Anda di halaman 1dari 35

BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN FEBRUARI 2020


UNIVERSITAS HALU OLEO

HEMIPARESE DEKSTRA E.C TUMOR INTRAKRANIAL

OLEH :

Dian Ismail, S.Ked

K1A1 11 049

SUPERVISOR

dr.Happy Handaruwati, M.Kes.,Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2020
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Dian Ismail, S.Ked

NIM : K1A1 11 049

Judul : Hamiparese dextra E.C Tumor Intrakranial

Telah menyelesaikan tugas laporan kasus dalam rangka kepaniteraan klinik

pada Bagian Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.

Kendari, Februari 2020

Mengetahui,

Pembimbing

dr. Happy Handaruwati, M.Kes., Sp.S

1
BAB I
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. G
Umur : 32 tahun
Jenis kelamin : Laki-Laki
Alamat : Raha
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
No. RM : 56 80 40
Tanggal masuk RS : 15 Januari 2020
DPJP : dr. Happy Handaruwati, M. Kes, Sp.S
B. ANAMNESIS
Keluhan utama : Lemah separuh badan sebelah kanan
Anamnesis terpimpin : Pasien datang ke IGD Rumah Sakit Umum
Bahteramas rujukan dari Rumah Sakit Kabupaten
Muna dengan lemah separuh badan bagian kanan
berdasarkan anamnesis dengan keluarga pasien,
keluhan dirasakan sejak 1 minggu yang lalu yang
semakin lama semakin memberat disertai dengan
nyeri kepala sebelah kiri. Mual (+), Muntah (-).
BAB dan BAK dalam batas normal. Riwayat
hipertensi (-), riwayat DM (-), riwayat kebiasaan:
merokok (+), alkohol (-).

2
C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
Sakit Sedang, Somnolen, Status Gizi : Baik
Tanda Vital
TD Nadi Pernafasan Suhu
0
110/70 mmHg 114 x/Menit 28 x/Menit 38,8 C/ Axillar
(Reguler)

Status Generalis
Kulit Berwarna kuning langsat, pucat(-), memar(-)
Kepala Normocephal
Rambut Berwarna Hitam
Mata Konjungtiva anemis(-/-), Sklera ikterik(-/-), Exopthalmus (-/-),
edema palpebra(-/-), Gerakan bola mata dalam batas normal,
refleks kornea(+), refleks pupil(+)
Hidung Epitaksis (-), Rinorhea(-)
Telinga Otorrhea(-), nyeri tekan mastoid(-)
Mulut Bibir pucat(-), bibir kering(-), perdarahan gusi(-), lidah kotor(-)
Leher Kaku kuduk(-), pembesaran kelenjar getah bening(-),
pembesaran tiroid(-)
Thoraks Inspeksi
Pergerakan hemithorax simetris kiri dan kanan
Palpasi
Nyeri tekan (-), massa(-)
Perkusi
Sonor
Auskultasi
Bunyi nafas bronkial, Rhonki(-/-), Wheezing(-/-)
Jantung Inspeksi
Iktus kordis tidak tampak
Palpasi
Nyeri tekan (-), massa(-)

3
Perkusi
Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi
BJ I dan II regular
Abdomen Inspeksi
Datar, ikut gerak nafas
Auskultasi
Peristaltik usus (+) kesan normal
Palpasi
Nyeri tekan regio epigastrium(-)
Perkusi
Tympani (+)

Status Neurologis
Kesadaran
GCS : E3Vx M4
Kualitatif : Somnolen

1. Kepala
Posisi : Ditengah Bentuk/ukuran : Normocephal
Penonjolan : (-) Auskultasi : Normal

2. Saraf Cranialis
N. I
Penghidu : Normal

N. II

4
OD OS
Ketajaman penglihatan Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Lapangan penglihatan Dalam Batas Normal Dalam Batas Normal
Funduskopi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
pemeriksaan pemeriksaan

N. III, IV, VI
Dextra Sinistra
Celah kelopak mata
Ptosis (-) (-)
Exoftalmus (-) (-)
Ptosis bola mata (-) (-)
Pupil
Ukuran/bentuk d: 2,5 mm/ bulat d: 2,5 mm/ bulat
Isokor/anisokor isokor isokor
RCL/RCTL (+)/(+) (+)/(+)
Refleks (+) (+)
akomodasi
Gerakan bola mata
Parese ke arah (-) (-)
Nistagmus (-) (-)

N. V
Sensibilitas : N.V1 : Sulit dinilai
N.V2 : Sulit dinilai
N.V3 : Sulit dinilai
Motorik : Inspeksi/palpasi : Sulit dinilai
(istirahat/menggigit)
Refleks dagu/masseter : Sulit dinilai
Refleks kornea : (-)

5
N. VII
Motorik M.Frontalis M. Orbicularis oculi M. Orbicularis oris
Istirahat Sulit dinilai Sulit dinilai Sulit dinilai
Mimik Sulit dinilai Sulit dinilai Sulit dinilai
Pengecap 2/3 depan : Tidak dilakukan pemerikasaan

N. VIII
Pendengaran : Normal
Tes rinne/weber : Tidak dilakukan pemeriksaan
Fungsi vestibularis : Tidak dilakukan pemeriksaan
Posisi arkus faring : Tidak dilakukan pemeriksaan
Refleks telan/muntah : Tidak dilakukan pemeriksaan
Pengecap 1/3 lidah belakang : Tidak dilakukan pemeriksaan
Suara : Tidak dilakukan pemeriksaan
Takikardi/bradikardi : DBN

N. XI
Memalingkan kepala dengan / tanpa tahanan : Normal
Angkat Bahu : Sulit pada bahu sebelah kanan

N. XII
Deviasi Lidah : Ada
Fasikulasi : Sulit dinilai
Atrofi : (-)
Tremor : Tidak
Ataxia : Tidak dilakukan pemeriksaan

3. Leher
Rangsang menings
Kaku kuduk : (-)

6
Kernig’s sign : (-)
Kelenjar limfe : Pembesaran (-)
Arteri karotis : Bruit (-)
Kelenjar gondok : Pembesaran (-)

4. Abdomen
Refleks kulit dinding perut :
N N N

N N N

N N N

5. Kolumna vertebralis
Inspeksi : Normal
Palpasi : Normal
Perkusi : Normal
Pergerakan : Normal

6. Ekstremitas
Superior Inferior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Pergerakan ↓ N ↓ N
Tonus ↓ N ↓ N
Kekuatan otot 3 5 2 5

Refleks fisiologis
Dextra Sinistra
Biceps N N
Triceps N N
Radius N N
Ulna N N
Klonus

7
Lutut : (-)
Kaki : (-)
Refleks patologis
Ekstremitas Superior Ekstremitas Inferior
Hoffmann : -/- Babinski : -/-
Tromner : -/- Chaddock : -/-
Gordon : -/-
Schaefer : -/-
Oppenheim : -/-
Sensibilitas
Ekstroseptif : - Nyeri : Normal
- Suhu : Tidak dilakukan pemeriksaan
- Rasa raba halus : Tidak dilakukan pemeriksaan

Proprioseptif : - Rasa sikap : Tidak dilakukan pemeriksaan


- Rasa nyeri dalam : Tidak dilakukan pemeriksaan
Fungsi kortikal : - Rasa diskriminasi : Tidak dilakukan pemeriksaan
- Stereognosis : Tidak dilakukan pemeriksaan
Pergerakan abnormal spontan : (-)
Gangguan koordinasi

Tes jari hidung : Tidak dilakukan pemeriksaan


Tes pronasi supinasi : Tidak dilakukan pemeriksaan
Tes tumit : Tidak dilakukan pemeriksaan
Tes pegang jari : Tidak dilakukan pemeriksaan
Gangguan keseimbangan

Tes Romberg : Tidak dilakukan pemeriksaan


Tes Gait : Tidak dilakukan pemeriksaan
Pemeriksaan fungsi luhur :

8
Reaksi emosi : Tidak dilakukan pemeriksaan
Fungsi bicara : Tidak dilakukan pemeriksaan
Fungsi psikosensorik (gnosis) : Tidak dilakukan pemeriksaan
Intelegensia : Tidak dilakukan pemeriksaan
Fungsi psikomotorik (praksia) : Tidak dilakukan pemeriksaan

Skor Hasanuddin
No. KRITERIA SKOR
1. Tekanan Darah
- Sistole ≥ 200 ; Diastole ≥ 110 7,5
- Sistole < 200 ; Diastole < 110  1
2. Waktu Serangan
- Sedang bergiat 6,5
- Tidak sedang bergiat 1
3. Sakit Kepala
- Sangat hebat 10
- Hebat 7,5
- Ringan 1
- Tidak ada 0
4. Kesadaran Menurun

9
- Langsung, beberapa menit s/d 1 jam setelah onset 10
- 1 jam s/d 24 jam setelah onset 7,5
- Sesaat tapi pulih kembali 6
- ≥ 24 jam setelah onset 1
- Tidak ada 0
5. Muntah Proyektil
- Langsung, beberapa menit s/d 1 jam setelah onset 10
- 1 jam s/d < 24 jam setelah onset 7,5
- ≥ 24 jam setelah onset 1
- Tidak ada 0
JUMLAH 8,5
Interpretasi :
< 15 : NHS ≥ 15 : HS
NB : Nilai terendah = 2 ; Nilai tertinggi = 44
D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
1. Darah Rutin (15 Februari 2020)
Parameter Hasil Nilai Rujukan
WBC 5,79 [10^3/uL] (4.00 – 10.00)
RBC 4,51 [10^6/uL] (4.00 – 6.00)
HB 10,7 [g/dL] (12.0 – 16.0)
HCT 32,0 [%] (37.0-48.0)
MCV 71,0 [fL] (80.0-97.0)
MCH 23,7 [pg] (26.5-33.5)
MCHC 33,4 [g/L] (31.5-35.0)
PLT 339 [10^3/uL] (150 – 400)
NEUT 67,2 [%] (52.0-75.0)
LIMP 22,6 [%] (20.0-40.0)
MONO 5,9 [%] (2.0-8.0)
EO 4,1 [%] (1.0-3.0)
BASO 0,01 [%] (0-0.10)

2. Kimia Darah
Parameter Hasil Nilai Rujukan
Glukosa Sewaktu 149 [mg/dL] 70-180
Kreatinin Darah 0,7 [mg/dL] 0,7-1,2

10
E. PEMERIKSAAN TAMBAHAN
CT Scan (18 Februari 2020)

Kesan :

11
White matter edema luas dengan finger like appearance di lobus frontalis
kanan, lobus frontoparieto occipital kiri, cerebellum kanan kiri, dapat
merupakan malignant brain tumor, DD/: 1. Primer, 2. Metastase

F. DIAGNOSIS
Klinis : Hemiparese dextra
Topis : Tumor Intrakranial
Etiologi : Stroke Non Hemoragik

G. DIFERENSIAL DIAGNOSIS
1. Stroke Hemoragik
2. Trauma Kapitis
H. PENATALAKSANAAN
Non-farmakologi Farmakologi
1. Bed rest 1. IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
2. Citicoline 250 mg/12 jam/ IV
3. PCT Inf. 1gr/Iv (Bila Demam)
4. Farbion 1 A/ 24jam/drips
5. Metylprednisolon 125mg/8 jam/ iv
6. Ranitidin 1A/8 jam/ iv

12
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Stroke merupakan penyebab kematian dan kecacatan terbesar ketiga di
dunia setelah penyakit jantung koroner dan kanker. Menurut World Health
Organization (WHO) stroke merupakan tanda-tanda klinis yang berkembang
secara cepat akibat gangguan fungsi otak fokal atau global, dengan gejala-
gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih, yang dapat menyebabkan
kematian tanpa ada penyebab lain selain vaskuler (Shafi'i dkk., 2016). Stroke
dapat dibagi menjadi dua, yaitu stroke non hemoragik dan stroke hemoragik.
Sebagian besar (80%) disebabkan oleh stroke non hemoragik (Wibhisono.,
2016).
Stroke iskemik atau infark serebral (CI) adalah hasil dari perkembangan
trombi dan / atau emboli yang menyebabkan penyumbatan dan menyebabkan
defisiensi oksigen pada jaringan vital. Sirkulasi serebral yang berkurang dan /
atau tidak ada menyebabkan cedera seluler neuron, respons inflamasi, dan
kematian neuron (Perna & Temple., 2015).
Stroke non-hemoragik adalah tanda klinis disfungsi atau kerusakan
jaringan otak yang disebabkan kurangnya aliran darah ke otak sehingga
mengganggu kebutuhan darah dan oksigen di jaringan otak. Stroke non-
hemoragik dapat disebabkan oleh trombosis dan emboli, sekitar 80-85%
menderita penyakit stroke non-hemoragik dan 20% persen sisanya adalah
stroke hemoragik yang dapat disebabkan oleh pendarahan intraserebrum
hipertensi dan perdarahan subarachnoid (Shafi'i dkk., 2016).

13
B. EPIDEMIOLOGI
Stroke merupakan penyakit serebrovaskular yang menjadi penyebab
utama kematian di Indonesia. Jumlah penderita stroke di seluruh dunia yang
berusia dibawah 45 tahun terus meningkat. Stroke merupakan penyebab
kematian tersering ketiga di Amerika dan merupakan penyebab utama
disabilitas permanen (Handayani & Dominica, 2018).
Menurut data WHO pada tahun 2012, terdapat 6,2 juta kematian
disebabkan oleh penyakit stroke dan merupakan penyebab kematian nomer 3 di
dunia setelah penyakit jantung koroner dan kanker. Data dari American Heart
Association/American Stroke Association (AHA/ASA) dalam Heart Disease
and Stroke Statistics-2012 Update, menyebutkan bahwa setiap 4 menit seorang
meninggal karena stroke dan stroke berkontribusi dalam setiap 18 kematian di
Amerika Serikat pada tahun 2008 (Nugroho dkk., 2016). Pada tahun 2013,
prevalensi stroke di seluruh dunia adalah 25,7 juta, dengan 10,3 juta orang
mengalami stroke pertama, dan sekitar 2 dari setiap 3 stroke pertama bersifat
iskemik (Dierick dkk., 2017).
Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2013, prevalensi penyakit stroke di
Indonesia meningkat seiring bertambahnya umur. Kasus stroke tertinggi yang
terdiagnosis tenaga kesehatan terjadi pada usia >75 tahun (43,1%) dan terendah
pada kelompok usia 15-24 tahun (0,2%). Prevalensi berdasarkan jenis kelamin
yaitu lebih banyak pada laki-laki (7,1%) dibandingkan dengan perempuan
(6,8%). Berdasarkan tempat tinggal, prevalensi di perkotaan lebih tinggi (8,2%)
dibandingkan dengan daerah pedesaan (5,7%). Berdasarkan data 10 besar
penyakit terbanyak di Indonesia tahun 2013, prevalensi kasus stroke di
Indonesia berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebesar 7,0 per mill dan 12,1
per mill untuk yang terdiagnosis memiliki gejala stroke. Prevalensi tertinggi
terdapat di provinsi Sulawesi Utara (10,8%) dan terendah di provinsi Papua
(2,3%). Provinsi Lampung memilik angka kejadian sebanyak 42.815 orang
(7,7%).8 Diperkirakan kasus stroke yang paling terjadi di dunia, adalah SNH

14
dengan presentase 85-87% dari semua kasus stroke (Taufiqurrohman dkk.,
2016).

C. ANATOMI
Otak memiliki berat sekitar 2,5% dari berat tubuh dan menerima sekitar
seperenam curah jantung dan seperlima oksigen yang dikonsumsi oleh tubuh.
Aliran darah ke otak berasal dari arteri carotis interna dan arteri vertebralis yang
terletak di dalam spatium subarachnoid. Arteri carotis interna (ACI) dan
percabangannya secara klinis memegang sirkulasi anterior otak, sedangkan
arteri vertebralis dekstra dan sinistra akan menyatu pada batas caudal pons
membentuk arteri basilaris dan memegang sirkulasi posterior otak.Ketiga arteri
di atas akan saling beranastomosis membentuk suatu lingkaran berbentuk cincin
yang disebut the circle of Willis (Circulus arteriosus Willis).

Gambar 1. Sirkulus Willisi.


Lokasi perdarahan pada stroke hemoragik umumnya terjadi pada basal
ganglia, thalamus, pons dan serebelum. Perdarahan di basal ganglia, berasal

15
dari arteri ascending lenticulostriate, cabang middle cerebral artery.
Perdarahan di thalamus berasal dari arteri ascending thalmogeniculote, cabang
posterior cerebral artery.Perdarahan di pons berasal dari arteri paramedian,
cabang arteri basilaris. Perdarahan di serebelum berasal dari arteri posterior
inferior serebri atau arteri anterior inferior serebri atau arteri serebralis superior.

Gambar 2.Lokasi tersering terjadinya hemoragik intracranial (A) Basal Ganglia,


(B) dan (C) Talamus, (D) Pons, (E) Cerebelum.

1. Hemisfer serebri
Hemisfer serebri dibagi dalam dua belahan, yaitu hemisfer serebri
sinistra dan hemisfer serebri dekstra. Hemisfer serebri kiri mengendalikan
kemampuan memahami dan mengendalikan bahasa serta berkaitan dengan
berpikir “matematis” atau “ logis”, sedangkan hemisfer serebri dekstra
berkaitan dengan keterampilan, perasaan, dan kemampuan seni.
2. Ganglion Basalis
Funsional peranan umum ganglion basalis adalah untuk bekerja
sebagai stasiun-stasiun pemrosesan yang menghubungkan korteks serebrum
dengan nukleu-nukleus thalamus tertentu dan akhirnya berproyeksi ke korteks
serebrum. Kerusakan pada ganglion basalis akan mengakibatkan penderita
mengalami kerusakan untuk memulai gerak yang diingikan.

16
3. Batang Otak
Batang otak adalah bagian otak yang masih tersisa setelah hemisfer
serebri dan sereblu diangkat. Medulla oblongata,pons, dan otak tengah
merupakan bagian bawah atau merupakan bagian intratentorium batang otak.
Kerusakan pada batang, otak akan megakibatkan gangguan berupa nyeri,
suhu, rasa kecap, pendengaran, rasa raba diskriminatif dan apresiasi bentuk,
berat dan struktur.
4. Serebelum
Serebelum dibagi dalam tiga bagian, yaitu archi serebelum berfungsi
untuk mempertahankan agar seseorang berorientasi terhadap ruangan.
Kerusakan pada daerah ini akan mengakibatkan ataxia tubuh, limbung, dan
tehuyung-huyung. Paleo serebelum, mengendalikan otot-otot antigravitas dari
tubuh. Apabila otot ini mengalami kerusakan akan menyebabkan peningkatan
reflex regangan pada otot-otot penyengkong. Neoserebelum, berfungsi
sebagai pengerem pada gerakan di bawah kemauan, terutama yang
memerlukan pengawasan dan penghentian, serta gerakan halus dari
tangan.Kerusakan pada neoserebelum untuk melakukan gerakan mengubah-
ngubah yang cepat.

D. KLASIFIKASI STROKE
Stroke secara luas diklasifikasikan menjadi dua yaitu (Hanum., 2018):
1. Stroke Iskemik
Delapan puluh persen kasus stroke berasal dari proses iskemik dan
disebabkan oleh sumbatan trombotik atau tromboembolik pada arteri.
Lokasi tersering asal bekuan darah yaitu arteri serebral ekstrakranial,
jantung (fibrilasi atrial, penyakit katup mitral, thrombus ventricular kiri),
arteri kecil yang mempenetrasi pada otak (stroke lakunar), dan plak arkus
aorta. Stroke iskemik dibagi menjadi atetotrombosis arteri besar, emboli
otak, stroke lakunar, dan hipoperfusi sistemik. Stroke iskemik biasanya

17
berupa deficit neurologis fokal sesuai dengan distribusi pembuluh darah
tunggal. Temuan dapat bervariasi, dan mungkin terdapat perburukan
progresif atau berkurangnya fungsi neurologis dalam pola seperti tangga.
Muntah dan berkurangnya kesadaran jarang terjadi.
2. Stroke Hemoragik
Stroke dapat dibedakan secara mudah menjadi perdarahan
subaraknoid, perdarahan intraserebral, dan perdarahan subdural/ektradural
berdasarkan gambaran klinis dan CT scan. Perdarahan subaraknoid adalah
perdarahan yang menunjukkan gejala nyeri kepala hebat mendadak,
terhentinya aktivitas, dan muntah tanpa tanda-tanda neurologis fokal. CT
scan menunjukkan darah dalam rongga subaraknoid dan sisterna serebri,
serta cairan spinal selalu mengandung darah. Perdarahan intraserebral
menunjukkan gejala neurologis fokal. Nyeri kepala, muntah, dan
menurunnya kesadaran sering terjadi pada perdarahan yang lebih luas, CT
scan dan MRI menunjukkan hematoma di dalam otak. Sedangkan
perdarahan subdural dan ektradural biasanya disebabkan trauma kepala.
Lesi terjadi diluar otak, baik didalam (subdural) maupun di luar
(ekstradural) dura mater.

Klasifikasi stroke iskemik yang sering digunakan untuk


mengklasifikasikan subtipe stroke iskemik adalah klasifikasi Trial of ORG
10172 in Acute Stroke Treatment (TOAST), yaitu
(1) aterosklerosis pembuluh darah besar
(2) kardioembolik
(3) lakunar
(4) penyebab lain dan
(5) tidak diketahui penyebabnya (Mutiarasari, 2019).
E. ETIOLOGI

18
Walaupun etiologi sering tidak mendasari terjadinya stroke, namun hal ini
sangat penting dalam pengurangan risiko rekurensi (Smith dkk., 2013).
1. Stroke Kardioemboli
Kardioemboli merupakan penyebab 20% strok iskemik. Strok yang
disebabkan oleh penyakit jantung biasnaya dikarenakan oleh emboli dari
pembentukan material trombotik pada dinding atrial atau ventrikular atau
katup jantung kiri. Trombus tersebut kemudian terlepas dan menjadi
emboli dalam sirkulasi arterial. Trombus bisa terpisah atau lisis dengan
cepat, menyebabkan TIA. Namun, jika oklusi arteri bertahan dalam waktu
lama, strok iskemik bisa terjadi. Strok emboli mempunyai onset yang
mendadak, dengan defisit neurologis yang berat. Dengan reperfusi yang
diikuti dengan iskemia berkepanjangan, perdarahan peteki bisa terajadi di
daerah iskemi. Hal ini biasanya mempunyai tanda klinis yang khas dan
harus dibedakan dengan HS. Emboli dari jantung biasanya tinggal di
MCA, PCA, atau salah satu percabangannya; jarang terdapat di ACA.
Emboli cukup besar untuk menyumbat cabang MCA (3-4 mm) yang
menyebabkan infark yang luas dan mencakup substansia grissea dan alba
dan beberapa bagian di korteks dan daerah di bawah substansia alba.
Emboli yang lebih kecil dapat meyumbat cabang arteri kortikal. Lokasi
dan ukuran dari infark dalam daerah perdarahan tergantung dari derajat
sirkulasi kolateral. Penyebab yang paling umum dari strok kardioemboli
adalah fibrilasi atrium nonreumatik, infark miokard, katup prostetik,
penyakit jantung rematik, dan kardiomiopati iskemi.
2. Space occupying lesion (SOL/lesi desak ruang) didefinisikan sebagai
neoplasma, jinak atau ganas, primer atau sekunder, serta setiap inflamasi
yang berada di dalam rongga tengkorak yang menyebabkan peningkatan
tekanan intrakranial dan menempati ruang di dalam otak. SOL
merupakan lesi yang meluas atau menempati ruang intracranial termasuk
tumor, hematoma, kuntusio cerebri dan abses. Etiologinya bisa riwayat

19
trauma kepala, faktor genetik, paparan zat kimia yang bersifat
karsinogenik, virus tertentu, defisiensi imunologi, congenital.
Tumor otak atau tumor intrakranial adalah neoplasma atau proses desak
ruang yang timbul di dalam rongga tengkorak baik di dalam
kompartemen supratentorial maupun intratentorial. Dalam hal ini
mencakup tumor-tumor primer pada korteks, meningen, vaskuler,
kelenjar hipofisis, epifisis, saraf otak, jaringan penyangga, serta tumor
metastasis dari bagian tubuh lainnya. Tumor otak bisa mengenai segala
usia, tapi umumnya pada usia dewasa muda atau pertengahan, jarang di
bawah usia 10 tahun atau di atas 70 tahun. Tumor otak merupakan
penyakit yang sukar terdiagnosa secara dini, karena pada awalnya
menunjukkan berbagai gejala yang meragukan tetapi umumnya berjalan
progresif. Baik pada tumor jinak maupun ganas, gejalanya timbul jika
jaringan otak mengalami kerusakan atau otak mendapat penekanan.
Gejala dari tumor otak tergantung kepada ukuran, kecepatan
pertumbuhan dan lokasinya.
Klasifikasinya yaitu primer dan sekunder. Apabila sel-sel tumor berasal
dari jaringan otak itu sendiri, disebut tumor otak primer dan bila berasal
dari organ-organ lain (metastase) seperti; kanker paru, payudara, prostat,
ginjal dan lain-lain, disebut tumor otak sekunder. Tumor otak primer (80
%), sekunder (20 %). Tumor primer kira-kira 50% adalah glioma, 20 %
21
meningioma, 15 % adenoma dan 7 % neurinoma. Tumor primer terdiri
dari tumor jinak dan tumor ganas. Tumor jinak, yang berasal dari selaput
otak disebut Meningioma jika berasal dari jaringan otak yaitu Glioma,
Ependinoma. Tumor ganas, berasal dari jaringan saraf seperti
Astrocytoma, Neuroblastoma, jika berasal dari sel muda seperti
Kordoma.

20
Tumor otak yang menyebabkan kerusakan pada jaringan otak secara
langsung akan menyebabkan gangguan fungsional dari sistem saraf pusat,
berupa gangguan fungsional dari sistem saraf pusat, berupa gangguan
motorik, sensorik, panca indra, bahkan kemampuan kognitif. Selain itu,
efek massa yang ditimbulkan tumor otak akan memberikan problem
serius mengingat tumor berada dalam rongga tengkorak yang pada orang
dewasa merupakan suatu ruang tertutup dengan ukuran tetap.
Gejala klinis fokal maupun umum dari adanya tumor, ditandai dengan
adanya peningkatan tekanan intracranial, hal ini dapat berupa adanya
nyeri kepala, muntah tanpa diawali dengan mual, perubahan status
mental, meliputi gangguan konsentrasi, cepat lupa, perubahan
kepribadian, perubahan mood dan berkurangnya inisiatif yang terletak
pada lobus frontal atau temporal, ataksia dan gangguan keseimbangan,
kejang, dan papiledema. Meskipun adanya nyeri kepala bukan
merupakan gejala spesifik, nyeri kepala merupakan gejala utama yang
membawa pasien dengan tumor datang ke tempat pelayanan kesehatan.
Nyeri ini merupakan gejala awal pada 30% sampai 40% pasien dengan
tumor.
3. Artery-to-artery Embolic Stroke
Pembentukan trombus pada plak aterosklerotik bisa menyebabkan
emboli pada arteri intrakranial yang selanjutnya menjadi artery-to-artery
embolic stroke. Kasus yang tidak umum ialah penyakit vaskuler dapat
menyebabakan trombus secara akut. Tidak seperti pembuluh darah
miokars, emboli artery-to-artery termasuk mekanisme vaskiArteruuler
dominan yang menyebabkan iskemi sebreal. Pembuluh darah yang
patologis bisa menjadi sumber embol, termasuk arkus aorta, arteri karotis
komunis, karotis interna, vertebralis, dan basilaris. Aterosclerosis carotid
bifurcatio merupakan sumber emboli artery-to-artery, dan
penatalaksanaan spesifik terbukti menurunkan risiko.

21
F. PATOFISIOLOGI
Stroke disebabkan gangguan pada suplai darah otak, biasanya karena
pecahnya pembuluh darah atau sumbatan. Hal ini mengakibatkan suplai oksigen
dan nutrisi terutama glukosa menjadi terganggu yang dapat berakhir pada
kematian sel-sel otak. Sekitar 87% kejadian stroke merupakan stroke
iskemik.Sekitar 75% kejadian stroke iskemik disebabkan karena stroke
trombosis, yaitu sumbatan pada arteri serebal akibat proses aterosklerosis, dan
25% merupakan stroke emboli, yaitu tertutupnya arteri oleh bekuan darah yang
lepas dari tempat lain di sirkulasi (Munir dkk., 2015).

G. Faktor Risiko
1. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
Usia, jenis kelamin dan riwayat keluarga adalah faktor risiko yang tidak
dapat dimodifikasi. Pada penelitian di Taiwan menunjukkan bahwa stroke
terjadi pada usia 69,9 tahun. Prevalensi stroke lebih tinggi pada pria
sebesar 59,8% dibanding wanita. Penelitian yang dilakukan Riset
Kesehatan Dasar menunjukkan bahwa prevalensi stroke di Indonesia pada
laki – laki adalah di atas 75 tahun (67,0‰). Data Riskesdas Provinsi
Sulawesi Tengah tertinggi pada penduduk berusia diatas 75 tahun
(84,6‰) dan jenis kelamin laki-laki (17,3‰) lebih tinggi dibanding pada
perempuan (15,8‰). Riwayat keluarga merupakan faktor risiko yang
tidak dapat dimodifikasi. Penelitian Jood et al bahwa riwayat keluarga
merupakan faktor risiko penyebab stroke iskemik sebesar 41% (229
partisipan) dengan oods ratio multivariat (OR: 1,75;95% CI, 1,26-2,43).
Penelitian ini riwayat keluarga juga di analisis berdasarkan klasifikasi
subtipe stroke iskemik (klasifikasi Trial of ORG 10172 in Acute Stroke
Treatment (TOAST)) yakni aterosklerosis pembuluh darah besar (OR:
1,88;95% CI, 1,02-3,44), lakunar (OR 1,79;95% CI, 1,13-2,84), dan tidak

22
diketahui penyebabnya (OR : 1,70;95% CI,1,13-2,56), tetapi tidak pada
kardioembolik.
2. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi
Hipertensi, merokok, dislipidemia, diabetes melitus, obesitas, alkohol dan
atrial fibrillation adalah faktor risiko yang dapat dimodifikasi. Pada
penelitian Hsieh et al di Taiwan menunjukkan bahwa faktor – faktor
risiko penyebab stroke adalah hipertensi (79,2%), merokok (40,4%),
dislipidemia (49,4), diabetes mellitus (45,4%), obesitas (23,7%), dan
atrial fibrillation (16,5%). Hal ini sesuai dengan penelitian dari Riset
Kesehatan Dasar menunjukkan bahwa masyarakat menderita hipertensi
(25,8%), masyarakat berusia > 15 tahun memiliki kadar LDL yang tinggi
(15,9%), masyarakat menderita penyakit jantung koroner (1,5%),
masyarakat berusia > 15 tahun yang merokok (36,3%), dan masyarakat
berusia > 10 tahun kurang konsumsi buah dan sayur (93,5%).

H. MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan gejala pada pasien ini dapat secara perlahan progresif, dan
dapat berkembang selama beberapa jam dengan tingkat keparahan yang
bervariasi. Berbagai manifestasi dapat hadir sebagai akibat dari stroke iskemik,
termasuk paresis, ataksia, kelumpuhan, muntah, dan pandangan mata, namun,
tempat terjadinya tanda-tanda ini tergantung pada area otak yang sedang
dipelihara oleh pembuluh yang menderita. (Ojaghihaghighi dkk., 2017).
Serangan untuk tipe stroke apa pun akan menimbulkan defisit neurologis
yang bersifat akut. Tanda dan gejala stroke (Mutiarasari., 2019):
1. Hemidefisit motorik
2. Hemidefisit sensorik
3. Penurunan kesadaran
4. Kelumpuhan nervus VII (fasialis) dan nervus XII (hipoglosus) yang bersifat
sentral

23
5. Afasia dan demensia
6. Hemianopsia
7. Defisit batang otak.

Gejala utama stroke iskemik adalah timbulnya defisit neurologis secara


mendadak yang didahului gejala prodromal, terjadi waktu istirahat atau bangun
tidur dan biasanya tidak disertai penurunan kesadaran. Serangan untuk tipe
stroke apa pun akan menimbulkan defisit neurologis yang bersifat akut. Fase
akut penderita stroke terjadi pada hari ke-0 sampai dengan hari ke-14 sesudah
onset penyakit. Hiperglikemia terjadi pada sekitar 20-50% dari total pasien
stroke akut dan berhubungan dengan keluaran klinis yang buruk. Dari jumlah
tersebut, terdapat sekitar 12-53% pasien stroke akut tidak terdiagnosa diabetes
sebelumnya.
Hiperglikemia merupakaan keadaan dimana kadar glukosa darah berada
di atas normal. Keadaan hiperglikemia dapat merupakan tanda adanya diabetes
mellitus, tetapi dapat pula merupakan respon stress yang mencerminkan
keparahan kerusakan jaringan dan peningkatan katekolamin dalam serum.
Peningkatan kadar glukosa darah yang terjadi pada 48 jam pertama pada
penderita stroke akut mempengaruhi angka mortalitas dan morbiditas penderita
karena menimbulkan asidosis laktat yang berakhir pada kerusakan neuron,
jaringan glia, dan jaringan vascular.
Hiperglikemia berhubungan dengan peningkatan luas infark, menurunkan
aliran darah otak, menyebabkan kelainan perdarahan dan lesi sawar otak. Selain
itu, kadar glukosa darah yang tinggi juga dapat menyebabkan perubahan sawar
otak, meningkatkan edema serebri, menghambat fribinolisis dan meningkatkan
trombosis, menyebabkan kelainan perdarahan, serta dapat meningkatkan
produksi radikal bebas dan meningkatkan kadar neurotransmitter glutamate.
(Munir., 2015).

24
I. PEMERIKSAAN FISIK
Tujuan pemeriksaan fisik adalah untuk mendeteksi penyebab stroke
ekstrakranial, memisahkan stroke dengan kelainan lain yang menyerupai stroke,
dan menentukan beratnya defisit neurologi yang dialami. Pemeriksaan fisik
harus mencakup pemeriksaaan kepala dan leher untuk mencari tanda trauma,
infeksi, dan iritasi menings. Pemeriksaan juga dilakukan untuk mencari faktor
resiko stroke seperti obesitas, hipertensi, kelainan jantung, dan lain-lain4.
Tujuan pemeriksaan neurologi adalah untuk mengidentifikasi gejala stroke,
memisahkan stroke dengan kelainan lain yang memiliki gejala seperti stroke,
dan menyediakan informasi neurologi untuk mengetahui keberhasilan terapi.
Komponen penting dalam pemeriksaan neurologi mencakup pemeriksaan status
mental dan tingkat kesadaran, pemeriksaan nervus kranial, fungsi motorik dan
sensorik, fungsi serebral, gait, dan refleks tendon profunda. Tengkorak dan
tulang belakang pun harus diperiksa dan tanda-tanda meningimus pun harus
dicari. Adanya kelemahan otot wajah pada stroke harus dibedakan dengan
Bell’s palsy di mana pada Bell’s palsy biasanya ditemukan pasien yang tidak
mampu mengangkat alis atau mengerutkan dahinya.

J. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Cara membedakan jenis patologi stroke dapat dilakukan pemeriksaan
neuroimaging (CT Scan kepala atau MRI). Stroke dengan lesi yang luas,
misalnya di daerah kortikal atau ganglia basalis, gambaran abnormal CT scan
kepala baru akan muncul setelah 1-3 jam. Pemeriksaan CT Scan kepala
dilakukan dalam 24 jam pertama sejak admisi pasien ke rumah sakit. Diagnosis
stroke akut dapat ditegakkan dengan lebih cepat dan akurat dengan
menggunakan MRI terkini (resolusinya lebih tinggi, munculnya gambaran

25
abnormal lebih cepat, dan dapat menilai lesi di batang otak). Jika penampakan
tidak khas atau tidak menunjukkan stroke, maka seorang klinisi harus tetap
menganggap itu adalah stroke dan dilanjutkan dengan penentuan apakah pasien
adalah calon untuk mendapatkan terapi akut. Penggunaan neuroimaging sebagai
alat diagnosis standar untuk stroke sangat tergantung dari ketersediaan alat
tersebut dan ada tidaknya dokter ahli yang kompeten untuk
menginterprestasikan hasil pemeriksaan.

K. PENATALAKSANAAN
Tujuan terapi adalah memulihkan perfusi ke jaringan otak yang mengalami
infark dan mencegah serangan stroke berulang. Terapi dapat menggunakan
Intravenous recombinant tissue plasminogen activator (rtPA) yang merupakan
bukti efektivitas dari trombolisis, obat antiplatelet dan antikoagulan untuk
mencegah referfusi pada pasien stroke iskemik.
1. Intravenous recombinant tissue plasminogen activator (rt-PA) Obat ini juga
disebut dengan rrt PA, t-PA, tPA, alteplase (nama generik), atau aktivase
atau aktilise (nama dagang). Pedoman terbaru bahwa rt-PA harus diberikan
jika pasien memenuhi kriteria untuk perawatan. Pemberian rt-PA intravena
antara 3 dan 4,5 jam setelah onset serangan stroke telah terbukti efektif pada
uji coba klinis secara acak dan dimasukkan ke dalam pedoman rekomendasi
oleh Amerika Stroke Association (rekomendasi kelas I, bukti ilmiah level
B) dan European Stroke Organisation (rekomendasi kelas I, bukti ilmiah
level A). Penentuan penyebab stroke sebaiknya ditunda hingga setelah
memulai terapi rt-PA. Dasar pemberian terapi rt-PA menyatakan pentingnya
pemastian diagnosis sehingga pasien tersebut benar – benar memerlukan
terapi rt-PA, dengan prosedur CT scan kepala dalam 24 jam pertama sejak
masuk ke rumah sakit dan membantu mengeksklusikan stroke hemoragik.
Keberhasilan pemberian terapi rtPA sangat tergantung dengan waktu
pemberian terapi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian terapi

26
rtPA dalam waktu 0-90 menit dapat mengurangi komplikasi sebesar 9,6%,
pemberian terapi rt-PA dalam waktu 91180 menit sebesar 10,5%, dan
pemberian terapi rt-PA dalam waktu 181-270 menit sebesar 11,7%,
sedangkan oods ratio perbandingan waktu pemberian 0-90 menit dengan
181-270 menit (OR 0,74; 95%CI,0,64-0,86; p=0,001). Hasil penelitian ini
dapat mendukung upaya intensif untuk mempercepat pasien stroke admisi
ke rumah sakit dan pemberian terapi trombolitik dalam 4,5 jam pertama
setelah onset serangan stroke, sehingga dapat mengurangi besar keparahan
stroke (OR 2,8; 95%CI,2,5-3,1), perdarahan intrakranial (OR 0,96; 95%CI,
0,95- 0,98; p=0,001) dan penurunan mortalitas di rumah sakit (OR, 0,96;
95%CI, 0,95-0,98; p=0,001).
2. Terapi antiplatelet
Pengobatan pasien stroke iskemik dengan penggunaan antiplatelet 48 jam
sejak onset serangan dapat menurunkan risiko kematian dan memperbaiki
luaran pasien stroke dengan cara mengurangi volume kerusakan otak yang
diakibatkan iskemik dan mengurangi terjadinya stroke iskemik ulangan
sebesar 25%. Antiplatelet yang biasa digunakan diantaranya aspirin,
clopidogrel. Kombinasi aspirin dan clopidogrel dianggap untuk pemberian
awal dalam waktu 24 jam dan kelanjutan selama 21 hari. Pemberian aspirin
dengan dosis 81 – 325 mg dilakukan pada sebagian besar pasien. Bila
pasien mengalami intoleransi terhadap aspirin dapat diganti dengan
menggunakan clopidogrel dengan dosis 75 mg per hari atau dipiridamol 200
mg dua kali sehari. Hasil uji coba pengobatan antiplatelet terbukti bahwa
data pada pasien stroke lebih banyak penggunaannya daripada pasien
kardiovaskular akut, mengingat otak memiliki kemungkinan besar
mengalami komplikasi perdarahan. Uji klinis telah menunjukkan bahwa
antiplatelet hanya memiliki sedikit manfaat untuk pengobatan. Hal ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan Taylor et al yang menyatakan tidak
ada perbedaan yang bermakna pada pemberian aspirin pada pasien stroke

27
iskemik dalam waktu 48 jam pertama sejak admisi ke rumah sakit, baik
sebelum dan sesudah penerapan clinical pathway (46% vs 61%; p = 0,117).
[18] Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Panella et al bahwa
setelah penerapan clinical pathway pemberian aspirin pada pasien stroke
iskemik dalam waktu 48 jam pertama sejak admisi ke rumah sakit
mengalami peningkatan pada kelompok setelah penggunaan clinical
pathway dibandingkan sebelum penggunaan clinical pathway (83,5% vs
74,5%; p=0,03) dengan oods ratio multivariat (OR 1,73;95% CI, 1,02-2,75).
3. Terapi antikoagulan
Terapi antikoagulan sering menjadi pertimbangan dalam terapi akut stroke
iskemik, tetapi uji klinis secara acak menunjukkan bahwa antikoagulan
tidak harus secara rutin diberikan untuk stroke iskemik akut. Penggunaan
antikoagulan harus sangat berhati-hati. Antikoagulan sebagian besar
digunakan untuk pencegahan sekunder jangka panjang pada pasien dengan
fibrilasi atrium dan stroke kardioemboli. Terapi antikoagulan untuk stroke
kardioemboli dengan pemberian heparin yang disesuaikan dengan berat
badan dan warfarin (Coumadin) mulai dengan 5-10 mg per hari. Terapi
antikoagulan untuk stroke iskemik akut tidak pernah terbukti efektif.
Bahkan di antara pasien dengan fibrilasi atrium, tingkat kekambuhan stroke
hanya 5 – 8% pada 14 hari pertama, yang tidak berkurang dengan
pemberian awal antikoagulan akut.[9] Hal ini sama dengan hasil penelitian
yang dilakukan Taylor et al yang menyatakan tidak ada perbedaan yang
bermakna pada pemberian warfarin pada pasien stroke iskemik dengan hasil
elektrokardiogram (EKG) menunjukkan fibrilasi atrium, baik sebelum dan
sesudah penerapan clinical pathway (33% vs 40%; p=0,264) (Mutiarasari.,
2019).

L. KOMPLIKASI

28
Stroke merupakan penyakit yang mempunyai risiko tinggi terjadinya
komplikasi medis, adanya kerusakan jaringan saraf pusat yang terjadi secara
dini pada stroke, sering diperlihatkan adanya gangguan kognitif, fungsional,
dan defisit sensorik. Pada umumnya pasien pasca stroke memiliki komorbiditas
yang dapat meningkatkan risiko komplikasi medis sistemik selama pemulihan
stroke. Komplikasi medis sering terjadi dalam beberapa minggu pertama
serangan stroke. Pencegahan, pengenalan dini, dan pengobatan terhadap
komplikasi pasca stroke merupakan aspek penting. Beberapa komplikasi stroke
dapat terjadi akibat langsung stroke itu sendiri, imobilisasi atau perawatan
stroke. Hal ini memiliki pengaruh besar pada luaran pasien stroke sehingga
dapat menghambat proses pemulihan neurologis dan meningkatkan lama hari
rawat inap di rumah sakit. Komplikasi jantung, pneumonia, tromboemboli vena,
demam, nyeri pasca stroke, disfagia, inkontinensia, dan depresi adalah
komplikasi sangat umum pada pasien stroke. Pasien dengan stroke akut berisiko
tinggi untuk terjadi infeksi. Infeksi yang sering terjadi pada pasien stroke pada
umumnya adalah pneumonia dan infeksi saluran kemih. Kajian sistematis yang
melibatkan 137.817 pasien stroke pada Academic Medical Center di Netherland
menunjukkan bahwa angka kejadian infeksi secara keseluruhan pada pasien
stroke sebesar 30%, angka kejadian pneumonia 10% dan angka kejadian infeksi
saluran kemih sebesar 10%. Pneumonia secara bermakna dapat menyebabkan
kematian di rumah sakit dengan OR 3,62; 95% CI, 2,80-4,68 sedangkan infeksi
saluran kemih tidak menyebabkan kematian di rumah sakit. Penatalaksanaan
stroke yang terstruktur dan melibatkan tim multidisiplin dapat menurunkan
angka komplikasi stroke serta pengawasan petugas yang lebih ketat terhadap
kemungkinan terjadinya komplikasi sangat mempengaruhi pencapaian luaran
pasien stroke menjadi lebih baik. Salah satu komplikasi medis yang paling
sering terjadi pada pasien stroke adalah pneumonia. Pneumonia merupakan
penyebab utama morbiditas dan mortalitas setelah stroke. Penelitian oleh bahwa
risiko pneumonia pasca stroke lebih tinggi terjadi pada pasien dengan usia

29
lanjut (>65 tahun) dengan (OR 3,9; 95% CI, 2,07,5), gangguan bicara, tingkat
keparahan kecacatan pasca stroke, gangguan kognitif dan disfagia. Organisme
yang menyebabkan pneumonia biasanya resistensi terhadap antibiotik standar
dan penilaian kesehatan mulut sangat penting untuk mencegah pneumonia.
(Mutiarasari, 2019).

M. PROGNOSIS
Prognosis dari NHS ialah sebagai berikut.
1. Quo ad vitam : dubia ad bonam
2. Quo ad sanationam : dubia ad bonam
3. Quo ad functionam : dubia ad bonam

30
BAB III

RESUME DAN ANALISIS KASUS

A. RESUME
Pasien datang ke IGD Rumah Sakit Umum Bahteramas rujukan dari
Rumah Sakit Kabupaten Muna dengan lemah separuh badan bagian kanan
berdasarkan anamnesis dengan keluarga pasien, keluhan dirasakan sejak 1
minggu yang lalu yang semakin lama semakin memberat disertai dengan nyeri
kepala sebelah kiri. Mual (+), Muntah (-). BAB dan BAK dalam batas normal.
Riwayat hipertensi (-), riwayat DM (-), riwayat kebiasaan: merokok (+),
alkohol (-).
Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum pasien sakit sedang,
dengan nilai GCS E3Vx M4. Tanda vital TD 110/70 mmHg, nadi 114x/menit,
pernapasan 28x/menit, suhu 38,8°C.kekuatan otot ekstremitas superior dan
inferior: 1, Hasil perhitungan skor hasanuddin yaitu, 8,5 dengan interpretasi
hemoragik stroke.Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan WBC 5,79 mg/dl
(rujukan 4.00 – 10.00). Pada pemeriksaan Ctscan tampak kesan : White matter
edema luas dengan finger like appearance di lobus frontalis kanan, lobus
frontoparieto occipital kiri, cerebellum kanan kiri, dapat merupakan malignant
brain tumor, DD/: 1. Primer, 2. Metastase

B. ANALISA KASUS
Pasien merupakan seorang laki-laki berusia 32 tahun, dengan menunjukan
gejala suspek pada penyakit Strok Non Hemoragik. Stroke iskemik atau stroke
non hemoragik adalah kematian jaringan otak karena gangguan aliran darah ke
daerah otak, yang disebabkan oleh tersumbatnya arteri serebral atau servikal
atau yang kurang mungkin tersumbat, vena serebral. Strok iskemik disebabkan
oleh oklusi fokal pembuluh darah otak yang menyebabkan turunnya suplai

31
oksigen dan glukosa ke bagian otak yang mengalami oklusi. Oklusi biasanya
disebabkan oleh trombosis, emboli, dan beberapa penyebab yang kurang umum
seperti kelainan hiperkoagulasi, vaskulitis, kardiogenik, dan sebagainya. Pasien
ini ditemukan gejala kelemahan pada separuh badan sebelah kiri yang
disebabkan oleh iskemi pada hemisphere cerebri sinistra. Tatalaksana pada
kasus ini dimulai dengan pemeriksaan airway, breathing, dan circulation.
Tidak ditemukan masalah pada airwa. Tatalaksana breathing dengan pemberian
oksigen nasal kanul 2-3 liter per menit. Tatalaksana cirulation ialah dengan
menaikkan kepala 20˚-30˚ agar menurunkan tekanan intrakranial. Tekanan
darah dipertahankan dalam batas maksimum, agar tidak terjadi penurunan
perfusi di otak. Pemeriksaan Hb dan elektrolit perlu dilakukan untuk menjaga
fungsi sirkulasi. Kasus NHS memerlukan konfirmasi CT scan untuk menepis
kemungkian perdarahan instraserebral. Penatalaksanaan pada kassus ini ialah
pemberian neuroprotektor yakni citicoline intravena, vitamin B1 (farbion
intravena), Metylprednisolon dan Ranitidin.

32
DAFTAR PUSTAKA

Dierick F, Dehas M, Isambert J, dkk. 2017. Hemorrhagic versus ischemic stroke:


Who can best benefit from blended conventional physiotherapy with robotic-
assisted gait therapy?. PLOS ONE. Vol 12(6) : 1-17.
Handayani D, Dominica D. 2018. Gambaran Drug Related Problems (DRP’s) pada
Penatalaksanaan Pasien Stroke Hemoragik dan Stroke Non Hemoragik di
RSUD Dr M Yunus Bengkulu. Jurnal Farmasi Dan Ilmu Kefarmasian
Indonesia. Vol 5(1).
Hanum P, Lubis R, Rasmaliah. 2018. Hubungan Karakteristik Dan Dukungan
Keluarga Lansia Dengan Kejadian Stroke Pada Lansia Hipertensi Dirumah
Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. Jumantik Vol.3 (1) : 72-88.
Munir B., Rasyid H.A., Rosita R. 2015. Hubungan Antara Kadar Glukosa Darah
Acak Pada Saat Masuk Instalasi Gawat Darurat Dengan Hasil Keluaran
Klinis Penderita Stroke Iskemik Fase Akut. MNJ.1(2):52-60.
Mutiarasari D. 2019. Ischemic Stroke: Symptoms, Risk Factors, And Prevention. ,
Jurnal Ilmiah Kedokteran.6(1):60-73.
Nugroho D, Sukiandra R, Mukhyarjon. 2016. Hubungan Stres Hiperglikemia Dengan
Indeks Barthel Pasien Stroke Hemoragik Akut Di Bangsal Saraf Rsud Arifin
Achmad Provinsi Riau. Jom Fk Vol. 3(1) : 1-10.
Ojaghihaghighi S, Vahdati S.S, Mikaeilpour A, Ramouz A. 2017. Comparison of
neurological clinical manifestation in patients with hemorrhagic and
ischemic stroke. World Journal of Emergency Medicine. Vol 8(1) :34-38.
Perna R, Temple J. 2015. Rehabilitation Outcomes: Ischemic versus 11Hemorrhagic
Strokes. Hindawi Publishing Corporation Behavioural Neurology.Hal 1-17.
Shafi’i J., Sukiandra R., Mukhyarjon. 2016. Correlation Of Stress Hyperglycemia
With Barthel Index In Acute Non-Hemorrhagic Stroke Patients At
Neurology Ward Of Rsud Arifin Achmad Pekanbaru. JOM. 3(1):1-10.

33
Taufiqurrohman, Amroisa N, Sari M.I, Assegaf A. 2016. Manfaat Pemberian
Sitikoline Pada Pasien Stroke Non Hemoragik (SNH). Journal Medula Unila.
Vol 6(1) :166-171.
Wibhisono H. 2016. Wanita 55 Tahun dengan Stroke Non-Hemoragik dan Hipertensi
Derajat II. Journal Medula Unila. Vol 4(3) : 69-72.

34

Anda mungkin juga menyukai