Anda di halaman 1dari 39

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA

PERIODE 15 Januari – 17 Februari 2018

RS PENDIDIKAN : RUMAH SAKIT UMUM DAERAH


DR. KARDINAH, KOTA TEGAL

JOURNAL READING

TOPIK : GLAUKOMA SUDUT TERTUTUP PRIMER

Penulis :
Atika Rosada
030.12.037

Pembimbing :
dr. Imamatul Ibaroh, Sp.M, MSc

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TRISAKTI
LEMBAR PERSETUJUAN

Journal reading dengan topik :


“GLAUKOMA SUDUT TERTUTUP PRIMER”

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing sebagai syarat


untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik Departemen Ilmu Kesehatan Mata
di Rumah Sakit Umum Daerah Kardinah Tegal
periode 15 Januari – 17 Februari 2018

Pada hari …………... tanggal ………………………………..

Tegal, ...... Februari 2018


Pembimbing,

(dr. Imamatul Ibaroh, Sp.M, MSc)


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena atas
karunia-Nya journal reading dengan topik “Glaukoma Sudut Tertutup Primer” dapat selesai
dengan semestinya. Journal reading ini disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam
untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik departemen Ilmu Kesehatan Mata periode 15 Januari
– 17 Februari 2018. Journal reading ini mengangkat topik mengenai glaucoma sudut tertutup
primer sesuai dengan penelitian dan pedomat terbaru.
Seperti pepatah “tiada gading yang tak retak”, penulis menyadari bahwa tulisan ini masih
memiliki banyak kekurangan, bahkan jauh dari sempurna. Kritik dan saran sangat diharapkan
penulis guna menyempurnakan tulisan ini pada kesempatan-kesempatan berikutnya. Penulis
menaruh harapan besar agar tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi semua yang
membutuhkannya.

Tegal, 28 Januari 2018


Penulis,

Atika Rosada
030.12.037

3
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................... 1


LEMBAR PERSETUJUAN .................................................................................... 2
KATA PENGANTAR ............................................................................................. 3
DAFTAR ISI............................................................................................................ 4

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 5


BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 6
2.1 Definisi .......................................................................................... 6
2.2 Epidemiologi ................................................................................. 6
2.3 Patofisiologi .................................................................................. 6
2.4 Faktor Risiko ................................................................................. 8
2.5 Klasifikasi ..................................................................................... 9
2.6 Diagnosis..................................................................................... 12
2.7 Tatalaksana ................................................................................. 17
2.8 Komplikasi .................................................................................. 21
2.9 Prognosis ..................................................................................... 21

BAB III JOURNAL READING ........................................................................ 22


DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 39

4
BAB I
PENDAHULUAN

Glaukoma merupakan suatu neuropati optik yang ditandai dengan pencekungan


“cupping” diskus optikus dan penyempitan lapang pandang yang disertai dengan peningkatan
tekanan intraokuler yang merupakan faktor resiko terjadinya glaukoma. Mekanisme
peningkatan tekanan intraokuler pada glaukoma dipengaruhi oleh gangguan aliran keluar
humor aquos.1
Menurut website WHO, glaukoma merupakan penyebab kebutaan nomor tiga di dunia.
Diperkirakan jumlah orang dengan kebutaan akibat glaukoma adalah 4,5 juta, atau sekitar 12%
dari seluruh kebutaan. Survei di Rom Klao District Thailand diperoleh hasil 40,7% penderita
glaukoma menderita kebutaan setidaknya pada satu mata (Bourne et al 2003)3, survei di Dhaka
Bangladesh sebesar 20,1% (Rahman et al 2004)20 dan survei pada ras Melayu di Singapura
sebesar 10%.2
Penelitian prevalensi glaukoma di berbagai negara menunjukkan sebagian besar
glaukoma merupakan glaukoma primer, yaitu glaukoma sudut terbuka (primery open angle
glaucoma, POAG) yang proporsinya paling banyak, diikuti glaukoma primer sudut tertutup
(primary angle closure glaucoma, PACG). Dari total pasien yang baru didiagnosis menderita
glaukoma sudut tertutup di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, sebesar 26.4% dating
dalam kondisi telah mengalami glaucoma absolut, dan 41,4% dalam kondisi lanjut. Hanya 16,1
yang datAng dalam kondisi masih ringan atau sedang, serta 5,8% datang dalam kondisi belum
ada kerusakan mata.2
Pada glaukoma akut terjadi gangguan penglihatan yang tiba-tiba atau didahului
beberapa tanda seperti nyeri kepala, nyeri bola mata, penglihatan kabur sebentar atau melihat
warna pelangi di sekitar lampu. Seringkali penderita glaukoma akut datang terlambat karena
dikira penyakit lain atau gangguan penglihatan diharapkan dapat membaik dengan sendirinya.
Oleh karena itu perlu dibahas lanjut terutama mengenai glaukoma primer sudut tertutup sesuai
dengan keilmuan yang terbaru.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Glaukoma merupakan suatu neuropati optik yang ditandai dengan pencekungan
“cupping” diskus optikus dan penyempitan lapang pandang yang disertai dengan peningkatan
tekanan intraokuler yang merupakan faktor resiko terjadinya glaukoma. Mekanisme
peningkatan tekanan intraokuler pada glaukoma dipengaruhi oleh gangguan aliran keluar
humor aquos.1

2.2 Epidemiologi
Menurut pusat data dan informasi kesehatan republik Indonesia tahun 2015, sebesar 1,5
% penduduk Indonesia mengalami kebutaan, dengan prevalensi kebutaan akibat glaucoma
sebesar 0,20%. Menurut riskesdas dan hasil Jakarta Urban Eye Health Study, diduga bahwa
sebagian besar penderita glaucoma belum terdeteksi. Dari total pasien yang baru didiagnosis
menderita glaukoma sudut tertutup di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, sebesar
26.4% dating dalam kondisi telah mengalami glaucoma absolut, dan 41,4% dalam kondisi
lanjut. Hanya 16,1 yang datAng dalam kondisi masih ringan atau sedang, serta 5,8% datang
dalam kondisi belum ada kerusakan mata.2

2.3 Patofisiologi
2.3.1 Fisiologi Aqueous Humor
Tekanan intraokuler ditentukan oleh kecepatan pembentukan humor aquos dan
tahanan terhadap aliran keluarnya dari mata. Humor aquos merupakan cairan jernih
yang mengisi kamera okuli anterior dan posterior. Volume humor aquos sekitar 250 µL,
dan kecepatan pembentukannya 2,5 µL/menit. Komposisi humor aquos hampir sama
dengan komposisi plasma, yaitu mengandung askorbat, piruvat, laktat, protein, dan
glukosa. Humor aquos merupakan media refrakta jadi harus jernih. Sistem pengeluaran
humor aquos terbagi menjadi 2 jalur, yaitu sebagian besar melalui sistem vena dan
sebagian kecil melalui otot ciliaris. 1,3
Pada sistem vena, humor aquos diproduksi oleh prosesus ciliaris masuk
melewati kamera okuli posterior menuju kamera okuli anterior melalui pupil. Setelah
melewati kamera okuli anterior cairan humor aquos menuju trabekula meshwork ke
angulus iridokornealis dan menuju kanalis Schlemm yang akhirnya masuk ke sistem

6
vena. Aliran humor aquos akan melewati jaringan trabekulum sekitar 90 %. Sedangkan
sebagian kecil humor aquos keluar dari mata melalui otot siliaris menuju ruang
subrakoroid untuk selanjutnya keluar melalui sklera atau saraf maupun pembuluh
darah. Jalur ini disebut juga jalur uveosklera (10-15%).1,3

Gambar struktur segmen anterior. Tanda panah menerangkan aliran aquous humor1

2.3.2 Patofisiologi Glaukoma3,4


Terdapat tiga faktor penting yang menentukan tekanan bola mata, Yaitu: jumlah
produksi akuos oleh badan siliar, tahanan aliran akuos humor yang melalui sistem
trabekular meshwork-kanalis Schlem. level dari tekanan vena episklera. Pada glaukoma
kronik sudut terbuka, kenaikan tekanan intraokular disebabkan adanya
gangguan/hambatan pengaliran keluar akuos humor karena perubahan degeneratif pada
jaringan trabekulum.
Pada glaukoma sudut tertutup hambatan terjadi karena iris perifer menutup
sudut mata bilik depan, sehingga jaringan trabekulum tidak dapat dicapai oleh akuos
humor. Hal ini terjadi bila bilik mata depan secara anatomis sempit/dangkal. Pada bilik
mata depan yang dangkal dapat terjadi hambatan aliran akuos humor dari bilik mata
belakang ke bilik mata depan, yang dinamakan pupillary block. Hambatan ini
menyebabkan meningkatnya tekanan di bilik mata belakang. Pada sudut bilik mata
depan yang sempit, dorongan ini akan menyebabkan iris menutupi jaringan trabekulum
sehingga akuos humor tidak dapat atau sukar mencapai jaringan trabekulum
Proses kerusakan papil saraf optik (cupping) akibat tekanan intra okuli yang
tinggi atau gangguan vaskular ini akan bertambah luas seiring dengan terus
berlangsungnya kerusakan jaringan sehingga skotoma pada lapangan pandang makin

7
bertambah luas. Pada akhirnya terjadi penyempitan lapangan pandang dari ringan
sampai berat. Glaucomatous optic neuropathy adalah tanda dari semua bentuk
glaukoma. cupping glaucomatous awal terdiri dari hilangnya akson-akson, pembuluh
darah dan sel glia. Perkembangan glaucomatous optic neuropathy merupakan hasil dari
berbagai variasi faktor, baik instriksi maupun ekstrinsik. Kenaikan TIO memegang
peranan utama terhadap perkembangan glaucomatous optic neuropathy.
Terdapat dua hipotesis yang menjelaskan perkembangan glaucomatous optic
neuropathy, teori mekanik dan iskemik. Teori mekanik menekankan pentingnya
kompresi langsung serat-serat akson dan struktur pendukung nervus optikus anterior,
dengan distorsi lempeng
lamina kribrosa dan interupsi aliran aksoplasmik, yang berakibat pada kematian
sel ganglion retina (RGCs). Teori iskemik fokus pada perkembangan potensial iskemik
intraneural akibat penurunan perfusi nervus atau proses instrinsik pada nervus optikus.
Gangguan autoregulasi pembuluh darah mungkin menurunkan perfusi dan
mengakibatkan
gangguan saraf. Pembuluh darah optik secara normal meningkat atau
menurunkan tekanannya memelihara aliran darah konstan, tidak tergantung TIO dan
variasi tekanan darah.
Pemikiran terbaru tentang glaucomatous optic neuropathy mengatakan bahwa
kedua faktor mekanik dan pembuluh darah mungkin berperan terhadap kerusakan.
Glaukoma adalah seperti suatu kelainan family heterogen dan kematian sel ganglion
terlihat pada glaucomatous optic neuropathy yang bermediasi oleh banyak faktor.
Di samping tingginya tekanan intraokular, adanya insufisiensi vaskular
merupakan faktor lain yang berperan dalam terjadinya glaukoma. Peranan insufisiensi
vaskular terlihat pada mata dengan tekanan intraokular yang terkontrol namun tetap
terjadi kerusakan saraf dan kemunduran penglihatan. Penderita dengan penyakit
sistemik seperti diabetes, hipertensi maupun hipotensi memiliki risiko lebih tinggi
untuk menderita kerusakan saraf optik akibat tekanan intraokular yang tinggi. Ada pula
glaukoma yang terjadi tanpa adanya peningkatan tekanan intraokular

2.4 Faktor Risiko


Pada banyak kasus peningkatan bola mata dapat disebabkan oleh peningkatan resistensi
aliran akuos humor. Beberapa faktor risiko dapat menyertai perkembangan suatu glaukoma

8
termasuk riwayat keluarga, usia, jenis kelamin, ras, genetik, variasi diurnal, olahraga, obat-
obatan.5

2.5 Klasifikasi
Glaukoma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi maupun berdasarkan
peningkatan tekanan intraokular. Berdasarkan etiologi, glaucoma dapat diklasifikasikan
menjadi glaukoma primer, glaukoma kongenital, glaukoma sekunder, dan glaukoma absolut.1,6

Gambar Klasifikasi Glaukoma berdasarkan etiologi1


Berdasarkan mekanisme peningkatan tekanan intraokular, glaucoma dibagi menjadi
glaukoma sudut terbuka dan glaukoma sudut tertutup.

Gambar Klasifikasi Glaukoma berdasarkan mekanisme peningkatan tekanan intraokular. 1

9
1. Glaukoma Sudut Terbuka 3,6
Penyebabnya secara umum adalah sebagai suatu ketidaknormalan pada matriks
ekstraselular trabekular meshwork dan pada sel trabekular pada daerah jukstakanalikuler,
meskipun juga ada di tempat lain. Sel trabekular dan matriks ekstraselular disekitarnya
diketahui ada pada tempat agak sedikit spesifik.
 Glaukoma Primer Sudut Terbuka/Primary Open Angle Glaucoma (POAG)
POAG terjadi ketika tidak terdapat penyakit mata lain atau penyakit sistemik yang
menyebabkan peningkatan hambatan terhadap aliran akuos atau kerusakan terhadap saraf
optik, biasanya disertai dengan peningkatan TIO. Glaukoma primer sudut terbuka
merupakan jenis glaukoma terbanyak dan umumnya mengenai umur 40 tahun ke atas.
POAG dikarakteristikkan sebagai suatu yang kronik, progresif lambat, optik neuropati
dengan pola karakteristik kerusakan saraf optik dan hilangnya lapangan pandang. POAG
didiagnosa dengan suatu kombinasi penemuan termasuk tingkat TIO, gambaran diskus
optik, dan hilangnya lapangan pandang. Tekanan bola mata merupakan faktor resiko
penting walaupun beberapa keadaan lain dapat menjadi factor yang berpengaruh seperti
riwayat keluarga, ras, miopia, diabetes mellitus dan lain-lain.
Patogenesis naiknya TIO pada POAG disebabkan oleh karena naiknya tahanan
aliran akuos humor di trabekular meshwork. Kematian sel ganglion retina timbul terutama
melalui apoptosis (program kematian sel) daripada nekrosis. Banyak faktor yang
mempengaruhi kematian sel, tetapi pendapat terbaru masih dipertentangkan adalah
kerusakan akibat iskemik dan mekanik.
 Glaukoma dengan Tensi Normal
Kondisi ini adalah bilateral dan progresif, dengan TIO dalam batas normal. Banyak
ahli mempunyai dugaan bahwa faktor pembuluh darah lokal mempunyai peranan penting
pada perkembangan penyakit. Merupakan bagian dari glaukoma primer sudut terbuka,
tanpa disertai peningkatan TIO.
 Glaukoma Sekunder Sudut Terbuka
Bila terjadi peningkatan tekanan bola mata sebagai akibat menifestasi penyakit lain
maka glaukoma ini disebut sebagai glaukoma sekunder. Contoh glaukoma jenis ini adalah:
• Sindroma Pseudoeksfoliasi (Exfoliation Syndrome)
• Galukoma Pigmenter (Pigmentary Glaucoma)
• Glaukoma akibat kelainan lensa
• Glaukoma akibat tumor intraokuli

10
• Glaukoma akibat inflamasi intraokuli
Pada glaukoma pseudoeksfoliasi dijumpai endapan bahanbahan berserat mirip
serpihan pada kapsul dan epitel lensa, pinggir pupil, epitel siliar, epitel pigmen iris, stroma
iris, pembuluh darah iris, dan jaringan subkonjungtiva. Pada glaukoma ini material
serpihan tersebut akan mengakibatkan obstruksi trabekulum dan mengganggu aliran akuos
humor. Asal material ini secara pasti tidak diketahui, kemungkinan berasal dari berbagai
sumber sebagai bagian dari kelainan membaran dasarumum.

2. Glaukoma Sudut Tertutup1,3


Glaukoma sudut tertutup didefenisikan sebagai aposisi iris perifer terhadap trabekular
meshwork dan menghasilkan penurunan aliran akuos humor melalui sudut bilik mata.
Mekanisme terjadinya glaukoma sudut tertutup dibagi dalam 2 kategori yaitu :
• Mekanisme yang mendorong iris ke depan dari belakang
• Mekanisme yang menarik iris ke depan dan kontak dengan trabecular meshwork. Blok
pupil yang terjadi akibat iris yang condong kearah depan sering menyebabkan glaukoma
sudut tertutup. Aliran akuos humor dari posterior ke anterior akan terhalang. Dengan
diproduksinya akuos humor terus-menerus sementara tekanan bola mata terus naik, maka
akan sekaligus menyebabkan terjadinya pendorongan iris menekan jaringan trabekulum
sehingga sudut bilik mata menjadi sempit..
 Glaukoma Primer Sudut Tertutup dengan Blok Pupil Relatif
Glaukoma dengan blok pupil relatif ini timbul bila terdapat hambatan gerakan akuos
humor melalui pupik karena iris kontak dengan lensa, capsular remnants, anterior hyaloid
atau vitreous-occupying substance (udara, minyak silikon). Blok pupil relatif ini
diperkirakan penyebab yang mendasari lebih dari 90 % glaukoma primer sudut tertutup.
 Glaukoma Sudut Tertutup Akut
Timbul ketika tekanan intra okuli meningkat dengan cepat sebagai akibat bendungan
yang tiba-tiba dari trabekular meshwork oleh iris. Khasnya terjadi nyeri mata, sakit kepala,
kabur, halo, mual, muntah, karena tingginya TIO menyebabkan edema epitel.
 Glaukoma Sudut Tertutp Subakut (Intermiten)
Glaukoma sudut tertutup akut yang berulang dengan gejala ringan dan sering
didahului dengan peningkatan tekanan intra okuli. Gejala yang timbul dapat hilang secara
spontan, terutama pada waktu tidur karena dapat menginduksi miosis.
 Glaukoma Sudut Tertutup Kronik

11
Tekanan intra okuli meningkat disebabkan bentuk ruang anterior yang bervariasi dan
menjadi tertutup secara permanen oleh sinekia posterior. Penyakit ini cenderung
terdiagnosa pada stadium akhir, sehingga menjadi penyebab kebutaan terbanyak di Asia
Tenggara.
 Glaukoma Sekunder Sudut Tertutup dengan Blok Pupil
Dapat disebabkan oleh glaukoma fakomorfik (disebabkan oleh lensa yang
membengkak), ektopia lentis (perubahan letak lensa dari posisi anatomisnya), blok pupil
juga dapat terjadi pada mata afakia dan pseudofakia.
 Glaukoma Sudut Tertutup tanpa Blok Pupil
Glaukoma Sekunder ini dapat terjadi oleh karena 1 dari 2 mekanisme berikut:
1. Kontraksi dari inflamasi, perdarahan, membran pembuluh darah, band, atau eksudat
pada sudut yang menyebabkan perifer anterior sinekia (PAS).
2. Perubahan tempat ke depan dari diafragma lensa-iris, sering disertai
pembengkakan dan rotasi ke depan badan siliar. Yang termasuk glaukoma ini seperti
glaukoma neovaskular, sindrom iridokorneal endothelial (ICE), tumor, inflamasi, aquos
misdirection, dan lain-lain..
 Sindrom Plateau
Gambarannya sebagai suatu konfigurasi yang tidak khas dari sudut kamera okuli
anterior sebagai akibat dari glaukoma akut dan kronik. Glaukoma sudut tertutup primer
dengan atau tanpa komponen blok pupil, tetapi lebih sering terjadi blok pupil.

3. Glaukoma Kongenital 1,6


Glaukoma kongenital biasanya sudah ada sejak lahir dan terjadi akibat gangguan
perkembangan pada saluran humor aquos. Glaukoma kongenital seringkali diturunkan. Pada
glaukoma kongenital sering dijumpai adanya epifora dapat juga berupa fotofobia serta
peningkatan tekanan intraokuler. Glaukoma kongenital terbagi atas glaukoma kongenital
primer (kelainan pada sudut kamera okuli anterior), anomali perkembangan segmen anterior,
dan kelainan lain (dapat berupa aniridia, sindrom Lowe, sindom Sturge-Weber dan rubela
kongenital).

2.6 Gejala dan Tanda3,7


Keluhan yang sering timbul adalah munculnya kekaburan penglihatan mendadak yang
disertai nyeri hebat, halo, serta mual dan muntah. Temuan – temuan lainnya adalah peningkatan

12
tekanan intraokular yang mencolok, bilik mata depan dangkal, kornea berkabut, pupil
berdilatasi sedang yang terfiksasi, dan injeksi siliar. Mata sebelahnya harus dilakukan
pemeriksaan gonioskopi untuk memastikan adanya predisposisi anatomi terhadap glaukoma
sudut tertutup primer.
a. Peningkatan TIO
Normal TIO berkisar 10-21 mmHg (rata-rata 16 mmHg). Tingginya TIO
menyebabkan kerusakan saraf optik tergantung beberapa faktor, meliputi tingginya
TIO dan apakah glaukoma dalam tahap awal atau lanjut. Secara umum, TIO dalam
rentang 20-30 mmHg biasanya menyebabkan kerusakan dalam tahunan. TIO yang
tinggi 40-50 mmHg dapat menyebabkan kehilangan penglihatan yang cepat dan
mencetuskan oklusi pembuluh darah retina.
b. Halo sekitar cahaya dan kornea yang keruh
Kornea akan tetap jernih dengan terus berlangsungnya pergantian cairan oleh
sel-sel endotel. Jika tekanan meningkat dengan cepat (glaukoma akut sudut tertutup),
kornea menjadi penuh air, menimbulkan halo di sekitar cahaya.
Selain kelainan pada korna, kelainan lain dapat ditemukan pada struktur mata yang lain:
 Palpebra : Bengkak
 Konjungtiva bulbi : Hiperemia kongestif, kemosis dengan injeksi silier, injeksi
konjungtiva, injeksi episklera
 Kornea : keruh, insensitif karena tekanan pada saraf kornea
 Bilik mata depan : Dangkal
 Iris : gambaran coklat bergaris tak nyata karena edema, berwarna kelabu.
 Pupil : Melebar, lonjong, miring agak vertikal, kadang-kadang didapatkan midriasis
yang total, warnanya kehijauan, refleks cahaya lamban atau tidak ada samasekali
c. Nyeri
d. Penyempitan lapang pandang
Tekanan yang tinggi pada serabut saraf dan iskemia kronis pada saraf optic
menimbulkan kerusakan dari serabut saraf retina yang biasanya menghasilkan
kehilangan lapang pandang (skotoma). Pada glaukoma stadium akhir kehilangan
lapang penglihatan terjadi sangat berat (tunnel vision), meski visus pasien masih 6/6.
e. Perubahan pada diskus optik. Kenaikan TIO berakibat kerusakan optik berupa
penggaungan dan degenerasi papil saraf optik9. f. Oklusi vena9
g. Pembesaran mata

13
Pada dewasa pembesaran yang signifikan tidak begitu tampak. Pada anak-anak
dapat terjadi pembesaran dari mata (buftalmus).

2.7 Diagnosis
Diagnosis dari glaukoma sudut tertutup primer ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik sesuai dengan tanda dan gejala glaucoma primer sudut tertutup yang telah
dijelaskan sebeluumnya, selain itu perlu dilakukan pemeriksaan sebagai berikut:1,8
 Pemeriksaan Tajam Penglihatan atau visus
Pemeriksaan ini untuk menilai fungsi/tajam penglihatan dengan menggunakan
kartu Snellen atau E. Pada kartu tersebut dapat dilihat angka yang menyatakan jarak di
mana huruf yang tertera pada kartu dapat dilihat oleh mata normal. Tajam penglihatan
seseorang dikatakan normal bila tajam penglihatan adalah 6/6 atau 100%, yaitu jika
dapat melihat huruf yang oleh orang normal huruf dapat dilihat pada jarak 6 meter, pada
jarak 6 meter juga. Tajam penglihatan 6/60 berarti dapat melihat pada jarak 6 meter
yang oleh orang normal huruf tersebut dapat dilihat pada jarak 60 meter.
 Penilaian Diskus Optikus
Pada glaukoma, mungkin terdapat pembesaran konsentrik cawan optik atau
pencekungan (cupping) superior dan inferior dan disertai pembentukan takik (notching)
fokal di tepi diskus optikus. Kedalaman cawan optik juga meningkat karena lamina
kribrosa tergeser ke belakang. Seiring dengan pembentukan cekungan, pembuluh retina
di diskus tergeser ke arah hidung. Hasil akhir proses pencekungan pada glaukoma
adalah apa yang disebut sebagai cekungan “bean-pot” (periuk), yang tidak
memperlihatkan jaringan saraf di bagian tepinya.
“Rasio cawan-diskus” adalah cara yang berguna untuk mencatat ukuran diskus
optikus pada pasien glaukoma. Besaran tersebut adalah perbandingnan antara ukuran
cawan optik terhadap diameter diskus, misalanya, cawan kecil – rasionya 0.1 dan cawan
besar – 0.9. apabila terdapat kehilangan lapangan pandang atau peningkatan tekanan
intraokular, rasio cawan-diskus leih dari 0.5 atau terdapat asimetri yang bermakna
antara kedua mata sangat diindikasikan adanya atrofi glaukomatosa.
Penilaian klinis diskus optikus dapat dilakukan dengan oftalmoskopi langsung
atau dengan pemeriksaan menggunakan lensa 78 dioptri atau lensa kontak kornea
khusus yang memberi gambaran tiga dimensi.

14
Bukti klinis lain adanya kerusakan neuron pada glaukoma adalah atrofi lapisan
serat saraf retina, yang mendahului timbulnya kelainan diskus optikus. Kerusakan ini
dapat terdeteksi dengan oftalmoskopi atau foto fundus, keduanya dilengkapi dengan
cahaya bebas – merah, optical coherence tomography, scanning laser polarimetry, atau
scanning laser tomography
 Tonometri
Tonometri adalah pemeriksaan untuk mengukur tekanan bola mata/
intraokular. Untuk mengukur tekanan intraokular dapat dilakukan dengan
cara sebagai berikut:
- palpasi atau menggunakan jari telunjuk
- indentasi dengan tonometer Schiotz
- aplanasi dengan tonometer aplanasi Goldman
- non kontak pneumotonometri
Rentang tekanan intraokular normal adalah 10-21 mmHg. Penyebaran
didasarkan pada distribusi Gauss, tetapi dengan kurva miring ke kanan. Pada usia lanjut,
rerata tekanan intraokularnya lebih tinggi sehingga batas atasnya adalah 24 mmHg.
Pada glaukoma sudut terbuka primer, 32-50% individu yang terkena akan
memperlihatkan tekanan intraokular yang normal saat pertama kali diperiksa.
Sebaliknya, peningkatan tekanan intraokular semata tidak selalu diartikan bahwa pasien
mengidap glaukoma sudut terbuka primer; untuk menegakkan diagnosis diperlukan
bukti – bukti lain seperti adanya diskus optikus glaukomatosa atau kelainan lapangan
panadng. Apabila tekanan intraokular terus – menerus meninggi sementara diskus
optikus dan lapangan pandang normal (hipertensi okular), pasien dapat diobservasi
secara berkala sebagai tersangka glaukoma.
 Gonioskopi
Gonioskopi adalah pemeriksaan sudut bilik mata depan dengan menggunakan
lensa kontak khusus. Untuk glaukoma gonioskopi diperlukan untuk menilai lebar
sempitnya bilik mata depan. Dengan gonioskopi dapat dibedakan sudut terbuka atau
tertutup, apakah ada perlekatan iris di bagian perifer dan kelainan lainnya.
 Pemeriksaan Lapang Pandangan (Kampimetri)
Pemeriksaan lapangan pandang secara teratur berperan penting dalam diagnosis
dan tindak lanjut glaukoma. Penurunan lapangan pandang akibat glaukoma itu sendiri
tidak spesifik karena gangguan ini terjadi akibat defek berkas serat saraf yang dapat

15
dijumpai pada semua penyakit nervus optikus; namun, pola kelainan lapangan pandang,
sifat progresivitas, dan hubungannya dengan kelainan – kelainan diskus optikus
merupakan cirri khas penyakit ini.
Gangguan lapangan pandang akibat glaukoma terutama mengenai 30 derajat
lapangan pandang bagian sentral. Perubahan paling dini adalah semakin nyatanya
bintik buta. Perluasan kontinyu ke lapangan pandang daerah Bjerrum – 15 derajat dari
fiksasi – membentuk skotoma Bjerrum, kemudian skotoma arkuata. Daerah – daerah
penururnan lapangan pandang yang lebih parah di dalam daerah bjerrum dikenal
sebagai skotoma seidel. Skotoma arkuata ganda di atas dan di bawah meridian
horizontal – sering disertai oleh nasal step (Roenne) karena perbedaan ukuran kedua
defek arkuata tersebut. Pengecilan lapangan pandang perifer cenderung berawal dai
perifer nasal sebagai konstriksi isopter. Selanjutnya, mungkin terdapat hubungan ke
defek arkuata, menimbulkan breakthrough perifer. Lapangan pandang perifer temporal
dan 5-10 derajat sentral baru terpengaruh pada stadium lanjut penyakit. Ketajaman
penglihatan sentral bukan merupakan petunjuk perkembangan penyakit yang dapat
diandalkan. Pada stadium akhir penyakit, ketajaman penglihatan sentral mungkin
normal tetapi hanya 5 derajat lapangan panang di tiap-tiap mata. Pada glaukoma lanjut,
pasien mungkin memiliki ketajaman penglihatan 20/20 tetapi secara legal buta..
Berbagai cara untuk memeriksa lapangan pandang pada glaukoma adalah
automated perimeter (missal Humphrey, Octopus, atau Henson), perimeter Goldmann,
Friedmann fiel analyzer, dan layar tangent. Conventional automated perimetry, paling
sering menggunakan perimeter Humphrey, dengan stimulus putih pada latar belakang
putih (perimetri white on white). Defek lapangan pandang tidak terdeteksi sampai kira
– kira terdapat kerusakan ganglion retina sebanyak 40%. Berbagai penyempurnaan
untuk mendeteksi kelainan lapangan pandang dini di antaranya adalah perimetri blue
on yellow, juga dikenal sebagai short-wavelength automated perimetry (SWAP),
frequency-doubling perimetry (FDP), dan high-pass reolution perimetry.

16
2.8 Talaksana
TERAPI MEDIKAMENTOSA9,10
 Supresi Pembentukan Humor Aqueus
1. Golongan β-adrenergik Bloker
Obat golongan ini dapat digunakan sebagai monoterapi atau dengan kombinasi
dengan obat yang lain. Contoh obat golongan β adrenergic bloker misalnya timolol
maleat 0,25% dan 0.5%, betaxolol 0,25% dan 0,5%, levobunolol dan lain-lain. Timolol
maleat merupakan β-adrenergik non selektif baik β1 atau β2. Timolol tidak memiliki
aktivitas simpatomimetik, sehingga apabila diteteskan pada mata dapat mengurangi
tekanan intraokuler. Timolol dapat menurunkan tekanan intraokuler sekitar 20-
30%.15,16 Reseptor β- adrenergik terletak pada epitel siliaris, jika reseptornya
terangsang aktifitas sekresinya akan meningkatkan inflow humor aquos melalui proses
komplek enzim adenyl cyclase-reseptor sehingga menurunkan produksi humor aquos.
Farmakodinamik golongan β-adrenergic bloker dengan cara menekan
pembentukan humor aquos sehingga tekanan intraokuler dapat turun. Sedangkan
farmakokinetiknya sebagian besar diserap dengan baik oleh usus secara peroral
sehingga bioavaibilitas rendah , dan memiliki kadar puncak dalam plasma mencapai 1
sampa 3 jam. Kebanyakan golongan β-adrenergic bloker memiliki waktu paruh antara
3 sampai 10 jam. Waktu ekskresi yang dibutuhkan ginjal untuk mengeluarkan obat
golongan ini dapat diperpanjang apabila terdapat hambatan aliran darah yang menuju
ke hati atau hambatan enzim hati.
Penggunaan obat golongan ini dalam jangka lama dapat mengakibatkan
kontraindikasi berupa obstruksi jalan napas kronik. Indikasi pemakaian diberikan pada
pasien glaukoma sudut terbuka sebagai terapi inisial baik secara tunggal atau kombinasi
terapi dengan miotik. Indikasi lainnya dapat diberikan pada glaukoma inflamasi,
hipertensi okuler dan glaukoma kongenital.
2. Golongan α2-adrenergik Agonis
Golongan α2-adrenergik agonis obat ini dibagi menjadi 2 yaitu selektif dan tidak
selektif. Golongan α2-adrenergic agonis yang selektif misalnya apraklonidin memiliki
efek menurunkan produksi humor aquos, meningkatkan aliran keluar humor aquos
melalui trabekula meshwork dengan menurunkan tekanan vena episklera dan dapat juga
meningkatkan aliran keluar uveosklera.
Farmakokinetik dari pemberian apraklonidin 1% dalam waktu 1 jam dapat
menghasilkan penurunan tekanan intraokuler yang cepat paling sedikit 20% dari
17
tekanan intraokuler awal. Efek maksimal dari apraklonidin dalam menurunkan tekanan
intraokuler dapat terjadi sekitar 3-5 jam setelah pemberian terapi.
Indikasi penggunaan apraklonidin untuk mengontrol peningkatan akut tekanan
intraokuler pasca tindakan laser. Sedangkan kontraindikasi pemakaian obat ini apabila
pasien dengan mono amin oksidase (MAO) dan trisiklik depresan karena
mempengaruhi metabolisme dan uptake katekolamin.
3. Penghambat Karbonat Anhidrase
a. Asetasolamid Oral
Asetasolamid oral merupakan obat yang sering di gunakan karena dapat
menekan pembentukan humor aquos sebanyak 40-60%. Bekerja efektif dalam
menurunkan tekanan intraokuler apabila konsentrasi obat bebas dalam plasma ±2,5
µM.16,18 Apabila diberikan secara oral, konsentrasi puncak pada plasma dapat
diperoleh dalam 2 jam setelah pemberian dapat bertahan selama 4-6 jam dan
menurun dengan cepat karena ekskresi pada urin.
Indikasi asetasolamid terutama untuk menurunkan tekanan intraokuler,
mencegah prolaps korpus vitreum, dan menurunkan tekanan introkuler pada pseudo
tumor serebri. Kontraindikasi relatif untuk sirosis hati, penyakit paru obstruktif
menahun, gagal ginjal, diabetes ketoasidosis dan urolithiasis.
Efek samping yang paling sering dikeluhkan parastesi dan inisial diuresis,
sedangkan efek lain yang dapat muncul apabila digunakan dalam jangka lama antara
lain metalic taste, malaise, nausea, anoreksia, depresi, pembentukan batu ginjal,
depresi sumsum tulang, dan anemia aplastik.
b. Penghambat Karbonat Anhidrase Topikal
Penghambat karbonat anhidrase topikal bersifat larut lemak sehingga bila
digunakan secara topikal daya penetrasi ke kornea relatif rendah. Pemberian
dorsolamid topikal akan terjadi penetrasi melalui kornea dan sklera ke epitel tak
berpigmen prosesus siliaris sehingga dapat menurunkan produksi humor aqueus dan
HCO3- dengan cara menekan enzim karbonik anhidrase II. Penghambat karbonik
anhidrase topikal seperti dorsolamid bekerja efektif menurunkan tekanan
intraokuler karena konsentrasi di prosesus siliaris mencapai 2-10µM.17 Penghambat
karbonat anhidrase topikal (dorsolamid) dapat menurunkan tekanan intraokuler
sebesar 15-20%.
Indikasi pemberian untuk mengontrol glaukoma baik jangka pendek maupun
jangka panjang, sebagai obat tunggal atau kombinasi. Indikasi lain untuk mencegah

18
kenaikan tekanan intraokuler pasca bedah intraokuler. Efek samping lokal yang
dijumpai seperti mata pedih, keratopati pungtata superfisial, dan reaksi alergi. Efek
samping sistemik jarang dijumpai seperti metalic taste, gangguan gastrointestinal
dan urtikaria.

 Fasilitasi Aliran Keluar Humor Aqueus


1. Parasimpatomimetik
Golongan obat parasimpatomimetik dapat menimbulkan efek miosis pada mata
dan bersifat sekresi pada mata, sehingga menimbulkan kontraksi muskulus ciliaris
supaya iris membuka dan aliran humor aquos dapat keluar.
2. Analog prostaglandin
Analog prostaglandin merupakan obat lini pertama yang efektif digunakan pada
terapi glaukoma misalnya, latanopros. Latanopros merupakan obat baru yang paling
efektif katena dapat ditoleransi dengan baik dan tidak menimbulkan efek samping
sistemik.
Farmakokinetik latanopros mengalami hidrolisis enzim di kornea dan diaktifkan
menjadi asam latanopros. Penurunan tekanan intraokuler dapat dilihat setelah 3-4 jam
setelah pemberian dan efek maksimal yang terjadi antara 8-12 jam.
Cara kerja obat ini dengan meningkatkan aliran keluarnya humor aqueus melalui
uveosklera. Obat ini diindikasikan pada glaukoma sudut terbuka, hipertensi okuler yang
tidak toleran dengan antiglaukoma lain. kontrandikasi pada pasien yang sensitif dengan
latanopros.

 Penurunan Volume Vitreus


Obat yang digunakan dalam menurunkan volume vitreus dapat menggunakan
obat hiperosmotik dengan cara mengubah darah menjadi hipertonik sehingga air tertarik
keluar dari vitreus dan menyebabkan pengecilan vitreus sehingga terjadi penurunan
produksi humor aquos. Penurunan volume vitreus bermanfaat dalam pengobatan
glaukoma sudut tertutup akut dan maligna yang menyebabkan pergeseran lensa kristalina
ke anterior yang menyebabkan penutupan sudut ( glaukoma sudut tertutup sekunder ).

19
Terapi Bedah dan Laser 1,11

a) Iridoplasti, Iridektomi dan Iridotomi Perifer

Blokade pupil pada glaukoma sudut tertutup paling baik diatasi dengan
membentuk saluran langsung antara bilik mata depan dan belakang sehingga tidak ada
perbedaan tekanan di antara keduanya. Iridotomi perifer paling baik dilakukan dengan
laser YAG:neodymium walaupun laser argon mungkin diperlukan pada iris berwarna
gelap. Tindakan bedah iridektomi perifer dilakukan bila iridotomi laser YAG tidak
efektif. Iridotomi laser YAG menjadi suatu tindakan pencegahan bila dikerjakan pada
sudut sempit sebelum serangan penutupan sudut.

b) Trabekuloplasti Laser

Penggunaan laser (biasanya argon) untuk menimbulkan bakaran melalui suatu


lensa – gonio ke anyaman trabekular akan memudahkan aliran keluar aquous humor;
ini terjadi karena efek yang dihasilkan pada anyaman trabekular dank anal Schlemm,
atau adanya proses – proses selular yang meningkatkan fungsi anyaman trabekular.
Teknik ini dapat diterapkan pada beragam bentuk glaukoma sudut terbuka, dan hasilnya
bervariasi tergantung pada penyebab yang mendasari. Trabekuloplasti laser dapat
digunakan dalam terapi awal glaukoma sudut terbuka primer. Pada sebagian besar
kasus, tekanan intraokular perlahan – lahan akan kembali ke tingkat praterapi dalam 2
– 5 tahun. Hasil tindakan bedah drainase glaukoma berikutnya dapat dipengaruhi tanpa
disengaja.

c) Bedah Drainase Glaukoma


Trabekulotomi adalah prosedur yang paling sering digunakan untuk memintas
saluran – saluran drainase normal sehingga terbentuk akses langsung aquou humor dari
bilik mata depan ke jaringan subkonjungtiva dan orbita. Komplikasi yang utama adalah
fibrosis jaringan episklera, yang menyebabkan penutupan jalur drainase baru tersebut.
Terapi adjuvant pra- dan pascaoperasi dengan antimetabolit, seperti 5-fluorouracil dan
mitomycin C memperkecil risiko kegagalan blebdan dikaitakan dengan control tekanan
intraokular yang baik.
Penanaman selang silikon untuk membentuk saluran keluar permanen bagi
aquous humor adalah tindakan alternatif untuk mata yang tampaknya tidak berespons

20
terhadap trabekulotomi. Ini meliputi mata dengan glaukoma sekunder – terutama
glaukoma neovaskular – dan glaukoma pascabedah tandur kornea.
Viskokanalostomi dan sklerektomi dalam dengan implan kolagen
menghindarkan dilakukannya insisi ketebalan penuh ke dalam mata. Penurunan
tekanan intraokular yang dihasilkan tidak sebaik trabekulektomi, tetapi kompliask yang
timbul mungkin lebih sedikit. Secara teknis, tindakan ini sulit dikerjakan.
Goniotomi dan trabekulotomi adalah teknik – teknik yang bermanfaat untuk
mengobati glaukoma congenital primer, yang tampaknya terdapat sumbatan drainase
aquous humor di bagian dalam anyaman trabekular.

d) Tindakan Siklodestruktif
Kegagalan terapi medis dan bedah pada glaukoma lanjut dapat menjadi alas an
untuk mempertimbangkan tindakan destruksi corpus ciliare dengan laser atau
pembedahan untuk mengontrol tekanan intraokular. Krioterapi, diatermi, terapi laser
YAG: neodymium thermal mode, atau laser diode dapat digunakan untuk
menghancurkan corpus ciliare. Terapi biasanya diberikan dari luar melalui sclera, tetapi
telah tersedia system apliasi laser endoskopi.

2.9 Komplikasi
Apabila terapi ditunda, iris perifer dapat melekat ke anyaman trabekular (sinekia
anterior) sehingga dapat menimbulkan oklusi sudut bilik mata depan ireversibel yang
memerlukan tindakan bedah untuk memperbaikinya. Sering terjadi kerusakan nervus
optikus.1

2.10 Prognosis
Prognosis sangat tergantung pada penemuan dan pengobatan dini. Bila tidak
mendapat pengobatan yang tepat dan cepat, maka kebutaan akan terjadi dalam waktu
yang pendek sekali. Pengawasn dan pengamatan mata yang tidak mendapat serangan
diperlukan karma dapat memberikan keadaan yang sama seperti mata yang dalam
serangan.2

21
BAB III
JOURNAL READING

ARTICLE REVIEW 12
Glaukoma sudut tertutup primer: Pembaruan
Carrie Wright, Mohammed A. Tawfik, Michael Waisbourd dan Leslie J. Katz
Rumah Sakit Wills Eye, Philadelphia, PA, USA

Abstrak
Glaukoma sudut tertutup primer berpotensi menjadi penyakit yang membahayakan, yang dapat
menyebabkan setengah dari total kebutaan yang diakibatkan oleh glaucoma di seluruh dunia.
Sudut tertutup ditandai dengan adanya jarak yang sdekat atau kontak antara iris dan anyaman
trabekular. Glaukoma sering terjadi pada mata dengan COA yang dangkal, posisi lensa yang
ada di bagian anterior maupun lensa yang terdorong, dan sudut COA yang sempit. Risiko
glaukoma sudut tertutup primer tinggi pada wanita, orang tua, dan prevalensi paling banyak
terdapat di Asia. Mekanisme genetik pada glaukoma yang diturunkan sekarang masih dalam
tahap investigasi. Diagnosis dapat ditegakkan melalui pemeriksaan gonioskopi, dan dapat
ditunjang dengan tomografi segmen optik dan ultrasound biomicroscopy. Penatalaksanaan
dirancang untuk mengontrol tekanan intraokuler sambil memonitor perubahan sudut dan saraf
optic. Penatalaksanaan umumnya dimulai dengan medikamentosa dengan menggunakan obat-
obatan topical yang dapat menurunkan tekanan. Iriodotomi perifer sering dilakukan untuk
mengatasi blok pupil, dan laser iridoplasty telah terbukti efektif untuk mekanisme glaucoma
selain blok pupil, seperti sindroma platau iris. Feko emulsifikasi menjadi terapi alternatif,
dengan atau tanpa goniosinekialisis, pada mata dengan maupun tanpa katarak. Penelitian
jangka panjang yang sedang berjalan saat ini akan meninjau keefektivitasan fekoemulsifikasi
pada fase awal kasus glaukoma sudut tertutup primer. Endoscopic cyclophotocoagulation
merupakan terapi pilihan lainnya yang dapat dikombinasikan daengan pembedahan katarak.
Trabekulektomi tetap menjadi terapi yang efektif pada kasus-kasus lanjut.
Kata kunci: sudut tertutup, glaukoma, laser iridoplasti, lensektomi, iridotomi perifer,
fekoemulsifikasi, iris plateau, sudut tertutup primer, blockade pupil, review.

Pendahuluan
Glaukoma menjadi penyebab kedua terbesar kasus kebutaan di seluruh dunia.
Glaukoma menyerang sekitar 60 juta orang, angka tersebut diperkirakan akan meningkat

22
menjadi 80 juta orang pada tahun 2020. Glaukoma sudut tertutup primer, atau primary angle-
closure glaucoma (PAGC) merupakan salah satu jenis glaukoma yang diperkirakan akan
mengenai sekitar 26% dari total populasi glaukoma. Namun, PAGC menebabkan hampir
setengah kasus kebutaan yang berhubungan dengan glaukoma di seluruh dunia.
Seperti namanya, glaukoma sudut tetutup primer kronis merupakan suatu tipe
glaukoma kronis sudut tertutup atau chronic angle-closure glaucoma (CACG). CACG sering
tidak menimbulkan gejala klinis yang dikeluhkan, namun sudut yang tertutup tersebut
menyebabkan peningkatan tekanan intaokuler dan terkadang terdapat kerusakan di saraf optic
akibat glaukoma. CACG merupakan istilah yang lebih luas yang mencakup glaukoma sudut
tertutup sekunder, contohnya traksi anterior dari iris perifer akibat pembentukan membran
neovaskular, dimana hal tersebut bukan termasuk focus dari pembahasan disini.
Klasifikasi PAGC sering membingungkan, dikarenakan inkonsistensi awal pada
terminology dan nomenklatur. Inkonsistensi yang dimaksudkan terdapat pada penelitian yang
dilakukan oleh Foster et al pada tahun 2022 yang menetapkan standar berdasarkan progresifitas
penyakit. Klasifikasi menurut American Academy of Ophthalmology (AAO) yang terbaru
pada tahun 2010 dapat dillihat pada tabel 1.

Klasifikasi
PAGC merupakan sederet gangguan glaukoma sudut tertutup yang mencakup suspek
glaukoma sudut tertutup primer (PACS), sudut tertutup primer (PAC), dan PAGC itu sendiri.
Diagnosis PAGC ditegakkan dengan adanya kontak iridotrabekular yag terlihat pada
gonioskopi. Derajat kontak tersebut sering diperdebatkan, namun sebagian besar spesialis mata
menganggap bahwa 180 derajat atau lebih sudah cukup untuk menegakkan diagnosis. Menurut
AAO Preferred Practice Guidelines, 1 dari 4 pasien dengan PACS mengalami peningkatan TIO
atau sinekia anterior perifer dalam 5 tahun.
Kriteria PAC mencakup derajat kontak iridotrabekular (ITC) sebesar180 derajat atau
lebih, yang berhubungan dengan peningkatan TIO dan adanya sinekia anterior perifer.
Diagnosis PAC menjadi PAGC bila ditemukan glaucomatous optic neurophaty. Untuk
tujuan klasifikasi, kerusakan saraf akibat glaukoma didefinisikan sebagai abnormalitas diskus
optikus atau lapisan saraf retina, ataupun kelainan lapang pandang.

Patogenesis
Pada awal kasus glaukoma sudut tertutup, sudut mungkin dapat hanya tertutup. Seiring
dengan berjalannya waktu, sinekia dapat meluas, dan sudut dapat menutup secara superior

23
hingga inferior, diikutidengan peningkatan tekanan intraokuler yang sulit dikontrol. Ada
beberapa mekanisme pada PAGC. Obstruksi anyaman trabekular oleh iris perifer dapat
menjadi penyebab ketidakseimbanganantara ukuran dan posisi struktur dari segmen anterior,
atau perbedaan tekanan relative antara segmen anterior dan posterior mata.

Blokade pupil dan pergerakan lensa anterior


Etiologi yang paling sering dari PAC adalah blokade pupil, dimana hambatan aliran
humor aqueous menyebabkan peningkatan perbedaan tekanan antara bagian anterior dan
posterior bola mata. Hal tersebut menyebabkan iris melengkung dan menyebabkan
penyempitan sudut. Dalamm keadaaan normal, perbedaan tekanan tersebut sebesar 0,23
mmHg, dimana hal tersebut berperan dalam aliran humor aquous yang normal dari segmen
posterior ke anterior. Ketika perbedaan tekanan ini meningkat, iris dapat melengkung menjadi
cembung kea rah anterior. Bentuk cembung dari iris ini memnyebabkan kontak dengan
anyaman trabecular, menghambat drainase dan berpotensi membentuk PAS yang secara
prograsif akan menyebabkan PACG. Segmen anterior yang dangkal berpotensi menyebabkan
blokade pupil akibat aposisi dari pupil dan kapsul lensa anterior. Beberapa penelitian
menyatakan bahwa ketebalan iris dapat mempengaruhi perbedaan tekanan segmen anterior dan
posterior.
Lensa berperan penting dalam pathogenesis PAC, ditambah dengan adanya lensa yang
diposisikan anterior menyebabkan pemcembungan iris yang lebih besar. Pergerakan lensa
kedepan, yang sering terjadi seiring bertambahnya usia, fakomorfik glaukoma dengan katarak
yang lanjut, dan adanya ekspansi koroid, dapat mempersempit segmen anterior dan
menyebabkan kontak antara iris dan anyaman trabekular. Ekspansi koroid, yang terdapat pada
glaukoma maligna ataupun disebabkan oleh penyakit mata yang lain, juga dicurigai terdapat
pada mata normal. Beberapa derajat ekspansi koroid fisiologis terjadi sebagai respon terhadap
perubahan tekanan vena dan arteri., volume darah, tekanan osmotic koloid, dan variasi dari
tekanan intraokular. Peningkatan volume koroid dihipotesiskan dapat menyebabkan tekanan
pada vitreus yang akan diterukan ke lensa, sehingga menggeser lensa kearah anterior mata.
Zonula yang kendor pada syndrome exfoliasi juga berkontribusi dalam perkembangan PAC
melalui pergeseran lensa kea rah anterior.

24
Epidemiologi
Faktor risiko
Banyak sekali factor yang berperan pada PACG, seprti peningkatan usia, jenis kelamin wanita,
COA yang dangkal, sumbu aksial bolamata yang pendek pada hyperopia, diameter kornea yang
kecil, kedalaman chamber pada limbus yang dangkal, serta lensa yang diposisikan di anterior.

Usia
Prevalensi blokade pupil, PAC dan PACG meningkat seiring meningkatnya usia. Penelitian
pada suatu populasi di Eropa menunjukkan bahwa prevalensi PACG sebesar 0.02% pada usia
40-49, meningkat hingga 0,95% pada usia 70 tahun dan lebih dari itu. Kedalaman COA dan
volume menurun seiring berjalannya usia pada hidup pasien. Analisis segmen anterior yang
dilakukan di tahun 1996 menyebutkan bahwa kedalaman menurun sebanyak 0,21mm dan
volume menurun sebanyak 19 mikroliter dalam 10 tahun.perubahan ini berperan dalam
mempersempit sudut dan meningkatkan risiko PAS pada oarng tua. Ketebalan lensa juga dapat
menyebabkan COA dangkal.

Jenis kelamin
Risiko PACG pada wanita hamper 3 kali lebih besar dibandingkan pria. Hal ini terjadi akibat
perbedaan anatomi dan mekanik pada mata laki-laki dan perempuan. Okabe meneliti dari 1169
oarang yang menderita PACG didapatkan bebrapa pengukuran seperti kedalaman COA,
panjang aksial, lebih rendah pada wanita, sudut pada wanita juga secara signifikan lebih sempit.

Etnis
Diseluruh dunia, prevalensi PACG tertinggi terdapat di China. 15 juta orang menderita
glaukoma sudut tertutup pada tahun 2010, sebanyak 47,5% di China, dan diperkirakan pada
tahun 2020 akan terdapat 20 juta orang yang menderita glaukoma sudut tertutup di China.
Kurang lebih 1,7 juta orang di China mengalami kebutaan akibat glaukoma, dan sebegian besar
(91%) dari total kasus tersebut berhubungan dengan PACG. Prevalensi pada populasi Asia
bermacam-macam, ras Mongolia memiliki prevalensi sebesar 1,4%. Orang asia memiliki
prevalensi lebih tinggi dibandingkan caucasia atau afrika. Pada etnis inuit, secara individual
PACG memiliki prevalensi tertinggi yaitu sebesar 2,65% dari seluruh populasi etnis inuit.

25
Kelainan refraksi
Mata yang kecil dan hiperopik merupakan yang paling birisiko tinggi untuk PACG. Kondisi
ini jarang pada orang dengan myopia, walaupun sering ditemukan pada pasien dengan -6 D.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pasien dengan PACG memiliki sumbu aksial bola
mata yang pendek, kedalaman COA yang leboh dangkal, dan lensa yang tebal dan lebih
mengarah ke anterior.

Riwayat keluarga dan predisposisi genetik


Walaupun sebagian besar kasus PACG bersifat sporadik, penelitian terbaru menunjukkan
bahwa trdapat faktor herediter yang mempengaruhi di populasi Asia. Penyebab gnetik yang
mendasari masih terus diteliti lebih lanjut. Studi tentang hubungan dengan genom yang
dipublikasi pada tahun 2012, terdapat 3 lokus gen yang menjadi predisposisi terjadinya PACG.;
rs 11024102 on PLEKHa7, rs3753841 on COL11A1 an rs1015213 on chromosome 8q.
Mekanisme patologis pasti dari lokus tersebut masih belum diketahui. Banyak penelitian
lainnya yang telah menganalisis peran genetik dalam peningkatan risiko glaukoma

Diagnosis
Gonioskopi
Gonioskopi masih tetap menjadi metode diagnostic yang paling penting dalam pemeriksaan
sudut tertutup. Gonioskopi indentasi merupakan teknik yang penting untuk meniali PAS dan
aposisi sudut tertutup. Teknik ini menggunakan Lensa 4-mirror Zeiss, lensa Sussman atau
Posner daripada lensa standar Goldmann. Lensa yang dipakai ini memiliki area kontak yang
lebih kecil daerah sehingga memudahkan indentasi. Dengan menggunakan lensa 4-mirror,
klinisi dapat melekukkan kornea sentral, sehingga aquous dari tengah berpindah ke perifer,
yang secara mekanik akan mendalamkan sudut dan membuat visualisasi yang lebih baik
terhadap struktur di daerah tersebut. (Gambar 2) Gonioskopi indentasi dinamik juga untuk
menentukan kelanjutan dari PAS (Gambar 3) dan dapat membedakan iris plateau dari blockade
pupil. Indentasi kornea saat gonioskopi meyebabkan pergerakan posterior dari mid-perifer iris
pada mata dengan blok pupil, sedangkan di konfigurasi plateau iris, prosesus siliaris mencegah
pergerakan dan kurva sine-shaped pada permukaan iris dapat terlihat pada slit lamp.

Estimasi klinis
Beberapa teknik digunakan untuk mengevaluasi kedalaman COA dengan slit lamp untuk
mengidentifikasi risiko sudut tertutup. Salah satu metode asesmen yang digunakan adalah Van

26
Henricck’s technique, yang mengukur kedalaman chamber limbus. Pemeriksa membandingkan
ketebalan kornea dan kedalaman segmen anterior, yang divisualisasikan sebagai bayangan
hitam diantara reflex cahaya kornea dan iris. (gambar 4). Berdasarkan rasio kedalaman limbus
dan ketebalan kornea, peemriksa mengelompokkan sudut tersebut dengan skala 1 hingga 4. 1
menandakan sudut yang tertutup, 4 menandakan sudul yang seluruhnya terbuka. Gonioskopi
direkomandasikan pada grade 1 atau dibawahnya.
Yang kedua adalah metode Smith. Pada teknik ini, sudut diantara lampu slit dan mikroskop
diatur 60 derajat, cahaya terang diorientasikan horizontal. Dokter mengarahkan cahaya dari slit
lamp menuju kornea, membentuk dua dua gambar dari mata pasien: gambar pertama adalah
focus pada kornea, dan kedua adalah diluar fokus melewati elensa dan iris. Dokter kemudian
mengatur panjang slit hingga kedua gambar ini mersentuhan secara end-to-end. Panjang dari
cahaya slit dengan 2 gambar yang bersentuhan ini dikalikan konstanta, biasanya 1,4 atau 1,31
untuk mendapatkan angka ACD dalam milimeter. Kedua teknik ini tidak memiliki presisi yang
baik.

Segmen anterior Tomografi Koherensi Optik (OCT)


Segmen anterior Tomografi Koherensi Optik (OCT) menggunakan refleksi cahaya untuk
memberikan gambar segmen anterior dengan resolusi tinggi. Kukurangan utama dari OCT ini
adalah tidak bias memberikan informasi struktur posterior dari iris. Hal ini membuat dokter
tidak bias membedakan iris plateau, kista badan siliar, tumor, atau efusi siliar yang juga dapat
membuat sudut sempit. Namun, OCT merupakan teknik nonkontak, membuat pasien lebih
nyaman, namun sangat bergantung dengan keahliat dokter pemeriksa.

UBM
Ultrasound Biomicroscopy (UBM) meunjukkan posisi badan dan prosesus siliaris, juga
struktur anterior dan posterior dari akar iris. UBM memiliki resolusi hingga 40 mikron dan
kedalaman penetrasi sebesar 4 mm. hal ini menunjukkan zunula yang menggantung lensa
namun tidak menunjukkan detail retrolentikuler. Pemeriksaan sulit, bergantung pada
pemeriksa, dan menyebabkan pasien tidak nyaman.

Tatalaksana
Prinsip tatalaksan PACG adalah mengontrol TIO sambil memonitor perubahan sudut dan saraf
optic. Hal ini sering dicapai dengan laser/pembedahan.

27
Medikamentosa
Terapi inisial untuk mengontrol TIO adalah dengan menggunakan obat-obatan glukoma
topikal. Walaupun penggunaan obat supresi aquous merupakan terapi pilihan, namun analog
prostaglandin baru-baru ini ditemukan efektif dalam menurunkan TIO pada PACG walaupun
dengan PAS 360 derajat.
Parasimpatomimetik, yang juga diketahui sebagai miotika karena efeknya terhadap pupil,
merupakan obat yang paling awal digunakan untuk glaukoma, pada 1800. Hingga saat ini obat
tersebut masih dioakai sebagai terapu glaukoma sudut tertutup. Miotik bekerja dengan
mengontraksikan muskulus siliaris dan sfingter pupil. Saat otot siliar kontraksi, hal ini
memberikan traksi pada sclera, mempengaruhi anyaman trabecular sehingga memperlancar
aliran aqueous humor. Selain itu, kontraksi dari sfingter pupil meipiskan iris dan secara
mekanik menarik iris dari struktur drainasi di segmen anterior. Hasilmya adalah peningkatan
aliran dari humor aquous dan perbaikan dari blokade pupil. Dari semua obat miotik, pilokarpin
adalah yang paling sering digunakandan banyak diteliti, dan sering dikombinasikan bengan
beta bloker timolol. Selain itu juga bias dikombinasikan dengan inhibitor karbonik anhydrase
atau agonis alfa. Efek sampingdari pilokarpin meliputi spasme otot siliar, menginduksi myopia,
pandangan redup akibat pupil yang mengecil, dan ablasio retina.

Laser Peripheral Iridotomy (LPI)


Standar terbaru untuk tatalaksana awal dari PACG adalah LPI, yang meringankan blok pupil
dengan mengurangi perbedaan tekanan yang melewati iris. Penurunan perbedaan tekanan
menyebabkan sudut untuk melebar, iris menjadi lebih datar, dan badan siliar bergeser kea rah
posterior.

Argon Laser Pheripheral Iridoplasty (ALPI)


ALPI menggunakan pembakaran dari permukaan fotokoagulasi pada iris bagian perifer untuk
membuat iris berkontraksi dan secara mekanis menarik iris menjauhi anyaman trabekular untuk
membuka sudut COA. Teknik dapat digunakan tanpa teknik yang lain, atau digunakan setelah
LPI untuk membantu membuka sudut dan meminimalisasi PAS. ALPI telah terbukti efektif
untuk sudut tertutup dengan penyebab selain karena blok pupil, misalnya karena sindrom platau
iris, glaukoma fakomorfik, dan prosesyang terjadi di segmen posterior. Suatu penelitian
menyebutkan bahwa 87% dari mata dengan iris plateu yang diterapi menggunakan ALPI,
megalami sudut terbuka pada akhir follow up jangka panjang, kurang lebih 79 bulan. Namun,
ALPI memiliki risiko kecil untuk terjadinya Sindroma Urrets-Zavalia, kondisi dimana pasien

28
memiliki pupil yang berdilatasi tetap, dan tidak repon dengan obat obatan miotikum setelah
operasi. Espana et al melaporkan 8 pasien dengan syndrome tersebut, sebelumnya dilakukan
ALPI, meskipun pasien tersebut tidak ada tanda-tanda lain dari sindrom tersebut seperti atrofi
iris, peningkatan TIO, dan fungsi pupil dapat kembali normal setelah setahun tanpa
pengobatan.

Ekstraksi Lensa
Beberapa tahun terakhir, penelitian telah menunjukkan keefektivitasan fekoemulsifikasi dan
implantasi lensa intraokular dan sudah lama digunakan sebagai terapi yang valid untukterapi
PACG. Hasilnya baik, didukung dengan beberapa studi yang menerangkan bahwa ekstraksi
lensa berguna untuk menurunkan TIO dan menurunkan ketergantungan obat pasca operasi
glaukoma. Penelitian lain menunjukkan bahwa ekstraksi lensa menurunkan derajat keparahan
PAS yang mekanisme masih belum diketahui.
Penelitian telah menunjukkan perbaikan pada pasien dengan TIO tinggi. Studi yang dilakukan
pada tahun 2012 oleh Shams dan Foster, rata-rata pasien post fekoemulsifikasi mengalami
penurunan TIO sebesar 3mmHg, dengan catatan ekstraksi lensa memiliki efek yang lebih
signifikan pada mata dengan kasus glaukoma lanjut. Rata rata peningkatan sudut COA yang
terjadi sebesar 20 derajat, sinekia anterior menurun 48 derajat, penggunaan obat glaukoma
menurun. Pada penelitian tahun 2011ditemukan bahwa baik TIO dan kedalaman COA
berhubungan positif dengan hasil pasca operasi fekoemulsifikasi. Hal ini terjadi karena lensa
memiliki peran yang minimal pada mata dengan sudut COA dalam, namun pada COA dangkal,
pengangkatan lensa memiliki pengaruh yang besar.
Pengangkatan lensa menjadi pilihan untuk terapi standar PACG dengan atau tanpa kombinasi
dari teknik yang lainnya. Salah satunya adalah perbandingan antara fekoemulsifikasi dan
trabekulektomi dalam pemantauan TIO jangka panjang. Trabekulektomi pasien menggunakan
obat glaukoma lebih sediki namun memiliki rasio lebih tinggi untuk komplikasi pasca operasi.
60% pasien setelah menjalani trabekulektomi, membutuhkan ekstraksi katarak.
Studi yang dilakukan Sham dan Foster memantau penurunan TIO setelah ekstraksi lensa,
didapatkan hasilnya sebanding antara pasien dengan atau tanpa dilakukan LPI sebelumnya.
Studi lain membandingkan keuntungan ekstraksi katarak dengan LPI sebagai tatalaksana awal,
didapatkan bahawa pasien yang yang menjalani fekoemulsifikasi memiliki TIO lebih rendah
dari yang menjalani LPI. Lbbih dari 18 bulan, 46,7% pasien menjalani LPI akan mengalami
peningkatan TIO, sedangkan pada pasien feko hanya 3,2%, feko juga memiliki komplikasi
pasca operasi lebih rendah dalam 2 tahun.

29
Hasil tersebut diatas ditemukan pada kasus lanjut. Keuntungan fekoemulsifikasi dan implantasi
IOL pada PACG yang masih ringan masih belum diketahui dengan jelas. Hal ini dikarenakan
sedikitnya penelitian yang membahas tentang ini, namun sekarang sedang dijankan studi
tentang Efektivitas Ektraksi Lensa pada Glaukoma Sudut Tertutup atau Effectiveness in
Angle-closure Glaucoma of Lens Extraction (EAGLE).

Goniosinekialisis dengan atau tanpa ekstraksi lensa


Goniosinekialisis merupakan teknik pembedahan yang memisahkan sinekia anterior perifer
dari anyaman trabekular. Bila sinekia telah tejadi dalam waktu 1 tahun, maka angka
keberhasilannya sekitasr 80%. Komplikasi dari goniosinekialisis meliputi katarak yang
menjadi progresif, injuri kornea akibat hurangilangnya sel endotel, eksudai dari fibrin, dan
perdarahan minor.
Kombinasi goniosinekialisis dan ekstraksi lensa dan fekoemulsifikasi memberikan
peningkatan penglihatan pasca operasi. Hal ini juga terbukti lebih efektif dibandingkan
Goniosinekialisis saja untuk mengontrol TIO, dengan angka kesuksesan 85-100% dan
menghindari adanya prosedur follow-up yang harus dilakukan.pengangkatan lensa juga
mengurangi risiko rekurensi dari sudut tertutup. Pembedahan ini efektif pada pasien dengan
blok pupil atau platau iris yang tidak respon dengan pengobatan lain. Teknik ini juga efekif
untuk meningkatkan kedalaman COA yang nantinya akan mengurangi TIO pada pasien dengan
sindroma platau iris. Factor risiko terjadinya kegagalan dalam pembedahan adalah usia muda
kemungkinan akibat adanya respon inflamasi yang hebat.

Trabekulektomi
Trabekulektomi masih menjadi terapi glaukoma selama beberapa decade terakhir. Teknik ini
memiliki hasil jangka panjang yang baik untuk mengontrol TIO. Salah satu studi yang
menunjukkan bahwa kesusksesan teknik ini sebesar 79% dalam mengontrol TIO pada semua
subtipe glaukoma glaukoma. Namun, prosedur drainase aquous humor pada COA yang
dangkal akan menimbulkan komplikasi pasca operasi. Trabekulektomi pada sudut tertutup
yang kronis berhubungan dengan risiko kegagalan filtrasi, COA yang makin dangkal, arah
aliran aquous humor yang salah, lepasnya koroid, hifema, endoftalmitis dan catarak yang
progresif. Studi yang sama melaporkan bahwa 14% kegagalan pada mata dengan sudut
tertutup, dan 30% pada pasien yang butuh dilakukan pembedahan posoperatif.

30
Cyclophotocoagulation
Pada tahun 1950 Bietti melakukan cyclophotocoagulation menggunakan probe -80 derajat
untuk menghancurkan epitel badan silia, stroma, dan vaskuler. Hal ini menyebabkan
penurunan produksi aquous humor yang akan menurunkan TIO. Kegunaan klinis dari
penghancuran tersebut memiliki komplikasi seperti hipotoni, ptisis, hifema, lepasnya koroid,
dan ablasio retina. Laser Diodida baru-baru ini cycloablasi yang dapat melakukan penetrasi
lebih pada jaringan dan meningkatkan absorpsi, namun hal ini masih memliki komplikasi
seperti hipotoni, hilangnya penglihatan, edema kornea, atoni dan distorsi pupil, edema macular
kistik.
Beberapa dekade terakhir rans-scleral diode laser cyclophotocoagulation (TSCPC)
menggunakan probe –G telah digunakan sebagai terapi pilihan terutama untuk pasien dengan
graukoma tahap akhir. Kesuksesan terapi ini bervariasi tergantung dari prosedur dan tipe
glaukoma. Teknik ini telah dilaporkan 92,3% efektif untuk mengontrol TIO kurang dari 21
selama 2 tahun pada pasien glaukoma yang refrakter. Namun, studi juga menunjukkan bahwa
semua pasien membutuhkan prosedur pengobatan untuk penurunan TIO untuk mencapai
keefektivitasan teknik ini. Pada suatu studi komparatif, didapatkan cyclodestruction lebih
efektif dibandingkan tube surgery. Cyclodestruction memiliki komplikasi yang lebih minimal
dan tidak membutuhkan rawat inap seperti pada tube surgery. Akibat dari beberapa risiko
komplikasi, maka TSCPC hanya digunakan pada pasien yang refrakter terhadap obat-obatan
dan bedah filtrasi.
Endoscopic cyclophotocoagulation (ECP) merupakan teknik yang menjanjikan lainnya yang
menggunakan serat optik untuk memberikan energy laser pada prosesus siliaris menggunakan
monitor. Prosedur ini berguna untuk pasien dengan PACG atau iris platau, baik dikombinasi
dengan pembedahan katarak maupun tidak. Tidak seperti ciliodestructive, ECP dapat
mengubah konfigurasi platau dan membuka sudut.

Kesimpulan
Glaukoma sudut tertutup primer merupakan penyebab kebutaan yang signifikan di seluruh
dunia. Meskipun subtipe ini hanya 26% dari glaukoma, namun penyakit ini menyebabkan
setengah dari kebutaan yang berhubungan dengan glaukoma. Mekanisme predominannya
adalah blokade pupil, dengan pergerakan lensa ke anterior sebagai factor yang mempengaruhi,
juga seringnya umur perubahan katarak dan perubahan segmen posterior.
Tatalaksana untuk glaucoma sudut tertutup dimulai dengan penurunan TIO, termasuk obat
yang mensupresi aquous humor dan prostaglandin. Intervensi prosedural dimulai dengan

31
iridotomi perifer, yang akan memberi pengaruh pada awal kasus dimana progresifitas menurun
menjadi 0-16% dari 19-35% mata yang tidak diobati. LPI dilakukan pada kasus yang lebih
lanjut cenderung membutuhkan intervensi medis maupun bedah lanjutan seperti
trabekulektomi atau goniosinekialisis.
Beberapa tahun terakhir ekstraksi lensa menjadi teknik yang menjanjikan untuk menurunkan
TIO dan menurunkan derajat sinekia anterior perifer dimana 65% pasien dengan PAC dan
katarak menunjukkan TIO normal setelah fekoemulsifikasi tanpa pengobatan lebih lanjut.
Ekstraksi lensa, dibandingkan dengan teknik lain seperti LPI, trabekulektomi, maupun
goniosinekialisis. Goniosinekialisis dengan ekstraksi lensa telah terbukti memberikan
pengaruh yang lebih besar pada TIO dibandingkan goniosinekialisis saja. Trabekulektomi
masih menjadi terapi yang efektif pada kasus yang refrakter.
Beberapa penelitian sekarang memiliki fokus pada mata dengan katarak yang sudah ada
sebelumnya. Grup studi EAGLE saat ini sedang mengidentifikasi ekstraksi lensa sebagai
intervensi pada stadiumawal glaukoma. Bila terbukti efektif dan aman, teknik ini dapat sangan
mempengaruhi pengobatan dan progresifitas glaukoma.

Metode
Tim Riset Wills Eye mencari di mesin database PubMed dari tahun 1980 hingga 2013,
menggunakan kata kunci: primary angle-closure, angle-closure glaucoma, pupillary block,
plateau iris, peripheral iridotomy, argon laser iridoplasty, phacoemulsification, lensectomy,
goniosynechialysis, trabeculectomy dan diode cyclophotocoagulation. Kami memasukkan
semua artikel dalam semua bahasa, yang disitasi pada daftar referensi. Kami mengeksklusikan
artikel yang fokus pada glaukoma sudut tertutup akut maupun tipe lain dari glaukoma.

Referensi
 Amerasinghe N, Zhang J, Thalamuthu A et al. (2011): The heritability and sibling risk of angle
closureinAsians.Ophthalmology118:480–485. American Academy of Ophthalmology Glaucoma Panel
(2010): Preferred Practice Pattern Guidelines. Primary Angle Closure. San Francisco, CA: American
Academy of Ophthalmology. Available at: www.aao.org/ppp.
 ArkellSM,LightmanDA,SommerA,TaylorHR, Korshin OM & Tielsch JM (1987): The prevalence of
glaucoma among Eskimos of northwest Alaska. Arch Ophthalmol 105: 482–485.
 Awadalla MS, Thapa SS, Hewitt AW, Craig JE & Burdon KP (2013): Association of eNOS
polymorphisms with primary angle-closure glaucoma. InvestOphthalmol VisSci54:2108–2114.
 Ayub H, Khan MI, Micheal S et al. (2010): Association of eNOS and HSP70 gene polymorphisms with
glaucoma in Pakistani cohorts. Mol Vis 16: 18 –25.

32
 Azuara-Blanco A, Burr JM, Cochran C et al. (2011): The effectiveness of early lens extraction with
intraocular lens implantation for the treatment of primary angle-closure glaucoma (EAGLE): study
protocol for a randomized controlled trial. Trials 12: 133.
 Barkana Y, Shihadeh W, Oliveira C, Tello C, Liebmann JM & Ritch R (2006): Angle closure in highly
myopic eyes. Ophthalmology 113: 247–254.
 Bevin TH, Molteno AC & Herbison P (2008): Otago Glaucoma Surgery Outcome Study: long-term
results of 841 trabeculectomies. Clin Experiment Ophthalmol 36: 731–737.
 Bloom PA, Clement CI, King A, Noureddin B, Sharma K, Hitchings RA & Khaw PT (2013): A
comparison between tube surgery, ND:YAG laser and diode laser cyclophotocoagulation in the
management of refractory glaucoma. Biomed Res Int 2013: 371951.
 Bonomi L, Marchini G, Marraffa M, Bernardi P, De Franco I, Perfetti S, Varotto A & Tenna V (1998):
Prevalence of glaucoma and intraocular pressure distribution in a defined population. The Egna-
Neumarkt Study. Ophthalmology 105: 209–215.
 ChangBM,LiebmannJM&RitchR(2002):Angle closure in younger patients. Trans Am Ophthalmol Soc
100: 201–212; discussion 212–204.
 Dandona L, Dandona R, Mandal P, Srinivas M, John RK, McCarty CA & Rao GN (2000): Angle-closure
glaucoma in an urban population in southern India. The Andhra Pradesh eye disease study.
Ophthalmology 107: 1710–1716.
 Day AC, Baio G, Gazzard G, Bunce C, AzuaraBlanco A, Munoz B, Friedman DS & Foster PJ (2012):
The prevalence of primary angle closure glaucoma in European derived populations: a systematic review.
Br J Ophthalmol 96: 1162– 1167. Eperjesi F & Holden C (2010): Comparison of techniques for
measuring anterior chamber depth: Orbscan imaging, Smith’s technique, and Van Herick’s method.
Graefes Arch Clin Exp Ophthalmol 249: 449–454. Espana EM, Ioannidis A,
 Tello C, Liebmann JM, Foster P & Ritch R (2007): Urrets-Zavalia syndrome as a complication of argon
laser peripheral iridoplasty. Br J Ophthalmol 91: 427–429.
 Fontana ST & Brubaker RF (1980): Volume and depthoftheanteriorchamberinthenormalaging human
eye. Arch Ophthalmol 98: 1803–1808. Foster PJ & Johnson GJ (2001): Glaucoma in China: how big is
the problem? Br J Ophthalmol 85: 1277–1282.
 Foster PJ, Baasanhu J, Alsbirk PH, Munkhbayar D, Uranchimeg D & Johnson GJ (1996): Glaucoma in
Mongolia. A population-based survey in Hovsgol province, northern Mongolia. Arch Ophthalmol 114:
1235–1241.
 Foster PJ, Oen FT, Machin D, Ng TP, Devereux JG, Johnson GJ, Khaw PT & Seah SK (2000): The
prevalence of glaucoma in Chinese residents of Singapore: a cross-sectional population survey of the
Tanjong Pagar district. Arch Ophthalmol 118: 1105–1111. Foster PJ, Buhrmann R, Quigley HA &
Johnson GJ (2002): The definition and classification of glaucoma in prevalence surveys. Br J Ophthalmol
86: 238–242.
 Gispets J, Cardona G, Verdu M & Tomas N (2014): Sources of variability of the Van Herick technique
for anterior angle estimation. Clin Exp Optom 97: 147–151.

33
 Harasymowycz PJ, Papamatheakis DG, Ahmed I, Assalian A, Lesk M, Al-Zafiri Y, Kranemann C &
Hutnik C (2005): Phacoemulsification and goniosynechialysis in the management of unresponsive
primary angle closure. J Glaucoma 14: 186–189.
 He M, Foster PJ, Ge J, Huang W, Zheng Y, Friedman DS, Lee PS & Khaw PT (2006): Prevalence and
clinical characteristics of glaucoma in adult Chinese: a population-based study in Liwan District,
Guangzhou. Invest Ophthalmol Vis Sci 47: 2782–2788.
 He M, Friedman DS, Ge J, Huang W, Jin C, Cai X, Khaw PT & Foster PJ (2007): Laser peripheral
iridotomy in eyes with narrow drainage angles: ultrasound biomicroscopy outcomes. The Liwan Eye
Study. Ophthalmology 114: 1513–1519.
 Heys JJ, Barocas VH & Taravella MJ (2001): Modeling passive mechanical interaction between aqueous
humor and iris. J Biomech Eng 123: 540–547.
 Hu CX, Mantravadi A, Zangalli C et al. (2014): Comparing gonioscopy with visante and cirrus optical
coherence tomography for anterior chamber angle assessment in glaucoma patients. J Glaucoma [Epub
ahead of print].
 Husain R, Gazzard G, Aung T, Chen Y, Padmanabhan V, Oen FT, Seah SK & Hoh ST (2012): Initial
management of acute primary angle closure: a randomized trial comparing phacoemulsification with
laser peripheral iridotomy. Ophthalmology 119: 2274–2281.
 Jiang Y, Friedman DS, He M, Huang S, Kong X & Foster PJ (2010): Design and methodology of a
randomized controlled trial of laser iridotomy for the prevention of angle closure in southern china: the
zhongshan angle closure prevention trial. Ophthalmic Epidemiol 17: 321–332.
 Kameda T, Inoue T, Inatani M & Tanihara H (2013): Long-term efficacy of goniosynechialysis combined
with phacoemulsification for primary angle closure. Graefes Arch Clin Exp Ophthalmol 251: 825–830.
 Kavitha S, Zebardast N, Palaniswamy K, Wojciechowski R, Chan ES, Friedman DS, Venkatesh R &
Ramulu PY (2014): Family history is a strong risk factor for prevalent angle closure in a South Indian
population. Ophthalmology 121: 2091–2097.
 Kumar RS, Baskaran M, Chew PT et al. (2008): Prevalence of plateau iris in primary angle closure
suspects an ultrasound biomicroscopy study. Ophthalmology 115: 430–434.
 Lai JS, Tham CC, Chan JC & Lam DS (2003): Diode laser transscleral cyclophotocoagulation in the
treatment of chronic angle-closure glaucoma: a preliminary study. J Glaucoma 12: 360–364. Lai JS,
Tham CC, Chan JC & Lam DS (2005): Diodelasertransscleralcyclophotocoagulationas primary surgical
treatment for medically uncontrolledchronicangleclosureglaucoma:long-term clinical outcomes. J
Glaucoma 14: 114 –119.
 Lai I, Mak H, Lai G, Yu M, Lam DS & Leung CK (2013): Anterior chamber angle imaging with swept-
source optical coherence tomography: measuring peripheral anterior synechia in glaucoma.
Ophthalmology 120: 1144–1149.
 Lam DS, Leung DY, Tham CC, Li FC, Kwong YY, Chiu TY & Fan DS (2008): Randomized trial of
early phacoemulsification versus peripheral iridotomy to prevent intraocular pressure rise after acute
primary angle closure. Ophthalmology 115: 1134–1140.
 Lee DA, Brubaker RF & Ilstrup DM (1984): Anterior chamber dimensions in patients with narrow angles
and angle-closure glaucoma. Arch Ophthalmol 102: 46 –50.

34
 Lee JR, Choi JY, Kim YD & Choi J (2011): Laser peripheral iridotomy with iridoplasty in primary angle
closure suspect: anterior chamber analysis by pentacam. Korean J Ophthalmol 25: 252–256. Liu Y &
Allingham RR (2011): Molecular genetics in glaucoma. Exp Eye Res 93: 331–339.
 Liu CJ, Cheng CY, Ko YC & Lau LI (2011): Determinants of long-term intraocular pressure after
phacoemulsification in primary angleclosure glaucoma. J Glaucoma 20: 566–570.
 Lowe RF & Ritch R (1989): Angle-closure glaucoma: clinical types. In: Ritch R, Shields MB & Krupin
T (eds). The Glaucomas. St Louis: CV Mosby Co 839–853.
 Marchini G, Pagliarusco A, Toscano A, Tosi R, Brunelli C & Bonomi L (1998): Ultrasound
biomicroscopic and conventional ultrasonographic study of ocular dimensions in primary angle-closure
glaucoma. Ophthalmology 105: 2091–2098.
 Mitchell P, Hourihan F, Sandbach J & Wang JJ (1999): The relationship between glaucoma and myopia:
the Blue Mountains Eye Study. Ophthalmology 106: 2010–2015.
 Nair KS, Hmani-Aifa M, Zli A et al. (2011): Alteration of the serine protease PRSS56 causes angle-
closure glaucoma in mice and posterior microphthalmia in humans and mice. Nat Genet 43: 579–584.
Netland PA (2008): Glaucoma Medical Therapy: Principles and Management. Oxford: Oxford
University Press.
 Ng WT & Morgan W (2012): Mechanisms and treatment of primary angle closure: a review. Clin
Experiment Ophthalmol 40: e218–e228. Ng WS, Ang GS & Azuara-Blanco A (2012): Laser peripheral
iridoplasty for angle-closure. Cochrane Database Syst Rev 2: Cd006746.
 Nongpiur ME, Wei X, Xu L et al. (2013): Lack of association between primary angle-closure glaucoma
susceptibility loci and the ocular biometric parameters anterior chamber depth and axial length. Invest
Ophthalmol Vis Sci 54: 5824–5828.
 Okabe I, Sugiyama K, Taniguchi T, Tomita G & Kitazawa Y (1991): [On factors related to the width of
anterior chamber angle–multivariate analysis of biometrically determined values].
 Nihon Ganka Gakkai Zasshi 95: 486–494.
 Pandav SS, Kaushik S, Jain R, Bansal R & Gupta A (2007): Laser peripheral iridotomy across the
spectrum of primary angle closure. Can J Ophthalmol 42: 233–237. Pavlin CJ, Ritch R & Foster FS
(1992): Ultrasound biomicroscopy in plateau iris syndrome. Am J Ophthalmol 113: 390–395.
 Peng PH, Nguyen H, Lin HS, Nguyen N & Lin S (2011): Long-term outcomes of laser iridotomy in
Vietnamese patients with primary angle closure. Br J Ophthalmol 95: 1207–1211.
 Quigley HA (1996): Number of people with glaucoma worldwide. Br J Ophthalmol 80: 389–393.
 Quigley HA & Broman AT (2006): The number of people with glaucoma worldwide in 2010 and 2020.
Br J Ophthalmol 90: 262–267.
 Quigley HA, Friedman DS & Congdon NG (2003): Possible mechanisms of primary angleclosure and
malignant glaucoma. J Glaucoma 12: 167–180.
 Rao A, Rao HL, Kumar AU et al. (2013a): Outcomes of laser peripheral iridotomy in angle closure
disease. Semin Ophthalmol 28:4 –8.
 Rao A, Rao HL, Senthil S & Garudadri CS (2013b): Varied clinical course in plateau iris syndrome: a
case series. Semin Ophthalmol 28: 28–31.

35
 Ritch R, Tham CC & Lam DS (2004): Longterm success of argon laser peripheral iridoplasty in the
management of plateau iris syndrome. Ophthalmology 111: 104–108.
 Ritch R, Tham CC & Lam DS (2007): Argon laser peripheral iridoplasty (ALPI): an update. Surv
Ophthalmol 52: 279–288.
 Rotchford AP & Johnson GJ (2002): Glaucoma in Zulus: a population-based cross-sectional survey in a
rural district in South Africa. Arch Ophthalmol 120: 471–478.
 Sakai H, Sato T, Koibuchi H, Hayakawa K, Yamakawa R & Nagataki S (1996): [Anterior chamber
dimensions in patients with angleclosure glaucoma measured by an anterior eye segment analysis
system]. Nihon Ganka Gakkai Zasshi 100: 546–550.
 Schacknow PN & Samples JR (2010): The Glaucoma Book: A Practical, Evidence-Based Approach to
Patient Care. New York: Springer Science + Business Media LLC.
 Shams PN & Foster PJ (2012): Clinical outcomes after lens extraction for visually significant cataract in
eyes with primary angle closure. J Glaucoma 21: 545–550.
 Shastry BS (2013): Genetic susceptibility to primary angle closure glaucoma (PACG). Discov Med 15:
17 –22.
 Shields MB (1998): Textbook of Glaucoma, 4th edn. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins 187,
384–393. Smith RJ (1979): A new method of estimating the depth of the anterior chamber. Br J
Ophthalmol 63: 215–220.
 SunX,LiangYB,WangNL,FanSJ,SunLP,LiSZ & Liu WR (2010): Laser peripheral iridotomy with and
without iridoplasty for primary angleclosure glaucoma: 1-year results of a randomized pilot study. Am J
Ophthalmol 150: 68 –73.
 Tanihara H, Nishiwaki K & Nagata M (1992): Surgical results and complications of goniosynechialysis.
Graefes Arch Clin Exp Ophthalmol 230: 309–313.
 Tarongoy P, Ho CL & Walton DS (2009): Angleclosure glaucoma: the role of the lens in the
pathogenesis, prevention, and treatment. Surv Ophthalmol 54: 211–225.
 Tham CC, Kwong YY, Baig N, Leung DY, Li FC & Lam DS (2013): Phacoemulsification versus
trabeculectomy in medically uncontrolled chronic angle-closure glaucoma without cataract.
Ophthalmology 120: 62 –67.
 Van Herick W, Shaffer RN & Schwartz A (1969): Estimation of width of angle of anterior chamber.
Incidence and significance of the narrow angle. Am J Ophthalmol 68: 626–629. Vithana EN, Khor CC,
Qiao C et al. (2012): Genome-wide association analyses identify three new susceptibility loci for primary
angle closure glaucoma. Nat Genet 44: 1142–1146.
 Wei X, Nongpiur ME, de Leon MS et al. (2014): Genotype-phenotype correlation analysis for three
primary angle closure glaucoma-associatedgeneticpolymorphisms.InvestOphthalmol Vis Sci 55: 1143–
1148. Wyatt H & Ghosh J (1970): Behaviour of an iris model and the pupil block hypothesis. Br J
Ophthalmol 54: 177–185.
 Yamamoto T, Iwase A, Araie M et al. (2005): The Tajimi Study report 2: prevalence of primary angle
closure and secondary glaucoma in a Japanese population. Ophthalmology 112: 1661–1669.
 Yazdani S, Akbarian S, Pakravan M & Afrouzifar M (2014): Prevalence of angle closure in siblings of
patients with primary angle-closure glaucoma. J Glaucoma 24: 149–153.

36
Daftar Tabel:
Tabel 1. Klasifikasi gangguan sudut tertutup.
ITC Peningkatan Neuropati
>180o IOP atau adanya optik
PAS
Tersangka Glaukoma Sudut Tertutup Primer(PACS) + - -
Sudut tertutup Primer (PAC) + + -
Glaukoma sudut tertutup primer (PACG) + + +
ITC: kontrak iridotrabekular; IOP: tekanan intra okuler; PAS: sinekia anterior perifer

Tabel 2. Derajat skala Van Herick


Derajat Kedalaman Limbal relative terhadap ketebalan kornea
4 ≥ ketebalan kornea
3 ¼ - ½ ketebalan kornea
2 ¼ ketebalan kornea
1 < ¼ ketebalan kornea
sempit Celah/slit
Derajat ditentukan dengan membandingkan kedalaman segmen anterior limbal terhadap
ketebalan kornea. Gonioskopi direkomendasikan pada derajat 1 atau lebih.

Daftar Gambar:

Gambar 1. Tanda double-hump yang terlihat pada gonioskopi. Gambar diperbanyak dengan ijin dari
Bryn Mawr Communications LLC. Nagori S, Laroche D. Treating plateau iris. Glaucoma Today.
September/October 2012;10(5):38–40.

37
Gambar 2. Sudut sempit secara anatomi. Gambar atas: sebelum indentasi dari gonioskopi, kebanyakan
struktur sudut tidak terlihat, jauh dari anterior garis Schawalbe (jarang terlihat). Kurvatura iris
melengkung kearah anterior. Gambar Bawah: setelah indentasi gonioskopi, iris mendatar dan struktur
pada sudut terlihat. (dari atas ke bawah: garis Schwalbe, anyaman trabekular yang tidak berpigmen,
anyaman trabekular yang berpigmen, sclera. Badan siliar jarang terlihat)

Gambar 3. Sinekia anterior perifer terlihat pada gonioskopi (A) dan OCT (B). Gambar diadopsi dengan
seijin Elsevier (Lai et al. 2103).

Gambar 4. Pengukuran semi objektif, dengan analisis gambar, lebar dari ketebalan kornea perifer (PCT,
garis persegi panjang yang utuh) dan kedapaman sudut anterior perifer (PACD, garis persegi panjang
yang putus-putus). Gambar ini merupakan Grade 3. Gambar diproduksi dengan ijin dari John Wiley &
Sons, Inc. (Gispets et al. 2014), © 2013 The Authors and Optometrists Association Australia.

38
DAFTAR PUSTAKA
1. Riordan-Eva P, Cunningham ET. Voughan and Asbury’s General Ophthalmology. 18th
ed. New York: McGraw Hill. 2017.
2. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Infodatin – Pusat Data dan Informasi
Kementrian Kesehatan RI. 2015. ISSN 244-7659
3. Blanco AA, et al. European Glaucoma Society Terminology and Guidelines for
glaucoma, 4th Edition - Chapter 2: Classification and terminology. Supported by the
EGS Foundation. Br J Ophthalmol. 2017 May; 101(5): 73–127.
doi: 10.1136/bjophthalmol-2016-EGSguideline.002
4. Gupta N, et al. ICO Guidelines for Glaucoma Eye Care. International Council of
Ophthalmololgy. 2015.
5. Garratt S, et al. American Academy of Ophthalmology Preferred Practice Pattern –
Primary Angle Closure. USA: Elsevier. 2016.
6. Vijaya L, et al. Insight – Scientific Journal of Medical and Vision Research
Foundations. India: Medical and Vision Research Foundations. 2017;35:3-38.
7. Blanco AA et al. European Glaucoma Society Terminology and Guidelines for
Glaucoma, 4th Edition - Part 1Supported by the EGS Foundation. Br J Ophthalmol.
2017;101:1-72
8. Marchini G, Chemello F, Berzaghi D, Zampieri A. New findings in the diagnosis and
treatment of primary angle-closure glaucoma. InProgress in brain research 2015 Jan 1
(Vol. 221, pp. 191-212). Elsevier.
9. Lai J, Choy BNK, Shum JWH. Management of Primary Angle-Closure Glaucoma. Asia
Pac J Ophthalmol 2016;5:; 59-62.
10. Emanuel ME, Parish RK, Gedde SJ. Evidence-Based Management of Primary Angle
Closure Glaucoma. Curr Opin Ophthalmol 2014;26:89-92.
11. Blanco AA, et al. European Glaucoma Society Terminology and Guidelines for
Glaucoma, 4th Edition - Chapter 3: Treatment principles and options
Supported by the EGS Foundation Br J Ophthalmol. 2017 Jun; 101(6): 130–195.
doi: 10.1136/bjophthalmol-2016-EGSguideline.003
12. Wright C. Tawfik MA, Waisbourd M, Katz LJ. Primary Angle-Closure Glaucoma: An
Update. Acta Ophthalmol. 2016: 94: 217–225.

39

Anda mungkin juga menyukai