PENYAKIT PARKINSON
Pembimbing :
dr. F. Sukma, Sp. S, M.Kes
Kolonel Kes NRP 516298
Disusun oleh:
Chairunnisa Putri Amiria
NIM 03012054
KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF
RSAU DR. ESNAWAN ANTARIKSA
PERIODE 2 OKTOBER- 4 NOVEMBER 2017
LEMBAR PENGESAHAN
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN................................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................................3
2.1 Definisi............................................................................................................3
2.2 Epidemiologi...................................................................................................3
i
2.3 Etiologi dan faktor resiko................................................................................3
2.4 Patofisiologi.....................................................................................................5
2.5 Manifestasi klinis.............................................................................................9
2.6 Diganosis.......................................................................................................18
2.7 Tatalaksana.....................................................................................................24
2.8 Komplikasi.....................................................................................................33
2.9 Prognosis.......................................................................................................35
BAB III KESIMPULAN...............................................................................................36
BAB IV DAFTAR PUSTAKA......................................................................................37
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit parkinson adalah penyakit neurodegeneratif progresif yang
memiliki karakteristik tanda – tanda klinis parkinsonisme, seperti tremor saat
istirahat, rigiditas, ataksia, bradikinesia, dan instabilitas postural. 1 Penyakit ini
memiliki dimensi gejala yang sangat luas sehingga baik langsung maupun tidak
langsung mempengaruhi kualitas hidup penderita maupun keluarga. Pertama kali
ditemukan oleh seorang dokter inggris yang bernama James Parkinson pada tahun
1817. Penyakit ini merupakan suatu kondisi ketika seseorang mengalami ganguan
pergerakan.2
Penyakit parkinson dikenal sebagai salah satu penyakit neurologis
tersering, mempengaruhi sekitar 1 % individu berusia lebih dari 60 tahun.
Insidens penyakit parkinson adalah 5 – 21 kasus per 100.000 populasi per tahun
dan prevalensinya adalah sekitar 120 kasus per 100.000 populasi. Di Indonesia
sendiri, dengan jumlah penduduk 210 juta orang, diperkirakan ada sekitar
200.000-400.000 penderita.1 Rata-rata usia penderita di atas 50 tahun dengan
rentang usia-sesuai dengan penelitian yang dilakukan di beberapa rumah sakit di
Sumatera dan Jawa- 18 hingga 85 tahun. Angka kejadian penyakit ini meningkat
seiring dengan bertambahnya usia dan berdasarkan penelitian yang dilakukan
terhadap sekumpulan penduduk maka dapat diperkirakan dalam beberapa dekade
ke depan, jumlah penyakit ini akan meningkat. 2
Dalam menegakkan diagnosis penyakit Parkinson, tidak ada pemeriksaan
definitif yang dapat dilakukan, sehingga penegakkan diagnosis hanya didasarkan
atas riwayat perjalanan penyakit dan penemuan klinis.3,4
Penyakit Parkinson memiliki dampak kumulatif atau disabilitas luas, baik
terhadap pasien itu sendiri, keluarga, maupun tenaga medis yang merawat pasien,
dimana dampak terhadap pasien selain karena adanya masalah kesehatan,
Parkinson juga berdampak terhadap quality of life, dimana terjadi keterbatasan
pasien dalam melakukan kegiatan sehari-harinya. Penyakit Parkinson juga dapat
berdampak pada masalah ekonomi pasien dan keluarga oleh karena membutuhkan
penanganan jangka panjang.3,4 Penanganan penyakit Parkinson saat ini telah
1
berkembang luas dan membutuhkan penanganan yang komprehensif, namun
seringkali sulit untuk menentukan pengobatan yang tepat dan sesuai dengan
pasien. Oleh karena penyakit Parkinson ditegakkan berdasarkan riwayat
perjalanan penyakit dan penemuan klinis, serta membutuhkan penanganan yang
komprehensif, maka penting untuk memahami kriteria penegakkan diagnosis
penyakit, serta pemahaman dan pemilihan terapi yang tepat dan sesuai untuk
pasien dengan penyakit Parkinson.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Penyakit parkinson adalah penyakit neurodegeneratif progresif yang
memiliki karakteristik tanda – tanda klinis parkinsonisme, seperti tremor saat
istirahat, rigiditas, ataksia, bradikinesia, dan instabilitas postural.1
Penyakit parkinson harus dibedakan dengan Parkinsonisme, yaitu gejala
Parkinson pada gangguan di ganglia basal akibat penyebab nondegeneratif, seperti
stroke, toksisitas, dan lain – lain. 1
2.2 Epidemiologi
Penyakit parkinson dikenal sebagai salah satu penyakit neurologis
tersering, mempengaruhi sekitar 1 % individu berusia lebih dari 60 tahun.
Insidens penyakit parkinson adalah 5 – 21 kasus per 100.000 populasi per tahun
dan prevalensinya adalah sekitar 120 kasus per 100.000 populasi. Insidens dan
prevalens meningkat seiring bertambahnya usia dan umur rata – rata pasien saat
awitan awal adalah sekitar 60 tahun. Pemyakit ini lebih sering mempengaruhi laki
– laki daripada perempuan dengan perbandingan 3 : 2. 1
2.3 Etiologi dan faktor resiko
Parkinson disebabkan oleh rusaknya sel-sel otak, tepatnya di substansi nigra.
Suatu kelompok sel yang mengatur gerakan-gerakan yang tidak dikehendaki
(involuntary). Akibatnya, penderita tidak bisa mengatur/menahan gerakan-gerakan
yang tidak disadarinya. Hingga saat ini etiologi Parkinson primer masih belum
2
diketahui, akan tetapi ada beberapa faktor resiko (multifaktorial) yang telah
diidentifikasi terkait dengan penyakit Parkinson, yaitu: 5
Usia
Insiden meningkat dari 10 per 10.000 penduduk pada usia 50 tahun, dan
meningkat hingga 200 dari 10.000 penduduk pada usia 80 tahun. Hal ini berkaitan
dengan reaksi mikroglial yang mempengaruhi kerusakan neuronal, terutama pada
substansia nigra pada penyakit parkinson.5
Genetik
Penelitian menunjukkan adanya mutasi genetik yang berperan pada penyakit
parkinson, yaitu mutasi pada gen a-sinuklein pada lengan panjang kromosom 4
(PARK1) pada pasien dengan Parkinsonism autosomal dominan. Pada pasien
dengan autosomal resesif parkinson, ditemukan delesi dan mutasi point pada gen
parkin (PARK2) di kromosom 6. Selain itu, juga ditemukan adanya disfungsi
mitokondria. Adanya riwayat penyakit parkinson pada keluarga meningakatkan
faktor resiko menderita penyakit parkinson sebesar 8,8 kali pada usia kurang dari
70 tahun dan 2,8 kali pada usia lebih dari 70 tahun. Meskipun sangat jarang, jika
disebabkan oleh keturunan, gejala parkinsonisme tampak pada usia relatif muda.2,5
Faktor Lingkungan2,5
a) Xenobiotik
Berhubungan erat dengan paparan pestisida yang dapat menimbulkan
kerusakan mitokondria.
b) Pekerjaan
Lebih banyak pada orang dengan paparan metal yang lebih tinggi dan
lama.
c) Infeksi
Paparan virus influenza intrautero diduga turut menjadi faktor predesposisi
penyakit parkinson melalui kerusakan substansia nigra. Penelitian pada
hewan menunjukkan adanya kerusakan substansia nigra oleh infeksi
Nocardia astroides
d) Diet
3
Konsumsi lemak dan kalori tinggi meningkatkan stress oksidatif, salah
satu mekanisme kerusakan neuronal pada penyakit parkinson.
Sebaliknya,kopi merupakan neuroprotektif. Penduduk yang tinggal di
daerah kumuh dan mengkonsumsi air sumur yang terpapar dengan logam
berat akan mendapat kemungkinan menderita PP. 2,4
Trauma kepala
Cedera kranio serebral bisa menyebabkan penyakit parkinson, meski peranannya
masih belum jelas benar. Penelitian epidemiologik menemukan pada seseorang
yang sering mengalami trauma kepala akan mendapat kemungkinan
memperlihatkan empat kali lebih sering gejala parkinson dibanding populasi
lainnya. Penelitian lainnya menunjukan bahwa sebenarnya trauma kepala yang
berulang-ulang bisa memperlihatkan gejala klinis seperti penyakit parkinson akan
tetapi belum tentu sebagai penyebab penyakit itu sendiri.2
Stress dan depresi
Beberapa penelitian menunjukkan depresi dapat mendahului gejala motorik.
Depresi dan stress dihubungkan dengan penyakit parkinson karena pada stress dan
depresi terjadi peningkatan turnover katekolamin yang memacu stress oksidatif. 5
2.4 Patofisiologi
Gejala klinis pada penyait parkinson diakibatkan oleh berkurangnya sekresi
neurotransmiter dopamin oleh neuron dopaminergik dari substansia nigra pars
kompakta (SNc). Dopamin ini diproyeksikan ke striatum dan seterusnya ke
ganglion basalis. Reduksi ini menyebabkan aktivitas neuron di striatum dan
ganglion basalis menurun menyebabkan gangguan keseimbangan antara
inhibitorik dan eksitatorik. Akibatnya kehilangan kontrol sirkuit neuron di
ganglion basalis untuk mengatur jenis gerak dalam hal inhibisi terhadap jaras
langsung dan eksitasi terhadap jaras yang tidak langsung baik dalam jenis motorik
ataupun non-motorik. Fungsi yang beragam ini ditemukan di otak. Dopamin
sebagai neurotransmitter di otak mempunyai 5 jenis reseptor yakni: D1, D2, D3,
D4, D5. Reseptor dopamin ini digolongkan kedalam dua kelompok yakni
kelompok reseptor D1 dengan D5, dan kelompok yang tergolong D2 yang
4
termasuk kedalamnya adalah reseptor D3 dan D4. Perbedaan reseptor ini terletak
pada komposisi dan jumlah asam amino reseptor tersebut sehingga strategi terapi
juga sewajarnya mendasar pada patologi reseptor tersebut. Reseptor dopamin
merupakan target utama dalam farmakoterapi pada PP. 2
Reseptor D1 dan D5 dominasinya terhadap gangguan fungsi motorik yakni
modulasi gerak melalui peningkatan adenil siklase sementara D2, D3, dan D4
banyak kaitannya dengan gangguan fungsi kognitif, jadi berkolerasi dengan
aktivitas antipsikotik. Dopamin bagian dari kelompok neuroendokrin juga
berperan sebagain inhibisi prolaktin. Hiperprolaktinemia terjadi jika kadar
dopamin rendah yang akan berkaitan dengan gangguan reproduksi dan gangguan
psikiatrik. Di perifer reseptor dopamin ditemukan juga di ginjal, vaskuler dan
berperan dalam pengaturan homeostasis tekanan darah dan sekresi hormonal. 2
5
aparatus golgi. Beberapa pendapat mengatakan bahwa adanya interaksi yang
berlangsung secara terus menerus antara zat toksik yang berasal dari eksternal
maupun internal bisa menyebabkan kematian neuron. Degenerasi juga ditemukan
pada lokus seuleus yang menghasilkan kelompok neurotransmiter katekolamin
dan degenerasi nukleus basalis. Kehilangan neuron dopamin sebanyak 70 -80 %
akan menimbulkan bradikinesia, gangguan refleks postural, tremor, dan rigiditas.
Neuron dopaminergik di SNc akan mensekresi dopamin untuk selanjutnya di
proyeksikan mengikuti jaras neurotransmiter ke area ventral tegmental (VTA)
seterusnya ke hipotalamus. Terdapat empat jaras dopamin di otak yaitu jaras
nigrostriatal disebut juga jaras stiatum yang mendominasi mediasi gerak. Jaras
nigrostriatal dimulai dari substansia nigra ke neostriatum. Badan sel dari akson di
SN diproyeksikan ke nukleus kaudatus dan putamen dengan melibatkan ganglia
basalis. Jaras ini merupakan jaras yang paling dominan terkait gangguan motorik
penyakit parkinson. Gangguan pada jaras ini menyebabkan mudah terjatuh dan
mengalami kesukaran dalam melakukan gerakan berputar. Jaras lain adalah jaras
non striatal yakni jaras mesokortikal, mesolimbik, dan tuberoinfundibular. Jaras
mesokortikal ini menghubungkan area ventral tegmental ke prefrontal korteks,
sementara jaras mesolimbik menghubungakan area ventral tegmental ke nukleus
akumben melalui amigdala dan hipokampus. 2
6
Gambar 3. Sirkuit antara korteks, striatum, nukleus subtalamikus dan talamus
7
pada selaput membrana dari neuron. Reseptor D1 dan D5 berikatan dengan
protein G yang berfungsi mengaktifkan adenylyl cyclase yang bertujuan untuk
fungsi motorik, sementara D2, D3, D4 sebaliknya yang mengaktivasi kanal K+
mendominasi gangguan psikiatrik. 2
1) Bradikinesia6
Bradikinesia berarti kelambanan dalam pergerakan, dan merupakan
manifestasi klinik penyakit Parkinson yang karakteristik, meskipun
bradikinesia juga dapat dijumpai pada penyakit lain, termasuk depresi.
Bradikinesia merupakan hal yang patognomonik, yang menunjukkan
kerusakan pada basal ganglia, yang meliputi kesulitan dalam merencanakan
dan menyelenggarakan gerakan, memulai gerakan dan kesulitan dalam
melaksanakan gerakan secara simultan. Manifestasi awal sering diawali
dengan kelambanan dalam melakukan aktifitas sehari-hari (Activity of Daily
Living) dan perlambatan pergerakan serta respon time yang menurun. Hal ini
termasuk kesulitan dalam melakukan gerak motorik halus seperti membuka
kancing baju, dan menggunakan perkakas. Manifestasi lain bradikinesia
adalah hilangnya pergerakan dan langkah spontan, air liur yang menetes
dikarenakan gangguan menelan akibat bradikinesia mengenai daerah
orofaring, monotonik dan hipofonik disartria, kehilangan ekspresi wajah
(hipomimia), muka menjadi seperti topeng, dan penurunan kedipan mata,
pengurangan ayunan tangan sehingga cara berjalan tidak lagi melenggang.
Bradikinesia merupakan gejala dari penyakit Parkinson yang paling mudah
untuk dikenali, dan mungkin terlihat jelas walaupun belum dilakukan
8
pemeriksaan neurologis. Pada bradikinesia juga dapat ditemukan gejala
tambahan seperti gerakan cepat, berulang, pergerakan tangan bergantian
(ketukan jari, menggenggan-genggam tangan, pronasi-supinasi tangan). Serta
ketukan tumit tidak hanya lambat tetapi juga amplitudo yang melemah, dan
bila tangan yang dominan terlibat, maka tulisan secara gradual menjadi kecil
dan rapat, disebut sebagai mikrografia.
Meskipun patofisiologi dari bradikinesia masih belum dapat digambarkan
dengan baik, gejala ini tetap menjadi gejala utama yang mengemukakan
kaitan penyakit dengan tingkat defisiensi dopamine. Hal ini didukung dengan
dilakukannya observasi terhadap penurunan jumlah neuron di substansia
nigra pada pasien usia tua dengan gejala parkinsonism yang akhirnya di
diagnosa sebagai penyakit Parkinson. Disamping itu, positron emission
tomografi pada pasien dengan penyakit Parkinson menunjukkan penurunan
pengambilan F-fluorodopa di striatum dan accumbens-caudate kompleks
yang proporsional (berbanding lurus) dengan derajat keparahan bradikinesia.
2) Tremor 6
Tremor saat istirahat “tremor at rest” merupakan gejala tersering dan mudah
dikenali pada penyakit Parkinson. Tremor bersifat unilateral, dengan
frekuensi antara 4 sampai 6 Hz, dan hampir selalu terdapat di extremitas
distal. Tremor pada tangan digambarkan sebagai gerakan supinasi-pronasi
(“pill-rolling”) yang menyebar dari satu tangan ke tangan yang lain. Resting
tremor pada pasien penyakit Parkinson juga dapat mengenai bibir, dagu,
rahang dan tungkai. Namun, tidak seperti tremor pada umumnya, tremor pada
penyakit Parkinson jarang mengenai leher atau kepala dan suara.
Karakteristik resting tremor adalah tremor akan menghilang ketika penderita
melakukan gerakan, juga selama tidur. Beberapa pasien mengatakan adanya
“internal” tremor yang tidak dikaitkan dengan tremor yang terlihat.
Beberapa pasien dengan penyakit Parkinson memiliki riwayat tremor
postural, yang dapat diidentikkan dengan tremor essential, selama beberapa
tahun atau dekade sebelum onset parkinsonian tremor atau gejala lain
penyakit Parkinson timbul.
Beberapa pasien penyakit Parkinson juga memiliki postural tremor yang
9
dirasa lebih utama dan lebih mengganggu dibandingkan resting tremor dan
mungkin merupakan manifestasi awal penyakit. Parkinson dengan adanya
postural tremor (“re-emergent tremor”), berbeda dari tremor essential, dimana
tremor menghilang setelah pasien membentangkan tangannya dalam posisi
horizontal. Karena “re-emergent tremor” terjadi dalam frekuensi yang sama
seperti halnya resting tremor, dan juga memiliki respon terhadap terapi
dengan obat-obatan dopaminergik, maka re-emergent tremor dapat dianggap
sebagai varian dari resting tremor. Ada beberapa petunjuk dalam
mendiagnosa tremor essential pada pasien dengan penyakit Parkinson.
Termasuk didalamnya adalah anamnesa mengenai lamanya tremor terjadi,
riwayat keluarga dengan tremor, tremor pada region kepala dan suara, dan
tremor yang tidak berhenti dengan dilakukannya pembentangan kedua tangan
di depan tubuh ke arah horizontal, ada tidaknya rasa gemetar saat menulis dan
memilin, juga adanya tremor yang bertambah dengan konsumsi alcohol dan
beta bloker.
Dalam perjalan penyakit Parkinson, keberadaan resting tremor bervariasi
pada setiap pasien. Dalam salah satu studi, Hughes dan koleganya
melaporkan bahwa 69% pasien penyakit Parkinson memiliki resting tremor
saat onset penyakit dan 75% pasien penyakit Parkinson baru memiliki tremor
pada perjalanan penyakit. Tremor juga dilaporkan tidak dijumpai pada 9%
pasien penyakit Parkinson tahap kronik. Sedangkan dilaporkan bahwa hanya
11% pasien penyakit Parkinson yang sama sekali tidak memiliki tremor. Studi
patologi klinik mengatakan bahwa terjadi degenerasi pada neuron di daerah
otak tengah, pada pasien penyakit Parkinson dengan gejala tremor.
3) Rigidity 6
Rigiditas ditandai dengan adanya peningkatan tahanan otot, biasanya
disertai oleh adanya “cogwhell phenomenon” yang secara khusus
dihubungkan dengan adanya tremor, terdapat melalui pergerakan pasif
extremitas baik flexi, extensi atau rotasi sendi. Rigiditas dapat terjadi di tubuh
bagian proximal maupun bagian distal. “Foment’s maneuver” merupakan
manuver yang biasa digunakan untuk memeriksa adanya rigiditas.
Keistimewaan manuver ini dapat mendeteksi rigiditas yang masih ringan.
10
Rigiditas dapat disertai dengan nyeri, dan nyeri pada bahu adalah satu hal
yang tersering yang merupakan manifestasi dini penyakit Parkinson.
Meskipun seringkali terjadi misdiagnosis, sebagai arthritis, bursitis atau
cedera pada otot-otot rotator cuff. Sebuah prospektif studi yang dilakukan
pada 6038 orang (usia rata-rata 68,5 tahun), dimana tidak terdapat demensia
ataupun gejalan Parkinsonism, ditemukan adanya kekakuan, tremor dan
ketidakseimbangan yang diasosiasikan dengan peningkatan resiko terjadinya
penyakit Parkinson. Melalui penelitian dengan kohort, dengan follow up
selama 5,8 tahun, ditegakkan diagnosis 56 kasus penyakit Parkinson.
4) Postural Instability 6
Instabilitas postural yang disebabkan oleh hilangnya refleks postural
merupakan manifestasi umum dari penyakit Parkinson tahap lanjut dan
biasanya terjadi setelah tanda klinis lainnya terjadi. Pemeriksaan berupa pull
test, dimana penderita diberikan dorongan ke depan atau ke belakang secara
cepat pada bahu, digunakan untuk menentukan derajat retropulsi atau
propulsi. Bila pasien mundur dua langkah atau sama sekali kehilangan respon
postural, mengindikasikan adanya abnormalaitas respon postural.
Instabilitas postural (bersamaan dengan freezing gait) merupakan
penyebab tersering terjatuhnya penderita Parkinson dan berkontribusi secara
signikan terhadap resiko fraktur panggul. Onset latensi yang panjang
membedakan penyakit Parkinson dengan kelainan neurodegeneratif lainnya,
seperti progressive supranuclear palsy (PSP) dan multiple system atrophy
(MSA). Beberapa faktor mempengaruhi kejadian instabilitas postural pada
penderita Parkinson, seperti hipotensi ortostatik, perubahan sensorik terkait
usia, dan kemampuan mengintegritaskan visual, vestibularm dna input
sensorik propioseptif (kinesthesia). Kejadian jatuh pada penyakit Parkinson
akibat instabilitas postural, dapat berdampak pada kontrol keseimbangan.
Pada sebuah studi, 38% pada penderita yang dievaluasi mengalami kejadian
terjatuh, 13% diantaranya sering terjatuh lebih dari satu kali dalam seminggu,
sehingga dikatakan bahwa frekuensi terjatuhnya penderita berhubungan
dengan tingkat keparahan penyakit.
11
5) Freezing 6
Freezing, yang juga berarti motor block, merupakan suatu bentuk akinesia
(hilang pergerakan) dan merupakan gejala disabilitas paling penting pada
penyakit Parkinson. Meskipun freezing merupakan gejala klinik yang khas,
gejala ini tidak selalu terdapat pada pasien dengan penyakit Parkinson. Gejala
ini lebih sering terdapat pada laki-laki dibandingkan pada wanita, dan
frekuensinya lebih sedikit terjadi pada pasien dengan gejala utama berupa
tremor. Freezing paling sering mengenai tungkai saat berjalan, tetapi lengan
dan kelopak mata juga dapat terkena. Manifestasi klinik dapat terjadi secara
mendadak dan bersifat sementara (biasanya kurang dari 10 detik), sehingga
dapat terjadi kesulitan dalam berjalan. Dalam hal ini, mungkin meliputi
kesulitan untuk memulai berjalan atau terjadi secara tiba-tiba saat sedang
berjalan melintasi jalanan yang padat dan ramai. Freezing merupakan
penyebab tersering terjadinya trauma.
12
Gangguan non-motorik1,2
Perilaku
13
Ansietas
Sekitar 70 % daripenyakit Parkison menderita ansietas sementara 90%
penderita ansietas berkembang menjadi depresi. Sekitar 40 % yang tidak
berkaitan dengan beratnya penyakit maupun pengobatan dengan levodopa.
Gejala ansietas bisa muncul sebagai reaksi psikologik terhadap penyakit
parkinson sendiri.
Depresi
Depresi merupakan gejala penyakit parkinson yang paling menonjol dan
bersifat tidak spesifik dan tidak berkaitan dengan derajat gangguan
motorik. Diperkirakan prevalensi gangguan depresi berkisar 31 % dan
meningkat sehubungan dengan meningkatnya usia.
Psikosis dan halusinasi
Gejala psikosis dalam bentuk halusinasi atau delusi pada umumnya
berkaitan dengan toksisitas obat yang digunakan untuk penyakit
parkinson. Seperti diketahui obat – obat untuk penyakit parkinson dapat
mempengaruhi neurokimiawi otak sehingga bisa memperlihatkan gejala
psikosis, yaitu halusinasi, delusi, dan delirium. Halusinasi visual
ditemukan sekitar 30 % dan berkaitan dengan preparat dopaminergik.
Bromokriptin lebih sering menimbulkan efek samping dibandingkan
levodopa. Antikholinergik menimbulkan halusinasi yang bersifat
mengancam disertai dengan komponen auditorik – taktil delirium.
Halusinasi ini pada umumnya akan berkurang atau menghilang dengan
penngurangan dosis obat-obat tersebut.
Gangguan tidur
Gangguan tidur dimana berkurangnya stadium II dan IV sehingga sering
terbangun, sering timbul bersamaan dengan gejala psikiatrik lainnya
sebagai efek samping pengobatan levodopa dan pergolid. Gangguan tidur
bisa dalam bentuk halusinasi, episode mengacau dan depresi yang dapat
dibaca sebagai kelainan pada EEG pada fase REM. Keadaan ini dapat
diperbaiki dengan pemberian hipnotika dan antidepresan.
14
Gangguan otonomik dan sensorik yang sering ditemukan adalah keluhan
inkontinensia, konstipasi, ketidaksanggupan mengontrol air liur, dizziness
yang bisa menyebabkan jatuh. Selain itu terdapat gangguan
gastrointestinal, gangguan berkemih, gangguan seksual, gangguan
kardiovaskular, termoregulasi, respiratorius dan gangguan motorik pupil.
Gangguan gastrointestinal
Penderita penyakit parkinson sering megalami konstipasi dan dismotilitas
lambung mengakibatkan gangguan pencernaan. Penyebabnya diduga
akibat pembentukan badan Lewy di sistem saraf pencernaan yang akan
mengganggu persarafan dari saluran cerna.
Gangguan optalmologik
Penderita penyakit parkinson mengalami beberapa gangguan
optalmologik, seperti:
Menurunnya kedipan mata
Iritasi dari permukaan mata, gangguan cairan mata
Sering terjadi halusinasi visual
Konvergensi menurun
Blefarospasmus
Kesulitan membuka mata
15
Gambar 5. Derajat penyakit parkinson
2.6 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan secara klinis melalui pemeriksaan fisik dan anamnesis
dengan ditemukannya dua dari empat tanda kardinal, yaitu tremor saat istirahat,
rigiditas, bradikinesia, dan instabilitas postural. Pasien umumnya berusia 55 tahun
atau lebih, dengan parkinsonisme asimetrik yang berprogresi lambat dengan
tremor saat istirahat dan bradikinesia atau rigiditas. Tidak ada tanda bahaya seperti
disfungsi otonomik berat, gangguan keseimbangan, demensia, atau kelainan gerak
mata. Pada kasus – kasus seperti ini, diagnosis akan dikonfirmasi dengan terapi
dopaminergik (levodopa atau agonis dopamin) yang memberikan pemulihan bagi
gejala motorik pasien. Jika diagnosis penyakit parkinson sudah dipastikan,
16
penting untuk mengukur beratnya penyakit secara kualitatif. Hal ini berhubungan
sebagai dasar tatalaksana dari pasien. 1,7
Anamnesis
Pada awal sakit manifestasi gejala dapat berupa :2
Gemetar pada jari tangan waktu istirahat, dan hilang bila lengan bergerak
Tremor ringan pada jari dan tangan
Ayunan lengan waktu berjalan kurang (jalan seperti robot)
Suara menjadi halus atau mengecil
Mandi, mencukur kumis, mengancing baju, makan menjadi lama
Jalan sering tertinggal
Mata melotot seperti marah, raut muka selalu sedih
Duduk jarang bangun
Tidur jarang berbalik badan
Pemeriksaan fisik
a. Tremor2
Lengan/tangan
Resting tremor, saat diam atau menahan posisi tertentu
Pill rolling, seperti sedang menggulung pil atau menghitung uang
Tulisan tidak rata, semakin panjang kalimatnya huruf tulisannya semakin
kecil
Saat berjalan jari atau tangan bergetar
17
Tungkai/ kaki
Kaki bergoyang saat diam menggantung
Kepala/muka
Kepala jarang terlibat
Bibir dan dagu bergetar seperti mengunyah
b. Rigiditas2
Leher
Susah menoleh
Susah menelan
Suara mengecil
Lengan
Micrografia (tulisan mengecil)
Ayunan lengan waktu berjalan kurang
Merasa kekakuan pada sendi sulit bangkit dari tidur/duduk
Stooped posture (waktu berdiri atau berjalan badan membungkuk)
Tungkai
Langkah jalan pendek – pendek, kaki diseret
Rasa lemah karena memerlukan tenaga lebih untuk bergerak
c. Bradikinesia/akinesis2
Muka
Mata jarang berkedip
Face mask (mimik muka miskin ekspresi)
Liur menetes, kalau makan lama
Lengan
Memakai baju atau memasang kancing lama
Mandi atau cuci tangan atau gosok gigi lama
Badan
Duduk diam lama, jarang bangkit (bangun)
Tidur jarang berbalik
Tungkai
Membengkak oleh karena jarang bergerak sewaktu duduk
Sulit untuk memulai langkah
Langkah mendadak berhenti
Ketika berjalan, jika berbalik arah harus melakukan gerakan memutar
18
d. Postur tubuh yang tidak stabil2
Muncul pada stadium lanjut
Mudah terjatuh
Langkah memutar sulit
Cenderung terjerembab ke depan
Cenderung terjengkang ke belakang
Akhirnya menggunakan kursi roda
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan radiologi umumnya digunakan untuk menyingkirkan
penyakit lain. Jika pemberian Levodopa tidak ada perbaikan maka untuk
memastikan perlu dilakukan pemeriksaan penunjang lain seperti EEG, CTscan
kepala dan pemeriksaan laboratorium sesuai dugaan. Pemeriksaan MRI juga dapat
dipertimbangkan untuk mengevaluasi diagnosis banding lain seperti stroke, lesi
desak ruang (tumor, abses), hidrosefalus tekanan normal, dan penyakit lain.
Pemeriksaan CT dan MRI terkadang juga dapat membantu membedakan penyakit
parkinson idiopatik dengan parkinsonisme tipe lain. Hal ini relevan jika keluhan
pada pasien unilateral. Pemeriksaan pencitraan menunjukan penyakit
atherosklerotik otak atau tekanan normal hidrosefalus dan jarang menunjukan lesi
struktural. MRI terkadang menunjukan tanda dari atropi sistem multipel
(perubahan sinyal infratentorial, putaminal atrofi, hot cross bun sign). 1,2,7
Sejauh ini belum ada pemeriksaan penunjang yang dapat memastikan penyakit
parkinson, lebih banyak digunakan untuk menyingkirkan penyakit lain yang
menimbulkan gejala parkinsonisme yang mirip dengan penyakit parkinson, atau
pada pasien yang setelah terapi levodopa tidak menunjukan perbaikan.2
a. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium hanya bersifat dukungan pada hasil klinis, karena
tidak memiliki sensitifitas dan spesifitas yang tinggi untuk penyakit Parkinson.
Pengukuran kadar NT dopamine atau metabolitnya dalam air kencing, darah
maupun cairan otak akan menurun pada penyakit Parkinson dibandingkan
kontrol. Lebih lanjut, dalam keadaan tidak ada penanda biologis yang spesifik
penyakit, maka diagnosis definitive terhadap penyakit Parkinson hanya
19
ditegakkan dengan otopsi. Dua penelitian patologis terpisah berkesimpulan
bahwa hanya 76% dari penderita memenuhi kriteria patologis aktual,
sedangkan yang 24% mempunyai penyebab lain untuk parkinsonisme
tersebut.8
b. EEG (biasanya terjadi perlambatan yang progresif)
c. CT Scan kepala (biasanya terjadi atropi kortikal difus, sulki melebar,
hidrosefalua eks vakuo)
d. Neuroimaging
Magnetik Resonance Imaging (MRI)
Baru-baru ini dalam sebuah artikel tentang MRI, didapati bahwa hanya pasien
yang dianggap mempunyai atropi multi sistem memperlihatkan signal di
striatum.8,9
Positron Emission Tomography (PET)
Ini merupakan teknik imaging yang masih relatif baru dan telah memberi
kontribusi yang signifikan untuk melihat kedalam sistem dopamine
nigrostriatal dan peranannya dalam patofisiologi penyakit Parkinson.
Penurunan karakteristik pada pengambilan fluorodopa, khususnya di
putamen, dapat diperlihatkan hampir pada semua penderita penyakit
Parkinson, bahkan pada tahap dini. Pada saat awitan gejala, penderita
penyakit Parkinson telah memperlihatkan penurunan 30% pada pengambilan
fluorodopa putamen. Tetapi sayangnya PET tidak dapat membedakan antara
penyakit Parkinson dengan parkinsonisme atipikal. PET juga merupakan
suatu alat untuk secara obyektif memonitor progresi penyakit, maupun secara
obyektif memperlihatkan fungsi implantasi jaringan mesensefalon fetus. 8,9
Gambar 7. PET pada penderita Parkinson pre dan post transplantasi
20
Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT)
Sekarang telah tersedia ligand untuk imaging sistem pre dan post sinapsis oleh
SPECT, suatu kontribusi berharga untuk diagnosis antara sindroma Parkinson plus
dan penyakit Parkinson, yang merupakan penyakit presinapsis murni. Penempelan
ke striatum oleh derivat kokain [123]beta-CIT, yang juga dikenal sebagai RTI-55,
berkurang secara signifikan disebelah kontralateral sisi yang secara klinis terkena
maupun tidak terkena pada penderita hemiparkinson. Penempelan juga berkurang
secara signifikan dibandingkan dengan nilai yang diharapkan sesuai umur yang
berkisar antara 36% pada tahap I Hoehn dan Yahr sampai 71% pada tahap V.
Marek dan yang lainnya telah melaporkan rata-rata penurunan tahunan sebesar
11% pada pengambilan [123]beta-CIT striatum pada 34 penderita penyakit
Parkinson dini yang dipantau selama 2 tahun. Sekarang telah memungkinkan
untuk memvisualisasi dan menghitung degenerasi sel saraf nigrostriatal pada
penyakit Parkinson. 8,9
Dengan demikian, imaging transporter dopamin pre-sinapsis yang
menggunakan ligand ini atau ligand baru lainnya mungkin terbukti berguna dalam
mendeteksi orang yang beresiko secara dini. Sebenarnya, potensi SPECT sebagai
suatu metoda skrining untuk penyakit Parkinson dini atau bahkan presimptomatik
tampaknya telah menjadi kenyataan dalam praktek. Potensi teknik tersebut
sebagai metoda yang obyektif untuk memonitor efikasi terapi farmakologis baru,
sekarang sedang diselidiki. 8
2.7 Tatalaksana
Saat ini, terapi obat terhadap penyakit Parkinson merupakan simptomatis.
Mengingat obat-obat ini mempunyai efek samping jangka pendek dan jangka
panjang yang dapat mengganggu, dianjurkan untuk tidak memulai terapi bila
penyakit Parkinson yang diderita belum mengakibatkan gangguan. Banyak teori
yang mengemukakan baik-buruknya obat-obat tertentu dalam menangani penyakit
Parkinson, namun kebanyakan teori ini didasarkan atas eksperimen dan penelitian
di lapangan yang masih terbatas.10
Medikamentosa
Obat dopaminergik
1. Prekursor dopamine
21
Levodopa atau L-dopa merupakan prekursor dopamine. Pada terapi
Parkinson, tidak dapat secara langsung diberikan dopamin eksogen sebab
dopamin dalam darah tidak dapat menembus blood brain barier. Hal ini
berbeda dengan levodopa, dimana levodopa yang diserap dalam saluran
cerna melalui transport aktif menuju darah, dan mampu menembus blood
brain barier. Kemudian levodopa dikonversi menjadi dopamine di otak
dengan bantuan enzim dopa dekarboksilase. 11 Lebih dari 90% levodopa
dimetabolisme menjadi dopamine oleh dekarboksilase dopa perifer (diluar
SSP) dan kadar yang sampai ke otak kurang dari 2%, sehingga levodopa
perlu diberikan dalam dosis tinggi. Akan tetapi, kadar dopamine yang
tinggi di perifer dapat menyebabkan efek samping otonomik yang hebat.
Efek samping otonomik yang hebat ini dapat dikurangi dengan pemberian
bersama-sama dengan inhibitor enzim dopa dekarboksilase perifer, yaitu
karbidopa. 11
Berdasarkan gambaran gejala klinis, pasien dengan penyakit
parkinson dikelompokkan ke dalam 3 kategori dasar yaitu kategori ringan,
sedang dan berat. Pada tingkat ringan (3-5 tahun pertama setelah
diagnosis), respon terhadap levodopa masih baik dan efek yang
menguntungkan ini menetap walaupun dosis yang diberikan tidak bersifat
individual. Pada tingkat sedang biasanya setelah 5-10 tahun di diagnosa,
biasanya 50-70% pasien memperlihatkan komplikasi motorik yang
diinduksi oleh obat (drug induce) berupa periode “on” dan “off”. Waktu
periode “on” pasien tampak berrespon terhadap obat tapi waktu periode
“off” gejala parkinson kembali kambuh.12 Pada kategori ketiga (berat)
pasien PD yang lanjut sudah terjadi kerusakan motorik yang progresif
meskipun telah mendapat terapi levodopa, dan tidak berespon secara baik
terhadap pengobatan yang menyebabkan timbulnya komplikasi motorik
seperti fluktuasi dan diskinesia dan mungkin sulit diobati, bahkan tidak
mungkin dapat dikontrol dengan terapi obat.Untuk mencegah timbulnya
efek samping dari penggunaan levodopa tersebut,saat ini strategi
penundaan pemberian levodopa lebih diterapkan. Levodopa diberikan
22
ketika gejala parkinson pada pasien sudah mulai menyebabkan gangguan
fungsional dalam kehidupan sehari-hari.11
2. Dopa dekarboksilase inhibitor
Karbidopa dan benserazid merupakan dopadekarboksilase inhibitor
pada jaringan perifer, tetapi tidak masuk susunan saraf pusat. Karena tidak
dapat melewati blood brain barier, sebagai hasilnya karbidopa
menurunkan kadar dopamine di perifer, tetapi tidak di susunan saraf
pusat.11
3. Dopamin agonis
Oleh karena perlunya penundaan pemberian levodopa pada tahap
awal penyakit Parkinson, para ahli parkinsonologi merekomendasikan
pemberian obat-obat dopamine agonis sebagai terapi awal atau inisial dari
golongan obat dopaminergik. Obat-obat dopamine agonis bekerja dengan
mengaktivasi reseptor dopamine secara langsung, dimana berdasarkan
studi penemuan klinis dan eksperimental menemukan bahwa aktivasi
reseptor dopamin yang penting adalah reseptor dopamin D2 dalam
memediasi efek antiparkinsonian dari dopamine agonis. Akan tetapi,
beberapa penelitian saat ini juga menyatakan bahwa stimulasi reseptor D1
dan D2 dibutuhkan terhadap peningkatan optimal efek terhadap fungsi
fisiologis dan perilaku.
Dopamine agonis terdiri atas derivat ergot (bromocriptine,
cabergoline, lisuride and pergolide) dan derivat non-ergot (pramipexole
and ropinirole). Derivat non-ergot memiliki resiko komplikasi yang lebih
rendah dibandingkan derivat ergot. Komplikasi yang terjadi dapat berupa
ulkus peptikum, efek vasokonstriktif, fibrosis retroperitoneal, penyakit
katup jantung, dan reaksi serosal berupa efusi pleura, perikardial, dan
peritoneal. Oleh karena obat-obat derivat ergot berpotensi cukup kuat
terhadap kejadian penyakit jantung katup, penggunaan obat golongan ini
sudah sangat terbatas.
Pramiprexole merupakan obat yang aman dan efektif apabila
digunakan sebagai monoterapi pada tahap awal Parkinson. Pramiprexole
juga digunakan sebagai neuroprotektif dan dapat meningkatkan aktivitas
neurotropik pada dopaminergik mesensefali. Penggunaan ropirinole juga
23
merupakan obat yang aman dan efektif pada tahap awal penyakit
Parkinson, hanya saja ropirinole berisko lebih tinggi terhadap kejadian
hipotensi dan somnolen.11
4. MAO-B Inhibitor
Selegilline dan rasagiline merupakan obat golongan MAO-Inhibitor.
MAO-B Inhibitor memblok metabolisme dopamine sehingga kadarnya
tetap meningkat di striatum. 11
5. COMT Inhibitor
Entacapon dan tolcapon merupakan obat golongan COMT-Inhibitor. Obat
golongan COMT Inhibitor menghambat degradasi dopamine menjadi 3-
O-methyldopa oleh enzim COMT, terutama di perifer da meningkatkan
jumlah levodopa yang melewati sawar darah otak.12 Tolcapon kini sudah
tidak digunakan di negara Eropa setelah 3 pasien meninggal akibat
toksisitas hepar terhadap obat tersebut. Entacapom mengurangi waktu
“off” dari dosis levodopa, dan mengurangi-sedang-gangguan motorik dan
disabilitas.11
Obat Non-dopaminergik
1. Antikolinergik
Triheksifenidil dan benztropine merupakan obat antikolinergik.
Obat ini menghambat sistem kolinergik di ganglia basal dengan
menghambat aksi neurotransmitter asetilkolin, sehingga mampu
membantu dalam menjaga keseimbangan antara dopamine dan asetilkolin,
sehingga dapat mengurangi gejala tremor.11
Efek samping obat antikolinergik perifer mencakup pandangan
menjadi kabur, mulut kering, retensi urin. Piridostigmin, sampai 60 mg, 3x
sehari, dapat membantu mengatasi mulut kering dan kesulitan miksi. Efek
samping sentral terutama adalah pelupa dan menurunnya memori jangka
pendek. Kadang-kadang dapat dijumpai halusinasi dan psikosis, terutama
apda kelompok usia lanjut, sehingga dapat digunakan obat antikolinergik
yang lebih lemah, seperti difenhidramin (Benadryl), orfenadrin (Norflex),
amitriptilin.10
2. Amantadin
Bekerja dengan membebaskan dopamin dari vesikel prasinaptik.11
24
Pertimbangan yang perlu diperhatikan dalam menangani penyakit Parkinson
stadium dini adalah: 11
1. Tingkat disabilitas pasien
Bila pasien mengalami hambatan yang signifikan dalam aktivitas
kesehariannya, atau kemampuan kerjanya terganggu, maka levodopa
diindikasikan.
2. Prevensi fluktuasi
Penggunaan agonis dopamine sebagai obat inisiasi atau pemula dapat
mengurangi resiko timbulnya, wearing off dan on-fluctuations.
3. Usia pasien
4. Pasien penyakit Parkinson usia muda (<65 tahun) umumnya lebih mampu
mentoleransi medikasi dan resiko terjadinya efek samping lebih rendah.
Pasien berusia lanjut mengalami kesulitan dengan efek samping kognitif
dan psikiatrik. Pada kelompok usia lanjut, obat antikolinergik dan dopamin
digunakan secara hati-hati. Agonis dopamine mungkin juga disertai efek
samping yang lebih banyak pada usia lanjut.
5. Profil efek-samping obat
Bila pasien takut akan kemungkinan ia mengantuk dan dapat
membahayakan bila ia mengendarai, atau ia tidak dapat mentolerir
gangguan kognisi, maka agonis dopamine bukanlah pilihan yang baik. 11
25
Gambar 8. Algoritma terapi penatalaksanaan penyakit parkinson
b.Non medikamentosa
1) Edukasi
Pasien serta keluarga diberikan pemahaman mengenai penyakitnya, misalnya
pentingnya meminum obat teratur dan menghindari jatuh. Menimbulkan rasa
simpati dan empati dari anggota keluarganya sehingga dukungan fisik dan
psikis menjadi maksimal.
2) Terapi rehabilitasi
Tujuan rehabilitasi medik adalah untuk meningkatkan kualitas hidup
penderita dan menghambat bertambah beratnya gejala penyakit serta
mengatasi masalah-masalah sebagai berikut :
Abnormalitas gerakan
26
Kecenderungan postur tubuh yang salah
Gejala otonom
Gangguan perawatan diri (Activity of Daily Living – ADL)
Perubahan psikologik.
27
Fleksi dan ekstensi. Tangan difleksikan dan diekstensikan pada
pergelangan tangan.
Abduksi dan adduksi. Pergelangan tangan digerakan menjauhi tubuh dan
mendekati tubuh.
Latihan jari
Finger bends. Jari-jari dikepalkan seperti membuat tinju.
Finger spreads. Jari-jari diregangkan.
Oposisition. Jari-jari melakukan oposisi
Thumb circles. Ibu jadi digerakan dalam gerakan lingkaran besar.
Latihan pinggul
Fleksi dan ekstensi. Kaki difleksikan dan ekstensikan pada sendi pinggul.
Abduksi dan adduksi. Kaki dalam posisi lurus digerakan menjauhi dan
mendekati tubuh.
Latihan lutut
Fleksi dan ekstensi. Kaki difleksikan dan diekstensikan pada sendi lutut.
Latihan pergelangan kaki dan kaki
Fleksi dan ekstensi. kaki difleksikan dan diekstensikan pada pergelangan
kaki.
Inversi dan eversi pergelangan kaki. Kaki diarahkan ke kiri dan ke kanan.
Toe bends. Jari-jari ditekuk ke arah plantar.
Toe spreads. Jari-jari diregangkan.
28
dimulai dari yang sederhana (sebagai contoh, mempertahankan keseimbangan
duduk selama memakai kaus kaki) dan kemudian meningkat ke aktivitas yang
membutuhkan lebih banyak koordinasi dari kontrol postural, koordinasi,
ketahanan, dan keamanan.15
Latihan Relaksasi
Relaksasi dalam bentuk latihan pernafasan meningkatkan oksigenasi dari
otot dan organ vital sehingga menyebabkan peningkatan performa dan ketahanan,
yang dapat meningkatkan kemampuan menelan dan berbicara, sementara selain
itu terjadi ekspansi dada yang dapat membantu memperbaiki postur.15
29
Gambar 9. Latihan Duduk-Bangun.
Latihan Berjalan
Pasien harus berlatih berjalan setiap hari. Pasien diajak untuk tidak
berfokus pada kecepatan berjalan, tetapi kepada besar langkah pasien. Pasien
harus berusaha mempertahankan jarak langkah yang sama setiap berjalan.16
Untuk memfasilitasi pola berjalan yang lebih normal dan untuk menangani
freezing, pasien dengan penyakit Parkinson dapat menggunakan strategi
kompensatorik yang dikenal sebagai isyarat atensi atau attentional cues. Isyarat
ini meningkatkan kesadaran pasien dalam berjalan sehingga mengesampingkan
gerakan yang otomatis.17
Isyarat atensi dapat internal atau eksternal. Isyarat internal artinya isyarat
berasal dari pasien sendiri. Contohnya dari isyarat internal adalah pasien
membayangkan bahwa dirinya melangkahi suatu objek untuk memulai berjalan
atau fokus pada rasa yang dirasakan pada tumit setiap melangkah. Isyarat
eksternal berarti bahwa isyarat datang dari lingkugan sekitar. Dapat berupa visual
atau auditori. Stimulasi suditori ritmik adalah contoh dari isyarat eksternal.
Berjalan mengikuti irama musik atau suara tertentu dapat meningkatkan kecepatan
berjalan dan jarak langkah.17
2.8 Komplikasi
Komplikasi yang ditimbulkan umumnya terjadi akibat pengobatan jangka
panjang dengan levodopa. Beberapa pasien pada awalnya mengeluhkan mual,
walaupun hal ini dapat ditanggulangi dengan meminum obat setalah makan. Mual
biasanya menghilang setelah beberapa minggu walaupun obat terus diberikan,
30
atau dapat juga diberikan kemoreseptor spesifik dopaminergik antagonis
domperidon. Pada beberapa pasien dapat ditemukan gejala hipotensi ortostatik
ringan.18
Walaupun levodopa merupakan obat paling efektif untuk penyakit parkinson
namun dengan waktu terbatas 3 – 7 tahun dapat timbul komplikasi motorik dan
non – motorik. 18
Komplikasi motorik 2,18
a. Fluktuasi motorik
Wearing off
Ini adalah suatu keadaan dimana efek levodopa menjadi pendek dari
semula 4 jam menjadi, misalnya, 2 jam.
On-off
Adalah perubahan yang cepat dan terkadang tidak dapat diprediksikan.
Efek levodopa bisa naik (“on”) turun (”off”). Pada keadaan pasien bebas
dari gejala, secara tiba – tiba dapat terjadi imobilitas hampir komplit.
Komplikasi ini umumnya ditanggulangi dengan peningkatan frekuensi
pemberian obat, dan diikuti pengurangan dosis.
b. Diskinesia
Berupa gerakan – gerakan tak terkendali seperti:
Khorea
Salah satu contohnya gerakan berupa tarikan cepat pada anggota gerak.
Distonia
Gerakan konstan seperti melintir yang mengubah postur bagian tertentu.
Komplikasi ini dapat ditanggulangi dengan penggunaan levodopa dosis rendah
dengan preparat long acting.
Komplikasi non – motorik
a. Gangguan otonomik
Banyak liur, keringatan, hipotensi ortostatik, konstipasi, disfungsi seksual. 2
b. Gangguan psikiatrik
Insomnia, halusinasi, depresi, demensia. 2
2.9 Prognosis
Obat-obatan yang ada sekarang hanya menekan gejala-gejala parkinson,
sedangkan perjalanan penyakit itu belum bisa dihentikan sampai saat ini. Sekali
terkena parkinson, maka penyakit ini akan menemani sepanjang hidupnya. Tanpa
perawatan, gangguan yang terjadi mengalami progress hingga terjadi total
31
disabilitas, sering disertai dengan ketidakmampuan fungsi otak general, dan dapat
menyebabkan kematian. Dengan perawatan, gangguan pada setiap pasien
berbeda-berbeda. Kebanyakan pasien berespon terhadap medikasi. Perluasan
gejala berkurang, dan lamanya gejala terkontrol sangat bervariasi. Efek samping
pengobatan terkadang dapat sangat parah.19
Penyakit parkinson sendiri tidak dianggap sebagai penyakit yang fatal,
tetapi berkembang sejalan dengan waktu. Rata-rata harapan hidup pada pasien
penyakit parkinson pada umumnya lebih rendah dibandingkan yang tidak
menderita penyakit parkinson. Pada tahap akhir, penyakit parkinson dapat
menyebabkan komplikasi seperti tersedak, pneumoni, dan memburuk yang dapat
menyebabkan kematian. Progresifitas gejala pada penyakit parkinson dapat
berlangsung 20 tahun atau lebih. Namun demikian pada beberapa orang dapat
lebih singkat. Tidak ada cara yang tepat untuk memprediksikan lamanya penyakit
ini pada masing-masing individu. Dengan treatment yang tepat, kebanyakan
pasien penyakit parkinson dapat hidup produktif beberapa tahun setelah
diagnosis.19
32
BAB III
KESIMPULAN
BAB IV
33
DAFTAR PUSTAKA
1. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA. Kapita selekta kedokteran. Ed 4. Jakarta:
Media Aesculapius; 2014.
2. Purba JS. Penyakit parkinson. Jakarta : Balai penerbit FKUI; 2012.
3. Grant R, Varney S, Lockhart I, Bakhshi L, Richards A, Ingham J, et al.
Parkinson’s disease: National clinical guideline for diagnosis and
management in primary and secondary care. London: Royal College of
Physicians; 2006.
4. National Institute for Health and Clinical Excellence. Parkinson's disease:
Diagnosis and management in primary and secondary care. London: National
Institute for Health and Clinical Excellence (NICE); 2006
5. Jankovic. J, Tolosa. E. Parkinson’s Disease And Movements Disorders 4th.
Philadelpia : Lippincott &Wilkins;2002.
6. Jankovic J. Parkinson’s disease: clinical features and diagnosis. USA: J Neurol
Neurosurg Psychiatry; 2008; 79:368-376.
7. Jones HR, Srinivasan J, Allam GJ, Baker RA. Netter’s neurology. 2 nd ed.
Philadelphia: Elsevier Saunders; 2012.
8. Price SA, Wilson LM, Hartwig MS. Gangguan Neurologis dengan Simtomatologi
Generalisata. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Vol 2. Penerbit
Buku Kedokteran EGC;2006.
9. Lingor P, Liman J, Kallenberg K, Sahlmann CO, Bahr M. Diagnosis and differential
diagnosis of Parkinson, diagnosis and tratment of parkinson disease. Available at:
http://cdn.intechopen.com/pdfs-wm/20327.pdf Access on March 9th 2017
10. Lumbantobing SM. Sindrom Parkinson. In: Gangguan gerak. Jakarta: Balai penerbit
FKUI; 2005.
11. Jankovic J, Aguilar LG. Current approaches to the treatment of Parkinson’s disease.
USA: Neurophsyciatric disease and treatment; 2008; Vol.4 (4); p.743-57.
12. Jankovic J. Parkinson’s disease: clinical features and diagnosis. USA: J Neurol
Neurosurg Psychiatry; 2008; 79:368-376.
13. Muis A, Joesof AA, Agoes A, Sudomo A, Shahab A, Husni A, dkk. Konsensus
tatalaksana penyakit Parkinson. Surabaya: Perhimpunan dokter spesialis saraf
Indonesia (PERDOSSI); 2000.
14. Trail M, Protas EJ, Lai EC.N eurorehabilitation in Parkinson's Disease: An
Evidence-Based Treatment Model. USA: Slack Incorporated; 2008. p.125-
130
15. Umphred D, Carlson C. Neurorehabilitation for the Physical Therapist
Assistant.USA: Slack Incorporation; 2006. p. 200-1
16. Schapira AH, Olanow CW. Principles of Treatment in Parkinson’s Disease.
Philadephia: Elsevier; 2005. p.321.
17. Duvoisin RC, Sage J.Parkinson's Disease: A Guide for Patient and Family.
USA: Lippincot
18. Ropper AH, Samuels MA, Klein JP. Adams and victor’s principle of
neurology. 10th ed. USA : McGraw Hill; 2014.
19. Ganong, William F, Mcphee, Stephen J. Patofisiologi Penyakit Edisi 5.
Penyakit Parkinson. Jakarta. EGC; 2011.
34