Anda di halaman 1dari 11

Pembandingan tingkat kemanjuran antara cetirizine dengan

loratadine untuk penanganan rinitis alergi pada anak-anak

Juliana, Rita Evalina, Lily Irsa, M. Sjabaroeddin Loebis

Abstrak

Latar Belakang – Rinits alergi merepresentasikan satu masalah kesehatan global,

dimana kondisi penyakit ini dapat diderita oleh 10% sampai lebih dari 40% populasi

dunia. Beberapa penelitian akhir-akhir ini telah menjelaskan tingkat kemanjuran dari

antihistamin generasi-kedua pada anak-anak. Namun, di dalam penurunan tingkat

gejala rinitis alergi, kita belumlah mengetahui bahwa apakah cetirizine lebih manjur/

efektif dari loratadine ataukah tidak.

Tujuan – Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan tingkat kemanjuran

antara loratadine dengan cetirizine di dalam penanganan rinitis alergi.

Metode – Kami melakukan percobaan acak, buta-ganda, dan terkendali, dengan

melibatkan 100 orang anak yang berusia 13 sampai 16 tahun, dan penelitian ini

dilakukan dari bulan Oktober sampai November 2009 di dua sekolah menengah

pertama di Medan. Kelompok I mendapatkan Cetirizine 10 mg, dan kelompok II

diberikan loratadine 10 mg (satu kali sehari di pagi hari selama 14 hari). Tingkat

kemanjuran obat pun di-assessment/ dinilai melalui perubahan-perubahan dari skor

gejala baseline (skor tingkat gejala sebelum dilakukannya penelitian) dan dari

evaluasi respons terapeutik setelah 3 hari, 7 hari, dan 14 hari penanganan.

Hasil – Tingkat kemanjuran cetirizine jika dibandingkan dengan tingkat kemanjuran

loratadine diketahui tidaklah secara statistik signifikan di dalam pengurangan tingkat


gejala nasal (gejala di hidung) setelah 3 hari, 7 hari, maupun 14 hari penanganan

(masing-masing P = 0,40, P = 0,07, dan P = 0,057). Namun demikian, hasil evaluasi

efek samping menunjukkan bahwa di kelompok cetirizine (kelompok pasien/ anak

yang diberikan cetirizine) diketahui mengalami tingkat kemunculan sakit kepala

yang lebih rendah jika dibandingkan dengan di kelompok loratadine setelah 3 hari

dan 7 hari penanganan (masing-masing P = 0,01 dan P = 0,03). Selain itu, para

individu di kelompok loratadine diketahui lebih sering mengalami palpitasi (jantung

berdebar) setelah 7 hari penanganan (P = 0,04) jika dibandingkan dengan di

kelompok cetirizine.

Kesimpulan – Diketahui, tidaklah terdapat perbedaan yang signifikan antara

cetirizine dengan loratadine dalam hal tingkat kemanjurannya untuk menangani

rinitis alergi. Namun, loratadine diketahui lebih dapat memunculkan efek samping

yang berupa sakit kepala dan palpitasi jika dibandingkan dengan cetirizine.

Kata Kunci: antihistamin, cetirizine, loratadine, rinitis alergi

Rinitis alergi (AR/ allergic rhinitis) merupakan satu masalah kesehatan global,

dimana kondisi ini mempengaruhi 10% sampai lebih dari 40% populasi dunia.

Rinitis alergi simtomatik dapatlah mengurangi tingkat kualitas hidup dan dapat

berkontribusi terhadap terganggunya kesehatan psikologis dan fungsi kognitif.

Antihistamin merupakan dasar farmakologis yang penting di dalam penanganan

rinitis alergi. Pengaruh komparatif antihistamin generasi kedua, yaitu cetirizine dan

loratadine, belumlah diketahui pada kelompok pasien yang berusia muda. Cetirizine

dan loratadine keduanya merupakan antagonis untuk reseptor histamin H1 dan


metabolisme nya yang dapat memberikan pengaruh kardiotoksik dan sedatif (dapat

menyebabkan kantuk). Dengan demikian, kita masih membutuhkan penelitian

lanjutan tentang kedua obat ini.

Loratadine, 98% nya dimetabolisasi pada liver dan diekskresikan oleh ginjal,

sedangkan metabolisme cetirizine tidaklah melibatkan liver, namun hampir dari

seluruh zat nya diekskresikan oleh ginjal. Namun, Bucks dkk menemukan fakta

bahwa cetirizine diketahui enam kali lipat lebih kuat dibandingkan loratadine, dan

dengan demikian dosis loratadine yang lebih tinggi seringkali diperlukan untuk

mencapai hasil yang sama. Beberapa antihistamin generasi kedua lainnya, seperti

contohnya terfenadine dan astemizole, diketahui juga memiliki efek yang sama

dengan cetirizine, namun obat-obatan ini dimetabolisme lebih cepat pada liver dan

memiliki pengaruh kardiotoksik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

membandingkan tingkat kemanjuran cetirizine vs. loratadine di dalam penanganan

rinitis alergi pada anak-anak.

Metode

Kami melakukan percobaan acak, buta-ganda, terkendali dari bulan Oktober sampai

November 2009 di dua sekolah menengah tingkat pertama di Medan. Data

dikumpulkan melalui kuesioner. Para pasien yang dilibatkan di dalam penelitian ini

adalah mereka yang mengalami gejala-gejala rinitis alergi (hidung berair, bersin-

bersin, hidung mampet, gatal pada mata, mata kemerahan, gangguan tidur,

terganggunya fungsi kognitif, atau tidak masuk sekolah) dan atopik. Kami

menyertakan anak-anak yang berusia 13 sampai 16 tahun yang terdiagnosis


mengidap rinitis alergi, yang terkonfirmasi melalui pemeriksaan hidung oleh dokter.

Untuk mengevaluasi tingkat keparahan penyakit, kami pun menggunakan sistem

penskoran alergi rinitis : 0 = tidak terbukti ada gejala, 1 = gejala ringan namun tidak

mengganggu aktifitas harian dan/ atau tidur, 2 = gejala sedang yang terkadang

mengganggu aktifitas harian dan/ atau tidur, serta 3 = gejala parah yang mengganggu

aktifitas harian dan/ atau tidur. Kami tidak menyertakan subjek yang memiliki

riwayat asma, sinusitis, selesma, otitis media, gangguan-gangguan/ kelainan

anatomik hidung, reaksi idiosinkratik terhadap cetirizine atau loratadine,

menggunakan kortikosteroid dalam dua minggu terakhir, menggunakan dekongestan

oral atau topikal, dan menggunakan antihistamin dalam 24 jam terakhir, dan yang

menolak untuk mengkonsusi obat.

Para pasien pun dibagi kedalam dua kelompok melalui pengacakan sederhana

dengan menggunakan tabel acak. Kelompok I mendapatkan cetirizine 10 mg dan

kelompok II mendapatkan loratadine 10 mg, dimana obat ini harus diminum satu kali

sehari selama 14 hari. Kami mengevaluasi pasien pada kunjungan 1 untuk tindakan

skrining, setelah 3 hari (kunjungan kedua), setelah 7 hari (kunjungan ketiga), dan

setelah 14 hari penanganan (kunjungan 4). Para subjek dilarang untuk mengkonsumsi

antihistamin lain ataupun kortikosteroid selama periode penanganan.

Tingkat kemanjuran penanganan pun di-assessment melalui perubahan dari skor

gejala baseline, dan efek samping yang muncul di-assessment/ dinilai setelah respons

terapeutik pada hari ke-3, ke-7, dan ke-14. Gejala-gejala yang muncul diobservasi

dan pemeriksaan fisik dilakukan di tiap kunjungan. Penelitian ini mendapatkan izin/

persetujuan dari Komite Etik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.


Usi chi-square (khi-kuadrat) pun dilakukan untuk menganalisis tingkat kemanjuran

dan efek samping yang muncul. Perbedaan-perbedaan pun akan dianggap signifikan

jika P <0,005. Kami menggunakan SPSS versi 15 untuk pengolahan data. Penelitian

kami merupakan penelitian dengan analisis intention-to-treat (semua subyek

penelitian yang telah dirandomisasi diikutsertakan dalam analisis sesuai dengan

alokasi awalnya, dan tidak didasarkan pada penanganan yang diterima).

150 dengan rinitis alergi

Loratadine
n=50

Hasil

Kami pun men-skrining 475 siswa, dan 150 diantaranya diketahui menderita rinitis

alergi. Lima puluh dari 150 anak ini ditidaksertakan karena beberapa alasan berikut
siswa sudah mengkonsumsi antihistamin. Sisanya, yaitu 150 anak pun diacak/

dirandomisasi kedalam dua kelompok yang terdiri dari masing-masing 50 anak, dan

anak-anak di kelompok I diberikan loratadine 10 mg, dan di kelompok II diberikan

cetirizine 10 mg (Gambar 1).

Karakteristik-karakteristik subjek ditunjukkan pada Tabel 1. Usia rerata para pasien

di kelompok cetirizine adalah 13,40 tahun, sedangkan di kelompok loratadine adalah

13,38 tahun. Di kelompok cetirizine terdapat 34 subjek yang berjenis kelamin

perempuan (68%), dan di kelompk loratadine terdapat 29 subjek perempuan (58%).

Pada kunjungan pertama, 21 siswa di kelompok cetirizine memiliki skor rinitis alergi

sedang, sedangkan 29 siswa lainnya memiliki skor rinitis tinggi (parah). Di

kelompok loratadine, 16 siswa memiliki skor rinitis alergi sedang, dan 34 siswa

lainnya memiliki skor tinggi (parah). Mayoritas subjek (63%) diketahui memiliki

skor rinitis alergi tinggi/ parah pada baseline (sebelum atau di awal dilakukannya

penelitian).

Tabel 2 menunjukkan skor rinitis alergi pada hari ke-3, ke-7, dan ke-14 penanganan.

Pada hari ke-3 dan ke-7, terjadi penurunan tingkat gejala rinitis di kedua kelompok,

namun diketahui tidaklah terdapat perbedaan yang secara statistik signifikan di

antara kedua kelompok (P = 0,40 di hari ke-3, dan P = 0,07 di hari ke-7). Setelah 14

hari, mayoritas dari para subjek di kedua kelompok pun tidak lagi mengalami gejala,

dan perbedaan di kedua kelompok tidaklah secara statistik signifikan (P = 0,057).

Tabel 3 menunjukkan observasi gejala setelah 3, 7, 14 hari penanganan. Diketahui,

terjadi penurunan tingkat gejala di tiap kelompok, namun diketahui tidaklah terdapat

perbedaan yang secara statistik signifikan di antara kedua kelompok.


Tabel 4 menunjukkan tingkat insiden efek samping setelah 3, 7, dan 14 hari

penanganan. Terdapat perbedaan yang signifikan antar kedua kelompok setelah 3

hari dan 7 hari penanganan. Sakit kepala diketahui lebih sering terjadi di kelompok

loratadine jika dibadingkan dengan di kelompok cetirizine (hari ke-3 P = 0,01 dan

hari ke-7 P = 0,03). Selain itu, pada hari ke-7, kami pun mengobservasi tingkat efek

samping yang berupa palpitasi adalah lebih sering terjadi di kelompok loratadine jika

dibandingkan di kelompok cetirizine (P = 0,04).

Pembahasan

Sekitar 20 sampai 40 juta individu di Amerika Serikat diketahui mengidap rinitis

alergi. Tingkat prevalensi aktual akan kondisi ini adalah sulit untuk diketahui, karena

banyak dari penderitanya yang tidak memeriksakan diri ke dokter, mereka cukup

dengan mengobati diri mereka sendiri. Menurut Studi Internasional Tentang Asma

dan Alergi Pada Anak-Anak (ISAAC/ International Study on Asthma and Allergy in

Childhood), tingkat prevalensi rinitis alergi adalah 1,4 – 39,7% di usia 13 sampai 14

tahun. Sesuai dengan data ini, kami pun menemukan terdapat 32% siswa (150/475)

yang di-skrining diketahui mengidap kondisi ini. Usia rerata para subjek di dalam

penelitian kami adalah 13,4 tahun.

Diagnosis rinitis alergi umumnya dilakukan dengan dasar hasil pemeriksaan riwayat

kesehatan dan pemeriksaan fisik pasien. Selain gejala-gejala klasik kongesti hidung,
hidung gatal, bersin-bersin, rinorea, mata gatal dan mata berair, pertimbangan

penting lainnya mencakup riwayat keluarga akan rinitis alergi, riwayat penyakit

atopik lainnya, dan pengalaman penanganan sebelumnya serta hal-hal lain yang

dapat menjadi pemicu kondisi ini. Untuk tujuan penelitian kami, diagnosis rinitis

alergi dilakukan dengan menilai gejala-gejala klasik, mendapatkan data tentang

riwayat keluarga akan rinitis alergi dan penyakit atopik lainnya, serta dengan

melakukan pemeriksaan fisik pasien.

Kami tidaklah melakukan uji diagnostik untuk menegakan diagnosis rinitis alergi, hal

ini karena banyak dari subjek yang menolak untuk mendapatkan tindakan

pengambilan sampel darah, dan para subjek pun tidak berkenan dilakukannya uji

tusuk. Pedoman/ panduan yang sudah diterbitkan oleh Himpunan Asma, Alergi, dan

Imunologi Amerika, dan juga hasil panel-panel para ahli lainnya, telah

merekomendasikan uji konfirmasi ketika rinitis alergi secara klinis terduga diidap

oleh pasien. Tidaklah terdapat bukti untuk mendukung superioritas/ keunggulan dari

rekomendasi ini dari percobaan empirik langsung medikasi, dan hampir dari seluruh

dokter umum akan memilih untuk langsung melakukan penanganan empiris dengan

berdasarkan pada hasil pemeriksaan riwayat dan fisik.

Uji diagnostik diantaranya adalah uji tusuk kulit, uji intradermal, dan pemeriksaan

darah in vitro. Uji provokasi hidung, smear hidung, transimulasi hidung, dan

nasofaringoskopi merupakan uji/ pemeriksaan non-spesifik. Uji non-spesifik tidaklah

direkomendasikan untuk dilakukan pada evaluasi rutin, namun akan berguna pada

kasus-kasus tertentu ketika uji spesifik alergen tidak berhasil mengklarifikasi

penyebab rinitis.
Antihistamin generasi kedua adalah bersifat selektif untuk reseptor-reseptor H1 tepi.

Senyawa ini diketahui memiliki hubungan dengan pengaruh antikolinergik yang

tidak terlalu bersifat sedatif (tidak terlalu menyebabkan kantuk) jika dibandingkan

dengan anti histamin generasi pertama non-selektif. Tingkat kemanjuran dan

keamanan dari beberapa antihistamin generasi kedua pada anak-anak pun sudah

diteliti pada sejumlah percobaan klinis. Berbeda dengan temuan-temuan kami, satu

penelitian di Meksiko melaporkan bahwa cetirizine 10 mg diketahui lebih dapat

mengurangi tingkat gejala-gejala utama rinitis alergi (hidung berair, bersin, hidung

gatal, dan mata berair) jika dibandingkan dengan loratadine dan plasebo. Penelitian

kami menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan dalam hal

tingkat kemanjuran antara loratadine dengan cetirizine di dalam penanganan rinitis

alergi.

Mayoritas dari para partisipan kami diketahui menderita rinitis alergi dengan tingkat

keparahan tinggi, hal ini didasarkan pada sistem penskoran yang kami gunakan.

Kami pun mengklasifikasikan gejala rinitis alergi kedalam kategori ringan, sedang,

dan parah. Tingkat keparahan ringan didefinisikan sebagai tidak terjadinya gangguan

terhadap aktifitas harian dan/ atau tidur. Tingkat keparahan sedang didefinisikan

sebagai kondisi dengan sebagian gejala terkadang mengganggu terhadap aktifitas

harian dan/ atau tidur. Dan tingkat keparahan tinggi didefinisikan sebagai kondisi

dengan gejala yang sangat mengganggu aktifitas harian dan/ atau tidur.

Kami tidaklah menemukan adanya perbedaan yang signifikan dalam hal pengaruh

sedatif antara kelompok cetirizine dengan kelompok loratadine setelah 3, 7, dan 14

hari penanganan (masing-masing P = 0,48, P = 0,15, dan P = 0.41). sebaliknya,


beberapa penelitian di Meksiko dan Amerika Serikat melaporkan bahwa terdapat

pengaruh efek samping sedatif yang signifikan di kelompok cetirizine jika

dibandingkan dengan di kelompok loratadine (P <0,001). Review lainnya

menunjukkan bahwa tingkat efek samping (seperti contohya sakit kepala) di

kelompok cetirizine maupun di kelompok loratadine adalah sekitar 1 sampai 12%.

Namun terdapat satu penelitian yang menemukan temuan bahwa tidak terdapat

pengaruh sedatif ataupun antikolinergik di kelompok loratadine, yang dimana hal ini

signifikan secara klinis ketika obat ini dibandingkan dengan plasebo.

Satu penelitian yang melibatkan 398 orang pasien pun dilakukan untuk mengetahui

pengaruh cetirizine terhadap kualitas hidup dan kesehatan pasien penderita rinitis

alergi musiman. Diketahui, cetirizine adalah manjur untuk penurunan tingkat

keparahan total, dan juga untuk pemulihan aktifitas sehari-hari, masalah praktis,

gangguan tidur, dan gangguan emosional. Sama dengan penelitian kami, gejala

gangguan tidur dan penurunan performa di sekolah mengalami peringanan setelah

akhir penanganan dengan cetirizine, namun tidaklah terdapat perbedaan yang secara

statistik signikan jika dibandingkan dengan di kelompok loratadine.

Antihistamin generasi kedua seperti contohnya cetirizine, loratadine, feksofenadine,

dan ebastine dianggap memiliki pengaruh kardiotoksik seperti contohnya hipertensi,

hipotensi, palpitasi, takiaritmia supraventrikular, sinkop/ pingsan, dan takikardia,

walaupun konsentrasi plasma obat-obatan ini adalah lebih tinggi jika dibandingkan

dengan astemizol dan terfenadin. Penelitian kami menunjukkan bahwa terdapat

perbedaan yang secara statistik signifikan dalam hal kemunculan palpitasi antara

kedua kelompok setelah 7 hari penanganan.


Kami menyimpulkan bahwa tidaklah terdapat perbedaan yang signifikan antara

cetirizine dengan loratadine dalam hal tingkat kemanjurannya di dalam penanganan

rinitis alergi. Namun, loratadine diketahui memiliki resiko yang lebih tinggi dengan

kemunculan efek samping yang berupa sakit kepala dan palpitasi (jantung berdebar).

Anda mungkin juga menyukai