Anda di halaman 1dari 41

KEPERAWATAN KRITIS

LAPORAN PENDAHULUAN DAN KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


KRITIS PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN IMUN :
IMUNODEFISIENSI, HIPERSENSITIFITAS

Tugas ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Kritis yang
diampu oleh Farida Aini, S.Kep.,Ns.,M.Kep., Sp.KMB

DISUSUN OLEH : Kelompok 13

Mieke Oktavia Purnama (010217A022)

Muchamad Machfud Sodik (010217A023)

Muhammad Akbar H (010217A024)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS NGUDI WALUYO

UNGARAN

2018/2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa ,karena
berkat rahmat dan hidayah-Nya, kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini
guna memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Kritis Program Studi S1
Keperawatan Transfer Universitas Ngudi Waluyo.
Makalah berisikan Tentang Laporan Pendahuluan Dan Asuhan
Keperawatan Kritis Dengan Gangguan Imun ini merupakan bentuk
pertanggungjawaban atas tugas yang diberikan Dosen dalam mata kuliah
Keperawatan Kritis, sekaligus salah satu syarat untuk memenuhi nilai kami.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Dosen pengampu mata kuliah
Keperawatan Kritis serta rekan rekan yang telah banyak membantu dalam
membuat makalah ini.
Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca, kami menyadari
bahwa dalam menyusun makalah ini masih mempunyai kekurangan,oleh sebab itu
dengan dada lapang serta tangan dan hati terbuka kami mengharapkan saran dan
kritiknya yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Ungaran, 10 November 2018

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Fungsi sistem imun adalah melindungi pejamu dari invasi organisme asing
dengan membedakan diri (self) dari bukan diri (non-self). Sistem semacam ini
diperlukan untuk kelangsungan hidup. Sistem imun yang berfungsi baik tidak saja
melindungipejamu dari faktor eksternal seperti mikroorganisme atau toksin tetapi
juga mencegah dan menolak serangan oleh faktor endogen seperti tumor atau
fenomena autoimun.
Disfungsi atau defisiensi komponen sistem imun menimbulkan beragam
penyakit klinis dengan ekspresi dan keparahan yang bervariasi dari penyakit
atopik hingga atritis reumatoid, severe combined immunodeviciency, dan kanker.
Dalam makalah yang kami susun ini akan membahas dan memperkenalkan
fisiologi rumit sistem imun dan kelainan yang menimbulkan penyakit
imunodefisiensi dan hipersensitivitas.
Imunitas atau kekebalan adalah sistem pada organisme yang bekerja
melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi
danmembunuh patogen serta sel tumor, sehingga tubuh bebas patogen dan
aktivitas dapat berlangsung dengan baik.Selain dapat menghindarkan tubuh
diserang patogen, imunitas juga dapatmenyebabkan penyakit, diantaranya
hipersensitivitas dan autoimun. Hipersensitivitas adalah respon imun yang
merusak jaringan tubuh sendiri. Reaksi hipersensitivitas terbagi menjadi empat
tipe berdasarkan mekanisme dan lama waktu reaksi hipersensitif, yaitu reaksi
hipersensitivitas tipe I, tipe II, tipe III, dan tipe IV (Kowalak, 2011).
Suatu ciri sistem imun ialah keupayaan untuk membedakan bahan-bahan
yang wujud secara semula jadi atau normal (diri) dari bahan-bahan atau agen-agen
yang masuk ke dalam tubuh dari luar (bukan diri) dan menghasilkan gerak balas
terhadap bahan bukan diri saja. Sistem imun tubuh telah berkembang sedemikian
rupa sehingga mampu mengenal setiap antigen asing dan membedakannya dengan
struktur antigen diri (self antigen), tetapi dapat saja timbul gangguan terhadap
kemampuan pengenalan tersebut sehingga terjadi respons imun terhadap antigen
diri yang dianggap asing (Price, 2005).

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana konsep teori dari imunodefisiensi ?
2. Bagaimana konsep teori dari hipersensitivitas ?
3. Bagaimana konsep asuhan keperawatan kritis pada gangguan imun ?

C. TUJUAN
1. Mahasiswa mengetauhi kosep teori dari imunodefisiensi.
2. Mahasiswa mengetauhi konsep teori dari hipersensitifitas.
3. Mahasiswa mampu menerapkan konsep asuhan keperawatan kritis pada
pasien dengan gangguan imun.
BAB II
KONSEP TEORI

A. Imunodefisiensi
1. Pengertian
Imunodefisiensi atau imunokompromais adalah fungsi sistem imun
yang menurun atau tidak berfungsi dengan baik. Fungsi masing-masing
komponen sistem imun humoral maupun selular atau keduanya dapat
terganggu baik oleh sebab congenital maupun sebab yang didapat. Keadaan
imunodefisiensi dapat terjadi disebabkan oleh berbagai hal, antara lain akibat
infeksi (AIDS, virus mononucleosis, rubella, dan campak), penggunaan obat
(steroid, penyinaran, kemoterapi, imunosupresi, serum anti-limfosit),
neoplasma dan penyakit hematologik (limfoma/hodkin, leukemia, mieloma,
neutropenia, anemia aplastik, anemia sel sabit), penyakit metabolik (enteropati
dengan kehilangan protein, sindrom nefrotik, diabetes mellitus, malnutrisi),
trauma dan tindakan bedah (luka bakar, spienektomi, anestesi), lupus
eritematosus sistemik, dan hepatitis kronis.
Berbagai mikroorganisme (kuman, virus, parasit, jamur) yang ada di
lingkungan maupun yang sudah ada dalam tubuh penderita, yang dalam
keadaan normal tidak patogenik atau memiliki patogenisitas rendah, dalam
keadaan imunodefisiensi dapat menjadi invasif dan menimbulkan berbagai
penyakit. Oleh karena itu, penderita yang imunodefisiensi mempunyai risiko
yang lebih tinggi terhadap infeksi yang berasal dari tubuh sendiri maupun
secara nasokomial disbanding dengan yang tidak imunodefisiensi.
Gangguan imunodefisiensi dapat disebabkan oleh defek atau defisiensi
pada sel-sel fagositik, limfositik, limfosit B, limfosit T atau komplemen. Gejala
yang spesifik serta beratnya penyakit, usia saat penyakit dimulai dan prognosis
penyakit bergantung pada komponen apa yang terkena dalam sistem imun dan
sampai di mana fungsi imun tersebut terganggu. Terlepas dari peyebab yang
mendasari kelainan imunodefisiensi, gejala utamanya mencakup infeksi kronik
atau infeksi berat kambuhan, infeksi karena mikroorganisme yang merupakan
fiora normal tubuh, respons tubuh yang buruk terhadap pengobatan infeksi dan
diare kronik. Imunodefisiensi bisa diklasifikasikan sebagai kelainan yang
primer atau sekunder dan dapat pula dipilah berdasarkan komponen yang
terkena pada sistem imun tersebut (Smeltzer & Bare, 2002).
2. Klasifikasi Imunodefisiensi
Menurut Smeltzer & Bare, 2002 secara garis besar imunodefisiensi
dibagi dalam dua golongan yaitu imunodefisiensi primer dan imunodefisiensi
sekunder.
a. Imunodefisiensi Primer
Imunodefisiensi primer merupakan kelainan langka yang penyebabnya
bersifat genetik dan terutama ditemukan pada bayi serta anak-anak
kecil.gejala biasanya timbul pada awal kehidupan setelah perlindungan oleh
antibodi maternal menurun.tanpa terapi, bayi dan anak-anak yang menderita
kelainan ini jarang dapat bertahan hidup sampai usia dewasa. Kelainan ini
dapat mengenai satu atau lebih komponen pada sistem imun.
1. Disfungsi Fagositik
 Manifestasi Klinis
Kelainan pada sel-sel fagositik akan bermanifestasi dalam bentuk
peningkatan insidensi infeksi bakterial. Di samping infeksi bakterial,
penderita sindrom hiperimunoglobulinemia E (HIE) yang dahulunya
dikenal sebagai sindrom Job akan menderita pula infeksi oleh Candida
dan virus herpes simpleks atau herpes zoster. Penderita sindrom ini akan
terkena furunkolosis rekuren, abses kulit, dermatitis ekzematoid kronik,
bronkitis, pneumonia, otitis media kronik dan sinusitis. Sel-sel darah
putih tidak mampu menghasilkan respons inflamasi terhadap infeksi
kulit; keadaan ini mengakibatkan abses dingin yang letaknya dalam dan
kurang menunjukkan tanda-tanda serta gejala klasik inflamasi (yaitu,
kemerahan, panas dan nyeri).
 Penatalaksanaan
Penanganan kelainan ini mencakup penatalaksanaan infeksi bakteri
dengan terapi antibiotik profilaktik. Pada penderita sindrom HIE, terapi
mungkin diperlukan untuk mengatasi infeksi jamur maupun virus.
Transfusi sel-sel granulosit pernah dilakukan tetapi kerap kali tanpa hasil
karena sel-sel tersebut memiliki masa paruh yang pendek. Terapi dengan
faktor penstimulasi koloni granulosit-makrofag (GM-CSF; granulocyte-
macrophage colony stimulating factor) atau granulosit CSF (G-CSF)
terbukti memberikan hasil yang baik karena protein ini akan menarik sel-
sel dari sumsum tulang dan mempercepat maturasinya.
2. Defisiensi Sel-B
Ada dua tipe kelainan bawaan defisiensi sel-B.Tipe yang pertama
terjadi karena kurangnya diferensiasi prekursor sel-B menjadi sel-B
matur yang mengakibatkan kurangnya sel plasma dan tidak tampaknya
pusat-pusat germinal dari semua jaringan limfoid. Fenomena ini
menyebabkan defisiensi total produksi antibodi terhadap bakteri, virus
dan mikroorganisme patogen lain yang menginvasi tubuh penderitanya.
Bayi yang lahir dengan kelainan ini akan menderita infeksi berat yang
terjadi segera setelah bayi tersebut dilahirkan. Sindrom ini dinamakan
sex-linked agammaglobulinemia (penyakit Bruton) karena semua jenis
antibodi menghilang dari dalam plasma pasien.
Tipe defisiensi sel-B yang kedua terjadi akibat kurangnya
diferensiasi sel-sel yang menjadi sel plasma.Pada kelainan ini hanya
terjadi penurunan produksi antibodi. Meskipun sel plasma merupakan
penghasil antibodi yang paling agresif, namun penderitanya akan
memiliki folikel kelenjar limfe yang normal dan limfosit B dalam jumlah
banyak yang memproduksi sejumlah antibodi. Sindrom ini dinamakan
hipogamaglobulinemia.Keadaan ini merupakan kelainan imunodefisiensi
yang sering terjadi dan karena itu dinamakan common variable
immunodeficiency (CVID).Istilah ini mencakup sejumlah defek yang
berkisar mulai dari defisiensi IgA dimana hanya terjadi defisiensi sel
plasma yang memproduksi IgA sehingga kelainan ekstrem lainnya
dimana terjadi panhipoglobulinemia berat (defisiensi umum
imunoglobulin dalam darah).
 Manifestasi Klinis
CVID merupakan kelainan imunodefisiensi primer yang paling
sering terlihat pada usia dewasa. Laki-laki dan wanita terkena sama
seringnya. Meskipun awitannya dapat terjadi pada segala usia, kelainan
ini paling sering dijumpai pada usia dekade kedua. Lebih dari 50%
penderita CVID akan mengalami anamia pernisiosa. Gambaran umum
yang ditemukan pada pemeriksaan mencakup hiperplasia limfoid usus
halus dan lien disamping atrofi lambung yang terdeteksi melalui biopsi
lambung. Kerap kali pasien CVID juga mengalami penyakit autoimun
yang lain seperti artritis dan hipotiroidisme.
Penderita CVID rentan terhadap infeksi bakteri berkapsul seperti
Haemophilus influenza, Streptococcus pneumonia dan Staphylococcus
aureus. Infeksi saluran nafas yang sering terjadi secara khas akan
berkembang menjadi bronkiektasis progresif kronik dan kegagalan paru.
Infeksi oleh Giardia lamblia juga sering dijumpai pada penderita CVID
ini.Infeksi oportunistik dengan Pneumocystis carinii hanya terlihat pada
penderita yang juga mengalami defisiensi dalam imunitas sel-T.
 Penatalaksanaan
Penderita CVID mungkin memerlukan terapi pengganti dengan
suntikan gama globulin IV. Penderita yang mendapatkan terapi adekuat
dengan gama globulin IV biasanya tidak memerlukan antibiotik
profilaktik kecuali jika mengalami penyakit respiratorius kronik. Terapi
antimikroba diberikan pada infeksi respiratorius untuk mencegah
komplikasi seperti pneumonia, sinusitis atau otitis media.Infestasi
intestinal oleh Giardia lamblia harus diobati dengan pemberian
metronidazol (Flagyl) atau kuinakrin hidroklorida (Atabrine) selama 7
hari.Penderita yang mempunyai anemia pernisiosa memerlukan suntikan
vitamin B12 sebulan sekali.
3. Defisiensi sel-T
 Patofisiologi dan Penatalaksanaan
Hilangnya fungsi sel-T biasanya disertai dengan hilangnya
sebagian aktivitas sel-B karena peranan regulasi yang dilaksanakan oleh
sel-T dalam sistem imun.Status sel-T dapat dievaluasi lewat hitung
limfosit darah tepi.Limfosipenia dapat menandakan defisit sel-T. Sel-T
merupakan 65%hingga 85% dari total limfosit darah tepi. Evaluasi untuk
mengetahui apakah sel T mampu memproduksi respons sel-T dapat
dilakukan melalui pemeriksaan sensitisasi dermal penderitanya atau
stimulasi mesing-masing sel T secara in vitro.
Sindrom DiGeorge atau hipoplasia timus merupakan defisiensi sel-
T yang terjadi kalau kelenjar tmus tidak dapat tumbuh secara normal
selama embriogenesis. Bayi yang dilahirkan dengan sindrom DiGeorge
akan menderita hipoparatiroidisme yang mengakibatkan hipokalsemia
yang resisten terhadap terapi standar, penyakit jantung kongenital, wajah
yang abnormal dan kemungkinan kelainan renal. Bayi yang menderita
sindrom ini rentan terhadap infeksi kandida, jamur, protozoa dan virus.
Bayi-bayi tersebut terutama rentan terhadap penyakit kanak-kanak (cacar
air, campak serta rubela)yang biasanya berat dan mungkin pula fatal.
Kandidiasis Mukokutaneus Kronik dengan atau tanpa
endokrinopati merupaka kelainan yang berkaitan dengan defek selektif
pada imunitas sel-T yang diperkirakan terjadi akibat pewarisan
autosomal-resesif. Kelainan ini dianggap sebagai kelainan autoimun
dimana kelenjar timus dan kelenjar endokrin lainnya terlibat dalam
proses autoimun. Gambaran awal kandidiasis mukotaneus kronik dapat
berupa infeksi kandida yang kronik atau endokrinopati idiopatik.
Kelainan ini mengenai laki-laki maupun wanita penderitanya dapat
bertahan hidup sampai usia dekade kedua atau ketiga. Penyakit
kandidiasis mukokutaneus kronik akan menyebabkan peningkatan
morbiditas karena disfungsi endokrin. Masalahnya dapat mencakup
hipokalsemia dan tetani yang terjadi sekunder akibat hipofungsi kelenjar
paratiroid.Hipofungsi korteks adrenal (penyakt Addison) merupakan
penyebab utama kematian pada penderita kelainan ini, dan hipofungsi
korteks adrenal tersebut dapat terjadi mendadak tanpa riwayat gejala
apapun.
Infeksi kandida kronik pada kulit dan membran mukosa sulit
diobati kendati infeksi sistemik oleh Candida biasanya tidak
terjadi.Penderita infeksi kandida kronik pada kulit dan membran mukosa
kerap kali mengalami masalah psikologis yang berat.Terapi topikal
dengan mikonazol pernah dilaporkan dapat mengendalikan infeksi ini
pada sebagian pasien.Pemberian suntikan amfoterisin B IV memberikan
manfaat pada sebagian pasien kendati pemakaiannya sangat terbatas
mengingat toksisitasnya pada ginjal.Terapi oral dengan agens klotrimazol
dan ketokonazol dilaporkan juga bermanfaat.
4. Defisiensi sel-B dan sel-T
 Patofisiologi dan Penatalaksanaan
Ataksia-telangiektasia merupakan kelainan yang mengenai
imunitas sel-T dan sel-B.Kelainan ini diturunkan secara autosomal-
resesif.Pada 40% penderita kelainan ini terdapat defisiensi selektif
IgA.Defisiensi subkelas IgA dan IgG disamping defisiensi IgE pernah
ditemukan. Defisiensi sel-T dengan derajat yang bervariasi dapat terlihat
dan bertambah parah bersamaan dengan pertambahan usia penderitanya.
Penyakit ini meliputi sistem neurologik, vaskuler, endokrin dan sistem
imun. Awitan ataksia (geraka otot yang tidak terkoordinasi) dan
telangiektasia (lesi vaskuler akibat pelebaran pembuluh darah) biasanya
terjadi pada usia 4 tahun pertama, kendati banyak pasien yang tetap
terbebas dari gejala selama 10 tahun atau lebih. Morbiditasnya akan
meningkat jika terdapat penyakit paru kronik, retardasi mental serta
gejala neurologik; ketidakmampuan fisik semakin parah ketika pasien
mendekati usia dekade kedua. Pasien yang dapat bertahan hidup dalam
waktu lama akan mengalami kemunduran fungsi imunologik dan
neurologik yang progresif. Sebagian pasien da[pat mencapai usia dekade
kelima. Penyebab kematian pada penderita kelainan ini adalah infeksi
yang menyeluruh dan penyakit kanker limforetikuler atau
epitelial.Terapinya mencakup penanganan infeksi secara dini dengan
antimikroba, penanganan penyakit paru kronik dengan drainase postural
serta fisioterapi, dan penanganan gejala yang ada lainnya. Terapi yang
lain mencakup transplantasi jaringan timus janin dan pemberian suntikan
gama globulin IV.
Sindrom Nezelof diperkirakan terjadi akibat kelainan genetik yang
berciri resesif. Bayi yang lahir dengan sindrom Nezelof tidak memiliki
kelenjar timus dan mengalami imunodefisiensi sel-B dalam pelbagai
derajat dengan disertai oleh kombinasi kadar imunoglobulin yang
meningkat, menurun atau normal. Bayi dengan sindrom Nezelof
memiliki penekanan yang tinggi terhadap infeksi virus, bakteri, jamur,
dan protozoa.Bayi yang menderita sindrom ini juga memiliki insidensi
penyakit malignan yang tinggi.
Baik sel-B maupun sel-T tidak terdapat pada penyakit SCID
(severe combined immunodeficiency disease). Pada penyakit ini sama
sekali tidak terdapat imunitas humoral maupun seluler yang disebabkan
oleh kelainan genetik yang bersifat autosomal atau yang berkaitan
dengan kromosom X (x-linked). Pada sebagian kasus terjadi bentuk-
bentuk sporadis penyakit ini.Sindrom Wiscott Aldrich merupakan varian
penyakit SCID dengan trombositopenia (penurunan jumlah trombosit)
disamping tidak terdapatnya sel T dan B.
Prognosis defisiensi sel-B dan -T umunya jelek karena sebagian
besar bayi yang terkena akan mengalami infeksi fatal yang menyeluruh.
Pilihan terapi yang masih sedang diselidiki mencakup transplantasi
sumsum tulang, terapi pengganti dengan suntikan imunoglobulin IV,
faktor yang berasal dari timus dan tranplantasi kelenjar timus. Dengan
keberhasilan terapi yang semakin meningkat, maka dari pasien-pasien
yang seharusnya sudah meninggal pada masa bayi ternyata semakin
banyak jumlahnya yang dapat hidup sampai usia dewasa.
5. Defisiensi sistem komplemen
Dengan semakin baiknya teknik pemeriksaan untuk
mengidentifikasi komponen masing-masing komplemen, maka
identifikasi defisiensi pada sistem komplemen juga terus mengalami
peningkatan yang mantap. Defisiensi komponen C2 dan C3akan
mengakibatkan penurunan resistensi terhadap infeksi bakteri.
Angioneurotik edema disebakan oleh kelainan bawaan defisiensi
inhibitor enzim esterase C1 yang melawan pelepasan mediator dan proses
inflamasi. Defisiensi inhibitor ini mengakibatkan episode edema yang
sering pada berbagai bagian tubuh.
Penderita hemoglobulinuria paroksismal nokturnal mengalami
defisiensi decay-accelerating factor (DAF) yang ditemukan pada eritrosit
(sel darah merah). Dalam keadaan normal DAF akan melindungi eritrosit
dari kemungkinan lisis (penguraian). Dalam kelainan ini, komponen-
komponen C3bakan bertumpuk pada molekul CR1 pada eritrosit, lalu
bertindak sebagai tempat pengikatan untuk komponen yang kerjanya
kemudian, dan mengakibatkan terjadinya lisis.
b. Imunodefisiensi Sekunder
Imunodefisiensi sekunder lebih sering menjumpai dibandingkan
defisiensi primer dan kerapkali terjadi sebagai akibat dari proses penyakit
yang mendasarnya atau akibat dari terapi terhadap penyakit ini. Penyebab
umum imonodefisiensi sekunder adalah malnutrisi, stres kronik, luka bakar,
uremia, diabetes miletus, kelainan autoinum tertentu, kontak dengan obat-
obatan serta zat kimia yang imunotoksik. Penyakit AIDS (Acquired
Immunodeficiency Syndrome) merupakan imonodefisiensi sekunder yang
paling sering ditemukan.Penyakit ini dibahas secara rinci dalam BAB
50.Penderita imonosupresi dan sering disebut sebagai hospes yang
terganggu kekebalanya (immunocompromised host).Intervensi untuk
mengatasi imunodefisiensi sekunder mencakup upaya menghilangkan faktor
penyebab, mengatasi keadaan yang mendasari dan menggunakan perinsip-
perinsip pengendalian infeksi yang nyaman.
3. Etiologi
Beberapa penyebab dari imunodefisiensi yang didapat:
1. Penyakit keturunan dan kelainan metabolisme
a. Diabetes
b. Sindroma Down
c. Gagal Ginjal
d. Mal nutrisi
e. Penyakit sel sabit
2. Bahan kimia dan pengobatan yang menekan sistem kekebalan
a. Kemoterapi kanker
b. Kortikosteroid
c. Obat immunosupresan
d. Terapi penyinaran
3. Infeksi
a. Cacar air
b. Infeksi sitomegalovirus
c. Campak Jerman (rubella kongenital)
d. Infeksi HIV (AIDS)
e. Mononukleosis infeksiosa
f. Campak
g. Infeksi bakteri yang berat
h. Infeksi jamur yang berat
4. Penyakit darah dan kanker
a. Agranulositosis
b. Semua jenis kanker
c. Anemia aplastik
d. Histiositosis
e. Leukimia
f. Limfoma
g. Mieloma
h. Mielofibrosis
5. Pembedahan dan trauma
a. Luka bakar
b. Pengangkatan limpa
6. Lain lain
a. Sirosis karena alkohol
b. Hepatitis kronis
c. Penuaan yang normal
d. Sarkoidosis
e. Lupus eritematosus sistemik
4. Patofisiologi
Defisit kekebalan humoral yaitu diperantarai oleh antibodi biasanya
mengganggu pertahanan melawan bakteri virulen, banyak bakteri seperti ini
yang mengkapsul dan merangsang pembentukan nanah. Pejamu yang
mengalami gangguan fungsi anti bodi mudah menderita infeksi berulang
digusi, telinga bagian tengah, selaput otak, sinus paranasal, struktur
bronkopulmonal. Pemeriksaan imunoglobulin serum dengan alat nefolometri
sekarang telah banyak digunakan untuk mengukur kadar IgG, IgA, IgM, dan
IgD pada serum manusia. Metode yang digunakan untuk mengevaluasi
antibodi yang sepesifik terhadap anti gen yang di fokuskan pada penentuan
titer anti bodi sebelum dan setelah mengimunisasikan bahan non viabel yang
mengunakan protein (vaksin tetanus taksoit dan influensa) pneumokokal
polisakarida (pneumovax) dan uji schick pada orang sebelumnya di imunisasi
dengan difteri toksoid dan penentuan antibodi ( IgM) yang terdapat secara
alamiah pada golongan darah ABO yang tidak ada pada eritrosit subyek bentuk
imunodefisiensi bergantung pada anti body lanjutan yang paling sering
dijumpai adalah kekurangan IgA selektif, yang terjadi pada 1 dalam 500
sampai1000 individu.
Pasien laki laki yang menderita hipogama globulinemia terkait –X
(bruton) memperlihatkan defisiensi selektif fungsi imun humoral yang paling
parah dapat juga di jumpai di beberapa defeksel T. Imun defisensi humoral
terutama menclok pada beberapa penyakit kegaganasan tertentu. Seperti
mioloma multipel dan leukimima limfositik kronik dan perlu dapat perhatian
bila sel sel tumor menginfiltarasi struktur linfotikular . Fungsi imun yang di
perantarai sel tidak memadai pada banyak penyakit juga sebagai defek primer
atau di sebabkan oleh beberapa ganguan seperti AIDS serkoidosis, penyakit
hodgkin, neoplama non hodgkin tertentu dan uremia . fungsi sel T yang relatif
benar benar tidak ada terjadi bila timus gagal berkembang (seperti pada
sindrom digeorge) dan bayi yang terkena secara imunologi telah pulih ke
fungsi yang adekuat yang tandur jaringan timus fetus dini. Perhatian yang
serius terhadap seorang yang menderita defisiensi sel T yang jelas adalah pada
ketidakmampuanya untuk membersikan sel sel asing termasuk lekosit variabel
dari darah lengkap yang di transfusihkan
5. Manifestasi Klinis
Bayi dengan gangguan sistem kekebalan, biasanya menderita infeksi
bakteri berat yang menetap, berulang atau menyebabkan komplikasi. Misalnya
infeksi sinus, infeksi telinga menahun dan bronkitis kronis yang biasanya
terjadi setelah demam dan sakit tenggorokan. Bronkitis bisa berkembang
menjadi pneumonia
Kulit dan selaput lendir yang melapisi mulut, mata dan alat kelamin
sangat peka terhadap infeksi. Thrush (suatu infeksi jamur di mulut) disertai
luka di mulut dan peradangan gusi, bisa merupakan pertanda awal dari adanya
gangguan sistem kekebalan. Peradangan mata (konjungtivitis), rambut rontok,
eksim yang berat dan pelebaran kapiler dibawah kulit juga merupakan pertanda
dari penyakit immunodefisiensi. Infeksi pada saluran pencernaan bisa
menyebabkan diare, pembentukan gas yang berlebihan dan penurunan berat
badan. Masalah yang paling umum untuk orang dengan penyakit
imunodefisiensi primer adalah bahwa mereka lebih mungkin untuk
mendapatkan infeksi dari pada orang lain. Gejala lain termasuk:
1. Setelah infeksi lebih sering dan mendapatkan infeksi yang lebih parah, lebih
tahan lama, dan sulit untuk menyembuhkan dari pada orang dengan sistem
kekebalan tubuh normal.
2. Mendapatkan terinfeksi dengan kuman yang sistem kekebalan tubuh yang
sehat akan mampu menyingkirkan, yang dikenal sebagai infeksi
oportunistik.
3. Setelah masalah autoimun, yang berarti bahwa alih-alih sistem kekebalan
tubuh menyerang kuman dan penyakit-menyebabkan bahan, menyerang
organ tubuh sendiri dan jaringan dengan kesalahan.
6. Komplikasi
Komplikasi yang disebabkan oleh gangguan immunodeficiency bervariasi,
tergantung pada apa gangguan tertentu yang Anda miliki. Mereka dapat
mencakup:
a. Infeksi berulang
b. Gangguan autoimun
c. Kerusakan jantung, sistem paru-paru, saraf atau saluran pencernaan
d. Memperlambat pertumbuhan
e. Peningkatan risiko kanker
f. Kematian dari infeksi serius, seperti meningitis
7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mengetahui:
a. jumlah sel darah putih
b. kadar antibodi/immunoglobulin
c. jumlah limfosit T
d. kadar komplemen.
8. Penatalaksaan
1. Medis
Penatalaksaan medis untuk imunodefisiensi primer dapat mencakup terapi
pengganti dengan suntikan gamaglobulin IV dan terapi rekonstitusi dengan
sel-sel prekursor yang memperbaharui diri sendiri melalui trasplamasi
sumsum tulang serta kelenjar timus janin.Penderita defisiensi fagositik
dapat diobati dengan GM-CSF atau G-CSF.Penangan infeksi virus,
bakteri, jamur dan protozoa dapat mencakut terapi antivirus, antibiotik,
antifungal dan antiprotozoa.Pasien dengan anemia pernisiosa mungkin
memerlukan suntikan vitamin B12. Penatalaksanaan medis diarahkan pada
penanganaan proses penyakit yang mendasari dan mengendalikan gejala.
Penatalaksanaan imunodefisiensi sekunder mencakup penegakan
diagnostik dan penatalaksaan terapi terhadap proses penyakit yang
mendasari.
2. Keperawatan
Penatalaksanaan keperawatan bagi orang yang kekebalannya terganggu
mencakup penilaian yang cermat terhadap status imun masing-masing.
Karena pasien yang kekebalannya terganggu menghadapi reiko tinggi
untuk mengalami infeksi, pengkajian dofokuskan pada riwayat onfeksi
pada masa lalu, khususnya tipe dan frekuensi infeksi : tanda-tanda dan
gejala setiap infeki kulit, respiratorius, gastrointestinal, ataupun urogenetal
yang baru saja terjadi; dan tingkat pengetahuan pasien terhadap penyakit
dan tindakan untuk mencegah infeksi. Pengkajian juga harus difokuskan
pada status nutrisi, tingkat stress serta keterampilan untuk mengatasi
masalah, penggunaan alkohol, obat-obatan atau tembakau, dan higiene
imun; semua faktor ini akan mempengaruhi fungsi imun.
B. Hipersensitivitas

1. Pengertian Hipersensitivitas
Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana
tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi
terhadap bahan-bahan yang umumnya non-imunogenik. Dengan kata lain,
tubuh manusia bereaksi berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang
oleh tubuh dianggap asing atau berbahaya. Bahan-bahan yang menyebabkan
hipersensitivitas tersebut disebut allergen. Hipersensitivitas merupakan respon
yang berlebihan atau respon yang tidak tepat dan terjadi pada pajanan antigen
yang kedua kali (Kowalak, 2011).

2. Etiologi
Faktor yang berperan dalam alergi makanan yaitu :
1. Faktor Internal
a. Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi : asam
lambung, enzym-enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi
imunologis (misalnya : IgA sekretorik) memudahkan penetrasi alergen
makanan. Imaturitas juga mengurangi kemampuan usus mentoleransi
makanan tertentu.
b. Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai
janin sampai masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan
dan norma kehidupan setempat.
c. Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan
penyerapan alergen bertambah.
2. Fakor Eksternal
a. Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih,
stress) atau beban latihan (lari, olah raga).
b. Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat
menimbulkan reaksi alergi seperti telur, kacang, susu, dll.
3. Klasifikasi hipersensitifitas
Menurut Kowalak, 2011, umumnya reaksi hipersensitivitas diklasifikasikan
menjadi 4 tipe yaitu :
a. Reaksi hipersensitivitas tipe 1
Hipersensitivitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas langsung
atau anafilaktik. Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring,
jaringan bronkopulmonari, dan saluran gastrointestinal. Waktu reaksi
berkisar antara 15-30 menit setelah terpapar antigen, namun terkadang juga
dapat mengalami keterlambatan awal hingga 10-12 jam. Hipersensitivitas
tipe I diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE). Komponen seluler utama
pada reaksi ini adalah mastosit atau basofil. Reaksi ini diperkuat dan
dipengaruhi oleh keping darah, neutrofil, dan eosinofil.
Uji diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi
hipersensitivitas tipe I adalah tes kulit (tusukan dan intradermal) dan ELISA
untuk mengukur IgE total dan antibodi IgE spesifik untuk melawan alergen
(antigen tertentu penyebab alergi) yang dicurigai. Peningkatan kadar IgE
merupakan salah satu penanda terjadinya alergi akibat hipersensitivitas pada
bagian yang tidak terpapar langsung oleh alergen. Namun, peningkatan IgE
juga dapat dikarenakan beberapa penyakit non-atopik seperti infeksi cacing,
mieloma, dll.Pengobatan yang dapat ditempuh untuk mengatasi
hipersensitivitas tipe I adalah menggunakan anti-histamin untuk memblokir
reseptor histamin. Penggunaan Imunoglobulin G (IgG), hyposensitization
(imunoterapi atau desensitization) untuk beberapa alergi tertentu.
b. Hipersensitivitas tipe II
Hipersensitivitas tipe II atau reaksi sitotoksik diakibatkan oleh
antibodi berupa imunoglobulin G (IgG) dan imunoglobulin E (IgE) untuk
melawan antigen pada permukaan sel dan matriks ekstra seluler. Kerusakan
akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan yang langsung
berhubungan dengan antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang
langsung berinteraksi dengan antigen permukaan sel akan bersifat patogenik
dan menimbulkan kerusakan pada target sel.
Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi
silang) yang berikatan dengan antibodi sel sehingga dapat pula
menimbulkan kerusakan jaringan. Beberapa tipe dari hipersensitivitas tipe II
adalah:
a) Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel
epidermal).
b) Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang
dapat menempel pada permukaan sel darah merah dan berperan seperti
hapten untuk produksi antibodi kemudian berikatan dengan permukaan
sel darah merah dan menyebabkan lisis sel darah merah),
c) Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan
glomerulus sehingga menyebabkan kerusakan ginjal).
c. Hipersensitivitas tipe III (Paru, ginjal, obat-obatan)
Hipersensitivitas tipe III merupakan hipersentivitas kompleks imun.
Hal ini disebabkan adanya pengendapan kompleks antigen-antibodi yang
kecil dan terlarut didalam jaringan. Hal ini ditandai dengan timbulnya
inflamasi atau peradangan. Pada kondisi normal, kompleks antigen-antibodi
yang diproduksi dalam jumlah besar dan seimbang akan dibersihkan dengan
adanya fagosit. Namun, kadang-kadang, kehadiran bakteri, virus,
lingkungan, atau antigen (spora, fungi, bahan sayuran, dan hewan) yang
persisten akan membuat tubuh secara otomatis memproduksi antibodi
terhadap senyawa asing tersebut sehingga terjadi pengendapan kompleks
antigen-antibodi secara terus-menerus. Hal ini juga terjadi pada penderita
penyakit autoimun. Pengendapan kompleks antigen-antibodi tersebut
akanmenyebar pada membran sekresi aktif dan di dalam saluran kecil
sehingga dapat memengaruhi beberapa organ, seperti kulit, ginjal, paru-paru
sendi, atau dalam bagian koroid pleksus otak.
Patogenis kompleks imun terdiri dari dua pola dasar, yaitu kompleks
imun karena kelebihan antigen dan kompleks imun karena kelebihan
antibodi. Kelebihan antigen kronis akan menimbulkan sakit serum (serum
sickness) yang dapat memicu terjadinya artritis atau glomerulonefritis.
Kompleks imun karena kelebihan antibodi disebut juga sebagai reaksi
Arthus, diakibatkan oleh paparan antigen dalam dosis rendah yang terjadi
dalam waktu lama sehingga menginduksi timbulnya kompleks dan
kelebihan antibodi.Beberapa contoh sakit yang diakibatkan reaksi Arthus
adalah spora Aspergillus clavatus dan A. Fumigatus yang menimbulkan
sakit pada paru-paru pekerja lahan gandum (malt) dan spora penicillium
casei pada paru-paru pembuat keju.
d. Hipersensitivitas tipe IV
Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang
diperantarai sel atau tipe lambat (delayed-type).Reaksi ini terjadi karena
aktivitas perusakan jaringan oleh sel T dan makrofag. Waktu cukup lama
dibutuhkan dalam reaksi ini untuk aktivasi dan diferensiasi sel T, sekresi
sitokin dan kemokin, serta akumulasi makrofag dan leukosit lain pada
daerah yang terkena paparan. Beberapa contoh umum dari hipersensitivitas
tipe IV adalah hipersensitivitas pneumonitis, hipersensitivitas kontak
(kontak dermatitis), dan reaksi hipersensitivita tipe lambat kronis (delayed
type hipersensitivity, DTH).
Hipersensitivitas tipe IV dapat dikelompok kedalam tiga kategori
berdasarkan waktu awal timbulnya gejala, serta penampakan klinis dan
histologis. Ketiga kategori tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini
Tipe Waktu Penampaka Histologi Antigen dan
reaksi n situs
klinis
Kontak 48-72 jam Eksim Limfosit, Epidermal
(ekzema) diikuti (senyawa
makrofag: organik,
edema logam berat,
epidermidis dll)
Tuberkulin 48-72 jam Pengerasan Limfosit, Intraderma
(indurasi) monosit, (tuberkulin)
lokal makrofag

Granuloma 21-28 hari Pengerasan Makrofag, Antigen


epitheloid persisten atau
dan sel senyawa asing
raksaksa, dalam tubuh
fibrosis (tuberkulosis,
kusta).

4. Manifestasi klinik
Tanda dan gejala utama pada reaksi hipersensitivitas dapat digolongkan
menjadi reaksi sistemik yang ringan, sedang dan berat :
a. Reaksi tipe I
Dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi
lokal.Pemberian antigen protein atau obat misalnya penisilin secara sistemik
(parental) menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah
pajanan, pada pejamu yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria
(bintik merah dan bengkak), dan critems kulit, diikuti oleh kesulitan
bernafas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat
dengan hipersekresi mukus. Edema laring dapat memperberat persoalan
dengan menyebabkan obstruksi saluran pernafasan bagian atas.Selain itu,
otot semua saluran pencernaan dapat terserang, dan mengakibatkan vomitus,
kaku perut, dan diare, bisa terjadi vasodilatasi sistemik (syok anafilaktik),
dan penderita dapat mengalami kegagalan sirkulasi dan kematian dalam
beberapa menit.
Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat
tertentu sesuai jalur pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan
urtikaria), traktus gastrointestinal (ingesti,menyebabkan diare), atau paru
(inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi).
b. Reaksi tipe II (sitoksin)
Umumnya berupa kelainan darah, seperti anemia hemolitik,
trombositopenia, eosinofilia dan granulositopenia. (sitotoksin)
c. Reaksi Hipersensivitas tipe III
a) Urtikaria, angioedema, eritema, makulopapula, eritema multiforme dan
lain-lain. gejala sering disertai pruritis.
b) Demam
c) Kelainan sendi, artralgia dan efusi sendi
d) Limfadenopati
e) Kejang perut, mual
f) Neuritis optic
g) Glomerulonefritis
h) Sindrom lupus eritematosus sistemik
i) Gejala vaskulitis lain
d. Hipersensitivitas tipe IV (tes TB, )
Dapat berupa reaksi paru akut seperti demam, sesak, batuk dan efusi
pleura.Obat yang tersering menyebabkan reaksi ini yaitu nitrofuratonin,
nefritis intestisial, ensafalomielitis.hepatitis juga dapat merupakan
manifestasi reaksi obat.
Adapun Gejala klinis umumnya :
a) Pada saluran pernafasan : asma
b) Pada saluran cerna: mual,muntah,diare,nyeri perut
c) Pada kulit: urtikaria. angioderma, dermatitis, pruritus, gatal, demam,
gatal
d) Pada mulut: rasa gatal dan pembengkakan bibir

5. Patofisiologi
Saat pertama kali masuknya alergen (ex. telur ) ke dalam tubuh
seseorang yang mengkonsumsi makanan tetapi dia belum pernah terkena
alergi. Namun ketika untuk kedua kalinya orang tersebut mengkonsumsi
makanan yang sama barulah tampak gejala-gejala timbulnya alergi pada kulit
orang tersebut. Setelah tanda-tanda itu muncul maka antigen akan mengenali
alergen yang masuk yang akan memicu aktifnya sel T, dimana sel T tersebut
yang akan merangsang sel B untuk mengaktifkan antibodi (Ig E). Proses ini
mengakibatkan melekatnya antibodi pada sel mast yang dikeluarkan oleh
basofil. Apabila seseorang mengalami paparan untuk kedua kalinya oleh
alergen yang sama maka akan terjadi 2 hal yaitu,:
1) Ketika mulai terjadinya produksi sitokin oleh sel T. Sitokin memberikan
efek terhadap berbagai sel terutama dalam menarik sel – sel radang
misalnya netrofil dan eosinofil, sehingga menimbulkan reaksi peradangan
yang menyebabkan panas.
2) Alergen tersebut akan langsung mengaktifkan antibodi ( Ig E ) yang
merangsang sel mast kemudian melepaskan histamin dalam jumlah yang
banyak, kemudian histamin tersebut beredar di dalam tubuh melalui
pembuluh darah. Saat mereka mencapai kulit, alergen akan menyebabkan
terjadinya gatal, prutitus, angioderma, urtikaria, kemerahan pada kulit dan
dermatitis. Pada saat mereka mencapai paru paru, alergen dapat
mencetuskan terjadinya asma. Gejala alergi yang paling ditakutkan dikenal
dengan nama anafilaktik syok. Gejala ini ditandai dengan tekanan darah
yang menurun, kesadaran menurun, dan bila tidak ditangani segera dapat
menyebabkan kematian.
6. Komplikasi
a. Eritroderma eksfoliativa sekunder
Eritroderma ( dermatitis eksfoliativa ) adalah kelainan kulit yang ditandai
dengan adanya eritema seluruh / hampir seluruh tubuh, biasanya disertai
skuama (Arief Mansjoer , 2000 : 121). Etiologi eritroderma eksfoliativa
sekunder :
 Akibat penggunaan obat secara sistemik yaitu penicillin dan derivatnya,
sulfonamide , analgetik / antipiretik dan ttetrasiklin.
 Meluasnya dermatosis ke seluruh tubuh , dapat terjadi pada liken planus ,
psoriasis , pitiriasis rubra pilaris , pemflagus foliaseus , dermatitis
seboroik dan dermatitis atopik.
 Penyakit sistemik seperti Limfoblastoma.(Arief Mansjoer , 2000).
b. Abses limfedenopati
Limfadenopati merujuk kepada ketidaknormalan kelenjar getah bening
dalam ukuran, konsistensi ataupun jumlahnya. Limfadenopati dapat timbul
setelah pemakaian obat-obatan seperti fenitoin dan isoniazid. Obat-obatan
lainnya seperti allupurinol, atenolol, captopril, carbamazepine, cefalosporin,
emas, hidralazine, penicilin, pirimetamine, quinidine, sulfonamida,
sulindac). Pembesaran karena obat umumnya seluruh tubuh (generalisata).
c. Furunkulosis
Furunkel adalah peradangan pada folikel rambut dan jaringan yang
disekitarnya, yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus. Apabila
furunkelnya lebihdari satu maka disebut furunkolosis. Faktor predisposisi:
 Hygiene yang tidak baik
 Diabetes mellitus
 Kegemukan
 Sindrom hiper IgE
 Carier kronik S.aureus (hidung)
 Gangguan kemotaktik
 Ada penyakit yang mendasari, seperti HIV
 Sebagai komplikasi dari dermatitis atopi, ekscoriasi, scabies atau
pedikulosis (adanya lesi pada kulit atau kulit utuh bisa juga karena
garukan atau sering bergesekan).
d. Rinitis
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang
sama serta dilepaskannya suatumediator kimia ketika terjadi paparan
ulangan dengan alergen spesifik tersebut (von Pirquet,1986).
e. Stomatitis
Stomatitis Aphtous Reccurent atau yang di kalangan awam disebut sariawan
adalah luka yang terbatas pada jaringan lunak rongga mulut. Hingga kini,
penyebab dari sariawan ini belum dipastikan, tetapi ada faktor-faktor yang
diduga kuat menjadi pemicu atau pencetusnya. Beberapa diantaranya
adalah:
 Trauma pada jaringan lunak mulut (selain gigi), misal tergigit, atau ada
gigi yang posisinya di luar lengkung rahang yang normal sehingga
menyebabkan jaringan lunak selalu tergesek/tergigit pada saat
makan/mengunyah
 Kekurangan nutrisi,terutama vitamin B12, asam folat dan zat besi.
 Stress
 Gangguan hormonal, seperti pada saat wanita akan memasuki masa
menstruasi di mana terjadi perubahan hormonal sehingga lebih rentan
terhadap iritasi
 Gangguan autoimun / kekebalan tubuh, pada beberapa kasus penderita
memiliki respon imun yang abnormal terhadap jaringan mukosanya
sendiri.
 Penggunaan gigi tiruan yang tidak pas atau ada bagian dari gigi tiruan
yang mengiritasi jaringan lunak
 Pada beberapa orang, sariawan dapat disebabkan karena hipersensitivitas
terhadap rangsangan antigenik tertentu terutama makanan.
f. Konjungtivitis
Konjungtivitis adalah radang atau infeksi pada konjungtiva dimana batasnya
dari kelopak mata hingga sebagian bola mata.Etiologi:
 Infeksi oleh virus
 Reaksi alergi terhadap debu, serbuk sari, bulu binatang
 Iritasi oleh angin, debu, asap dan polusi lainnya
 Kelainan saluran air mata, dll.
g. Kolitis Bronkolitis
h. Hepatomegali

7. Pemeriksaan Penunjang
1. RAST (Radio Allergo Sorbent Test) atau ELISA (Enzym Linked
Immunosorbent Assay test )
Pemeriksaan yang lebih bermakna yaitu IgE spesifik, namun memerlukan
biaya yang mahal. Tes ini untuk mengetahui alergi terhadap alergen hirup
dan makanan. Tes ini memerlukan sampel serum darah sebanyak 2 cc. Lalu
serum darah tersebut diproses dengan mesin komputerisasi khusus, hasilnya
dapat diketahui setelah 4 jam. Kelebihan tes ini : apat dilakukan pada usia
berapapun, tidak dipengaruhi oleh obat-obatan.
2. Skin Prick Test (Tes tusuk kulit)
Tes ini untuk memeriksa alergi terhadap alergen hirup dan makanan,
misalnya debu, tungau debu, serpih kulit binatang, udang, kepiting dan lain-
lain. Tes ini dilakukan di kulit lengan bawah sisi dalam, lalu alergen yang
diuji ditusukkan pada kulit dengan menggunakan jarum khusus (panjang
mata jarum 2 mm), jadi tidak menimbulkan luka, berdarah di kulit. Hasilnya
dapat segera diketahui dalam waktu 30 menit Bila positif alergi terhadap
alergen tertentu akan timbul bentol merah gatal.Syarat tes ini :
o Pasien harus dalam keadaan sehat dan bebas obat yang mengandung
antihistamin (obat anti alergi) selama 3 – 7 hari, tergantung jenis obatnya.
o Umur yang di anjurkan 4 – 50 tahun
3. Skin Test (Tes kulit)
Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang disuntikkan.
Dilakukan di kulit lengan bawah dengan cara menyuntikkan obat yang akan
di tes. Hasil tes yang positif menunjukkan adanya reaksi hipersensitivitas
yang segera pada individu tersebut, atau dengan kata lain pada epikutan
individu tersebut terdapat kompleks IgE mast. pada individu tersebut, atau
dengan kata lain pada epikutan individu tersebut terdapat kompleks IgE
mast.
4. Patch Test (Tes Tempel)
Tes ini untuk mengetahui alergi kontak terhadap bahan kimia, pada penyakit
dermatitis atau eksim. Tes ini dilakukan di kulit punggung. Hasil tes ini baru
dapat dibaca setelah 48 jam. Bila positif terhadap bahan kimia tertentu, akan
timbul bercak kemerahan dan melenting pada kulit.Syarat tes ini :
o Dalam 48 jam, pasien tidak boleh melakukan aktivitas yang berkeringat,
mandi, posisi tidur tertelungkup, punggung tidak boleh bergesekan.
o 2 hari sebelum tes, tidak boleh minum obat yang mengandung steroid atau
anti bengkak. Daerah pungung harus bebas dari obat oles, krim atau salep.
o Hasil tes baru dapat dibaca setelah 15 menit. Bila positif akan timbul
bentol, merah, gatal.
5. Tes Provokasi
Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang diminum,
makanan, dapat juga untuk alergen hirup, contohnya debu. Tes provokasi
untuk alergen hirup dinamakan tes provokasi bronkial. Tes ini digunakan
untuk penyakit asma dan pilek alergi. Tes provokasi bronkial dan makanan
sudah jarang dipakai, karena tidak nyaman untuk pasien dan berisiko tinggi
terjadinya serangan asma dan syok.
6. Uji gores (scratch test)
Merupakan uji yang membawa resiko yang relatif rendah, namun reaksi
alergi sistemik telah dilaporkan. Tes ini dilakukan diperkutan.
7. Uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (skin endpoint
titration/ SET)
Memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan tes kulit cukit.
SET (Skin End Point Titration) merupakan pengembangan larutan tunggal
dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam
berbagai konsentrasi. Selain dapat mengetahui alergen penyebab, dapat juga
menentukan derajat alergi serta dosis awal untuk immunoterapi.Uji cukit
paling sesuai karena mudah dilakukan dan dapat ditoleransi oleh sebagian
penderita termasuk anak, meskipun uji intradermal (SET) akan lebih ideal.
8. Hitung eosinofil darah tepi dapat normal atau meningkat, demikian halnya
dengan IgE total sering kali menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan ini
berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari
suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi.
9. Pemeriksaan lain seperti analisa gas darah, elektrolit, dan gula darah, tes
fungsi hati,tes fungsi ginjal, feses lengkap, elektrokardiografi, rontgen
thorak, dan lain-lain.
8. Penatalaksanaan farmakologis dan non farmakologis
a. Adrenalin
Adrenalin termasuk golongan adrenergik yang akan meningkatkan
konsentrasi cAMP dalam mastosit sehingga terjadi hambatan degranulasi.
Selain itu adrenalin mempunyai manfaat terhadap sel sasaran, yaitu:
 Perangsangan terhadap pembuluh darah kulit, selaput lendir dan kelenjar
liur.
 Mengendurkan otot polos usus, bronkhus dan pembuluh darah otot
rangka.
 Perangsangan jantung dengan akibat peningkatan denyut jantung,
kekuatan kontraksinya dan tekanan darah.
 Perangsangan pusat-pusat pengaturan di otak, misalnya pernafasan.
b. Difenhidramin
Difenhidramin merupakan kelompok antihistamin yang bekerja
menghambat histamin yang dihasilkan oleh sel mastosit. Difenhidramin
dapat diberikan secara intravena (kecepatan lambat selama 5 – 10 menit),
intramuskular atau oral (1-2 mg/kgBB) sampai maksimum 50 mg sebagai
dosis tunggal, tergantung dari beratnya reaksi. Yang perlu diingat adalah
bahwa difenhidramin bukan merupakan substitusi adrenalin. Difenhidramin
diteruskan secara oral setiap 6 jam selama 24 jam untuk mencegah reaksi
berulang. Kalau penderita tidak memberikan respon dengan tindakan di atas,
jadi penderita masih tetap hipotensif atau tetap dengan kesulitan bernapas,
maka penderita perlu dirawat di unit perawatan intensif dan pengobatan
diteruskan dengan langkah berikut:
· Cairan intravena
Untuk mengatasi syok dapat diberikan cairan NaCl fisiologis dan glukosa
5% dengan perbandingan 1 : 4 selama 1-2 jam pertama atau sampai syok
teratasi. Bila syok sudah teratasi, cairan tersebut diteruskan dengan dosis
sesuai dengan berat badan.
c. Aminofilin
Apabila bronkospasme menetap, diberikan aminofilin intravena 4-7 mg/kg
BB yang dilarutkan dalam cairan intravena (dekstrosa 5%) dengan jumlah
paling sedikit sama. Campuran ini diberikan intravena secara lambat (15-20
menit). Tergantung dari tingkat bronkospasme, aminofilin dapat diteruskan
melalui infus dengan kecepatan 0,2-1,2 mg/kgBB atau 4-5 mg/kg BB
intravena selama 20-30 menit setiap 6 jam. Bila memungkinkan kadar
aminofilin serum harus dimonitor.
d. Teofilin
Teofilin termasuk kelompok xantin yang mempunyai manfaat mengatasi
reaksi anafilaktis. Mekanisme kerjanya melalui sel mastosit dan sel
sasarannya seperti halnya adrenalin. Teofilin menghambat kerja enzim
fosfodiesterase yang akan merusak cAMP, sehingga kadar cAMP akan
meningkat akibatnya degranulasi mestosit dihambat. Selain itu teofilin akan
bekerja pada pusat pernafasan dan otot-otot bronkhus, terlebih saat otot-otot
brunkhus dalam keadaan kontraksi. Semua hal itu akan mengurangi gejala-
gejala reaksi anafilaktik.
e. Vasopresor
Bila cairan intravena saja tidak dapat mengontrol tekanan darah, berikan
metaraminol bitartrat (Aramine) 0,0l mg/kgBB (maksimum 5 mg) sebagai
suntikan tunggal secara lambat dengan memonitor aritmia jantung, bila
terjadi aritmia jantung, pengobatan dihentikan segera. Dosis ini dapat
diulangi bila diperlukan, untuk menjaga tekanan darah. Dapat juga diberikan
vasopresor lain seperti levaterenol bitartrat (Levophed) 1 mg dalam 250 ml
cairan intravena dengan kecepatan 0,5 ml/menit atau dopamin (Intropine)
yang diberikan bersama infus, dengan kecepatan 0,3-1,2 mg/kgBB/jam.
f. Kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan kelompok obat-obatan yang paling banyak
dipakai pada penyakit radang dan penyakit imunologik. Walaupun pada
beberapa binatang, pemberiannya menimbulkan kerusakan pada jaringan
limfoid, namun pada manusia hal tersebut tidak terjadi. Kortikosteroid
mempunyai efek menghambat radang, disamping menghambat respon imun
dan menstabilkan dinding sel mastosit. Dengan menghambat respons imun
dapat menghambat sintesis IgE.Kortikosteroid tidak menolong pada
pelaksanaan akut suatu reaksi anafilaksis. Pada reaksi anafilaksis sedang dan
berat kortikosteroid harus diberikan. Kortikosteroid berguna untuk
mencegah gejala yang lama. Mula-mula diberikan hidrokortison intravena
7-10 mg/kgBB lalu diteruskan dengan 5 mg/kg BB setiap 6 jam dengan
bolus infus. Pengobatan biasanya dapat dihentikan sesudah 2-3 hari.
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS PADA PASIEN DENGAN
GANGGUAN IMUN

A. Pengkajian
1. Anamnese :
a. Identitas pasien
b. Keluhan utama
c. Riwayat penyakit sekarang
d. Riwayat penyakit dahulu
e. Riwayat penyakit keluarga
2. Faktor-faktor dan kejadian yang memperngaruhi system imun :
a. Infeksi
b. Alergi
c. Kelainan autoimun
d. Penyakit neoplasma
e. Keadaan sakit kronis
f. Riwayat pembedahan
g. Imunisasi
h. Penggunaan obat-obatan
i. Tranfusi darah
j. Hasil pemeriksaan lab dan dignostik lainnya
k. Riwayat kebiasaan merokok
l. Minum-minuman keras
m. Asupan diet
n. Tingkat stress
o. Polutan
3. Pemeriksaan fisik :
a. General
b. Palpasi Nodul Limfatikus
c. Pemeriksaan kulit,membrane mukosa
4. Alergi :
a. Riwayat alergi
b. Gejala dan variasi cuaca yang menyertai
c. Riwayat pemeriksaan dan pengobatan yang pernah dan sedang di jalani
5. Penyakit kronik dan pembedahan :
a. Penyakit kronik : DM, penyakit ginjal, dan PPOM
b. Terapi yang sedang di jalani
c. Riwayat operasi pengangkatan limfa, nodus limfatikus, timus
d. Riwayat transplantasi organ
6. Obat-obatan dan tranfusi darah :
a. Riwayat penggunaan obat masa lalu dan sekarang (antibiotic,kortikosteroid,
preparat sitotoksik, salisilat, NSID, anastesi dan supresi imun)
b. Riwayat tranfusi darah
7. Laboratorium dan diagnostic :
a. Pemeriksaan darah (igE spesifik)
b. Tes tusuk kulit (Skin Prick Test)
c. Tes elisa
d. Tes bown marrow

B. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakseimbangan nutrisikurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan ketidakmampuan mencerna makanan, faktorbiologis,
faktorekonomi.
Domain: Nutrisi
Kelas: 1 makan
Definisi: Asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
metabolik
NOC:
Status Nutrisi
Domain: II Kesehatan fisiologi
Kelas: K Pencernaan dan Nutrisi
Definisi: Sejauh mana nutrisi dicerna dan diserap untuk memenuhi
kebutuhan metabolic
Skala outcome keseluruhan:
a. Asupan gizi
b. Asupan makanan
c. Asupan cairan
NIC:
Manajemen nutrisi
Domain 1: Fisiologis Dasar
Kelas : D Dukungan Nutrisi
Defisi: Menyediakan dan meningkatkan intake nutrisi yang seimbang
Aktivitas- aktivitas:
- Kaji adanya alergi makanan
- Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan
nutrisi yang dibutuhkan pasien
- Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk mencegah
konstipasi
- Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan makanan harian.
- Monitor adanya penurunan BB dan gula darah
- Monitor lingkungan selama makan
- Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak selama jam makan
- Monitor turgor kulit onitor kekeringan, rambut kusam, total protein, Hb
dan kadar Ht
- Monitor mual dan muntah
- Monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan jaringan konjungtiva
- Monitor intake nuntrisi
- Informasikan pada klien dan keluarga tentang manfaat nutrisi
- Kolaborasi dengan dokter tentang kebutuhan suplemen makanan seperti
NGT/ TPN sehingga intake cairan yang adekuat dapat dipertahankan.
- Aturposisi semi fowler atau fowler tinggi selama makan
- Anjurkan banyak minum
- Pertahankan terapi IV line
- Catat adanya edema, hiperemik, hipertonik papilla lidah dan cavitas
oval

2. Risiko infeksi
Faktor-faktor risiko:
- Prosedur infasif
- Mal nutrisi
- Imunosupresi
- Tidak adekuat pertahanan sekunder (imunosupresi, leupopenia,
penurunan hemoglobin, supresirespon, inflamasi)
- Pertahanan tubuh primer tidak adekuat(gangguan integritas kulit,
gangguan peristaltik)
Domain:11Keamanan /kelindungan
Kelas: 1 Infeksi
Definisi: Rentan mengalami infasi dan multiplikasi organism patogenik
yang dapat mengganggu kesehatan
NOC: Keparahan infeksi
Domain: II Kesehatan fisiologi
Kelas: H Responimun
Definisi :Keparahan tanda dan gejala infeksi
Skala outcome keseluruhan:
- Kemerahan
- Demam
- Hipotermi
- Ketidakstabilan suhu
- Nyeri
NIC :
Perlindungan infeksi
Domain : 4 Keamanan
Kelas : V perlidungan infeksi
Definisi :Pencegahan dan deteksi dini infeksi pada pasien beresiko
Aktivitas aktivitas :
Pertahankan teknik aseptif
- Batasi pengunjung bila perlu
- Cuci tangan setiap sebelum dan sesudaht indakan keperawatan
- Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung
- Gantiletak IV perifer dan dressing sesuai dengan petunjuk umum
- Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi kandung kencing
- Tingkatkan intake nutrisi
- Berikan terapi antibiotic
- Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan local
- Pertahankan teknik isolasi k/p
- Inspeksi kulit dan membrane mukosa terhadap kemerahan, panas,
drainase
- Monitor adanya luka
- Dorong masukan cairan
- Dorong istirahat
- Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi
3. Intoleran aktivitas berhubungan dengan tirah baring, ketidakseimbangan
antara suplai dan kebutuhan oksigen
Domain: 4 Aktivitas / istirahat
Kelas: 4 Respon kardiovaskuler/ pulmonal
Definisi: Ketidak cukupan energy psikologis atau fisiologis untuk
mempertahankan atau menyelesaikan aktivitas kehidupan sehari-hari yang
harus atau yang ingin dilakukan
NOC: Toleransi terhadap aktivitas
Domain: I Fungsi kesehatan
Kelas : A Pemeliharaan energi
Definisi: Respon fisiologis terhadap pergerakan yang memerlukan energy
dalam aktivitas sehari-hari
Skala outcome keseluruhan:
- Kemudahan dalam melakukan aktivitas hidup dalam memenuhi ADL
- Kekuatan tubuh bagian atas
- Kekuatan tubuh bagian bawah\
NIC :
Terapi Aktivitas
Domain 3 :Perilaku
KelasO :Terapi Perilaku
Definisi :Peresepan terkait dengan menggunakan bantuan aktivitas fisik,
kognisi, social dan spiritual untuk meningkatkan frekuensi dari aktivitas
kelompok.
Aktivitas aktivitas :
- Pertimbangkan kemampuan klien dalam berpartisipasi melalui ativitas
spesifik
- Bantu klien untuk mengeksplorasi tujuan umum dari aktivitas
aktivitas yang dilakukan .
- Dorong aktivitas kreatif yang tepat
- Bantu klien untuk beradaptasi dengan lingkungan pada saat
mengakomodasi aktivitas yang diinginkan
- Dorong keterlibatan aktivitas kelompok mau pun terapi, jika memang
diperlukan,

4. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan :


Eksternal :
- Hipertermia
- Kelembaban
- Hipotermia
- Faktor mekanik (missal daya gesek, tekanan, imobilitas fisik
- Terapi radiasi
Internal:
- Gangguan metabolism
- Perubahan gangguan sensasi
- Gangguan pigmentasi
- Gangguan sirkulasi
- Gangguan turgor kulit
- Imunodefisiensi
Domain: 11 Keamanan /perlindungan
Kelas: 2 cidera fisik
Definisi: Kerusakan pada epidermis dan atau dermis
NOC: Integritas Jaringan
Domain: II Kesehatan fisiologis
Kelas: L Integritas Jaringan
Definisi: Keutuhan struktur dan fungsi fisiologis kulit dan selaput lender
secara normal
Skala outcome keseluruhan:
- Suhukulit
- Sensasi
- Elastisitas
- Perfusi jaringan
- Integritas kulit
- Lesi pada kulit
NIC :
Perawatan tirah baring
Domain 1 :Fisiologis Dasar
KelasC :Manajemen Imobilisasi
Definisi :Mendukung kenyamanan dan keamanan serta pencegahan
terjadinya komplikasi pada pasien yang tidak dapat bangun dari tempat
tidur.
AktivitasAktivitas :
- Jaga kain linen kasur tetap bersih, kering dan bebas kerutan
- Hindari kain linen kasur yang teksturnya kasar
- Posisikan sesai body alignment yang tepat
- Balikkan pasien sesuai dengan kondisi kulit
- Balikkan pasien yang tidak dapat mobilisasi paling tidak setiap 2 jam,
sesuai dengan jadwal yang spsifik
- Monitor kondisi kulit pasien
- Ajarkan latihan di tempat tidur, dengan cara yang tepat
- Bantu menjaga kebersihan
- Aplikasikan aktivitas sehari hari
- Monitor kembali dari tirah baring
BAB V

KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Sistem kekebalan tubuh (imunitas) adalah sistem mekanisme pada organisme
yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan
mengidentifikasi dan membunuh patogen.
B. Saran
Kami sebagai penyusun makalah ini, mengharapkan kritik dan masukkanyang
positif, untuk penyempurnaan pembuatan makalah selanjutnya.Semoga
makalah kami, dapat bermanfaat bagi para pembaca, khususnya mahasiswa
keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, volume 3,
Jakarta:EGC..
Carpenito LD.1995.Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinik. Jakarta:
EGC.
Price & Wilson.2003.Patofisiologi konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.Vol
2.Edisi 6.Jakarta:EGC.
Guyton, Arthur C., Hall, John E., 2007. BUKU AJAR FISIOLOGI
KEDOKTERAN Edisi 11. Alih bahasa : Irawati, et al. Jakarta : EGC

Harris ED Jr., 1993, Etiology and Pathogenesis of Reumatoid Arthritis. Dalam:


Textbook of Rheumatology.Philadhelpia:Saunders Co

Hirmawan, Sutisna., 1973. PATOLOGI.Jakarta : Bagian Patologi Anatomik


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pp : 437, 1

Hollmann DB. Arthritis & musculoskeletal disorders. In: Tierney LM, McPhee,
Papadakis MA (Eds): Current Medical Diagnosis & Treatment, 34 th ed.,
Appleton & Lange, International Edition, Connecticut 2005, 729-32.

Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddarth.Buku Ajar Keperawatan Medikal


Bedah.Jakarta : EGC. 2002.

Kumar, V., Cotran, R. S., Robbins, S. L., 2007.BUKU AJAR PATOLOGI Edisi
7.Jakarta : EGC

Mansjoer, A., Suprohaita, Wardhani, Wahyu I., Setiowulan, W., 2000.KAPITA


SELEKTA KEDOKTERAN Edisi Ketiga Jilid Kedua.Jakarta : Media
Aesculapius

Nasution..1996.Aspek Genetik Penyakit Reumatik dalam Noer S (Editor) Buku


Ajar Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta: Balai penerbit FKUI.

Price, SA. Dan Wilson LM., 1993, Patofisiologi: Konsep Klinik Proses-Proses
Penyakit bag 2. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai