Anda di halaman 1dari 41

REFERAT

PARKINSON

Pembimbing :
dr. Wiwin Sundawiyani, Sp.N

Disusun oleh :
Thariq Mahathir Adinata (2019730156)
Tiara Oktavia Maharani (2019730107)
Lika Ameylia Tanjung (2019730057)

KEPANITERAAN KLINIK STASE ILMU PENYAKIT SARAF


RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA CEMPAKA PUTIH
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2023
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan Referat tentang “Parkinson” tepat pada
waktunya.

Dalam penulisan laporan ini, tidak lepas dari bantuan dan kemudahan yang diberikan
secara tulus dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada dr. Wiwin Sundawiyani, Sp.N sebagai dokter
pembimbing.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam pembuatan laporan ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari semua pihak yang membaca ini, agar penulis dapat mengoreksi dan
dapat membuat Referat ini yang lebih baik kedepannya.

Demikianlah laporan ini dibuat sebagai tugas dari kegiatan klinis di stase Ilmu Penyakit
Saraf serta untuk menambah pengetahuan bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada
umumnya.

Jakarta, 07 September 2023


Penulis

i
Universitas Muhammadiyah Jakarta
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... i


DAFTAR ISI ............................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................................. 2
2.1 Definisi ........................................................................................................................ 2
2.2 Epidemiologi .............................................................................................................. 2
2.3 Etiologi........................................................................................................................ 3
2.4 Faktor Risiko ............................................................................................................. 4
2.5 Klasifikasi ................................................................................................................... 5
2.6 Patofisiologi ................................................................................................................ 6
2.7 Manisfestasi Klinis .................................................................................................... 7
2.8 Diagnosis................................................................................................................... 23
2.9 Diagnosis Banding ................................................................................................... 30
2.10 Pemeriksaan Penunjang ......................................................................................... 32
2.11 Tatalaksana .............................................................................................................. 33
2.12 Prognosis .................................................................................................................. 35
BAB III KESIMPULAN ....................................................................................................... 36
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. iii

ii
Universitas Muhammadiyah Jakarta
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit Parkinson (PP) adalah penyakit neurodegeneratif kronik yang ditandai dengan
tiga tanda utama yaitu kelambatan gerakan (bradikinesia), kekakuan otot (rigiditas), dan tremor
saat istirahat (resting tremor). Gangguan fungsi otak yang telah mengalami proses
neurodegenerasi basal ganglia pada sel Substantia Nigra pars Compacta (SNc) disertai adanya
protein α-synuclein yang berisi inklusi sitoplasma eosinofil (Lewy bodies) sehingga
menurunkan neurotransmiter berupa dopamin yang berguna untuk meregulasi gerakan dan
ditandai dengan karakteristik gejala motorik seperti tremor saat istirahat, kekakuan otot dan
sendi (rigidity), kelambanan gerak dan bicara (bradykinesia) serta instabilitas posisi tegak
(postural instability) (Kouli, Torsney and Kuan, 2018).
Terdapat peningkatan insidens PP seiring dengan bertambahnya usia, baik pada laki-laki
dan perempuan. Pada kelompok laki-laki, insidens berkisar dari 3,59 per 100.000 penduduk
pada usia 40-49 tahun yang meningkat menjadi 132,72 per 100.000 penduduk pada usia 70- 79
tahun, lalu menurun menjadi 110,48 per 100.000 penduduk pada usia diatas 80 tahun. Pada
kelompok perempuan, insidens mulai dari 2,94 per 100.000 penduduk (usia 40- 49 tahun),
mencapai insidens tertinggi 104,99 per 100.000 penduduk pada usia 70-79 tahun, lalu menurun
menjadi 66,02 per 100.000 penduduk (usia di atas 80 tahun). Menurut Dorsey dkk berdasarkan
peningkatan angka harapan hidup ini, proyeksi jumlah kasus PP meningkat lebih dari 50% pada
tahun 2030.
Hingga kini belum ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit Parkinson sehingga
penatalaksanaan ditujukan hanya untuk menghambat progresivitas penyakit dan
memperbaiki gejala. Terapi medikamentosa yang dapat diberikan untuk gejala motorik pasien
adalah levodopa, dopamine agonis atau monoamine oxidase B inhibitor (MAO-B inhibitor).
Terapi medikamentosa untuk gejala non-motorik bersifat spesifik sesuai dengan gejala yang
muncul, misalnya pemberian Cholinesterase inhibitor untuk gejala dementia. Terapi
medikamentosa ini perlu dibarengi dengan terapi non-farmakologis, seperti terapi okupasi dan
diet, supaya progresivitas penyakit dapat dihambat seoptimal mungkin. Pembedahan merupakan
pilihan terakhir pada pasien tahap lanjut yang sudah tidak merespon terhadap pengobatan. Pilihan
pembedahan yang dapat dilakukan adalah operasi neuroablatif lesi atau deep brain stimulation.
Progresivitas penyakit ini lambat namun dapat menyebabkan kematian, yang umumnya diakibatkan
komplikasi dari Parkinson, misalnya pneumonia aspirasi, atau jatuh. Penyakit ini juga merupakan
salah satu sumber penyebab disabilitas global (Hauser, 2017)
1
Universitas Muhammadiyah Jakarta
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Penyakit Parkinson (PP) adalah penyakit neurodegeneratif kronik yang ditandai


dengan tiga tanda utama yaitu kelambatan gerakan (bradikinesia), kekakuan otot (rigiditas),
dan tremor saat istirahat (resting tremor). Kompleksitas tiga gejala Penyakit Parkinson
tersebut disebabkan oleh berkurangnya fungsi dopamin yang sering digambarkan sebagai
parkonisme. Pada mulanya Dr. James Parkinson, orang yang pertama kali menemukan dan
menamai penyakit ini, menyebutnya dengan sebutan “shaking palsy”. (Alida et al.2021).
Tanda-tanda PP tersebut kemudian disempurnakan oleh Jean-Martin Charcot, dengan
penambahan gangguan postural dan gaya berjalan sebagai komponen penyakit yang
penting diobservasi. Penyakit Parkinson ditandai dengan gambaran patologis berupa
degenerasi neuron disertai adanya badan Lewy (Lewy bodies) pada substansia nigra pars
kompakta.Pada Penyakit Parkinson terjadi penurunan jumlah dopamin di otak yang berperan
dalam mengontrol gerakan sebagai akibat kerusakan sel saraf di substansia nigra pars compacta di
batang otak. Penyakit ini berlangsung kronik dan progresif. Progresifitas penyakit bervariasi dari
satu orang ke orang yang lain(Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, 2016).

2.2 Epidemiologi

Data The Global Burden of Disease Study (2015) mengindikasikan adanya


kecenderungan usia yang lebih tua pada saat terjadi kematian. Fenomena demografik ini
menyebabkan peningkatan prevalensi penyakit degeneratif, yaitu penyakit Alzheimer
diikuti penyakit Parkinson (PP) pada peringkatke-duatersering. Dengan meningkatnya
angka harapan hidup, PP menjadi salah satu tantangan terberat yang dihadapi dunia
kesehatan.
Prevalensi PP bervariasi di beberapa benua. Pringsheim dkk menemukan bahwa
prevalensinya pada usia 70-79 tahun lebih rendah di Asia (646/100.000 individu),
dibandingkan Eropa, Amerika Utara, dan Australia (p<O,OS). Ada pun insidens penyakit
ini berkisar 16-19 kasus per 100.000 individu pertahun. Savica dkk memperoleh insidens
21 kasus per 100.000 penduduk pertahun di Minnesota yang dapat dipengaruhi oleh jenis
kelamin, usia, dan etnis. PP lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan
rasio 3:2. Studi meta-analisis oleh Hirsch dkk menunjukkan insidens laki-laki sebesar
2
Universitas Muhammadiyah Jakarta
61,21 per 100.000 individu per tahun dan hampir dua kali lipat dari perempuan, yakni 37,55
per 100.000 individu pertahun.
Terdapat peningkatan insidens PP seiring dengan bertambahnya usia, baik pada laki-
laki dan perempuan. Pada kelompok laki-laki, insidens berkisar dari 3,59 per 100.000
penduduk pada usia 40-49 tahun yang meningkat menjadi 132,72 per 100.000 penduduk
pada usia 70- 79 tahun, lalu menurun menjadi 110,48 per 100.000 penduduk pada usia
diatas 80 tahun.
Pada kelompok perempuan, insidens mulai dari 2,94 per 100.000 penduduk (usia 40-
49 tahun), mencapai insidens tertinggi 104,99 per 100.000 penduduk pada usia 70-79
tahun, lalu menurun menjadi 66,02 per 100.000 penduduk (usia di atas 80 tahun). Menurut
Dorsey dkk berdasarkan peningkatan angka harapan hidup ini, proyeksi jumlah kasus PP
meningkat lebih dari 50% pada tahun 2030.
Adanya perbedaan metodologi dan latar belakang geografi menyebabkan perbedaan
basil penelitian yang bermakna dari beberapa studi, terutama perbedaan kriteria klinis yang
digunakan. De Rijk dkk melaporkan perubahan diagnostik kriteria dapat menyebabkan
perubahan identifikasi kasus sekitar 36%. Sebagai tambahan, banyak penelitian yang
menggunakan kuesioner klinis dan tidak melakukan pemeriksaan langsung yang juga
menyebabkan variabilitas ini. Karakteristik geografik juga harus diperhitungkan, karena
akan berguna untuk mengidentifikasi perbedaan paparan faktor lingkungan.

2.3 Etiologi

Etiologi dari penyakit Parkinson belum diketahui atau idiopatik, tetapi berhubungan
dengna faktor genetik dan lingkungan.
1. Faktor Genetik
Genetik sangat berpengaruh terutama pada Parkinson yang didiagnosis sebelum usia 50
tahun, beberapa mutasi genetik ditemukan pada penderita Parkinson yang berhubungan
dengan protein α-synuclein yang merupakan Protein komponen mayor dari Lewy bodies.
Penyakit Parkinson yang diturunkan secara autosomal dominan diakibatkan oleh point
mutation yang terjadi pada N terminal pada α-synuclein, sedangkan gejala menyerupai
penyakit Parkinson disebabkan misfolding atau agregasi α-synuclein yang telah bermutasi.
Penyakit Parkinson yang diturunkan secara autosomal dominan cenderung merupakan
penyakit Parkinson yang menyerang pada awitan dini, yakni usia 40 hingga 50 tahun.
Gejala yang akan ditimbulkan pada penyakit Parkinson dengan awitan dini pada umumnya

3
Universitas Muhammadiyah Jakarta
merupakan gejala motorik yang berespon baik terhadap pemberian levodopa (Zhang et
al., 2018).

2. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan merupakan faktor yang berperan sangat penting terhadap
penyakit Parkinson. Penelitian menyebutkan tidak hanya logam berat, namun juga
pestisida, herbisida dan insektisida. Dua jenis pestisida yang diketahui memiliki peran
penting dalam perkembangan penyakit Parkinson adalah Rotenone dan Paraquat.
Keduanya berpotensi menimbulkan gangguan pada fungsi mitokondria sel sehingga
mengganggu fungsi respirasi sel dan menyebabkan stres oksidatif. Di samping faktor-
faktor yang meningkatkan risiko penyakit Parkinson, penelitian menemukan faktor-faktor
yang dapat menurunkan risiko penyakit Parkinson, yakni kafein dan nikotin. Senyawa di
dalam rokok dan kopi yang berperan aktif dalam menurunkan risiko penyakit Parkinson
adalah Nrf-2 dan cafestol. Walau demikian, masih diperlukan penelitian lebih lanjut
mengenai manfaat kedua zat ini dan aplikasi klinisnya untuk penyakit
Parkinson(Potahskin and Seidl, 2018; Zhang et al., 2018).

2.4 Faktor Risiko

- Jenis Kelamin
Banyak penelitian telah mengidentifikasi bahwa kejadian penyakit Parkinson lebih
sering terjadi pada pria daripada wanita. Alasan perbedaan pria dan wanita pada
penyakit Parkinson tidak jelas, meskipun satu penjelasan yang dimunculkan adalah
efek perlindungan dari estrogen pada wanita. Teori lain untuk menjelaskan perbedaan
antara penyakit Parkinson pada pria dna wanita adalah tingkat risiko trauma kepala
ringan dan paparan rcaun yang terkiat pekerjaan pada pria lebih tinggi daripada wanita
dan gen kerentanan genetik pada kromosom seks pria(Pringsheim et al., 2017).
- Usia
Bertambahnya usia merupakan faktor risiko penyakit Parkinson, karena kejadian
penyakit Parkinson meningkat seiring bertambahnya usia. Penyakit Parkinson
mempengaruhi 1% populasi di atas usia 60 tahun, dan ini meningkat menjadi 5%
populasi di atas usia 85 tahun. Hanya sekitar 5% dari semua orang dengan penyakit
Parkinson didiagnosis sebelum usia 60 tahun, yang dianggap sebagai onset dini dari
penyakit Parkinson (Reeve, Simcox and Turnbull, 2017).
- Etnis

4
Universitas Muhammadiyah Jakarta
Beberapa penelitian telah menemukan bahwa penyakit Parkinson lebih sering terjadi
pada kulit putih daripada orang kulit hitam atau Asia. Diperkirakan prevalensi
penyakit Parkinson adalah 50% lebih rendah pada orang kulit hitam dan Asia daripada
orang kulit putih. Namun, kejadian penyakit Parkinson tertinggi ditemukan di
Hispanik, diikuti oleh orang kulit putih non-Hispanik Asia, dan kulit hitam. Menurut
sebuah analisis kejadian penyakit Parkinson di Hispanik adalah 16,6 per 100.000
orang, dibandingkan dengan 13.6 per 100.000 di non-hispanik kulit putih, 11,3 per
100.000 di Asia dan 10,2 per 100.000 di Kulit Hitam (Van Den et al., 2018; Willis,
Evanoff and Criswell, 2018).

- Trauma Kepala
Trauma pada kepala, leher, atau tulang belakang leher bagian atas tampaknya
meningkatkan risiko seseorang terkena penyakit Parkinson. Meskipun penelitian ini
belum dapat disimpulkan, beberapa penelitian telah menunjukkan hubungan antara
trauma kepala dan peningkatan risiko seseorang terkena penyakit Parkinson
(Nicoletti, Vasta and Mostile, 2017).
- Riwayat Terpapar Pestisida
Sejumlah penelitian telah melihat hubungan antara paparan faktor lingkungan, seperti
pestisida, dan perkembangna kondisi neurologis, termasuk penyakti Parkinson dan
Alzherimer. Beberapa penelitian telah menemukan hubungna antara penyakit
Parkinson dan paparan pestisida, tetapi ada juga penelitian yang tidak menunjukkan
adanya hubungan. Saat ini, bukti tidak meyakinkan (Brown, Lockwood and
Sonawane, 2017).
Riwayat Keluarga dan Genetik
Sekitar 15-25% orang dengan penyakit Parkinson memiliki kerabat dengan penyakit
tersebut. Orang dengan anggota keluarga dekat dengna Parkinson memiliki
peningkatan risiko kecil (2-5%) untuk mengembangkan penyakit tersebut. Sejumlah
mutasi genetik telah diidentifikasi yang terkait dengan penyakit Parkinson(Beitz,
2017).

2.5 Klasifikasi

Menurut PERDOSSI tahun 2015, penyakit Parkinson dibagi menjadi 4


klasifikasi yaitu:

5
Universitas Muhammadiyah Jakarta
a. Idiopathic atau Primer Parkinsonism adalah penyakit Parkinson yang
diakibatkan oleh genetik
• Penyakit Parkinson
• Juvenile Parkinsonim
b. Simtomatik atau Secondary Parkinsonism adalah penyakit Parkinson
yang diakibatkan oleh toksin (paparan timah, mangan, magnesium kobalt,
sianida, MPTP, etanol, metanol, dll) infeksi (pasca ensefalitis) , obat-obatan
(neuroleptik atau antipsikotik, antiemetik, resepine, litium dll), trauma
craniocerebral, tumor otak, vaskular (cerebral multi-infarct), hipotiroid,
obstructive hydrocephalus, hydrocephalus tekanan normal.
c. Parkinson plus syndrome (multiple system degeneration) adalah primer
Parkisonism disertai gejala-gejala tambahan. Termasuk sindrom demensia
seperti penyakit Alzheimer, penyakit badan lewy diffus, penyakit Jacob-
Creutzfeldt, atrofi olivopontocerebelar, corticobasal degeneration,
Parkisonism-dementia-ALS complex of Guam (PDAGG), dan atrofi pallildal
progresif.
d. Parkinsonisme herediter adalah penyakit Parkinson yang diakibatkan dari
Hereditary juvenille dystonia Parkisonism, penyakit Lewy bodies, penyakit
Huntington, dan penyakit Wilson.

2.6 Patofisiologi

Patofisiologi utama yang menyebabkan gejala motorik kardinal pada PP, khususnya
bradikinesia, dikaitkan dengan disfungsi sirkuit motorik yang menghubungkan korteks
prefrontal, ganglia basal, dan talamus.
Berdasarkan sirkuit motorik ganglia basal yang diajukan dan dikembangkan oleh
Alexander dkk, hubungan antara striatum sebagai titik masuk utama dan GPijSNr sebagai
titik keluaran utama dari ganglia basal tersusun
menjadi jaras langsung (direct) berupa jaras monosinaptik GABA-ergik inhibitorik
dan jaras tidak langsung (indirect) yang mencakup GPe dan STN. Striatum memiliki
peran utama dalam memproses informasi sensorimotor dan meneruskannya ke GPi.
Selanjutnya, stimulus akan diteruskan melalui proyeksi GABAergik yang bersifat
inhibitorik menuju segmen motorik talamus anterior ventral, yang akan meneruskan
stimulus melalui jaras glutamaergik menuju korteks, dan berperan dalam proses
perencanaan dan inisiasi gerakan motorik (Gambar 3a). Sirkuit ini dikendalikan dan
6
Universitas Muhammadiyah Jakarta
dimo-dulasi oleh proyeksi dopamin nigrostriatal. Pada PP, terjadi neurodegenerasi
substansia nigra pars kompakta, input dopaminergik menuju striatum akan menurun
menyebabkan penurunan eksitatorik dopaminergik pada reseptor D1 dan input
dopaminergik inhibitorik pada reseptor D2. Adanya defisiensi dopamin dan kelainan
patologi pada reseptor dopamin di striatum akan menyebabkan perubahan pada dua jaras
keluaran striatopalidal utama yang menuju GPi secara monosinaptik melalui jaras
langsung atau melewati proyeksi ke GPe melalui jaras tidak langsung. Hasil akhir dari
disfungsi input dopaminergik dari kedua neuron striatum tersebut adalah peningkatan
aktivitas GPi melalui jalur langsung dan tidak langsung, sehingga memberikan efek
inhibisi ke talamus dan korteks, terjadi disfungsi inisiasi, kecepatan, dan amplituda gerak
(Gam bar 3b ). Efek serupa juga dapat disebabkan oleh adanya penurunan aktivitas
palidum, talamus bagian motorik, atau proyeksi talamokortikal.

2.7 Manisfestasi Klinis

Gejala Prodormal
Beberapa gejala nonmotorik PD biasanya dilaporkan oleh pasien sebelum timbulnya
gejala motorik klasik. Gejala prodromal seperti itu dapat mendahului manifestasi motorik
selama bertahun-tahun atau bahkan puluhan tahun [3]. Gejala yang paling mendapat
perhatian sebagai penanda prodromal PD yang sensitif adalah :
● Gerakan mata cepat (REM) gangguan perilaku tidur (RBD)
● Sembelit
● hiposmia/disfungsi olfaktorius

7
Universitas Muhammadiyah Jakarta
Banyak gejala nonmotorik lainnya yang dibahas di bawah ini juga telah dilaporkan
sebagai gejala awal, termasuk urgensi urin, disfungsi seksual, depresi, kecemasan,
gangguan penglihatan warna, dan disfungsi neurokognitif.
Gejala prodromal sesuai dengan perubahan neurodegeneratif awal dan deposisi alfa-
sinuklein di situs ekstranigral, seperti batang otak bagian bawah, bola penciuman dan
saluran, dan sistem saraf otonom perifer [3]. Mereka tidak spesifik untuk PD dan juga
dapat dilihat dengan sinukleinopati lainnya, seperti demensia dengan tubuh Lewy (DLB)
dan atrofi sistem ganda (MSA). Agregasi alfa-sinuklein dapat dideteksi di jaringan perifer
dan darah menggunakan berbagai teknik.
Sebagai penanda awal neurodegenerasi, gejala prodromal seperti itu dilihat sebagai
kemungkinan jendela peluang untuk memodifikasi penyakit dan strategi pencegahan
yang menargetkan alpha-synuclein serta jalur lainnya. Dalam beberapa kasus, mungkin
bagi pasien untuk berpartisipasi dalam uji klinis berdasarkan gejala terisolasi yang tidak
memenuhi kriteria untuk penyakit klinis tetapi itu mungkin mengindikasikan peningkatan
risiko untuk fenokonversi ke PD di masa depan atau sinukleinopati lainnya. Salah satu
sumber daya untuk pasien adalah Konsorsium Sinukleinopati Prodromal Amerika Utara
(NAPS).
Gejala Cardinal
PD dicirikan oleh tiga fitur motorik utama: tremor, bradykinesia, dan kekakuan.
Meskipun ketidakstabilan postural sering disebutkan sebagai fitur keempat, biasanya
terjadi jauh di kemudian hari pada penyakit dan dengan demikian tidak termasuk sebagai
fitur motorik inti dalam kriteria diagnostik untuk PD
a. Tremor
Karakteristik klinis – Tremor pada PD adalah jenis tremor istirahat, yang berarti
bahwa itu paling terlihat ketika bagian tubuh yang terkena didukung oleh gravitasi dan
tidak terlibat dalam aktivitas yang disengaja. Kondisi lain seperti tremor esensial lebih
sering menyebabkan tremor aksi, yang terjadi dengan kontraksi dan gerakan otot
sukarela.
Getaran di ekstremitas atas disebut "pil-rolling" karena cara ibu jari dan jari tampak
menggulung benda kecil di antara mereka. Frekuensinya sedang, mulai dari 3 hingga 7
osilasi per detik (Hz) dan paling umum 4 hingga 5 Hz [5].
Pasien dengan PD mungkin mengalami tremor dengan manuver postural atau dengan
aksi, tetapi tingkat keparahan tremor biasanya menurun dengan tindakan yang disengaja
8
Universitas Muhammadiyah Jakarta
dan paling parah saat istirahat. Akibatnya, tremor cenderung menjadi yang paling tidak
melumpuhkan secara fisik dari manifestasi kardinal PD. Namun, kesadaran diri dan
kecacatan sosial yang terkait dengan tremor istirahat tidak boleh diabaikan. Ketika tremor
parah, mungkin sulit untuk membedakan tremor istirahat primer dari tremor aksi primer.
Beberapa pasien dengan PD memiliki tremor re-emergent: tremor postural yang
bermanifestasi setelah latensi beberapa detik dan memiliki frekuensi khas dari tremor
sisanya pada PD [6,7]. Perbedaan ini penting, karena pasien dengan PD yang memiliki
tremor postural re-emergent mungkin salah didiagnosis sebagai memiliki tremor esensial
[8].
Evolusi dan distribusi - Tremor adalah gejala yang muncul pada sekitar 70 hingga 80
persen pasien dengan PD dan mempengaruhi 80 hingga 100 persen pasien di beberapa
titik dalam perjalanan penyakit [9].
Pada tahap awal PD, tremor biasanya terputus-putus dan mungkin tidak terlihat oleh orang
lain. Faktanya, sekitar setengah dari pasien dengan PD melaporkan merasakan sensasi
tremulousness internal pada anggota badan atau tubuh, bahkan tanpa adanya tremor yang
dapat diamati. Namun, seiring perkembangan penyakit, tremor biasanya menjadi lebih
jelas.
Tremor biasanya dimulai secara sepihak di tangan dan kemudian menyebar secara
kontralateral beberapa tahun setelah timbulnya gejala. Sisi yang awalnya terkena
cenderung menjadi sisi yang lebih terpengaruh sepanjang perjalanan penyakit. Getar juga
dapat melibatkan kaki, bibir, rahang, dan lidah tetapi jarang melibatkan kepala.
Kecemasan, kegembiraan emosional, atau situasi stres dapat memperburuk getaran.
b. Bradikinesia
Karakteristik klinis - Bradykinesia berarti kelambatan gerakan secara umum tetapi juga
mengacu pada penurunan amplitudo gerakan. Meskipun itu adalah fitur yang paling umum
di PD, itu juga merupakan gejala yang paling sulit untuk dijelaskan oleh pasien.
"Kelemahan," "inkoordinasi," dan "kelelahan" sering digunakan untuk menggambarkan
penurunan kemampuan untuk memulai gerakan sukarela.
Di lengan, bradykinesia biasanya dimulai secara distal dengan penurunan ketangkasan
manual jari. Pasien sering mengeluh kesulitan melakukan tugas-tugas sederhana, seperti
mengancingkan pakaian, mengikat tali sepatu, mengklik dua kali mouse komputer,
mengetik, atau mengangkat koin dari saku atau dompet.

9
Universitas Muhammadiyah Jakarta
Di kaki, keluhan umum yang terkait dengan bradykinesia saat berjalan termasuk menyeret
kaki, langkah yang lebih pendek (mengocok), atau perasaan tidak stabil. Pasien mungkin
juga mengalami kesulitan berdiri dari kursi atau keluar dari mobil.
Evolusi dan distribusi - Bradykinesia adalah gejala awal PD dan hadir pada sekitar 80
persen pasien pada awal penyakit [9]. Ini bisa dibilang penyebab utama kecacatan pada
PD dan akhirnya terlihat pada hampir semua pasien.
Bradikkinesia sering dimulai secara distal di sisi yang sama dengan tremor, kemudian
berkembang untuk melibatkan kedua sisi dan gerakan yang lebih proksimal dan aksial.
Mirip dengan tremor, satu sisi tubuh lebih terpengaruh daripada yang lain sepanjang
perjalanan penyakit. Seiring perkembangan penyakit, memburuknya bradikkinesia dapat
menyebabkan pembekuan gaya berjalan dan perayaan. Perayaan mengacu pada dorongan
yang tak tertahankan untuk mengambil langkah yang jauh lebih cepat dan lebih pendek
[1].
Pemeriksaan - Untuk menilai bradikkinesia, gerakan anggota badan di kedua sisi tubuh
harus diperiksa. Dokter harus hati-hati mengamati kecepatan, amplitudo, dan ritme
ketukan jari, membuka-menutup tangan, gerakan tangan pronasi-supinasi, dan ketukan
tumit atau jari kaki. Penting untuk memeriksa tugas-tugas ini selama lebih dari beberapa
detik, karena pada PD ringan dibutuhkan beberapa waktu untuk memperlambat dan
penurunan amplitudo menjadi jelas. Seiring perkembangan penyakit, gerakan menjadi
kurang terkoordinasi, dengan seringnya keraguan dan/atau penangkapan.
Bradikinesia juga dapat diamati ketika pasien berdiri dari posisi duduk dan selama
pemeriksaan gaya berjalan. Ayunan lengan mungkin berkurang di satu sisi lebih dari yang
lain, dan panjang langkah mungkin lebih pendek dari yang diharapkan. Dokter juga harus
memperhatikan apakah ada penurunan gerakan spontan global, seperti memberi isyarat.
c. Rigidity
Karakteristik klinis - Kekakuan adalah peningkatan resistensi terhadap gerakan pasif
tentang sendi. Kekakuan dapat mempengaruhi bagian tubuh mana pun dan dapat
berkontribusi pada keluhan kekakuan dan rasa sakit. Fitur PD yang dihasilkan dari
kekakuan, setidaknya sebagian, termasuk tangan striatal (perpanjangan sendi interfalang
proksimal dan distal dengan fleksi pada sendi metakarpofalangeal), penurunan ayunan
lengan dengan berjalan, dan postur bungkuk yang khas.
Pasien mungkin memiliki kekakuan roda gigi, yang mengacu pada pola resistensi dan
relaksasi ratchety saat pemeriksa menggerakkan anggota badan melalui rentang gerak

10
Universitas Muhammadiyah Jakarta
penuhnya [10]. Fenomena ini dianggap sebagai manifestasi dari tremor yang
ditumpangkan pada peningkatan nada [11]. Namun, tidak semua pasien dengan PD
memiliki kekakuan roda gigi; banyak yang akan memiliki kekakuan pipa timbal,
ketahanan tonik yang halus di seluruh rentang gerakan pasif.
Evolusi dan distribusi - Kekakuan terjadi pada sekitar 75 hingga 90 persen pasien dengan
PD [9]. Kekakuan, seperti tremor dan bradykinesia, sering dimulai secara sepihak dan
biasanya di sisi yang sama dengan tremor jika ada. Kekakuan akhirnya berkembang ke
sisi kontralateral dan tetap asimetris sepanjang penyakit [12].
Pemeriksaan - Kekakuan diuji dengan memanipulasi anggota badan secara pasif. Ini
dapat dibawa keluar dengan meminta pasien melakukan manuver berulang menggunakan
anggota badan kontralateral (misalnya, membuka dan menutup kepalan tangan, melempar
bola imajiner) atau dengan melakukan aritmatika mental.
d. Postural Instability
Karakteristik klinis - Ketidakstabilan postural mengacu pada penurunan kemampuan
untuk mencegah jatuh dan disebabkan oleh gangguan refleks postural yang dimediasi
secara terpusat. Di antara fitur motorik utama PD, ketidakstabilan postural adalah yang
paling tidak responsif terhadap terapi dopaminergik [13]. Selain itu, ketidakstabilan
postural dan kesulitan gaya berjalan adalah kontributor utama kecacatan pada pasien
dengan PD [14].
Evolusi – Ketidakstabilan postural biasanya tidak muncul sampai nanti dalam
perjalanan PD. Pasien dengan tanda-tanda parkinson yang jatuh lebih awal dalam
perjalanan penyakit kemungkinan besar memiliki sindrom parkinsonian lain, seperti
kelumpuhan supranuklear progresif atau atrofi sistem ganda (MSA), daripada PD. (Lihat
"Diagnosis dan diagnosis banding penyakit Parkinson", bagian tentang 'Diagnosis
diferensial'.)
Awalnya, tes tarik positif pada pemeriksaan mungkin satu-satunya tanda gangguan
keseimbangan. Namun, seiring dengan perkembangan ketidakstabilan postural, pasien
mungkin jatuh dengan provokasi yang semakin sedikit, dan gaya berjalan dapat
menunjukkan tanda-tanda pembekuan atau perayaan. Setelah refleks postural hilang,
pasien umumnya membutuhkan kursi roda untuk keselamatan.
Pemeriksaan - Ketidakstabilan postural diuji dengan tes tarik, di mana pemeriksa
berdiri di belakang pasien dan dengan kuat menarik pasien ke belakang dengan bahu.
Pasien dengan refleks postural normal harus dapat menjaga keseimbangan dan retropulse

11
Universitas Muhammadiyah Jakarta
(langkah mundur) tidak lebih dari dua langkah. Tes tarik tidak valid kecuali pasien
mengambil setidaknya satu langkah mundur. Pasien dengan PD dan ketidakstabilan
postural, di sisi lain, cenderung jatuh atau mengambil beberapa langkah mundur sebelum
menstabilkan diri mereka sendiri.
a. Clinical Subtype
• tremor dominant
• akinetic-rigid
• postural instability and gait difficulty
Beberapa penelitian telah membandingkan subtipe dominan tremor dengan subtipe
akinetik-kaku atau ketidakstabilan postural dan kesulitan gaya berjalan, dan sebagian
besar telah menemukan bahwa subtipe dominan tremor dikaitkan dengan perkembangan
yang lebih lambat dan gangguan neuropsikologis yang lebih sedikit daripada dua
kelompok lainnya [18-24].
Sementara beberapa dokter mungkin menemukan pengelompokan ini berguna,
perkembangan PD klinis sangat bervariasi di antara individu, dan penugasan pasien ke
subtipe dapat berubah seiring perkembangan penyakit [24,25]. Dengan demikian, tidak
ada gejala atau tanda pada PD idiopatik yang memungkinkan seorang praktisi untuk
secara akurat memprediksi jalannya PD di masa depan untuk setiap individu tertentu.
Gejala Motorik Lainnya
Kraniofasial

• Hipomimia (ekspresi wajah bertopeng)


• Penurunan tingkat kedipan mata spontan
• Gangguan ucapan, termasuk disartria hipokinetik, hipofonia, dan palilalia
(pengulangan frasa atau kata dengan kecepatan yang meningkat)
• Disfagia
• Sialorea
Visual

• Penglihatan kabur
• Gangguan sensitivitas kontras
• Saccades hipometrik
• Gangguan refleks vestibulo-okular
• Gangguan tatapan ke atas dan konvergensi

12
Universitas Muhammadiyah Jakarta
• Apraksia daun mata
Musculoskeletal

• Mikrografia
• Dystonia
• Myoclonus
• Postur bersorak
• Camptocormia (fleksi anterior tulang belakang thoracolumbar yang hebat) [26]
• Sindrom Pisa (disstonia aksial subakut dengan fleksi lateral batang, kepala, dan
leher) [27-29]
• Kyphosis
• Scoliosis
• Kesulitan membalik di tempat tidur
Gait

• Shuffling, short-stepped gait


• Freezing
• Festinasi
Sebagian besar fitur ini dihasilkan dari satu atau lebih manifestasi kardinal. Sebagai
contoh, penurunan gerakan terkait spontan, seperti kehilangan gerakan selama
percakapan, penurunan mata berkedip, atau masker wajah, mungkin hasil dari
kombinasi bradikkinesia dan kekakuan. Disfagia disebabkan oleh bradikkinesia otot
faring, yang dapat menyebabkan penyatuan air liur di mulut dan air liur (sialore).

13
Universitas Muhammadiyah Jakarta
Gejala nonmotorik
PD adalah kelainan kompleks dengan beragam fitur klinis yang mencakup manifestasi
nonmotorik selain simtomatologi motorik. Fitur-fitur ini termasuk yang berikut:

• Disfungsi kognitif dan demensia


• Gejala psikotik (halusinasi dan delusi)\
• Gangguan suasana hati termasuk depresi, kecemasan, dan sikap apatis/abulia
• Gangguan tidur
• Kelelahan
• Disfungsi otonom
• Disfungsi pengiluman
• Disfungsi gastrointestinal
• Gangguan rasa sakit dan sensorik
• Temuan dermatologis
Dalam survei multisenter terhadap lebih dari 1000 pasien dengan PD, hampir semua
(97 persen) pasien melaporkan gejala nonmotorik, dengan setiap pasien mengalami rata-
rata sekitar delapan gejala nonmotorik [30]. Gejala nonmotorik dalam domain psikiatri
paling sering terjadi. Gejala psikiatri seperti psikosis atau demensia dapat menyebabkan
lebih banyak kecacatan daripada fitur motorik dan mungkin lebih sulit untuk diobati.
Dalam survei pusat tunggal terhadap 265 pasien dengan PD, rasa sakit, gangguan suasana
14
Universitas Muhammadiyah Jakarta
hati, dan masalah tidur adalah gejala nonmotorik yang paling merepotkan yang terjadi pada
PD tahap awal dan akhir [31].
Disfungsi kognitif dan demensia
Disfungsi kognitif umum terjadi pada PD dan ada pada kontinum keparahan;
prevalensi meningkat dengan durasi gangguan gerakan. Ketika parah, demensia sering
melampaui fitur motorik PD sebagai penyebab utama kecacatan dan kematian.
Fungsi eksekutif dan visuospasial sering terpengaruh di awal perjalanan penyakit,
sedangkan gangguan memori adalah fitur selanjutnya

Gejala psikotik
Psikosis terjadi pada 20 hingga 40 persen pasien yang diobati dengan obat dengan
PD, dan halusinasi visual adalah gejala psikotik yang paling umum [32-34]. Faktor risiko
untuk psikosis pada PD termasuk penggunaan obat antiparkinson dosis tinggi, adanya
demensia, bertambahnya usia, gangguan penglihatan, depresi, adanya gangguan tidur,
beban penyakit komorbiditas tinggi, dan durasi penyakit yang lebih lama.
Halusinasi
Halusinasi visual pada PD biasanya kompleks, melibatkan gambar manusia atau
hewan yang terbentuk dengan baik. Konten mungkin atau mungkin tidak membangkitkan
rasa takut. Durasi dan frekuensi bervariasi, tetapi sebagian besar halusinasi berlangsung
selama detik hingga menit. Halusinasi pendengaran, penciuman, dan sentuhan juga
terjadi, meskipun lebih jarang dan umumnya bersamaan dengan halusinasi visual [32,35].
Prevalensi dan tingkat keparahan halusinasi meningkat dari waktu ke waktu [36].
Sebagian besar pasien mempertahankan wawasan bahwa halusinasi mereka tidak nyata.
Namun, pasien dengan demensia atau delirium bersamaan mungkin mengalami
penurunan wawasan. Pasien seperti itu cenderung lebih resisten terhadap pengobatan.
15
Universitas Muhammadiyah Jakarta
Delusi
Delusi juga bisa menjadi fitur menonjol dari psikosis pada PD dan biasanya bersifat
paranoid. Delusi umum termasuk perselingkuhan pasangan, orang mencuri uang,
penyusup yang tinggal di rumah, atau perawat merencanakan plot berbahaya.
Psikosis, bukan disfungsi motorik, adalah faktor risiko tunggal terbesar untuk
penempatan panti jompo pada pasien dengan PD [37,38]. Psikosis juga dikaitkan dengan
peningkatan beban pengasuh [39] dan peningkatan risiko kematian [40,41].
Pasien dengan psikosis baru atau memburuk juga harus dievaluasi untuk faktor
reversibel dan delirium, karena tidak semua gejala disebabkan oleh penyakit itu sendiri.
Semua obat yang digunakan untuk mengobati gejala motorik PD, terutama agonis
dopamin, dapat menyebabkan atau memperburuk gejala psikotik (algoritma 1).
Gangguan suasana hati
Depresi, kecemasan, abulia, dan apatis adalah salah satu gejala nonmotorik yang
paling merepotkan pada pasien dengan PD tahap awal dan akhir [31].

Depresi
Depresi adalah gangguan kejiwaan yang paling umum terlihat di PD. Meskipun
umumnya ringan hingga sedang dalam tingkat keparahan, gejala depresi pada PD
dikaitkan dengan dampak negatif pada kecacatan motorik dan penurunan kualitas hidup.
Perkiraan untuk prevalensi depresi pada PD bervariasi, tetapi hingga 50 persen pasien
memiliki gejala depresi, kadang-kadang sebagai keluhan yang muncul [42,45-47].
Tingkat gangguan depresi mayor pada PD lebih rendah, mulai dari kurang dari 10 persen
dalam studi komunitas [46,48], hingga lebih dari 20 persen di klinik gangguan gerakan
khusus [49-51]. Meskipun prevalensi tinggi, bagaimanapun, depresi pada PD tetap
kurang diobati [45,49,52].
Mengenali fitur depresi di PD adalah sebuah tantangan. Efek psikomotorik yang
melambat dan tumpul yang biasa terlihat dengan depresi sering menyerupai bradykinesia
dan ekspresi wajah bertopeng yang terlihat pada PD. Selanjutnya, fitur somatik depresi,
seperti penurunan nafsu makan, kesulitan konsentrasi, dan gangguan tidur, umumnya
terlihat pada pasien dengan PD yang tidak mengalami depresi.

16
Universitas Muhammadiyah Jakarta
Pasien dengan PD yang mengalami depresi biasanya hadir dengan kesedihan,
anhedonia, dan penurunan minat dalam kegiatan. Rasa bersalah dan perasaan tidak
berharga dapat terjadi lebih jarang pada depresi terkait PD [53]. Bunuh diri terjadi pada
tingkat yang kira-kira sama pada PD seperti pada populasi umum [54], tetapi tingkat
bunuh diri dapat meningkat setelah stimulasi otak dalam inti subtalamus.
Kecemasan
Kecemasan adalah gangguan kejiwaan paling sering berikutnya pada PD [42] dan
diperkirakan terjadi pada sekitar 30 hingga 40 persen pasien [51,55]. Semua jenis
gangguan kecemasan telah dilaporkan pada PD, meskipun gangguan kecemasan umum
dan fobia sosial tampaknya yang paling umum [55-57]. Depresi dan kecemasan sering
merupakan kondisi komorbiditas pada PD [58]; mereka juga terkait dengan fluktuasi "on-
off", dengan suasana hati dan kecemasan yang memburuk selama periode "off" dan
dengan perbaikan ketika dalam keadaan "on" [59-61].
Apatis dan abulia
Apatis adalah hilangnya motivasi utama, ditandai dengan berkurangnya bicara,
aktivitas motorik, dan ekspresi emosional [62]. Definisi apatis ini pada dasarnya identik
dengan definisi abulia, yang telah didefinisikan sebagai hilangnya dorongan hati,
kemauan, atau motivasi untuk berpikir, berbicara, dan bertindak. Motivasi yang
berkurang adalah konsep kunci dalam sikap apatis dan abulia. Dasar neurologis apatis
dan abulia paling sering dianggap berasal dari lobus frontal dan disfungsi sistem limbik
[63-65].
Prevalensi apatis yang dikumpulkan pada pasien dengan PD adalah 40 persen [66].
Ini lebih sering terjadi pada usia yang lebih tua, gangguan kognitif, depresi, peningkatan
gejala motorik, dan kecacatan yang lebih parah. Sementara apatis sering menyertai
depresi, itu dapat terjadi pada pasien dengan PD yang tidak mengalami depresi [67,68].
Karakteristik diskriminatif yang berpotensi berguna adalah suasana hati, yang netral
dalam sikap apatis dan negatif dalam depresi [62].
Kehadiran apatis memiliki dampak negatif pada kualitas hidup pada pasien dengan PD
[30]. Apatis dapat hidup berdampingan dengan gangguan kontrol impuls, yang juga
memiliki efek merugikan pada kualitas hidup [51].
Gangguan tidur

17
Universitas Muhammadiyah Jakarta
Hingga 80 persen pasien dengan PD memiliki satu atau lebih gangguan tidur, termasuk
insomnia, sindrom kaki gelisah (RLS), dan gangguan perilaku tidur (RBD) gerakan mata
cepat (REM) [30,69].
Insomnia
Pasien dengan PD sering mengalami kesulitan tidur (insomnia inisiasi tidur), kesulitan
tetap tidur (insomnia pemeliharaan tidur), atau kombinasi keduanya. Masalah dengan
pemeliharaan tidur (fragmentasi tidur) adalah yang paling umum. Berbagai faktor
berkontribusi terhadap insomnia, termasuk gejala motorik nokturnal, gejala neuropsikiatri,
nokturia dan masalah otonom lainnya, gangguan tidur lainnya seperti RLS, kram kaki
nokturnal, distonia, nyeri, dan efek samping obat.

Sindrom kaki tanpa istirahat


RLS adalah gangguan gerakan yang ditandai dengan keinginan untuk menggerakkan
anggota badan, terkait dengan sensasi tidak menyenangkan yang terjadi terutama atau
secara eksklusif di malam hari, muncul atau memburuk dengan istirahat, dan membaik
dengan gerakan, terutama berjalan (tabel 3). RLS dilaporkan lebih sering terjadi pada
pasien dengan PD daripada pada populasi umum, meskipun gejala tumpang tindih dengan
kegelisahan kaki yang disebabkan oleh "pakaian" dari obat dopaminergik, yang mungkin
digabungkan dengan RLS.

18
Universitas Muhammadiyah Jakarta
Gerakan tidur ekstremitas periodik (PLMS) sering terjadi tetapi tidak selalu
dikaitkan dengan RLS. Gejala PLMS biasanya adalah gerakan berirama kaki yang
lambat, yang terdiri dari fleksi punggung kaki dan jempol kaki [70].

Gangguan perilaku tidur REM


RBD adalah fitur prodromal umum PD dan pada akhirnya mempengaruhi setidaknya 50
persen pasien dengan PD yang sudah mapan secara klinis. RBD ditandai dengan perilaku
pemberlakuan mimpi (misalnya, vokalisasi, meraih, meninju, menendang) yang terjadi
karena hilangnya atonia normal (kelumpuhan otot) tidur REM. Gerakan berkorelasi dengan
mentation mimpi; dengan kata lain, pasien memerankan mimpi mereka. Pasien dan

19
Universitas Muhammadiyah Jakarta
pasangan tidur mungkin tidak mengenali gerakan sebagai tidak normal, terutama ketika
ringan. Gangguan ini penting untuk dikenali dan diobati, karena pasien dapat melukai diri
mereka sendiri atau pasangan tidur mereka karena kekuatan gerakan (algoritma 2).
Di antara pasien dengan PD, RBD telah dikaitkan dengan beban klinis yang lebih besar
dengan gangguan kognitif yang lebih cepat, komorbiditas psikiatri yang lebih banyak,
respons pengobatan yang lebih buruk, dan atrofi otak yang lebih luas dibandingkan dengan
pasien PD tanpa RBD [71-75]. RBD tampaknya secara khusus memprediksi lebih banyak
pembekuan gaya berjalan, dan banyak daerah batang otak yang sama yang terlibat dalam
patofisiologi RBD memediasi patogenesis pembekuan gaya berjalan [76].
Mengantuk di siang hari yang berlebihan
Mengantuk di siang hari yang berlebihan (EDS) telah lama diakui sebagai masalah di
PD. Prevalensi EDS pada PD bervariasi sesuai dengan metodologi studi, tetapi perkiraan
berkisar antara 33 hingga 76 persen [77-80]. Beberapa pasien mungkin hanya mengantuk,
sementara yang lain memiliki episode tidur tambahan yang tidak diinginkan atau
"serangan" tidur mendadak [81]. EDS dan mengantuk tiba-tiba dapat menjadi bahaya bagi
pasien dengan PD yang mengemudi [82].
EDS di PD kemungkinan multifaktorial. Faktor risiko yang mungkin termasuk kesulitan
tidur di malam hari, depresi, demensia, apnea tidur obstruktif, pengobatan dopaminergik,
beban penyakit komorbiditas tinggi, dan jenis kelamin pria [83-88]. Juga telah
diperdebatkan bahwa EDS mungkin intrinsik terhadap proses penyakit [89]. Evaluasi dan
perawatan ditinjau secara terpisah.
Kelelahan
Kelelahan adalah masalah umum pada pasien dengan PD, dilaporkan oleh sekitar
sepertiga pasien saat diagnosis dan menjadi lebih umum seiring perkembangan gangguan
[90,91]. Kelelahan dikaitkan dengan durasi penyakit yang lebih lama, depresi, dan EDS
[90]. Itu mungkin persisten atau terputus-putus.
Meskipun kelelahan dikaitkan dengan depresi dan EDS, beberapa penelitian telah
menemukan bahwa pasien dengan PD yang tidak memiliki depresi atau EDS tetap memiliki
prevalensi kelelahan yang tinggi [90.92,93]. Data ini mendukung hipotesis bahwa
kelelahan adalah gejala independen PD yang tumpang tindih dengan, tetapi tidak terkait
secara kausal dengan, depresi dan DES. Patofisiologi kelelahan pada PD tidak dipahami.
Disfungsi otonom

20
Universitas Muhammadiyah Jakarta
Masalah otonom pada PD termasuk ortostasis, sembelit, disfagia, diaforesis, kesulitan
buang air kecil, dan disfungsi seksual. Masalah-masalah ini juga hadir dalam multiple
system atrophy (MSA), sehingga sulit untuk membedakan antara kedua gangguan tersebut.
Gejala otonom di MSA, bagaimanapun, umumnya lebih parah daripada di PD. Selanjutnya,
MSA cenderung kurang responsif terhadap levodopa seiring perkembangan penyakit, dan
MSA sering dikaitkan dengan temuan serebelar dan piramidal.
Hipotensi ortostatik
Hipotensi ortostatik sangat umum pada pasien dengan PD, bahkan relatif awal
perjalanan penyakit, dengan prevalensi kumulatif sekitar 60 persen [94-96]. Faktor risiko
termasuk usia yang lebih tua, disfungsi kognitif, dan durasi penyakit yang lebih lama [96].
Selain penyakit itu sendiri, hipotensi ortostatik dapat diperburuk atau disebabkan oleh agen
antiparkinson termasuk levodopa, agonis dopamin, dan inhibitor monoamine oxidase tipe
B (MAO-B), dan obat-obatan lain, terutama penghambat alfa-adrenergik seperti tamsulosin
untuk prostatisme.
Disfungsi urin
Gejala urin umum yang menunjukkan disfungsi otonom pada pasien dengan PD
termasuk frekuensi, urgensi, dan inkontinensia mendesak [97,98]. Kelainan yang paling
umum pada evaluasi urodinamik adalah berkurangnya kapasitas kandung kemih karena
kontraksi otot detrusor yang tidak disengaja pada tahap awal pengisian kandung kemih
[99].
Disfungsi seksual
Disfungsi seksual dapat berkisar dari kurang aktif hingga hiperseksualitas dan dapat
mempengaruhi hingga 25 persen pasien dengan PD [100]. Perilaku seksual yang kurang
aktif pada PD umumnya bermanifestasi sebagai penurunan minat dan dorongan [101,102]
dan dapat disebabkan oleh depresi [103], kekakuan aksial, bradikkinesia, atau
ketidakpuasan dengan hubungan [104]. Pasien pria mungkin memiliki ketidakmampuan
untuk mencapai atau mempertahankan ereksi, sementara pasien wanita dengan PD sering
melaporkan sesak vagina, kekeringan, ketidakmampuan untuk mencapai orgasme, atau
micturition yang tidak disengaja saat berhubungan seks [102,105,106].
Disfungsi penciuman
Disfungsi penciuman sangat umum pada PD dan dapat bermanifestasi sebagai defisit
dalam identifikasi bau, diskriminasi, dan deteksi [107]. Kehilangan penciuman mungkin
tidak diperhatikan oleh pasien, bahkan ketika disfungsi hadir pada pengujian bau.
21
Universitas Muhammadiyah Jakarta
Defisit dalam penciuman ini dapat mendahului gejala motorik atau terjadi relatif lebih
awal selama PD [98.108.109]. Meskipun tidak spesifik, disfungsi penciuman pada
pengujian bau pada orang dewasa yang lebih tua yang tinggal di komunitas dikaitkan
dengan peningkatan risiko insiden PD selama 5 hingga 10 tahun tindak lanjut [108-112].
Nyeri
Gejala sensorik yang menyakitkan dilaporkan pada hingga setengah pasien dengan PD
[113]. Rasa sakitnya bisa melambung, terbakar, atau kesemutan, dan dapat digeneralisasi
atau terlokalisasi ke berbagai area tubuh, termasuk wajah, perut, alat kelamin, dan
persendian [113-115].
Sensasi menyakitkan pada PD cenderung berkorelasi dengan fluktuasi motorik.
Dystonia, yang sering menyakitkan, adalah gejala umum pada PD. Ini dapat terjadi secara
spontan pada awal PD, atau dapat terjadi ketika levodopa habis. Kram kaki dan distonia
pagi hari yang mempengaruhi kaki adalah respons "mati" yang umum terhadap pantang
levodopa selama tidur [116]. Namun, diskinesia yang diinduksi levodopa dapat menjadi
distonik dan menyakitkan juga.
Temuan dermatologis
Dermatitis seboroik adalah kelainan kulit yang umum dan diakui dengan baik yang
mempengaruhi 20 hingga 60 persen pasien dengan PD, seringkali sebagai gejala awal
[98.117]. Tidak jelas mengapa hal itu begitu sering terjadi di PD. Manifestasi termasuk
bercak eritematosa bersisik di area kulit yang kaya kelenjar sebaceous, seperti kulit kepala
(gambar 1), wajah (gambar 2), dan dada [118]. Perubahan dermatologis lainnya termasuk
hiperhidrosis dan dermatofitosis [98].
Melanoma terjadi dengan frekuensi yang lebih tinggi pada PD daripada pada populasi
umum. Berdasarkan meta-analisis dari 24 studi observasional pada total lebih dari 290.000
individu, risiko melanoma hampir dua kali lipat lebih tinggi pada pasien dengan PD (rasio
peluang [OR] 1.83, 95% CI 1.46-2.30) [119]. Hubungan yang tepat antara PD dan
melanoma belum sepenuhnya dijelaskan. Meskipun laporan kasus telah menyarankan
hubungan antara melanoma dan terapi levodopa karena jalur biokimia dopamin bersama,
tinjauan studi kohort besar menemukan bahwa risiko melanoma meningkat bahkan
sebelum terpapar terapi levodopa [120].

22
Universitas Muhammadiyah Jakarta
2.8 Diagnosis

Gejala awal Penyakit Parkinson sangat ringan dan perjalanan penyakitnya


berlangsung perlahan-lahan, sehingga sering terlepas dari perhatian. Biasanya hanya
mengeluhkan perasaan kurang sehat atau sedikit murung atau hanya sedikit gemetar.
Seiring waktu gejala menjadi lebih nyata sehingga pasien berobat ke dokter dalam kondisi
yang sedikit lebih parah.

1. Anamnesis yang mengarahkan pada Penyakit Parkinson antara lain:

● Awitan keluhan atau gejala tidak diketahui dengan pasti


● Perjalanan gejala semakin memberat
● Gejala dimulai pada satu sisi anggota gerak, tetapi seiring waktu akan mengenai
kedua sisi atau batang tubuh.
- Jenis gejala yang mungkin timbul :
1. Merasakan tubuh kaku dan berat
2. Gerakan lebih kaku dan lambat
3. Tulisan tangan mengalami mengecil dan tidak terbaca
4. Ayunan lengan berkurang saat berjalan
5. Kaki diseret saat berjalan
6. Suara bicara pelan dan sulit dimengerti
7. Tangan atau kaki gemetar
8. Merasa goyah saat berdiri
9. Merasakan kurang bergairah
10. Berkurang fungsi penghidu / penciuman
11. Keluar air liur berlebihan
- Faktor yang memperingan gejala : istirahat, tidur, suasana tenang
- Faktor yag memperberat gejala : kecemasan, kurang istirahat
- Riwayat penggunaan obat antiparkinson dan respon terhadap
pengobatan.
Ananmesis yang mengarahkan pada penyebab lain :
● Riwayat stroke
● Riwayat trauma kepala
● Riwayat infeksi otak
● Riwayat ada tumor otak

23
Universitas Muhammadiyah Jakarta
● Riwayat gangguan keseimbangan
● Riwayat mengkonsumsi obat-obat tertentu seperti obat anti muntah, obat
psikosis

2. Pemeriksaan Fisik

a. Pengamatan saat pasien duduk :

● tremor saat istirahat, terlihat di tangan atau tungkai bawah.


● ekspresi wajah seperti topeng / face mask (kedipan mata dan ekspresi
wajah menjadi datar),
● postur tubuh membungkuk,
● tremor dapat ditemukan di anggota tubuh lain (meskipun relatif jarang)
misalnya kepala, rahang bawah, lidah, leher atau kaki
b. Pemeriksaan bradikinesia :
● Gerakan tangan mengepal-membuka-mengepal dan seterusnya berulang-
ulang, makin lama makin berkurang amplitudo dan kecepatannyanya
● Gerakan mempertemukan jari telunjuk-ibu jari (pada satu tangan) secara
berulang-ulang makin lama makin berkurang amplitudo dan
kecepatannyanya
● Tulisan tangan makin mengecil
● Kurang trampil melakukan gerakan motorik halus, seperti membuka
kancing baju
● Ketika berbicara suara makin lama makin halus, dan artikulasi mejadi
tidak jelas, kadang-kadang seperti gagap
c. Pengamatan saat pasien berjalan :
• Kesulitan / tampak ragu-ragu saat mulai berjalan (hesitancy), berjalan
dengan kaki diseret (shuffling), jalan makin lama makin cepat
(festination),
• Ayunan lengan berkurang baik pada 1 sisi anggota gerak maupun
dikeduanya.
• Ditemukan rigiditas pada pemeriksaan tonus otot : gerakan secara pasief
oleh pemeriksa, dengan melakukan fleksi-ekstensi secara berurutan,
maka akan dirasakan tonus otot seperti ‘roda gigi’. Biasanya dikerjakan
di persendian siku dan lengan.

24
Universitas Muhammadiyah Jakarta
d. Pemeriksaan instabilitas postural / tes retropulsi : pasien ditarik dari belakang
pada kedua bahunya untuk melihat apakah pasien tetap mampu
mempertahankan posisi tegak.

e. Pemeriksaan fisik lain untuk menemukan tanda negatif dari Penyakit Parkinson:
• Pemeriksaan refleks patologis : refleks patologis negatif
• Pemeriksaan gerakan bola mata ke atas : gerakan okulomotor normal
• Pemeriksaan tekanan darah postural
• Pemeriksaan fungsi otonom, misalnya pengontrolan miksi –adakah
inkontinensia
• Pemeriksaan fungsi serebelum, misalnya ataksia saat berjalan
• Pemeriksaan fungsi kognitif yang muncul pada permulaan penyakit.

3. Diagnosis
Diagnosis penyakit Parkinson ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis, berupa
ditemukannya kumpulan gejala berupa tremor, bradikinesia, rigiditas dan
ketidakseimbangan postural.
Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium maupun imaging
biasanya dalam batas normal.
Kriteria diagnosis klinis yang paling banyak dipakai adalah kriteria yang diajukan
oleh UK Parkinson’s Disease Society Brain Bank.

Rekomendasi :

Orang-orang yang mempunyai gejala tremor, kekakuan perlambatan gerakan,


gangguan keseimbangan dan atau gangguan berjalan harus dicurigai sebagai penderita
penyakit Parkinson. NICE level D (GPP).

Terdapat beberapa kriteria klinis untuk menegakkan diagnosis penyakit Parkinson


antara lain dari UKPDS Brain Bank Clinical Criteria, atau yang terbaru MDS Clinical
Diagnostic Criteria for Parkinson Disease (2015)

25
Universitas Muhammadiyah Jakarta
Menurut UKPDS (United Kingdom Parkinsons Disease Society) Brain Bank Clinical
Criteria untuk menegakkan penyakit Parkinson secara klinis terdiri dari 3 tahap:

1. Tahap I Menentukan adanya Penyakit Parkinson yang meliputi gejala:

● Bradikinesia
● ditambah paling sedikit satu dari gejala berikut : tremor istirahat,
bradikinesia,
instabilitas postural yang tidak disebabkan karena gangguan visual,
vestibuler, propioseptif dan serebeler.

2. Tahap II. Memastikan tidak ada gejala atau tanda yang menjelaskan ada
penyebab lain:

● Riwayat stroke berulang


● Riwayat trauma kepala berulang
● Riwayat ensefalitis
● Krisis okulogirik
● Terapi neuroleptik saat awitan gejala,
● Lebih dari satu anggota keluarga
● Remisi yang terus berlanjut
● Gejala unilateral menetap lebih dari 3 tahun
● Supranuclear gaze palsy
● Gejala cerebellar
● Gangguan otonom berat pada awal penyakit
● Dementia berat pada awal penyakit dengan gangguan memori, bahasa
dan praksis
● Tanda babinski, ada tumor otak atau hidrosefalus komunikans dari hasil
pencitraan otak
● Tidak memberikan respon terhadap terapi levodopa dosis besar,
meskipun tanpa disertai gangguan malabsorbsi saluran cerna

26
Universitas Muhammadiyah Jakarta
● Paparan bahan kimia mengandung komponen mptp (1-methyl-4-phenyl-
1,2,3,6-tetrahydropyridine

Tahap III: Kriteria penyokong positif prospektif Penyakit Parkinson.


Dibutuhkan 3 atau lebih kriteria dibawah ini untuk diagnosis definit Penyakit Parkinson
dalam kombinasi dengan tahap pertama.

● awitan unilateral
● tremor istirahat
● penyakit progresif
● gejala sejak awitan menetap secara asimetris
● memberikan respon baik (70-100%) terhadap pemberian levodopa
● timbul diskinesia yang diinduksi levodopa
● respon terhadap levodopa 5 tahun atau lebih
● perjalanan klinis berlangsung 10 tahun atau lebih.
Adapun kriteria diagnosis klinis Penyakit Parkinson menurut MDS (Movement
Disorders Society) Clinical Diagnostic Criteria for Parkinsons Disease, sedikit lebih
kompleks dalam penerapannya karena menyertakan gejala non motoric pada Parkinson.
Diperlukan pemeriksaan klinis untuk mencari :
1. Kriteria esensial / wajib
2. Kriteria Pendukung (supportive criteria)
3. Kriteria Pengecualian Mutlak
4. Kriteria Red flag

● KRITERIA ESENSIAL / WAJIB :


Bradikinesia, disertai paling tidak salah satu dari Resting Tremor atau
Bradikinesia
• KRITERIA PENDUKUNG :
1. Respon klinis yang jelas (dramatik) dengan terapi dopaminergic. Pada terapi
awal pasien seperti kembali normal atau dapat kembali berfungsi seperti
sebelum sakit
- Perbaikan nyata dengan peningkatan dosis atau perburukan nyata dengan
pengurangan dosis. Perubahan yang ringan atau tidak jelas tidak
termasuk kualifikasi

27
Universitas Muhammadiyah Jakarta
- Klinis yang jelas adanya fluktuasi ON / OFF, termasuk adanya wearing
off yang bisa diprediksi (predictable end-of-dose wearing off)
2. Adanya dyskinesia yang diinduksi oleh levodopa
3. Resting tremor pada anggota gerak (baik ditemukan pada saat pemeriksaan
maupun dari laporan cacatan medis sebelumnya).
4. Terdapatnya baik gangguan penciuman atau denervasi saraf simpatis jantung
dari pemeriksaan MIBG scintigrafi.
• KRITERIA PENGECUALIAN MUTLAK
1. Gangguan serebelum yang jelas seperti cerebellar gait, ataksia anggota
gerak, gangguan gerakan bola mata khas serebelum.
2. Gangguan gerak mata jenis downward vertical supra nuclear atau selektif
melambatnya downward vertical saccades.
3. Diagnosis dari adanya kemungkinan variant fortotemporal demensia atau
afasia progresif primer; yang muncul pada 5 tahun pertama perjalanan
penyakit.
4. Gejala Penyakit Parkinson hanya terbatas mengenai anggota gerak bawah
saja
selama lebih dari 3 tahun perjalanan penyakit.
5. Pengobatan dengan preparat jenis penghambat reseptor dopamine maupun
dopamine depleting agent, pada kurun waktu tertentu yang konsisten
dengan
kemunculan gejala parkinsonism.
6. Ketiadaan respon terhadap pemberian dosis besar levodopa meskipun pada
kondisi perjalanan penyakit yang masih ringa.
7. Terdapat gangguan sensorik tipe kortikal yang cukup jelas (misalnya
graphesthesia, stereognosis dengan modalitas sensori yang masih normal).
8. Pemeriksaan fungsional otak dengan pemeriksaan pencitraan otak pada
sistem
presinaptik dopamine terlihat hasil yang normal.
9. Terdokumentasinya kondisi alternatif lain yang dapat menimbulkan gejala
penyakit Parkinson dan terhubungnya dengan gejala pasien secara masuk
akal (dapat diterima), atau evaluasi ahli berdasarkan penilaian diagnosis
yang lengkap bahwa syndrome alternatif tersebut lebih mungkin menjadi
penyebab dari pada Penyakit Parkinson sendiri.
28
Universitas Muhammadiyah Jakarta
• KRITERIA RED FLAGS
1. Perburukan yang cepat pada fungsi berjalan (gait) sehingga memerlukan
kursi roda dalam 5 tahun pertama perjalanan penyakit.
2. Secara nyata tidak ditemukan perburukan gejala motoric dalam kurun waktu
5 tahun perjalanan penyakit, meskipun kestabilan gejala berhubungan
dengan pengobatan
3. Gangguan jenis bulbar, seperti disfoni, disartria, disfagia (sehingga
memerlukan NGT, makanan yang lunak maupun gastrotomi) dalam 5 tahun
pertama perjalanan penyakit.
4. Gangguan pernafasan (inspirasi atau ekspirasi), baik diurnal atau nocturnal
stridor saat inspirasi maupun desahan saat inspirasi yang sering muncul
5. Kegagalan fungsi otonom yang cukup berat pada 5 tahun pertama perjalanan
penyakit.
6. Episode jatuh yang berulang (lebih dari 1 kali pertahun) yang disebabkan
karena gangguan keseimbangan dalam 3 tahun pertama perjalanan penyakit.
7. Disproporsional gerakan anterocollis (dystonik) atau kontraktur di tangan
dan kaki pada 10 tahun pertama perjalanan penyakit.
8. Ketiadaan dari gejala non motor yang lazim dari penyakit Parkinson dalam
5 tahun perjalanan penyakit. Gejala non motor ini termasuk diantaranya
gangguan tidur, gangguan otonom, hiposmia atau gangguan psikiatrik.
9. Tanda gangguan traktus piramidalis yang (walaupun) tidak dapat dijelaskan,
kelumpuhan motorik karena sistem pyramidal yang nyata atau reflek
meningkat yang patologis (terkecuali asimetri reflex yang ringan atau reflek
plantar saja)

Gejala parkinsonism yang simetris bilateral. Pasien atau pendamping melaporkan


gejala bilateral saat onset tanpa dominansi satu sisi dan dominansi tersebut tidak
ditemukan saat pemeriksaan klinis.

Diagnosis klinis Establish Penyakit Parkinson dapat ditegakkan bila / diperlukan syarat:

1. Kriteria esensial / wajib Parkinsonism


2. Tidak ditemukan gejala dari kriteria pengecualian mutlak
3. Paling tidak 2 gejala dari kriteria pendukung
4. Tidak ditemukan gejala kriteria red flags

29
Universitas Muhammadiyah Jakarta
Diagnosis Klinis Probable Penyakit Parkinson akan ditegakkan bila :

1. Kriteria esensial / wajib Parkinsonism


2. Tidak ditemukan gejala dari kriteria pengecualian mutlak
3. Adanya gejala dari kriteria red flags dengan perimbangan gejala dari kriteria
pendukung :
o Jika terdapat 1 kriteria red flags maka harus ada paling tidak 1 kriteria
pendukung
o Jika terdapat 2 kriteria red flags maka harus ada paling tidak 2 kriteria
pendukung
o Tidak boleh ada lebih dari 2 kriteria red flags

2.9 Diagnosis Banding

Belum ada cara yang ideal untuk menegakkan diagnosis penyakit Parkinson dan
membedakannya dengan sindrom parkinson lainnya. Namun demikian, penyakit
Parkinson harus dibedakan dari jenis parkinsonism yang lain, seperti multiple system
atrophy (MSA), progressive supranuclear palsy (PSP) dan corticobasal degeneration
(CBD). Penyakit Parkinson harus juga dibedakan dari penyebab parkinsonism sekunder
yang lain, seperti lesi struktural otak, reaksi akibat penggunaan obat-batan, neurotoksin
dan penyebab tremor yang lain. Idealnya, pasien dengan penyakit Parkinson atau yang
berhubungan dengan gangguan gerak, harus dirujuk ke klinik spesialis gangguan gerak
atau pusat pelayanan gangguan gerak untuk dilakukan evaluasi.

Beberapa pedoman klinis yang dapat membantu dapat dibawah ini:

30
Universitas Muhammadiyah Jakarta
31
Universitas Muhammadiyah Jakarta
Rekomendasi :

Orang-orang yang dicurigai menderita penyakit Parkinson harus dirujuk segera, tanpa
pengobatan ke spesialis yang ahli (dokter spesialis saraf) dalam menegakkan diagnosis dan
diagnosis bandingnya. NICE level B.

2.10 Pemeriksaan Penunjang

Pengujian pre klinik dan klinik yang dapat dipercaya banyak membantu untuk
mengidentifikasi pasien dengan penyakit Parkinson atau orang-rang yang berisiko penyakit
Parkinson. Beberapa uji diagnostik yang telah diusulkan bermanfaat untuk menegakkan
diagnosis penyakit Parkinson dan atau membedakan antara penyakit Parkinson dengan
sindrom parkinson yang lain. Namun demikian, sampai sekarang ini belum ada satu uji
yang memperlihatkan mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang cukup yang dapat
dipercaya untuk diagnosis penyakit Parkinson atau membedakan penyakit Parkinson
dengan jenis parkinsonism yang lain.

Secara tradisional, ada beberapa pemeriksaan pencitraan otak yang sering


digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis penyakit Parkinson dan atau
membedakannya dari sindroma parkinson yang lain. Secara umum pemeriksaan pencitraan
otak dibagi 2 yaitu pencitraan struktural dan pencitraan fungsional.

a. Pencitraan struktural :

● CT scan kepala
● MRI kepala
● Ultrasonografitranskranial

32
Universitas Muhammadiyah Jakarta
b. Pencitraan fungsional :
• PET
• SPECT
c. Rekomendasi :
1. CT atau MRI tidak boleh dilakukan secara rutin untuk menegakkan
diagnosis penyakit Parkinson. AAN Level C.
2. Tidak ada bukti yang cukup untuk mendukung atau menolak pemeriksaan
berikut untuk membedakan penyakit Parkinson dengan sindrom parkinsism
yang lain, yaitu tes urodinamik, tes fungsi ototnom, EMG uretra atau anus,
MRI, sonografi parenkim otak dan FPG PET. AAN level U.

Perangkat untuk Evaluasi :

● Skala Hoehn and Yahr


● Skala Schwab and England
● Skala UPDRS
● Tes MMSE
● Tes HDRS
● Tes HARS

2.11 Tatalaksana

Diketahui bahwa penyakit Parkinson merupakan penyakit yang idiopatik


sehingga harus dicari penyebabnya apakah simptomatik, progresif sehingga dipikirkan
pemberian neuroproteksi, dan bersifat degeneratif sehingga dipikirkan neurorestorasi.
Terapi farmakologis diberikan bila terdapat gangguan fungsional, pemberian obat
seperti antioksidan dapat dipertimbangkan. Untuk pemilihan obat yang sesuai, antara
lain benserazide/L-dopa, DA agonist, MAOB-1, COMT-1, atau antikholinergik
disesuaikan dengan :
• usia pasien <60 tahun atau >60 tahun
• stadium perjalanan penyakit penyakit : awal atau lanjut
• efek samping obat.

Terapi simptomatik yang digunakan dalam tatalaksana penyakit Parkinson terbagi


menjadi terapi medikal dan terapi operatif. Terapi medikal yang digunakan dapat berupa
33
Universitas Muhammadiyah Jakarta
terapi farmakologi obat dopaminergik dan agonis dopamin, obat kolinergik, dan terapi
untuk gejala non motorik) dan terapi non farmakologis edukasi, self help group, latihan,
group, latihan, terapi wicara).
Sedangkan untuk terapi operatif dapat dilakukan ablative/lesioning (thalamotomy,
pallidectomt) dan deep brain stimulation pallidum, nukleus subthalamikus.
Obat-obatan yang saat ini digunakan sebagai terapi medikal antara lain:
a. Dopaminergik
- L-dopa/benserazide atau L-dopa/carbidopa
- DA agonist: bromocryptine, ropinirole, pramipexole, rotigotine, transdermal
patch
- MAO B inhibitor. selegilline, rasagiline.
- COMT inhibitor : entacapone, tolcapone.
- NMDA receptor antagonist: amantadine.
b. antikolinergik : triheksifenidil

Pada pasien Pada pasien usia muda (usia <60 tahun) obat yang dapat digunakan antara
lain antikholinergik, agonis dopamln; amantadine, atau MAOB I. Keuntungan yang dapat
diperoleh yaitu pengendalian simptomatik ringan selama 6-8 bulan, dan kurang dari L-
34
Universitas Muhammadiyah Jakarta
dopa. Komplikasi motorik kurang dari L-dopa sedangkan komplikasi non motorik lebih
dari L-dopa (halusinasi, somnolen, hipotensi ortostatik). Sedangkan pada pasien usia lanjut
(usia >60 tahun) obat yang dapat digunakan yaitu L-dopa dan dopamine
agonis/dopaminergik. Untuk pemilihan obat, keduanya dapat diberikan.
Pada pemberian L-dopa dikatakan paling efektif, dengan komplikasi motorik dan non
motorik setelah beberapa tahun (setelah ditambahkan DA agonist). Pada pemberian DA
agonist atau dopaminergik lainnya dikatakan kurang efektif, selanjutnya membutuhkan L-
dopa, dengan efek sampjng halusinasi, somnolen, dan hipotensi ortostatik. Rekomendasi
terapi yang digunakan pada penyakit Parkinson stadium awal berdasarkan usia yaitu:
• <40 tahun : DA Agonist/Dopaminergik lainnya
• 40 – 60 tahun :
- Gray zone : DAAgonist / L-dopa dosis rendah
• > 60 tahun
- L-dopa, kemudian ditambahkan DA agonist/dopaminergik lainnya.
- Agonis dopamin/dopaminergik lainnya, kemudian ditambah L-Dopa.
Pada 25-30 pasien dengan L-dopa akan memberikan komplikasi motorik atau pun non
motorik, 50% akan timbul setelah tahun dan 80% akan timbul setelah 10 tahun. Pasien
dengan penyakit Parkinson lanjut akan memberikan gejala klinis sebagai berikut hilangnya
respon terhadap dopamine, fluktuasi motorik, diskinesia akibat obat, kelainan psikiatri
karena obat, freezing gangguan tidur, depresi, gangguan kognitif, patologi akan mengenai
bagian luar ganglia basalis.

2.12 Prognosis

● Ad vitam : dubia ad bonam


● Ad sanationam : dubia ad malam
● Ad fungsionam : dubia ad malam
Sangat tergantung dari etiologi dan adanya Parkinson sekunder, gejata akan berkurang
apabila penyakit primer dapat diatasi. Sebaliknya pada Parkinson primer lidiopatik keadaan
berslfat bersifat progresif, · sesuai dengan tingkat hilangnya sel-sel pembentuk dopamin.
Tugas kita adalah untuk memperta mempertahankan agar perjala hankan agar perjalanan
penyakit Parkinso nan penyakit Parkinson tidak terlalu progresid k terlalu progresid dan
fungsi motorik lainnya dipelihara secara optimal.

35
Universitas Muhammadiyah Jakarta
BAB III
KESIMPULAN
Penyakit Parkinson (PP) adalah penyakit neurodegeneratif kronik yang ditandai
dengan tiga tanda utama yaitu kelambatan gerakan (bradikinesia), kekakuan otot
(rigiditas), dan tremor saat istirahat (resting tremor). Kompleksitas tiga gejala Penyakit
Parkinson tersebut disebabkan oleh berkurangnya fungsi dopamin yang sering
digambarkan sebagai parkonisme. Prevalensi PP bervariasi di beberapa benua.
Pringsheim dkk menemukan bahwa prevalensinya pada usia 70-79 tahun lebih rendah di
Asia (646/100.000 individu), dibandingkan Eropa, Amerika Utara, dan Australia
(p<O,OS).
Parkinson merupakan penyakit kronis yang membtuuhkan penanganan secara holistik
meliputi berbagai bidang. Pada saat ini tidak ada terapi untuk menyembuhkan penyakit
ini, tetapi pengobatan dapat mengatasi gejala yang timbul. Obat-obatan yang ada sekarang
hanya menekan gejala-gejala parkinson, sedangkan perjalanan penyakit itu belum bisa
dihentikan sampai saat ini. Sekali terkena parkinson, maka penyakit ini akan menemai
sepanjang hidupnya. Tanpa perawatan, gangguan yang terjadi mengalami progres hingga
terjadi total disabilitas, sering disertai dengan ketidakmampuan fungsi otak general, dan
otak menyebabkan kematian. Dengan perawatan, gangguan pada setiap pasien berbeda-
beda. Kebanyakan pasien berespon terhadap medikasi. Perluasan gejala berulang dana
lamanya gejala terkontrol sangat bervariasi. Efek samping pengobatan terkadang dapat
sangat parah.

36
Universitas Muhammadiyah Jakarta
DAFTAR PUSTAKA

Tolosa E, Garrido A, Scholz SW, Poewe W. Challenges in the diagnosis of Parkinson's disease.
Lancet Neurol 2021; 20:385.
Postuma RB, Berg D, Stern M, et al. MDS clinical diagnostic criteria for Parkinson's disease.
Mov Disord 2015; 30:1591.
Jain S, Lo SE, Louis ED. Common misdiagnosis of a common neurological disorder: how are we
misdiagnosing essential tremor? Arch Neurol 2006; 63:1100.
Pagano G, Ferrara N, Brooks DJ, Pavese N. Age at onset and Parkinson disease phenotype.
Neurology 2016; 86:1400.
Marras C, Lang A. Parkinson's disease subtypes: lost in translation? J Neurol Neurosurg
Psychiatry 2013; 84:409.
Beitz, J. (2017) ‘Parkinson’s disease: a review’, Frontiers in Bioscience [Preprint].
Brown, R., Lockwood and Sonawane, B. (2017) ‘Neurodegenerative diseases: an overview of
environmental risk factors’, Environmental health perspective [Preprint].
Van Den, E.S. et al. (2018) ‘Incidence of Parkinson’s Disease: Variation by Age, Gender, and
Race/Ethnicity’, American Journal Epidemiology [Preprint].
Hauser, S. (2017) Harrison’s Neurology in Clinical Medicine.
Kouli, A., Torsney, K. and Kuan, W.-L. (2018) ‘Parkinson’s Disease: Etiology, Neuropathology,
and Pathogenesis’.
Nicoletti, A., Vasta, R. and Mostile, G. (2017) ‘Head Trauma and Parkinson’s disease: results
from an Italian case-control study’, Neurological Science [Preprint].
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (2016) ‘Panduan praktik klinis neurologi’.
Potahskin, J. and Seidl, S. (2018) ‘The promise of neuroprotective agents in Parkinson’s disease’,
frontiers in neurology [Preprint].
Pringsheim, T. et al. (2017) ‘The prevalence of Parkinson’s disease systematic review and meta-
analysis’, Movement disorders [Preprint].
Reeve, A., Simcox, E. and Turnbull, D. (2017) ‘Ageing and Parkinson’s disease: Why is
advancing age the biggest risk factor?’
Willis, A., Evanoff, B. and Criswell, S. (2018) ‘Geographic and ethnic variation in Parkinson
disease population-based study of US Medicare beneficiaries’. Available at:
https://doi.org/10.1159/000275491.
Zhang, P. et al. (2018) ‘Genetics of Parkinson’s disease and related disorders’, NCBI [Preprint].
Available at: https://doi.org/10.1136/jmedgenet-2017-105047.

iii
Universitas Muhammadiyah Jakarta
Aninditha T, Wiratman W. Buku Ajar Neurologi. Edisi Pert. Jakarta: Balai Penerbit FK
UI; 2017

iv
Universitas Muhammadiyah Jakarta

Anda mungkin juga menyukai