Anda di halaman 1dari 50

BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF LAPORAN KASUS

MEI 2023
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALUOLEO

MIOPATHI

Disusun Oleh :
Sitti Nur Fadila, S.Ked (K1B1 21 047)
St. Latsmi Inassyarah, S.Ked (K1B1 21 078)

Pembimbing
dr. Karman, M.Kes, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2023
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Sitti Nur Fadila, S.Ked (K1B1 21 047)


St. Latsmi Inassyarah, S.Ked (K1B1 21 078)
Judul : Miopathi

Bagian : Ilmu Penyakit Saraf

Fakultas : Kedokteran

Telah menyelesaikan laporan kasus dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian

Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo pada Mei 2023.

Raha, Mei 2023

Pembimbing

dr. Karman Djamaluddin, M.Kes, Sp.S


BAB I

STATUS PASIEN NEUROLOGI

Nama : Tn. SN

Umur : 31 Tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Pekerjaan : Tidak bekerja

Alamat : Wakuru

Tanggal masuk : 13 Mei 2023

No RM : 035709

A. ANAMNESIS

Keluhan utama : Kelemahan pada kedua tangan dan kaki

Anamnesis terpimpin :

Pasien datang ke poliklinik saraf Rumah Sakit Umum Daerah dr. H.L.M

Baharuddin, M.Kes kabupaten Muna dengan keluhan kelemahan tiba-tiba pada

kedua tangan dan kaki yang dirasakan sejak ± 5 tahun yang lalu. Awalnya

kedua paha terasa kram, kaku dan semakin lama terasa semakin melemah, kaki

terasa berat untuk diangkat hingga sulit untuk berjalan. Kemudian diikuti

dengan kedua tangan yang semakin lama juga semakin melemah, sehingga

penderita merasakan kesulitan untuk mengangkat tangan ke atas dan sulit untuk

beraktifitas. Pasien juga mengatakan kedua paha lama kelamaan tampak


mengecil. Keluhan lain : mual (-), muntah (-), nyeri kepala (-), demam (-),

batuk (-), BAK dan BAB dalam batas normal. Riwayat trauma sebelumnya (-)

Riwayat penyakit dahulu : Keluhan yang sama sebelumnya (Tidak ada)

Penyakit yang sedang diderita : Tidak ada

Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada riwayat dalam keluarga yang

memiliki gejala yang sama

Riwayat Pengobatan Sebelumnya :Tidak ada

Riwayat kebiasaan :Keseharian pasien awalnya

menjalankan aktifitas seperti biasa, pasien sebelumnya bekerja sebagai pekerja

bangunan, Riwayat konsumsi Alkohol (+), merokok (+).

B. PEMERIKSAAN FISIS

Pemeriksaan Umum

Kesan : Sakit sedang - Tensi :133/80 mmHg Anemis :-/-

Kesadaran : Compos Mentis - Nadi: 96 x/m Ikterus :-/-

Gizi : Baik - Suhu : 36,5ºC Sianosis:-/-

- Pernapasan : 20 x/m SpO2 : 98%

Kepala dan Leher

 Kepala : Normocephal

 Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

 Hidung : Rinore (-), epistaksis (-)

 Mulut : Sianosis (-)

 Telinga : Otore (-)


 Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-)

Thoraks (Jantung)

Inspeksi : IC tidak tampak

Palpasi : IC teraba 2 jari lateral dari linea midclavikula sinistra

Perkusi : BJD : ICS IV 1 jari lateral dari linea parasternalis dextra

BJS : ICS V 2 jari lateral midclavicula sinistra

Auskultasi : BJ I/II regular, Murmur (-), Gallop (-)

Thoraks (Paru)

Inspeksi : Simetris, retraksi sela iga (-)

Palpasi : Nyeri tekan (-), vocal fremitus dalam batas normal

Perkusi : Sonor (+)

Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-)

Abdomen

Inspeksi : Cembung ikut gerak napas

Auskultasi : Peristaltik kesan normal

Palpasi : Nyeri tekan (-)

Perkusi : Pekak, ascites (-)

Ekstremitas : Udem tungkai (-/-), CRT < 2 detik

STATUS NEUROLOGI

GCS: E4M6V5

Kepala

 Posisi : Di tengah

 Bentuk/ukuran : Normocephal
 Penonjolan : (-)

Saraf Cranialis

N.1

Penghidu : Normosmia

N.II

OD OS

Ketajaman Penglihatan Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Lapangan Penglihatan Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Funduskopi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N. III, IV

D S

Celah kelopak mata

Ptosis : (-) (-)

Lagofthalmus : (-) (-)

Ptosis bola mata (-) (-)

Pupil

Bentuk/ukuran : +2,5 mm/bulat + 2,5 mm/bulat

Isokor/unisokor : Isokor Isokor

RCL/RCTL : (+) (+)

Refleks Akomodasi : Normal Normal

Gerakan Bola Mata

Gerakan : Normal Normal

Parese Ke arah : (-) (-)


Nistagmus : (-) (-)

N.V

Sensibilitas : N.V1 : Normal

N.V2 : Normal

N. V3 : Normal

Motorik : Inspeksi/ palpasi : Normal

Istrahat/menggigit : Normal

Refleks Dagu/Masseter : Normal

Refleks Kornea : Normal

N. VII

 Mengerutkan dahi : Dapat mengerutkan dahi

 Menutup mata : Dapat menutup mata

 Tersenyum : dbn

 Bersiul : dbn

N. VIII

 Pendengaran : Kanan normal/kiri normal

 Tes Rinne/Weber : Tidak dilakukan pemeriksaan

 Fungsi Vestibularis : Tidak dilakukan pemeriksaan

 Posisi arcus Pharinks : Tidak dilakukan pemeriksaan

 Refleks telan muntah : Tidak dilakukan pemeriksaan

 Pengecap 1/3 lidah bagian belakang : Tidak dilakukan pemeriksaan

N. IX dan N.X
a. Kualitas suara : Normal

b. Disartria : (-)

c. Sengau : (-)

d. Menelan : Normal

e. Kedudukan palatum mole, arcus pharynx dan uvula saat istrahat : Normal

f. Kedudukan palatum mole, arcus pharynx dan uvula saat kontraksi :

Normal

N.XI

Memalingkan kepala dengan/tanpa tahanan: dengan dan tanpa tahanan

N. XII

Deviasi Lidah : (-)

Fasoiculasi : (-)

Atrofi : (-)

Tremor : (-)

taxia : (-)

Leher

Tanda-tanda perangsangan selaput otak : Kaku kuduk : (-)

Kernig’s sign: (-)

Kelenjar lymphe : pembesaran (-)

Arteri karotis : Palpasi (+), Auskultasi : bruit (-)

Kelenjar gondok : Pembesaran (-)

Abdomen
Refleks kulit dinding perut : Tidak dilakukan pemeriksaan

Ekstremitas

Pemeriksaan Sistem Motorik

Superior Inferior

Dextra Sinistra Dextra Sinistra

Pergerakan ↓ ↓ ↓ ↓

Kekuatan 3 3 2 2

Tonus ↓ ↓ ↓ ↓

Bentuk Atrofi Atrofi Atrofi Atrofi

otot

Refleks fisiologis :

Superior Inferior

Dextra Sinistra Dextra Sinistra

Biceps N N N N

Triceps N N N N

Radius N N N N

Ulna N N N N

KPR N N N N

APR N N N N

Klonus

Lutut : Normal
Kaki : Normal

Refleks patologik

Hoffmann : -/- Babinski : -/-

Tromner : -/- Chadock : -/-

Gordon : -/-

Schaefer : -/-

Openheim : -/-

Sensibilitas

Ekstroseptif : Nyeri : Normal

Suhu : Normal

Rasa raba halus : Normal

Proprioseptif : Rasa sikap : Normal

Rasa nyeri dalam : Normal

Fungsi kortikal : Rasa diskriminasi : Normal

Stereognosis : Normal

Pergerakan abnormal spontan : (-)

Gangguan koordinasi :

Tes jari hidung : Normal - Tes tumit : tdp

Tes pronasi-supinasi : Normal - Tes pegang jari : tdp

Gangguan keseimbangan :

Tes romberg : Tidak dilakukan pemeriksaan

Gait : Tidak dilakukan pemeriksaan

Pemeriksaan fungsi luhur


Reaksi emosi : normal

Fungsi bicara : Normal

Fungsi psiko sensoris : Normal

Itelegensia : Normal

Fungsi psikomotorik(praksia) : Normal

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang

D. DIAGNOSIS KERJA

Klinis : Miopathi

Topis : Muskuloskeletal

Etiologi : Idiopatik

E. DIAGNOSIS BANDING

Guillain bare syndrome

Myastenia Gravis

F. TATALAKSANA

Terapi Medikamentosa :

 Prednisone dengan dosis 0,5-1 mg/kgbb/hari

 Metrotreksat dengan dosis 7,5 mg seminggu

Terapi Non medikamentosa

Rehabilitasi dan latihan fisik

G. PROGNOSIS
Qua ad vitam : Dubia ad bonam

Qua ad functionam : Dubia ad malam

Qua ad sanationam : Dubia ad malam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pendahuluan

Dalam kedokteran, miopati adalah penyakit otot di mana serat otot

tidak berfungsi karena salah satu dari banyak alasan, mengakibatkan

kelemahan otot. "Miopati" berarti penyakit otot (myo: otot, pathy :

penderitaan). Arti ini menyiratkan bahwa cacat utama ada di dalam otot,

berlawanan dengan saraf (gangguan neuropati atau neurogenik) atau di

tempat lain (misalnya, otak & neuromuskuler junction). Miopati adalah

kelompok kondisi heterogen dengan beragam etiologi. Miopati biasanya

memengaruhi otot tanpa melibatkan sistem saraf atau kelainan

neuromuskuler junction.1

Miopati merupakan suatu kelainan dimana terdapat gangguan

primer pada fungsi dan struktur otot skelet. Miopati dibagi menjadi dua,

yaitu miopati didapat (acquired myopathy) dan miopati herediter

(hereditary myopathy). Miopati didapat dibagi lagi menjadi miopati yang

dicetuskan oleh obat, miopati endokrin, miopati imun/inflamasi, miopati

yang berhubungan dengan penyakit sistemik dan miopatik toksik. Miopati

yang diturunkan terdiri atas kanalopati, miopati kongenital, miopati

metabolik, miopati mitokondria (distrofi muskular dan miotonia).2

Pada penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat antara tahun

2003-2008, prevalensi miopati inflamasi idiopatik berkisar antara

5,8 – 7,9/100.000 penduduk pertahun. Insiden dan prevalensi dari miopati


endokrin tidak diketahui secara pasti, begitupun dengan miopati ko pasti,

begitupun dengan miopati kongenital.3,4

Manifestasi klinis dari miopati dapat dibagi menjadi 2, yaitu gejala

negatif dan gejala positif. Kelemahan merupakan gejala negatif yang

sering dilaporkan oleh pasien dengan penyakit otot, sedangkan kelelahan

jarang berguna karena bisa saja disebabkan oleh kesehatan pasien secara

umum, status kardiopulmoner, kebiasaan tidur atau kondisi emosional.

Penting untuk mengetahui intensitas dan durasi latihan yang dapat

memprovokasi kelelahan karena miopati metabolik dan mitokondria dapat

menyebabkan kelelahan yang abnormal setelah latihan. Gejala positif

yang berhubungan dengan miopati termasuk kram, kontraktur, mialgia,

kekakuan otot dan mioglobinuria.4

B. Definisi

Miopati berasal dari kata Yunani “myo” untuk otot, dan “pathy”

untuk penderita yang berarti penyakit otot. Tanda dan gejala miopati yang

sering ditemukan yaitu kelemahan, kekakuan, kram, dan spasme. Miopati

adalah kelompok gangguan heterogen yang terutama memengaruhi

struktur otot rangka, metabolisme, atau fungsi saluran. Biasanya

ditemukan dengan kelemahan otot yang mengganggu aktivitas kehidupan

sehari-hari. Nyeri otot juga merupakan gejala yang sering ditemukan dan

beberapa miopati berhubungan dengan rhabdomyolysis.5

Miopati merupakan suatu kelainan dimana terdapat gangguan

primer pada fungsi dan struktur otot skelet. Baik kanal, struktur maupun
metabolisme dari otot skeletal dapat terkena gangguan ini. Miopati dapat

dibedakan dari gangguan unit motor lain, termasuk neuromuscular

junction, saraf perifer, atau neuron motor, melalui karakteristik klinis dan

laboratorium.6

C. Etiologi

Etiologi miopati biasanya disebabkan oleh gangguan pada

integritas otot jaringan, dan stabilitas metabolisme yang dapat dipicu oleh

penyakit genetik yang diturunkan, atau kesalahan metabolisme, obat dan

toksin tertentu, infeksi bakteri atau virus, peradangan, selain mineral,

elektrolit, dan ketidakteraturan hormonal.5

 Miopati Herediter5

1) Miopati mitokondria
- Ensefalopati mitokondria, asidosis laktat, dan
strokelike syndrome (MELAS)
- Sindrom Kearns-Sayre
- Lainnya (Leber hereditary optic neuropathy; Myoclonic
epilepsy with ragged red fibers, Leigh syndrome and neuropati,
ataxia, and retinitis pigmentosa, mtDNA deletion and depletion
syndromes, Oftalmoplegia eksternal progresif kronis, dll).
2) Miopati Kongenital
3) Miopati Metabolik
4) Distrofi Otot :
- Distrofinopati (distrofi otot Duchenne, distrofi otot Becker,
fenotipe menengah)
- Distrofi otot miotonik (tipe 1 dan tipe 2)
- Distrofi otot facioscapulohumeral (tipe 1 dan tipe 2)
- Distrofi otot Emery-Dreifuss
- Limb-girdle muscular dystrophies
- Distrofi otot okulofaringeal
- Distrofi otot bawaan (yang sering terjadi terkait LAMA2,
kolagen VI, dan alfa-dystroglikan)
- Miopati distal
 Miopati Didapat5
1) Toksin Miopati
2) Immune-mediated or Idiopathic Inflammatory Myopathies
3) Miopati Infeksius
- Infeksi bakteri (penyakit Lyme, pyomyositis - Staphylococcus
aureus)
- Infeksi virus (Human immunodeficiency virus (HIV), virus
Coxsackie A dan B, Influenza)
- Infeksi parasit (trikinosis, toksoplasmosis, sistiserkosis
- Infeksi jamur (Candida, Coccidiomycosis)
4) Miopati Endokrin :
- Disfungsi tiroid dan paratiroid (hipertiroidisme, hipotiroidisme,
hiperparatiroidisme)
- Disfungsi adrenal (penyakit Addison, sindrom Cushing)
5) Ketidakseimbangan elektrolit : hipokalemia dan hiperkalemia,
hiperkalsemia, hipermagnesemia, hipofosfatemia
6) Miopati terkait dengan penyakit sistemik (amiloidosis, sarkoidosis,
defisiensi vitamin D, miopati perawatan kritis, miopati eosinofilik
idiopatik, paraneoplastik)
D. Patogenesis

 Etiopatofisiologi Miopati Herediter

 Etiopatofisiologi Miopati Kongenital

Miopati kongenital terdiri atas miopati nemalin, miopati aktin,

dan intranuclear rod myopathy. Miopati ini merupakan gangguan otot


yang ditandai oleh kelemahan otot skeletal yang berkisar antara

gangguan yang mengancam jiwa pada masa neonatal hingga

kelemahan otot jiwa pada masa neonatal hingga kelemahan otot

ringan pada masa dewasa. Mutasian pada masa dewasa. Mutasi dengan

spektrum yang luas pada miopati kongenital dikaitkan dengan protein

filamen tipis pada sarkomer. Sebagai contoh lebih dari 60 mutasi yang

berbeda telah diidentifikasi pada gen aktin alfa (ACTA1). Sebagai

tambahan, mutasi juga telah diidentifikasi pada gen tropomiosin alfa

lambat (TPM3), tropomiosin beta (TPM2), nebulin (NEB) dan

troponin T lambat (TNNT1). Walaupun lebih banyak gangguan yang

diidentifikasi berkaitan dengan ACTA1,gen nebulin juga dipikirkan

bertanggungjawab terhadap mayoritas mutasi yang menyebabkan

miopati kongenital.6

 Etiopatofisiologi Miopati Metabolik

Miopati metabolik merupakan gangguan utilisasi karbohidrat

atau lemak di dalam otot. Perjalanan akut dari kegagalan energi

bermanifestasi sebagai krisis metabolik dengan kelemahan, kadang

dikaitkan dengan kegagalan respirasi atau oleh mioglobinuria.

Metabolik miopati dibagi menjadi 2, yaitu gangguan penyimpanan

glikogen dan penyimpanan glikogen dan gangguan penyimpanan

lipid.8

Gangguan penyimpanan glikogen terbagi menjadi beberapa

macam. Glikogenosis tipe II atau defisiensi asam maltase atau penyakit


Pompe merupakan gangguan autosomal resesif yang disebabkan oleh

defisiensi enzim lisosomal asam alfa glukosidase (GAA) yang

mengkatalisis hidrolisis α-1,4 dan α-1,6 glikogen. Defisiensi enzim

menyebabkan akumulasi glikogen dan gangguan arsitektur jaringan

pada berbagai organ, termasuk otot rangka, jantung, dan hepar.8

Glikogenosis tipe III atau penyakit Cori merupakan suatu

penyakit yang ditandai dengan abnormalitas struktur glikogen dengan

rantai perifer yang pendek, yang disebut limit-dextrin. Berbeda dengan

penyakit Cori, penyakit McArdle atau glikogenosis tipe V disebabkan

oleh defisiensi salah satu enzim glikogenolitik, yaitu miofosforilase.8

 Etiopatofisiologi Miopati Mitokondrial

Miopati mitokondrial terdiri atas sekelompok gangguan yang

diakibatkan oleh disfungsi primer rantai respirasi mitokondria dan

menyebabkan penyakit otot. Gangguan ini ditandai oleh disfungsi

sistem organ mutiple, presentasi klinis yang bervariasi, dan korelasi

fenotip-genotip yang buruk.7

Mitokondria merupakan organel intraseluler yang mengandung

material genetiknya sendiri (mtDNA), dalam bentuk genome 16,5 kb.

Akan tetapi, sebagian besar protein mitokondria disandi oleh genom

nuklear (nDNA). Akibatnya, miopati mitokondrial dapat diakibatkan

oleh abnormalitas mtDNA atau nDNA. Abnormalitas material genetik

ini menyebabkan terganggunya sintesis protein mitokondria.7

 Etiopatofisiologi Miopati Didapat


 Etiopatofisiologi Miopati Inflamasi

Otot merupakan organ target inflamasi pada miositis, dan fitur

histopatologis yang jelas pada jaringan otot menunjukkan mekanisme

penyakit yang berbeda pada setiap subtipe miopati inflamasi idiopatik.

Infiltrasi sel inflamasi di sekitar pembuluh darah lebih banyak

ditemukan pada pasien dengan dermatomiositis, dan kemungkinan

mengindikasikan adanya reaksi imun yang ditujukan pada pembuluh

darah, sedangkan infiltrasi sel yang secara dominan mengelilingi serat

otot pada pasien dengan polimiositis dan miopati badan inklusi

sporadik mengindikasikan adanya reaksi imun terhadap serat otot.

Fitur histopatologi tidak selalu jelas, bahkan beberapa pasien memiliki

histopatologi yang ringan hingga tidak ada meskipun gejala sangat

jelas. Hal ini menyebabkan munculnya hipotesis bahwa mekanisme

imun dan non imun terlibat dalam kelemahan otot.9

1) Reaksi Imun

Berbagai pola inflamasi secara histopatologis yang terjadi pada

miositis berhubungan berhubungan dengan fenotip fenotip sel imun

yang berbeda. Infiltrat endomisial yang ditemukan predominan di

polimiositis dan miopati badan inklusi sporadik terutama terdiri atas

sel T CD8+,T CD4+,sel dendritik dan makrofag, sedangkan infilitrat

perivaskular yang dominan pada dermatomiositis terutama

mengandung T CD4+ , sel dendritik dan makrofag, serta sel-sel

dendritik dan makrofag, serta sel B.9


Peran sel T secara pasti pada miopati imun masih tidak jelas,

namun keterlibatan mereka didukung oleh hubungan genetik dengan

miositis; contohnya HLA-DRB1 yang merupakan faktor resiko pada

polimiositis dan dermatomiositis (HLA-DR berfungsi untuk

mempresentasikan antigen ke sel T CD4+ ). Sel T CD8+ yang banyak

ditemukan pada jaringan otot pasien polimiositis dan miopati badan

inklusi sporadik mengekspresikan perforin-1 dan granzim B yang

kemungkinan memiliki efek miositotoksik. Salah satu varian sel T, sel

T CD28 memiliki efek sitotoksik yang mirip dengan sel natural killer ;

sel ini merupakan sel proinflamasi dan resisten terhadap apoptosis, dan

kemungkinan berkontribusi terhadap kronisitas dan resisten terapi pada

miositis. IL-17 bersamaan dengan IL-1 dapat menginduksi ekspresi

MHC kelas I dan IL-6 pada mioblas.9

Sel dendritik matur dan imatur sering ditemukan pada infiltrasi

limfositik pada jaringan otot pasien miopati miopati imun, dimana

mereka bertindak sebagai sel presentasi antigen. Makrofag berperan

sebagai sel presentasi antigen kepada sel T, dengan menginvasi dan

membersihkan serat otot yang nekrotik dan yang terpenting, makrofag

merupakan sumber sitokin dan kemokin.9

Autoantibodi spesifik miositis terpenting adalah autoantibodi

yang menyerang histidil-tRNA sintetase, dan muncul pada 20-25%

pasien dengan polimiositis dan dermatomiositis.Autoantibodi ini


berhubungan sindrom antisintetase. Autoantibodi lain juga

berhubungan dengan subtipe miopati imun.9

Sitokin dihasilkan oleh sel imun, sel endotel dan sel otot dan

dapat berkontribusi terhadap lingkungan proinflamasi pada jaringan

otot pasien dengan miositis. IL-1, TNF dan IFN merupakan sitokin

yang sering ditemukan pada jaringan otot.9

2) Reaksi Non-Imun

Mekanisme non imun diperkirakan mempengaruhi kondisi serat

otot dan melemahkan otot pada keadaan dimana sel inflamasi tidak

ditemukan. Hipoksia, kemungkinan diinduksi oleh hilangnya kapiler,

dapat menginduksi ekspresi dan pelepasan HMGB1 pada sel endotelial

dan serat otot. HMGB1 dapat menginduksi molekul MHC kelas I,

yang berikutnya memicu stres retikulum endoplasmik, yang pada

akhirnya mengarah ke ekspresi NFκB dan meningkatkan inflamasi.

Molekul MHC kelas I juga menurunkan pelepasan Ca2+ dari

retikulum sarkoplasmik termasuk kelelahan otot. Akumulasi protein

abnormal pada serat.9

Otot dapat menginduksi stres retikulum endoplasmik dan atau

autofagi. Jika protein ini tidak dapat dibersihkan dalam waktu yang

tepat, dapat terjadi apoptosis otot atau kematian sel autofagik,

berkontribusi terhadap kelelahan otot.9

 Etiopatofisiologi Miopati yang Dicetuskan Obat


Miopati yang dicetuskan oleh obat didefinisikan sebagai

keadaan subakut dengan manifestasi klinis miopati, seperti kelemahan

otot, kelelahan, mialgia, peningkatan peningkatan kreatinin kreatinin

kinase atau mioglobinuria, mioglobinuria, yang terjadi terjadi pada

pasien yang tidak memiliki penyakit otot sebelumnya setelah terpajan

obat tertentu. Setelah obat dihentikan, tanda klinis dan biokimia pada

otot yang terlibat biasanya membaik sehingga mendukung obat sebagai

agen miotoksik. Obat-obatan yang dapat menyebabkan miopati dibagi

menjadi beberapa, yaitu: miopati nekrotisasi (statin, fibrat, asam

nikotinik), miopati kortikosteroid, miopati mitokondria (zidovudin),

miopati penyimpanan lisosomal (hidroksiklorokuin, amiodaron),

miopati antimikrotubular (kolsikin, vinkristin), miopati hipokalemik

(diuretik, kontrasepsi oral), miopati inflamasi (D-penisilamin,

interferon-α).10

Statin merupakan agen yang menghambat 3-hydroxy-3-methyl-

glutarylcoenzyme A (HMG-CoA) reduktase, suatu enzim yang

mengkatalisis konversi HMG-CoA menjadi asam mevalonat, prekursor

kolesterol. Statin terutama mempengaruhi mitokondria dan retikulum

sarkoplasma terutama serat tipe II yang mengandung lemak 30% lebih

sedikit dari serat tipe I, sehingga menyebabkan serat ini lebih rentan

terhadap kerusakan akibat penurunan kolesterol yang tersedia untuk

biosintesis membran. Selain itu, statin menyebabkan pergeseran Th1


menjadi Th2 sehingga terjadi perubahan regulasi sel T, reaktivitas dan

produksi sel T serta produksi autoantibodi.10

Glukokortikosteroid menginhibisi sintesis protein, terutama

pada serat otot tipe II. Mekanisme inhibisi utama termasuk

terganggunya regulasi aktivitas faktor yang terlibat dalam inisiasi

peptida. Glukokortikosteroid juga meningkatkan aktivitas protease

sitoplasmik di otot, menyebabkan destruksi miofibrilar. Aktivitas

glutamin sintetase memainkan peran penting dalam terjadinya atrofi

otot berkaitan berkaitan dengan steroid. steroid. Glutamin sintetase

merupakan enzim kunci ketika tubuh membutuhkan asam amino dari

otot skeletal. Dalam kondisi katabolik, glutamin dan asam amino lain

dibebaskan dari otot skeletal. Asam amino, melalui siklus asam

trikarbosilik digunakan untuk mensintesis glukosa di hepar,sedangkan

di jaringan lain, termasuk usus halus dan ginjal, glutamin digunakan

untuk menyediakan energi. Glukokortikoid yang meningkat di

sirkulasi menyebabkan penurunan sintesis protein otot dengan

menurunkan glutamin intramuskular. Akibatnya, terjadi peningkatan

aktivitas glutamin sintetase yang melepaskan glutamin lutamin dalam

jumlah besar.11

Zidovudin, suatu analog nukleosida menyebabkan deplesi

mtDNA sehingga mempengaruhi fosforilasi oksidatif dan produksi

ATP. Akibatnya, jumlah ATP aerobik menurun sehingga

menyebabkan disfungsi jaringan. Lebih lanjut, glikolisis anaerobik


mengambil tempat untuk mengompensasi energi minimal,

menyebabkan tertimbunnya asam laktat. Hipotesis lain mengatakan

bahwa zidovudin mengganggu rantai transport electron menyebabkan

peningkatan produksi spesies oksigen reaktif dan stres oksidatif,yang

selanjutnya menghilangkan integritas mtDNA. Zidovudin juga

menyebakan menurunnya L-carnitine, suatu substansi yang membantu

menghantarkan asam lemak rantai panjang dari sitosol ke dalam

mitokondria.Oksidasi asam lemak sendiri sendiri sangat diperlukan

oleh otot sebagai energi.12

 Etiopatofisiologi Miopati Endokrin

Walaupun kondisi endokrin yang abnormal biasanya muncul

dengan kelemahan otot, patofisiologi yang jelas masih tetap belum

dimengerti sepenuhnya. Hipoadrenalisme disebabkan oleh infeksi,

penyakit inflamasi, dan tumor. Kegagalan adrenal dapat mengikuti

kegagalan pituitari. Pada hipoadrenalisme, manifestasi neurologis

seperti gangguan perilaku dan mental lebih jelas, sedangkan miopati

jarang menjadi keluhan yang muncul. Faktor yang berkontribusi

terhadap kelemahan otot pada insufisiensi adrenal termasuk

insufisiensi sirkulasi, ketidakseimbangan elektrolit dan cairan,

metabolisme karbohidrat terganggu, dan starvasi. Etiologi

hiperadrenalisme termasuk produksi berlebihan hormon

adrenokortikotropik (ACTH), tumor adrenal, administrasi

kortikosteroid eksogen. Hipersekresi ACTH pituitari disebabkan oleh


mikroadenoma kortikotrop di 90% pasien dan oleh makroadenoma

pada 10% pasien.3

Defisiensi hormon tiroid menyebabkan sindrom neurologis yang

bervariasi tergantung onset usia saat terjadinya defisiensi.

Hipotiroidisme menyebabkan menurunnya atau melambatnya fungsi

metabolik, seperti menurunnya protein turnover dan terganggunya

metabolisme karbohidrat. Perubahan metabolik ini terjadi pada banyak

sistem organ, termasuk otot. Nyeri saat otot bekerja merupakan tanda

kekurangan metabolisme karbohidrat (Kedlaya, 2018). Kontraksi dan

relaksasi otot yang melambat, dikenal sebagai miopati hipotiroid, dapat

disebabkan oleh pergeseran distribusi tipe serat otot, dari fast-twitch

fast-twitch fibers menjadi slow-twitch slow-twitch fibers. Penurunan

kapasitas oksidatif mitokondria otot dan reseptor beta adrenergik, juga

induksi keadaan resisten insulin, dapat menyebabkan perubahan ini.3

Kelebihan hormon tiroid juga dapat menyebabkan miopati.

Hormon tiroid yang berlebih menyebabkan gangguan fungsi serat otot

akibat meningkatnya respirasi mitokondria, degradasi protein yang

meningkat dan oksidasi lipid, serta peningkatan sensitivitas beta

adrenergic.3

Hipoparatiroidisme menyebabkan tetanus, dengan atau tanpa

spasme karpopedal.Patofisiologinya melibatkan defisiensi hormon

paratiroid atau disfungsi pada reseptor hormon. Hiperparatiroidisme

tidak menyebabkan tetani tetapi muscle wasting dan miopati. Hal ini
disebabkan karena sekresi hormon yang berlebihan, biasanya akibat

dari adenoma paratiroid.3

E. Manifestasi Klinis

Gejala penyakit otot dapat dibagi menjadi 2, yaitu gejala negatif

seperti intoleransi latihan, kelelahan, atrofi otot, dan kelemahan, serta

gejala positif, seperti kontraktur, kram, mialgia, kekakuan otot dan

mioglobinuria.6 Kelelahan merupakan gejala negatif yang paling sering

dilaporkan oleh pasien. Ketika ekstremitas atas terlibat, pasien menyadari

adanya masalah dalam menggosok gigi, menyisir rambut mereka atau

mengangkat benda diatas kepala. Jika kelemahan melibatkan ekstremitas

bawah, pasien mengeluhkan kesulitan bangkit dari kursi yang rendah atau

toilet, bangun dari posisi jongkok, atau menaiki tangga. Gejala pada

lengan dan tungkai bawah mengindikasikan kelemahan otot proksimal,

yang umum terjadi pada miopati. Lebih jarang, pasien mengeluhkan

kelemahan distal dengan manifestasi sulit memutar kunci, membuka

memutar kunci, membuka toples, atau instabilitas langkah karena foot

drop. Beberapa miopati menyebabkan kelemahan otot kranial sehingga

pasien mengeluhkan bicara yang tidak jelas, kesulitan menelan atau

penglihatan ganda. Kelelahan merupakan gejala yang kurang berguna

karena dipengaruhi oleh keadaan kesehatan umum pasien, status

kardipulmoner, kebiasaan tidur, dan kondisi emosional. Penting untuk

mengetahui intensitas dan durasi latihan yang memprovokasi kelelahan


karena miopati metabolik dan mitokondria dapat menyebabkan kelelahan

yang abnormal setelah latihan. 6

Gejala positif berhubungan dengan miopati, termasuk kram,

kontraktur, mialgia, kekakuan otot, atau mioglobinuria. Mialgia

merupakan gejala yang non spesifik, dapat episodik seperti pada miopati

metabolik, atau konstan seperti pada penyakit otot inflamasi. Akan tetapi,

nyeri otot biasanya tidak umum ditemukan pada sebagian besar penyakit

otot dan nyeri kemungkinan berasal dari masalah ortopedi atau

reumatologi. 6

Kram otot merupakan tipe spesifik nyeri otot. Mereka umumnya

benign, terjadi cukup sering pada orang normal, dan jarang menjadi fitur

primer miopati. Kram umumnya terjadi karena dehidrasi, hiponatremia,

azotemia, miksedema, dan gangguan saraf atau neuron motor atau lebih

seringnya benign dan tidak berhubungan dengan proses penyakit yang

mendasari. Kram dapat bertahan beberapa detik hingga menit dan

biasanya terlokalisasi bagian otot tertentu, umumnya betis. 6

Kontraktur otot jarang terjadi, tapi secara superfisial mirip dengan

kram. Kontraktur umumnya diprovokasi oleh latihan pada pasien dengan

defek enzim glikolitik. Kontraktur berbeda dengan kram dimana biasanya

bertahan lama dan pada elektromiografi, gambaran listriknya tenang. 6

Miotonia disebabkan karena depolarisasi repetitif membran otot

dan menyebabkan terganggunya relaksasi otot setelah kontraksi volunter

paksa. Miotonia biasanya melibatkan kelopak mata dan tangan. Pasien


biasanya mengeluhkan kekakuan otot yang menyebabkan kesulitan

melepaskan tangan setelah bersalaman, membuka tutup botol, atau

membuka kelopak mata setelah mereka menutup mata dengan paksa.

Miotonia biasanya membaik dengan latihan berulang. Sebaliknya pasien

dengan paramiotonia menunjukkan miotonia paradox yang gejalanya

memburuk oleh latihan atau kontraksi otot berulang. Pajanan terhadap

udara dingin membuat miotonia dan paramiotonia memburuk. 6

Mioglobinuria disebabkan oleh pelepasan mioglobin yang

berlebihan dari otot selama periode destruksi otot yang cepat

(rabdomiolisis) dan jarang menjadi manifestasi penyakit otot. Jika pasien

mengeluhkan kelemahan dan mialgia yang dipicu latihan, perlu ditanyakan

jika urin mereka berubah warna menjadi hitam atau merah, selama atau

setelah episode tersebut. 6

F. Diagnosis
1. Anamnesis
Diagnosis miopati dimulai dengan anamnesis riwayat secara

terperinci. Pasien sering mengeluhkan gejala yang sebenarnya tidak

spesifik, karena dapat dipengaruhi oleh kondisi lain. Gejala yang perlu

meningkatkan kecurigaan terhadap adanya miopati adalah pola

kelemahan otot, kelelahan, atrofi otot, miotonia, dan mioglobinuria

rekuren. Perlu juga diketahui waktu munculnya gejala serta progresinya,

serta faktor yang memprovokasi atau mengeksaserbasi munculnya

miopati.13
Evaluasi pasien dengan suspek miopati adalah dengan diskusi

mengenai durasi gejala, riwayat perkembangan dan masa kanak-kanak,

riwayat keluarga dengan gejala yang sama atau pernah didiagnosis

miopati. Miopati herediter muncul pada saat lahir atau awal masa kanak-

kanak, sedangkan miopati yang didapat muncul saat adolesen atau

dewasa. Penting untuk menentukan evolusi dan durasi penyakit. Miopati

dapat muncul sebagai kelemahan yang konstan (miopati inflamasi,

distrofi muskular) atau periode episodik dengan kekuatan yang normal

interiktal (miopati metabolik karena gangguan jalur glikolitik tertentu,

paralisis periodik). Gangguan episodik ditandai dengan hilangnya

kekuatan akut yang dapat kembali normal dalam hitungan jam hingga

hari. Tempo gangguan dengan kelemahan yang konstan dapat bervariasi

dari progresi akut/subakut pada beberapa jenis miopati inflamasi,

progresi lambat yang kronik bertahun-tahun (sebagian besar distrofi

muskular) atau kelemahan non progresif dengan perubahan yang kecil

selama bertahun-tahun (miopati kongenital).2,13

2. Pemeriksaan Fisik

Untuk menentukan distribusi kelemahan otot, penting untuk mengetahui

otot mana yang perlu dites dan bagaimana menilai kekuatannya.

Kekuatan otot dapat dinilai dari tes manual atau observasi fungsinya. Tes

fungsional terutama informatif pada anak yang lebih muda karena

biasanya mereka tidak koperatif dengan pemeriksaan biasa dan orang

dewasa yang hanya mengeluhkan nyeri otot.2


Tabel 1. Tes Fungsional
Penilaian Fungsional Kelemahan Otot

Lokasi Gejala dan Tanda Kelemahan

Fasial Tidak mampu untuk bersiul

Okular Penglihatan ganda, ptosis,


pergerakan mata abnormal

Bulbar Nasal Speech, tangisan lemah,


regurgitasi cairan di nasal,
meghisap buruk, sulit menelan,
pneumonia aspirasi rekuren,
batuk selama makan

Leher Kontrol kepala buruk


Skoliosis, lordosis lumbal,
abdomen menonjol, sulit sit up

Bahu Sulit menggangkat barang


diatas kepala, scapular winging

Tungkai atas Ketidakmampuan untuk


membuat genggaman kuat,
finger/wrist drop

Pelvis Sulit menaiki tangga, wadding


gait, tanda gower

Tungkai Bawah Foot drop, susah berjalan


dengan tumit atau berjinjit

Respirasi Penggunaan otot bantu napas

Penilaian kekuatan otot dilakukan dengan MRC (Medical Research

Research Council of Great Britain) yang diperluas dan diberi nilai 0-5.

Dalam menilai ekstremitas atas, penting untuk melakukan abduksi bahu;

rotasi eksternal dan internal; fleksi dan ekstensi siku, fleksi dan ekstensi
pergelangan tangan; ekstensi, fleksi dan abduksi jari-jari. Kelompok otot

yang harus dites pada ekstremitas bawah termasuk fleksi, ekstensi dan

abduksi panggul, ekstensi dan fleksi lutut, dorsofleksi pedis, fleksi,

inversi dan eversi plantar, ekstensi dan fleksi jempol kaki. Seluruh otot

diperiksa secara bilateral dan melawan gravitasi. Fleksi leher dinilai

dalam keadaan supine, ekstensi leher dalam posisi tengkurap. Ekstensi

lutut dan fleksi panggul dinilai dalam posisi duduk, fleksi lutut dalam

posisi posisi tengkurap, abduksi panggul dites dalam posisi lateral

decubitus.2

Selain tes otot manual, otot juga perlu diinspeksi untuk melihat

adanya atrofi atau hipertrofi. Atrofi otot ekstremitas proksimal sering

ditemukan pada sebagai besar miopati kronik.2

Pola kelemahan otot pada miopati adalah sebagai berikut :2

- Proximal “limb- girdle” weakness. Kelemahan simetris yang secara

dominan mempengaruhi otot proksimal tungkai bawah dan tungkai

atas atau limb-girdle distribution. Otot distal bisa terkena, tapi jarang.

Ekstensor serta fleksor leher juga dapat terkena. 2

- Kelemahan distal. Pola ini biasanya dominan melibatkan otot distal

baik pada ekstremitas atas maupun bawah, dapat simetris dapat juga

tidak. Tergantung diagnosis dan keparahan penyakit, otot proksimal

bisa terkena juga. 2

- Kelemahan lengan proksimal/tungkai bawah distal (skapuloperoneal).

Pola ini melibatkan otot periskapular lengan proksimal dan otot


kompartemen anterior pada ekstremitas bawah distal atau distribusi

skapuloperoneal. Kelemahan otot skapular dikarakteristikkan sebagai

scapular winging . Kelemahan biasanya asimetrik. 2

- Kelemahan lengan distal/tungkai bawah proksimal. Pola ini melibatkan

kelemahan otot fleksor pergelangan tangan dan jari-jari serta ekstensor

lutut (quadrisep). Otot wajah biasanya tidak terkena, terkena,

keterlibatan otot lain bervariasi. Kelemahan asimetris. 2

- Ptosis dengan atau tanpa oftalmoparesis. Keterlibatan okular yang

menghasilkan ptosis dan oftalmoparesis biasanya, walaupun tidak

selalu, terjadi tanpa gejala diplopia. Kelemahan wajah bisa terjadi dan

kelemahan ekstremitas bervariasi, tergantung diagnosis. 2

- Kelemahan ekstensor leher yang prominen. Dropped head syndrome

ditandai dengan kelemahan otot ekstensor leher yang berat.

Keterlibatan otot fleksor leher bervariasi, kelemahan ekstremitas

tergantung dari diagnosis. 2

- Kelemahan bulbar. Kelemahan bulbar seperti kelemahan faring dan

lidah, bermanifestasi sebagai disartria dan disfagia. 2

- Mioglobinuria, kelemahan dan nyeri episodik. Pola ini ditandai dengan

riwayat mioglobinuria, kelemahan dan nyeri episodik yang dapat

berhubungan dengan berbagai kondisi, dimana beberapa diantaranya

diantaranya tidak disebabkan karena gangguan otot. Jika gejala ini

dipicu oleh latihan, kemungkinan diagnosis metabolik dapat

ditegakkan. Akan tetapi, beberapa pasien mengalami mioglobinuria


karena mereka merupakan individu inaktif yang tiba-tiba melakukan

aktivitas berat. 2

- Kelemahan episodik tertunda atau tidak berhubungan dengan latihan.

Pola ini dapat diterapkan pada paralisis periodik dan kanalopati. Pada

kondisi ini kelemahan dapat terjadi selama atau setelah latihan, atau

sering kelemahan tidak berhubungan dengan aktivitas fisik. 2

- Kekakuan dan menurunnya kemampuan untuk rileks. Seluruh

gangguan yang menyebabkan miotonia dan paramiotonia dapat

menimbulkan pola ini. Baik otot proksimal dan otot distal dapat

terkena, tergantung penyakitnya. 2

3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan seperti :

a. Tes Laboratorium :5
 Darah lengkap
 Nitrogen urea darah dan kreatinin serum
 Electrolytes (sodium, magnesium, potassium, calcium, phosphorus)
 Aspartate aminotransferase (AST), alanine aminotransferase (ALT),
lactate dehydrogenase (LDH), y-glutamyltransferase (GGT)
 Pemeriksaan kreatinin kinase (CK) merupakan studi laboratorium awal
yang paling berguna dalam mengevaluasi pasien dengan suspek
miopati, akan tetapi perlu diketahui bahwa kreatinin kinase dapat pula
normal pada pasien dengan miopati (pasien dengan kondisi yang
progresinya lambat, atrofi otot jelas, atau yang menggunakan
kortikosteroid) dan meningkat pada pasien normal tanpa miopati.
miopati. Derajat peningkatan kreatinin kinase dapat memberikan
memberikan petunjuk petunjuk mengenai signifikansinya seperti
peningkatan CK yang jelas dan bertahan dapat dilihat pada pasien
dengan polimiositis yang tidak diterapi, sedangkan elevasi CK yang
minor dan transien setelah elektromiogram atau trauma otot lain.
 C-reactive protein dan laju sedimentasi eritrosit
 Tes Fungsi Tiroid
 ANA test
 Urinalisis
b. Electromyography (EMG). Perlu dipertimbangkan pada pasien dengan
suspek miopati. Studi konduksi saraf umumnya normal pada kasus
miopati, dan berguna untuk mengeksklusi kondisi neuromuskular lain
yang mirip atau terjadi bersamaan, seperti neuropati atau gangguan
transmisi neuromuscular junction. EMG juga dapat digunakan sebagai
kelanjutan dari pemeriksaan neurologis untuk menentukan otot mana
yang cocok untuk dilakukan biopsi, jika diindikasikan.2
c. Biopsi otot. Merupakan landasan dalam mendiagnosis miopati. Biopsi
dapat digunakan untuk menentukan adanya miopati inflamasi dan
membantu mendemonstrasikan bentuk spesifik dari beberapa miopati
herediter.2

G. DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding miopati sangat luas, karena bervariasi tergantung

pada gejala yang terkait:

 Guillain-Barre Sindrom : Pasien khas dengan GBS, yang dalam

banyak kasus akan bermanifestasi sebagai poliradikuloneuropati

demielinasi inflamasi akut (AIDP), muncul 2-4 minggu setelah

penyakit pernapasan atau gastrointestinal dengan keluhan disestesia

jari dan kelemahan otot proksimal dari ekstremitas bawah. Kelemahan

dapat berkembang selama berjam-jam hingga berhari-hari untuk

melibatkan lengan, otot truncal, saraf kranial, dan otot pernapasan.5


GBS terjadi karena adanya rangsang pada sistem imun,

meskipun patogenesis yang pasti masih belum diketahui. Faktor risiko

yang diduga berkaitan dengan penyakit ini yaitu adanya riwayat

infeksi bakteri atau virus. Infeksi bakteri Campylobacter jejuni

dilaporkan paling sering berasosiasi dengan GBS. Infeksi yang

disebabkan virus antara lain oleh Cytomegalovirus, virus Epstein-Barr,

atau virus influenza. Selain faktor risiko infeksi, pemberian vaksin

juga dilaporkan menjadi salah satu faktor.5

Gejala klinis dari GBS umumnya terjadi kelemahan bilateral

yang progresif dan didahului baal selama 2-3 minggu setelah

mengalami demam. Baal dan kelemahan terjadi dari ekstremitas bawah

bagian distal kemudian menjalar ke bagian proksimal ke ekstremitas

atas. Arefleksia atau menurunnya refleks tendon di ekstremitas juga

sering dijumpai. Selain itu, gejala-gejala tambahan yang biasanya

menyertai GBS antara lain gangguan pada N. Fasialis sisi bilateral,

facial flushing, kesulitan memulai BAK, kelainan dalam berkeringat,

dan penglihatan kabur (blurred visions).5

 Myasthenia Gravis : Gangguan autoimun saraf perifer di mana

antibodi terbentuk terhadap reseptor postinaptik nikotinik asetilkolin

(ACh) di persimpangan myoneural. Pengurangan jumlah reseptor ACh

menghasilkan pola karakteristik kekuatan otot yang semakin berkurang

dengan penggunaan berulang otot dan pemulihan kekuatan otot setelah

periode istirahat. Otot bulbar paling sering terkena dan paling parah,
tetapi kebanyakan pasien juga mengalami beberapa tingkat kelemahan

umum yang berfluktuasi.5

Miastenia gravis adalah penyakit yang menyerang hubungan

antara sistem saraf (nervus) dan sistem otot (muskulus). Penyakit

miastenis gravis ditandai dengan kelemahan dan kelelahan pada

beberapa atau seluruh otot, di mana kelemahan tersebut diperburuk

dengan aktivitas terus menerus atau berulang-ulang. Miastenia gravis

adalah penyakit autoimun yang menyerang neuromuskular juction

ditandai oleh suatu kelemahan otot dan cepat lelah akibat adanya

antibodi terhadap reseptor asetilkolin (AchR) sehingga jumlah AchR di

neuromuskular juction berkurang.5

Kelemahan otot terjadi seiring dengan penggunaan otot secara

berulang, dan semakin berat dirasakan di akhir hari. Gejala ini akan

menghilang atau membaik dengan istirahat. Kelompok otot-otot yang

melemah pada penyakit miastenis gravis memiliki pola yang khas.

Pada awal terjadinya Miastenia gravis, otot kelopak mata dan gerakan

bola mata terserang lebih dahulu. Akibat dari kelumpuhan otot-otot

tersebut, muncul gejala berupa penglihatan ganda (melihat benda

menjadi ada dua atau disebut diplopia) dan turunnya kelopak mata

secaara abnormal (ptosis).5

 Sindrom myasthenic Lambert-Eaton (LEMS): Kelemahan otot

proksimal, refleks tendon tertekan, potensiasi pasca-tetanik, dan

perubahan otonom akibat gangguan pelepasan asetilkolin.


H. Terapi medikamentosa

 Miopati Didapat

 Miopati Inflamasi

Tujuan utama terapi miopati inflamasi adalah untuk

mengembalikan kekuatan otot, membatasi/mengeliminasi inflamasi,

dan mencegah kerusakan organ lain. Idealnya, terapi diberikan dengan

melibatkan pendekatan multidisiplin; neurologi, reumatologi,

dermatologi, pulmoner, okupasi fisik, dan terapi bicara.14

Kortikosteroid dosis tinggi merupakan terapi lini pertama pada

dewasa dengan DM, PM, dan NAM. Dosis inisial dengan DM, PM,

dan NAM. Dosis inisial prednison ial prednison ialah 0,5-1

mg/kgbb/hari (60-100 mg sekali sehari). Tergantung respon pasien,

tappering off biasanya dilakukan setelah 4-6 minggu atau ketika

perbaikan kekuatan otot mencapai fase plateu. Regimen tappering off

multipel yang digunakan adalah 10 mg per 2 minggu hingga dosis 30

mg/hari, kemudian diturunkan menjadi 5 mg/hari per 2 minggu hingga

dosis 20 mg/hari, lalu 2,5 mg/hari per 2 minggu hingga tappering

off selesai atau mencapai dosis terendah yang dapat mempertahankan

kondisi pasien dalam fase remisi. Terapi lain yang dapat digunakan

adalah deksametason 40 mg 4 hari dalam sebulan sebagai pulse

therapy oral dengan efek samping yang lebih sedikit. Efek samping

pemberian kortikosteroid adalah gangguan tidur, eksaserbasi gangguan


mood, psikosis, glaukoma, katarak, nekrosis avaskular, osteoporosis

serta fraktur patologis, hipertensi, dan hiperglikemia.14

Metrotreksat merupakan antifolat yang menginhibisi proliferasi

limfosit. Dosis inisial adalah 7,5 mg sekali dalam seminggu. Asam

folat 1 mg/hari atau leukovorin 5 mg/minggu pada hari selanjutnya

penting untuk membatasi beberapa efek samping. Dosis dapat

ditingkatkan 2,5 mg tiap minggu untuk mencapai dosis target 25 mg

sekali dalam seminggu.14

Azatioprin merupakan antimetabolit yang memblok proliferasi

limfosit sel T. Dosis awal adalah 25-50 mg/hari, dengan kenaikan 25

mg/minggu hingga mencapai 2-3 mg/kgbb (100-250 mg/hari). Dosis

dapat diberikan setiap hari atau dibagi menjadi 2 kali sehari. Efek

sampingnya adalah nausea, diare, hepatotoksik, pankreatitis dan

myelosuppresion.14

 Miopati yang dicetuskan Obat

Manajemen miopati yang dicetuskan oleh obat adalah segera

menghentikan penggunaan obat yang dicurigai menyebabkan miopati,

serta pemberian terapi pemberian terapi suportif jika suportif jika

dibutuhkan. Diagnosis segera dan dibutuhkan. Diagnosis segera dan

penghentian obat penghentian obat meningkatkan kemungkinan

resolusi dan penyembuhan.2

Jika pasien menunjukkan gejala miopati, keadaan yang tidak

berhubungan dengan terapi statin harus dieksklusi, dan level CK harus


dinilai. Nilai CK >10 kali batas normal merupakan prediktor

rabdomiolisis dan pasien ini harus diinvestigasi untuk peningkatan

level mioglobin urin, penurunan fungsi ginjal dan fungsi tiroid. Terapi

statin harus segera dihentikan, dan perlu dipertimbangkan resiko dan

keuntungan dalam penggunaan statin.2

 Miopati Endokrin

Terapi miopati endokrin termasuk koreksi disfungsi endokrin

yang mendasari, baik dengan tindakan bedah atau medis. Perlu

diperhatikan setiap tindakan yang dilakukan untuk menghindari lesi

neurapraksik. Agen beta adrenergik bloker dapat digunakan untuk

meningkatkan kekuatan otot, terutama otot respirasi. Penyebab dasar

miopati endokrin bisa berupa tumor pensekresi hormon atau tumor

kelenjar endokrin, yang dapat dilakukan operasi.3

 Miopati Herediter
 Miopati Kongenital
Tidak ada terapi khusus yang tersedia untuk miopati kongenital,

namun terapi suportif yang agresif merupakan hal yang esensial dalam

mempertahankan aktivitas otot, memberikan kemampuan fungsional

yang maksimal, dan memperpanjang harapan hidup. Pencegahan

kontraktur termasuk penggunaan passive stretching agresif, latihan,

bracing , dan tindakan pembedahan. Terjadinya skoliosis atau kifosis

dapat dikoreksi dengan bracing atau pembedahan. Restriksi diet tidak

ada, namun disesuaikan dengan kebutuhan kalori pasien.15


 Miopati Metabolik

Secara umum, tatalaksana miopati metabolik berbasis gejala,

dengan tujuan utama untuk menghindari situasi yang memperberat

kerja otot dan menyebabkan nyeri otot dan kelemahan. Pasien harus

menghindari puasa, pajanan terhadap suhu yang ekstrim, dan latihan

yang memanjang serta mempertahankan intake karbohidrat. Pasien

dapat mengatasi episode mioglobinuria yang ringan dengan istirahat

dan meningkatkan intake cairan manis. Serangan yang lebih berat,

berat, seperti seperti nyeri otot, demam, mioglobinuria membutuhkan

hospitalisasi.16

 Miopati Mitokondria

Belum ditemukan terapi untuk memodifikasi perjalanan

penyakit miopati mitokondria. Program latihan dan keuntungannya

belum jelas keuntungannya dalam membalikkan perjalanan penyakit

miopati mitokondria. Tatalaksana miopati mitokondria terpusat pada

manajemen komplikasi. Komplikasi yang utama adalah episode mirip

stroke pada sindrom MELAS. Perlu diperhatikan fungsi kardiorespirasi

serta status endokrin pasien. Manajemen lain termasuk menghindari

agen yang dapat memperburuk kondisi pasien.7

I. Prognosis

Secara umum, necrotizing autoimmune myopathy (NAM) lebih

resisten terhadap terapi imunosupresif dibandingkan dermatomiositis

(DM) dan polimiositis (PM), terutama jika terdapat malignansi atau


pemicu statin. Mayoritas sporadic inclusion body myopathy (sIBM)

berespon buruk terhadap imunoterapi. Kecuali pada pasien dengan

malignansi, prognosis DM dan PM pada dewasa adalah baik. Hanya

sedikit pasien yang menyerah terhadap penyakitnya, dan biasanya

diakibatkan karena komplikasi pulmoner sekunder. Beberapa pulmoner

sekunder. Beberapa pasien memiliki pneumonia aspirasi akibat disfagia

yang mereka alami. Pada sIBM, sebagian besar kasus mengalami progresi

terus menerus dalam beberapa tahun, kadang sangat lambat, dan tidak ada

terapi yang dapat mempengaruhi prognosis ini.6

Penegakkan diagnosis awal yang tepat dan cepat pada miopati

yang dicetuskan oleh obat penting karena biasanya pasien membaik secara

klinis dengan penghentian obat yang diduga menginduksi miopati

sehingga tidak terjadi kerusakan otot yang lebih lanjut yang bersifat

ireversibel.6

Prognosis miopati endokrin tergantung proses endokrin yang

mendasarinya. Miopati sering menghilang dengan koreksi penyakit yang

mendasari. Kelemahan yang memanjang dan penyembuhan parsial umum

terjadi, pada kasus yang berat dan pada pasien dengan tatalaksana yang

suboptimal atau tertunda.3

Prognosis miopati kongenital tergantung dari bentuk miopatinya.

Penyakit yang berat sering menyebabkan kematian pada periode neonatal.

Penyakit yang kurang berat dapat menyebabkan disabilitas seumur hidup.


Bentuk yang lebih ringan hanya menyebabkan disabilitas ringan dengan

harapan hidup yang relatif normal.15

Karena manifestasi dari penyakit mitokondria adalah heterogen,

perjalanan klinis dan outcome jangka jangka panjang panjang pada setiap

pasien bervariasi. bervariasi. Onset penyakit penyakit mitokondria pada

masa kanak-kanak pada sebagian besar kasus adalah multisistem dan

sering progresi dengan cepat, sedangkan pada masa dewasa, penyakit

penyakit ini lebih sering ditemukan ditemukan dan berhubungan

berhubungan dengan perjalanan perjalanan klinis yang bervariasi.

Mortalitas pasien dengan penyakit mitokondria dipengaruhi oleh usia

pasien dan genotip yang mendasari. Miopati mitokondria dapat

menyebabkan kegagalan respirasi, kebutuhan dukungan ventilasi dan

harapan hidup yang menurun.6


BAB III

ANALISIS KASUS

Kasus Pembahasan

Laki-laki 31 Tahun Miopati merupakan suatu kelainan dimana

terdapat gangguan primer pada fungsi dan

struktur otot skelet. Prevalensinya berbeda-

beda pada tiap negara dan kelompok etnik

Miopati inflamasi dan endokrin adalah jenis

miopati yang sering terjadi. insidensi

miopati inflamasi idiopatik berkisar 0,5-8,4

kasus perjuta penduduk. Polymyositis lebih

sering terjadi pada wanita dibandingkan

pada pria (rasio 2:1). Polymysitis biasanya

mempengaruhi orang dewasa dengan umur

20 tahun, terutama yang berusia 45-60

tahun.

Keluhan kelemahan tiba-tiba Pada kasus ini keluhan utama pasien adalah

pada kedua tangan dan kaki lemah pada kedua kaki dan tangan, hal ini

yang dirasakan sejak ± 5 tahun sesuai dengan gejala-gejala pada miopathi

yang lalu. Awalnya kedua paha Dimana gejala yang perlu meningkatkan

terasa kram, kaku dan semakin kecurigaan terhadap adanya miopati adalah

lama terasa semakin melemah, pola kelemahan otot, kelelahan, atrofi otot,

kaki terasa berat untuk diangkat miotonia, dan mioglobinuria.


hingga sulit untuk berjalan. Gejala miopati meliputi gejala negatif dan

Kemudian diikuti dengan kedua gejala positif. Gejala negatif seperti

tangan yang semakin lama juga kelemahan, kelelahan, atrofi otot, dan serta

semakin melemah, sehingga gejala positif, seperti kontraktur, kram,

penderita merasakan kesulitan mialgia, kekakuan otot dan mioglobinuria

untuk mengangkat tangan ke

atas dan sulit untuk beraktifitas.

Pasien juga mengatakan kedua

paha lama kelamaan tampak

mengecil

Diagnosis Sementara : Miopathi Diagnosis miopati dimulai dengan

anamnesis riwayat secara terperinci. Pasien

sering mengeluhkan gejala yang sebenarnya

tidak spesifik, karena dapat dipengaruhi oleh

kondisi lain. Gejala yang perlu

meningkatkan kecurigaan terhadap adanya

miopati adalah pola kelemahan otot,

kelelahan, atrofi otot, miotonia, dan

mioglobinuria rekuren. Perlu juga diketahui

waktu munculnya gejala serta progresinya,

serta faktor yang memprovokasi atau

mengeksaserbasi munculnya miopati

Diagnosis Banding : Diagnosis banding miopati sangat luas,


 Guillain bare karena bervariasi tergantung pada gejala

syndrome yang terkait,

 Myastenia Gravis Guillain bare syndrome

Gejala klinis dari GBS umumnya terjadi

kelemahan bilateral yang progresif dan

didahului baal selama 2-3 minggu setelah

mengalami demam. Baal dan kelemahan

terjadi dari ekstremitas bawah bagian distal

kemudian menjalar ke bagian proksimal ke

ekstremitas atas. Selain itu, gejala-gejala

tambahan yang biasanya menyertai GBS

antara lain gangguan pada N. Fasialis sisi

bilateral, facial flushing, kesulitan memulai

BAK, kelainan dalam berkeringat, dan

penglihatan kabur (blurred visions).

Myastenia Gravis

Miastenia gravis adalah penyakit yang

menyerang hubungan antara sistem saraf

(nervus) dan sistem otot (muskulus).

Penyakit miastenis gravis ditandai dengan

kelemahan dan kelelahan pada beberapa

atau seluruh otot, di mana kelemahan

tersebut diperburuk dengan aktivitas terus


menerus atau berulang-ulang.

Kelompok otot-otot yang melemah pada

penyakit miastenis gravis memiliki pola

yang khas. Pada awal terjadinya Miastenia

gravis, otot kelopak mata dan gerakan bola

mata terserang lebih dahulu. Akibat dari

kelumpuhan otot-otot tersebut, muncul

gejala berupa penglihatan ganda (melihat

benda menjadi ada dua atau disebut

diplopia) dan turunnya kelopak mata secaara

abnormal (ptosis).

Terapi Tujuan utama terapi miopati adalah untuk

Medikamentosa: mengembalikan kekuatan otot,

 Prednison dengan dosis 0,5- membatasi/mengeliminasi inflamasi, dan

1 mg/kgbb/hari mencegah kerusakan organ lain. Idealnya,

 Metrotreksat dengan dosis terapi diberikan dengan melibatkan

7,5 mg seminggu pendekatan multidisiplin; neurologi,

reumatologi, dermatologi, pulmoner,


Non medikamentosa
okupasi fisik, dan terapi bicara.
 Rehabilitasi dan latihan
Kortikosteroid dosis tinggi merupakan terapi
fisik
lini pertama pada dewasa dengan DM, PM,

dan NAM. Dosis inisial dengan DM, PM,

dan NAM. Dosis inisial prednison ialah 0,5-


1 mg/kgbb/hari (60-100 mg sekali sehari).

Tergantung respon pasien, tappering

off biasanya dilakukan setelah 4-6 minggu.

Metrotreksat merupakan antifolat yang

menginhibisi proliferasi limfosit. Dosis

inisial adalah 7,5 mg sekali dalam seminggu

Azatioprin merupakan antimetabolit yang

memblok proliferasi limfosit sel T. Dosis

awal adalah 25-50 mg/hari, dengan kenaikan

25 mg/minggu hingga mencapai 2-3

mg/kgbb (100-250 mg/hari). Dosis dapat

diberikan setiap hari atau dibagi menjadi 2

kali sehari.

Rehabilitasi dan terapi fisik sangat penting

dalam pengelolaan myositis. Latihan fisik

sekarang direkomendasikan sebagai terapi

kombinasi dengan pengobatan

imunosupresif. Menggabungkan latihan

dengan terapi imunosupresif adalah aman

dan memiliki efek menguntungkan yang

jelas pada fungsi otot. Variabel yang paling

penting psda pasien dengan myositis adalah

fungsi fisik. Evaluasi kinerja otot harus


melibatkan pengukuran kekuatan otot dan

daya tahan otot.

Prognosis Pada miopati inflamasi prognosis tergantung

Dubia ad malam pada jenis kelamin, usia, tingkat keparahan

miopati, keganasan, disfagia, dan masalah

kardiopulmonal. Pada dewasa prognosis

lebih baik, kecuali berkaitan dengan

keganasan.

Penegakkan diagnosis awal yang tepat dan

cepat pada miopati yang dicetuskan oleh

obat penting karena biasanya pasien

membaik
DAFTAR PUSTAKA

1. Maharathi, S. 2019.Myopathy. Demonstrator, Physiotheraphy.


SVNINTAR.
2. Barohn, R. J., Dimachkie, M. M., & Jackson, C. E. 2014. A Pattern
Recognition Approach to the Patient with A Suspected Myopathy.
Neurologic Neurologic Clinics Clinics, 32(3), 569-593.
3. Anderson, W. E. 2017. Endocrine Endocrine Myopathies Myopathies.
Diakses di https://emedicine.medscape.com/article/1170469-
overview#a5 view#a5 pada tanggal tanggal 09 November 2018, pukul
19.32.
4. Barohn, R. J., Dimachkie, M. M., & Jackson, C. E. (2014). A Pattern
Recognition Approach to the Patient with A Suspected Myopathy.
Neurologic Neurologic Clinics Clinics, 32(3), 569-593.
5. Nagy, H., Veerapaneni K.D. 2022. Myopathi. National Library Of
medicine. NCBI.
6. Kurniawan, S. N. & Damayanti, R. 2012. Buku Ajar Miopati. Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya. UB Press: Malang. Hal 1-119.
7. Pfeffer, G. & Chinnery, P. F. 2013. Diagnosis and Treatment of
Mitochondrial Myopathies. Annals of Medicine, 45(1), 4-16.
8. Angelini, C. 2015. Spectrum of Metabolic Myopathies. Molecular Basis
of Disease, 1852(4), 615-621.
9. Zong, M. & Lundberg, I. E. 2011. Pathogenesis, Classification and
Treatment of Inflammatory Myopathies. Nature Review of
Rheumatology, 7 , 297-306.
10. Dalakas, M. C. 2009. Toxic and Drug-Induced
Myopathies. Journal Neurosurgery, and Psychiatry, 80, 832-838.
11. Owczarek, Jasinska, M., Orszulak-Michalak, D.2005. Drug-Induced
Myopathies: An Overview of the Possible Mechanisms. Pharmacology
Reports, 57 , 23-24.
12. Scurggs, E. R. & Naylor, A. J. D. 2008. Mechanisms of Zidovudine-
Induced Mitochondrial Toxicity and Myopathy.Pharmacology, 82, 83-88.
13. Domingo-Horne, R. M., & Salajegheh, M. K. 2018. An Approach to
Myopathy for the Primary Care Clinician. American Journal of
Medicine. 131(3), 237- 243.
14. Malik, A., Hayat, G., Kalia, J. S., & Guzman, M. A. 2016. Idiopathic
Inflammatory Myopathies : Clinical Approach and
Management. Frontiers in Neurology.
15. Lopate, G. (2014). Lopate, G. 2014. Congenital Myopathies Congenital
Myopathies. Diakses https://emedicine.medscape.com/article/1175852-
overview#a6 pada tanggal 8 November 2018, pukul 18.30.Orngreen, M.
C. & Vissing, J. (2017). Treatment Opportunities in Patients with
Orngreen, Metabolic Myopathies. Current Treatment Options in
Neurology.

Anda mungkin juga menyukai