STATUS EPILEPTIKUS
Oleh :
Rahmad Irman Karim, S.Ked (K1B120029)
Restuaji Bagas Khairul Umam, S.Ked ( K1B121001)
Pembimbing :
dr. Karman, M. Kes., Sp. S
1
HALAMAN PENGESAHAN
2
BAB I
A. Identitas Pasien
B. Anamnesis
3
Riwayat pengobatan : Tidak ada
C. Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan Umum
4
- Palpasi : IC tidak teraba
- Perkusi : Batas jantung kanan : ICS IV linea parasternalis D
Batas jantung kiri : ICS V midclavicularis S
- Auskultasi : BJ I/II Murni regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
- Inspeksi : Datar, ikut gerak napas
- Auskultasi : BU (+) kesan normal
- Perkusi : Timpani
- Palpasi : Nyeri tekan (-), organomegali (-)
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik
Pemeriksaan Psikiatris
Reaksi emosi : tidak dilakukan
Proses berfikir : tidak dilakukan
Kecerdasan : tidak dilakukan
Penyerapan : tidak dilakukan
Kemauan : tidak dilakukan
Psikomotor : tidak dilakukan
Pemeriksaan Neurologi
GCS : E3M4V1
1. Kepala
Bentuk/ukuran : Normocephal
Penonjolan :(-)
2. Saraf Cranialis
N. I
Penghidu : Normosmia
N. II OS OD
5
Ketajaman penglihatan : Normal Normal
Lapangan penglihatan : Normal Normal
Funduskopi : Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N. III, IV, VI D S
Celah kelopak mata
Ptosis : (-) (-)
Eksofthalmus : (-) (-)
Pupil
Bentuk/ukuran : 2,5 mm/bulat 2,5 mm/bulat
Isokor/unisokor : Isokor Isokor
RCL/RCTL : (+) (+)
Refleks akomodasi : Tidak dilakukan Tidak dilakukan
pemeriksaan pemeriksaan
Gerakan bola mata
Parese ke arah : (-) (-)
Nistagmus : (-) (-)
N. V
Sensibilitas : N.V1 : Normal
: N. V2 : Normal
: N. V3 : Normal
Motorik : Membuka mulut : Normal
Istrahat/menggigit : Normal
Refleks dagu/masseter : Normal
Refleks kornea : Normal
N. VII
Motorik : M.Frontalis M.Orbikulari okuli M.Orbikulari oris
Istirahat : Baik Baik Baik
Mimik : Baik Baik Baik
6
Pengecap 2/3 lidah anterior : Tidak dilakukan pemeriksaan
N. VIII
Pendengaran : Kanan kiri normal
Tes Rinne/Weber : Tidak dilakukan pemeriksaan
Fungsi Vestibularis : Tidak dilakukan pemeriksaan
N. IX dan X
Arcus faring : Tidak dilakukan pemeriksaan
Deviasi uvula : Tidak dilakukan pemeriksaan
Refleks telan muntah : Tidak dilakukan pemeriksaan
Pengecap 1/3 lidah posterior : Tidak dilakukan pemeriksaan
Suara : Jelas
N.XI
Memalingkan kepala dengan/tanpa tahanan : Dengan tahanan
Angkat Bahu : Normal
N. XII
Deviasi Lidah : Tidak Ada
Fasikulasi : Tidak Ada
Atrofi : Tidak Ada
Tremor : Tidak Ada
Disartria : Tidak Ada
3. Leher
Tanda-tanda perangsangan selaput otak : Kaku kuduk : (-)
Kernig’s sign : (-)
7
4. Abdomen
Refleks kulit dinding perut:
N N N
N N N
N N N
5. Kolumna vertebralis
Inspeksi : Normal
Palpasi : Normal
Perkusi : Normal
Pergerakan : Normal
6. Ekstremitas : Lateralisasi ke kiri
Refleks Fisiologis
Superior
Dextra Sinistra
Biceps N N
Triceps N N
Radius N N
Ulna N N
KPR N N
APR N N
8
Refleks Patologik
Hoffmann : -/- Babinski : -/-
Tromner : -/- Chadock : -/-
Gordon : -/-
Schaefer : -/-
Openheim : -/-
Sensibilitas
Eksteroseptif
Taktil : Normal/ Normal
Nyeri : Normal/ Normal
Suhu : Normal/ Normal
Proprioseptif
Rasa sikap : Normal
Rasa nyeri dalam : Normal
Fungsi kortikal
Rasa diskriminasi : Normal
Stereognosis : Normal
Pergerakan abnormal spontan : (-)
Gangguan Koordinasi
Tes jari hidung : sulit dinilai
Tes pronasi-supinasi : sulit dinilai
Tes tumit : sulit dinilai
Tes pegang jari : sulit dinilai
Gangguan Keseimbangan
Tes romberg : sulit dinilai
Gait : sulit dinilai
Pemeriksaan Fungsi Luhur
Orientasi : Normal
9
Registrasi : Normal
Atensi : Normal
Memori : Normal
Bahasa : Normal
D. Pemeriksaan Penunjang
10
E. Diagnosis Kerja
Klinis : Kejang
Etiologi :-
F. Diagnosis Banding
Suspek Meningitis
Gangguan Psikosomatis
G. Terapi
Non Medikamentosa :
1. Manajemen cairan
2. Edukasi
3. Terapi nutrisi
Medikamentosa :
11
H. Prognosis
I. Follow Up
N: 70 x/menit 2gr/IV/24jam
Paracetamol Drips
12
P: 26 x/menit 500 mg/8 jam
S: 37,60C Kutoin 250 mg +
100cc NaCl 12
A: Status Epileptikus
tpm/12 jam
Ranitidin 50
mg/IV/12 jam
Santagesik
1amp/IV/8jam
Diazepam 0,5 amp
dalam NaCl 0,9%
2cc/IV/24 jam
Terpasang kateter
(+)
O2 3-4 LPM via
nasal kanul
Jum’at, 18 Februari S : Kesadaran mulai membaik, IVFD Dextrose 5%
2022 kejang (+) terakhir hari kamis 21 tpm
pukul 17.50, demam (-), lemah Inj Dexamethasone 1
anggota gerak kiri, muntah (-), Ampul/IV/6 jam
nyeri kepala (+) Inj Ceftriaxone
13
Santagesik
1amp/IV/8jam
Terpasang kateter
(+)
O2 3-4 LPM via
nasal kanul
Sabtu, 19 Februari S : Kesadaran membaik, lemas IVFD Dextrose 5%
2022 (+), kejang (-), demam (-), 21 tpm
lemah anggota gerak kiri, Inj Dexamethasone 1
muntah (-), nyeri kepala (+) Ampul/IV/6 jam
Inj Ceftriaxone
O: KU: sedang, lemah
TD: 112/53 mmHg 2gr/IV/24jam
TINJAUAN PUSTAKA
14
A. DEFINISI
15
Etiologi status epileptikus tergantung usia dan menentukan
prognosis. Setelah usia 60 tahun penyakit serebrovaskular beresiko
menimbulkan kejang. Penelitian yang dipimpin oleh Richmon di Virginia
USA, pasien yang berumur lebih dari 60 tahun yang menderita status
epileptikus, 35% di antaranya disebabkan oleh acute cerebrovascular (CVA).
Etiologi lainnya hipoksia, gangguan metabolik, alkohol, tumor, infeksi
trauma, dan idiopatik.2
Penelitian di Rochester, Minnesota, USA mengidentifikasi bahwa
dementia ditambahkan dalam daftar penyebab status epileptikus. Penelitian di
California juga mengidentifikasi stroke sering menyebabkan generalized
status epilepticus (GSE).2
C. ETIOLOGI
D. KLASIFIKASI
9
Berdasarkan Klinis:
16
1. SE Fokal
2. SE General
Berdasarkan Durasi:
3. SE Refrakter (Bangkitan tetap ada setelah mendapat dua atau tiga jenis
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah
fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan
patologik. Aktifitas kejang sebagian bergantung pada lokasi lepas muatan yang
berlebihan tersebut. Lesi di mesensefalon, talamus, dan korteks serebrum
kemungkinan besar bersifat epileptogenik, sedangkan lesi di serebelum dan
batang otak umumnya tidak memicu kejang.1
17
1. Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami
pengaktifan;
2. Neuron-neuron hipersensitif, ambang untuk melepaskan muatan
menurun, apabila terpicu akan melepaskan muatan secara berlebihan;
3. Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang
waktu dalam polarisasi berubah) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin
atau defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA);
4. Ketidak seimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau
elektrolit, yang mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga terjadi
kelainan pada depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini
menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter eksitatorik atau
deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah
kejang sebagian disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energi akibat
hiperaktifitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis
meningkat; lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi
1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan
glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama
dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi selama
aktifitas kejang.1
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti
histopatologik yang seringkali normal menunjang hipotesis bahwa lesi lebih
bersifat neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor patologik yang secara
konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin
dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap
18
asetilkolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik; fokus-fokus tersebut lambat
mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.1
Semua kejang diinisiasi oleh mekanisme yang sama. Namun status
epileptikus melibatkan adanya kegagalan dalam pemutusan rantai kejang
tersebut. Berbagai studi eksperimen menemui kegagalan yang mungkin
timbul dari kelangsungan kejang terus menerus yang abnormal, eksitasi yang
meningkat secara tajam atau pengerahan dan penghambatan yang tidak
efektif. Obat standar yang digunakan pada status epileptikus lebih efektif apabila
diberikan pada jam pertama berlangsungnya status.6
Status epileptikus dapat menyebabkan cedera otak, khususnya struktur
limbik seperti hipokampus. Selama 30 menit pertama kejang, otak masih dapat
mempertahankan homeostasis melalui peningkatan aliran darah, glukosa
darah, dan pemanfaatan oksigen. Setelah 30 menit, kegagalan homeostasis
dimulai dan mungkin akan berperan dalam kerusakan otak. Hipertermi,
rhabdomyolisis, hiperkalemia, dan asidosis laktat meningkat sebagai hasil dari
pembakaran otot spektrum luas yang terjadi terus menerus. Setelah 30 menit,
tanda-tanda dekompensasi lainnya meningkat, yakni hipoksia, hipoglikemia,
hipotensi, leukosistosis, dan cardiac output yang tidak memadai.
Merujuk pada respon biokimiawi terhadap kejang, kejang itu sendiri saja
nampak cukup, untuk menyebabkan kerusakan otak. Berkurangnya aliran
darah otak (Cerebral Blood Flow), kurang dari 20 ml/100g/menit, memberikan
banyak efek di antaranya terinduksinya Nitrit Oksida Sintase (iNOS) di dalam
astrosit dan mikroglia - yang mungkin berhubungan dengan aktivasi N-methyl-D-
Aspartate (NMDA) receptor yang menyebabkan kematian sel yang cepat hingga
3-5 menit saja yang kemudian bereaksi dengan O2 radikal bebas yang
menghasilkan super-radical. Aktifasi ini menyebabkan pelepasan asam amino
19
eksitatorik aspartat dan glutamat. Akibatnya, berlangsunglah sebuah mekanisme
kerusakan yang dimediasi oleh glutamic-mediated excitotoxicity khususnya di
hipokampus. Sementara, konsentrasi kalsium ekstraseluler normal pada neuron-
neuron setidaknya 1000 kali lebih besar daripada intraseluler. Selama kejang,
receptor gated calcium channel terbuka mengikuti stimulasi reseptor NMDA.
Peningkatan kalsium intraseluler yang fluktuatif ini akan semakin meningkatkan
keracunan sel. Akibatnya apabila kejang ini terus menerus terjadi, kerusakan
otak yang terjadi pun akan semakin besar.7
F. MANIFESTASI KLINIS
20
hiperpnea dengan retensi karbondioksida. Adanya takikardi dan
peningkatan tekanan darah, hiperpireksia mungkin berkembang.
Hiperglikemia dan peningkatan laktat serum terjadi yang mengakibatkan
penurunan pH serum dan asidosis respiratorik dan metabolik. Aktivitas
kejang sampai lima kali pada jam pertama pada kasus yang tidak
tertangani.5
2. Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status
Epilepticus)
Ada kalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik
umum mendahului fase tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada
periode kedua.6
3. Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epilepticus)
Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan
kehilangan kesadaran tanpa diikuti fase klonik. Tipe ini terjadi pada
ensefalopati kronik dan merupakan gambaran dari Lenox-Gestaut
Syndrome.5
4. Status Epileptikus Mioklonik
Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselopati. Sentakan
mioklonus adalah menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin
memburuknya tingkat kesadaran. Tipe dari status epileptikus
tidak biasanya pada enselofati anoksia berat dengan prognosis yang
buruk, tetapi dapat terjadi pada keadaan toksisitas, metabolik, infeksi
atau kondisi degeneratif.5
21
5. Status Epileptikus Absens
Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada
usia pubertas atau dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran
dan status presen sebagai suatu keadaan mimpi (dreamy state) dengan
respon yang lambat seperti menyerupai slow motion movie dan mungkin
bertahan dalam waktu periode yang lama. Mungkin ada riwayat
kejang umum primer atau kejang absens pada masa anak-anak. Pada
EEG terlihat aktivitas puncak 3 Hz monotonus (monotonous 3 Hz spike)
pada semua tempat. Status epileptikus memberikan respon yang
baik terhadap Benzodiazepin intravena.5
6. Status Epileptikus Non Konvulsif
Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau
parsial kompleks karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan status
epileptikus non-konvulsif ditandai dengan stupor atau biasanya koma.
Ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan paranoid,
delusional, cepat marah, halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive
behavior), retardasi psikomotor dan pada beberapa kasus
dijumpai psikosis. Pada EEG menunjukkan generalized spike wave
discharges, tidak seperti 3 Hz spike wave discharges dari status absens.5
7. Status Epileptikus Parsial Sederhana
a. Status Somatomotorik
Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu
jari dan jari-jari pada satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan
kaki pada satu sisi dan berkembang menjadi jacksonian march pada
satu sisi dari tubuh. Kejang mungkin menetap secara unilateral dan
kesadaran tidak terganggu. Variasi dari status somatomotorik ditandai
22
dengan adanya afasia yang intermiten atau gangguan berbahasa (status
afasik).5
b. Status Somatosensorik
Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan
gejala sensorik unilateral yang berkepanjangan atau suatu sensory
jacksonian march.5
8. Status Epileptikus Parsial Kompleks
Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari
frekuensi yang cukup untuk mencegah pemulihan di antara episode. Pada
SE parsial kompleks juga dapat terjadi otomatisme, gangguan berbicara
dan keadaan kebingungan yang berkepanjangan. Pada EEG terlihat
aktivitas fokal pada lobus temporalis atau frontalis di satu sisi, tetapi
bangkitan epilepsi sering menyeluruh. Kondisi ini dapat dibedakan dari
status absens dengan EEG, tetapi mungkin sulit memisahkan status
epileptikus parsial kompleks dan status epileptikus non-konvulsif pada
beberapa kasus.5
G. DIAGNOSIS
1. ANAMNESIS
Epilepsi adalah sebuah penyakit yang sangat sulit untuk
didiagnosa, dan kesalahan-kesalahan dalam mendiagnosis
seringkali terjadi. Ketepatan diagnosis pada pasien dengan epilepsi
bergantung terutama pada penegakan terhadap gambaran yang jelas baik
dari pasien maupun dari saksi. Hal ini mengarahkan pada diagnosis
gangguan kesadaran. Seseorang harus menelusuri secara teliti tentang
bagaimana perasaan pasien sebelum gangguan, selama (apabila pasien
sadar) dan setelah serangan, dan juga memperoleh penjelasan yang jelas
tentang apa yang dilakukan pasien setiap tahap kejang dari seorang saksi.
23
Seseorang tidak dapat langsung menegakkan diagnosa hanya dengan
gejala klinis yang ada melalui penilaian serangan. Pemeriksaan, seperti
EEG, sebaiknya digunakan untuk menunjang perkiraan diagnostik yang
didasarkan pada informasi klinis. Diagnostik secara tepat selalu jauh
lebih sulit dilakukan pada pasien yang mengalami kehilangan kesadaran
tanpa adanya saksi mata.8
Gejala klinis yang dapat dilihat secara nyata adalah kejang dengan
tonik, klonik, atau tonik-klonik pada gerakan tungkai. Pasien mungkin
hanya menunjukkan gerakan kejang dengan amplitudo yang kecil pada
wajahnya, tangan, kaki dan sentakan nistagmoid pada kedua matanya.
Jika kejang ini berhenti, pasien akan tetap dalam kondisi tidak sadar dan
tidak memberikan respon atau kemungkinan pasien bingung kemudian
kejang kembali terjadi.6
Pada pemeriksaan neurologis, pasien tidak akan memberikan
respon terhadap komando verbal. Dia akan meningkatkan atau
menurunkan tonus otot, dengan gerakan yang tidak perlu pada tungkai,
dan akan memperlihatkan refleks Babinski positif. Umumnya, tanda
neurologis yang ditemukan bersifat simetris.6
Kadang-kadang terdapat pasien dengan kebingungan yang
menetap, gangguan kesadaran, dan mampu menggerakkan kaki dan
berjalan yang dimiliki oleh pasien status epileptikus yang disebut juga
status epileptikus non-konvulsif (complex partial epilepticus). Pada
pasien seperti ini, gambaran hasil EEG yang abnormal dan terjadi secara
persisten dan spesifik, menegakkan diagnosis.6
Uraian di bawah ini dapat menjelaskan tentang diagnosis
diferensial pada epilepsi bentuk lain.8
a. Bangkitan tonik-klonik harus dibedakan dari penyebab serangan
gangguan kesadaran lainnya. Gangguan kardiovaskuler adalah
penentu utama yakni berupa pusing biasa dan pingsan vasovagal
24
pada pasien yang muda, aritmia, dan hipotensi postural pada pasien
yang tua. Kebingungan seringkali terjadi disebabkan oleh kejang
mioklonik singkat yang kadang-kadang disertai pingsan yang
disebabkan oleh banyak faktor. Yang cukup memburamkan
diagnosis adalah serangan non-epileptik yang bersifat psikogenik.
Diabetes yang dalam masa terapi harus segera dicurigai merupakan
hipoglikemia. Pada umumnya, menggigit lidah, nafas sesak dan tidak
teratur, kejang hebat, inkontinensia, post-ictal confusion, dan nyeri
tungkai merupakan ciri dari epilepsi tonik-klonik
b. Bangkitan absen atau Absence Seizure memberikan gambaran jelas
berupa hilangnya kesadaran dalam beberapa waktu secara tiba-tiba.
Selama hilangnya kesadaran, penderita seakan-akan sadar namun
seperti orang yang menghayal dan tiba-tiba kembali melanjutkan
aktifitas seakan tidak pernah terjadi bangkitan. Namun dagnosis
untuk bangkitan jenis ini diburamkan oleh menghayal dan
ketidakfokusan terhadap lingkungan.
c. Kejang motorik fokal tidak memiliki diagnosis diferensial
d. Kejang sensorik fokal dapat diburamkan oleh transient
ischaemic attack tetapi seringkali terjadi dalam waktu yang lebih
singkat dan lebih sering, dan menyebabkan lebih banyak
menyebabkan kesemutan daripada kebas.
e. Kejang lobus frontal dapat diburamkan oleh dystonia. Penyakit
ini sendiri menunjukkan perubahan perilaku yang aneh akibat fungsi
lobus frontal yang terganggu.
f. Kejang lobus temporal harus dibedakan dengan ansietas dan
serangan panik. Serangan yang diprovokasi oleh berbagai penyebab,
atau yang lebih dari beberapa menit, sepertinya tidak disebabkan
oleh epilepsi lobus temporal. Serangan yang melibatkan tingkah laku
aneh yang membutuhkan kewaspadaan, pikiran yang jernih dan/atau
25
tingkah laku yang terkoordinasi dengan baik seperti berkelahi dan
merampok toko tidak menggambarkan epilepsi sama sekali.
Di luar dari temuan akurat yang berkaitan dengan serangan,
terdapat banyak informasi lebih lanjut yang perlu ditelusuri melalui
anamnesis dan pemeriksaan. Jika serangan tersebut diduga akan berlanjut
sebagai epilepsi, penelusuran harus disusun sesuai dengan penyebab
epilepsi. Epilepsi umum primer-tonik-klonik umum primer, bangkitan
absen dan mioklonik, dengan atau tanpa fotosensitivitas-memiliki kaitan
dengan keluarga, sehingga bertanya mungkin akan mengungkap anggota
keluarga lainnya yang juga menderita serangan epilepsi. Epilepsi fokal
bentuk apapun memperlihatkan adanya patologi intrakranial. Patologi
paling umum yang dimaksud adalah pembentukan jaringan ikat pada satu
daerah yang merupakan kelanjutan dari beberapa proses perjalanan
penyakit aktif sebelumnya, meskipun kadang-kadang serangan epilepsi
mungkin terjadi ketika terdapat proses patologi yang masih berlangsung
di fase aktif.8
a. Setelah trauma otak saat melahirkan;
b. Setelah trauma pada otak dan kepala;
c. Selama atau setelah meningitis, ensefalitis, atau abses otak;
d. Pada saat atau sisa dari infark serebri, perdarahan serebral,
atau perdarahan sub arachnoid;
e. Hasil dari trauma bedah yang tak terhindarkan.
Kadang-kadang epilepsi dicetuskan oleh gangguan biokimia di
otak seperti:
a. Selama putus konsumsi obat dan alkohol;
b. Selama koma hepatik, uremik, dan hipoglikemik;
c. Sementara mengonsumsi obat penenang atau antidepresan.
26
Yang juga perlu dipikirkan adalah kemungkunan epilepsi yang
dicetuskan oleh tumor otak. Tumor otak merup[akan penyebab yang
tidak sering menyebabkan epilepsi, namun tidak boleh disingkirkan
tanpa adanya pemeriksaan lebih lanjut. Epilepsi yang onsetnya
dimulai pada umur dewasa, khususnya dengan tanda-tanda defisit
neurologis fokal dan terasosiasi, kemungkinan besar disebabkan oleh
tumor.8
Untuk mempermudah anamnesis, berikut kesimpulan yang perlu
dintanyakan kepada pasien maupun saksi:8
a. Family history
b. Past history
c. Systemic history
d. Alcoholic history
e. Drug hostory
f. Focal neurological symptoms and signs
2. PEMERIKSAAN FISIK
27
tentang tipe gangguan kejang, dan lokasi spesifik kejang fokal. Pada
pemeriksaan EEG rutin, tidur dan bangun, hanya terdapat 50% dari
seluruh pasien epilepsy yang akan terdeteksi dengan hasil yang
abnormal.8
EEG sebenarnya bukan merupakan tes untuk menegakkan diagnosa
epilepsi secara langsung. EEG hanya membantu dalam penegakan
diagnosa dan membantu pembedaan antara kejang umum dan kejang
fokal. Tetapi yang harus diingat8 :
a. 10% populasi normal menunjukkan gambaran EEG abnormal yang
ringan dan non spesifik seperti gelombang lambat di salah satu atau
kedua lobus temporal-menurut sumber lain terdapat 2% populasi
yang tidak pernah mengeluh kejang memberikan gambaran abnormal
pada EEG;
b. 30% pasien dengan epilepsi akan memiliki gambaran EEG yang
normal pada masa interval kejang-berkurang menjadi 20% jika EEG
dimasukkan pada periode tidur.
Dengan kata lain, EEG dapat memberikan hasil yang berupa positif
palsu maupun negatif palsu, dan diperlukan kehati-hatian dalam
menginterpretasinya. Perekaman EEG yang dilanjutkan pada pasien
dengan aktifitas yang sangat berat dapat sangat membantu
dalam penegakan diagnosis dengan kasus yang sangat sulit dengan
serangan yang sering, karena memperlihatkan gambaran selama serangan
kejang terjadi. Namun dengan metode ini pun masih terdapat
kemungkinan negatif palsu, dengan 10% kejang fokal yang timbul di
dalam sebuah lipatan korteks serebri dan yang gagal memberikan
gambaran abnormal pada pemeriksaan EEG.8
28
Pencitraan otak, lebih sering digunakan MRI daripada CT Scan,
adalah bagian yang penting dari penilaian epilepsi tipe fokal, dan di
beberapa kasus epilepsi tipe yang tidak menentu. Mungkin tidak begitu
penting pada pasien kejang umum yang telah dikonfirmasi dengan EEG.
Pemeriksaan lainnya seperti glukosa, kalsium, dan ECG jarang
memberikan informasi yang dibutuhkan.8
Sulitnya menegakkan diagnosis epilepsi dengan bantuan
pemeriksaan di atas, memaksa seorang pemeriksa harus meneliti gejala
klinis secara seksama untuk menegakkan diagnosa dengan tetap
memperhatikan hasil dari pemeriksaan EEG.8
H. PENATALAKSANAAN
29
konvulsius, dan terdapat kesulitan monitor
jalan napas, pernapasan, sirkulasi atau tanda
vital lain
Stadium I (0-10 menit) SE Pertahankan patensi jalan napas dan
Dini resusitasi
Berikan oksigen
Periksa fungsi kardiorespirasi
Pasang infus
Pilihan OAE pada SE dini adalah
Lorazepam (intravena) 0,1
mg/kgBB( dapat diberikan 4 mg bolus,
diulang satu kali setelah 10-20 menit).
Berikan OAE yang biasa digunakan bila
pasien sudah pernah mendapat terapi OAE
Stadium II (10-30 menit) Monitor pasien
Pertimbangkan kemungkinan kondisi non
epileptic
Terapi antiepilepsi emergensi
Pemeriksaan emergensi (lihat dibawah)
Berikan glukosa (D50% 50 ml)
dan/atau Thiamine 250 mg i.v bila ada
kecurigaan penyalahgunaan alcohol atau
defisiensi nutrisi
Terapi asidosis bila terdapat asidosis berat
Stadium III (0-60 menit) Pastikan etiologi
SE Menetap Siapkan untuk rujuk ke ICU
Identifikasi dan terapi komplikasi medis
30
yang terjadi
Vasopressor bila diperlukan
Pilihan OAE pada SE Menetap adalah
Bila bangkitan masih berlanjut terapi
sebagai berikut dibawah ini. Phenytoin i.v
dosis 15-18 mg/kg dengan kecepatan
pemberian 50 mg/menit dan/atau bolus
Phenobarbital 10-15 mg/kg i.v dengan
kecepatan pemberian 100 mg/menit.
Stadium IV (30-90 Menit) Pindah ke ICU
Perawatan intensif dan monitor EEG
Monitor tekanan intracranial bila
dibutuhkan
Berikan antiepilepsi rumatan jangka
Panjang
31
SE Non-konvulsif pada Fenitoin IV atau Anastesi dengan
Pasien Koma Fenobarbital tiopenton, Penobarbital,
Propofol atau
Midazolam
32
Karbamazepin + sodium valproate Bangkitan Parsial Kompleks
Sodium valproate + Lamotrigin Bangkitan Parsial/Bangkitan Umum
Topiramat + Lamotrigin Bangkitan Parsial/Bangkitan Umum
I. PROGNOSIS
Prognosis status epileptikus bergantung pada respon terhadap pengobatan.
Dalam studi yang dilakukan oleh Koperasi SE Veteran Affairs menunjukkan
bahwa sebesar 56% dari pasien yang terdiagnosis jelas mengalami GCSE
(General Convulsive Status Epilepticus) yang memberikan respon terhadap
pengobatan tahap awal. Sedangkan untuk jenis status epileptikus halus (Subtle
SE) hanya 15% pasien yang menanggapi pengobatan awal. Sehingga jelas terlihat
bahwa prognosis juga tergantung terhadap baik buruknya respon pasien terhadap
33
pengobatan yang diberikan. Semakin rendah respon terhadap pengobatan,
semakin buruk prognosis.5
J. KOMPLIKASI
Komplikasi status epileptikus bervariasi. Komplikasi sistemik meliputi
hipertermia, hipoksia, asidosis respiratorik, kegagalan pernapasan, stress
cardiomiopaty, hipotensi, rabdomiolisis, serta aspirasi. 5
BAB III
A. Resume
Pasien rujukan dari Puskesmas Tampo datang ke IGD RSU Muna dengan
keluhan kejang sejak rabu pagi (16 Februari 2022) sebanyak 6 kali SMRS.
Kejang yang dialami pada seluruh tubuh dengan ujung-ujung jari tangan dan kaki
yaitu mual (-) dan muntah (+) sebanyak 4x, nyeri kepala (+), demam (+), BAB
Riwayat penyakit yang diidap anggota keluarga lain seperti riwayat stroke (-),
riwayat hipertensi, riwayat DM, dan riwayat penyakit jantung disangkal. Riwayat
kebiasaan merokok maupun minum alcohol disangkal oleh pasien. Pasien belum
dengan nilai GCS E3M4V1. Tanda vital Tekanan darah 95/78 mmHg, Nadi
34
77x/menit, Pernapasan 26x/menit, Suhu 38,6°C, SpO 2 99%. Pada pemeriksaan
B. Analisis Kasus
Meningitis bakterial akut memiliki trias klinik, yaitu demam, nyeri kepala hebat,
dan kaku kuduk; tidak jarang disertai kejang umum dan gangguan kesadaran.
Tanda Brudzinski dan Kernig juga dapat ditemukan serta memiliki signifikansi
klinik yang sama dengan kaku kuduk, namun sulit ditemukan secara konsisten.
sangat cepat (kondisi delirium atau sopor dalam hitungan jam), terdapat ruam
oleh infeksi paru, telinga, sinus, atau katup jantung. Etiologi pneumokokal juga
terjadi setelah infeksi telinga dan saluran napas atas pada anak. Tanda-tanda
serebral fokal pada stadium awal meningitis paling sering disebabkan oleh
35
sering menyebabkan kejang. Lesi serebal fokal persisten atau kejang yang sulit
dikontrol biasanya terjadi pada minggu kedua infeksi meningen dan disebabkan
oleh vaskulitis infeksius, saat terjadi sumbatan vena serebral superfi sial yang
berujung pada infark jaringan otak. Abnormalitas saraf kranial sering terjadi pada
meningitis pneumokokal, karena invasi eksudat purulen yang merusak saraf yang
36
merekomendasikan pemberian dexamethasone apapun etiologi MB yang
ditemukan. Pemberian dexamethasone pada pasien MB dengan sepsis berat
atau syok sepsis dapat meningkatkan kesintasan
DAFTAR PUSTAKA
1. Lombardo, M.C. Gangguan Kejang didalam Price, S.A., Wilson, L.M. 2005.
London.
37
7. Mauricio, E.A., Freeman, W.D. 2011. Status Epilepticus in the Elderly:
Treatment.
Publishing. Australia.
10. Prasetyo, A., Prasetyo, B.H. 2018. Tatalaksana Status Epileptikus di Instalasi
Gawat Darurat.
38