Anda di halaman 1dari 43

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran

PENYAKIT PARKINSON

Oleh:
dr. Tri Susanty

Pembimbing:
dr. Selly Marisdina, Sp.S (K), MARS

BAGIAN/DEPARTEMEN NEUROLOGI
FK UNSRI/RSUP DR. MOH. HOESIN PALEMBANG
2020
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan Panduan Nasional Pelayanan Kedokteran : Penyakit
Parkinson. Ini merupakan salah satu sarana pembelajaran dan salah satu syarat untuk
menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya/RSUP DR. Moh. Hoesin Palembang.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr.Selly Marisdina, Sp.S(K), MARS selaku
pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan penyusunan panduan ini,
serta semua pihak yang telah membantu hingga selesainya panduan ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan panduan ini disebabkan
keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun
dari berbagai pihak sangat diharapkan demi perbaikan di masa yang akan datang. Semoga
panduan ini dapat memberikan manfaat.

Palembang, November 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR.....................................................................................ii
DAFTAR ISI................................................................................................ iii
BAB I. PENDAHULUAN.............................................................................1
1.1. Latar Belakang.........................................................................1
1.2. Permasalahan...........................................................................2
1.3. Tujuan......................................................................................2
1.4. Sasaran.....................................................................................3
BAB II. METODOLOGI................................................................................4
2.1. Penelusuran Kepustakaan........................................................4
2.2. Penilaian – Telaah Kritis Kepustakaan....................................4
2.3. Peringkat Bukti (Level of Evidence)............................................4
2.4. Derajat Rekomendasi....................................................................6

BAB III. PENYAKIT PARKINSON.............................................................7


3.1. Definisi....................................................................................7
3.2. Epidemiologi.......................................................................... 7
3.3. Komunikasi Dengan Pasien Penyakit Parkinson dan yang
Merawatnya.............................................................................7

3.4. Kebutuhan informasi Pasien dengan Penyakit Parkinson dan


Keluarga serta Perawat pasien.................................................8

3.5. Diagnosis Penyakit Parkinson.................................................9

3.6. Tatalaksana Farmakologis Gejala Motorik............................15

3.7. Tatalaksana Farmakologis Gejala Non-motorik....................20


3.8. Tatalaksana Farmakologis Demensia yang berhubungan

dengan Penyakit Parkinson.....................................................25

3.9. Tatalaksana Non-farmakologis Gejala Motorik dan Non-


motorik...................................................................................26

iii
3.10. Terapi Lanjutan: Stimulasi Otak Dalam dan Gel Usus

Levodopa- Karbidopa...........................................................32

3.11. Manajemen dan Pemantauan Gangguan Kontrol Impuls

Sebagai Efek Samping Terapi Dopaminergik......................38

3.12. Perawatan Paliatif.................................................................40

BAB IV. SIMPULAN...................................................................................41

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit parkinson merupakan penyakit progressif, dengan kelainan
neurodegeneratif yang belum diketahui penyebabnya, ditandai dengan
munculnya bradikinesia serta satu dari tiga gejala yaitu tremor, rigiditas, dan
isntabilitas postural. Penyakit ini merupakan penyakit kedua terbanyak dari
kelainan neurodegeneratif setelah penyakit Alzheimer.
Prevalensi Parkinson Disease (PD) diperkirakan 329 per 100.000
penduduk dengan insiden tahunan berkisar 16 sampai 19 per 100.000 penduduk.
Prevalensi akan meningkat dengan bertambahnya umur, sehingga mencapai 4%
pada umur 80 tahun atau lebih. Di Indonesia insiden PD diperkirakan 10 orang
setiap tahunnya dan estimasi sementara terdapat sekitar 200.000 – 400.000
penderita, dimana laki-laki lebih banyak terkena dibanding perempuan.
Penderita PD diperkirakan akan mencapai dua kali lipat dari sekarang
dengan jumlah terbesar berada di negara-negara Asia dalam 25 tahun
mendatang. Jumlah penderita PD tahun 2030 di 15 negara akan mencapai 8,7
juta jiwa atau dua kali lipat dibandingkan jumlah saat ini yang mencapai 4,1 juta
jiwa. Salah satu faktor yang mengakibatkan pertambahan penderita parkinson
adalah semakin banyaknya penduduk usia lanjut negara-negara besar dunia.
Diketahui bahwa PD merupakan penyakit yang idiopatik sehingga harus
dicari penyebabnya apakah simptomatik, progressif sehingga dipikirkan
pemberian neuroproteksi, dan bersifat degeneratif. Tujuan dari pengobatan PD
adalah untuk mempertahankan agar perjalanan PD tidak terlalu progressive dan
fungsi motorik lainnya dipelihara secara optimal dan memperbaiki Quality of
Life (QOL) penderita PD. Walaupun motor symptom yang dipakai untuk
menegakkan diagnosis PD, namun non motor symptom (NMS) juga lazim dan
penting sebagai penentu untuk kualitas hidup bagi penderita PD. Ada 5 gejala
non motorik yang muncul mendahului gejala motorik yaitu gangguan
penciuman, gangguan obstipasi, gangguan tingkah laku, gangguan tidur dan
gangguan kognisi. Memang sementara penyakit PD dianggap mengeluhkan

1
gejala-gejala motorik tapi juga mengalami gejala non motor yang secara
signifikan memperburuk kualitas hidup, hanya saja sering tidak dikenal dengan
cepat sehingga tidak diobati pada banyak penderita. Gejala NMS ini bisa saja
muncul segera sebelum gejala motor pertamanya terlihat yang nantinya akan
lebih merepotkan pada stadium lanjut dari PD, dimana gejala tersebut menjadi
masalah besar pada penderita dan sering menimbulkan tantangan kepada para
klinisi yang mengobatinya.
Diperkirakan sekitar 16-70% dari penderita mengalami masalah
neuropsikiatri, seperti depresi, apatis, gangguan cemas dan psikosis. Defisit
kognitif terjadi setidaknya 20-40% dari pasien PD. Gangguan tidur terjadi lebih
dari sepertiga pasien PD. Gangguan otonom seperti konstipasi, hipotensi
ortostatik, disfungsi saluran kemih, dan disfungsi seksual dilaporkan dialami
oleh lebih dari separuh pasien PD yang berpengaruh besar pada kualitas hidup.
Tanpa perhatian dan pemeriksaan yang seksama, NMS akan terlupakan dan
tidak terdiagnosis. Suatu survey internasional mendapatkan sekitar 62% NMS
pada PD tidak terdiagnosis oleh klinisi karena penderita yang tidak peduli,
ataupun petugas klinis yang kurang menyadari bahwa symptom itu bisa terkait
dengan PD.

1.2. Permasalahan
Penyakit parkinson memerlukan penanganan multidisiplin, sementara
belum terdapat keseragaman secara nasional dalam pendekatan terapi. Selain itu
terdapat kesenjangan dalam fasilitas sumber daya manusia dan sumber daya
alat/sistem dari berbagai fasilitas/institusi layanan kesehatan, baik untuk
skrining, diagnostik, maupun terapi, sehingga diperlukan kebijakan standar yang
profesional agar masing masing fasilitas tersebut dapat berperan optimal dalam
penanganan parkinson di Indonesia.

1.3. Tujuan
1. Menurunkan morbiditas parkinson di Indonesia
2. Membuat pedoman berdasarkan evidence based medicine untuk membantu
tenaga medis dalam melakukan diagnosis dan tatalaksana parkinson

2
3. Mendukung usaha diagnosis dini pada masyarakat umum dan pada
kelompok risiko tinggi
4. Memberi rekomendasi bagi fasilitas pelayanan kesehatan primer sampai dengan
tersier serta penentu kebijakan untuk penyusunan protokol setempat atau
Panduan Praktik Klinik (PPK), dengan melakukan adaptasi terhadap Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) ini

1.4. Sasaran
1. Seluruh jajaran tenaga kesehatan yang terlibat dalam pengelolaan parkinson,
sesuai dengan relevansi tugas, wewenang, dan kondisi sarana dan prasarana yang
tersedia di pelayanan kesehatan masing-masing.

2. Pembuat kebijakan di lingkungan rumah sakit, institusi pendidikan, serta


kelompok profesi

3
BAB II
METODOLOGI

2.1 Penelusuran Kepustakaan


Penelusuran pustaka dilakukan secara elektronik dan secara manual.
Penelusuran bukti sekunder berupa uji klinis, meta-analisis, uji kontrol teracak
samar (randomized controlled trial), telaah sistematik, ataupun pedoman berbasis
bukti sistematik. Penelusuran secara manual dilakukan pada daftar pustaka
artikel-artikel review serta buku-buku teks yang ditulis 5 tahun terakhir.
Penyusunan panduan ini juga menggunakan konsensus dari Movement Disorder
Society (MDS) dan National Institute for Health and Care Exellence (NICE)

2.2 Penilaian – Telaah Kritis Kepustakaan


Seluruh bukti yang diperoleh telah dilakukan telaah kritis oleh dokter
spesialis/subspesialis yang kompeten sesuai dengan kepakaran keilmuan masing-
masing

2.3 Peringkat Bukti (Level of Evidence)


Dalam menetapkan rekomendasi untuk pengelolaan, sejauh mungkin dipakai
tingkatan bukti ilmiah tertinggi. Level of evidence ditentukan berdasarkan klasifikasi
yang dikeluarkan oleh Oxford Centre for Evidence Based Medicine Levels of
Evidence yang dimodifikasi untuk keperluan praktis, sehingga peringkat bukti adalah
sebagai bukti IA untuk telaah sistematik (systematic review) atau metaanalisis dari uji
klinik, IB uji klinis yang besar dengan validitas yang baik, IC all or none, II uji klinis
tidak terandomisasi, III studi observasional (kohort, kasus kontrol) dan IV konsensus
dan pendapat ahli.
Pembuatan pedoman ini berdasarkan evidence based medicine dengan
membagi tingkat terapi maupun intervensi menjadi tiga kategori rekomendasi yaitu
A, B dan C. (1, 2)
A. Didapat dari level pembuktian klas I, adalah metode terapi atau intervensi/pembedahan
yang diperoleh dari penelitian yang bersifat prospektif Randomized Controlled Trial (RCT)

4
atau metaanalisis dari penelitian yang bersifat RCT. Metode ini merupakan gold standard
dari penelitian klinis (high degree of clinical certainty).(1)
B. Didapat dari level pembuktian klas II, adalah metode terapi atau intervensi/ pembedahan
yang diperoleh dari penelitian yang bersifat analisis baik prospektif maupun retrospektif
(studi observasional, kohort, kasus-kontrol, dan studi prevalensi). Metode ini merupakan
guideline (moderate clinical certainty).(1)

C. Didapat dari level pembuktian klas III, adalah metode terapi atau intervensi/ pembedahan
yang diperoleh dari penelitian retrospektif, kasus serial, dari data registrasi pasien, laporan
kasus, review kasus, dan pendapat ahli (level pembuktian IV). Metode ini merupakan
option (unclear clinical certainty).(1)

Tabel 1 Level of Evidence Modified SIGN Evidence Finding


(Scottish Intercollegiate Guideline Network )
2015 Level of Evidence
IA Evidence diperoleh berdasar hasil
metaanalisis atau sistemik review dari
berbagai uji klinik acak dengan
kontrol/kelola (randomized controlled trials
study/RCT)
IB Evidence berasal dari minimal satu uji klinik
acak dengan kontrol/kelola (RCT)
IIA Evidence berasal dari paling sedikit satu uji
klinik dengan pembanding, tapi tanpa
randomisasi
IIB Evidence berasal dari paling sedikit satu
hasil penelitian
dengan rancangan quasi-eksperimental
III Evidence berasal dari penelitian deskriptif
non-eksperimental (studi komparatif,
korelasi dan studi kasus)
IV Evidence berasal dari laporan komite ahli
atau opini, maupun pengalaman klinik ahli
yang diakui.

5
2.4 Derajat Rekomendasi
Berdasarkan peringkat itu dapat dibuat rekomendasi sebagai berikut: Rekomendasi A
bila berdasar pada bukti level IA, IB atau IC, Rekomendasi B bila berdasar pada bukti
level II.

Klasifikasi Rekomendasi berdasarkan Evidence Based Medicine–High Technology


Assesment baik diagnostik maupun tindakan:
1. Gold Standard (High degree of clinical certainty) > ( I-A, I-B )
Rekomendasi : A

2. Guideline (Moderate clinical certainty) > ( II-A, II-B)


Rekomendasi : B

3. Option (Unclear clinical certainty) > ( III- IV )


Rekomendasi : C

Rekomendasi C bila berdasar atas bukti level III


Rekomendasi D bila berdasar atas bukti level IV

6
BAB III
PENYAKIT PARKINSON

3.1. Definisi
Penyakit Parkinson adalah bagian dari Parkinsonism yang secara patologi
ditandai oleh degenerasi ganglia basalis terutama di substansia nigra pars
kompakta yang disertai adanya inklusi sitoplasmik eosinofilik (Lewy bodies).
Sedangkan Parkinsonism adalah suatu sindroma yang ditandai oleh tremor waktu
istirahat, rigiditas, bradikinesia dan hilangnya refleks postural akibat penurunan
kadar dopamin dengan berbagai penyebab.

3.2. Epidemiologi
Penyakit Parkinson merupakan salah satu penyakit neurodegeneratif yang paling
banyak dialami pada umur lanjut dan jarang dibawah umur 30 tahun. Biasanya mulai
timbul pada usia 40-70 tahun dan mencapai puncak pada dekade keenam. Penyakit
Parkinson yang mulai sebelum umur 20 tahun disebut sebagai Juvenile Parkinsonism.
Penyakit Parkinson lebih banyak pada pria dengan rasio 3:2 pria dibandingkan
wanita. Penyakit Parkinson meliputi lebih dari 80% parkinsonism. Di Amerika Utara
terdapat 1 juta penderita atau 1 % dari populasi berusia lebih dari 65 tahun. Penyakit
Parkinson mempunyai prevalensi 160 per 100.000 populasi dan angka kejadiannya
berkisar 20 per 100.000 populasi. Keduanya meningkat seiring dengan bertambahnya
umur. Pada umur 70 tahun, prevalensi dapat mencapai 120 dan angka kejadian 55 kasus
per 100.000 populasi per tahun. Kematian biasanya tidak disebabkan oleh penyakit
parkinson sendiri tetapi oleh karena terjadinya infeksi sekunder.

3. 3. Komunikasi Dengan Pasien Penyakit Parkinson dan yang Merawatnya


Komunikasi yang baik merupakan inti dari interaksi antara pasien dengan
penyakit Parkinson, orang yang merawatnya dan pemberi layanan kesehatan. Hal-

7
hal yang perlu dipertimbangkan adalah cara berbicara dan frekuensi komunikasi,
kemudahan mengakses informasi, mengenali bahwa pasien dengan Parkinson
memiliki masalah klinis khusus dan membutuhkan cara komunikasi yang sensitif,
tujuan komunikasi seperti cara manajemen diri dan melibatkan orang yang
merawatnya. Tujuan utamanya adalah perawatan yang kolaboratif antara klinisi
sebagai ahli mengenai kondisi medis, sementara pasien sebagai ahli dalam hidup
dengan kondisi tersebut serta edukasi manajemen diri.

Rekomendasi
1. Komunikasi dengan pasien Parkinson ditujukan untuk memberdayakan pasien
dalam berpartisipasi membuat keputusan dan pilihan mengenai perawatan
dirinya sendiri.
2. Dalam diskusi, usahakan mencapai keseimbangan antara pemberian informasi
yang jujur, realistis mengenai penyakit dan mendukung rasa optimisme
3. Karena pasien dengan penyakit Parkinson dapat mengalami gangguan
kemampuan kognitif, masalah komunikasi, dan/atau depresi, perlu dilakukan
komunikasi baik tertulis dan bicara langsung mengenai kondisi penyakit secara
konsisten oleh semua tenaga kesehatan yang terlibat.
4. Berikan informasi kepada anggota keluarga dan orang yang merawat pasien
mengenai kondisi, hak Penilaian Perawat pasien dan layanan dukungan yang
tersedia.
5. Pasien dengan Parkinson perlu memiliki perencanaan perawatan yang
komprehensif yang disetujui antara pasien, keluarga dan perawat pasien, dan
dokter spesialis serta pemberi layanan kesehatan lainnya.
6. Tawarkan konsultasi dengan ahli di bidang perawatan pasien dengan Parkinson.
7. Sarankan pasien dengan Parkinson yang masih mengendarai kendaraan bermotor
untuk menginformasikan pihak yang berwenang dan pihak asuransinya
mengenai kondisi penyakit Parkinson saat terdiagnosis.

3. 4. Kebutuhan informasi Pasien dengan Penyakit Parkinson dan Keluarga serta


Perawat pasien
Gangguan Kontrol Impuls

8
Sebuah studi oleh Phu dkk pada 100 pasien Parkinson menunjukkan
bahwa gangguan kontrol impuls memiliki efek memperburuk kualitas hidup dan
disabilitas. Studi oleh Mestre dkk terhadap 201 pasien Parkinson mengenai
reluktansi dalam memulai pengobatan menunjukkan bahwa penyebab tersering
reluktansi adalah ketakutan akan efek samping, belum dapat menerima diagnosis,
secara umum tidak menyukai obat, dan skeptis terhadap efektivitasnya.

Rekomendasi
8. Saat memulai terapi agonis dopamin, berikan informasi secara langsung dan
tertulis pada pasien dan keluarganya dan catat hasil diskusi mengenai:
peningkatan risiko gangguan kontrol impuls saat menggunakan terapi ini dan
dapat ditutupi oleh pasien; berbagai macam gangguan kontrol impuls (judi
kompulsif, hiperseksualitas, binge eating, dan obsesi belanja); siapa yang dapat
dihubungi untuk bantuan bila gangguan tersebut timbul; kemungkinan bila
gangguan tersebut timbul terapi akan dikurangi atau dihentikan.
9. Diskusikan kemungkinan gangguan kontrol impuls saat kontrol, terutama saat
mengubah terapi dan catat hasil diskusi
10. Waspada bahwa gangguan kontrol impuls dapat terjadi saat pasien mengonsumsi
terapi dopaminergik lain selain agonis dopamin

Wanita Usia Reproduktif


Tujuan pertimbangan pada pasien yang sedang hamil dan terdiagnosis
Parkinson, adalah kontrol penyakit pada ibu dan menjaga kehamilan yang sukses
dan juga mempertimbangkan kemungkinan bahaya bagi ibu dan janin saat
mengonsumsi pengobatan Parkinson. Hasil studi yang ada hanya berupa
anekdotal dan terbatas. Tidak ada rekomendasi khusus yang dibuat.

3. 5. Diagnosis Penyakit Parkinson


3. 5. 1 Definisi dan Diagnosis Diferensial
Gejala klasik penyakit Parkinson adalah: kelambatan dan kurangnya
gerakan, kekakuan, dan gemetar. Tanda-tanda fisik penyakit Parkinson adalah:
kelambatan gerakan (bradikinesia), kurangnya gerakan (hipokinesia) seperti

9
hilangnya ekspresi wajah dan ayunan lengan, kesulitan melakukan gerakan halus,
kekakuan (rigiditas) dan tremor saat istirahat. Pada saat diagnosis, gejala dan
tanda tersebut biasanya unilateral namun seiring progresi penyakit akan menjadi
bilateral. Tanda tambahan yang muncul setelah penyakit berprogresi adalah
instabilitas postural (kecenderungan jatuh ke belakang setelah ditarik tiba-tiba
oleh pemeriksa/ pull test), gangguan kognitif, dan hipotensi orthostatik.
Penyakit Parkinson idiopatik tidak dapat dibedakan dengan penyebab lain
seperti multiple system atrophy (MSA) dan progressive supranuclear palsy (PSP).
Secara tradisional, penyakit Parkinson didefinisikan secara patologis dengan
ditemukannya badan Lewy dan degenerasi neuron katekolaminergik pada kondisi
post-mortem, namun definisi ini tidak dapat digunakan secara klinis dan juga
badan Lewy dapat ditemukan pada orang tanpa penyakit Parkinson dan tidak
ditemukan pada orang dengan Parkinson yang memiliki mutasi Parkin. Cara lain
untuk mendiagnosis penyakit Parkinson adalah dengan melihat respons terhadap
terapi dopaminergik dan identifikasi penurunan neuron dopaminergik pada
pencitraan PET atau SPECT namun keduanya dapat positif pada kondisi lain
seperti MSA dan PSP.
Karena itu, diagnosis penyakit Parkinson dilakukan berdasarkan temuan
klinis dengan kriteria dari Kriteria Klinis UK PDS Brain Bank, yaitu: bradikinesia
dan setidaknya salah satu dari gejala berikut:
- Rigiditas muskular
- Tremor istirahat
- Instabilitas postural yang tidak berhubungan dengan disfungsi visual, serebelar,
vertibular, atau proprioseptif
Disertai kriteria pendukung yaitu tiga atau lebih dari:
- onset unilateral
- adanya tremor istirahat
- penyakit progresif
- gejala asimetris yang persisten, sisi onset lebih berat
- respons baik terhadap levodopa
- khorea berat yang dipicu levodopa
- respons terhadapt levodopa selama lebih dari 5 tahun

10
- perjalanan penyakit berlangsung lebih dari 10 tahun
Sementara kriteria eksklusinya adalah:
- stroke berulang dengan progresi bertahap
- cedera kepala berulang
- obat antipsikotik atau pengurang dopamin
- ensefalitis dan/ atau krisis okulogirik tanpa terapi obat
- lebih dari satu anggota keluarga memiliki keluhan yang sama
- respons negatif terhadap levodopa dosis tinggi (eksklusi malabsorpsi)
- gejala hanya unilateral setelah 3 tahun
- adanya gejala neurologis lain: supranuclear gaze palsy, gejala serebelar,
keterlibatan saraf otonom, tanda Babinski, demensia dini dengan gangguan
kemampuan bahasa, memori, atau latihan
- paparan neurotoksin
- adanya tumor serebelum atau hidrosefalus komunikans pada pencitraan
Penyakit Parkinson perlu dibedakan dari penyebab lain sindrom
parkinsonian atau parkinsonisme yang disebabkan oleh infark serebri, efek obat,
penyakit Alzheimer dan sindrom degeneratif lain seperti MSA dan PSP karena
sangat mempengaruhi prognosisnya. Penyakit Parkinson memiliki tingkat harapan
hidup yang lebih panjang dan berespons lebih baik terhadap terapi dopaminergik
dibanding MSA dan PSP

Rekomendasi
11. Curigai penyakit Parkinson pada pasien yang datang dengan keluhan tremor,
kekakuan, kelambatan, gangguan keseimbangan dan/atau gangguan gaya
berjalan.
12. Lakukan diagnosis penyakit Parkinson secara klinis, berdasarkan Kriteria
Diagnostik Klinis UK Parkinson’s Disease Society Brain Bank.
13. Sarankan pemberi layanan kesehatan untuk mendiskusikan kepada pasien
penyakit Parkinson untuk mendonasikan jaringan ke Brain Bank untuk
konfirmasi diagnosis dan penelitian.

3. 5. 2. Diagnosis Oleh Ahli (Spesialis) Vs Non-Ahli (Non-Spesialis)

11
Diagnosis penyakit Parkinson dapat dilakukan di fasilitas kesehatan
primer oleh dokter umum atau di fasilitas kesehatan sekunder oleh spesialis
neurologi, spesialis geriatrik, atau dokter umum.

Rekomendasi
14. Jika penyakit Parkinson dicurigai, segera rujuk pasien tanpa pemberian terapi ke
dokter spesialis yang berpengalaman dalam diagnosis diferensial untuk kondisi
ini.

3. 5. 3. Peninjauan Diagnosis
Karena tingginya tingkat kesalahan diagnosis penyakit Parkinson bahkan
oleh dokter spesialis, diagnosis perlu ditinjau ulang secara reguler namun tidak
ada panduan untuk frekuensi tertentu yang terbukti efektif.

Rekomendasi
15. Tinjau ulang diagnosis penyakit Parkinson secara reguler dan pertimbangkan
kembali bila muncul gejala klinis yang atipikal.

3. 5. 4. Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT)


Pemeriksaan SPECT menggunakan isotop radioaktif yang memancarkan
sinar gamma yang di-tak ke molekul target (tracer) yang diberikan kepada orang
dengan penyakit Parkinson melalui injeksi intravena. Derivat kokain 123
I- -CIT
dan 123
I-FP-CIT (N- -fluoropropyl-2 -carboxymethoxy-3 -(4-iodophenyl)tropane)
yang telah dilabeli biasanya digunakan dan akan melabeli titik re-uptake dopamin
pre-sinaps dan neuron pre-sinaps yang dapat tervisualisasi pada gambaran dua
dimensi. Pemeriksaan ini menunjukkan uptake yang normal pada kaudatus dan
putamen pada kelompok kontrol dan pada orang dengan tremor esensial,
parkinsonisme yang dipicu neuroleptik, atau parkinsonisme psikogenik namun
menunjukkan penurunan uptake pada orang dengan penyakit Parkinson, penyakit
Parkinson dengan demensia, MSA ataupun PSP.

Rekomendasi

12
16. Pertimbangkan pemeriksaan SPECT dengan I-FP-CIT untuk pasien dengan
123

tremor bila tremor esensial tidak dapat secara klinis dibedakan dengan
parkinsonisme.
17. Pemeriksaan SPECT 123
I-FP-CIT seharusnya tersedia bagi semua dokter
spesialis yang memiliki keahlian dalam penggunaan dan interpretasinya.

3. 5. 5. Positron Emission Tomography (PET)


Pemeriksaan PET menggunakan isotop radioaktif yang memancarkan
positron yang di-tak ke molekul tracer yang diberikan melalui injeksi intravena.
Isotop yang paling sering digunakan adalah 18fluorin yang dilekatkan ke dopa atau
deoksiglukosa. 18F-fluorodopa diserap oleh neuron dopaminergik presinaps pada
kaudatus dan putamen sementara 18
F-fluorodeoksiglukosa (FDG) diserap oleh
semua sel yang aktif secara metabolik dan difosforilasi menjadi metabolit yang
akan terperangkap di jaringan selama pemeriksaan. Pemeriksaan ini dapat
berguna untuk diagnosis diferensial namun belum ada bukti yang menunjukkan
bahwa pemeriksaan PET dapat membedakan penyakit Parkinson dengan kondisi
parkinsonian lain di samping biayanya yang tinggi dan tidak banyak tersedia.

Rekomendasi
18. Jangan gunakan pemeriksaan PET dalam menentukan diagnosis diferensial
sindrom parkinsonian, kecuali dalam konteks uji klinis.

3. 5. 6. Magnetic Resonance Imaging (MRI)


Pemeriksaan MRI struktural dapat memberikan gambaran struktur
intrakranial dua ataupun tiga dimensi menggunakan kekuatan medan gaya magnet
yang kuat untuk membangkitkan atom hidrogen dalam molekul air. Pada penyakit
Parkinson, pemeriksaan ini digunakan untuk menilai berbagai struktur yang
diketahui terlibat dalam patologinya dan dapat membantu membedakan penyakit
Parkinson dengan tipe lain parkinsonisme, namun penelitian lebih lanjut masih
dibutuhkan.

Rekomendasi

13
19. Jangan gunakan MRI struktural untuk mendiagnosis penyakit Parkinson.
20. Pemeriksaan MRI struktural dapat dipertimbangkan dalam diagnosis diferensial
sindrom parkinsonian lainnnya.

3. 5. 7. Magnetic Resonance Volumetry


Pemeriksaan ini menggunakan prinsip yang sama dengan MRI struktural
untuk menilai ukuran volume tiga dimensi jaringan, teknik ini digunakan untuk
menilai ukuran berbagai struktur yang terlibat dalam patologi penyakit Parkinson
dan dapat membantu dalam membedakan penyakit Parkinson dengan tipe lain
parkinsonisme namun masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut.

Rekomendasi
21. Jangan gunakan pemeriksaan MR volumetry dalam diagnosis diferensial
sindrom parkinsonian, kecuali dalam konteks uji klinis.

3. 5. 8. Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS)


MRS proton menilai konsentrasi metabolit intermediet dalam volume
kecil di jaringan otak. N-asetilaspartat ditemukan dengan konsentrasi tertinggi
pada neuron dan prosesusnya, sementara kreatin merupakan penanda status energi
dan kolin merupakan indikator sintesis dan degradasi membran. Namun hasil
yang bertolak belakang ditemukan dari berbagai studi mengenai kegunaannya
dalam diagnosis penyakit Parkinson.

Rekomendasi
22. Jangan gunakan MR spectroscopy dalam diagnosis diferensial sindrom
parkinsonian

3. 5. 9. Tes Levodopa Akut dan Uji Coba Apomorfin


Banyak pasien penyakit Parkinson berespons terhadap dosis tunggal
levodopa oral atau apomorfin subkutan. Hasil studi menunjukkan bahwa uji coba
pemberian levodopa dan apomorfin tidak memberikan perbedaan dibanding terapi
kronik levodopa standar dalam membedakan penyakit Parkinson dengan

14
penyebab lain parkinsonisme. Pemeriksaan uji coba apomorfin dapat digunakan
untuk menilai apakah orang dengan penyakit Parkinson tahap lanjut akan dapat
berespons terhadap terapi dopaminergik.

Rekomendasi
23. Jangan gunakan uji coba pemberian levodopa dan apomorfin dalam diagnosis
diferensial sindrom parkinsonian.

3. 5. 10. Uji Penghidu Objektif


Sekitar 80% orang dengan penyakit Parkinson mengalami penurunan
kemampuan penghidu (hiposomia). Kemampuan menghidu dapat diperiksa secara
objektif dengan baterai ataupun berbagai macam bau. Dalam penelitian,
pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas sedang dalam membedakan
orang dengan penyakit Parkinson dengan kelompok kontrol, namun hanya ada
sedikit data mengenai kemampuannya membedakan penyakit Parkinson dengan
sindrom parkinsonian lain.

Rekomendasi
24. Jangan gunakan uji penghidu objektif dalam diagnosis diferensial sindrom
parkinsonian, kecuali dalam konteks uji klinis.

3. 6. Tatalaksana Farmakologis Gejala Motorik


Penyakit Parkinson merupakan kondisi neurodegeneratif yang disebabkan
kematian sel yang mengandung dopamin di substantia nigra. Gejala klasiknya
adalah parkinsonisme seperti hipokinesia, bradikinesia, instabilitas postural,
rigiditas, dan tremor istirahat. Tidak ada satu obat pilihan terapi dalam
farmakoterapi inisial penyakit Parkinson tahap awal karena pasien selalu datang
dengan gejala klinis yang bervariasi. Obat-obat yang sering digunakan untuk
terapi gejala motorik di antaranya: levodopa, agonis dopamin, inhibitor
monoamin oksidase B (MAO-B), dan amantadin. Levodopa dikonversi menjadi
dopamin di tubuh sehingga dapat menggantikan dopamin yang hilang pada
penyakit Parkinson. Inhibitor MAO-B mengurangi penghancuran dopamin di otak

15
dengan memblok enzim yang berperan. Levodopa merupakan obat yang paling
banyak digunakan, namun efektivitasnya berkurang seiring waktu dan komplikasi
motorik yang signifikan dapat timbul. Terapi ajuvan yang juga digunakan adalah
inhibitor catechol-O-methyltransferase (COMT) dan antikolinergik. Inhibitor
COMT bekerja dengan memblok penghancuran levodopa sehingga
memperpanjang efeknya dan memungkinkan dosis levodopa yang lebih rendah.
Antikolinergik dapat digunakan pada tahap awal penyakit dengan tujuan
memperbaiki gejala motorik. Namun belum ada bukti terapi obat mana yang lebih
efektif dan juga terapi ajuvan untuk levodopa yang efektif.

Terapi Lini Pertama untuk Gejala Motorik


Ulasan ini bertujuan mengetahui perbandingan efektivitas levodopa,
inhibitor monoamin oksidase B (MAO-B), agonis dopamin, dan amantadine
sebagai terapi lini pertama gejala motorik pada penyakit Parkinson yang belum
pernah mendapat terapi.

Efektivitas levodopa dibanding terapi tanpa levodopa


Bukti dengan kualitas sedang dari sebuah RCT menunjukkan bahwa
levodopa berhubungan dengan luaran jangka panjang yang secara signifikan lebih
baik untuk mobilitas, aktivitas sehari-hari, stigma, rasa tidak nyaman, dibanding
terapi tanpa levodopa. Studi RCT lain menunjukkan bahwa levodopa
berhubungan dengan luaran jangka panjang kualitas hidup yang spesifik untuk
penyakit Parkinson dan luaran hidup terkait kesehatan, namun tidak memiliki
perbedaan luaran jangka panjang dalam hal kesehatan emosional, dukungan
sosial, fungsi kognitif ataupun komunikasi.
Bukti dari studi RCT dengan kualitas sedang menunjukkan bahwa
levodopa berhubungan dengan tingkat diskinesia jangka panjang yang lebih tinggi
namun tingkat penghentian obat yang lebih rendah baik karena efek samping
maupun kurangnya efektivitas dibanding terapi tanpa levodopa.

Efektivitas agonis dopamin dibanding inhibitor monoamin oksidase


Bukti dengan kualitas sedang dari sebuah RCT menunjukkan bahwa inhibitor

16
MAU-B berhubungan dengan luaran jangka panjang yang secara signifikan lebih baik
dalam hal fungsi kognitif dibanding agonis dopamin, meski rata-rata perbedaannya di
bawah nilai perbedaan minimal yang ditentukan oleh peneliti tersebut. Bukti lain dari
RCT dengan kualitas sedang menunjukkan tidak ada perbedaan dalam hal mobilitas,
aktivitas sehari-hari, kesehatan emosional, stigma, dukungan sosial, komunikasi, rasa
tidak nyaman, dan kualitas hidup terkait kesehatan antara inhibitor MAO-B dengan
agonis dopamin.

Rekomendasi
25. Sebelum memulai terapi untuk pasien dengan penyakit Parkinson, diskusikan
terlebih dulu:
- Kondisi personal pasien, seperti gejalanya, komorbiditas, dan risiko polifarmasi
- Kondisi gaya hidup personal pasien, preferensi, kebutuhan dan tujuan terapi
- Kemungkinan manfaat dan risiko dari berbagai macam obat

Tabel 2. Kemungkinan manfaat dan risiko dari agonis dopamin, levodopa, dan
inhibitor MAO-B
Levodopa Agonis Dopamin Inhibitor MAO-B
Gejala motorik Perbaikan gejala Perbaikan gejala Perbaikan gejala
motorik lebih motorik lebih motorik lebih
besar sedikit sedikit
Aktivitas sehari- Perbaikan dalam Perbaikan dalam Perbaikan dalam
hari aktivitas sehari- aktivitas sehari- aktivitas sehari-
hari lebih baik hari lebih sedikit hari lebih sedikit
Komplikasi Lebih banyak Lebih sedikit Lebih sedikit
motorik komplikasi komplikasi komplikasi
motorik motorik motorik
Efek samping Lebih sedikit efek Lebih banyak efek Lebih sedikit efek
samping spesifik samping spesifik samping spesifik
Efek samping spesifik: rasa kantuk, halusinasi, gangguan kontrol impuls

17
26. Tawarkan levodopa bagi pasien pada tahap awal penyakit Parkinson dengan
gejala motorik yang mempengaruhi kualitas hidupnya.
27. Pertimbangkan agonis dopamin, levodopa, atau inhibitor MAO-B bagi pasien
dengan penyakit Parkinson tahap awal yang gejala motoriknya tidak
mempengaruhi kualitas hidup.
28. Jangan tawarkan agonis dopamin derivat ergot sebagai terapi lini pertama untuk
penyakit Parkinson.
29. Saat memulai terapi untuk pasien dengan penyakit Parkinson, berikan pasien dan
keluarga serta perawat pasien informasi yang tepat secara langsung dan tertulis
mengenai risiko-risiko berikut dan catat hasil diskusi:
- Gangguan kontrol impuls pada semua terapi dopaminergik (dan peningkatan
risiko dengan agonis dopamin)
- Rasa kantuk berlebihan dan tertidur tiba-tiba pada terapi agonis dopamin
- Gejala psikotik (halusinasi dan delusi) pada semua terapi penyakit Parkinson
(risiko lebih tinggi pada agonis dopamin)
Efektivitas terapi ajuvan kombinasi agonis levodopa-dopamin pada pasien
dengan gejala penyakit Parkinson yang belum terkontrol secara adekuat perlu
mempertimbangkan kontrol gejala dibanding risiko efek samping. Agonis
dopamin, inhibitor MAO-B, dan inhibitor COMT (catechol-O-methyl transferase)
memiliki bukti yang mendukung sebagai terapi ajuvan yang efektif terhadap
levodopa dalam memperbaiki periode off time (efek obat habis) harian, gejala
motorik, dan aktivitas sehari-hari. Sementara terapi antikolinergik tidak memiliki
manfaat yan teridentifikasi dari berbagai penelitian dan justru memiliki risiko
signifikan menyebabkan efek samping kognitif dan halusinasi, meningkatkan
risiko jatuh, dan retensi urin. Amantadine juga tidak memiliki manfaat yang
terbukti dari penelitian, namun penggunaannya spesifik pada sebagian pasien
(untuk terapi diskinesia) dan hanya ada sedikit alternatif terapi sehingga dapat
diberikan bila kontrol gejala diskinesia tidak tercapai dengan modifikasi terapi
sebelumnya. Tidak ada bukti yang menunjukkan penggunaan apomorfin sebagai
terapi ajuvan lini pertama untuk levodopa.

Rekomendasi

18
30. Jika seorang pasien dengan penyakit Parkinson mengalami diskinesia dan/atau
fluktuasi motorik, termasuk lunturnya efek obat, konsultasikan kepada dokter
spesialis yang ahli dalam penyakit Parkinson sebelum memodifikasi terapi.
31. Tawarkan pilihan agonis dopamin, inhibitor MAO-B, atau inhibitor COMT
sebagai terapi ajuvan untuk levodopa pada pasien dengan penyakit Parkinson
yang mengalami diskinesia atau fluktuasi motorik meski telah diberi terapi
levodopa secara optimal, setelah mendiskusikan hal-hal seperti pada poin 25.

Tabel 3. Kemungkinan Manfaat dan Risiko dari agonis dopamin, inhibitor MAO-B,
inhibitor COMT, dan amantadin
Agonis Inhibitor Inhibitor Amantadin
Dopamin MAO-B COMT
Gejala motorik Perbaikan Perbaikan Perbaikan Tidak ada
gejala motorik gejala motorik gejala motorik bukti
perbaikan
gejala
motorik
Aktivitas Perbaikan Perbaikan Perbaikan Tidak ada
sehari-hari dalam aktivitas dalam aktivitas dalam aktivitas bukti
sehari-hari sehari-hari sehari-hari perbaikan
aktivitas
sehari-hari
Off time Penurunan off Penurunan off Penurunan off Tidak ada
time lebih time time studi yang
besar melaporkan
luaran ini
Efek samping Risiko efek Lebih sedikit Lebih banyak Tidak ada
samping efek samping efek samping studi yang
sedang melaporkan
luaran ini
Halusinasi Risiko Risiko Risiko Tidak ada
halusinasi halusinasi halusinasi studi yang

19
lebih besar lebih rendah lebih rendah melaporkan
luaran ini

32. Pilihlah agonis dopamin non-derivat ergot pada sebagian besar kasus karena
pemantauan khusus dibutuhkan untuk agonis dopamin derivat ergot.
33. Hanya pertimbangkan agonis derivat ergot sebagai ajuvan terapi levodopa untuk
pasien dengan penyakit Parkinson yang: mengalami diskinesia atau fluktuasi
motorik meski telah mendapat terapi levodopa optimal; dan pasien yang
gejalanya belum terkontrol secara adekuat dengan agonis dopamin non-derivat
ergot.
34. Jika diskinesia tidak terkontrol secara adekuat dengan modifikasi terapi yang
telah diberikan, pertimbangkan amantadin.
35. Jangan tawarkan antikolinergik pada pasien dnegan penyakit Parkinson yang
mengalami diskinesia dan/atau fluktuasi motorik.
36. Obat-obat antiparkinson tidak boleh dihentikan mendadak ataupun dibiarkan
gagal memberi efek tiba-tiba karena absorpsi yang buruk (contohnya
gastroenteritis, operasi abdomen) untuk mencegah kemungkinan akinesia akut
atau sindrom neuroleptik maligna.
37. Penghentian obat-obat antiparkinson untuk mengurangi komplikasi motorik
tidak boleh dilakukan karena risiko sindrom neuroleptk maligna.
38. Dengan mempertimbangkan risiko dari perubahan mendadak obat-obat
antiparkinson, pasien dengan penyakit Parkinson yang dirawat di rumah sakit
atau panti perawatan perlu mendapatkan obat-obat pada waktu yang tepat, dan
disesuaikan setelah didiskusikan dengan dokter spesialis dalam tatalaksana
penyakit Parkinson.

3. 7. Tatalaksana Farmakologis Gejala Non-motorik


Pasien dengan penyakit Parkinson sering juga mengalami gejala non-
motorik seperti perubahan mood (ansietas, depresi, apati), perilaku, gangguan
kognitif, tidur, kemampuan menghidu, kontrol usus, buli, saliva, dan tekanan
darah (hipotensi ortostatik) dan dapat pula mengalami nyeri yang tidak dapat
dijelaskan. Terkadang gejala non-motorik tersebut dapat muncul beberapa tahun

20
sebelum gejala motorik dan sangat mempengaruhi kualitas hidup pasien dengan
penyakit Parkinson, bahkan terkadang lebih membuat hendaya dibanding gejala
motoriknya. Namun penelitian mengenai terapi gejala non-motorik yang efektif
masih terbatas dan beberapa gejala masih belum ada terapinya.

3. 7. 1. Hipersomnolen Siang Hari


Tujuan ulasan ini adalah mengetahui perbandingan efektivitas terapi
farmakologis untuk hipersomnolen siang hari atau rasa kantuk di siang hari yang
berhubungan dengan penyakit Parkinson. Obat-obat yang digunakan di antaranya:
modafinil, amantadin, selegilin, sodium oksibat, dan pitolisan dibandingkan
dengan plasebo. Namun sebagian besar studi hanya meneliti modafinil yang
memiliki manfaat besar pada sebagian pasien tetapi tidak berefek pada sebagian
lainnya dan kualitas bukti lemah. Hipersomnolen bersifat multifaktorial dan
penyebabnya perlu diidentifikasi dulu sebelum pemberian terapi farmakologis.

Rekomendasi
39. Sarankan pasien penyakit Parkinson yang mengalami rasa kantuk di siang hari
dan/atau tertidur tiba-tiba untuk tidak menyetir (dan menginformasikan pihak
yang berwenang mengenai gejalanya) dan juga memikirkan kemungkinan
kecelakaan kerja. Sesuaikan penobatan untuk mengurangi gejala dengan
berkonsultasi dengan dokter spesialis yang ahli dalam penyakit Parkinson.
40. Pertimbangkan pemberian modafinil untuk mengatasi rasa kantuk berlebihan di
siang hari pada pasien penyakit Parkinson hanya jika anamnesis riwayat tidur
lengkap telah mengeksklusi kemungkinan penyebab farmakologis dan fisik
lainnya.
41. Setidaknya setiap 12 bulan, seorang dokter spesialis yang ahli mengenai
penyakit Parkinson perlu menilai ulang pasien Parkinson yang mengonsumsi
modafinil.

3. 7. 2. Akinesia Nokturnal
Selain akinesia nokturnal, gejala nokturnal lain yang timbul di antaranya
gangguan tidur REM, nokturia, restless legs, dan pergerakan tungkai periodik.

21
Obat yang digunakan untuk terapi di antaranya adalah Rotigotine transdermal dan
levodopa dan benserazide dengan pelepasan terkontrol (co-beneldopa) dan co-
beneldopa pelepasan cepat. Rotigotine memiliki efek positif dalam terapi
gangguan tidur namun efektivitas dan bukti komparatifnya masih perlu diteliti
lebih lanjut dan efek positifnya dapat diekstrapolasi terhadap agonis dopamin
lainnya (oral) sementara sediaan transdermal ini memiliki harga yang lebih tinggi.

Rekomendasi
42. Pertimbangkan terapi levodopa atau agonis dopamin untuk tatalaksana akinesia
nokturnal pada pasien penyakit Parkinson. Bila terapi yang dipilih tidak efektif
atau tidak dapat ditoleransi, sarankan terapi lainnya.
43. Pertimbangkan rotigotine jika levodopa dan/atau agonis dopamin tidak efektif
dalam tatalaksana akinesia nokturnal.

3. 7. 3. Hipotensi Ortostatik
Obat-obat yang digunakan untuk terapi hipotensi ortostatik di antaranya
adalah droksidopa, midodrine, fludrokortison dan domperidon (off label). Dalam
pemberian terapi untuk hipotensi ortostatik, perlu diperhatikan risiko timbulnya
hipertensi pada posisi supine/ berbaring, terutama pada penggunaan midodrine.
Akibat dari hipotensi ortostatik yang tidak diterapi seperti risiko jatuh dapat
memperberat kondisi. Hipotensi ortostatik pada penyakit Parkinson dapat juga
disebabkan karena pengobatan yang dikonsumsi. Namun dari berbagai studi,
belum ada terapi farmakologis yang memiliki bukti kuat efektif sebagai terapi
pilihan hipotensi ortostatik pada penyakit Parkinson.

Rekomendasi
44. Jika seorang pasien penyakit Parkinson mengalami hipotensi ortostatik, tinjau
obat-obatan yang dikonsumsi pasien dan pertimbangkan kemungkinan penyebab
farmakologis seperti: antihipertensi (termasuk diuretik), dopaminergik,
antikolinergik, antidepresan.
45. Pertimbangkan midodrine pada pasien dengan penyakit Parkinson yang
mengalami hipotensi ortostatik dengan memperhatikan kontraindikasi dan

22
kebutuhan pemantauan (termasuk pemantauan terjadinya hipertensi saat
berbaring).
46. Jika midodrine dikontraindikasikan, tidak dapat ditoleransi, atau tidak efektif,
pertimbangkan pemberian fludrokortison (dengan mempertimbangkan profil
keamanannya terutama risiko pada jantung dan kemungkinan interaksi obat).

3. 7. 4. Depresi
Rekomendasi
47. Untuk panduan dalam identifikasi, tatalaksana dan manajemen depresi pada
pasien dengan penyakit Parkinson, lihat panduan dari NICE mengenai depresi
pada orang dewasa dengan masalah kesehatan fisik kronik.

3. 7. 5. Gejala Psikotik (Halusinasi dan Delusi)


Beberapa obat yang digunakan dalam terapi gejala psikotik pada penyakit
Parkinson adalah quetiapin, olanzapin, clozapin. Selain itu, rivastigmin juga
sering digunakan untuk terapi psikosis pada Parkinson, namun belum ada bukti
yang mendukung efektivitasnya.

Rekomendasi
48. Saat kunjungan kontrol dan perubahan terapi obat, tanyakan pasien penyakit
Parkinson dan anggota keluarga serta perawat pasien jika pasien mengalami
halusinasi (terutama visual) ataupun delusi.
49. Lakukan pemeriksaan medis umum pada pasien dengan halusinasi atau delusi,
dan tawarkan terapi untuk kondisi yang kemungkinan memicunya.
50. Jangan terapi halusinasi dan delusi bila gejala tersebut dapat ditoleransi dengan
baik oleh pasien penyakit Parkinson dan anggota keluarga dan perawat pasien
(sewajarnya).
51. Kurangi dosis obat penyakit Parkinson mana pun yang kemungkinan memicu
halusinasi atau delusi, dengan mempertimbangkan beratnya gejala dan
kemungkinan efek withdrawal. Konsultasikan kepada dokter spesialis dengan

23
keahlian di bidang penyakit Parkinson sebelum memodifikasi terapi.
52. Pertimbangkan quetiapin untuk terapi halusinasi dan delusi pada pasien penyakit
Parkinson yang mengalami gangguan fungsi kognitif.
53. Bila terapi standar tidak efektif, tawarkan clozapin untuk terapi halusinasi dan
delusi pada pasien penyakit Parkinson. Waspadalah bahwa pasien perlu
dipantau.
54. Ketahui bahwa dosis quetiapin dan clozapin yang lebih rendah dibutuhkan pada
pasien dengan penyakit Parkinson dibanding pada kondisi lain.
55. Jangan tawarkan pemberian olanzapin untuk terapi halusinasi dan delusi pada
pasien penyakit Parkinson.
56. Ketahui bahwa obat-obat antipsikotik lainnya (seperti fenotiazin dan
butirofenon) dapat memperburuk gejala motorik penyakit Parkinson.
57. Untuk panduan mengenai halusinasi dan delusi pada pasien dengan demensia,
lihat panduan tatalaksana gejala non-kognitif NICE mengenai demensia.

3. 7. 6. Gangguan Pola Tidur REM (REM sleep behaviour disorder/ RBD)


Terapi yang digunakan untuk tatalaksana gangguan pola tidur REM di
antaranya adalah rivastigmin, clonazepam, dan melatonin. Terapi rivastigmin
tidak mempunyai bukti yang cukup kuat mendukung efektivitas terapinya
sehingga bukan merupakan terapi lini pertama. Melatonin dapat memiliki efek
samping yang lebih rendah namun clonazepam lebih efektif dibanding melatonin.
Namun belum ada terapi yang berlisensi untuk terapi gangguan pola tidur REM.

Rekomendasi
58. Berikan pelayanan untuk identifikasi dan tatalaksana restless leg syndrome dan
gangguan pola tidur REM pada pasien penyakit Parkinson dengan gangguan
tidur.
59. Pertimbangkan clonazepam atau melatonin untuk tatalaksana RBD jika telah
dilakukan tinjauan obat-obatan yang kemungkinan menjadi penyebab.

3. 7. 7. Disfungsi Termoregulasi
Tidak ada pengobatan yang diberikan maupun studi yang meneliti terapi

24
untuk disfungsi termoregulasi pada penyakit Parkinson.

3. 7. 8. Kontrol Salivasi
Studi mengenai terapi untuk kontrol salivasi didapatkan dari studi
mengenai penyakit neuron motorik yang juga melibatkan pasien penyakit
Parkinson. Terapi yang dapat digunakan di antaranya adalah toksin botulinum,
antikolinergik seperti glikopirolat, dan benztropin. Gangguan salivasi cukup
kompleks dan berhubungan dengan kesulitan menelan dan gangguan pernapasan.
Efektivitas toksin botulinum memiliki hasil yang berbeda dari studi-studi yang
ada, sebagian efektif mengurangi gejala sebagian tidak menunjukkan perubahan.
Terapi glikopirolat dan benztropin terbukti efektif mengurangi salivasi namun
memiliki efek samping yang cukup berat. Tatalaksana lini pertama untuk salivasi
berlebihan adalah non-farmakologis, seperti dengan rujukan ke terapi wicara. Bila
tatalaksana non-farmakologis tidak tersedia atau tidak efektif, maka terapi
farmakologi dapat dipertimbangkan.

Rekomendasi
60. Pertimbangkan terapi farmakologi untuk air liur berlebih atau hipersalivasi pada
pasien penyakit Parkinson hanya jika terapi non-farmakologi (terapi bicara atau
terapi bahasa) tidak tersedia atau tidak efektif.
61. Pertimbangkan glikopironium bromida untuk terapi hipersalivasi pada pasien
penyakit Parkinson.
62. Jika terapi hipersalivasi dengan glikopironium bromida tidak efektif, tidak dapat
ditoleransi atau dikotraindikasikan (contohnya terdapat gangguan kognitif,
halusinasi, delusi, atau riwayat efek samping berat terapi antikolinergik),
pertimbangkan rujukan kepada spesialis yang dapat memberi terapi toksin
botulinum A.
63. Hanya pertimbangkan obat-obat antikolinergik selain glikopironium bromida
untuk tatalaksana hipersalivasi pada pasien penyakit Parkinson jika risiko efek
samping fungsi kognitifnya dianggap minimal. Gunakan sediaan topikal jika
memungkinkan (contohnya atropin) untuk mengurangi risiko efek samping.

25
3. 8. Tatalaksana Farmakologis Demensia yang berhubungan dengan Penyakit
Parkinson
Kurangnya dopamin dan kadar neurotransmiter lain yang rendah dapat
menyebabkan gejala non motorik pada penyakit Parkinson, seperti defisiensi
serotonergik yang berhubungan dengan depresi dan kehilangan stimulasi
kolinergik yang menyebabkan gangguan kognitif progresif. Bila kondisi ini
berprogresi hingga pasien dan/atau perawat pasien melaporkan penurunan fungsi
kognitif yang signifikan, pasien didiagnosis dengan demensia pada penyakit
Parkinson (Parkinson’s disease dementia/ PDD) yang terjadi pada 48-80% pasien
pada waktu di atas 1 tahun sejak onset gejala motorik. Bila demensia muncul
kurang dari 1 tahun sejak onset gejala motorik, maka disebut dengan demensia
dengan badan Lewy (dementia with Lewy bodies/ DLB).

3. 8. 1. Tatalaksana Farmakologi Demensia pada Penyakit Parkinson


Beberapa obat yang digunakan untuk perbaikan fungsi kognitif pada
demensia yang berhubungan dengan penyakit Parkinson adalah donepezil,
galantamin, memantin, dan rivastigmin. Luaran yang dinilai untuk menentukan
efektivitas terapi adalah efek samping, fungsi kognitif, penilaian global, aktivitas
sehari-hari, luaran yang dilaporkan perawat pasien, dan luaran non-kognitif
lainnya. Luaran fungsi kognitif dinilai dengan mini mental state examination
(MMSE), Alzheimer’s disease assessment scale- subskala kognitif (ADAS-cog),
Mattis Dementia Rating Scale (MDRS), Delis-Kaplan Executive Functions
System (D-KEFS) uji kelancaran verbal, tes menggambar jam dengan 10 titik,
sistem penilaian terkomputerisasi Cognitive Drug Researh (CDR), dan Brief Test
of Attention (BTA) / Uji Atensi singkat.
Luaran kognitif paling banyak dinilai menggunakan MMSE dan ADAS-cog
namun sulit untuk menentukan efektivitas pengobatan. Klinisi sering lebih
mengutamakan stabilitas dibanding perbaikan fungsi kognitif, dan terapi demensia dapat
bermanfaat pula untuk luaran non kognitif seperti fungsi global, aktivitas sehari-hari,
beban bagi perawat pasien dan gejala perilaku. Bukti dari penelitian menunjukkan
bahwa efektivitas terapi farmakologi hampir sama pada pasien dengan PDD dan DLB.
Secara umum terapi semua inhibitor kolinesterase efektif, namun donepezil lebih dapat

26
ditoleransi dibanding rivastigmin, sementara rivastigmin lebih baik dalam mengatasi
gejala neuropsikiatrik. Secara klinis tidak ada perbedaan bermakna antara sediaan
rivastigmin kapsul dan transdermal. Hanya ada sedikit data hasil studi mengenai
memantin sebagai terapi demensia, data yang ada menunjukkan memantin memiliki
efek signifikan pada penilaian global dibanding plasebo. Tidak ada data studi yang
menunjukkan inhibitor kolinesterase lebih efektif dibanding memantin, namun studi
yang ada berskala kecil dan tidak memiliki bukti yang kuat. Sementara terapi kombinasi
inhibitor kolinesterasi dan memantin masih perlu diteliti lebih lanjut.

Rekomendasi
64. Tawarkan terapi inhibitor kolinesterase pada pasien dengan demensia pada
penyakit Parkinson derajat ringan atau sedang.
65. Pertimbangkan terapi inhibitor kolinesterase pada pasien dengan demensia pada
penyakit Parkinson derajat berat.
66. Pertimbangkan memantin pada pasien dengan demensia pada penyakit
Parkinson, hanya jika inhibitor kolinesterasi tidak dapat ditoleransi atau
dikontraindikasikan
67. Untuk panduan dalam menilai dan manajemen demensia, serta dukungan bagi
pasien dengan demensia, lihat panduan NICE mengenai demensia.

3. 9. Tatalaksana Non-farmakologis Gejala Motorik dan Non-motorik


Baik gejala motorik mau pun non-motorik mempengaruhi aktivitas sehari-
hari dan kualitas hidup pasien penyakit Parkinson dan banyak dari gejala tersebut
tidak dapat diperbaiki dengan terapi farmakologi saja. Terdapat berbagai
intervensi non-farmakologi yang bertujuan mengatasi berbagai masalah spesifik,
seperti instabilitas postural dan masalah gaya berjalan yang dapat dibantu dengan
fisioterapi untuk memperbaiki fungsi dan menjaga kemandirian. Selain itu, gejala
non-motorik seperti disfungsi kognitif dan mood (ansietas, apati, depresi,
gangguan kognitif ringan, dan demensia), gangguan tidur, disfungsi usus dan buli,
perubahan cara bicara dan masalah menelan, serta penurunan berat badan. Sebuah
studi meta-analisis skala besar terbaru mendapati bahwa gejala non-motorik
tersering adalah nokturia, urgensi buang air kecil, depresi, konstipasi, ansietas,

27
mudah lupa, dan insomnia.
Terapi okupasi dapat mengatasi masalah aktivitas sehari-hari (baik gejala
motorik maupun non-motorik) dan menjaga kemandirian baik di rumah maupun di
tempat kerja dan komunitas. Terapi bicara dan bahasa dapat mengatasi masalah
kesulitan bicara, perubahan komunikasi akibat faktor linguistik-kognitif, dan juga
kemampuan menelan (penting untuk menghindari risiko aspirasi). Saran pengaturan diet
mungkin diperlukan untuk menjaga berat badan dan redistribusi protein untuk
memastikan obat-obatan Parkinson dapat bekerja efektif.

3. 9. 1. Intervensi Perawat Khusus Penyakit Parkinson


Di Inggris, perawat khusus penyakit Parkinson telah ada sejak 10 tahun terakhir,
perawat ini dibekali dengan keterampilan khusus dalam komunikasi, penilaian pasien
dan perawat pasien, manajemen gejala dan pengobatan, memberikan dukungan dan
nasihat, merujuk ke terapis lain, dan memberi edukasi. Peran penting perawat khusus
penyakit Parkinson di antaranya:
- Membuat dan menerima rujukan untuk menghasilkan layanan integratif dan
responsif
- Menerima dan memulangkan pasien dengan kondisi khusus sesuai protokol,
manajemen beban kasus
- Menyediakan informasi, edukasi, dan dukungan bagi pasien di rumah, di klinik,
dan di rumah sakit
- Meresepkan obat dan terapi dan memantau efektivitas perubahan pengobatan
dan terapi
- Menggunakan teknologi informasi terkini untuk mengarahkan pasien penyakit
Parkinson ke tenaga kesehatan yang sesuai
- Menggunakan teknologi informasi untuk mempercepat respons terhadap krisis
Berbagai studi menunjukkan bahwa layanan perawat khusus penyakit
Parkinson Perawat khusus ini memiliki manfaat yang berhubungan dengan
pengalaman pasien secara keseluruhan, namun hasilnya masih inkonklusif dari
segi efektivitas biaya.

Rekomendasi

28
68. Pasien penyakit Parkinson perlu memiliki akses rutin ke:
- Pemantauan klinis dan penyesuaian pengobatan
- Layanan dukungan, kunjungan rumah yang berkelanjutan sesuai kebutuhan
- Sumber informasi yang dapat dipercaya mengenai masalah klinis dan sosial bagi
pasien dan anggota keluarga serta perawat pasien
yang dapat diberikan oleh seorang perawat khusus penyakit Parkinson.

3. 9. 2. Fisioterapi dan Aktivitas Fisik


Beberapa gejala yang dapat diperbaiki dengan fisioterapi di antaranya
adalah gaya berjalan, mobilitas fungsional dan keseimbangan, risiko jatuh, fungsi
motorik dan mobilitas. Terapi dapat berbentuk olahraga, Tai chi, teknik
Alexander, teknik isyarat, tarian, program kesehatan dan keseimbangan Wii,
aktivitas fisik, dan cara berjalan nordik. Hasil studi menunjukkan bahwa pasien
dengan penyakit Parkinson tahap awal maupun tahap lanjut akan mendapatkan
manfaat dari fisioterapi khusus Parkinson sebelum gejalanya memburuk dan
fisioterapi pada penyakit tahap awal dapat menunda onset gejala dengan efek
samping fisioterapi yang minimal.

Rekomendasi
69. Pertimbangkan merujuk pasien pada tahap awal penyakit Parkinson ke
fisioterapis yang memiliki pengalaman dalam penilaian, edukasi dan tatalaksana
aktivitas fisik penyakit Parkinson.
70. Tawarkan fisioterapi khusus untuk penyakit Parkinson bagi pasien yang
mengalami masalah keseimbangan atau fungsi motorik.
71. Pertimbangkan Teknik Alexander bagi pasien penyakit Parkinson yang
mengalami masalah keseimbangan atau fungsi motorik.

3. 9. 3. Terapi Okupasi
Terapi okupasi dapat memperbaiki luaran aktivitas sehari-hari, rekreasi
dan partisipasi dalam aktivitas menghibur, menyetir, fungsi kognitif, kelelahan

29
dan tidur, ansietas, dan mood. Terapi okupasi sebaiknya diberikan oleh terapis
yang berpengalaman dalam menangani pasien dengan penyakit Parkinson untuk
mendapatkan hasil yang optimal. Durasi terapi sebaiknya berkisar antara 6 – 10
minggu kemudian dievaluasi setelah 3 bulan. Penentuan tujuan terapi di awal
program dapat meningkatkan keberhasilan terapi dan pasien dengan tahap
penyakit yang berbeda dan gejala yang berbeda membutuhkan terapi okupasi
yang berbeda.

Rekomendasi
72. Pertimbangkan merujuk pasien dengan penyakit Parkinson tahap awal ke ahli
terapi okupasi dengan pengalaman penanganan pasien Parkinson untuk
penilaian, edukasi dan saran terapi untuk gejala motorik dan non-motorik.
73. Tawarkan terapi okupasi khusus untuk penyakit Parkinson pada pasien yang
mengalami kesulitan dalam menjalani aktivitas sehari-hari.

3. 9. 4. Terapi Bicara dan Bahasa


Tujuan terapi bicara dan bahasa dalam manajemen penyakit Parkinson
adalah untuk memperbaiki kemampuan komunikasi dan masalah menelan dan
mencegah risiko penetrasi dan aspirasi. Pneumonia aspirasi merupakan salah satu
penyebab tersering pasien Parkinson masuk rawat inap di rumah sakit. Terapi ini
dapat dilakukan dengan latihan vokal, latihan kontrol bicara, latihan kontrol
pernapasan, terapi perubahan umpan balik auditori, latihan bernyanyi, dan terapi
menelan atau disfagia. Hasil studi menunjukkan bahwa terapi bicara terutama
bermanfaat untuk meningkatkan keamanan dalam menelan dan mencegah
aspirasi.

Rekomendasi
74. pertimbangkan merujuk pasien penyakit Parkinson tahap awal ke ahli terapi
bicara dan bahasa yang berpengalaman menangani penyakit Parkinson untuk
penilaian, edukasi, dan saran terapi.
75. Tawarkan terapi bicara dan bahasa bagi pasien penyakit Parkinson yang
mengalami masalah dalam komunikasi, menelan atau kontrol saliva, yang

30
mencakup:
- Strategi untuk memperbaiki keamanan dan efisiensi menelan untuk mengurangi
risiko aspirasi, seperti terapi latihan kekuatan otot ekspirasi
- Strategi untuk memperbaiki kemampuan bicara dan komunikasi, seperti terapi
usaha bicara
76. Pertimbangkan merujuk pasien untuk alat bantu komunikasi yang sesuai dengan
kebutuhan komunikasinya seiring progresi penyakit Parkinson dan perubahan
kebutuhan pasien.

3. 9. 5. Nutrisi
Komplikasi dari penyakit Parkinson yang dapat ditangani dengan terapi
nutrisi di antaranya adalah penurunan berat badan, hipotensi postural dan
konstipasi. Intervensi nutrisi yang dapat dilakukan yaitu:
- Diet rendah protein, redistribusi protein dan diet lain yang dapat mempengaruhi
absorpsi levodopa dan meningkatkan efektivitas terapi dopamin
- Intervensi diet untuk tatalaksana konstipasi, hipotensi postural, penurunan
ataupun penambahan berat badan
- Rujukan ke ahli gizi
- Suplementasi nutrisi
Manfaat dari terapi nutrisi dapat membantu menunda progresi penyakit
dan menghindarkan pasien dari kebutuhan akan obat-obatan yang mahal.
Kesulitannya adalah penambahan intervensi yang perlu diikuti dan diingat oleh
pasien, Hasil berbagai studi menunjukkan bahwa kualitas bukti untuk diet protein
tidak cukup kuat, dan tidak disarankan karena berisiko malnutrisi. Penting untuk
diingat bahwa redistribusi protein berbeda dengan diet rendah protein.
Redistribusi protein dilakukan dengan konsumsi rendah protein di siang hari dan
konsumsi 85% protein pada malam hari, namun hal ini sulit dilakukan dan kurang
efektif dalam pelaksanaannya sehingga tidak diperlukan pada semua pasien, dapat
bermanfaat pada pasien yang mulai menunjukkan fluktuasi respon terhadap
pengobatan dopaminergik. Sementara suplementasi vitamin D setidaknya agar
mencapai level normal tidak membahayakan pasien, terutama pada pasien yang
berisiko tinggi osteoporosis dan jatuh.

31
Rekomendasi
77. Pertimbangkan merujuk pasien penyakit Parkinson ke ahli gizi untuk saran
terapi nutrisi.
78. Diskusikan pola diet di mana sebagian besar protein dimakan di makan terakhir
dalam sehari (diet redistribusi protein) untuk pasien penyakit Parkinson dalam
terapi levodopa yang mengalami fluktuasi motorik.
79. Sarankan pasien penyakit Parkinson untuk menghindari mengurangi total
konsumsi protein harian.
80. Sarankan pasien penyakit Parkinson untuk mengonsumsi suplemen vitamin D,
lihat panduan NICE mengenai rekomendasi vitamin D untuk pemeriksaan
vitamin D, dan panduan NICE mengenai risiko jatuh pada lansia dan
osteoporosis.
81. Jangan sarankan suplemen kreatin bagi pasien dengan penyakit Parkinson.
82. Sarankan pasien dengan penyakit Parkinson untuk tidak mengonsumsi suplemen
makanan yang dijual bebas sebelum berkonsultasi dengan ahli farmasi atau
tenaga kesehatan lainnya.

3. 9. 6. Neuroproteksi
Neuroproteksi merupakan proses di mana suatu terapi bermanfaat dalam
mempengaruhi patofisiologi penyakit Parkinson yang dapat memodifikasi luaran
klinis penyakit seperti menunda komplikasi motorik. Beberapa istilah dalam
neuroproteksi di antaranya adalah neurorescue (penyelamatan neuron yang
hampir mati, mencegah kematian sel lebih lanjut), neurorestorasi (meningkatkan
jumlah neuron dopaminergik dengan inplantasi sel atau infus faktor
pertumbuhan), dan neuromodulasi (stimulasi otak dalam). Mekanisme
patofisiologi agen neuroprotektif dapat melalui intervensi pada defisiensi
mitokondria kompleks-1, kerusakan akibat radikal bebas dan disfungsi proteasom
akibat stres oksidatif, apoptosis, dan inflamasi (aktivasi mikroglia).
Penilaian progresi penyakit dilakukan dengan menilai kualitas hidup, skala
penilaian klinis, mortalitas, pemeriksaan SPECT dan PET, dan penundaan komplikasi
motorik. Berdasarkan bukti dari studi yang tersedia, obat neuroprotektif untuk penyakit

32
Parkinson adalah vitamin E, ko-enzim G10, agonis dopamin, dan inhibitor MAO-B.
Kandidat lain yang juga dapat menjadi obat neuroprotektif adalah kafein, kreatin,
gangliosida GM-1, GPi-1485, minosiklin, nikotin, dan estrogen. Hasil penelitian
mengenai suplementasi harian vitamin E dalam bentuk tokoferol tidak memiliki efek
neuroprotektif. Hasil penelitian mengenai ko-enzim Q10 untuk manfaat neuroprotektif
menunjukkan hasil yang menjanjikan, namun penelitian lebih lanjut masih dibutuhkan.
Studi preklinis menunjukkan efek neuroprotektif agonis dopamin pada kultur sel dan
binatang coba. Hasil uji klinis terhadap ropinirol dan pramipeksol menunjukkan prospek
bahwa agonis dopamin tersebut memiliki efek neuroprotektif, namun perbandingan
dengan terapi levodopa menunjukkan hasil skala motorik yang lebih baik pada levodopa
ataupun tidak ada perbedaan. Efek penundaan komplikasi motorik dari uji klinis
tersebut kemungkinan efek farmakokinetik atau farmakodinamik obat dan bukan karena
perlambatan progresi penyakit. Inhibitor MAO-B propargilamin selegilin dan rasagilin
memiliki efek anti-apoptosis, mengurangi perombakan dopamin dan mengurangi
pembentukan radikal bebas. Hasil studi klinis inhibitor MAO-B menunjukkan adanya
efek simptomatik penundaan onset fluktuasi motorik, namun hasil ini kurang lebih sama
dengan terapi agonis dopamin dan kemungkinan merupakan efek perpanjangan masa
aktif levodopa, penelitian lebih lanjut masih dibutuhkan.

Rekomendasi
83. Jangan gunakan vitamin E sebagai terapi untuk pasien dengan penyakit
Parkinson.
84. Jangan gunakan ko-enzim Q10 sebagai terapi neuroprotektif pada pasien
penyakit Parkinson, kecuali dalam konteks uji klinis.
85. Jangan gunakan agonis dopamin sebagai terapi neuroprotektif pada pasien
penyakit Parkinson, kecuali dalam konteks uji klinis.
86. Jangan gunakan inhibitor MAO-B sebagai terapi neuroprotektif pada pasien
penyakit Parkinson, kecuali dalam konteks uji klinis.

3. 10. Terapi Lanjutan: Stimulasi Otak Dalam dan Gel Usus Levodopa-Karbidopa
Penyakit Parkinson secara inisial dapat diterapi dengan pengobatan,
namun terapi lanjutan mungkin dibutuhkan bila respons obat buruk, ada efek

33
samping yang tidak dapat ditoleransi, atau fluktuasi respons berat. Terapi lanjutan
dapat berupa bedah saraf (stimulasi otak dalam), gel usus levodopa-karbidopa,
dan infus kontinu apomorfin subkutan. Pembedahan dilakukan dengan insersi
elektoda, biasanya bilateral, ke nukleus dalam di otak yang terkoneksi dengan
generator dengan baterai. Terapi gel usus kevodopa-karbidopa dilakukan dengan
infus konstan gel levodopa ke jejunum melalui jejunostomi yang cukup efektif
namun membutuhkan biaya tinggi dan pemantauan dan perawatan jejunostomi
yang berkelanjutan. Infus apomorfin subkutan juga dianggap sebagai terapi yang
efektif dengan biaya relatif lebih rendah dibanding terapi lainnya namun memiliki
risiko lebih dibandingkan pengobatan oral.

3. 10. 1. Stimulasi Otak Dalam, Gel Usus Levodopa-Karbidopa Dan Terapi Medis
Terbaik Untuk Penyakit Parkinson Tahap Lanjut
Hasil studi menunjukkan bahwa terapi lanjutan memiliki manfaat
dibanding terapi pengobatan saja, namun hanya signifikan dalam skor motorik.
Luaran lain menunjukkan bahwa stimulasi otak dalam lebih baik dibanding gel
usus levodopa-karbidopa, namun perbedaannya tidak signifikan. Terapi stimulasi
otak dalam kemungkinan memiliki efek negatif terhadap fungsi kognitif dan
kefasihan berbicara dibanding terapi pengobatan. Bila terapi lanjutan akan
diberikan, stimulasi otak dalam lebih dipilih dibandingkan gel usus levodopa-
karbidopa.

3. 10. 2. Stimulasi Otak Dalam Dibandingkan dengan Terapi Pengobatan Terbaik


Untuk Penyakit Parkinson Tahap Awal
Stimulasi otak dalam biasanya diberikan hanya pada penyakit tahap lanjut,
namun saat ini banyak ditawarkan juga pada penyakit tahap awal. Hasil studi
menunjukkan bahwa terapi stimulasi otak dalam pada penyakit Parkinson tahap
awal menunjukkan manfaat, namun tidak sebesar bila terapi ini diberikan pada
tahap lanjut.

Rekomendasi
87. Tawarkan pasien dengan penyakit Parkinson tahap lanjut terapi pengobatan yang

34
terbaik, yang dapat termasuk injeksi apomorfin intermiten dan/atau infus
kontinu apomorfin subkutan.
88. Jangan tawarkan stimulasi otak dalam bagi pasien penyakit Parkinson yang
gejalanya dapat dikontrol secara adekuat dengan terapi pengobatan yang terbaik.
89. Pertimbangkan stimulasi otak dalam bagi pasien penyakit Parkinson yang
gejalanya belum terkontrol dengan baik oleh terapi pengobatan yang terbaik.
90. Gel usus levodopa-karbidopa saat ini tersedia dengan peraturan khusus
Kementerian Kesehatan Inggris. Direkomendasikan untuk meninjau ulang
peraturan ini dengan mempertimbangkan panduan ini.

3. 11. Manajemen dan Pemantauan Gangguan Kontrol Impuls Sebagai Efek


Samping Terapi Dopaminergik
Gangguan kontrol impuls merupakan sekelompok kondisi psikiatrik yang
berhubungan dengan perilaku repetitif berbasis-reward. Gejala utamanya adalah
ketidakmampuan menahan impuls, dorongan atau godaan untuk melakukan
tindakan berbahaya baik pada diri sendiri maupun orang lain dengan prevalensi
sekitar 24% pada pasien penyakit Parkinson yang mendapat terapi. Bukti
menunjukkan bahwa gangguan ini berhubungan dengan agonis dopamin dan
levodopa. Perilaku yang tersering di antaranya adalah judi patologis,
hiperseksualitas, belanja kompulsif, hobi berlebihan dan makan berlebihan.
Gangguan ini timbul diduga akibat aktivasi reseptor dopamin yang tidak tepat,
proyeksi ventral tegmental dopaminergik ke striatum ventral terlibat dalam
kontrol motivasi dan reward. Hipotesisnya adalah, penyakit Parkinson terutama
mempengaruhi substansia nigra, sementara area ventral tegmental tidak sehingga
stimulasi akibat obat dopaminergik memiliki efek berbeda pada area ventral.
Gangguan ini dapat menimbulkan beban bagi pasien maupun perawat pasien dan
juga masalah finansial dan bahkan kriminal. Penting untuk mengenali tanda-tanda
gangguan kontrol impuls serta kemungkinan terjadinya sebelum memulai terapi
pengganti dopamin. Tatalaksana awal untuk gangguan kontrol impuls adalah
mengurangi dosis agonis dopamin ataupun penghentian terapi.

3. 11. 1. Prediktor Terjadinya Gangguan Kontrol Impuls

35
Faktor-faktor yang dapat menjadi prediktor terjadinya gangguan ini adalah
jenis kelamin, usia, riwayat gangguan kontrol impuls sebelumnya dan riwayat
keluarga dengan gangguan yang sama, durasi penyakit, tingkat beratnya penyakit,
dan dosis obat dopaminergik. Hiperseksualitas lebih banyak dilaporkan pada pria.
Durasi terapi dopaminergik tidak mempengaruhi timbulnya gangguan kontrol
impuls, namun bila gangguan kontrol impuls timbul dalam perjalanan penyakit
yang lanjut kemungkinan disebabkan oleh peningkatan dosis obat. Pasien dengan
gangguan kontrol impuls juga lebih jarang mengalami depresi dan ansietas.

Rekomendasi
91. Ketahui bahwa gangguan kontrol impuls dapat terjadi pada pasien penyakit
Parkinson yang mendapat terapi dopaminergik pada tahap mana pun dari
perjalanan penyakitnya.
92. Ketahui bahwa hal-hal berikut berhubungan dengan peningkatan risiko
timbulnya gangguan kontrol impuls: terapi agonis dopamin, riwayat perilaku
impulsif, riwayat konsumsi alkohol dan/atau merokok.

3. 11. 2. Manajemen Terapi Dopaminergik pada Pasien yang Mengalami


Gangguan Kontrol Impuls
Intervensi yang dapat dilakukan untuk tatalaksana gangguan kontrol
impuls di antaranya adalah titrasi terapi dopaminergik dengan berbagai tingkatan,
perubahan terapi dopaminergik, strategi manajemen perilaku, intervensi
psikologis, dan farmakoterapi ajuvan. Tujuan utamanya adalah mengontrol gejala
penyakit Parkinson namun dengan mengurangi risiko gangguan kontrol impuls
dan menghindari gejala withdrawal. Tindakan pertama yang perlu dilakukan
adalah menilai dosis dan kontribusi obat dopaminergik yaitu dengan
menyesuaikan dosis terapi dan tidak menghentikan tiba-tiba terapi agonis
dopamin untuk menghindari gejala withdrawal. Hal ini perlu dilakukan sebelum
memberikan terapi perilaku kognitif (cognitive behavioral therapy) dan terapi ini
perlu dilakukan setidaknya selama 6 bulan dengan frekuensi kunjungan rumah
yang tinggi. Terapi naltrekson menimbulkan efek samping yang cukup tinggi
sehingga tidak direkomendasikan sementara terapi amantadin dapat diberikan bila

36
modifikasi terapi agonis dopamin tidak berhasil. Penurunan dosis agonis dopamin
dapat menimbulkan gejala disforia dan mood yang menurun serta gejala motorik.
Pasien dengan gangguan kontrol impuls perlu berada dalam pengawasan dokter
spesialis dan perubahan dosis dopaminergik hanya boleh dilakukan oleh dokter
spesialis. Perlu diingat bahwa pasien dengan gangguan kontrol impuls
kemungkinan tidak merasa kondisinya tersebut bermasalah karena insight yang
menurun namun gangguan tersebut menjadi beban bagi keluarga dan perawat
pasien serta dapat membahayakan.

Rekomendasi
93. Jika seorang pasien penyakit Parkinson mengalami gangguan kontrol impuls
yang bermasalah, konsultasikan dengan dokter spesialis sebelum memodifikasi
terapi dopaminergik.
94. Diskusikan hal-hal berikut dengan pasien dan anggota keluarga serta perawat
pasien: bagaimana gangguan kontrol impuls telah mempengaruhi hidupnya,
kemungkinan terapi yang dapat diberikan (mengurangi atau menghentikan terapi
dopaminergik), dan manfaat dan kerugian mengurangi ataupun menghentikan
terapi dopaminergik.
95. Saat memanajemen gangguan kontrol impuls, modifikasi terapi dopaminergik
dengan cara secara gradual menurunkan dosis agonis dopamin. Pantau apakah
gangguan kontrol impuls membaik dan apakah pasien mengalami gejala
withdrawal agonis dopamin.
96. Tawarkan terapi perilaku kognitif yang bertujuan untuk gangguan kontrol
impuls jika modifikasi terapi dopaminergik tidak efektif.

3. 12. Perawatan Paliatif


Kebutuhan pasien dengan penyakit Parkinson untuk rencana perawatan
paliatif sepanjang perjalanan penyakitnya di antaranya adalah: kebutuhan
informasi pasien (kuasa hukum, memberi informasi bagi keluarga dan perawat
pasien, dukungan psikiatri, dukungan sosial), kebutuhan anggota keluarga dan
perawat pasien (informasi, dukungan psikiatri, dukungan sosial), penggunaan
fasilitas dan biayanya, manajemen nutrisi di akhir hidup, manajemen pengobatan

37
di akhir hidup, dan kualitas hidup perawat pasien. Informasi yang cukup dan
pemahaman mengenai diagnosis, prognosis dan ketersediaan layanan dukungan
merupakan luaran yang terpenting bagi pasien dan perawat pasien. Selain itu,
informasi mengenai perencanaan akhir hidup dan pengaturan finansial dan sosial,
serta kuasa hukum dan pembuatan wasiat juga merupakan luaran yang dianggap
penting bagi pasien dan anggota keluarganya. Selain penyampaian informasi,
pasien dan keluarga juga perlu diberi kesempatan untuk mendiskusikan perawatan
paliatif sejak tahap awal penyakit, perbedaan perawatan paliatif dan perawatan
akhir kehidupan, pengobatan dopaminergik di akhir kehidupan. Waktu yang tepat
untuk mendiskusikan perawatan akhir kehidupan pada saat kondisi pasien mulai
menurun dari segi gejala motorik dan non-motorik.

Rekomendasi
97. Tawarkan pasien penyakit Parkinson dan anggota keluarga serta perawat pasien
(sewajarnya) kesempatan untuk mendiskusikan prognosis kondisi pasien.
Diskusi ini bertujuan mengetahui prioritas pasien, pembuatan keputusan
bersama, dan perawatan yang berfokus pada pasien.
98. Tawarkan pasien penyakit Parkinson dan anggota keluarga serta perawat pasien
(sewajarnya) informasi secara langsung dan tertulis mengenai hal-hal berikut
dan catat hasil diskusi:
- Progresi penyakit Parkinson
- Kemungkinan efek samping pengobatan penyakit Parkinson pada penyakit tahap
lanjut
- Perencanaan perawatan lanjutan, termasuk Keputusan untuk Menolak Terapi
dan keinginan untuk tidak di resusitasi (Do Not Attempt Resuscitation/ DNA
CPR), dan Surat Kuasa Abadi untuk finansial dan/atau perawatan kesehatan dan
sosial.
- Pilihan untuk tatalaksana selanjutnya
- Apa yang akan terjadi di akhir kehidupan
- Layanan dukungan yang tersedia, seperti perawatan diri, dukungan alat dan
praktis, dukungan dan nasihat keuangan, perawatan di rumah dan perawatan
istirahat.

38
99. Saat mendiskusikan perawatan paliatif, ketahui bahwa anggota keluarga dan
perawat pasien mungkin memiliki kebutuhan informasi yang berbeda dari pasien
penyakit Parkinson.
100. Pertimbangkan merujuk pasien pada tahap penyakit Parkinson mana pun ke tim
perawatan paliatif untuk memberi pasien dan anggota keluarga atau pun perawat
pasien (sewajarnya) kesempatan untuk mendiskusikan perawatan paliatif dan
perawatan di akhir kehidupan.

BAB IV
SIMPULAN

Penyusunan Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK)


penanganan penyakit parkinson yang berisi pedoman layanan pasien penyakit
parkinson mulai dari diagnosis sampai dengan pengobatan secara komprehensif
telah dapat diselesaikan.
Besar harapan kami agar PNPK penanganan penyakit parkinson ini dapat
menjadi acuan dalam menyusun Panduan Praktik Klinik (PPK) di fasilitas
kesehatan baik di tingkat primer sampai dengan tingkat tersier. Dan tidak
menutup kemungkinan akan mengalami revisi, mengikuti perkembangan dan
kemajuan ilmu kedokteran dan teknologi.

39

Anda mungkin juga menyukai