Pembimbing :
dr. Hery Susanto, Sp.A
Disusun oleh :
Chairunnisa Putri Amiria
030.12.054
Penyusun:
Chairunnisa Putri Amiria
030.12.054
Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak di RSU Kardinah Kota Tegal
Periode 6 november – 13 Januari 2017
I. IDENTITAS PASIEN
Alamat
No. RM 846861
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan ibu kandung pasien pada tanggal
28 Desember 2017, pukul 12.00 WIB, di Ruang PICU 4 RSUD Kardinah.
A. Keluhan Utama:
Kejang pada ±10 menit SMRS
B. Keluhan Tambahan :
Demam, batuk, dan pilek.
C. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien seorang anak laki-laki berusia 2 tahun 6 bulan datang ke IGD RSUD
Kardinah pada hari Rabu tanggal 27 Desember 2017 pukul 08.50 WIB dengan
keluhan kejang pada ± 10 menit SMRS. Ibu dan pasien sedang mengantri
pendaftaran untuk kontrol ke poliklinik sebelum pasien kejang. Ibu pasien
mengatakan pasien kejang kelojotan seluruh tubuh, mata mendelik keatas dan
keluar ludah dari mulut pasien. Kejang berlangsung selama ±30 detik. Sebelum
kejang pasien tampak sadar, lalu setelah kejang pasien menangis. Ibu pasien
mengatakan sebelum kejang pasien mengalami panas tinggi, batuk dan pilek sejak 2
hari SMRS.
Pada 1 hari SMRS ibu pasien mengatakan bahwa pasien juga kejang sebanyak
1x dan berlangsung ±1 menit dan di bawa ke IGD dan rawat jalan. Keluhan lain
seperti BAB hitam, muntah, BAB cair, mimisan, dan gusi berdarah di sangkal oleh
ibu pasien.
1. 5 tahun L + - - - Sehat
Psikomotor :
Tengkurap : 4 bulan (Normal: 3-5 bulan)
Duduk : 8 bulan (Normal: 6-9 bulan)
Berdiri : 12 bulan (Normal: 9-12 bulan)
Berjalan : 17 bulan (Normal: 12-18 bulan)
Berlari : 19 bulan (Normal 18-24 bulan)
Naik tangga : 24 bulan (Normal 24-36 bulan)
Kesan: Tidak terdapat keterlambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan pasien.
Kesan : Pasien sudah dilakukan imunisasi dasar, dan belum dilakukan imunisasi ulangan
o Paru :
Inspeksi : Bentuk dada simetris kanan – kiri. Strenum dan iga normal.
Retraksi subcostal (-). Gerak napas simetris, tidak ada hemithotax yang
tertinggal.
Palpasi : Simetris, tidak ada yang tertinggal
Perkusi : tidak dilakukan
Auskultasi : Suara nafas vesikuler(+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-).
o Cor :
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak.
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS IV midklavikula sinistra.
Perkusi : Tidak dilakukan pemeriksaan
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi : Datar, simetris
Auskultasi : Bising usus (+)
Palpasi : Supel, distensi (-), turgor kembali < 2 detik, hepar dan lien
tidak teraba, asites (-)
Perkusi : timpani di 4 kuadran
Vertebra : spina bifida (-), meningocele (-)
Genitalia : tidak ada kelainan, jenis kelamin laki-laki
Anorektal : tidak ada kelainan
Ekstremitas:
Superior Inferior
Deformitas -/- -/-
Akral Dingin -/- -/-
Akral Sianosis -/- -/-
CRT < 2” < 2”
Oedem -/- -/-
Tonus Otot normotonus Normotonus
Ref. Fisiologis + +
Ref. Patologis - -
Status neurologis
1. Pemeriksaan nervus kranialis : sulit dinilai
2. Pemeriksaan sensibilitas : sulit dinilai
3. Tanda rangsang meningeal : kaku kuduk (-), laseque (-), kernique (-),
brudzinsky I, II (-)
4. Pemeriksaan motorik : hipertonus -/- , Spastik -/-
5. Refleks fisiologis : biceps (+), triceps (+), patella (+), Achilles (+)
6. Refleks patologis : Babinski -/-, chaddock -/-, Gordon -/-
openheim -/-, schaefer -/-, Hoffman tromner -/-
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
PEMERIKSAAN (27/12/2017) HASIL SATUAN NILAI NORMAL
CBC
Hemoglobin 10.0(↓) g/dL 10.7 – 14.7
Lekosit 14.7 (↑) 103 /uL 4.5 – 13.5
Hematokrit 29.1 % 34– 40
Trombosit 381 3
10 /uL 150 – 521
Eritrosit 4.4 106 /uL 3.8 – 5.8
RDW 17.7(↑) % 11.5 – 14.5
MCV 65.7 U 63 – 93
MCH 22.6 Pcg 22 – 34
MCHC 34.4 g /dL 32 – 36
V. PEMERIKSAAN KHUSUS
Data Antropometri
Anak laki-laki usia 2.6 tahun dengan BB 15kg, PB 94 cm dan LK 49 cm
Pengukuran lingkar kepala (Kurva Nellhaus)
Lingkar kepala: 49 cm
Kesan: Normocefal
Pemeriksaan Status Gizi
b. Non-medikamentosa
Rawat intensif, monitor TTV
Diet 3xbubur
Edukasi keluarga pasien mengenai penyakit, terapi dan komplikasi yang mungkin
terjadi
X. PROGNOSIS
A KDK KDK
ISPA
P O2 (k/p) Terapi lanjut
IVFD RL 15 tpm Acc pulang (tunggu hasil lab darah
Inj. Cefotaxim 3 x 500 mg rutin ulang)
Inj. Gentamisin 2 x 40 mg iv
Inj. Paracetamol 4 x 150 mg Hb 9.3(↓)
Inj. Dexametasone 3 x 1/3 amp Leu 4.6
P.o Depakene syr 2 x ½ cth Ht 27.6(↓)
P.o Diazepam 3 x 1,7 mg Tromb 142(↓)
P.o ambroxol syr 3 x ¾ cth Erit 4.0
Diet 3 x bubur RDW 17. 7(↑)
Acc pindah ruang MCV 69.0
MCH 23.3
MCHC 33.7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
KEJANG DEMAM
A. Definisi
Bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal diatas
38oC) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.
B. Epidemiologi
Kejang demam paling sering dijumpai pada anak, terutama pada kelompok
usia 6 bulan sampai 4 tahun. Hampir 3% daripada anak yang berumur dibawah 5 tahun
pernah mengalami kejang demam. Lennox-Butchal (1971) berpendapat bahwa kepekaan
terhadap bangkitan kejang demam diturunkan oleh suatu gen dominan dengan penetrasi
yang tidak sempurna. Lennox (1949) berpendapat bahwa 41,2% anggota keluarga
penderita mempunyai riwayat kejang sedangkan pada anak normal hanya 3%.
C. Klasifikasi
ILAE (1993) membuat kriteria dan membagi kejang demam atas 2 golongan, yaitu :
a. Kejang demam kompleks
Kejang lama yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang bewrulang
lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang anak tidak sadar.
Kejang fokal atau parsial satu sisi atau kejang umum didahului kejang parsial
Berulang dalam 24 jam
D. Patofisiologi
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1o C akan meningkatkan metabolisme
basal 10 % – 15% dan kebutuhan oksigen 20%. Untuk mempertahankan kelangsungan
hidup sebuah sel atau organ otak diperlukan suatu energi yang didapat dari metabolisme.
Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting adalah glukosa. Sifat proses itu
adalah oksidasi dimana oksigen disediakan dengan perantaraan fungsi paru – paru dan
diteruskan ke otak melalui sistem kardiovaskular. Sumber energi otak adalah glukosa
yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh suatu
membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid dan permukaan luar adalah
ionik.
Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh
ion Kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion Natrium (Na+) dan elektrolit lainnya,
kecuali klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi
Na+ rendah, sedangkan diluar sel neuron terdapat konsentrasi K+ rendah dan konsentrasi
Na+ tinggi. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka
terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran dari sel neuron. Untuk
menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-
K-ATPase yang terdapat pada permukaan sel. Keseimbangan potensial membran ini
dapat dapat dirubah oleh adanya :
Pada seorang anak 3 tahun, sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh,
sehingga pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari
membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi ion Kalium dan Natrium
melalui membran sel neuron sehingga terjadi lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik
yang besar dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel tetangganya dengan
bantuan neurotransmitter, hal ini yang menyebabkan kejang.
Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang dapat terjadi pada suhu
38oC sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru dapat terjadi
pada suhu 40oC atau lebih. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terulangnya kejang
demam lebih sering terjadi pada anak dengan ambang kejang yang rendah.
Kejang demam yang berlangsung singkat umumnya tidak berbahaya dan tidak
meninggalkan sequel. Tetapi kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) dapat
menimbulkan kerusakan neuron otak karena pada kejang lama disertai terjadinya apnea,
meningkatnya kebutuhan oksigen dan energy untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya
terjadi hipoksemia, hiperkapnea, asidosis laktat disebabkan oleh metabolism anaerobic,
hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin
meningkat disebabkan akibat aktivitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme
otak meningkat. Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang dapat
mengakibatkan hipoksia sehingga meningkatkan permeabilitas kapiler dan timbul edema
otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak.
E. Diagnosis
1. Anamnesis
Pada anamnesis didapatkan manifestasi klinis berupa demam tinggi
dengan peningkatan suhu yang cepat, disebabkan oleh infeksi diluar susunan saraf
pusat. Serangan kejang terjadi pada 24 jam pertama demam, berlangsung singkat
dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik – klonik, tonik, klonik atau akinetik.
Kejang dapat berhenti sendiri lalu anak tidak memberi reaksi apapun untuk
sementara, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak akan terbangun dan sadar
kembali tanpa adanya kelainan saraf.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik meliputi keadaan umum, sifat kejang, tonik, klonik,
fokal maupun umum. Tanda – tanda vital anak, status generalis dan status lokalis,
pemeriksaan neurologi untuk mengetahui penyebab kejang berasal dari susunan
saraf pusat atau ekstrakranial.
3. Pemeriksaan Penunjang
• Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang
demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab
demam atau keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam.
Pemeriksaan yang dilakukan ialah darah perifer, elektrolit dan gula darah.
• Pungsi lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakan atau
menyingkirkan kemugkinan meningitis. Risiko terjadinya meningitis bakterialis
adala 0,6 – 6,7%. Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakan diagnosis
meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu pungsi lumbal
dianjurkan pada :
– Bayi usia kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan
– Bayi antara usia 12 – 18 bulan dianjurkan
– Bayi usia lebih dari 18 bulan selektif
Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal.
• Elektroensefalografi
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi
berulangnya kejang atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsy pada
pasien kejang demam. Oleh karenanya tidak direkomendasikan. Pemeriksaan EEG
dapat dilakukan bila keadaan kejang demam yang tidak khas. Misalnya kejang
demam kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun atau kejang demam fokal.
• Pencitraan
Foto X-ray kepala, CT-scan dan MRI jarang dilakukan, hanya untuk indikasi
seperti5 ;
– Kelainan neurologic fokal menetap (hemiparesis)
– Parese nervus VI
– Papiledema
F. Diagnosis Banding
Evaluasi penyebab kejang, dari dalam atau luar susunan saraf pusat. Kelaian dalam
susunan saraf pusat berupa infeksi (meningitis, ensefalitis, abses otak dan lainnya).
G. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan saat kejang
Pada pasien dengan status konvulsi diberikan diazepam intravena 0,3 –
0,5 mg/kgBB perlahan – lahan dengan kecepatan 1 – 2 mg/menit atau dalam
waktu 3 – 5 menit, dengan dosis maksimal 20 mg. Obat praktis yang dapat
diberikan oleh orangtua dirumah adala diazepam per retal dengan dosis 0,5 – 0,75
mg/kgBB atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari
10 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 10 kg. Atau diazepam per rectal
dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah usia 3 tahun dan 7,5 mg untuk anak usia
diatas 3 tahun.
Bila setelah pemberian diazepam per rectal kejang belum berhenti,
dapat diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5
menit. Bila setelah 2 kali pemberian diazepam per rectal masih tetap kejang,
dianjurkan ke rumah sakit. Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena
dengan dosis 0,3 – 0,5 mg/kgBB.
Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena
dengan dosis awal 10 – 20 mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1 mg/kgBB/menit
atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti, dosis selanjutnya adalah 4 – 8
mg/kgBB/hari dimulai 12 jam setelah dosis awal.
Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasie harus dirawat
di ruang rawat intensif. Bila kejang berhenti, pemberian obat selanjutnya
tergantung jenis kejang demam apakah kejang demam sederhana atau kompleks
dan faktor risikonya.
2. Pemberian obat pada saat demam
Antipiretik (paracetamol) diberikan dengan dosis 10 – 15
mg/kgBB/kali diberikan 4 kali per hari dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen
5 – 10 mg/kgBB/kali dibagi 3 – 4 dosis. Meskipun jarang asam asetilsalisilat dpat
menyebabkan sindrom Reye terutama pada anak kurang dari 18 bulan, sehingga
penggunaan asam asetilsalisilat tidak dianjurkan..
Pemberian diazepam sebagai antikonvulsan dengan dosis 0,3 mg/kgBB
setiap 8 jam per oral pada saat demam menurunkan risiko berulangnya kejang
pada 30 – 60 % kasus, begitu pula dengan diazepam rektal dosis 0,5 mg/kgBB
setiap 8 jam pada suhu > 38,5oC.
3. Pengobatan obat rumat
Indikasi pemberian obat rumat diberikan bila kejang demam
menunjukan ciri – ciri sebagai berikut :
- Kejang lebih dari 15 menit
- Adanya kelaianan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,
misalnya hemiparesis, paresis Todd, cerebral palsy, retardasi mental,
hidrosefalus.
- Kejang fokal
- Pengobatan rumat dipertimbangkan bila
Kejang berulang 2 kali atau lebih dalam 24 jam
Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan
Kejang demam > 4 kali per tahun
Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumatan berupa fenobarbital
atau asam valproat setiap hari efektif dalam menurunkan risiko berulangnya
kejang. Karena pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan
perilaku dan kesulitan belajar, maka pengobatan rumat hanya diberikan terhadap
kasus selektif dan dalam jangka pendek.
Obat pilihan saat ini adalah asam valproat, pada sebagian kecil kasus
terutama pada anak kurang dari 2 tahun asam valproat dapat menyebabkan
gangguan fungsi hati. Dosis asam valproat 15 – 40 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2
– 3 dosis dan fenobarbital 3 – 4 mg/kgBB/hari dibagi dalam 1 – 2 dosis. Lama
pengobatan rumat diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian dihentikan
secara bertahap selama 1 – 2 bulan.
H. Prognosis
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah
dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien
yang sebelumnya normal. Penelitian lain secara retrospektif melaporkan kelainan
neurologis pada sebagian kecil kasus dan kelainan ini biasanya terjadi pada kasus dengan
kejang lama atau kejang berulang baik umum atau fokal.
Kematian karena kejang tidak pernah dilaporkan. Menurut Berg dkk, (1992)
80 % kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko
berulangnya kejang demam adalah :
1. Saharso D, dkk. Infeksi Susunan Saraf Pusat. Dalam : Soetomenggolo TS, Ismael S,
penyunting. Buku Ajar Neurologi Anak. Jakarta: BP IDAI; 1999. h. 40-6, 339-71
2. Razonable RR, dkk. Meningitis. Updated: Mar 29th, 2011. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/ 232915-overview. Accessed 30 Oktober , 2016.
3. Tan TQ. Meningitis. In : Perkin RM, Swift JD, Newton DA, penyunting. Pediatric Hospital
Medicine, textbook of inpatient management. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins;
2003. h. 443-6.
4. Sitorus MS. Sistem Ventrikel dan Liquor Cerebrospinal. Available from :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3546/1/anatomi-mega2.pdf. Accessed 30
Oktober , 2016.
5. Anonymous. Meningitis. Centers for Disease Control and Prevention. Updated: August 6th,
2009 Available from : http://www.cdc.gov/meningitis/about/causes.html. Accessed Accessed
30 Oktober , 2016.
6. Fenichel GM. Clinical Pediatric Neurology. 5th ed. Philadelphia : Elvesier saunders; 2005. h.
106-13.
7. Prober CG. Central Nervous System Infection. Dalam : Behrman, Kliegman, Jenson,
penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders; 2004. h.
2038-47.
8. Muller ML, dkk. Pediatric Bacterial Meningitis. May 11th, 2011. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/961497-overview. Accessed 30 Oktober , 2016.
9. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 2. Jakarta: Bagian
Kesehatan Anak FKUI; 1985. h.558-65, 628-9.
10. Pudjiadi AH,dkk. Ed. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jilid 1.
Jakarta : Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2010. h. 189-96.
11. Pusponegoro HD, dkk. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi ke-1. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI; 2004 : 200 – 208.
12. Cordia W,dkk. Meningitis Viral. Updated: Mar 29th, 2011. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1168529-overview. Accessed 30 Oktober , 2016.
13. Anonymous. Meningitis. Centers for Disease Control and Prevention. Updated: August 6th,
2009 Available from : http://www.cdc.gov/meningitis/about/ prevention.html. Accessed 30
Oktober , 2016.