Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN KASUS

SEORANG ANAK USIA 10 TAHUN DENGAN ISK dd


DEMAM TIFOID, BACTERIAL INFECTION ec
EKTIMA dd SKABIES

Oleh :

dr. Musthofa Chandra Ramabuana

Pembimbing :

dr. Maryana Sp.A, M.Kes

DALAM RANGKA MENJALANI

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA

RSUD dr. ZAINAL UMAR SIDIKI

2022

1
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Kasus:

Seorang Anak Usia 10 Tahun Dengan ISK dd Demam


Tifoid, Bacterial Infection ec Ektima dd Skabies

Yang disusun

oleh:

dr. Musthofa Chandra Ramabuana

Disetujui dan diterima sebagai salah satu tugas

Program Internsip Dokter Indonesia

RSUD dr. Zainal Umar Sidiki 2022

Gorontalo Utara, 9 Maret 2022

Mengetahui,
Dokter Pembimbing

dr Maryana, Sp.A, M.Kes

2
PENDAHULUAN
Infeksi Saluran Kemih
Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu penyakit infeksi yang sering pada
anak selain infeksi saluran nafas atas dan diare. ISK adalah keadaan adanya infeksi (ada
pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri) dalam saluran kemih, meliputi infeksi di
parenkim ginjal sampai infeksi di kandung kemih. Manifestasi klinis ISK sangat bervariasi
dan tergantung pada umur, mulai dengan asimtomatik hingga gejala yang berat, sehingga
ISK sering tidak terdeteksi baik oleh tenaga medis maupun oleh orangtua. Pada umur
lebih tinggi yaitu sampai 4 tahun, dapat terjadi demam yang tinggi hingga dapat
menyebabkan kejang, muntah dan diare bahkan dapat timbul dehidrasi. Pada anak besar
gejala klinik umum biasanya berkurang dan lebih ringan, mulai tampak gejala klinik lokal
saluran kemih berupa urin keruh serta berbaupolakisuria, disuria, urgency, frequency,
ngompol, sedangkan keluhan sakit perut, sakit pinggang, atau pireksia lebih jarang
ditemukan.1 Escherichia coli (E. coli) merupakan kuman penyebab tersering (60-80%)
pada ISK serangan pertama.1,2 Penelitian di dalam negeri antara lain di RSCM Jakarta
juga menunjukkan hasil yang sama.3 Kuman lain penyebab ISK yang sering adalah
Proteus mirabilis, Klebsiella pneumonia, Klebsiella oksitoka, Proteus vulgaris,
Pseudomonas aeroginosa, Enterobakter aerogenes, dan Morganella morganii,
Stafilokokus, dan Enterokokus.3

ISK merupakan penyakit yang relatif sering pada anak. Kejadian ISK tergantung
pada umur dan jenis kelamin.1,2 Selama 1 tahun pertama kehidupan ISK terjadi pada 0,7%
bayi perempuan dan 2,7% bayi laki-laki. Setelah melewati usia 1 tahun, ISK lebih sering
terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki yaitu dengan presentase 11,3% : 3,6%. Hal
ini dipengaruhi dari uretra perempuan yang lebih pendek dibandingkan laki-laki. Di
daerah Asia, ISK lebih sering terjadi pada ras kaukasian dibandingkan dngan ras
mongoloid.1

ISK pada anak dapat dibedakan berdasarkan gejala klinis, lokasi infeksi, dan
kelainan saluran kemih. Berdasarkan gejala, ISK dibedakan menjadi ISK asimtomatik dan
simtomatik. Berdasarkan lokasi infeksi, ISK dibedakan menjadi ISK atas dan ISK bawah,
dan berdasarkan kelainan saluran kemih, ISK dibedakan menjadi ISK simpleks dan ISK
kompleks. ISK asimtomatik ialah bakteriuria bermakna tanpa gejala. ISK simtomatik yaitu
terdapatnya bakteriuria bermakna disertai gejala dan tanda klinik. Sekitar 10-20% ISK
yang sulit digolongkan ke dalam pielonefritis atau sistitis baik berdasarkan gejala klinik
maupun pemeriksaan penunjang disebut dengan ISK non spesifik. Membedakan ISK atas
atau pielonefritis dengan ISK bawah (sistitis dan urethritis) sangat perlu karena risiko

3
terjadinya parut ginjal sangat bermakna pada pielonefritis dan tidak pada sistitis, sehingga
tata laksananya (pemeriksaan, pemberian antibiotik, dan lama terapi) berbeda. 4

ISK juga dapat dibagi menjadi ISK simpleks (uncomplicated UTI) dan ISK
kompleks (complicated UTI). ISK kompleks adalah ISK yang disertai kelainan anatomik
dan atau fungsional saluran kemih yang menyebabkan stasis ataupun aliran balik (refluks)
urin. Kelainan saluran kemih dapat berupa RVU, batu saluran kemih, obstruksi, anomali
saluran kemih, buli-buli neurogenik, benda asing, dan sebagainya. ISK simpleks ialah ISK
tanpa kelainan struktural maupun fungsional saluran kemih. 5
Berbagai pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosis dan membedakan ISK atas dan bawah, namun sebagian besar pemeriksaan
tersebut tidak spesifik. Leukositosis, peningkatan nilai absolut neutrofil, peningkatan laju
endap darah (LED), C-reactive protein (CRP) yang positif, merupakan indikator non-
spesifk ISK atas.6 Sitokin merupakan protein kecil yang penting dalam proses inflamasi.
Prokalsitonin, dan sitokin proinflamatori (TNF-α; IL-6; IL-1β) meningkat pada fase akut
infeksi, termasuk pada pielonefritis akut.6 Pemeriksaan penunjang meliputi urinalisis bisa
ditemukan leukosituria, nitrit, leukosit esterase, protein, dan darah. Leukosituria
merupakan petunjuk kemungkinan adanya bakteriuria, tetapi tidak dipakai sebagai
patokan ada tidaknya ISK. Leukosituria biasanya ditemukan pada anak dengan ISK (80-
90%) pada setiap episode ISK simtomatik, tetapi tidak adanya leukosituria tidak
menyingkirkan ISK. Bakteriuria dapat juga terjadi tanpa leukosituria. 1,4,6,7 ISK
Berbagai antibiotik dapat digunakan untuk pengobatan ISK, baik antibiotik yang
diberikan secara oral maupun parenteral, seperti terlihat pada tabel 1 dan tabel 2 .

Tabel 1. Pilihan antimikroba oral pada infeksi saluran kemih Jenis antibiotik Dosis per hari
Jenus Antibiotik Dosis per hari

Amoksisilin 20-40 mg/kgbb/hari dibagi dalam 3 dosis


Sulfonamid
- trimetroprim (TMP) – 6-12 mg TMP dan 30-60 mg SMX
sulfametoksazol (SMX) /kgbb/hari dibagi dalam 2 dosis
- Sulfisoksazol 120-150 mg/kgbb/hari dibagi dalam 4 dosis
Sefalosporin:
- Sefiksim 8 mg/kgbb/hari dibagi dalam 2 dosis
- Sefpodiksim 10 mg/kgbb/hari dibagi dalam 2 dosis
- Sefprozil 30 mg/kgbb/hari dibagi dalam 2 dosis
- Sefaleksin 50-100 mg/kgbb/hari dibagi dalam 4 dosis
- Lorakarbef 15-30 mg/kgbb/hari dibagi dalam 2 dosis

4
Tabel 2. Pilihan antimikroba parenteral pada infeksi saluran kemih.
Jenis antbiotik Dosis per hari
Seftriakson 75 mg/kgbb/hari
Sefotaksim 150 mg/kgbb/hari dibagi setiap 6 jam
Seftazidi m 150 mg/kgbb/hari dibagi setiap 6 jam
Sefazolin 50 mg/kgbb/hari dibagi setiap 8 jam
Gentamisin 7,5 mg/kgbb/hari dibagi setiap 6 jam
Amikasin 15 mg/kgbb/hari dibagi setiap 12 jam
Tobramisin 5 mg/kgbb/hari dibagi setiap 8 jam
Tikarsilin 300 mg/kgbb/hari dibagi setiap 6 jam
Ampisilin 100 mg/kgbb/hari dibagi setiap 6 jam

Demam Tifoid

Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan
oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas yang berkepanjangan, ditopang
dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi
bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar
limfe usus, dan Peyer’s patch.8

Data World Health Organization (WHO) tahun 2013 memperkirakan terdapat


sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus
kematian tiap tahun.8 Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi
dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah
perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per
tahun. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada
91% kasus. Faktor kepadatan penduduk, kebersihan lingkungan dan higenitas personal
menjadi faktor pendukung penyebaran infeksi bakteri. Terjadinya penularan Salmonella
typhi sebagian besar melalui minuman/makanan yang tercemar oleh kuman yang berasal
dari penderita atau pembawa kuman, biasanya keluar bersama – sama dengan tinja
(melalui rute oral fekal = jalurr oro-fekal).8
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan, lebih bervariasi bila
dibandingkan dengan penderita dewasa. Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 – 20
hari, dengan masa inkubasi terpendek 3 hari dan terpanjang 60 hari. Gejala yang paling
umum ditemukan adalah demam berdurasi 1 minggu atau lebih dengan gambaran klasik
berupa stepwise pattern dapat pula mendadak tinggi dan remiten (39 – 41o C), gangguan
gastrointestinal, tyfoid toungue, ruam kemerahan di seluruh tubub dan dapat terjadi
penurunan kesadaran.9,10

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan darah rutin,


akan didapatkan trombositopenia, leukositopenia atau nilai leukosit tetap normal akibat

5
adanya supresi sumsum tulang dan destruksi sel darah oleh toksin yang dihasilkan
bakteri. Selesai pemeriksaan darah rutin, uji serologi standar yang rutin digunakan untuk
mendeteksi antibodi terhadap kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji widal efektif dilakukan
setelah demam minggu pertama. Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥
1/40 dengan memakai uji widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan
waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif,
96% kasus benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatif tidak menyingkirkan
diagnosis demam tifoid.11
Pemberian antibiotik golongan floroquinolon menjadi pilihan pertama terapi
empiris bakteri pada pasien demam tifoid. Chlorampenicol dengan dosis 500 mg per 6
jam selama 2-3 minggu menjadi terapi pilihan untuk pasien anak meskipun dalam
beberapa penelitian sudah membuktikan adanya resistensi. Pemberian anti piretik dan
obat simptomatik lainnya dapat diberikan sesuai dengan gejala klinis yang dialami
pasien.11,12

Sindrom Nefritik Akut

Sindrom nefritik akut (SNA) adalah suatu kumpulan gejala klinik berupa
proteinuria, hematuria, azotemia, red blood cast, oliguria dan hipertensi (PHAROH)
yang terjadi secara akut.13 Sedangkan glomerulonefritis akut (GNA) adalah suatu istilah
yang lebih bersifat umum dan lebih menggambarkan suatu proses histopatologi berupa
proliferasi dan inflamasi sel glomeruli akibat proses imunologik. Penggunaan istilah
SNA mengarah kepada keadaan klinis, sedangkan GNA mengarah kepada keadaan
histopatologis.13 Glomerulonefritis Akut Post Streptococcus (GNAPS) merupakan istilah
yang digunakan pada pasien dengan glomerulonefritis akut yang disbebakan oleh infeksi
bakteri streptococcus.13

GNAPS lebih sering terjadi pada anak usia 6 sampai 15 tahun dan jarang pada usia
di bawah 2 tahun. Jumlah kematian gabungan yang dilaporkan karena sindrom nefritik,
sindrom nefrotik, dan penyakit ginjal adalah 50.633 dari total 2.813.503 kematian pada
tahun 2017. Angka kematian meningkat dengan bertambahnya usia. Kematian akibat
8
sindrom nefritik dan nefrotik lebih tinggi pada wanita, dibandingkan dengan pria

SiGNAPS didahului oleh infeksi bakteri streptococcus beta hemoliticus melalui infeksi
saluran pernapasan akut (ISPA) atau infeksi kulit (piodermi) dengan periode laten 1-2
minggu pada ISPA atau 3 minggu pada pioderma. 8 Mekanisme penempelan kompleks
imun akibat infeksi bakteri pada subendotel, subepithelial, dan mesangial space
berdampak pada kerusakan gromerular filtration barrier (GFB) sehingga terjadi
kebocoran filtrasi yang mengakibatkan proteinuria.13
Gejala klinis GNAPS sangat bervariasi dari bentuk asimtomatik sampai gejala
yang khas. Bentuk asimtomatik lebih banyak daripada bentuk simtomatik baik sporadik
maupun epidemik. Bentuk asimtomatik diketahui bila terdapat kelainan sedimen urin
terutama hematuria mikroskopik yang disertai riwayat kontak dengan penderita GNAPS
simtomatik.8 Gejala yang paling sering ditemukan adalah edema palpebra atau
ekstremitas, hematuria, hipertensi dan oliguria. 13

Terapi utama adalah pemberian kortikosteroid sebagai agen anti inflamasi dan
antibiotik untuk eradikasi bakteri penyebab. Obat-obatan untuk menangani gejala seperti
antihipertensi, diuretik, dan immunosuppresive drugs juga dapat diberikan13

Tuberculosis Abdomen
Tuberkulosis (TB) telah menjadi masalah global kesehatan, dimana angka kasus
semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah pasien imunokompromais.
Penyebaran penyakit ini berbanding lurus dengan taraf ekonomi yang rendah, kepadatan
penduduk, dan resistensi obat. Abdominal Tuberculosis adalah infeksi bakteri
mycobacterium tuberculosis pada organ pencernaan. Penyakit ini dapat disebabkan oleh
penyebaran Mycobacterium tuberculosis yang berasal dari organ paru, namun bisa juga
saluran cerna menjadi organ awal yang terinfeksi.14
Terjadinya infeksi Mycobacterium tuberculosis dari saluran pencernaan terjadi
melalui beberapa cara yakni: (i) Menelan sputum yang terinfeksi pada pasien dengan
penyakit paru aktif, (ii) Secara hematogen atau limfogen dari fokus yang jauh, (iii)
Ekstensi langsung dari situs yang bersebelahan dan (iv) konsumsi produk susu yang
terinfeksi Mycobacterium bovis. Berdasarkan lokasinya, tuberkulosis abdomen paling
sering terjadi di regio ileocaecal yaitu sebanyak 44-93%.15

Pada pasien tuberkulosis abdomen, didapatkan 91% mengalami nyeri perut dan
55% mengalami penurunan berat badan yang drastis akibat penurunan dari nafsu makan
pasien. Pemeriksaan penunjang dapat berupa pemeriksaan laboratorium, endoskopi,
biopsi jaringan dan pemeriksaan radiologi. Terapi yang direkomendasikan dari studi
retrospektif yang merekomendasikan durasi OAT dalam jangka pendek yakni selama
durasi 6 bulan dengan regimen 2HRZE + 4HR.16
Ektima

Ektima adalah pioderma kulit ulseratif yang umumnya disebabkan oleh


streptococcus beta hemoliticus. Penyebab lainnya bisa Stafilokokus atau kombinasi dari
keduanya. Menyerang epidermis dan dermis membentuk ulkus dangkal yang ditutupi
oleh krusta berlapis, biasanya terdapat pada tungkai bawah. Ektima memiliki sinonim
antara lain Ulcerative pyoderma, Cutaneous pyoderma, Impetigo, Deep impetigo, Skin
streptococci, Grup A beta-hemolitik streptococci, Ecthymatous ulcer, Group A
streptococci.17

Ektima merupakan penyakit kulit berupa ulkus yang paling sering terjadi pada
orang-orang yang sering bepergian (traveler). Pada suatu studi kasus di Perancis,
ditemukan bahwa dari 60 orang wisatawan, 35 orang (58%) diantaranya mendapatkan
infeksi bakteri, dimana bakteri terbanyak yang ditemukan yaitu Staphylococcus aureus
dan Streptococcus B-hemolyticus grup A yang merupakan penyebab dari penyakit
kulit impetigo dan ektima18
Streptococcus β- hemolyticus grup A dapat menyebabkan lesi atau menginfeksi
secara sekunder lesi yang sudah ada sebelumnya. Adanya kerusakan jaringan (seperti
ekskoriasi, gigitan serangga, dermatitis) dan keadaan imunokompromis (seperti diabetes
dan neutropenia) merupakan predisposisi pada pasien untuk timbulnya ektima. Faktor-
faktor predisposisi terjadinya ektima antara lain: gizi, hygiene perorangan atau
lingkungan, iklim, underlying disease misalnya diabetes melitus, atopik, trauma dan
penyakit kronik.19

Gambar 1. Lesi tipikal ektima pada ektremitas bawah


Gambar 2. Tahapan ektima. Lesi dimulai sebagai sebuah pustule yang
kemudian pecah membentuk ulkus.

Gambar 3. Lesi ektima pada regio gluteal

Pengobatan farmakologi bertujuan mengurangi morbiditas dan mencegah


20
komplikasi
a. Sistemik
Pengobatan sistemik digunakan jika infeksinya luas. Pengobatan
sistemik dibagi menjadi pengoatan lini pertama dan pengobatan lini
kedua.
1) Pengobatan lini pertama (golongan Penisilin)
- Dikloksasilin. Dewasa: Dikloksasilin 4 x 250 - 500 mg selama
5 - 7 hari. Anak : 5 - 15 mg/kgBB/dosis, 3 - 4 kali/hari.
- Amoksisilin + Asam klavulanat 3 x 25 mg/kgBB
- Sefalosporin generasi pertama, seperti Sefaleksin 40 – 50
mg/kgBB/hari selama 10 hari atau sefadroksil 2 x 10-15 mg/kgBB
selama 5-7 hari
2) Pengobatan lini kedua (golongan Makrolid)

- Azitromisin 1 x 500 mg, kemudian 1 x 250 mg selama 4 hari

- Klindamisin 15 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis selama 10 hari

- Dewasa: Eritomisin 4 x 250 - 500 mg selama 5 - 7 hari. Anak :


12,5 - 50 mg/kgBB/dosis, 4 kali/hari.

b. Topikal
Pengobatan topikal digunakan jika infeksi terlokalisir, tetapi jika luas
maka digunakan pengobatan sistemik. Neomisin, Asam fusidat 2%,
Mupirosin, dan Basitrasin merupakan antibiotik yang dapat digunakan
secara topical.1 Neomisin merupakan obat topikal yang stabil dan efektif
yang tidak digunakan secara sistemik, yang menyebabkan reaksi kulit
minimal, dan memiliki angka resistensi bakteri yang rendah sehingga
menjadi terapi antibiotik lokal yang valid. Neomisin dapat larut dalam
air dan memiliki kestabilan terhadap perubahan suhu. Neomisin memiliki
efek bakterisidal secara in vitro yang bekerja spektrum luas gram negatif
dan gram positif. Efek samping neomisin berupa kerusakan ginjal
dan ketulian timbul pada pemberian secara parenteral sehingga saat ini
12
penggunaannya secara topical dan oral.
c. Edukasi
Memberi pengertian kepada pasien tentang pentingnya menjaga kebersihan
badan dari lingkungan untuk mencegah timbulnya dan penularan penyakit
kulit.12
Skabies

Skabies adalah penyakit kulit menular yang disebabkan oleh tungau Sarcoptes
scabiei var. Hominis. Parasit ini sebagian besar hidup di tempat yang memiliki
kelembaban tinggi dan suhu yang rendah. Dalam 1 tahun terdapat 300 juta individu yang
mengalami skabies yang tersebar di Afrika, Amerika Selatan, Australia, dan Asia
Tenggara. Dari penelitian ditemukan negara tropis adalah endemik penyakit skabies
dengan prevalensi 5-10% pada anak-anak Penyebaran penyakit melalui kontak langsung
dan dari lingkungan yang terdapat banyak populasi tungau Sarcoptes scabiei var.
Hominis akan semakin cepat apabila didukung dengan kondisi status sosial rendah,
nutrisi yang buruk, tuna wisma, dan buruknya higenitas individu.21
Gejala yang paling sering muncul adalah rasa gatal yang berat terutama di malam
hari dan munculnya eflorosensi papul, pustul dan makula hiperpigmentasi dengan erosi
serta vesikel berbentuk terowongan di sela-sela jari sebagai jalan masuk awal tungau.
Predileksi lesi paling sering ditemukan pada tangan, sela-sela jari, kaki, siku, dan area
genital.21
Krim permetrin 5% menjadi pilihan terapi pertama pada anak karena lebih aman
digunakan dan memiliki efektifitas yang baik. Pemberian dilakukan cukup sekali dan
dibasuh setelah 10 jam pengunaan. Bila dalam pemberian terapi pertama pasien belum
memberikan respon yang maksimal maka pemberian permetrin 5% dapat diulangi
setelah seminggu kemudian. Kontraindikasi pemberian permetrin adalah pada bayi
dibawah usia 2 bulan.21

Gambar 4. Gambaran lesi skabies predileksi di daerah tangan dan sela jari

Gambar 5. Gambaran lesi skabies pada regio generalisata


LAPORAN KASUS

Identitas Pasien
Nama : An. I
Umur : 10 tahun 3 bln
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Cisadane
Agama : Islam
Tanggal Masuk : 27 Januari 2022
Tanggal Keluar : 30 Januari 2022
No. RM : 53.12.XX
Pembiayaan : BPJS
Pekerjaan Orangtua : Pegawai Toko
Jumlah Saudara` :2
DATA DASAR
1. ANAMNESIS
Heteroanamnesis dengan pasien pada tanggal 27 Januari 2022 pukul 09.05 WITA di
IGD RSUD dr. Zainal Umar Sidiki
a. Keluhan utama : Nyeri perut
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan nyeri perut sejak 4 hari SMRS, nyeri seperti di
tekan dan hilang timbul, nyeri dirasakan dari area uluhati hingga di bawah pusar
Nyeri perut belum membaik setelah pasien berobat ke mantri, pasien sempat 2-3
kali berobat ke mantri dan diberikan dexamethason, antacida dan obat injeksi
namun nyeri belum juga membaik. Keluarga pasien juga mengeluhkan demam
yang bersifat naik turun sejak 2 minggu SMRS, demam meningkat ketika
malam hari, demam membaik ketika pasien konsumsi obat pereda demam
namun beberapa saat tinggi kembali, pasien juga merasa mual dan muntah sejak
4 hari SMRS

Sejak 1 bulan SMRS mulai muncul lenting-lenting kemerahan di kaki dan


tangan yang kemudian pecah dan membentuk luka dengan dasar yang bernanah,
luka awalnya hanya sedikit namun semakin lama semakin banyak. Diketahui
pasien sering tidak menggunakan alas kaki saat bermain diluar rumah dan sering
menggaruk kakinya. Selama sakit nafsu makan pasien berkurang, sehari-hari
pasien kurang mengkonsumsi buah-buahan dan sayuran. Pasien belum BAB
sejak 3 hari SMRS, pasien memiliki kebiasaan BAK sembarangan, BAK pasien
1 minggu yang lalu sempat berwarna lebih keruh dan berbau lebih menyengat
dari biasanya namun saat ini sudah berwarna kuning jernih.

c. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat Demam Sebelumnya : (-)
Riwayat ISPA : 5-6 bulan yang lalu
Riwayat alergi : makanan (telur)
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga dengan keluhan serupa (-)
2. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis, GCS:
E4V5M6= 15Tanda-tanda vital :
Tekanan Darah : 110/60 mmHg
Nadi : 121 x / menit, reguler, isi tegangan cukup
RR : 20 x / menit
Suhu : 39,30 C (axillar)
Spo2 : 99%
BB : 45 kg
TB : 135 cm
BMI (CDC) : Obesse

Mata : konjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)


Hidung : epistaksis (-), discharge (-), nafas cuping hidung (-)
Telinga : discharge (-/-), nyeri tekan tragus (-/-)
Mulut : sianosis (-), bibir pucat (-), hipertrofi ginggiva (-), perdarahan
gusi (-), atrofi papil lidah (-), stomatitis (-),mukosa kering (-)
Leher : Trakea di tengah, peningkatan JVP (-), pembesaran
kelenjar getah bening (-)
Thoraks Paru
Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis, retraksi(-), jejas(-)
Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor seluruh lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler +/+, Wheezing -/-, Ronkhi -/-
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V Linea Midclavicularis Sinistra
Perkusi : Konfigurasi jantung dalam batas normal
Auskultasi : BJ I-II reguler, bising(-), gallop(-)
Abdomen
Inspeksi : Datar, jejas(-), venektasi(-), massa(-)
Auskultasi : Bising usus(+) normal

Perkusi : Timpani di seluruh regio


Palpasi : Supel, nyeri tekan(+) regio epigaster hingga suprapubik,
hepar dan lien tidak teraba, ascites –

Ekstremitas Superior Inferior


Akral dingin -/- -/-
Sianosis -/- -/-
CRT <2”/<2” <2”/<2”
Edema -/- -/-
St Lokalis : Regio ekstremitas superior et inferior bilateral et trunkus
anterior tampak makula hiperpigmentasi sebagian
hipopigmentasi multipel diskrit dengan ukuran 0,5-1 cm
disertai dengan krusta dan erosi dengan central supurasi di
beberapa bagian
FOTO KLINIS :
3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
Darah Lengkap
PEMERIKSAAN HASIL NILAI NORMAL KETERANGAN
Eritrosit 4.52 3,50-5,50 juta/ul N
Hemoglobin 10.8 Dewasa: 11,0-16,0 g/dl L
Bayi: 15,0-24,6 g/dl
Hematokrit 30.2 35,0-50,0% L
MCV 66,9 82,0-95,0 fl L
MCH 23.9 27,0-31,0 pg L
MCHC 35.7 32,0-36,0% N
Trombosit 208 100.000-300.000/ul N
Leukosit 5.0 3.500-10.000/ul N
Neutrofil 76 50-70% H
Limfosit 15 20-40% L
Monosit 7 2-8% N
Eosinofil 0 1-3% N
Basofil 0 0-1% N
Widal

PEMERIKSAAN HASIL NILAI NORMAL KETERANGAN


S. Typhi Negatif Negatif N
S. Paratyphi AH Negatif Negatif N
S. Typhi O Negatif Negatif N
S. Paratyphi Negatif Negatif N
Urinalisis
PEMERIKSAAN HASIL NILAI NORMAL Satuan
Berat Jenis 1.015 1.003-1.030 NN
PH 6.5 5-8 Ul
Leukosit Esterase Negatif Negatif Leu/ul
Nitrit Negatif Negatif (+/-)
Albumin/Protein (+) Negatif mg/dl
Glukosa Negatif Negatif mg/dl
Keton (++) Negatif mg/dl
Urobilinogen Negatif Negatif mg/dl
Bilirubin Negatif Negatif mg/dl
Darah Negatif Negatif mg/dl
Imunologi
SARS-COV2 Antigen Nasopharyngeal hasil “Negatif”

4. DIAGNOSIS
ISK dd Demam Tifoid dd GNAPS dd Tuberculosis Abdomen
Bakterial Infection ec Ektima dd Skabies
5. RENCANA PEMECAHAN MASALAH
- Infus RL 20 tpm
- Paracetamol Drips 500 gr/8 jam
- inj. Ranitidin 40mg/12 jam
- inj. Ondansetron 4mg/8 jam
- Gentamisin Zalf 2 dd ue aplic in loc doll
- Sucralfat syr 500 mg/8 jam
- Ceftriaxon 1gr/12 jam drips dalam NaCl 0,9% 100 cc
- Edukasi makan sayuran dan buah-buahan
FOLLOW UP
28 Januari 2022 (ruangan)
S : Demam, badan terasa lemas, keluarga mengeluhkan nafsu makan berkurang, pasien
belum BAB
O : KU tampak sakit sedang
Kesadaran: composmentis, GCS E4V5M6
TD : 110/70 mmHg
N : 102 x/menit
RR : 24 x/menit
S : 38,8 o C
Edema extremitas : -/-
A : ISK dd Demam Tifoid dd GNAPS dd Tuberculosis Abdomen
Bakterial Infection ec Ektima dd Skabies
P : - Infus RL 20tpm
- Ceftriaxon 1gr/12 jam drips dalam NaCl 0,9% 100 cc
- Paracetamol Drips 500 gr/8 jam
- inj. Ranitidin 40mg/12 jam
- inj. Ondansetron 4mg/8 jam
- Sucralfat syr 500mg/8 jam
- Elkana syr 3 dd I cth
- Gentamisin Zalf 2 dd ue aplic in loc doll
- Edukasi konsumsi sayuran dan buah-buahan
FOLLOW UP
29 Januari 2022 (ruangan)
S : Gatal di tangan dan kaki, pasien sudah BAB pagi ini
O : KU cukup
Kesadaran: composmentis, GCS E4V5M6
TD : 120/80 mmHg
N : 100 x/menit
RR : 20 x/menit
S : 36 o C
A : ISK dd Demam Tifoid dd GNAPS dd Tuberculosis Abdomen

Bakterial Infection ec Ektima dd Skabies


P : - Infus RL 20tpm
- Ceftriaxon 1gr/12 jam drips dalam NaCl 0,9% 100 cc
- Paracetamol Drips 500 gr/8 jam
- inj. Ranitidin 40mg/12 jam
- inj. Ondansetron 4mg/8 jam
- Sucralfat syr 500mg/8 jam
- Elkana syr 3 dd I cth
- Gentamisin Zalf 2 dd ue aplic in loc doll
- Cetirizine tab2 dd I
- Edukasi konsumsi sayuran dan buah-buahan
FOLLOW UP
30 Januari 2022 (ruangan)
S : Gatal di tangan dan kaki
O : KU cukup
Kesadaran: composmentis, GCS E4V5M6
TD : 120/80 mmHg
N : 100 x/menit
RR : 20 x/menit
S : 36 o C
A : ISK dd Demam Tifoid
Bakterial Infection ec Ektima
P : - Infus RL 20tpm
- Ceftriaxon 1gr/12 jam drips dalam NaCl 0,9% 100 cc
- Paracetamol Drips 500 gr/8 jam
- inj. Ranitidin 40mg/12 jam
- inj. Ondansetron 4mg/8 jam
- Sucralfat syr 500mg/8 jam
- Elkana syr 3 dd I cth
- Gentamisin Zalf 2 dd ue aplic in loc doll
- Cetirizine tab2 dd I
- Edukasi konsumsi sayuran dan buah-buahan
PEMBAHASAN

Pada kasus ini, pasien dibawa keluarga dengan keluhan nyeri perut sejak 4 hari
sebelum masuk rumah sakit (SMRS) yang semakin memberat sejak 1 hari SMRS.
Nyeri perut yang dirasakan pasien tidak menetap hanya di 1 lokasi. Sejak 2 minggu
SMRS pasien sudah merasakan demam yang tidak kunjung membaik meskipun sudah
berobat di mantri 2-3 kali. Keluarga pasien hanya dapat menyebutkan dexamtehason
dan tidak dapat menyebutkan obat-obatan yang telah di konsumsi. Saat berkemih dan
buang air besar pasien hanya membersihkan menggunakan air, pasien juga beberapa
kali berkemih di sembarang tempat. 1 bulan SMRS muncul lenting kecil berisi nanah
di kaki kanan pasien yang kemudian pecah. Pasien sering menggaruk kaki yang
terdapat luka dan tidak langsung membersihkan kaki setelah beraktivitas. Untuk
aktivitas bermain di lapangan pasien sering tidak menggunakan alas kaki. Dalam satu
hari pasien mandi 2 kali dengan sabun mandi. Pasien tinggal di daerah yang tidak
terlalu padat namun di sekitar rumah pasien sering terdapat genangan lumpur saat
terjadi hujan. Faktor risiko yang dapat menyebabkan keluhan pada pasien adalah
kurangnya menjaga higenitas badan.
Infeksi saluran kemih (ISK) paling sering disebabkan oleh bakteri patogen
seperti Escherichia coli. Meskipun kejadian infeksi saluran kemih lebih sering terjadi
pada anak perempuan dibandingkan dengan laki-laki, pada kasus ini terjadi pada anak
laki-laki karena pasien kurang menjaga higenitas sehingga patogen dapat masuk
dengan metode ascending infection.4 Demam dan nyeri perut pada pasien ISK sering
di diagnosis banding dengan kelainan yang lain yang juga memiliki keterkaitan
dengan kurangnya higenitas individu dan lingkungan.
Manifestasi klinis ISK antara lain munculnya nyeri perut di daerah-daerah yang
ditempati dan dilewati tractus urinarius. Demam juga dapat muncul pada kasus ISK
terutama kasus ISK atas.4 Selain pada ISK, gejala nyeri perut disertai demam juga
dapat ditemukan pada pasien dengan demam tifoid, sindrom nefritik akut, dan
tuberculosis abdomen. Nyeri perut pada pasien demam tifoid biasanya disertai dengan
gangguan gastrointestinal lainnya seperti buang air besar dengan konsistensi cair
maupun konstipasi dan dapat pula ditemukan gejala seperti typhoid tongue maupun
munculnya ruam kemerahan di area tubuh. 8 sementara nyeri perut akibat tuberculosis
abdomen akan disertai dengan penurunan berat badan yang drastis. 14 Pada pasien ini
ditemukan nyeri di daerah epigastrium hingga suprapubik yang menetap dan hanya
membaik sedikit saat sedang istirahat, tidak didapatkan BAB cair serta penurunan
berat badan yang drastis namun didapatkan konstipasi
Ektima akan memberikan manifestasi klinis yang jelas berupa vesikel atau
pustul dengan tepi irreguler di atas kulit yang eritematosa, lama kelamaan membesar
dan pecah (diameter 0,5 – 3 cm) hingga beberapa hari kemudian terbentuk krusta
tebal dan kering yang sukar dilepas dari dasarnya.18 Skabies akan ditandai munculnya
eflorosensi papul, pustul dan makula hiperpigmentasi dengan erosi serta vesikel
berbentuk terowongan di sela-sela jari.21 Pada pasien ini ditemukan pustul, makula
hiperpigmentasi dan hipopigmentasi dengan central supurasi sebagian tertutup krusta
kekuningan dengan ukuran 0,5-1cm sehingga dapat diketahui bahwa ujud kelainan
kulit pada pasien ini mengarah ke diagnosis ektima
Diagnosis ISK dapat ditegakan dengan gejala polakisuria, disuria, urin yang
lebih berbau dan pada pemeriksaan penunjang urinalisis dapat menunjukan keadaan
bakteriuria dengan spesimen urin midstream (≥105 CFU/ml).6 Diagnosis demam tifoid
dapat ditegakan dengan gejala khas seperti demam, tifoid tongue, nyeri perut serta
hasil >1/40pada pemeriksaan widal serotipe O atau H. 13 Sementara diagnosis sindrom
nefritik akut dapat ditegakan dengan ditemukannya albuminuria atau proteinuria serta
hematuria mikroskopis pada pemeriksaan disertai dengan anamnesis gejala PHAROH
(proteinuria, hematuria, azotemia, red blood cast, oliguria dan hipertensi) yang
lainnya.13
Pemeriksaan laboratorium darah didapatkan hasil limfositopenia relatif, hal ini
dapat terjadi ketika pasien sedang mengalami infeksi dan efek dari obat-obatan yang
telah dikonsumsi selama 2 minggu juga dapat menyebabkan supresi pada sumsum
tulang sehingga terjadi penurunan jumlah sel limfosit pasien.22 Hasil pemeriksaan lab
seperti ini juga dapat terjadi pada kasus demam tifoid. Peningkatan nilai NLR>5 dapat
menunjukan kondisi peradangan kronis pada tubuh pasien yang bisa didapatkan pada
pasien dengan ISK lama, demam tifoid, maupun tuberculosis abdomen. Pada hasil
pemeriksaan urinalisis pasien didapatkan hasil albuminuria tanpa abnormalitas hasil
urinalisa yang lainnya, hal ini dapat menandakan kerusakan pada proses filtrasi urin
pada ginjal yang paling sering diakibatkan oleh infeksi pada saluran kemih
terkhususnya oleh bakteri Escherichia coli.23 Meskipun didapatkan albuminuria pada
pemeriksaan urinalisis pasien, namun tidak didapatkan hematuria, hipertensi dan
oliguria sehingga diagnosis sindrom nefritik akut dapat disingkirkan.
Tabel 3. Perbandingan hasil pemeriksaan laboratorium pasien dengan diagnosis banding

Indikator Pasien Infeksi Demam GNAPS Tuberculosis


Laboratorium Saluran Tifoid Abdomen
Kemih
Leukosit N ↑/N ↓/N ↑/N ↑/N
Neutrofil ↑ ↑ ↑/N ↑ ↑
Limfosit ↓ ↓ ↑/↓ ↑/↓ ↓
Widal N N ↑/N N N
Hematuria N N N ↑↑ N
Leukosituria N ↑/N N ↑↑ N
Proteinuria/ ↑ ↑ N ↑↑ N
Albuminuria

Setelah dilakukan analisa antara hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan


pemeriksaan laboratorium, pasien dapat di diagnosis dengan infeksi saluran kemih
dan ektima. Meskipun pada pemeriksaan urinalisis tidak ditemukan adanya
bakteriuria, hal ini tidak menyingkirkan diagnosis ISK karena anamnesa dan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang lainnya yang cukup mengarahkan pada
diagnosis ISK. Nilai leukosit pada pasien dan tidak ditemukannya bakteriuria pada
pemeriksaan urinalisis dapat disebabkan oleh riwayat konsumsi obat-obatan yang
sudah dikonsumsi selama 2 minggu sebelum pasien berobat ke RS.22

A B C

Gambar 6. Perbandingan eflorosensi kulit pada pasien dengan diagnosis banding yang dicurigai
(A) Eflorosensi extremitas inferior pasien An. I (B) Eflorosensi kulit pada extremitas inferior
anak dengan ektima. (C) Eflorosensi kulit pada extremitas inferior anak dengan skabies.
Kesimpulan yang dapat diambil dari perbandingan eflorosensi lesi kulit yang
tampak (gambar 6) adalah pasien saat ini mengalami ektima namun karena belum
dapat dilakukan pemeriksaan kultur bakteri dari spesimen luka dan urin pada pasien
sehingga bakteri yang menyebabkan kelainan pada pasien belum secara pasti
diketahui
Sesuai dengan pedoman penatalaksanaan ISK dan ektima, terapi utama yang
diberikan pada pasien adalah antibiotik. Dalam kasus ini digunakan antibiotik
sefalosporin generasi III yaitu ceftriaxon 1gr/12 jam sebagai first line terapi infeksi
saluran kemih.4 Untuk tatalaksana ektima, penggunaan antibiotik topikal menjadi
pilihan, dalam kasus ini digunakan golongan makrolid yaitu gentamisin sulfat salep
1%.
KESIMPULAN

Telah dilaporkan kasus infeksi saluran kemih (ISK) dan ektima pada pasien
anak laki-laki, berusia 10 tahun. Diagnosis ISK dan ektima ditegakkan berdasarkan
gejala klinis yang digali dari anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan
penunjang. Keluhan utama pasien berupa nyeri perut disertai demam yang tidak
kunjung reda dan munculnya lenting berisi nanah yang pecah membentuk luka pada
ekstrimitas bawah mengarahkan pada diagnosis ektima. Pemeriksaan laboratorium
darah didapatkan hasil limfositopenia dengan neutrofilia tanpa peningkatan
leukosit. Urinalisis menunjukan hasil albuminuria tanpa peningkatan indikator yang
lain mengarahkan pada diagnosis ISK akibat infeksi Escerichia coli.
Penggunaan antibiotik yang sesuai dalam melakukan penatalaksanaan ISK
dan ektima akan memberikan dampak baik pada proses penyembuhan pasien.
Terapi antibiotik yang diawali dengan kultur spesimen dapat menentukan pemilihan
antibiotik yang tepat sehingga mencegah terjadinya resistensi. Namun dengan
terbatasnya fasilitas pemeriksaan yang ada di rumah sakit, pada kasus ini belum
dapat dilakukan pemeriksaan kultur. Prognosis penyakit pasien baik apabila
dilakukan tatalaksana dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Akram M, Shahid M, Khan AU. Etiology and antibiotic ressistance patterns of


community-acquired urinary tract infection. Annals of Clinical Microbiology and
Antimicrobials. 2017; 6(4): 1-7.
2. Shehab MZ. Urinary Tract Infection. Dalam: Barakat AY. Renal Disease in
Children. Springer-Verlag. 2016; 157-166.
3. Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Konsensus
Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus. Jakarta; 2012.
4. Rusdijas, Ramayati R. Infeksi Saluran Kemih. Dalam : Alatas H. Tambunan T,
Trihono PP, penyunting. Buku ajar Nefrologi anak. Jakarta: IDAI, 2012; 142- 163
5. Kliegman, R. M., Stanton, B. F., St. Geme III, J. W., Schor, N. F., Behrman, R.
E., 2016, Nelson; textbook of pediatrics 20th ed, Philadelphia: Elsevier. p.2556
6. Zorc JJ, Kiddoo DA, Shaw KN. Diagnosis and management of pediatric urinary
tract. Clinical Microbiology Reviews. 2015;18(2): 417-22.
7. Lambert H, Coulthard M. The Child with Urinary Tract Infection. Dalam: Webb
N, Potlethwaite R. Clinical Peadiatric Nephrology. Edisi ke-3. Oxford University
Press. 2013; 197-221.
8. Parry CM, Hien TT, Dougan G, White NJ, Farrar JJ. Typhoid fever. N Engl J
Med. 2012 Nov 28;347(22):1770-82.
9. Alikhan NF, Zhou Z, Sergeant MJ, Achtman M. A genomic overview of the
population structure of Salmonella. PLoS Genet. 2018 Apr;14(4):e1007261.
10. Heymans R, Vila A, van Heerwaarden CAM, Jansen CCC, Castelijn GAA, van der
Voort M, Biesta-Peters EG. Rapid detection and differentiation of Salmonella
species, Salmonella Typhimurium and Salmonella Enteritidis by multiplex
quantitative PCR. PLoS One. 2018;13(10):e0206316.
11. Chiodini J. The CDC Yellow Book app 2018. Travel Med Infect Dis. 2017
Sep;19:75-77.
12. Mawazo A, Bwire GM, Matee MIN. Performance of Widal test and stool culture in
the diagnosis of typhoid fever among suspected patients in Dar es Salaam,
Tanzania. BMC Res Notes. 2019 Jun 05;12(1):316.
13. Hashmi M, Pandey J. Nephritic Syndrome [Internet]. Ncbi.nlm.nih.gov. 2022
[cited 4 March 2022]. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books
/NBK562240/
14. Debi U, Ravisankar V, Prasad KK, et.al. Abdominal Tuberculosis of
Gastrointestinal tract. World J Gastroenterol 2014; 20(40); 14831-14839.
15. Shi XC, Zhang LF, Zhang YQ, et.al. Clinical and Laboratory Diagnosis of
Intestinal Tuberculosis. Chinese Medical Journal. Volume 129. 2016: 129(19);
1330-1333.
16. Gan Hong Ying. An Analysis of the Clinical, Endoscopic and Patologic Features of
Intestinal Tuberculosi. J Clin Gastroenterol. 2016; 50; 470-475
17. Vaiman M, Lazarovitch T, Heller L, Lotan G. Ecthyma gangrenosum and
ecthyma-like lesions: review article. Eur J Clin Microbiol Infect Dis. 2015
Apr;34(4):633-9
18. Leekha S, Terrell CL, Edson RS. General principles of antimicrobial
therapy. Mayo Clin Proc. 2012 Feb;86(2):156-67.
19. Vaiman M, Lasarovitch T, Heller L, Lotan G. Ecthyma gangrenosum versus
ecthyma-like lesions: should we separate these conditions? Acta Dermatovenerol
Alp Pannonica Adriat. 2015;24(4):69-72.
20. Bassetti M, Vena A, Croxatto A, Righi E, Guery B. How to manage Pseudomonas
aeruginosa infections. Drugs Context. 2018;7:212527.
21. Gilson R, Crane J. Skabies [Internet]. Ncbi.nlm.nih.gov. 2022 [cited 4 March
2022]. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK544306/
22. Tvedten H, Raskin RE. Leukocyte Disorders [Internet]. Fifth Edit. Small Animal
Clinical Diagnosis by Laboratory Methods. Elsevier Inc.; 2014. 63-91 p.
23. Stephens KK, Warshak C. Urinary tract infection association with proteinuria in
pregnancy as measured by protein to creatinine ratio. Am J Obstet Gynecol
[Internet]. 2019;220(1):S426. Available from:
https://doi.org/10.1016/j.ajog.2018.11.664
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai