury), fraktur tulang
pelvis, dan instrumentasi atau tindakan transuretra uretra
yang kurang hati-hati. Tindakan yang kurang hati-hati pada
pemasangan kateter dapat menimbulkan salah jalan (false
route) yang menimbulkan kerusakan uretra dan menyisakan
striktur di kemudian hari. Demikian pula fiksasi kateter yang
tidak benar pada pemakaian kateter menetap menyebabkan
penekanan kateter pada perbatasan uretra bulbo-pendulare
yang

mengakibatkan

penekanan

uretra

terus-menerus,

menimbulkan hipoksia uretra daerah itu, yang akhirnya


menimbulkan fistula atau striktur uretra (Purnomo, 2011).
Penyebab striktur uretra: (1) pasca trauma : akibat
pemasangan instrumen, kateter, atau trauma eksternal.
Striktur paling banyak terdapat pada sambungan penoskrotal,
atau

uretra

bagian

penis

proksimal.

Trauma

pada

selangkangan akan menekan uretra melawan simpisis pubis


dengan kemungkinan terjadinya ruptur, sehingga penting
untuk melakukan uretrografi sebelum memasang kateter.
Kateter suprapubik merupakan pilihan yang lebih disukai
pada keadaan ini, (2) peradangan : biasanya terjadi pada
uretra anterior, sering disebabkan oleh infeksi gonorrhoea,
tuberculosis, atau uretritis nonspesifik, dan (3) neoplasia :
terjadi akibat terjadi keganasan, namun jarang (Patel, 2007).
2.5 Patofisiologi
Struktur uretra terdiri atas lapisan mukosa dan lapisan
submukosa. Lapisan mukosa pada uretra merupakan lanjutan
dari mukosa buli-buli, ureter, dan ginjal. Mukosanya terdiri
atas epitel kolumnar, kecuali pada daerah dekat orifisium

eksterna epitelnya skuamosa dan berlapis. Submukosanya


teridiri atas lapisan erektil vaskular.
Striktur

uretra

dapat

diakibatkan

dari

proses

peradangan, iskemik, atau traumatik. Apabila terjadi iritasi


uretra,

maka

akan

terjadi

proses

penyembuhan

cara

epimorfis, artinya jaringan yang rusak diganti ileh jaringan


ikat yang tidak sama dengan semula. Jaringan ikat ini
menyebabkan terbentuknya jaringan parut yang memberikan
manifestasi hilangnya elastisitas dan memperkecil lumen
uretra (Muttaqin & Sari, 2011).
Jaringan

sikatriks

pada

lumen

uretra

menimbulkan

hambatan aliran urine hingga retensi urine. Aliran urine yang


terhambat mencari jalan keluar di tempat lain (di proksimal
striktur) dan akhirnya mengumpul di rongga periuretra. Jika
terinfeksi menimbulkan abses periuretra yang kemudian
pecah

membentuk

fistula

uretrokutan.

Pada

keadaan

tertentu, dijumpai banyak sekali fistula sehingga disebut


fistula seruling (Purnomo, 2011).
2.6 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang muncul pada penderita striktur uretra
antara lain:
1. Kesulitan berkemih
2. Harus mengejan ketia berkemih
3. Pancaran urine mengecil
4. Pancaran bercabang dan menetes
5. Retensi urine
6. Pembengkakan dan adanya nanah pada daerah perineum
dan skrotum
7. Terkadang timbul bercak darah di celana dalam
8. Bila terjadi infeksi sistemik, pederita akan febris dan warna
urine keruh (Nursalam & Baticaca, 2009)
Manifestasi klinis menurut Muttaqin (2011) adalah:
1. Respon obstruksi:
a. Pancaran miksi lemah
b. intermitensi

c.
d.
e.
2.
a.
b.
c.
d.

miksi tidak puas


menetes setelah miksi
pembengkakan penis
Respon iritasi:
Frekwensi berkemih meningkat
Nokturia
Urgensi
Disuria
(Muttaqin & Sari, 2011)

2.7 Pemeriksaan Diagnostik


1. Uroflometri
Untuk mengetahui pola pancaran urine secara obyektif, dapat
diukur dengan cara sederhana atau dengan memakai alat
uroflometri.

Derasnya

pancaran

dapat

diukur

dengan

membagi volume urine yang dikeluarkan pada saat miksi


dibagi dengan lamanya proses miksi. Kecepatan pancaran
pria normal adalah 20 ml/detik. Jika kecepatan pancaran
kurang dari 10 ml/ detik menandakan ada obstruksi.
2. Uretrografi
Untuk melihat letak penyempitan dan besarnya penyempitan
uretra dibuat foto uretrografi. Lebih lengkap lagi mengenai
panjang striktu adalah dengan membuat foto bipolar sistouretrografi dengan cara memasukkan bahan kontras secara
antegrad dari buli-buli dan secara retrograd dari uretra.
3. Uretroskopi
Melihat penyumbatan uretra secara langsung dilakukan
melalui uretroskopi, yaitu melihat striktura transuretra. Jika
diketemukan striktura langsung diikuti dengan uretrotomi
interna (sachse) yaitu memotong jaringan fibrotik dengan
memakai pisau sache (Purnomo, 2011).
2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan disesuaikan dengan lokasi dan panjang/
pendeknya striktura.
1. Keadaan darurat
a. Retensi urine: sistostomi (trokar dan terbuka)
b. Infiltrat urine: insisi multiple dan drain
2. Dilatasi uretra (periodik)

Lakukan dengan halus dan hati-hati (perlu pengalaman


dan dituntut ketekunan serta kesabaran), kalau perlu
mulai dengan bougie fihform dan seterusnya.
Kontraindikasi: pada anak kecil. Bila gagal (bougie terlalu
sering/ jarak 2-3 bulan, nyeri, perdarahan, ekstravasasi,
infeksi), pertimbangan uretrotomia interna atau plastik
uretra.
Catatan: striktur uretra cenderung kambuh kembali.
3. Uretrotomia interna
a. Visual: Sachse
b. Blind : Otis
c. Selalu dicoba uretrotomia interna terlebih dahulu
kecuali

terdapat

fistula

uretrokutan

atau

abses

periuretra.
d. Kateter tetap (plastik, silikon, atau lateks) dipasang
selama 5-7 hari. Bila terjadi re-striktura, maka tindakan
lanjut yang dilakukan adalah dilatasi uretra hidraulik,
Self

catheterization.

Perlu

pula

dilakukan

pemeriksaan terhadappancaran urine (visual), kalau


mungkin

uroflowmetri.

:Perdarahan,

False

Penyulit

passage,

dari
terjadi

dan

hematoma,

infiltrat urine, infeksi, dan restriktura.


4. Bila dilatasi, uretrotomia interna gagal, atau terdapat
abses/ fistula, lakukan intervensi pembedahan.
5. Plastik uretra satu tahap dengan / tanpa graft kulit
(syarat: tidak ada infeksi). Bila terdapat penyulit abses/
fistula, lakukan operasi dalam dua tahap:
a. Eksisi semua jaringan patologis dan marsuapialisasi
uretra ke kulit atau graft inlay.
b. Rekonstruksi uretra.
6. Bila terdapat striktura akibat trauma yang mengenai
uretra

posterior,

lakukan

operasi

melalui

perineum

(dengan alat-alat dari Turner Warwick) atau transpubik


dengan melakukan pubektomi.
7. Pada kasus yang tidak mungkin, lakukan rekonstruksi
uretra:

a. Uretra perineostomi
b. Sistostomi permanen
c. Pengalihan aliran urine (diversion)
8. Pemakaian antibiotik:
a. Bila terdapat infeksi saluran air

kemih,

berikan

antibiotik yang sesuai dengan hasil uji kepekaan.


b. Bila kultur urine steril, lakukan profilaksis dengan
ampisilin

atau

terdapat

alergi

aminoglikosida
terhadap

(gentamisin),

ampisilin

(Nursalam

bila
&

Baticaca, 2009).
Penatalaksanaan pasien dengan striktur uretra menurut
Basuki (2009), yakni:
1. Sistomi Suprapubik, dilakukan untuk mengeluarkan urine
jika pasien datang karena retensi urine.
2. Insisi dan antibiotika, jika dijumpai abses periuretra.
Tindakan khusus yang dilakukan terhadap striktur uretra
adalah:
1. Businasi (dilatasi) dengan busi logam yang dilakukan
secara hati-hati. Tindakan yang kasar akan merusak
uretra sehingga menimbulkan luka baru yang pada
akhirnya menimbulkan striktur uretra lagi yang lebih
berat.
2. Uretrotomi interna, yaitu memotong jaringan sikatriks
uretra dengan pisau otis atau dengan pisau sachse. Otis
dikerjakan jika belum terjadi striktura total, sedangkan
pada striktura yang lebih berat, pemotongan striktura
dikerjakan secara visual dengan memakai pisau sachse.
3. Uretrotomi eksterna, yaitu tindakan operasi terbuka
berupa pemotongan jaringan fibrosis kemudian dilakukan
anastomosis di antara jaringan uretra yang masih sehat.
4. Johanson I dan II. Pada striktur yang panjang dan buntu
total, seringkali diperlukan beberapa tahapan operasi,
yakni tahap pertama dengan membelah uretra dan
membiarkan

untuk

epitelialisasi

(Johanson

I)

dan

dilanjutkan

pada

tahap

dengan

membuat

neouretra

(Johanson II).
Penyulit
Obstruksi uretra yang lama menimbulkan stasis urine dan
menimbulkan berbagai penyulit, di antaranya adalah infeksi
saluran kemih, terbentuknya divertikel uretra/buli-buli, abses
periuretra, batu uretra, fistel retro-kutan, dan karsinoma
uretra.
Kontrol berkala
Setiap kontrol dilakukan pemeriksaan pancaran urine yang
langsung dapat dilihat oleh dokter, atau dengan rekaman
uroflometri. Untuk mencegah timbulnya kekambuhan, sering
kali pasien harus menjalani beberapa tindakan, antara lain
dilatasi berkala dengan busi dan kateterisasi bersih mandiri
berkala (Clean Intermitten Catheterization) yaitu pasien
dianjurkan untuk melakukan kateterisasi secara periodik pada
waktu tertentu dengan kateter yang bersih (tidak perlu steril)
guna mencegah timbulnya kekambuhan uretra (Purnomo,
2011).

2.9 Komplikasi
Striktur uretra menyebabkan retensi urin di dalam
kandung kemih, penumpukan urin di dalam kantung kemih
beresiko

tinggi

untuk

terjadinya

infeksi,

yang

dapat

menyebab ke kantung kemih, prostat, dan ginjal. Abses diatas


lokasi striktur juga dapat terjadi, sehingga menyebabkan
kerusakan uretra. Selain itu terjadinya batu kandung kemih
juga

meningkat,

timbul

gejala

sulit

ejakulasi,

fistula

uretrokutancus (hubungan abnormal antara uretra dengan


kulit).
2.10 Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Keluhan utama pada striktur uretra bervariasi sesuai dengan
derajat penyempitan lumen pada uretra. Keluhan utama yang
lazim adalah pancaran urine kecil dan bercabang. Keluhan lain
biasanya adalah berhubungan dengan iritasi dan infeksi
seperti frekwensi, urgensi, disuria, inkontinensia, urine yang
menetes, kadang-kadang dengan penis yang membengkak,
infiltrat, abses, dan fistel. Keluhan yang lebih berat adalah
tidak bisa mengeluarkan ueine/tidak bisa miksi (retensi urine).
Penurunan

haluaran

urine,

kandung

kemih

penuh,

rasa

terbekar saat BAK. Keinginan /dorongan ingin berkemih terus,


oliguria, haematuria, piuri atau perubahan pola berkemih.
b. Aktivitas/istrirahat
Kaji

tentang

pekerjaan

pekerjaan

apakah

yang

pasien

monoton,

terpapar

lingkungan

suhu

tinggi,

keterbatasan aktivitas, misalnya karena penyakit yang


kronis atau adanya cedera pada medulla Spinalis.
c. Sirkulasi
Kaji terjadinya peningkatan tekanan Darah/Nadi, yang
disebabkan ;nyeri,ansietas atau gagal ginjal.Daerah ferifer
apakah teraba hangat (kulit) merah atau pucat.
d. Eliminasi
Kaji adanya riwayat struktur uretra:
e. Makanan / cairan:
Kaji adanya mual, muntah, nyeri tekan abdomen, ketidak
cukupan pemasukan cairan atau tidak cukup minum,
terjadi distensi abdominal, penurunan bising usus.
f. Nyeri/kenyamanan

Kaji episode akut nyeri berat, nyeri kolik.lokasi tergantung


pada jenis striktur misalnya striktur ringan, sedang, berat
dapat dilakukan test kecepatan pancaran urine dengan
cara sederhana memakai alat uroflometri dengan cara
membagi volume urine yang dikeluarkan pada saat miksi
dibagi lama proses miksi. Kecepatan pancaran pria normal
20

ml/detik

bila

kecepatan

pancaran

<

10ml/detik

menandakan ada obstruksi.


kejadian, lamanya, apakah ada periode bebas nyeri, berapa
lama).
Provokasi

faktor yang mempengaruhi (Predisposisi).

Qualitas : seperti apa nyari yang dirasakan coba katakan.


Time

: waktu

Region : lokasi nyeri


Severity : menggunakan skala 0-10 yaitu 0=tidak nyeri,
1-3 nyeri ringan, 4-6 nyeri sedang, 7-9 nyeri
berat, 10= nyeri tidak terkontrol.
g. Keamanan
Kaji terhadap penggunaan obat-obatan saat demam atau
menggigil.
h. Riwayat Penyakit
Kaji adanya riwayat penyakit kelamin dan trauma serta
kelainan bawaan.
Pemeriksaan Fisik
- Inspeksi
:

meatus

pembengkakan

serta

eksterna
fistula

yang
di

daerah

sempit,
penis,

skrotum, perineum dan suprapubik.


- Palpasi : teraba jaringan parut sepanjang perjalanan uretra
anterior pada bagian ventral dari penis: muara
fistula, bila dipijat, mengeluarkan getah/ nanah
(Nursalam & Baticaca, 2009). Pada pemeriksaan
fisik dengan palpasi pada penis didapatkan adanya

suatu kelainan akibat fibrosis di uretra, infiltrat,


abses, atau terbentuknya suatu fistula.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan pre operasi meliputi:
1)
2)
3)
4)
5)

Retensi urine b.d striktur/obstruksi saluran uretra.


Nyeri akut b.d disuria, efek mengejan saat miksi.
Gangguan pola tidur b.d nokturia, nyeri.
Ansietas b.d perubahan dalam status kesehatan.
Defisiensi pengetahuan b.d prosedur invasif, rencana

pembedahan.
6) Resiko kerusakan integritas kulit b.d iritasi dan statis urine
di meatus eksterna
7) Risiko infeksi b.d retensi urine, refluks urine.
8) Risiko kelebihan volume cairan tubuh b.d retensi cairan &
natrium.
9) Risiko inkontinensia urine overflow b.d kerusakan sfingter
uretra
Diagnosa keperawatan post operasi meliputi:
1) Nyeri akut b.d kerusakan integritas jaringan pasca
pembedahan.
2) Risiko infeksi b.d luka pasca bedah.
3) Risiko trauma b.d kerusakan jaringan pasca prosedur
invasif.
4) Risiko disfungsi seksual b.d kerusakan organ seksual.
5) Risiko inkontinensia urine overflow b.d kerusakan sfingter
uretra
3. Intervensi Keperawatan
1) Retensi urine b.d striktur/obstruksi saluran uretra.
Tujuan:

Setelah

diberi

asuhan

kepepola

eliminasi

optimal sesuai kondisi klien


Kriteria hasil :
a) Eliminasi urine tanpa ada keluhan subyektif seperti nyeri
dan urgensi
b) Eliminasi urine tanpa menggunakan kateter
c) Pasca bedah tanpa ada komplikasi
d) Frekwensi miksi dalam batas 5 8 x/24 jam

Intervensi :
a) Jelaskan

pada

klien

tentang

perubahan

dari

pola

eliminasi
Rasional: Meningkatkan pengetahuan klien sehingga
klien kooperatif dalam tindakan keperawatan.
b) Dorong klien untuk berkemih tiap 2 - 4 jam dan bila
dirasakan
Rasional: Meminimalkan retensi urine dan distensi yang
berlebihan pada kandung kemih.
c) Anjurkan klien minum sampai 2500-3000 ml sehari
Rasional: Cairan yang adequat akan meningkatkan
produksi urine yang berguna untuk mempertahankan
perfusi ginjal dan membersihkan ginjal dan kandung
kemih dari pertumbuhan bakteri.
d) Perkusi / palpasi area supra pubik.
Rasional: Distensi kandung kemih dapat dirasakan di
area supra pubik
e) Observasi aliran dan kekuatan urine.
Rasional: Observasi aliran dan kekuatan urine untuk
mengevaluasi adanya tanda obstruksi
f) Monitor laboratorium: urinalisa dan

kultur,

BUN,

kreatinin.
Rasional: Untuk menentukan antimikroba yang sesuai
dan melihat fungsi ginjal.
g) Kolaborasi untuk tindakan pelebaran uretra baik secara
uretrotomi internal atau pemasangan stent uretra dan
bedah rekonstruksi.
Rasional: Intervensi bedah dilakukan untuk mengatasi
masalah gangguan eliminasi urine dan pemilihan jenis
pembedahan dilakukan sesuai derajat penyempitan dan
tingkat toleransi individu.
2) Nyeri akut b.d disuria, efek mengejan saat miksi.
Tujuan: Nyeri berkurang atau hilang dalam waktu kurang
dari 24 jam
Kriteria hasil :

a) Secara subyektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat


diadaptasi. Skala nyeri 0-1 (0-4).
b) Dapat mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan
atau menurunkan nyeri.
c) Ekspresi pasien rileks.
Intervensi :
a) Jelaskan dan bantu pasien dengan tindakan pereda nyeri
nonfarmakologi dan noninvasif.
Rasional: Pendekatan dengan menggunakan relaksasi
dan

nonfarmakologi

lainnya

telah

menunjukkan

keefektifan dalam mengurangi nyeri.


b) Lakukan manajemen nyeri keperawatan. Istirahatkan
pasien
Rasional: Istirahat akan menurunkan kebutuhan O2
jaringan perifer sehingga akan meningkatkan suplai
darah ke jaringan.
c) Manajemen lingkungan tenang dan batasi pengunjung
Rasional: Lingkungan tenang akan menurunkan stimulus
nyeri

dan menganjurkan pasien untuk

beristirahat.

Pembatasan pengunjung akan membantu meningkatkan


kondisi O2 ruangan yang akan berkurang apabila banyak
pengunjung berada dalam ruangan dan menjaga priv asi
pasien.
d) Lakukan masase sekitar nyeri
Rasional: Meningkatkan kelancaran suplai darah untuk
menurunkan iskemia
e) Ajarkan teknik relaksasi pernapasan dalam.
Rasional: Meningkatkan asupan O2 sehingga
menurunkan nyeri sekunder.
f) Ajarkan teknik distraksi pada saat nyeri
Rasional: Distraksi (pengalihan perhatian)
menurunkan

stimulus

internal

dengan

akan

dapat

mekanisme

peningkatan produksi endorfin dan enkefalin yang dapat


memblok reseptor nyeri agar tidak dikirimkan ke korteks
serebri sehingga menurunkan persepsi nyeri.

g) Tingkatkan pengetahuan tentang sebab-sebab nyeri dan


menghubungkan berapa lama nyeri akan berlangsung.
Rasional: Pengetahuan yang akan dirasakan membantu
mengurangi

nyerinya

dan

dapat

membantu

mengembangkan kepatuhan pasien terhadap rencana


terapeutik.
3) Gangguan pola tidur b.d nokturia, nyeri
Tujuan : Pola tidur normal dalam waktu 3 x 24 jam.
Kriteria hasil :
a) Klien melaporkan istirahat tidur malam optimal.
b) Tidak menunjukkan perilaku gelisah.
c) Wajah tampak segar, tidak ada pmbesaran kantong mata
akibat kurang tidur.
Intervensi :
a) Pantau keadaan umum dan TTV klien.
Rasional: mengkaji kondisi klien secara umum.
b) Kaji pola tidur klien.
Rasional: mengetahui masalah untuk menentukan
intervensi mengenai pola tidur klien.
c) Dokumentasi tindakan untuk mengatasi kegelisahan.
Rasional: memantau seberapa jauh klien dapat bersikap
rileks dan tenang.
d) Ciptakan suasana

nyaman,

kurangi

atau

hilangkan

distraksi lingkungan dan gangguan tidur.


Rasional: membantu relaksasi saat tidur.
e) Batasi pengunjung selama periode istirahat

yang

optimal.
Rasional: menurunkan stimulasi sensori yang dapat
menghambat tidur nyenyak.
f) Turunkan jumlah minum pada

sore

hari.

Lakukan

berkemih sebelum tidur


Rasional: menurunkan kebutuhan akan bangun untuk
berkemih selama malam hari.
g) Ajarkan distraksi dan relaksasi.

Rasional: dapat menenangkan pikiran dari kegelisahan


dan mengurangi ketegangan otot.
4) Ansietas b.d perubahan dalam status kesehatan.
Tujuan:

Setelah

diberikan

tindakan

keperawatan,

kecemasan pasien berkurang.


Kriteria Hasil :
a) Pasien menyatakan kecemasan berkurang, mengenal
perasaannya.
b) Dapat mengidentifikasi penyebab atau faktor yang
mempengaruhinya.
c) Kooperatif terhadap tindakan.
d) Wajah rileks.
Intervensi :
a) Kaji tanda verbal dan nonverbal kecemasan, dampingi
pasien dan lakukan tindakan bila menunjukkan perilaku
merusak.
Rasional: Reaksi verbal/nonverbal dapat menunjukkan
rasa agitasi, marah, dan gelisah.
b) Ciptakan lingkungan yang tenang dan nyaman.
Rasional: Mengurangi rangsangan eksternal yang tidak
perlu.
c) Orientasikan

pasien

terhadap

prosedur

rutin

dan

aktivitas yang diharapkan


Rasional: Orientasi dapat menurunkan kecemasan
d) Beri kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan
kecemasannya.
Rasional: Dapat menghilangkan ketegangan terhadap
kekawatiran yang tidak diekspresikan.
e) Kolaborasi : berikan anti cemas sesuai indikasi misalnya
diazepam.
Rasional:

Meningkatkan

relaksasi

dan

menurunkan

kecemasan.
5) Defisiensi pengetahuan b.d prosedur invasif, rencana
pembedahan.

Tujuan:

Setelah

pengetahuan

dilakukan
pasien

tindakan
dan

keperawatan,

keluarga

tentang

pembedahan terpenuhi.
Kriteria hasil :
a) Pasien dan keluarga mengetahui jadwal pembedahan.
b) Pasien dan keluarga kooperatif pada setiap intervensi
keperawatan.
c) Pasien dan keluarga

secara

subyektif

menyatakan

bersedia dan termotivasi untuk melakukan prosedur


prabedah yang telah dijelaskan.
d) Pasien
dan
keluarga
memahami

tahap-tahap

intraoperatif dan pasca anestesi.


e) Pasien dan keluarga mampu mengulang kembali secara
narasi intervensi prosedur pasca anestesi.
f) Pasien dan keluarga memahami respon pembedahan
secara fisiologi dan psikologi.
g) Secara subyektif pasien menyatakan rasa nyaman dan
relaksasi.
Intervensi :
a) Kaji tingkat pengetahuan, sumber informasi yang telah
diterima.
Rasional:

Menjadi

data

dasar

untuk

memberikan

pendidikan kesehatan dan mengklarifikasi sumber yang


tidak jelas.
b) Diskusikan

jadwal

tindakan

diagnostik

invasif

dan

pembedahan.
Rasional: Pasien dan keluarga harus diberitahu waktu
dimulainya tindakan invasif dan pembedahan. Perlu
dijelaskan pula mengenai banyaknya operasi yang telah
di jadwalkan.
c) Lakukan pendidikan kesehatan preoperatif.
Rasional: Sangat bermanfaat guna mempertimbangkan
timbulnya kecemasan, kebutuhan serta harapan pasien
dan keluarga.

d) Programkan instruksi yang didasarkan pada kebutuhan


individu, direncanakan dan diimplememtasikan pada
waktu yang tepat.
Rasional: Jika penyuluhan

dilakukan

beberapa

hari

sebelum tindakan invasif dan pembedahan, pasien


mungkin tidak ingat. Jika instruksi diberikan terlalu dekat
dengan waktu pembedahan, pasien mungkin tidak dapat
berkonsentrasi karena ansietas.
e) Beritahu persiapan pembedahan yang harus dijalani.
6) Resiko kerusakan integritas kulit b.d iritasi dan statis urine
di meatus eksterna
Tujuan: Integritas kulit: kulit dan mukosa kulit kembali
normal
Kriteria Hasil :
a) Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan (sensasi,
elastisitas, temperatur, hidrasi, pigmentasi)
b) Tidak ada luka/lesi pada kulit
c) Perfusi jaringan baik
d) Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit
dan mencegah terjadinya sedera berulang
e) Mampu
melindungi
kulit
dan
mempertahankan
kelembaban kulit dan perawatan alami
Intervensi:
a) Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang
sesuai
b) Ajarkan pasien segera mengganti pakaian bila basah
c) Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering
d) Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua jam
e)
f)
g)
h)

sekali
Monitor kulit akan adanya kemerahan
Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien
Monitor status nutrisi pasien
Memandikan pasien dengan sabun dan air hangat

BAB 3
WEB of CAUTATION (WOC)
Didapa
t
Infeksi &
Trauma
Lesi pd epitel
uretra

Kongenital (mis:stenosis
meatus)
Neoplasma/tu
mor
Penekanan pd
uretra

Terbent
uk
jaringan

Peradang
an

Resiko
Infeksi

Penyempit
an lumen
uretra

Kuman
pd bulibui

Striktur
Uretra

Stasis
urin

Hambatan aliran
urine
Buli-

Ginjal &
ureter

- Hipertro
pi otot
destrus
or

Refluks
vesikouretra,
hidroureter,
hidronefrosis

- Divertike

Kerusakan sfingter
uretra

Retensi cairan
& natrium

Risiko tinggi
trauma

Ansieta
s
Resiko kelebihan
volume cairan
tubuh

Gagal
ginjal
Urin
Statis

Pembedah
an

Defisiensi
pengetahuan

Kerusakan
jaringan
pascaprosedur

Frekwensi miksi
me
Pancaran
urine

Incontinensia urine
overflow

Preopera
si
Ansiet
as

Sering BAK malam

Retensi
urin
Gangguan
eliminasi
urin
Nye
ri

Disuri
a

Noktur

Akumulasi
urin

Pe
tekanan
intravesik
Iritasi intra
vesika

Tidak
tertangan
i secara
dini

Kontraksi bulibuli

Gangguan pola

Luka post
op
Resti
infeksi

Posto
p

Kerusakan
integritas
kulit

Kerusakan
Integritas

Kerusakan organ
seksual

Nye
ri
Kerusakan sfingter
uretra
Incontinensia urine
overflow

Risiko
disfungsi
seksual

Daftar Pustaka
McPhee, S. & Ganong, W., 2011. Patofisiologi Penyakit. Jakarta:
EGC.
Muttaqin, A. & Sari, K., 2011. Asuhan Keperawatan Dengan
Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.
Muttaqin, A. & Sari, K., 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan
Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.
Nursalam & Baticaca, F. B., 2009. Asuhan Keperawatan pada
Pasien dengan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta:
Salemba Medika.
Patel, P., 2007. Radiologi. Jakarta: Erlangga.
Purnomo, B. B., 2011. Dasar-Dasar Urologi. Jakarta: CV Agung
Seto.

Anda mungkin juga menyukai