Anda di halaman 1dari 31

Halaman Judul

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BEDAH


NOMOR 1154/PER/RSI-SA/I/2020

1
PERATURAN DIREKTUR UTAMA RUMAH SAKIT ISLAM SULTAN AGUNG
NOMOR 1154 /PER/RSI-SA/I/2020
TENTANG
PANDUAN PRAKTIK KLINIS BEDAH
DI RUMAH SAKIT ISLAM SULTAN AGUNG

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM
DIREKTUR UTAMA RUMAH SAKIT ISLAM SULTAN AGUNG

Menimbang : a. bahwa penyusunan standar pelayanan kedokteran bertujuan untuk memberikan


jaminan kepada pasien untuk memperoleh pelayanan kedokteran yang
berdasarkan nilai ilmiah sesuai dengan kebutuhan medis pasien serta
mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan kedokteran yang diberikan
oleh dokter dan dokter gigi;
b. bahwa sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan pelayanan klinis Bedah perlu
penyempurnaan Panduan Praktik Klinis Bedah sebagai acuan pelayanan klinis
Bedah;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf b, perlu
ditetapkan Peraturan Direktur Utama Rumah Sakit Islam Sultan Agung tentang
Panduan Praktik Klinis Bedah;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 Tentang Rumah Sakit;


2. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1438/Menkes/Per/IX/2010 Tentang
Standar Pelayanan Kedokteran;
3. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 755/Menkes/PER/IV/2011 tentang
Penyelenggaraan Komite Medik di Rumah Sakit;
4. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor 107/DSN-
MUI/IX/2016 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Rumah Sakit Berdasarkan Prinsip
Syariah;
5. Keputusan Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung Nomor 12/SK/YBW-SA/II/2018
tentang Pengangkatan dr. H. Masyhudi AM, M.Kes sebagai Direktur Utama Rumah
Sakit Islam Sultan Agung Masa Bakti 2018 – 2022;

MEMUTUSKAN

Menetapkan : PERATURAN DIREKTUR UTAMA RUMAH SAKIT ISLAM SULTAN AGUNG TENTANG
PANDUAN PRAKTIK KLINIS BEDAH.

2
Pasal 1

Panduan Praktik Klinis adalah panduan prosedur standar dalam pelayanan dan perawatan kepada
pasien yang harus diketahui dan dijalankan oleh seorang dokter untuk melaksanakan kegiatan
kesehatan secara optimal, professional, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Pasal 2

Panduan Praktik Klinis bagi dokter di Rumah Sakit bertujuan untuk memberikan acuan bagi dokter
dalam memberikan pelayanan di Rumah sakit dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan.

Pasal 3

Panduan Praktik Klinis Dokter di Rumah Sakit meliputi pedoman penatalaksanaan terhadap penyakit,
diambil berdasarkan kriteria:
1. Penyakit yang prevalensinya cukup tinggi;
2. Penyakit yang membutuhkan biaya tinggi; dan
3. Penyakit yang risiko tinggi.

Pasal 3

Pada saat Peraturan Direktur Utama ini berlaku, Surat Keputusan Direktur Utama Nomor
557.3/PER/RSISA/V/2019 tentang Panduan Praktik Klinik Bedah dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.

Pasal 4
Peraturan Direktur Utama Rumah Sakit Islam Sultan Agung ini berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Semarang
Pada tanggal 12 Jumadil Awwal 1441 H
08 Januari 2020 M

DIREKTUR UTAMA
RUMAH SAKIT ISLAM SULTAN AGUNG

Dr. H. MASYHUDI AM, M.Kes.

3
PENYUSUN
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
BEDAH

1. dr.H. Bambang Sugeng, FINAC, FICS Dokter Spesialis Bedah


2. dr. R. Vito Mahendra Ekasaputra, M.Si.Med.,Sp.B Dokter Spesialis Bedah
3. dr. Ivo Devi Kristyani, M.Si.Med., Sp.B Dokter Spesialis Bedah
4. dr. Eko Setiawan, Sp.B Dokter Spesialis Bedah
5. dr. Erie Bambang Prijono Setyabudi Andar, Sp.BS Dokter Spesialis Bedah Saraf
6. dr. Gunadi Kusnarto, Sp.BS (K) Dokter Spesialis Bedah Saraf
7. dr. Pujisriyani, Sp.BP-RE Dokter Spesialis Bedah Plastik
8. dr. M. Aulia Ul Hakim,Sp.BP-RE Dokter Spesialis Bedah Plastik
9. dr. Sahal Fatah, Sp.B, Sp.BTKV Dokter Spesialis Bedah Vaskuler
10. dr. Rudiyuwono Raharjo, Sp.B., Sp.BA Dokter Spesialis Bedah Anak
11. dr. Erik Prabowo, Sp.B-KBD Dokter Spesialis Bedah Digestif
12. dr. Johnny Syoeib, Sp.B-KBD Dokter Spesialis Bedah Digestif

4
DAFTAR ISI

halaman Judul ....................................................................................................................................... 1


Peraturan Direktur Utama .................................................................................................................... 2
Panduan Praktik Klinis Bedah ................................................................................................................ 2
Penyusun .............................................................................................................................................. 4
Daftar Isi ............................................................................................................................................... 5
Kata Pengantar ..................................................................................................................................... 6
Pendahuluan ......................................................................................................................................... 7
Panduan Praktik Klinis Apendisitis Akut ................................................................................................ 8
Panduan Praktik Klinis Hemoroid ........................................................................................................ 13
Panduan Praktik Klinis Cedera Kepala ................................................................................................. 16
Panduan Praktik Klinis Fraktur ............................................................................................................ 18
Panduan Praktik Klinis Batu Traktus Urinarius ................................................................................... 20
Panduan Praktik Klinis Cholelithyasis ................................................................................................. 22
Panduan Praktik Klinis Tetanus ........................................................................................................... 24
Panduan Praktik Klinis Hernia Inguinalis ............................................................................................. 29
Penutup .............................................................................................................................................. 31

5
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Demi kelancaran Pelayanan Medis di Bagian Dokter Bedah, maka perlu dibuat Prosedur
Tetap dalam bentuk Panduan Praktik Klinis sebagai acuan dokter Bedah dalam bertugas. Adanya
buku ini diharapkan menjadi pedoman kerja bagi tenaga medis dan pihak terkait dalam
meningkatkan pelayanan, selain itu juga dapat menjadi bahan referensi.
Pada kesempatan ini disampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua Staf
Medis atas kerjasamanya yang baik dalam menyusun buku prosedur tetap Bedah ini.
Kami berharap agar keberhasilan yang telah dicapai akan memacu kita semua untuk turut
menambah buku-buku ilmiah yang berguna bagi peningkatan pelayanan Bedah.
Semoga keberadaan buku Panduan Praktik Klinis ini bermanfaat.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Semarang, 8 Januari 2020

Penyusun

6
LAMPIRAN
PERATURAN DIREKTUR UTAMA
RUMAH SAKIT ISLAM SULTAN AGUNG
NOMOR 1154/PER/RSI-SA/I/2020
TENTANG PANDUAN PRAKTIK KLINIS BEDAH

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pelayanan medis adalah pelayanan kesehatan perorangan; lingkup pelayanan adalah
segala tindakan atau perilaku yang diberikan kepada pasien dalam upaya promotif, preventif,
kuratif dan rehabilitatif. Substansi pelayanan medis adalah pratik ilmu pengetahuan dan
teknologi medis yang telah ditapis secara sosio – ekonomi –budaya yang mengacu pada aspek
pemerataan, mutu dan efsiensi, sehingga dapat memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat
akan pelayanan medis.
Untuk menyelenggarakan pelayanan medis yang baik dalam arti efektif, efisien dan
berkualitas serta merata dibutuhkan masukan berupa sumber daya manusia, fasilitas, prafasilitas,
peralatan, dana sesuai dengan prosedur serta metode yang memadai
Saat ini sektor kesehatan melengkapi peraturan perundang-undangannya dengan
disahkannya Undang-undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pada bulan Oktober
2004 yang diberlakukan mulai bulan Oktober 2005. Pengaturan praktik kedokteran bertujuan
untuk memberikan perlindungan kepada pasien, mempertahankan dan meningkatkan mutu
pelayanan medis yang diberikan oleh dokter/dokter Bedah, serta memberikan kepastian hukum
kepada masyarakat dan dokter/dokter Bedah.
Panduan praktik klinis (Clinical practice guidelines) merupakan panduan yang berupa
rekomendasi untuk membantu dokter atau dokter Bedah dalam memberikan pelayanan
kesehatan. Panduan ini berbasis bukti (berdasarkan penelitian saat ini) dan tidak menyediakan
langkah-pendekatan untuk perawatan dan pengobatan, namun memberikan informasi tentang
pelayanan yang paling efektif. Dokter atau dokter Bedah menggunakan panduan ini sesuai
dengan pengalaman dan pengetahuan mereka untuk menentukan rencana pelayanan yang tepat
kepada pasien
B. Tujuan
1. Meningkatkan mutu pelayanan pada keadaan klinis dan lingkungan tertentu
2. Mengurangi jumlah intervensi yang tidak perlu atau berbahaya
3. Memberikan opsi pengobatan terbaik dengan keuntungan maksimal
4. Memberikan opsi pengobatan dengan risiko terkecil
5. Mamberikan tata laksana dengan biaya yang memadai

7
PANDUAN PRAKTIK KLINIS APENDISITIS AKUT

1 Definisi (Pengertian) Apendisitis akut adalah radang appendix vermiformis, merupakan


gawat darurat rongga abdomen yang paling sering didapati. Angkanya
di Indonesia belum ada, namun lebih dari 40.000 kasus didapati tiap
tahunnya di Inggris Raya dan 25.000 di Amerika Serikat. Lebih banyak
mengenai penderita laki dibanding wanita (1.4 : 1) dan tersering
didapati pada usia 10 – 20 tahun, meskipun anak dan orang tua juga
dapat dikenainya. Masalah pada apendisitis akut adalah keterlambatan
diagnosis yang mengakibatkan keterlambatan terapi dan tingginya
angka morbiditas dan mortalitas. Sebaliknya angka apendektomi
negatif juga masih banyak didapati, antara lain disebabkan tidak
semua penderita memperlihatkan gejala klinik yang khas.
2 Anamnesis Anamnesis yang mencurigakan adanya apendisitis adalah rasa nyeri
perut berupa :
1. nyeri berpindah dari periumbilikal / mid-epigastric ke perut kanan
bawah
2. nyeri perut kanan bawah
3. nyeri sewaktu muntah. Mual dan muntah meskipun merupakan
gejala apendisitis, umum didapati pada banyak kelainan traktus
gastrointestinal lainnya, sehingga tidak dapat menambah akurasi
diagnosis apendisitis.
3 Pemeriksaaan fisik Pemeriksaan fisik yang prediktif apendisitis terutama adalah nyeri
tekan perut kanan bawah dan rigidity pada titik Mc Burney. Kurang
prediktif adalah tanda rangsangan peritoneum lain seperti nyeri lepas,
psoas sign dan suhu lebih dari 38.3 derajat Celcius. Yang tidak
bermakna banyak adalah nyeri pada colok dubur dan Rovsing sign.
Meski spesifisitas iliopsoas sign 79 – 95%, namun sensitivitasnya
rendah (13 – 42%) dan hanya 4% dari dokter melakukannya dengan
benar. Demikian juga obturator sign, memiliki sensitivitas hanya 8%
meski spesifitasnya 94%.
4 Pemeriksaan 1. Laboratorium. Pemeriksaan laboratorium apendisitis sama dengan
penunjang pemeriksaan laboratorium kelainan abdomen lainnya, minimal
berupa darah rutin, tes fungsi hepar, urinalisis dan tes kehamilan
pada wanita usia subur. Tambahan pemeriksaan sesuai dengan
indikasi seperti gula darah dan faal ginjal. Hitung lekosit dan
adanya “shift to the left” merupakan pemeriksaan yang bermakna.
Demikian pula kadar C-reaktif protein bila digabungkan dengan
pemeriksaan lainnya. Kadar CRP yang lebih dari 5 menunjukkan
kemungkinan apendisitis bila digabungkan dengan pemeriksaan
lainnya.

8
Urinalisis merupakan pemeriksaan penting karena nyeri abdomen
juga sering disebabkan kelainan traktus urogenital. Urinalisis
abnormal didapati pada 48% kasus apendisitis, dikarenakan letak
apendiks yang dekat ureter, karenanya interpretasi urinalisis harus
hati-hati.
2. Foto polos abdomen. Untuk mendukung diagnosis apendisitis, foto
polos abdomen tidak spesifik, sangat tidak sensitif dan tidak
banyak manfaatnya. Berguna untuk melihat apakah ada obstruksi
atau perforasi
3. Kontras Barium. Banyak yang berpendapat kontras barium /
apendikogram tidak banyak manfaatnya untuk penegakan
diagnosis apendisitis. Selain tidak nyaman untuk penderita,
sensitifitas dan spesifitasnya rendah. Di Rumah Sakit Islam Sultan
Agung meski dapat dilakukan, bukan merupakan pemeriksaan
penunjang pilihan
4. Ultrasonografi. Graded compression pada waktu pemeriksaan USG
dapat meningkatkan sensitivitas. Diagnosis apendisitis ditegakkan
bila apendiks visualize , non kompresibel dengan diameter > 7 mm.
Non visualize apendiks tidak selalu serta merta dianggap bukan
apendisitis, oleh beberapa ahli radiologi dianggap sebagai non-
diagnostik saja. Kelemahan lain pemeriksaan USG apendiks selain
operator dependent, adalah sulit pada orang gemuk dan apendiks
letak retrocaecal.
Keunggulan pemeriksaan USG terbukti dapat menurunkan angka
negatif apendektomi dari 20% ke angka 3% saja, aman pada wanita
hamil dan anak-anak
5. CT-Scan. Sensitivitas CT-scan apendisitis 90 – 100%, spesifisitas 91
– 99%, PPV 92 – 98% dan NPV 95 – 100%. Apendisitis pada CT-scan
adalah bila : 1. Pelebaran lumen apendiks (> 6 mm disertai
gambaran inflamasi, atau > 8mm tanpa inflamasi) 2. Penebalan
dinding apendiks > 2mm 3. Adanya apendikolith (>30%) 4.
Inflamasi periapendiks. Bila didapati apendiks non visualize atau
tidak ada tanda inflamasi, maka diagnosis apendisitis dapat
dikesampingkan. Kelemahan CT-scan adalah mahal dan bahaya
radiasi. Di Rumah Sakit Islam Sultan Agung dilakukan pada kasus
yang meragukan dengan pemeriksaan penunjang lain
6. Laparaskopi. Laparaskopi selain untuk terapi dapat pula dilakukan
untuk diagnostik bila pemeriksaan penunjang lain tidak konklusif
dan keluhan penderita tidak berkurang. Tidak pernah dilakukan di
Rumah Sakit Islam Sultan Agung.

5 kriteria Diagnosis Berdasarkan penggabungan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang

9
baik, ketepatan diagnosis apendisitis akut sebesar 78 – 92% pada laki-
laki dan 58 – 92% pada wanita. Ketepatan lebih meningkat dengan
pemeriksaan penunjang.
Skoring diagnosis pada apendisitis akut
Skoring apendisitis yang banyak dipergunakan adalah skor
Alvarado atau MANTRELS (1986), terdiri dari 3 gejala (nyeri berpindah,
anoreksia dan mual/muntah), 3 pemeriksaan fisik (nyeri tekan, nyeri
lepas dan demam) serta 2 pemeriksaan laboratorium (lekositosis dan
“left shift”). Diagnosis apendisitis sangat mungkin bila skor diatas 7.
Skoring lain dengan menggabungkan kadar CRP, hasilnya tidak terlalu
berbeda banyak.
6 Diagnosa Kerja Apendiksitis akut
7 Diagnosa Banding Diagnosis banding apendisitis sangat banyak, baik kelainan traktus
digestivus, urogenital, ginekologis maupun kelainan non-bedah. Salah
satu contoh diagnosis banding yang diusulkan untuk dipikirkan adalah
sbb :

10
8 Terapi Karena morbiditas dan mortalitas komplikasi tinggi, maka usus buntu
yang meradang harus dilakukan pembedahan sebelum terjadinya
perforasi atau abses. Sebelum tindakan operasi, penanganan
pendahuluan adalah mempuasakan pasien, memberikan infus dan
antibiotika. Pemberian anti nyeri sebelum diagnosis ditegakkan
merupakan kontroversi, namun bila penderita kesakitan pemberian
antinyeri dianjurkan. Waktu operasi dianjurkan kurang dari 24 jam
setelah gejala pertama muncul, agar tidak terjadi perforasi.
Operasi apendisitis akut dilakukan dengan insisi “grid iron” / muscle
splitting pada Mc Burney dan umumnya dapat diselesaikan. Pada
keadaan tertentu, misalnya perlengketan dan apendiks retrosaekal
kadang diperlukan perluasan sayatan. Bila sudah perforasi dan jelas
terjadi peritonitis generalisata, operasi dilakukan dengan laparotomi /
celiotomi pada garis median atau paramedian kanan.
Operasi laparaskopi merupakan pilihan lain dan banyak memberikan

11
keuntungan, seperti waktu tinggal rumah sakit lebih singkat,
penyembuhan luka lebih baik dan lebih mudah dilakukan pada
penderita gemuk. Kerugiannya mahal.
9 Edukasi Apendisitis akut tidak berhubungan dengan konsumsi buah-buahan
berbiji, sehingga penderita tidak usah takut memakan buah-buahan
sesudah operasi apendektomi. Tindakan operasi diperlukan untuk
mencegah bahaya perforasi yang bisa mengakibatkan peritonitis difusa
10 Prognosis Baik
11 Kompetensi Dokter Bedah umum, bedah digestif
12 Indikator medis Ketepatan kriteria diagnosa
Site marking
13 Kriteria pasien 1. Keadaan Umum Baik
pulang rawat inap 2. Skala nyeri ringan
14 Kepustakaan 1. Sjamsuhidajat R, de Jong Wim ed 2: Buku Ajar Ilmu Bedah : 640 -
646
2. Williams S Norman, Bulstrode CJK, O’Connel PR : Bailey & Love’s
Short Practice of Surgery 27th ed: 1204 – 1218

12
PANDUAN PRAKTIK KLINIS HEMOROID

1 Definisi Hemoroid adalah pelebaran plexus vena anus, biasanya plexus vena
(Pengertian) hemoroidalis internus yang mengakibatkan perubahan pada bantalan anus /
anal cushion. Pelebaran plexus vena banyak sekali didapati namun sebagian
besar asimptomatis; karenanya hemoroid di artikan sebagai pelebaran plexus
dan anal cushion yang menimbulkan keluhan pada penderita. Hemoroid
eksterna jarang dijumpai, biasanya merupakan kelanjutan dari hemoroid
interna (hemoroid interna-eksterna)
2 Anamnesis 1. Perdarahan per anus. Perdarahan peranum merupakan keluhan utama dan
muncul sejak awal. Darah keluar bersamaan atau sesudah buang air besar,
mula-mula sedikit kemudian makin banyak dan sering. Sesudah buang air
besar, darah keluar menetes.
2. Prolaps. Berikutnya penderita mengeluh keluar benjolan bersamaan
dengan buang air besar dan dapat masuk kembali spontan. Bila dibiarkan
lama-lama benjolan yang keluar tidak dapat masuk sendiri dan harus
dimasukkan dengan jari. Benjolan kemudian keluar bahkan tanpa menyertai
buang air besar, misalnya sewaktu kegiatan fisik bahkan kegiatan fisik yang
ringan sekalipun. Dan benjolan hemoroid yang keluar pada akhirnya tidak
bisa dimasukkan lagi / prolaps
3. Discharge. Discharge berupa mukus menyertai prolaps hemoroid dan
sangat mengganggu karena menyebabkan daerah anus selalu basah
4. Nyeri. Hemoroid yang tanpa komplikasi tidak menimbulkan nyeri, hanya
perasaan tidak nyaman saja. Adanya yeri menunjukkan komplikasi seperti
infeksi atau thrombus
3 Pemeriksaaan 1. Inspeksi. Pada hemoroid stadium 1 atau 2 pemeriksaan pada anus tidak
fisik ditemukan kelainan, karena pelebaran venanya berada didalam anus. Pada
hemoroid stadium lanjut terlihat benjolan pada jam 3, 7, 11 atau adanya
lipatan kulit dan skin tag. Bila penderita diminta mengejan, benjolan baru
terlihat keluar pada stadium 2 dan 3.
2. Pemeriksaan Colok Dubur. Pemeriksaan colok dubur pada hemoroid
interna tidak akan menemukan benjolan apapun, karena vena yang
melebar akan kolaps. Kecuali bila telah terjadi thrombus, akan teraba
benjolan thrombus.
3. Proktoskopi. Dengan pemeriksaan proktoskopi, akan terlihat pelebaran
vena di anus di lumen alat protoskopi / anuskopi. Pemeriksaan ini
diperlukan pada hemoroid derajat 1 atau 2.
4. Sigmoidoskopi. Sigmoidoskopi diperlukan bila ada kecurigaan kelainan lain
diatas anus, misalnya tumor / polip pada rektum yang menyebabkan
perdarahan dan gejalanya mirip hemoroid

13
4 Pemeriksaan Tidak diperlukan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis
penunjang hemoroid.
5 kriteria Diagnosis hemproid mudah dilakukan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik
Diagnosis daerah anus dan pemeriksaan colok dubur pada stadium 4 dan 4, namun sulit
bila dalam stadium awal.
1. Hemoroid derajat 1: keluhan perdarahan waktu defekasi, hanya bisa
didiagnosis dengan anuskopi
2. Hemoroid derajat 2: prolaps waktu defekasi, namun masih bisa masuk
spontan
3. Hemoroid derajat 3: prolaps waktu defekasi dan tidak dapat masuk spontan
harus dimasukan dengan jari penderita
4. Hemproid derajat 4: prolaps dan tidak dapat dimasukan
6 Diagnosa Hemoroid
Kerja
7 Diagnosa 1. Keganasan pada kolon dan rektum
Banding 2. Tuberkulosis kolon dan rektum
3. Prolaps rekti
8 Terapi Prioritas penanganan adalah konfirmasi diagnosis hemoroid dan
menyingkirkan penyakit lain yang gejalanya buang air besar disertai darah,
terutama karsinoma kolon. Hemoroid derajat 1 dan 2 penanganannya secara
medikamentosa, diit tinggi serat, diit mengurangi berat badan dan mengurangi
kebiasaan mengejan pada defekasi.
Terapi operatif dilakukan pada derajat 3 dan 4, berupa :
1. Banding dengan Barron’s bander
2. Operasi terbuka Milligan-Morgan
3. Stapled hemorhoidectomy (Longo)
Komplikasi operasi dapat berupa :
1. Nyeri
2. Perdarahan reaksioner
3. Retensi urin
4. Perdarahan sekunder
5. Striktur ani
6. Inkontinens
9 Edukasi Pada hemoroid stadium 1 dan 2, diit tinggi serat dan kebiasaan defekasi dapat
mengurangi dan menyembuhkan. Bila penderita gemuk sehingga tekanan
abdomen tinggi, dianjurkan juga mengurangi berat badan. Setelah operasi
pada derajat 3 dan 4, untuk mencegah kekambuhan juga dianjurkan diit tinggi
serat.
10 Prognosis Prognosis untuk kesembuhan baik, penderita dapat sembuh sempurna dengan
terapi konservatif maupun operatif
11 Kompetensi Bedah Umum, Bedah Digestif

14
12 Indikator
medis No Konten Ya Tidak Keterangan
1 Lama hari rawat

13 Kriteria pasien 1. Luka Operasi Baik


pulang rawat 2. Keadaan umum baik
inap 3. Skala nyeri daerah operasi 3
14 Kepustakaan 1. Brunicardi FC et al : Schwartz’s Principles of Surgery, 11th ed
2. Samsjuhidayat, de Jong : Buku Ajar Bedah edisi 3
3. Williams N, Bulstrode CJK, O’Connel P : Bailey & Love’s Short Practice of
Surgery 25th ed

15
PANDUAN PRAKTIK KLINIS CEDERA KEPALA

1 Definisi Cedera pada kepala dapat menyebabkan cedera pada otak, sehingga
(Pengertian) sebenarnya yang merupakan masalah adalah cedera pada otak, Traumatic
Brain Injury / TBI. Merupakan trauma yang sering terjadi pada golongan
umur muda akibat kecelakaan lalulintas dengan mortalitas dan morbiditas
tinggi.
2 Anamnesis Adanya trauma / cedera pada kepala yang biasanya merupakan trauma
multipel.
3 Pemeriksaaan Karena merupakan bagian dari cedera multipel dan biasanya akibat
fisik kecelakaan lalulintas, dilakukan survey primer ABCD dan resusitasi secara
simultan untuk menstabilkan fisiologi penderita. Diperiksa jalan napas
apakah paten atau tidak sambil dipasang cervical collar. Bila ada gangguan
jalan napas segera dibebaskan dengan basic airway manuver, bila perlu
dipasang jalan napas definitif. Breathing diperiksa dan dilakukan resusitasi.
Bila ada trauma penyerta yang menyebabkan shock hemoragik segera
hentikan perdarahan dan infus RL. Pemeriksaan disability untuk memeriksa
Glasgow Coma Scale, pupil dan nerologis.
Selain pemeriksaan GCS dan pupil, perlu diperiksa apakah ada
fraktur tulang tengkorak atau tidak. Fraktur cranium bisa terjadi pada atap
tengkorak dan dasar tengkorak / basis cranii.
4 Pemeriksaan Pemeriksaan Brain CT-scan tanpa kontras bila terdapat penurunan GCS atau
penunjang ada indikasi lain (sakit kepala hebat, mual dan muntah).
5 kriteria Diagnosis Setelah ABC stabil, dilakukan pemeriksaan Glasgow Coma Scale
untuk menentukan berat ringannya cedera kepala. Glasgow Coma Scale /
GCS terdiri dari 3 komponen yaitu E (eye opening), M (best motor response)
dan V (verbal respons).
1. Cedera Kepala Ringan / CKR : GCS 14 – 15
2. Cedera Kepala Sedang / CKS : GCS 9 – 13
3. Cedera Kepala Berat / CKB : GCS < atau 8
Fraktur cranium ditandai dengan deformitas pada atap tengkorak. Perlu
didiagnosis apakah ada fraktur tulang temporal yang dapat mengakibatkan
perdarahan epidural. Fraktur basis cranii ditandai dengan perdarahan
hidung / telinga, Battle’s sign, raccoon’s eyes atau keluarnya cairan
cerebrospinal.
5 Diagnosa Kerja Sindrom koroner akut dengan elevasi segmen ST
6 Diagnosa
Banding
7 Terapi 1. Karena merupakan bagian dari trauma multipel, penanganan dimulai
dengan ABC
2. Untuk CKR dilakukan observasi di UGD selama paling kurang 2 jam. Bila

16
keadaan membaik, penderita bisa dipulangkan dengan nasehat untuk
segera kembali ke rumah sakit bila ada keluhan seperti sakit kepala dan
kesadaran yang menurun
3. Pada penderita dengan CKS dilakukan CT-scan untuk melihat apakah
ada kontusio / perdarahan, dan tekanan intrakranial yang meningkat.
Selanjutnya penderita dirawat di ruangan untuk diobservasi selama
paling kurang 24 jam. Pada observasi di ruangan dilihat apakah ada
perbaikan / perburukan dan apakah ada indikasi untuk dilakukan
intervensi bedah seperti adanya EDH atau subdural hematom dengan
tekanan intrakranial yang tinggi
4. Pada penderita CKB, selalu dipasang jalan napas definitif dan dirawat di
ruang intensif untuk mendapatkan bantuan napas dengan mesin
pernapasan.
9 Edukasi Edukasi dilakukan pada keluarga yang merawat penderita dengan CKR di
rumah. Penderita dibangunkan tiap 2 jam pada 24 jam pertama untuk
mengetahui apakah ada tanda perburukan kesadaran atau tidak. Penderita
harus ada yang menemani di rumah. Perasaan sakit kepala, mual dan
muntah mungkin dapat menetap beberapa minggu / bulan. Penderita
jangan bekerja berat
Pada penderita dengan CKS, perawatan diperlukan untuk mencegah
terjadinya cedera sekunder yaitu edema otak.
Sedang pada CKB dilakukan edukasi bahwa prognosis untuk hidup
tidak baik, dan bila sembuh kemungkinan ada gejala sisa seperti ingatan
yang berkurang atau cacat fisik.
10 Prognosis 1. CKR biasanya baik
2. CKS kurang baik
3. CKB buruk
11 Kompetensi Dokter spesialis bedah saraf
12 Indikator medis 1. Menilai GCS
2. Craniotomy pada CKS, CKB sesuai indikasi
13 Kriteria pasien 1. Keadaan umum baik
pulang rawat 2. Tidak ada infeksi daerah operasi
inap
14 Daftar Pustaka 1. Student Manual ATLS edisi 9 th 2012 - ACS

17
PANDUAN PRAKTIK KLINIS FRAKTUR

1 Definisi Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan/atau tulang


(Pengertian) rawan yang biasanya disebabkan oleh trauma. Fraktur patologis terjadi
pada geriatri dan penderita kelainan tulang seperti tumor. Fraktur tulang
saja jarang mengancam nyawa, kecuali menyebabkan gangguan fisiologis
seperti terjadinya gangguan jalan napas pada fraktur mandibulla,
hemotoraks dan shock hemoragik akibat fraktur pelvis. Fraktur tulang
selalu disertai dengan kerusakan jaringan lunak.
Fraktur tertutup adalah fraktur dimana tulang tidak berhubungan dengan
dunia luar, sedang fraktur terbuka bila fragmen tulang berhubungan
dengan dunia luar. Fraktur terbuka derajat 1 bila luka kecil, kurang dari 2
sentimeter dan biasanya disebabkan fragmen tulang yang keluar
menembus kulit. Fraktur terbuka derajat 2 bila luka lebar lebih dari 2
sentimeter, kerusakan jaringan lunak banyak dan biasanya disebabkan
trauma tumpul. Fraktur terbuka derajat 3 bila kerusakan jaringan lunaknya
luas.
2 Anamnesis Pada anamnesis biasanya diketahui adanya trauma yang cukup signifikan
yang mengakibatkan fraktur. Penderita mengeluh nyeri pada tempat
fraktur, bengkok atau hanya bengkak / deformitas, nyeri bila digerakkan
atau samasekali tidak dapat digerakkan. Bila terdapat gangguan
neurovaskuler distal fraktur maka penderita juga mengeluh kesemutan
atau gangguan sensibilitas / motorik dan mencari komplikasi sindroma
kompartemen.
3 Pemeriksaaan Biasanya dengan pemeriksaan fisik saja dapat mendiagnosis patah tulang.
fisik Inspeksi terlihat tempat fraktur bengkak, bengkok, luka, dan pada fraktur
terbuka bisa terlihat fragmen tulang menonjol. Pada palpasi didapati nyeri
pada tempat fraktur dan teraba krepitasi. Harus diperiksa denyut arteri
distal fraktur untuk mengetahui adanya gangguan vaskuler. Bila perlu
penderita diminta menggerakkan tulang yang patah, meski harus diingat
bahwa ekstremitas yang dapat digerakkan bukan berarti tidak fraktur.
4 Pemeriksaan Pemeriksaan penunjang rontgen foto selain untuk konfirmasi, sebenarnya
penunjang dimaksudkan untuk merencanakan penatalaksanaan fraktur yang optimal.
Syarat foto pada ekstremitas adalah memperlihatkan 2 sendi di sebelah
proksimal dan distal fraktur, 2 pandangan AP dan lateral, dan bila perlu 2
ekstremitas (kanan dan kiri) untuk perbandingan. Dengan foto rontgen
diketahui garis fraktur, dislokasi antar fragmen, terjadi kontraksi atau
distraksi pada fragmen tulangnya.
5 kriteria Diagnosis
6 Diagnosa Kerja Diagnosis patah tulang sebagian besar dapat dilakukan dengan anamnesis
dan pemeriksaan fisik inspeksi, palpasi dan menggerakkan ekstremitas /

18
tulang yang patah. Hanya sebagian kecil yang perlu pemeriksaan
penunjang untuk menentukan ada tidaknya fraktur
7 Diagnosa Banding -

8 Terapi Penanganan fraktur pertama ditujukan pada trauma yang mengancam


nyawa penderita / life threatening yaitu jalan napas, ventilasi, perfusi atau
ABC. Setelah ABC stabil, baru diperiksa frakturnya dan kemungkinan limb
threatening. Yang perlu diperhatikan pada fraktur adalah jangan dilupakan
menangani jaringan lunaknya. Pada fraktur tertutup, periksa vaskuler
distal, bila ada gangguan lakukan realignment. Pada luka terbuka lakukan
wound toilet dengan saksama, perdarahan dihentikan dengan perban
tekan. Setelah itu pasang bidai meliputi sendi proksimal dan distal. Guna
bidai adalah untuk mencegah kerusakan jaringan lunak lebih lanjut,
mengurangi nyeri, mengurangi perdarahan dan mencegah emboli lemak.
Setelah memasang bidai periksa kembali denyut nadi distal fraktur. Bila
didapati sindroma kompartemen, lakukan fasciotomi.
Penanganan definitif pada fraktur dapat berupa :
1. Proteksi saja, misalnya pada fraktur inkomplit
2. Imobilisasi, pada fraktur dengan posisi baik atau fraktur inkomplit
3. Reposisi tertutup dan imobilisasi
4. Reposisi dan / atau traksi
5. Reposisi terbuka dan fiksasi interna
6. Reposisi terbuka dan fiksasi eksterna
9 Edukasi Penyembuhan fraktur memerlukan waktu dan terjadi bertahap.
Bila dipasang gips, agar dijaga tidak kotor dan patah. Bila gips terlalu ketat
dan terasa sakit serta kesemutan, penderita segera kembali ke rumah
sakit. Setelah tindakan operasi, dijaga agar tidak infeksi. Bila diperintah
dokter untuk tidak mempergunakan ekstremitas untuk sementara,
misalnya tidak menapakkan kaki atau harus memakai tongkat, harus
dipatuhi agar penyembuhan dapat sempurna.
10 Prognosis Prognosis untuk hidup umumnya baik, sedang prognosis untuk
fungsi tergantung dari frakturnya sendiri, umur penderita, penanganan,
ada tidaknya komplikasi infeksi.
11 Kompetensi Dokter spesialis bedah/spesialis ortopedi
12 Indikator medis Penandaan site marking
13 Kriteria pasien 1. Keadaan umum baik
Pulang rawat 2. Skala nyeri fraktur ringan
inap
14 Pustaka 1. Applly’s System of Orthopedics
2. Robertb. Salter- Musculosceletal

19
PANDUAN PRAKTIK KLINIS BATU TRAKTUS URINARIUS

1 Definisi Penyakit batu saluran kemih adalah adanya batu di saluran kemih baik di
(Pengertian) ginjal, ureter, buli-buli atau uretra. Merupakan kelainan nomer tiga
terbanyak dari penyakit traktus urinarius sesudah infeksi saluran kemih dan
pembesaran prostat jinak
2 Anamnesis Keluhan yang disampaikan oleh pasien tergantung letak batu, besar
batu dan komplikasi yang telah terjadi. Keluhan yang paling sering
dikemukakan adalah nyeri pada pinggang. Nyeri biasanya berupa nyeri kolik
akibat aktivitas peristaltik yang meningkat dari otot polos kaliks dan ureter
dalam usaha untuk mengeluarkan batu dari saluran kemih. Rasa nyeri dapat
dirasakan sampai ke skrotum dan paha. Nyeri non kolik terjadi akibat
peregangan kapsul ginjal karena terjadi hidronefrosis atau infeksi pada ginjal.
Batu yang terletak di distal ureter dirasakan pasien sebagai nyeri pada saat
kencing. Keluhan hematuri disebabkan adanya trauma pada mukosa saluran
kemih oleh batu. Adanya demam menunjukkan adanya infeksi dan harus
diperiksa apakah ada urosepsis.
3 Pemeriksaaan Pemeriksaan fisik mungkin tidak didapati kelainan. Hidronefrosis dapat
fisik diperiksa dengan terabanya ballotement ginjal, infeksi dapat diperiksa
dengan nyeri ketok kostovertebra. Batu di uretra dapat diperiksa dan teraba
sebagai massa keras di uretra.
4 Pemeriksaan 1. Pemeriksaan urin untuk melihat adanya infeksi dan hematuri
penunjang 2. Pemeriksaan darah rutin dan fungsi ekskresi ginjal : ureum kreatinin
3. Foto polos abdomen. Untuk melihat batu opak pada saluran kemih yaitu
kalsium oksalat dan kalsium fosfat.
4. Pielografi intravena untuk menilai anatomi dan fungsi ginjal. Bila tidak
memungkinkan dilakukan pielografi intravena, pielografi dilakukan
secara retrograd
5. Ultrasonografi pada pasien yang tidak dapat dilakukan PIV atau sebagai
penyaring
6. URS / ureteroskopi .
5 kriteria
Diagnosis
6 Diagnosa Kerja Diagnosis ditegakkan sebagai batu traktus urinarius : batu ginjal,
ureter, buli-buli atau uretra
7 Diagnosa 1. Infeksi traktus urinarius
Banding 2. Keganasan traktus urinarius
8 Terapi Batu saluran kemih harus dikeluarkan untuk mencegah timbulnya
penyulit berupa obstruksi dan infeksi. Pada batu kecil tanpa komplikasi dapat
dilakukan terapi medikamentosa, sedang batu yang tidak dapat keluar
spontan dilakukan tindakan pembedahan.
1. Medikamentosa. Ditujukan pada batu kecil (diameter kurang dai 5 mm)

20
yang diharapkan dapat keluar spontan. Terapi medikamentosa berupa
anti nyeri, diuretik dan minum banyak
2. ESWL / Extracorporeal Shockwave Lithotripsy pada batu kecil di ginjal
dan ureter proksimal tanpa kelainan anatomis traktus urogenital
3. Endourologi : PNL, litotripsi
4. Bedah Laparoskopi
5. Bedah terbuka : nefrolitotomi, ureterolitotomi, vesikolitotomi dan
uretrolitotomi
9 Edukasi Edukasi ditujukan untuk mencegah terjadinya kekambuhan, karena
rata-rata kekambuhan cukup tinggi yaitu 7% pertahun atau kurang lebih 50%
dalam waktu 10 tahun. Umumnya edukasi ditujukan :
1. Menghindari dehidrasi dengan minum cukup sehingga produksi urin
sebanyak 2 – 3 liter perhari
2. Diit untuk mengurangi kadar kadar zat pembentuk batu seperti rendah
oksalat, rendah garam dan rendah purin
3. Aktivitas harian yang cukup
4. Obat secara teratur
10 Prognosis Tergantung ada tidaknya penyulit obstruksi dan infeksi serta fungsi ginjal.
Angka kekambuhan cukup tinggi
11 Kompetensi Dokter spesialis bedah
12 Indikator medis Ketepatan kriteria diagnosa
Penandaan site marking
13 Kriteria pasien 1. Keadaan umum baik
pulang rawat
inap
14 Pustaka 1. Basuki B Purnomo : Dasar-dasar Urologi Edisi ketiga.
2. Smith’s General Urology ed. 18

21
PANDUAN PRAKTIK KLINIS CHOLELITHYASIS

1 Definisi Cholelithyasis adalah batu yang terdapat dalam kantung empedu


(Pengertian)
2 Anamnesis Nyeri yang bersifat kolik pada perut kanan atas, sering dijalarkan di bawah
skapula kanan. Hal ini disebabkan oleh penyumbatan yang intermiten pada
duktus sistikus karena batu kantung empedu. Dapat disertai mual, muntah,
dan dyspepsia.
3 Pemeriksaaan Nyeri tekan perut kanan atas, dapat teraba pembesaran kantung empedu,
fisik tanda Murphy’s sign + bila telah terjadi infeksi atau cholecystitis
4 Pemeriksaan 1. Lab: tidak spesifik, lekositosis bila ada infeksi
penunjang 2. FPA: < 10% radioopaque
3. USG: sensitifitas sampai 98%, spesifitas 97,7%, mudah, aman, non
invasif, tidak perlu persiapan, murah, dapat dilakukan pada semua
penderita
4. CT scan, MRCP, ERCP bila perlu
5 kriteria Diagnosis Diagnosis didasarkan pada keluhan pasien serta pemeriksaan fisik, yaitu
nyeri yang bersifat kolik pada perut kanan atas, sering dijalarkan di bawah
skapula kanan, nyeri tekan perut kanan atas, teraba pembesaran kantung
empedu , tanda Murphy’s sign +
6 Diagnosa Kerja cholelithyasis
7 Diagnosa Banding

8 Terapi Pengelolaan cholelithyasis adalah dilakukan cholecystectomy, yaitu


mengambil atau mengangkat kantung empedu. Kantung empedu bila
diangkat tidak ada masalah dengan badan. Karena fungsinya hanya sebagai
tempat penyimpanan cairan empedu sementara dan memekatkan.
Ada 2 macam operasi yaitu operasi terbuka (laparotomy/open
cholecystectomy) dan operasi laparoscopy cholecystectomy. Operasi terbuka
berarti membuka lebar perut kemudian mengambil kantung empedu, sedang
laparoscopy cholecystectomy adalah operasi pengangkatan kantung empedu
menggunaka tehnologi canggih dimana perut diisi gas karbondioksida,
kemudian ditusuk dengan trochar dan dimasuki alat-alat yang digunakan
untuk operasi, dan operator melihat arena operasi melalui monitor. Kadang
terdapat penyulit yang akan menyulitkan operasi laparoscopy
cholecystectomy seperti organ yang tidak normal kedudukannya,
perlengketan, perdarahan saat operas, dan lain-lain, sehingga laparoscopy
cholecystectomy tidak dapat dilanjutkan dan harus dilakukan konversi
terbuka. Hal ini bukan kegagalan laparoscopy tetapi lebih untuk keamanan
pasien.
Komplikasi operasi dapat berupa:

22
1.Terpotongnya organ yang seharusnya tidak dipotong, karena organ tidak
normal kedudukannya atau faktor perlengketan sehingga timbul
kebocoran saluran empedu
2.Perdarahan
3.Menciderai organ sekitarnya
9 Edukasi Sering orang khawatir dengan tidak memiliki kantung empedu, hal ini dapat
dihilangkan dengan edukasi bahwa kantung empedu hanya sebagai tempat
penyimpanan sememtara dan memekatkan cairan empedu sebelum
disalurkan ke usus dua belas jari. Jika tidak punya kantung empedu maka
cairan empedu akan langsung mengalir dari hari melalui saluran empedu lalu
ke usus dua belas jari untuk mencerna lemak. Ada sedikit gangguan berupa
diare yang yang sifatnya sementara yang hanya diderita sebagian kecil
pasien.
10 Prognosis Prognosis untuk kesembuhan baik, penderita dapat sembuh sempurna
11 Kompetensi Dokter spesialis bedah umum dan digestif.
12 Indikator medis
13 Kriteria pasien 1. Tidak ada komplikasi
pulang rawat
inap
14 Pustaka 1. Haile T. Debas. Gasrointestinal Surgery. Pathophysiology and
Management. Springer:2004.p.198-238.
2. Hobart W. Harris. Biliary system. In: Jeffrey A. Norton, R. Randal
Bollinger, Alfred E. Chang et al Editors. Surgery. Basic Science and Clinical
Evidence. Springer; 2001.p.553-84.
3. R. Samsjuhidayat, Wim de Jong. Buku Ajar Bedah edisi Revisi. Saluran
Empedu dan Hati. EGC;1997.hal.767-

23
PANDUAN PRAKTIK KLINIS TETANUS

1 Definisi Suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan oleh
(Pengertian) clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang periodik dan berat.
2 Anamnesis 1. Riwayat adanya luka ditentukan dengan masa inkubasi untuk menentukan
prognosis. Makin singkat periode onset < 48 jam dan < 7 hari menunjukan
makin berat penyakitnya.
2. Trias tetanus : rigiditas otot, spasme otot, dan ketidakstabilan otonom.
3. Riwayat terjadinya kejang, pasien dalam kondisi sadar, setelah kejang
pasien tetap sadar. Ditanyakan lama kejang dan frekuensi dalam sehari.
4. penderita apakah sudah mendapat imunisai tetanus atau belum.
3 Pemeriksaaan 1. Ketegangan otot terutama pada rahang dari leher. Kemudian timbul
fisik kesukaran membuka mulut (trismus/lockjaw) karena spasme otot
masseter disertai dengan disfagia.
2. Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk (epistotonus, nuchal rigidity)
3. Risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis tertarik
keatas, sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat.
4. Gambaran umum yang khas berupa badan kaku dengan epistotonus,
tungkai ekstensi, lengan kaku mengepal, kesadaran tetap baik.
5. Gejala otonom seperti hiperpireksia, hiperhidrosis, exhausting, aritmia,
peningkatan/penurunan tekanan darah yang fluktuatif.
6. Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan sianosis,
retensio urin, bahkan terjadi fraktur collumna vertebralis.
4 Pemeriksaan 1. Pemeriksaan darah rutin
penunjang 2. Laborat lainya: SGOT CPK meninggi disertai adanya myoglobinuria,
pemeriksaan elektrolit
5 kriteria Diagnosa tetanus dapat diketahui dari klinis berdasarkan riwayat penyakit dan
Diagnosis temuan saat pemeriksaan.
1. Kejang tetanik, trismus, disfagia, risus sardonicus
2. Riwayat luka yang mendahului.
3. Uji spatula menyentuh dinding posterior faring menggunakan alat dengan
ujung yang lembut dan steril. Hasil positif jika terjadi kontraksi rahang
involunter (menggigit spatula) dan hasil negative berupa reflex muntah.
4. Pemeriksaan darah dan cairan cerebrospinal biasanya normal.
5. Kultur bakteri dari luka didapatkan C.tetani
6. Laborat lainnya : SGOT CPK meninggi disertai adanya myoglobinuria,
Pemeriksaan elektrolit serta analisis gas darah
Severitas tetanus berdasarkan Phillips
Faktor Skor
Masa Inkubasi
1. < 48 Jam 5

24
2. 2 - 5 Hari 4
3. 5 -10 Hari 3
4. 10 - 14 hari 2
5. > 14 hari 1
Lokasi Infeksi
1. Organ Dalam dan Umbilikus 5
2. Kepala, Leher, dan Badan 4
3. Perifer Proksimal 3
4. Perifer Distal 2
5. Tidak diketahui 1
Status Proteksi
1. Tidak ada 10
2. Mungkin ada atau Imunisasi pada ibu bagi 8
pasien-pasien Neonatus
3. Terlindungi > 10 tahun 4
4. Terlindungi > 10 Tahun 2
5. Proteksi Lengkap 0
Faktor-faktor Komplikasi
1. Cedera atau penyakit yang mengancam 10
nyawa
2. Cedera berat atau penyakit yang tidak 8
segera mengancam nyawa
3. Cedera atau penyakit yang tidak 4
mengancam nyawa
4. Cedera atau penyakit minor 2
5. ASA gradel 0

Philips Score <9, Severitas ringan; 9-18, severitas sedang; dan >18,
severitas berat.
6 Diagnosa Tetanus
Kerja
7 Diagnosa 1. Penyakit infeksi
Banding a. Meningoencepalitis : demam, trismus tidak ada, sensorium depresi.
b. Polio: trismus tidak ada, paralisis tipe flaccid.
c. Rabies
riwayat gigitan binatang, trismus tidak ada, hanya spasme
oropharingeal.
d. Lesi oropharingeal
rigiditas dan spasme otot seluruh tubuh tidak ada.
e. Peritonitis
trismus atau spasme seluruh tidak ada.
2. Kelainan metabolic

25
a. Tetani
hanya spasme carpopedal dan laryngeal, hypocalcemia
b. Keracunan strychnine : relaksasi komplet diantara spasme
c. Reaksi phenothiazine : dystonia, respone dengan dipenhidramin.
3. Penyakit central nerve system
a. Status epileptikus : sensorium depresi
b. Hemoriage stroke or tumor: trismus tidak ada. Sensorium depresi.
4. Kelainan psikiatri
a. Hysteria
trismus inkonstan, relaksasi komplet diantara spasme
5. Kelainan musculoskeletal
a. Trauma
b. hanya local.
8 Terapi Tiga sasaran penatalaksanaan tetanus
1. Membuang sumber tetanospamin
a. Membersihkan luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan
nekrotik), membuang benda asing dalam luka serta kompres denga
H2O2 / perhidrol.
b. Antibiotik
1) Lini pertama metronidazole dengan dosis inisial bolus intravena 15
mg/kgBB dilanjutkan dengan dosis rumatan 30 mg/kgBB setiap 6
jam selama 7-10 hari.
2) Lini kedua penicillin procain 50.000-100.000 U/KgBB/hari selama
7-10 hari dosis yang direkomendasikan 100.000 U/KgBB/Hari
dengan bolus intravena selama 10 hari, bila hipersensitivitas
terhadap penicillin prokain dapat diberi tetracycline 50
mg/KgBB/hari (untuk anak > 8 tahun).
2. Menetralisir toksin yang tidak terikat
a. Human tetanus immunoglobulin (HTIG)
Diinjeksikan IM dengan dosis total 3000-10.000 unit dibagi 3 dosis
yang sama dan diinjeksikan ditiga tempat berbeda.
Sediaan HTIG 1 Ampul 250 IU

Kontra indikasi HTIG


1) Riwayat hipersensitifitas terhadap immunoglobulin atau
komponen human immunoglobulin sebelumnya.
2) Pasien dengan trombositopenia berat atau keadaan koagulasi
lainnya tidak boleh diberikan suntikan secara intramuscular.
b. Anti tetanus serum ( ATS )
Digunakan bila tidak tersedia HTIG dengan dosis 100.000-200.000
unit diberikan 50.000 unit intramuscular dan 50.000 unit intravena
pada hari pertama , kemudian 60.000 unit dan 40.000 unit

26
intramuskuler masing-masing pada hari ke 2 dan ke 3.
Sediaan ATS 1 Ampul 1500 unit
Selepas pasien dirawat, sebelum pulang dari rumah sakit pasien harus
diberikan imunisasi aktif dengan toksoid.
3. Perawatan suportif
a. Semua pasien curiga tetanus sebaiknya dirawat di ICU
b. Untuk meminimalkan risiko spasme paroksismal yang dipresipitasi
stimulus ekstrinsik pasien sebaiknya dirawat diruang tenang dan
gelap.
c. Pasien diposisikan untuk mencegah aspirasi pneumonia
d. Pemberian cairan intravena sesuai dengan rumus rumatan.
e. Jaga patensi jalan nafas merupakan prioritas pertimbangan tindakan
intubasi, trakeostomi sebagai akses ventilator bila diperlukan.
f. Pemberian sedasi untuk rigiditas/spasme/kejang
1) Diazepam 0,1-0,3 mg/kgBB/kali dengan interval 2-4 jam sesuai
gejala klinis untuk menghilangkan kejang/spasme akut. Dosis
rumatan diazepam 15-40 mg/kgBB/Hari dosis maksimal adalah
40mg/kgbb/hari.
2) Phenobarbital 120-200 mg/hari intravena
3) Chlorpromazine dapat diberikan setiap 4-8 jam dengan dosis 50-
150 mg.
4) Magnesium sulfat intravena dicoba untuk mengendalikan
spasme dan disfungsi otonom dosis loading 5 gram (75mg/kgBB)
iv bolus pelan selama 30 menit dilanjutkan 1 sampai 3 gram/jam
sampai spasme terkontrol.
1. Nutrisi parenteral total mengandung glukosa hipertonis dan insulin dalam
jumlah yang cukup sehingga gula darah stabil.
9 Edukasi 1. Apabila terkena luka segera dibersihkan dan diperiksakan ke layanan
kesehatan segera.
2. Vaksinasi tetanus toksoid sesuai dengan usia.
10 Prognosis Prognosis dinilai berdasarkan Dakar Score
Factor prognosis Dakar Score
Score 1 Score 0
Periode inkubasi < 7 hari ≥ 7 hari atau tidak
diketahui
Periode onset < 2 hari ≥ 2 hari
Tempat masuk Umbilicus luka bakar, Selain dari yang telah
uterus, fraktur disebut atau tidak
terbuka, luka operasi, diketahui.
injeksi intramuskuler
Spasme Ada Tidak ada
Demam > 38,4 derajat Celcius < 38,4 derajat celcius
27
Takikardi Dewasa > 120 x/menit Dewasa < 120 x/menit
neonatus > 150x/menit Neonatus <
150x/menit
Interpretasi :
Skore 0-1 : severitas ringan dengan mortalitas 10%
Skore 2-3 : severitas sedang dengan mortalitas 10-20%
Skore 4 : severitas berat dengan mortalitas 20-40%
Skore 5-6 : severitas sangat berat dengan mortalitas > 50%
11 Kompetensi Dokter spesialis bedah, dokter spesialis saraf, dokter spesialis penyakit dalam,
dokter spesialis konsultan intensive care.
12 Indikator No Konten ya tidak keterangan
medis 1. Penegakan √
diagnosis
2. Terapi √
13 Kriteria 1. Keadaan umum baik
pasien pulang 2. Tidak ada tanda- tanda infeksi
rawat inap
14 Pustaka Laksmi ni komang, , penatalaksanaan tetanus, cermin dunia kedokteran-222
volume 41 jakarta, 2014
Rodrigo et al, pharmacological management of tetanus : an evidence-based
review , critical care , 2014

28
PANDUAN PRAKTIK KLINIS HERNIA INGUINALIS

1 Definisi Benjolan sebagian dari organ maupun jaringan melewati pembukaan


(Pengertian) abnormal pada dinding sekitarnya, hernia paling sering terjadi pada dinding
abdomen, tepatnya pada daerah yang aponeurosisdan fisianya tidak
dilindungi oleh otot. Bagian tersebut terutama pada bagian region inguinal,
femoral umbilical linea alba, dan bagian bawah linea semilunaris.
2 Anamnesis 1. Adanya benjolan diselakangan/kemaluan.
2. Benjolan timbul bila berdiri/mengejan, bila berdiri lama/ mengejan juat
maka benjolan makin membesar, bila untuk berbaring benjolan masuk
kembali.
3. Nyeri pada benjolan
4. Mual
5. Muntah
3 Pemeriksaaan 1. Inspeksi : tampak benjolan pada lipat paha, saat berdiri atau suruh
fisik mengejan, menghilang/masuk kembali saat tiduran.
2. Palpasi: terdapat adanya annulus internus, annulus estrernus dan canalis
ingunalis pada HIL dan trigonum haselbach yang longgar pada HIL
keduanya berada diatas legamentum inguinale. Dapat dibedakan dengan
test: ziemens test, finger test dan tumb test.
4 Pemeriksaan 1. Pemeriksaan labolatorium
penunjang a. Paket preop (Darah rutin 1, APTT/PTTK, HbSAg, Na, K,Cl,gds)
5 kriteria 1. Memenuhi kriteria diagnostik
Diagnosis 2. Memenuhi kriteria pemeriksaan fisik
6 Diagnosa Hernia inguinalis
Kerja
7 Diagnosa 1. Hidrokel
Banding 2. Limfadenopati inginal
3. Lipoma
8 Terapi 1. Pemberian antibiotic premedikasi
a. Antibiotik Profilaksis : Sefalosporin yaitu :
1) Cefazolin 1 gr / 50mg/kgBB
2) Cefuroxime 750mg/ 25mg-50mg/kgBB
b. Antibiotik Empiris yaitu :
1) Amikasin 1 x 500 mg
2) Moxifloxacin 1 x 400 mg
3) Ceftriaxone 2 x 1gr
4) Cefoperazone 2 x 1gr
2. Operasi herniarepair/hernioraphy
3. Analgesik
9 Edukasi 1. Menghindari pekerjaan berat/pembatasan aktifitas hingga 4 bulan untuk

29
mencegah residif
2. Bisa terjadi kekambuhan
3. Puasa 6 jam sebelum operasi
4. Penjelasan mengenai perkembangan penyakit berkaitan terapi dan
tindakan yang sudah dilakukan.
10 Prognosis 1. Ad vitan: Dubia ad bonam
2. Ad sanationam: dubia ad bonam
3. Ad fungsionam: dubia ad bonam
11 Kompetensi Dokter spesialis bedah, dokter spesialis bedah digestive
12 Indikator No Konten ya tidak keterangan
medis 1. Pemeriksaan penunjang √
2. Terapi √
13 Kriteria 1. Keadaan umum baik
pasien pulang 2. Tidak ada tanda- tanda infeksi
rawat inap 3. Nyeri daerah operasi ringan
14 Pustaka Laksmi ni komang, , penatalaksanaan tetanus, cermin dunia kedokteran-222
volume 41 jakarta, 2014
Rodrigo et al, pharmacological management of tetanus : an evidence-based
review , critical care , 2014

30
PENUTUP

Dengan telah tersusunnya Panduan Praktik Klinis ini diharapkan dapat menjadi Standar
Prosedur Operasional bagi dokter spesialis Bedah yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan
dan fasilitas pelayanan kesehatan di RSI Sultan Agung.
Melalui panduan ini diharapkan terselenggara pelayanan medis yang efektif, efisien,
bermutu dan merata sesuai sumber daya, fasilitas, pra fasilitas, dana dan prosedur serta metode
yang memadai. Semoga bermanfaat.

DIREKTUR UTAMA
RUMAH SAKIT ISLAM SULTAN AGUNG

Dr. H. MASYHUDI AM., M.Kes.

31

Anda mungkin juga menyukai