Anda di halaman 1dari 38

BAGIAN NEUROLOGI LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN FEBRUARI 2022


UNIVERSITAS HALU OLEO

STATUS EPILEPTIKUS

Oleh :
Rahmad Irman Karim, S.Ked (K1B120029)
Restuaji Bagas Khairul Umam, S.Ked ( K1B121001)

Pembimbing :
dr. Karman, M. Kes., Sp. S

KEPANITERAAN KLINIK NEUROLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2022

1
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama / NIM : Rahmad Irman Karim, S.Ked (K1B120029)


Restuaji Bagas Khairul Umam, S.Ked ( K1B121001)
Judul : Status Epileptikus
Bagian : Ilmu Penyakit Saraf
Fakultas : Kedokteran

Telah menyelesaikan laporan kasus dalam rangka kepaniteraan klinik pada


bagian Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo pada Februari
2022.

Raha, Februari 2022


Pembimbing

dr. Karman, M.Kes., Sp.S

2
BAB I

STATUS PASIEN NEUROLOGI

A. Identitas Pasien

Nama : Nn. Sulistina


Umur : 25 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Perawat
Alamat : Desa Tampo
Agama : Islam
No. RM : 02-xx-xx
Tanggal masuk RS : 16 Februari 2022
DPJP : dr. Karman, M.Kes, Sp.S.

B. Anamnesis

Keluhan utama : Kejang


Anamnesis terpimpin :
Pasien rujukan dari Puskesmas Tampo datang ke IGD RSU Muna dengan
keluhan kejang sejak rabu pagi (16 Februari 2022) sebanyak 6 kali SMRS.
Kejang yang dialami pada seluruh tubuh dengan ujung-ujung jari tangan dan kaki
membiru.riwayat kejang sebelumnya pada tanggal 10/02/2022. Keluhan lain
yaitu mual (-) dan muntah (+) sebanyak 4x, Nyeri Kepala (+), Demam (+), BAB
dan BAK dalam batas normal.
Riwayat penyakit dahulu : Riwayat hipertensi (-), riwayat DM (-), riwayat
kolesterol (-), riwayat penyakit jantung (-)
Riwayat keluarga : Riwayat stroke (-), riwayat hipertensi (-), riwayat
DM (-), riwayat penyakit jantung (-)
Riwayat kebiasaan : Merokok (-), minum alkohol (-)

3
Riwayat pengobatan : Tidak ada
C. Pemeriksaan Fisis

Pemeriksaan Umum

 Kesan : Sakit berat


 Kesadaran : E3M4V1 (Somnolen)
 Tanda-tanda vital
- TD : 95/78mmHg
- Nadi : 77x/m
- Pernapasan : 26x/m
- Suhu : 38,6ºC
- SpO2 : 99%
 Kepala : Normocephal, muka tampak simetris
 Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), Reflex cahaya
langsung (+/+), reflex cahaya tidak langsung (+/+)
 Hidung : Rinore (-), epistaksis (-)
 Telinga : Otore (-/-)
 Mulut : Bibir pucat (-), atrofi papil lidah (-)
 Leher : Pembesaran KGB (-)
Pembesaran kelenjar tiroid (-)
Arteri karotis : Palpasi (+), Auskultasi : bruit (-)
 Thoraks
- Inspeksi : Simetris kanan = kiri
- Palpasi : Nyeri tekan (-), massa (-)
- Perkusi : Sonor kanan = kiri
- Auskultasi : Bunyi napas vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
 Jantung
- Inspeksi : IC tidak tampak

4
- Palpasi : IC tidak teraba
- Perkusi : Batas jantung kanan : ICS IV linea parasternalis D
Batas jantung kiri : ICS V midclavicularis S
- Auskultasi : BJ I/II Murni regular, murmur (-), gallop (-)
 Abdomen
- Inspeksi : Datar, ikut gerak napas
- Auskultasi : BU (+) kesan normal
- Perkusi : Timpani
- Palpasi : Nyeri tekan (-), organomegali (-)
 Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik

Pemeriksaan Psikiatris
 Reaksi emosi : tidak dilakukan
 Proses berfikir : tidak dilakukan
 Kecerdasan : tidak dilakukan
 Penyerapan : tidak dilakukan
 Kemauan : tidak dilakukan
 Psikomotor : tidak dilakukan

Pemeriksaan Neurologi
GCS : E3M4V1
1. Kepala
Bentuk/ukuran : Normocephal
Penonjolan :(-)
2. Saraf Cranialis
N. I
Penghidu : Normosmia
N. II OS OD

5
Ketajaman penglihatan : Normal Normal
Lapangan penglihatan : Normal Normal
Funduskopi : Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N. III, IV, VI D S
Celah kelopak mata
Ptosis : (-) (-)
Eksofthalmus : (-) (-)
Pupil
Bentuk/ukuran : 2,5 mm/bulat 2,5 mm/bulat
Isokor/unisokor : Isokor Isokor
RCL/RCTL : (+) (+)
Refleks akomodasi : Tidak dilakukan Tidak dilakukan
pemeriksaan pemeriksaan
Gerakan bola mata
Parese ke arah : (-) (-)
Nistagmus : (-) (-)
N. V
Sensibilitas : N.V1 : Normal
: N. V2 : Normal
: N. V3 : Normal
Motorik : Membuka mulut : Normal
Istrahat/menggigit : Normal
Refleks dagu/masseter : Normal
Refleks kornea : Normal
N. VII
Motorik : M.Frontalis M.Orbikulari okuli M.Orbikulari oris
Istirahat : Baik Baik Baik
Mimik : Baik Baik Baik

6
Pengecap 2/3 lidah anterior : Tidak dilakukan pemeriksaan
N. VIII
Pendengaran : Kanan kiri normal
Tes Rinne/Weber : Tidak dilakukan pemeriksaan
Fungsi Vestibularis : Tidak dilakukan pemeriksaan
N. IX dan X
Arcus faring : Tidak dilakukan pemeriksaan
Deviasi uvula : Tidak dilakukan pemeriksaan
Refleks telan muntah : Tidak dilakukan pemeriksaan
Pengecap 1/3 lidah posterior : Tidak dilakukan pemeriksaan
Suara : Jelas
N.XI
Memalingkan kepala dengan/tanpa tahanan : Dengan tahanan
Angkat Bahu : Normal
N. XII
Deviasi Lidah : Tidak Ada
Fasikulasi : Tidak Ada
Atrofi : Tidak Ada
Tremor : Tidak Ada
Disartria : Tidak Ada

3. Leher
Tanda-tanda perangsangan selaput otak : Kaku kuduk : (-)
Kernig’s sign : (-)

7
4. Abdomen
Refleks kulit dinding perut:
N N N

N N N

N N N

5. Kolumna vertebralis
Inspeksi : Normal
Palpasi : Normal
Perkusi : Normal
Pergerakan : Normal
6. Ekstremitas : Lateralisasi ke kiri

Refleks Fisiologis
Superior

Dextra Sinistra
Biceps N N

Triceps N N

Radius N N

Ulna N N

KPR N N

APR N N

8
Refleks Patologik
 Hoffmann : -/- Babinski : -/-
 Tromner : -/- Chadock : -/-
Gordon : -/-
Schaefer : -/-
Openheim : -/-

Sensibilitas
Eksteroseptif
Taktil : Normal/ Normal
Nyeri : Normal/ Normal
Suhu : Normal/ Normal
Proprioseptif
Rasa sikap : Normal
Rasa nyeri dalam : Normal
Fungsi kortikal
Rasa diskriminasi : Normal
Stereognosis : Normal
Pergerakan abnormal spontan : (-)
Gangguan Koordinasi
 Tes jari hidung : sulit dinilai
 Tes pronasi-supinasi : sulit dinilai
 Tes tumit : sulit dinilai
 Tes pegang jari : sulit dinilai
Gangguan Keseimbangan
 Tes romberg : sulit dinilai
 Gait : sulit dinilai
Pemeriksaan Fungsi Luhur
 Orientasi : Normal

9
 Registrasi : Normal
 Atensi : Normal
 Memori : Normal
 Bahasa : Normal

D. Pemeriksaan Penunjang

 Darah Rutin (16/02/2022)

Parameter Hasil Nilai Rujukan


Eritrosit 4.340.000/µL P : 4,0 – 5,5 juta
L : 4,5 – 6,0 juta
Hemoglobin 11,8 g/dl P : 12 – 16g/dl
L : 14- 18 g/dl
Hematokrit 35,9 % 37-48
MCV 83 fL 80-97
MCH 27,1 pg 26,5-33,5
MCHC 32,8 % 31,5-35
Leukosit 14.800/µL 4.000-10.000/µL
Netrofil Segmen 78,2 % 50-70
Limfosit 11,1 % 20-40%
Monosit 10,7 % 2-8%
Trombosit 156.000/µL 150.000-400.000 /µL
 Kimia Darah (16/02/2022)

Parameter Hasil Nilai Rujukan

GDS 126 mg/dl <140 mg/dl

10
E. Diagnosis Kerja

Klinis : Kejang

Topis : Status Epileptikus

Etiologi :-

F. Diagnosis Banding

Suspek Meningitis

Gangguan Psikosomatis

G. Terapi

Non Medikamentosa :

1. Manajemen cairan

2. Edukasi

3. Terapi nutrisi

Medikamentosa :

1. Drips Diazepam 1 Ampul dalam D5% 24 tpm

2. Inj Dexamethasone 1 Ampul/6 jam

3. Inj Ceftriaxone (Skin Test)

4. Paracetamol Drips 500 mg/8 jam

5. Ranitidin 1 Ampul/12 jam

6. Ceftriaxon 2 gr/IV/24 jam

11
H. Prognosis

Quo ad vitam : Dubia et bonam

Quo ad functionam : Dubia et bonam

Quo ad sanationam : Dubia et bonam

I. Follow Up

Hari/ Tanggal Perjalanan Penyakit Rencana Terapi


Rabu, 16 Februari S : Kesadaran menurun, kejang o Drips Diazepam 1
2022 (+),demam (+), muntah (+),
Ampul dalam D5%
nyeri kepala
24 tpm
O: KU: Sakit berat, lemah
o Inj Dexamethasone
TD: 95/78 mmHg
N: 77 x/menit 1 Ampul/IV/6 jam
P: 26 x/menit
o Inj Ceftriaxone
S: 38,6 C
0

A: Status Epileptikus 1gr/IV/12jam

DD/ Meningitis o Paracetamol Drips


Gangguan Psikosomatis
500 mg/8 jam

Kamis, 17 Februari S : Kesadaran menurun, kejang  IVFD Dextrose 5%


2021 (+), demam (+), muntah (-), 21 tpm
nyeri kepala  Inj Dexamethasone 1
Ampul/IV/6 jam
O: KU: sedang, lemah
TD: 110/70 mmHg  Inj Ceftriaxone

N: 70 x/menit 2gr/IV/24jam
 Paracetamol Drips

12
P: 26 x/menit 500 mg/8 jam
S: 37,60C  Kutoin 250 mg +
100cc NaCl 12
A: Status Epileptikus
tpm/12 jam
 Ranitidin 50
mg/IV/12 jam
 Santagesik
1amp/IV/8jam
 Diazepam 0,5 amp
dalam NaCl 0,9%
2cc/IV/24 jam
 Terpasang kateter
(+)
 O2 3-4 LPM via
nasal kanul
Jum’at, 18 Februari S : Kesadaran mulai membaik,  IVFD Dextrose 5%
2022 kejang (+) terakhir hari kamis 21 tpm
pukul 17.50, demam (-), lemah  Inj Dexamethasone 1
anggota gerak kiri, muntah (-), Ampul/IV/6 jam
nyeri kepala (+)  Inj Ceftriaxone

O: KU: sedang, lemah 2gr/IV/24jam

TD: 100/50 mmHg  Paracetamol Drips

N: 98 x/menit 500 mg/8 jam

P: 24 x/menit  Kutoin 250 mg +

S: 36,80C 100cc NaCl 12


tpm/12 jam
A: Status Epileptikus
 Ranitidin 50
mg/IV/12 jam

13
 Santagesik
1amp/IV/8jam
 Terpasang kateter
(+)
 O2 3-4 LPM via
nasal kanul
Sabtu, 19 Februari S : Kesadaran membaik, lemas  IVFD Dextrose 5%
2022 (+), kejang (-), demam (-), 21 tpm
lemah anggota gerak kiri,  Inj Dexamethasone 1
muntah (-), nyeri kepala (+) Ampul/IV/6 jam
 Inj Ceftriaxone
O: KU: sedang, lemah
TD: 112/53 mmHg 2gr/IV/24jam

N: 79 x/menit  Paracetamol Drips

P: 24 x/menit 500 mg/8 jam

S: 37,00C  Kutoin 250 mg +


100cc NaCl 12
A: Status Epileptikus
tpm/12 jam
 Ranitidin 50
mg/IV/12 jam
 Santagesik
1amp/IV/8jam
 Terpasang kateter
(+)
O2 3-4 LPM via nasal
kanul
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

14
A. DEFINISI

Status epileptikus menurut Epilepsy Foundation of America’s


Working Group on Stastus Epileptic adalah sebagai bangkitan yang
berlangsung lebih dari 30 menit atau dua atau lebih bangkitan, dimana
diantara dua bangkitan tidak terdapat pemulihan kesadaran. Penanganan
kejang harus dimulai dalam 10 menit setelah awitan suatu kejang.3
Dikenal dua tipe Status Epileptikus yaitu SE Konvusif (terdapat
bangkitan motorik) dan SE non-konvusif (tidak terdapat bangkitan
motorik).11 Status epileptikus konvulsif adalah bangkitan dengan durasi lebih
dari 5 menit, atau bangkitan berulang 2 kali atau lebih tanpa pulihnya
kesadaran diantara bangkitan. Status epileptikus nonkonvulsif adalah
sejumlah kondisi saat aktivitas bangkitan elektrografik memanjang (EEG
status) dan memberikan gejala klinis nonmotorik termasuk perubahan
perilaku atau “awareness”. SE dibedakan dari bangkitan serial (frequent
seizures), yaitu bangkitan tonik klonik yang berulang tiga kali atau lebih
dalam satu jam.9
B. EPIDEMIOLOGI

Jumlah kasus status epileptikus di Amerika Serikat berdasarkan studi


epidemiologi yaitu sekitar 102.000-152.000 episode per-tahun dan sebanyak
55.000 kematian per tahun telah dikaitkan dengan status epileptikus. 1 Status
epileptikus merupakan keadaan kejang terus menerus, dengan kejadian
tahunan berkisar 10-86 per 100.000 orang.4
Signifikan proporsi antara anak-anak (16-38%) dan dewasa (42-50%)
dengan status epileptikus yang mempunyai riwayat epilepsy. Angka kematian
singkat (meninggal dalam kurun waktu 30 hari) yang disebabkan oleh status
epileptikus berkisar antara 7,6-22% pada semua tingkat usia, dan kejadian
terbanyak ternjadi pada orang tua/lansia.11

15
Etiologi status epileptikus tergantung usia dan menentukan
prognosis. Setelah usia 60 tahun penyakit serebrovaskular beresiko
menimbulkan kejang. Penelitian yang dipimpin oleh Richmon di Virginia
USA, pasien yang berumur lebih dari 60 tahun yang menderita status
epileptikus, 35% di antaranya disebabkan oleh acute cerebrovascular (CVA).
Etiologi lainnya hipoksia, gangguan metabolik, alkohol, tumor, infeksi
trauma, dan idiopatik.2
Penelitian di Rochester, Minnesota, USA mengidentifikasi bahwa
dementia ditambahkan dalam daftar penyebab status epileptikus. Penelitian di
California juga mengidentifikasi stroke sering menyebabkan generalized
status epilepticus (GSE).2
C. ETIOLOGI

Etiologi status epileptikus tergantung usia dan menentukan


prognosis. Setelah usia 60 tahun penyakit serebrovaskular beresiko
menimbulkan kejang. Penelitian yang dipimpin oleh Richmon di Virginia
USA, pasien yang berumur lebih dari 60 tahun yang menderita status
epileptikus, 35% di antaranya disebabkan oleh acute cerebrovascular (CVA).
Etiologi lainnya hipoksia, gangguan metabolik, alkohol, tumor, infeksi
trauma, dan idiopatik.2
Penelitian di Rochester, Minnesota, USA mengidentifikasi bahwa
dementia ditambahkan dalam daftar penyebab status epileptikus. Penelitian di
California juga mengidentifikasi stroke sering menyebabkan generalized
status epilepticus (GSE).2

D. KLASIFIKASI
9
Berdasarkan Klinis:

16
1. SE Fokal

2. SE General

Berdasarkan Durasi:

1. SE Dini (5-30 menit)

2. SE Menetap/Established (>30 menit)

3. SE Refrakter (Bangkitan tetap ada setelah mendapat dua atau tiga jenis

antikonvulsan awal dengan dosis adekuat

Status Epileptikus Non-konvulsivus (SE-NK) dibagi menjadi dua


kelompok utama:
1. SE-NK Umum
2. SE-NK Fokal
E. PATOFISIOLOGI

Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah
fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan
patologik. Aktifitas kejang sebagian bergantung pada lokasi lepas muatan yang
berlebihan tersebut. Lesi di mesensefalon, talamus, dan korteks serebrum
kemungkinan besar bersifat epileptogenik, sedangkan lesi di serebelum dan
batang otak umumnya tidak memicu kejang.1

Di tingkat membran sel, fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena


biokimiawi, termasuk yang berikut:1

17
1. Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami
pengaktifan;
2. Neuron-neuron hipersensitif, ambang untuk melepaskan muatan
menurun, apabila terpicu akan melepaskan muatan secara berlebihan;
3. Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang
waktu dalam polarisasi berubah) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin
atau defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA);
4. Ketidak seimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau
elektrolit, yang mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga terjadi
kelainan pada depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini
menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter eksitatorik atau
deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah
kejang sebagian disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energi akibat
hiperaktifitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis
meningkat; lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi
1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan
glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama
dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi selama
aktifitas kejang.1
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti
histopatologik yang seringkali normal menunjang hipotesis bahwa lesi lebih
bersifat neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor patologik yang secara
konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin
dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap

18
asetilkolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik; fokus-fokus tersebut lambat
mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.1
Semua kejang diinisiasi oleh mekanisme yang sama. Namun status
epileptikus melibatkan adanya kegagalan dalam pemutusan rantai kejang
tersebut. Berbagai studi eksperimen menemui kegagalan yang mungkin
timbul dari kelangsungan kejang terus menerus yang abnormal, eksitasi yang
meningkat secara tajam atau pengerahan dan penghambatan yang tidak
efektif. Obat standar yang digunakan pada status epileptikus lebih efektif apabila
diberikan pada jam pertama berlangsungnya status.6
Status epileptikus dapat menyebabkan cedera otak, khususnya struktur
limbik seperti hipokampus. Selama 30 menit pertama kejang, otak masih dapat
mempertahankan homeostasis melalui peningkatan aliran darah, glukosa
darah, dan pemanfaatan oksigen. Setelah 30 menit, kegagalan homeostasis
dimulai dan mungkin akan berperan dalam kerusakan otak. Hipertermi,
rhabdomyolisis, hiperkalemia, dan asidosis laktat meningkat sebagai hasil dari
pembakaran otot spektrum luas yang terjadi terus menerus. Setelah 30 menit,
tanda-tanda dekompensasi lainnya meningkat, yakni hipoksia, hipoglikemia,
hipotensi, leukosistosis, dan cardiac output yang tidak memadai.
Merujuk pada respon biokimiawi terhadap kejang, kejang itu sendiri saja
nampak cukup, untuk menyebabkan kerusakan otak. Berkurangnya aliran
darah otak (Cerebral Blood Flow), kurang dari 20 ml/100g/menit, memberikan
banyak efek di antaranya terinduksinya Nitrit Oksida Sintase (iNOS) di dalam
astrosit dan mikroglia - yang mungkin berhubungan dengan aktivasi N-methyl-D-
Aspartate (NMDA) receptor yang menyebabkan kematian sel yang cepat hingga
3-5 menit saja yang kemudian bereaksi dengan O2 radikal bebas yang
menghasilkan super-radical. Aktifasi ini menyebabkan pelepasan asam amino

19
eksitatorik aspartat dan glutamat. Akibatnya, berlangsunglah sebuah mekanisme
kerusakan yang dimediasi oleh glutamic-mediated excitotoxicity khususnya di
hipokampus. Sementara, konsentrasi kalsium ekstraseluler normal pada neuron-
neuron setidaknya 1000 kali lebih besar daripada intraseluler. Selama kejang,
receptor gated calcium channel terbuka mengikuti stimulasi reseptor NMDA.
Peningkatan kalsium intraseluler yang fluktuatif ini akan semakin meningkatkan
keracunan sel. Akibatnya apabila kejang ini terus menerus terjadi, kerusakan
otak yang terjadi pun akan semakin besar.7
F. MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis status epileptikus berbeda tergantung pada masing-


masing jenisnya. Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal
stadium untuk mencegah keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik
umum (Generalized Tonic-Clonic) merupakan bentuk status epileptikus yang
paling sering dijumpai, hasil dari survei ditemukan kira-kira 44 sampai 74
persen, tetapi bentuk yang lain dapat juga terjadi.5
1. Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic
Status Epilepticus)
Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering
dihadapi dan potensial dalam mengakibatkan kerusakan. Kejang
didahului dengan tonik-klonik umum atau kejang parsial yang cepat
berubah menjadi tonik klonik umum. Pada status tonik-klonik umum,
serangan berawal dengan serial kejang tonik-klonik umum tanpa
pemulihan kesadaran di antara serangan dan peningkatan frekuensi.5
Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase
tonik yang melibatkan otot-otot aksial dan pergerakan pernafasan yang
terputus-putus. Pasien menjadi sianosis selama fase ini, diikuti oleh

20
hiperpnea dengan retensi karbondioksida. Adanya takikardi dan
peningkatan tekanan darah, hiperpireksia mungkin berkembang.
Hiperglikemia dan peningkatan laktat serum terjadi yang mengakibatkan
penurunan pH serum dan asidosis respiratorik dan metabolik. Aktivitas
kejang sampai lima kali pada jam pertama pada kasus yang tidak
tertangani.5
2. Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status
Epilepticus)
Ada kalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik
umum mendahului fase tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada
periode kedua.6
3. Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epilepticus)
Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan
kehilangan kesadaran tanpa diikuti fase klonik. Tipe ini terjadi pada
ensefalopati kronik dan merupakan gambaran dari Lenox-Gestaut
Syndrome.5
4. Status Epileptikus Mioklonik
Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselopati. Sentakan
mioklonus adalah menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin
memburuknya tingkat kesadaran. Tipe dari status epileptikus
tidak biasanya pada enselofati anoksia berat dengan prognosis yang
buruk, tetapi dapat terjadi pada keadaan toksisitas, metabolik, infeksi
atau kondisi degeneratif.5

21
5. Status Epileptikus Absens
Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada
usia pubertas atau dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran
dan status presen sebagai suatu keadaan mimpi (dreamy state) dengan
respon yang lambat seperti menyerupai slow motion movie dan mungkin
bertahan dalam waktu periode yang lama. Mungkin ada riwayat
kejang umum primer atau kejang absens pada masa anak-anak. Pada
EEG terlihat aktivitas puncak 3 Hz monotonus (monotonous 3 Hz spike)
pada semua tempat. Status epileptikus memberikan respon yang
baik terhadap Benzodiazepin intravena.5
6. Status Epileptikus Non Konvulsif
Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau
parsial kompleks karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan status
epileptikus non-konvulsif ditandai dengan stupor atau biasanya koma.
Ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan paranoid,
delusional, cepat marah, halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive
behavior), retardasi psikomotor dan pada beberapa kasus
dijumpai psikosis. Pada EEG menunjukkan generalized spike wave
discharges, tidak seperti 3 Hz spike wave discharges dari status absens.5
7. Status Epileptikus Parsial Sederhana
a. Status Somatomotorik
Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu
jari dan jari-jari pada satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan
kaki pada satu sisi dan berkembang menjadi jacksonian march pada
satu sisi dari tubuh. Kejang mungkin menetap secara unilateral dan
kesadaran tidak terganggu. Variasi dari status somatomotorik ditandai

22
dengan adanya afasia yang intermiten atau gangguan berbahasa (status
afasik).5
b. Status Somatosensorik
Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan
gejala sensorik unilateral yang berkepanjangan atau suatu sensory
jacksonian march.5
8. Status Epileptikus Parsial Kompleks
Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari
frekuensi yang cukup untuk mencegah pemulihan di antara episode. Pada
SE parsial kompleks juga dapat terjadi otomatisme, gangguan berbicara
dan keadaan kebingungan yang berkepanjangan. Pada EEG terlihat
aktivitas fokal pada lobus temporalis atau frontalis di satu sisi, tetapi
bangkitan epilepsi sering menyeluruh. Kondisi ini dapat dibedakan dari
status absens dengan EEG, tetapi mungkin sulit memisahkan status
epileptikus parsial kompleks dan status epileptikus non-konvulsif pada
beberapa kasus.5
G. DIAGNOSIS
1. ANAMNESIS
Epilepsi adalah sebuah penyakit yang sangat sulit untuk
didiagnosa, dan kesalahan-kesalahan dalam mendiagnosis
seringkali terjadi. Ketepatan diagnosis pada pasien dengan epilepsi
bergantung terutama pada penegakan terhadap gambaran yang jelas baik
dari pasien maupun dari saksi. Hal ini mengarahkan pada diagnosis
gangguan kesadaran. Seseorang harus menelusuri secara teliti tentang
bagaimana perasaan pasien sebelum gangguan, selama (apabila pasien
sadar) dan setelah serangan, dan juga memperoleh penjelasan yang jelas
tentang apa yang dilakukan pasien setiap tahap kejang dari seorang saksi.

23
Seseorang tidak dapat langsung menegakkan diagnosa hanya dengan
gejala klinis yang ada melalui penilaian serangan. Pemeriksaan, seperti
EEG, sebaiknya digunakan untuk menunjang perkiraan diagnostik yang
didasarkan pada informasi klinis. Diagnostik secara tepat selalu jauh
lebih sulit dilakukan pada pasien yang mengalami kehilangan kesadaran
tanpa adanya saksi mata.8
Gejala klinis yang dapat dilihat secara nyata adalah kejang dengan
tonik, klonik, atau tonik-klonik pada gerakan tungkai. Pasien mungkin
hanya menunjukkan gerakan kejang dengan amplitudo yang kecil pada
wajahnya, tangan, kaki dan sentakan nistagmoid pada kedua matanya.
Jika kejang ini berhenti, pasien akan tetap dalam kondisi tidak sadar dan
tidak memberikan respon atau kemungkinan pasien bingung kemudian
kejang kembali terjadi.6
Pada pemeriksaan neurologis, pasien tidak akan memberikan
respon terhadap komando verbal. Dia akan meningkatkan atau
menurunkan tonus otot, dengan gerakan yang tidak perlu pada tungkai,
dan akan memperlihatkan refleks Babinski positif. Umumnya, tanda
neurologis yang ditemukan bersifat simetris.6
Kadang-kadang terdapat pasien dengan kebingungan yang
menetap, gangguan kesadaran, dan mampu menggerakkan kaki dan
berjalan yang dimiliki oleh pasien status epileptikus yang disebut juga
status epileptikus non-konvulsif (complex partial epilepticus). Pada
pasien seperti ini, gambaran hasil EEG yang abnormal dan terjadi secara
persisten dan spesifik, menegakkan diagnosis.6
Uraian di bawah ini dapat menjelaskan tentang diagnosis
diferensial pada epilepsi bentuk lain.8
a. Bangkitan tonik-klonik harus dibedakan dari penyebab serangan
gangguan kesadaran lainnya. Gangguan kardiovaskuler adalah
penentu utama yakni berupa pusing biasa dan pingsan vasovagal

24
pada pasien yang muda, aritmia, dan hipotensi postural pada pasien
yang tua. Kebingungan seringkali terjadi disebabkan oleh kejang
mioklonik singkat yang kadang-kadang disertai pingsan yang
disebabkan oleh banyak faktor. Yang cukup memburamkan
diagnosis adalah serangan non-epileptik yang bersifat psikogenik.
Diabetes yang dalam masa terapi harus segera dicurigai merupakan
hipoglikemia. Pada umumnya, menggigit lidah, nafas sesak dan tidak
teratur, kejang hebat, inkontinensia, post-ictal confusion, dan nyeri
tungkai merupakan ciri dari epilepsi tonik-klonik
b. Bangkitan absen atau Absence Seizure memberikan gambaran jelas
berupa hilangnya kesadaran dalam beberapa waktu secara tiba-tiba.
Selama hilangnya kesadaran, penderita seakan-akan sadar namun
seperti orang yang menghayal dan tiba-tiba kembali melanjutkan
aktifitas seakan tidak pernah terjadi bangkitan. Namun dagnosis
untuk bangkitan jenis ini diburamkan oleh menghayal dan
ketidakfokusan terhadap lingkungan.
c. Kejang motorik fokal tidak memiliki diagnosis diferensial
d. Kejang sensorik fokal dapat diburamkan oleh transient
ischaemic attack tetapi seringkali terjadi dalam waktu yang lebih
singkat dan lebih sering, dan menyebabkan lebih banyak
menyebabkan kesemutan daripada kebas.
e. Kejang lobus frontal dapat diburamkan oleh dystonia. Penyakit
ini sendiri menunjukkan perubahan perilaku yang aneh akibat fungsi
lobus frontal yang terganggu.
f. Kejang lobus temporal harus dibedakan dengan ansietas dan
serangan panik. Serangan yang diprovokasi oleh berbagai penyebab,
atau yang lebih dari beberapa menit, sepertinya tidak disebabkan
oleh epilepsi lobus temporal. Serangan yang melibatkan tingkah laku
aneh yang membutuhkan kewaspadaan, pikiran yang jernih dan/atau

25
tingkah laku yang terkoordinasi dengan baik seperti berkelahi dan
merampok toko tidak menggambarkan epilepsi sama sekali.
Di luar dari temuan akurat yang berkaitan dengan serangan,
terdapat banyak informasi lebih lanjut yang perlu ditelusuri melalui
anamnesis dan pemeriksaan. Jika serangan tersebut diduga akan berlanjut
sebagai epilepsi, penelusuran harus disusun sesuai dengan penyebab
epilepsi. Epilepsi umum primer-tonik-klonik umum primer, bangkitan
absen dan mioklonik, dengan atau tanpa fotosensitivitas-memiliki kaitan
dengan keluarga, sehingga bertanya mungkin akan mengungkap anggota
keluarga lainnya yang juga menderita serangan epilepsi. Epilepsi fokal
bentuk apapun memperlihatkan adanya patologi intrakranial. Patologi
paling umum yang dimaksud adalah pembentukan jaringan ikat pada satu
daerah yang merupakan kelanjutan dari beberapa proses perjalanan
penyakit aktif sebelumnya, meskipun kadang-kadang serangan epilepsi
mungkin terjadi ketika terdapat proses patologi yang masih berlangsung
di fase aktif.8
a. Setelah trauma otak saat melahirkan;
b. Setelah trauma pada otak dan kepala;
c. Selama atau setelah meningitis, ensefalitis, atau abses otak;
d. Pada saat atau sisa dari infark serebri, perdarahan serebral,
atau perdarahan sub arachnoid;
e. Hasil dari trauma bedah yang tak terhindarkan.
Kadang-kadang epilepsi dicetuskan oleh gangguan biokimia di
otak seperti:
a. Selama putus konsumsi obat dan alkohol;
b. Selama koma hepatik, uremik, dan hipoglikemik;
c. Sementara mengonsumsi obat penenang atau antidepresan.

26
Yang juga perlu dipikirkan adalah kemungkunan epilepsi yang
dicetuskan oleh tumor otak. Tumor otak merup[akan penyebab yang
tidak sering menyebabkan epilepsi, namun tidak boleh disingkirkan
tanpa adanya pemeriksaan lebih lanjut. Epilepsi yang onsetnya
dimulai pada umur dewasa, khususnya dengan tanda-tanda defisit
neurologis fokal dan terasosiasi, kemungkinan besar disebabkan oleh
tumor.8
Untuk mempermudah anamnesis, berikut kesimpulan yang perlu
dintanyakan kepada pasien maupun saksi:8
a. Family history
b. Past history
c. Systemic history
d. Alcoholic history
e. Drug hostory
f. Focal neurological symptoms and signs
2. PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik sangat penting karena mungkin dapat


mengungkapkan tanda neurologis yang abnormal yang mengindikasikan
temuan sebagai berikut:8
a. Patologi intrakranial di masa lalu
b. Patologi intrakranial yang dialami sekarang
c. Perkembangan patologi intrakranial yang dimaksud di atas
3. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan EEG umumnya membantu dalam mengklasifikasikan


tipe epilepsi seseorang. Pasien jarang mengalami kejang selama
pemriksaan EEG rutin. Namun kejang tetap dapat memberikan
konfirmasi tentang kehadiran aktifitas listrik yang abnormal, informasi

27
tentang tipe gangguan kejang, dan lokasi spesifik kejang fokal. Pada
pemeriksaan EEG rutin, tidur dan bangun, hanya terdapat 50% dari
seluruh pasien epilepsy yang akan terdeteksi dengan hasil yang
abnormal.8
EEG sebenarnya bukan merupakan tes untuk menegakkan diagnosa
epilepsi secara langsung. EEG hanya membantu dalam penegakan
diagnosa dan membantu pembedaan antara kejang umum dan kejang
fokal. Tetapi yang harus diingat8 :
a. 10% populasi normal menunjukkan gambaran EEG abnormal yang
ringan dan non spesifik seperti gelombang lambat di salah satu atau
kedua lobus temporal-menurut sumber lain terdapat 2% populasi
yang tidak pernah mengeluh kejang memberikan gambaran abnormal
pada EEG;
b. 30% pasien dengan epilepsi akan memiliki gambaran EEG yang
normal pada masa interval kejang-berkurang menjadi 20% jika EEG
dimasukkan pada periode tidur.
Dengan kata lain, EEG dapat memberikan hasil yang berupa positif
palsu maupun negatif palsu, dan diperlukan kehati-hatian dalam
menginterpretasinya. Perekaman EEG yang dilanjutkan pada pasien
dengan aktifitas yang sangat berat dapat sangat membantu
dalam penegakan diagnosis dengan kasus yang sangat sulit dengan
serangan yang sering, karena memperlihatkan gambaran selama serangan
kejang terjadi. Namun dengan metode ini pun masih terdapat
kemungkinan negatif palsu, dengan 10% kejang fokal yang timbul di
dalam sebuah lipatan korteks serebri dan yang gagal memberikan
gambaran abnormal pada pemeriksaan EEG.8

28
Pencitraan otak, lebih sering digunakan MRI daripada CT Scan,
adalah bagian yang penting dari penilaian epilepsi tipe fokal, dan di
beberapa kasus epilepsi tipe yang tidak menentu. Mungkin tidak begitu
penting pada pasien kejang umum yang telah dikonfirmasi dengan EEG.
Pemeriksaan lainnya seperti glukosa, kalsium, dan ECG jarang
memberikan informasi yang dibutuhkan.8
Sulitnya menegakkan diagnosis epilepsi dengan bantuan
pemeriksaan di atas, memaksa seorang pemeriksa harus meneliti gejala
klinis secara seksama untuk menegakkan diagnosa dengan tetap
memperhatikan hasil dari pemeriksaan EEG.8
H. PENATALAKSANAAN

Prinsip tatalaksana kegawatdaruratan status epileptikus konvulsif adalah9,10,12:


1. Penanganan jalan napas dan pernapasan
2. Mempertahankan sirkulasi
3. Pemasangan akses intravena (jika belum dilakukan)
4. Pemberian obat untuk menghentikan kejang.
1. Status Epileptikus Konvulsif
Stadium Penatalaksanaan
Stadium Premonitor Pilihan OAE yang diberikan adalah Diazepam
(sebelum kerumah sakit) 10-20 mg per rektal, dapat diulangi 15 menit
kemudian bila kejang masih berlanjut,
atau midazolam 10 mg diberikan intrabuccal
(belum tersedia di Indonesia). Segera panggil
ambulans pada kondisi berikut : Bangkitan
berlanjut 5 menit setelah obat emergensi
diberikan, Penderita memiliki riwayat sering
mengalami bangkitan serial/bangkitan

29
konvulsius, dan terdapat kesulitan monitor
jalan napas, pernapasan, sirkulasi atau tanda
vital lain
Stadium I (0-10 menit) SE  Pertahankan patensi jalan napas dan
Dini resusitasi
 Berikan oksigen
 Periksa fungsi kardiorespirasi
 Pasang infus
 Pilihan OAE pada SE dini adalah
Lorazepam (intravena) 0,1
mg/kgBB( dapat diberikan 4 mg bolus,
diulang satu kali setelah 10-20 menit).
Berikan OAE yang biasa digunakan bila
pasien sudah pernah mendapat terapi OAE
Stadium II (10-30 menit)  Monitor pasien
 Pertimbangkan kemungkinan kondisi non
epileptic
 Terapi antiepilepsi emergensi
 Pemeriksaan emergensi (lihat dibawah)
 Berikan glukosa (D50% 50 ml)
dan/atau Thiamine 250 mg i.v bila ada
kecurigaan penyalahgunaan alcohol atau
defisiensi nutrisi
 Terapi asidosis bila terdapat asidosis berat
Stadium III (0-60 menit)  Pastikan etiologi
SE Menetap  Siapkan untuk rujuk ke ICU
 Identifikasi dan terapi komplikasi medis

30
yang terjadi
 Vasopressor bila diperlukan
 Pilihan OAE pada SE Menetap adalah
Bila bangkitan masih berlanjut terapi
sebagai berikut dibawah ini. Phenytoin i.v
dosis 15-18 mg/kg dengan kecepatan
pemberian 50 mg/menit dan/atau bolus
Phenobarbital 10-15 mg/kg i.v dengan
kecepatan pemberian 100 mg/menit.
Stadium IV (30-90 Menit)  Pindah ke ICU
 Perawatan intensif dan monitor EEG
 Monitor tekanan intracranial bila
dibutuhkan
 Berikan antiepilepsi rumatan jangka
Panjang

2. Status Epileptikus Non Konvulsif9


Tipe Terapi Pilihan Terapi Lain
SE Lena Benzodiazepin IV/Oral Valproate IV
SE Parsial Complex Klobazam Oral Lorazepam / Fenintoin /
Fenobarbital IV
SE Lena Atipikal Valproat Oral Benzodiazepin,
Lamotrigin, Topiramat,
Metilfenidat, Steroid
Oral
SE Tonik Lamotigrine Oral Metilfenidat, Steroid

31
SE Non-konvulsif pada Fenitoin IV atau Anastesi dengan
Pasien Koma Fenobarbital tiopenton, Penobarbital,
Propofol atau
Midazolam

Dosis OAE pada SE Non Konvulsif


SE lena biasanya bisa dihentikan dengan benzodiazepine intravena: diazepam
0,2-0,3 mg/kg, atau clonazepam 1 mg (0,25-0,5 mg pada anak- anak) atau
lorazepam 0,07 mg/kg(0,1 mg/kg pada anak), dapat diulangi bila diperlukan. Bila
terapi ini tidak efektif, mungkin bisa diberikan fenitoin atau valproat intravena.
Pada epilepsi lena pada anak, terapi rumatan dengan valproat atau ethosuximide
diberikan setelah status terkontrol. Kondisi ini sering disebabkan oleh putus
obat( khususnya obat psikotropik atau benzodiazepine), dan dapat dietrapi dengan
diazepam atau lorazepam intravena. Terapi rumatan jangka panjang biasanya tidak
diperlukan.
SE parsial kompleks paling baik diterapi dengan benzodiazepine. Terdapat
kontroversi tentang perlunya pemberian intravena pada kasus ini, pada kebanyakan
kasus terapi oral member hasil yang cukup baik.
3. SE Refrakter9
a. Terapi bedah epilepsy
b. Stimulasi N.Vagus
c. Modifikasi tingkah laku
d. Relaksasi
e. Mengurangi dosis OAE
f. Kombinasi OAE
Kombinasi OAE yang dapat diberikan pada pasien SE Refrakter
Kombinasi OAE Indikasi
Sodium valproate + etosuksimid Bangkitan Lena

32
Karbamazepin + sodium valproate Bangkitan Parsial Kompleks
Sodium valproate + Lamotrigin Bangkitan Parsial/Bangkitan Umum
Topiramat + Lamotrigin Bangkitan Parsial/Bangkitan Umum

Gambar 1. Alur tatalaksana kejang akut dan status epileptikus3, 9

I. PROGNOSIS
Prognosis status epileptikus bergantung pada respon terhadap pengobatan.
Dalam studi yang dilakukan oleh Koperasi SE Veteran Affairs menunjukkan
bahwa sebesar 56% dari pasien yang terdiagnosis jelas mengalami GCSE
(General Convulsive Status Epilepticus) yang memberikan respon terhadap
pengobatan tahap awal. Sedangkan untuk jenis status epileptikus halus (Subtle
SE) hanya 15% pasien yang menanggapi pengobatan awal. Sehingga jelas terlihat
bahwa prognosis juga tergantung terhadap baik buruknya respon pasien terhadap

33
pengobatan yang diberikan. Semakin rendah respon terhadap pengobatan,
semakin buruk prognosis.5

J. KOMPLIKASI
Komplikasi status epileptikus bervariasi. Komplikasi sistemik meliputi
hipertermia, hipoksia, asidosis respiratorik, kegagalan pernapasan, stress
cardiomiopaty, hipotensi, rabdomiolisis, serta aspirasi. 5
BAB III

RESUME DAN ANALISIS KASUS

A. Resume

Pasien rujukan dari Puskesmas Tampo datang ke IGD RSU Muna dengan

keluhan kejang sejak rabu pagi (16 Februari 2022) sebanyak 6 kali SMRS.

Kejang yang dialami pada seluruh tubuh dengan ujung-ujung jari tangan dan kaki

membiru. Riwayat kejang sebelumnya pada tanggal 10/02/2022. Keluhan lain

yaitu mual (-) dan muntah (+) sebanyak 4x, nyeri kepala (+), demam (+), BAB

dan BAK dalam batas normal.

Riwayat penyakit dahulu seperti hipertensi dan diabetes melitus disangkal.

Riwayat penyakit yang diidap anggota keluarga lain seperti riwayat stroke (-),

riwayat hipertensi, riwayat DM, dan riwayat penyakit jantung disangkal. Riwayat

kebiasaan merokok maupun minum alcohol disangkal oleh pasien. Pasien belum

mengonsumsi obat apapun sebelum masuk ke rumah sakit.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum pasien sakit berat,

dengan nilai GCS E3M4V1. Tanda vital Tekanan darah 95/78 mmHg, Nadi

34
77x/menit, Pernapasan 26x/menit, Suhu 38,6°C, SpO 2 99%. Pada pemeriksaan

darah rutin ditemukan peningkatan pada leukosit sebesar 14.800/UL dan

neutrophil segmen 78,2%.

B. Analisis Kasus

Pada pasien ini ditemukan gejala demam, penurunan kesadaran, kejang

sebanyak 1x sebelum MRS dan pada pemeriksaan ditemukan kaku kuduk.

Meningitis bakterial akut memiliki trias klinik, yaitu demam, nyeri kepala hebat,

dan kaku kuduk; tidak jarang disertai kejang umum dan gangguan kesadaran.

Tanda Brudzinski dan Kernig juga dapat ditemukan serta memiliki signifikansi

klinik yang sama dengan kaku kuduk, namun sulit ditemukan secara konsisten.

Meningitis meningokokal harus dicurigai jika terjadi perburukan kondisi yang

sangat cepat (kondisi delirium atau sopor dalam hitungan jam), terdapat ruam

petechiae atau purpura, syok sirkulasi. Meningitis pneumokokal sering didahului

oleh infeksi paru, telinga, sinus, atau katup jantung. Etiologi pneumokokal juga

patut dicurigai pada pasien alkoholik, pascasplenektomi, lansia, anemia bulan

sabit, dan fraktur basis kranium. Sedangkan etiologi H. influenzae biasanya

terjadi setelah infeksi telinga dan saluran napas atas pada anak. Tanda-tanda

serebral fokal pada stadium awal meningitis paling sering disebabkan oleh

pneumokokus dan H. infl uenza. Meningitis dengan etiologi H. influenza paling

35
sering menyebabkan kejang. Lesi serebal fokal persisten atau kejang yang sulit

dikontrol biasanya terjadi pada minggu kedua infeksi meningen dan disebabkan

oleh vaskulitis infeksius, saat terjadi sumbatan vena serebral superfi sial yang

berujung pada infark jaringan otak. Abnormalitas saraf kranial sering terjadi pada

meningitis pneumokokal, karena invasi eksudat purulen yang merusak saraf yang

melalui ruang subaraknoid.

Tatalaksana medikamentosa diberikan Ceftriaxon 2 gr/IV/24 jam. Pemberian


antibiotik harus segera dimulai sambil menunggu hasil tes diagnostik dan
nantinya dapat diubah setelah ada temuan laboratorik. Pilihan antibiotik
empirik pada harus berdasarkan epidemiologi lokal, usia pasien, dan adanya
penyakit yang mendasari atau faktor risiko penyerta. Pada usia 18-50 tahun
dapat diberikan Ceftriaxone, dapat ditambahkan vancomycin. WHO
merekomendasikan terapi antibiotik paling sedikit selama 5 hari pada situasi
nonepidemik atau jika terjadi koma atau kejang yang bertahan selama lebih
dari 24 jam. Diberikan Dexamethasone 1 amp/IV/8 jam. Terapi
dexamethasone yang diberikan sebelum atau bersamaan dengan dosis
pertama antibiotik dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas secara
bermakna, terutama pada meningitis pneumokokal. Dexamethasone dapat
menurunkan respons inflamasi di ruang subaraknoid yang secara tak
langsung dapat menurunkan risiko edema serebral, peningkatan tekanan
intrakranial, gangguan aliran darah otak, vaskulitis, dan cedera neuron.4
Dexamethasone diberikan selama 4 hari dengan dosis 10 mg setiap 6 jam
secara intravena. Sejumlah pakar berpendapat pemberian dexamethasone
harus dihentikan jika hasil kultur CSS menunjukkan penyebab MB bukan H.
infl uenzae atau S. pneumoniae, namun kelompok pakar lain

36
merekomendasikan pemberian dexamethasone apapun etiologi MB yang
ditemukan. Pemberian dexamethasone pada pasien MB dengan sepsis berat
atau syok sepsis dapat meningkatkan kesintasan

DAFTAR PUSTAKA

1. Lombardo, M.C. Gangguan Kejang didalam Price, S.A., Wilson, L.M. 2005.

Patofisiologi. Edisi 6. EGC. Jakarta

2. Assis, T.M.R., etc. 2012. Status Epilepticus in the Elderly : Epidemiology,

Clinical Aspects and Treatment. Journal of Neurology International.

3. PERDOSSI. 2016. Panduan Praktik Klinis Neurologi.

4. Hughes, R. 2003. Neurological Emergencies. 4th Edition. BMJ Publishing.

London.

5. Raoul, S. etc. 2018. Acute Systemic Complications of Convulsive Status

Epilepticus: A Systemic Review. http://www.ncbi.nlm.nih.gov. diakses 19

Februari 2022 (21.00).

6. Davis, L.E. 2005. Fundamentals of Neurological Diseases: An Introductory

Text. Demos Medical Publishing. New York.

37
7. Mauricio, E.A., Freeman, W.D. 2011. Status Epilepticus in the Elderly:

Differential Diagnosis and Treatment. Journal of Neuropsychiatric Disease and

Treatment.

8. Wilkinson, I., Lennox, G. 2005. Essential Neurology. 4th Edition. Blackwell

Publishing. Australia.

9. PERDOSSI. 2014. Pendoman Tatalaksana Epilepsi. Edisi Kelima.

10. Prasetyo, A., Prasetyo, B.H. 2018. Tatalaksana Status Epileptikus di Instalasi

Gawat Darurat.

11. Wylie, T. etc. 2020. Status Epilepticus. http://www.ncbi.nlm.nih.gov. diakses

pada 19 Februari 2022 (21.00)

12. Pichler, M., Hocker, S. 2017. Management of Status Epilepticus in Handbook of

Clinical Neurology. Volume 140.

38

Anda mungkin juga menyukai