Anda di halaman 1dari 28

Presentasi Kasus

Sindrom Nefrotik Relaps Sering

Disusun oleh:
dr. Ichwan Zuanto

Pembimbing Kasus:
dr. H. Asviandri, SpA M.Biomed

Program Internship Dokter Indonesia


RSUD Sungai Dareh
Kabupaten Dharmasraya
2015/2016

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr. wb.


Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Mahaesa, atas
segala nikmat dan karunia yang telah diberikan sehingga pada akhirnya saya dapat
menyelesaikan makalah presentasi kasus ini dengan sebaik-baiknya.
Makalah ini disusun untuk melengkapi tugas dalam Program Internship Dokter
Indonesia di RSUD Sungai Dareh periode 8 Juni 2015 – 7 Juni 2016.
Dalam kesempatan ini, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada dr. H. Asviandri,
SpA. M.Biomed selaku konsultan yang telah memberikan bimbingan dan kesempatan dalam
penyusunan makalah presentasi kasus ini.
Saya juga ingin mengucapkan terima kasih untuk pendamping internship saya, dr.
Nurafdaliza dan dr. Sujito atas bimbingan dalam setiap kegiatan.
Saya sadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saya
mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun untuk kesempurnaan makalah yang
saya buat ini.
Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
masyarakat dan khususnya bagi praktisi kedokteran.
Terima kasih.
Wassalamu’alaikum wr. wb.

Dharmasraya, Maret 2016

Penyusun,
dr. Ichwan Zuanto

2
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................................... 2
DAFTAR ISI ................................................................................................... 3
BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................. 4
1.1. Latar Belakang ................................................................................. 4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ……........................................................ 5
II.1. Definisi ………………………………………………………........ 5
II.2. Epidemiologi ………………………………………………........... 6
II.3. Etiologi …………………………………………............................ 6
II.4. Patofisiologi ……………………………………………………... 7
II.5. Manifestasi Klinis ........................................................................... 9
II.6. Penegakan Diagnosis ...................................................................... 10
II.7. Diagnosis Banding dan Komplikasi ................................................ 10
II.8. Penatalaksanaan .............................................................................. 11
II.9. Prognosis ......................................................................................... 13
BAB III. ILUSTRASI KASUS ................................................................. 14
III.1. Anamnesis………………………………………………………... 14
III.2. Pemeriksaan Fisik……….…...………………………….............. 16
III.3. Pemeriksaan Penunjang………………………………………... 17
III.5. Diagnosis ………………………………………………………... 18
III.6. Penatalaksanaan ….……………………………………………… 18
III.7. Prognosis ………………………………………………………… 18
III.8. Follow up ……………………………………………………… 19
BAB IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN …………………………. 20
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 28

3
BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang


Sindrom nefrotik (SN) pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang paling sering
ditemukan.1 Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun pada anak berusia kurang dari
14 tahun.1,2 Perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1. 1,2,3
Pada anak, sebagian besar (80%) SN idiopatik mempunyai gambaran patologi
anatomi kelainan minimal (SNKM).4 Gambaran patologi anatomi lainnya adalah
glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) 7-8%, mesangial proliferatif difus (MPD) 2-5%,
glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP) 4-6%, dan nefropati membranosa (GNM)
1,5%.1,5
Prognosis jangka panjang SNKM selama pengamatan 20 tahun menunjukkan hanya
4-5% menjadi gagal ginjal terminal, sedangkan pada GSFS 25% menjadi gagal ginjal
terminal dalam 5 tahun dan pada sebagian besar lainnya disertai penurunan fungsi ginjal.6
Pada berbagai penelitian jangka panjang ternyata respons terhadap pengobatan steroid
lebih sering digunakan untuk menentukan prognosis dibandingkan dengan gambaran patologi
anatomi.1 Pada pengobatan kortikosteroid inisial sebagian besar SNKM (94%) mengalami
remisi total (responsif), sedangkan pada GSFS 80-85% tidak responsif (resisten steroid).7
Secara umum, sekitar 70% pasien SN mengalami relaps. Relaps dalam pengobatan
jika didapatkan proteinuria 3+ atau lebih setelah remisi untuk 3 hari berturut-turut atau lebih
saat terapi steroid full dose selama 4 minggu. Sedangkan relaps sering yaitu jika didapatkan 2
kali relaps dalam 6 bulan atau 4 kali dalam setahun.8
Mortalitas dan prognosis anak dengan sindrom nefrotik bervariasi berdasarkan
etiologinya, berat, luas kerusakan ginjal, usia anak, kondisi yang mendasari, dan responnya
terhadap pengobatan.4
Sindrom nefrotik relaps sering memiliki frekuensi yang signifikan dengan prognosis
ad sanationam dan functionam yang jelek. 8 Untuk itu, penulis mengangkat sebuah ilustrasi
kasus sindrom nefrotik relaps sering yang ditemukan di ruang rawat anak RSUD Sungai
Dareh disertai dengan tinjauan pustaka dan pembahasannya.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Definisi
Sindrom Nefrotik (SN) adalah suatu sindrom klinik dengan gejala:1
1. Proteinuria massif (> 40 mg/m2LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu >
2 mg/mg atau dipstik > 2+)
2. Hipoalbuminemia < 2,5 g/dl
3. Edema
4. Dapat disertai hiperkolesterolemia > 200 mg/dL
Beberapa definisi/batasan yang dipakai pada SN:1
 Remisi: proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4mg/m2 LPB/jam) 3 hari berturut-
turut dalam 1 minggu.
 Relaps: proteinuria > 2+ (proteinuria > 40 mg/m2 LPB/jam 3 hari berturut-turut dalam 1
minggu.
 Relaps jarang: relaps terjadi kurang dari 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons
awal atau kurang dari 4 kali per tahun pengobatan.
 Relaps sering (frequent relaps): relaps terjadi > 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah
respons awal atau > 4 kali dalam periode 1 tahun.
 Dependen steroid: relaps terjadi pada saat dosis steroid diturunkan atau dalam 14 hari
setelah pengobatan dihentikan, dan hal ini terjadi 2 kali berturut-turut.
 Resisten steroid: tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis penuh (full dose) 2
mg/kgBB/hari selama 4 minggu.
Gambar II.a. Batasan/definisi Sindrom Nefrotik

II.2. Epidemiologi

5
Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat dan Inggris adalah 2-7
kasus baru per 100.000 anak per tahun,1dengan prevalensi berkisar 12 – 16 kasus per 100.000
anak.2 Pada anak-anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi minimal (75%-
85%) dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat diagnosis dibuat dan laki-laki dua
kali lebih banyak daripada wanita.9
International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) menunjukkan bahwa,
93% pasien SNKM merespon terhadap steroid, 25–50% pasien dengan MPD atau GSFS juga
merespon terhadap steroid.7
Sementara itu, pasien SN yang merespon dengan steroid mempunyai kemungkinan
relaps sebesar 80–90%.6 Risiko relaps sering atau dependen-steroid meningkat sejalan dengan
jarak pertama relaps, jumlah relaps dalam 6 bulan pertama setelah pengobatan, usia yang
lebih muda saat serangan pertama, waktu yang dibutuhkan untuk remisi, infeksi pada relaps
yang pertama, dan hematuria saat awal serangan.10

II.3. Etiologi
Etiologi SN di bagi menjadi 3 yaitu:1
1. Kongenital yaitu salah satu jenis sindrom nefrotik yang ditemukan sejak anak itu lahir
atau usia di bawah 1 tahun. Penyebab utama kelainan ini adalah sindrom nefrotik
kongenital finnish type, suatu penyakit yang diturunkan secara autosomal resesif. Pada
sindrom nefrotik kongenital tipe ini telah ditemukan adanya mutasi gen NPHS1 yang
berlokasi pada kromosom 19q13.1 gen ini mengkode protein nephrin, yaitu komponen
protein utama pada slit diaphragma di lapisan epitel glomerulus yang berpartisipasi
dalam pembentukan anion. Sindrom nefrotik kongenital dapat juga disebabkan oleh sifilis
kongenital, toksoplasmosis dan infeksi sitomegalovirus.
2. Primer/idiopatik, faktor etiologinya tidak diketahui. Dikatakan sindrom nefrotik primer
oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu
sendiri tanpa ada penyebab lain. Golongan ini paling sering dijumpai pada anak, yaitu
meliputi 90% dari seluruh sindrom nefrotik pada anak. Sindrom nefrotik primer yang
banyak menyerang anak biasanya berupa sindrom nefrotik tipe kelainan minimal. Pada
dewasa prevalensi sindrom nefrotik didominasi oleh tipe GSFS.
3. Sekunder mengikuti penyakit sistemik atausebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata
seperti efek samping obat. Penyebab yang sering dijumpai adalah SLE, purpura Henoch
Schonlein, diabetes mellitus, amiloidosis, hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra,

6
sifilis, streptokokus, AIDS, tumor paru, penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal, logam
berat (Hg), penisillamin, probenesid, racun serangga, bisa ular.
 
II.4. Patofisiologi
Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya sindrom
nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar. Salah satu teori yang
dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang biasanya terdapat di sepanjang
endotel kapiler glomerulus dan membran basal. Hilangnya muatan negatif tersebut
menyebabkan albumin yang bermuatan negatif tertarik keluar menembus sawar kapiler
glomerulus. Hipoalbuminemia merupakan akibat utama dari proteinuria yang hebat. Sembab
muncul akibat rendahnya kadar albumin serum yang menyebabkan turunnya tekanan onkotik
plasma dengan konsekuensi terjadi ekstravasasi cairan plasma ke ruang interstitial.4
Gambar II.b. Proses Filtrasi Ginjal Normal

Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan onkotik, disertai pula oleh


penurunan aktivitas degradasi lemak karena hilangnya -glikoprotein sebagai perangsang
lipase. Apabila kadar albumin serum kembali normal, baik secara spontan ataupun dengan
pemberian infus albumin, maka umumnya kadar lipid kembali normal.5
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid plasma
intravaskuler. Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan menembus dinding
kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial yang menyebabkan edema. Penurunan
volume plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan
natrium renal. Retensi natrium dan air ini timbul sebagai usaha kompensasi tubuh untuk
menjaga agar volume dan tekanan intravaskuler tetap normal. Retensi cairan selanjutnya
mengakibatkan pengenceran plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik
plasma yang pada akhirnya mempercepat ekstravasasi cairan ke ruang interstitial.
Gambar II.c. Patofisiologi Penurunan Tekanan Onkotik-Koloid
7
Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang memicu rentetan
aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron dengan akibat retensi natrium dan air, sehingga
produksi urine menjadi berkurang, pekat dan kadar natrium rendah. Hipotesis ini dikenal
dengan teori underfill.3 Dalam teori ini dijelaskan bahwa peningkatan kadar renin plasma dan
aldosteron adalah sekunder karena hipovolemia. Tetapi ternyata tidak semua penderita
sindrom nefrotik menunjukkan fenomena tersebut. Beberapa penderita sindrom nefrotik
justru memperlihatkan peningkatan volume plasma dan penurunan aktivitas renin plasma dan
kadar aldosteron, sehingga timbullah konsep baru yang disebut teori overfill. Menurut teori
ini retensi renal natrium dan air terjadi karena mekanisme intrarenal primer dan tidak
tergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan
ekspansi volume plasma dan cairan ekstraseluler. Pembentukan edema terjadi sebagai akibat
overfilling cairan ke dalam kompartemen interstitial. Teori overfill ini dapat menerangkan
volume plasma yang meningkat dengan kadar renin plasma dan aldosteron rendah sebagai
akibat hipervolemia.
Pembentukan sembab pada sindrom nefrotik merupakan suatu proses yang dinamik
dan mungkin saja kedua proses underfill dan overfill berlangsung bersamaan atau pada
waktu berlainan pada individu yang sama, karena patogenesis penyakit glomerulus mungkin
merupakan suatu kombinasi rangsangan yang lebih dari satu.3

Gambar II.d. Teori Underfill Gambar II.e. Teori Overfill

8
II.5. Manifestasi Klinik
Apapun tipe sindrom nefrotik, manifestasi klinik utama adalah sembab, yang tampak
pada sekitar 95% anak dengan sindrom nefrotik. Pada fase awal sembab sering bersifat
intermiten; biasanya awalnya tampak pada daerah-daerah yang mempunyai resistensi
jaringan yang rendah (misal, daerah periorbita, skrotum atau labia), kemudian menjadi
menyeluruh dan masif (anasarka).6
Sembab berpindah dengan perubahan posisi, sering tampak sebagai sembab muka
pada pagi hari waktu bangun tidur, dan kemudian menjadi bengkak pada ekstremitas bawah
pada siang harinya. Sembab biasanya tampak lebih hebat pada pasien SNKM dibandingkan
pasien-pasien GSFS atau GNMP. Hal tersebut disebabkan karena proteinuria dan
hipoproteinemia lebih hebat pada pasien SNKM.6
Gangguan gastrointestinal sering timbul dalam perjalanan penyakit sindrom nefrotik.
Diare sering dialami pasien dengan edema masif yang disebabkan edema mukosa usus. Pada
beberapa pasien, nyeri perut yang kadang-kadang berat, dapat terjadi pada sindrom nefrotik
akibat hepatomegali atau kemungkinan terjadinya peritonitis. Anoreksia dan terbuangnya
protein mengakibatkan malnutrisi berat terutama pada pasien sindrom nefrotik resisten-
steroid.
Oleh karena adanya distensi abdomen baik disertai efusi pleura atau tidak, gangguan
pernapasan sering terjadi. Asites berat dapat menimbulkan hernia umbilikalis dan prolaps
ani.6 Dalam laporan ISKDC (International Study of Kidney Diseases in Children), pada
SNKM ditemukan 22% disertai hematuria mikroskopik, 15-20% disertai hipertensi, dan 32%
dengan peningkatan kadar kreatinin dan ureum darah yang bersifat sementara.1
II.6. Penegakan Diagnostik

9
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.1
Anamnesis
Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di kedua kelopak mata, perut,
tungkai, atau seluruh tubuh dan dapat disertai jumlah urin yang berkurang. Keluhan lain juga
dapat ditemukan seperti urin berwarna kemerahan.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat ditemukan edema palpebra, extrimitas
(pitting edema), skrotum/labia, atau adanya asites dan efusi pleura. Kadang-kadang
ditemukan hipertensi, atau tanda komplikasi seperti syok hipovolemik, peritonitis, atau
sepsis.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain:1
1. Urinalisis dan bila perlu biakan urin; pada urinalisis ditemukan proteinuria masif (3+
sampai 4+), dapat disertai hematuria.
2. Protein urin kuantitatif, dapat berupa urin 24 jam atau rasio protein/kreatinin pada urin
pertama pagi hari
3. Pemeriksaan darah
a. Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis, trombosit, hematokrit, dan
LED); dapat ditemukan leukositosis dan LED yang meningkat
b. Kadar albumin dan kolesterol plasma, didapatkan hipoalbuminemia (< 2,5 g/dl),
hiperkolesterolemia, dan rasio albumin/globulin terbalik.
c. Kadar ureum, kreatinin, serta klirens kreatinin.
d. Kadar komplemen C3; bila dicurigai SLE pemeriksaan ditambah dengan komplemen
C4, ANA (anti nuclear antibody), dan anti ds-DNA.

II.7. Diagnosis Banding dan Komplikasi


Diagnosis banding SN diantaranya:
1. Sembab non-renal : gagal jantung kongestif, KEP dengan edema, edema hepatal
2. Glomerulonefritis akut.
3. Lupus sistemik eritematosus.
Komplikasi
1. Syok akibat sepsis, emboli atau hipovolemia

10
2. Thrombosis akibat hiperkoagulabilitas
3. Infeksi
4. Hambatan pertumbuhan
5. Gagal ginjal akut atau kronik
6. Efek samping steroid, misalnya sindrom Cushing, hipertensi, osteoporosis, gangguan
emosi dan perilaku.

II.8. Penatalaksanaan
Pada SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah sakit dengan tujuan untuk
mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diit, penanggulangan edema, memulai
pengobatan steroid, dan edukasi orang tua. Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan
pemeriksaan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH bersama steroid,
dan bila ditemukan tuberculosis diberikan obat anti tuberculosis (OAT).
Perawatan pada SN relaps hanya dilakukan bila disertai edema anasarka yang berat
atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal ginjal, atau syok. Tirah baring tidak
perlu dipaksakan dan aktivitas disesuaikan dengan kemampuan pasien. Bila edema tidak
berat anak boleh sekolah.1
Diitetik
Pemberian diit tinggi protein dianggap kontra indikasi karena akan menambah beban
gromerulus untuk mengeluarkan sisa metabolism protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan
sclerosis gromerulus. Cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA
(recommended daily allowances) yaitu 2 g/kgBB/hari. Diit rendah protein akan menyebabkan
malnutrisi energi protein (MEP) dan hambatan pertumbuhan anak. Diit rendah garam (1-2
g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema.1
Diuretik
Restriksi cairan dianjurkan selama edema berat. Biasanya diberikan loop diuretic
seperti furosemid 1-2 mg/kgBB/hari, bila perlu dikombinasikan dengan spironalokton
(antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-3 mg/kgBB/hari. Pada pemakaian diuretik
lebih lama dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit darah (kalium dan
natrium).1
Bila pemberian diuretik tidak berhasil mengurangi edema (edema refrakter), biasanya
disebabkan oleh hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (kadar albumin <1 g/dl), dapat
diberikan infus albumin 20-25% dengan dosis 1g/kgBB selama 4 jam untuk menarik cairan

11
dari jaringan interstisial, dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kBB.
Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma sebanyak 20 ml/kgBB/hari
secara perlahan-lahan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi
jantung. Bila diperlukan, albumin atau plasma dapat diberikan selang sehari untuk
memberikan kesempatan pergeseran cairan dan mencegah overload cairan. Bila asites berat
sehingga mengganggu pernapasan dapat dilakukan pungsi asites berulang.1
Antibiotik
Di Indonesia tidak dianjurkan pemberian antibiotik profilaksis, tetapi perlu dipantau
secara berkala, dan bila ditemukan tanda-tanda infeksi segera diberikan antibiotic. Biasanya
diberikan antibiotik jenis amoksisilin, eritromisin, atau sefaleksin.1
Imunisasi
Pasien SN yang sedang dalam pengobatan kortikosteroid atau dalam 6 minggu steroid
dihentikan, hanya boleh mendapatkan vaksin mati. Setelah 6 minggu penghentian steroid,
dapat diberikan vaksin hidup.1
Di Indonesia pemberian imunisasi terhadap Streptococcus pneumonia belum
dianjurkan karena efektivitasnya belum jelas. Anak diharapkan menghindari kontak dengan
pasien varisela. Bila terjadi kontak, diberikan profilaksis dengan immunoglobulin varicella-
zoster, dalam waktu kurang dari 72 jam. Bila tidak memungkinkan dapat diberikan
immunoglobulin intravena. Bila sudah terjadi infeksi perlu diberikan obat asiklovir dan
pengobatan steroid sebaiknya dihentikan sementara.1
Terapi Steroid
Kortikosteroid merupakan pengobatan SN idiopatik pilihan utama, kecuali bila ada
kontraindikasi. Dapat diberikan prednison atau prednisolon.1
Sesuai dengan anjuran ISKDC (International Study on Kidney Diseases in Children)
pengobatan inisial SN dimulai dengan pemberian prednison dosis penuh (full dose) 60
mg/m2LPB atau 2 mg/kgBB/hari (maksimal 80 mg/hari) dibagi 3 dosis untuk menginduksi
remisi.
Bila terjadi remisi pada 4 minggu pertama, maka pemberian steroid dilanjutkan
dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2LPB/hari atau 2/3 dosis awal secara
alternating (selang sehari), 1 kali sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu
pengobatan steroid dosis penuh tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten
steroid.
Terapi Non-Imunosupresif Untuk Mengurangi Proteinuria

12
Pada SN yang telah resisten terhadap obat kortikosteroid, sitostatik, dan siklosporin
(tidak mampu beli), dapat diberikan diuretik (bila ada edema), dikombinasikan dengan ACE
inhibitor untuk mengurangi proteinuria. Jenis obat yang biasa dipakai adalah kaptopril 0,3
mg/kgBB, 3 kali sehari, atau enalapril 0,5 mg/kgBB/hari, dibagi 2 dosis.1
Sebuah penelitian secara random dengan pemberian enalapril 0,2 mg/kgBB/hari dan
0,6mg/kgBB/hari selama 8 minggu dapat menurunkan proteinuria 33% dan 52%.1
Indikasi Biposi Ginjal
Indikasi biopsi ginjal pada SN anak adalah:1
1. SN dengan hematuria yang nyata, hipertensi, kadar kreatinin dan ureum plasma
meninggi, atau kadar komplemen serum menurun
2. SN resisten steroid
3. SN dependen steroid

II.9. Prognosis
Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai berikut:7
1. Menderita untuk pertamakalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas 6 tahun.
2. Disertai hipertensi.
3. Disertai hematuria.
4. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder.
5. Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal.

13
BAB III
ILUSTRASI KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. N.G.
No. RM : 107839
Umur : 6 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Sikabau, Dharmasraya
Pendidikan : Pelajar
Status Pasien : JKN
Masuk Rawat inap : 8 Februari 2016

II. IDENTITAS ORANG TUA


AYAH IBU
Nama Tn. A Ny. E
Umur 26 tahun 25 tahun
Pendidikan SMK SMA
Agama Islam Islam
Pekerjaan Wiraswasta Ibu rumah tangga
Riwayat penyakit - -

III. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis pada tanggal 18 Februari 2016
Keluhan utama
Sembab seluruh tubuh sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS).
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien laki-laki, umur 6 tahun, dibawa dengan keluhan sembab seluruh tubuh sejak 2
hari SMRS. Pada awalnya pasien mengalami bengkak pada kemaluan dan buah zakar sejak 3
hari yang lalu tanpa disertai nyeri atau gangguan berkemih, kemudian saat bangun tidur
keesokan harinya, pasien terlihat sembab seluruh tubuh. Keluhan sembab ini disertai dengan
perut yang membuncit.

14
Satu minggu sebelumnya, pasien mengalami batuk-batuk dengan frekuensi yang
jarang dan tidak berdahak, keluhan pilek disangkal, keluhan nyeri tenggorokan disangkal,
keluhan demam disangkal. Keluhan batuk ini belum diobati.
Saat ini pasien tidak mengeluh sesak, nyeri perut, atau diare. BAK pasien tidak nyeri
dan tidak merah, tetapi frekuensinya berkurang. Keluhan mual dan muntah disangkal. Selama
sakit, nafsu makan pasien sama seperti biasa saat tidak sakit. Pasien juga terlihat aktif seperti
biasa. Keluhan pucat dan lemas disangkal.
Pasien tidak pernah mengalami keluhan nyeri sendi disertai demam dan ruam di kulit
dan pipi yang berbentuk kupu-kupu sebelumnya. Pasien tidak pernah mengalami sakit
demam dengan ruam bintik merah di tubuh sebelumnya.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mempunyai riwayat keluhan yang sama berulang 3 kali sejak pertama kali 2
tahun yang lalu, terakhir kambuh sekitar 6 bulan yang lalu, dari jarak setahun sudah 3 kali
berulang. Riwayat penyakit jantung bawaan disangkal. Riwayat penyakit asma disangkal,
riwayat alergi (obat, makanan, debu, udara) disangkal. Riwayat penyakit paru dengan
pengobatan lama disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluarga yang mempunyai keluhan sama dengan pasien disangkal. Riwayat
keluarga serumah yang mempunyai penyakit paru dengan pengobatan lama disangkal.
Riwayat Kehamilan dan Persalinan Ibu
Ibu pasien tidak pernah sakit demam, atau keputihan saat hamil. Pasien lahir dengan
cara spontan ditolong oleh bidan, dengan masa kehamilan 9 bulan. Berat lahir 2900 gram dan
panjang lahir 47 cm. Keadaan bayi langsung menangis dan tidak ada kebiruan.
Riwayat Imunisasi
Ibu pasien mengaku bahwa pasien telah mendapatkan imunisasi lengkap di Posyandu.
Imunisasi terakhir yang didapatkan pasien yaitu imunisasi campak pada usia 9 bulan. Bekas
suntik di lengan atas ada.
Riwayat Tumbuh Kembang
Pasien saat ini telah bersekolah di TK. Pasien dapat menggambar objek, berhitung
penjumlahan sederhana, aktif bermain dengan teman sebayanya. Pasien mulai tengkurap dan
mengangkat kepala usia 3 bulan, berbicara satu dua kata usia 12 bulan, berjalan usia 16
bulan. Kesan perkembangan normal sesuai dengan usia.
IV. PEMERIKSAAN FISIK

15
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 18 Februari 2016
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang, tampak sembab
Kesadaran : Compos Mentis
Data Antropometri
Berat/ Tinggi Badan : 24 kg/ 110 cm
Keadaan klinis : edema (+), organomegali (-), wasting (-), iga gambang (-).
BB/U : 24/19 x 100% = 126,3%
TB/U : 110/115 x 100% = 95,7%
BB/TB : 24/21 x 100% = 114,3%
Kesan status gizi : gizi lebih (dengan edema)
Tanda Vital
Tekanan Darah : 90/60 mmHg
Pernafasan : 24 x/menit, retraksi (-)
Nadi : 108 x/menit, reguler, isi cukup
Suhu : 36,50 C
Status Generalis
Kepala : Normocephali, deformitas
Wajah : Edema (+)
Mata : Edema palpebra +/+, konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/-
Hidung : Sekret -/-, konka edema -/-, hiperemis -/-
Telinga : Normotia, liang telinga lapang, serumen minimal AD/AS
Mulut : Edema labium oris (+), caries dentis (+)
Tenggorokan : faring hiperemis (-), tonsil T2-T2 hiperemis (-)
Leher : Tidak ada pembesaran KGB
Jantung : BJ I-II (N), murmur (-), gallop (-)
Paru : Perkusi sonor, Suara nafas vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen : Tampak distensi, Bising usus (+) normal, shifting dullness (+)
Ekstremitas : Akral hangat di keempat ekstremitas, pitting edema ++/++, CRT<3”
Genital : Edema skrotum dan penis (+)

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tanggal 08/02/16 09/02/10 Nilai normal

16
(IGD) (R. Anak)
Hematologi
Hemoglobin 11,7 g/dl 10,5-12,9 g/dL
Leukosit 11.000/ul 5,0-10,0 ribu/uL
Kimia klinik
Fungsi hati
Protein total 3,04 6,6-8,7 g/dL
Albumin 1,38 3,8-5,1 gr/dL
Globulin 1,66 2,5-3 gr/dL
Kolesterol
Kolesterol total 730 < 260 mg
Fungsi ginjal
Ureum 36 10-50 mg/dL
Kreatinin 0,8 0,5-1,1 mg/dL
Urinalisa
Reduksi Negatif
Protein urin 4+ Negatif
Eritrosit 0-1/LP 0-5/ LP
Bilirubin Negatif
Leukosit 2+ 0-5/ LP
Epitel 1-3/LP 0-5/ LP

Foto Rontgen Thorax AP (9/2/2016)

Kontras foto terlalu tajam, posisi vertebrae tidak


tepat di tengah.
Jaringan subkutis tidak terdapat emfisema/ massa.
Jaringan tulang intak.
Sudut costophrenicus kanan kiri lancip.
Corakan bronkovaskular kanan kiri meningkat,
pelebaran hillus (+) perihilar bilateral, bat wing
appearance (-). Infiltrat (-).
Cor CTR 50%.
Kesan: efusi pleura (-)

VI. DIAGNOSIS
Sindrom Nefrotik Relaps Sering
Infeksi Saluran Kemih

VII. PENATALAKSANAAN
Non medikamentosa
- Diet nefrotik 1500 kkal
o Garam 1 gr/hr

17
o Protein 40 mg.hr
- Balance cairan negatif
Medikamentosa
- IVFD D5% 4 tpm
- Prednison 3x15 mg (3-3-3)
- Furosemid 1x20 mg
- Spironolakton 2x25 mg
- Captopril 3x6,25 mg
- Calcium lactate 3x1/2tab
- Amoxicillin 3x250 mg

VIII. PROGNOSIS
Ad vitam : Bonam
Ad sanasionam : Dubia ad malam
Ad fungsionam : Dubia ad malam

IX. FOLLOW UP

Tanggal 9-2-16 Tanggal 13-2-16 Tanggal 19-2-16 Tanggal 22-2-16 Tanggal 23-2-16 Tanggal 1-3-16
S Sembab seluruh Sembab di wajah, Sembab Sembab Sembab Sembab (-),
tubuh, urin kemaluan, dan berkurang, BAK berkurang berkurang Perut buncit
berkurang kaki. lancar banyak (+)↓
O HD stabil Edema (+), Edema (+) ↓, Edema (+) ↓, Edema (+) ↓, Edema (-),
Edema Asites (+) Asites (+) Asites (+) Asites (+) Shifting
anasarka, minimal minimal minimal dullness (-)
Asites

A Sindrom Sindrom Nefretik Sindrom Nefretik Sindrom Nefretik Sindrom Nefretik Sindrom
Nefretik Relaps, Relaps, Relaps, Relaps, Relaps, Nefretik,

18
ISK ISK ISK ISK ISK gizi kurang
P IVFD D5% 4 tpm Terapi lanjut Terapi lanjut Terapi lanjut Terapi lanjut Pulang
Prednison 3x15 Albumin 240cc Lasix injeksi ganti Spironolakton aff Kontrol Poli
mg (3-3-3) furosemide oral
Furosemid 1x20
BB: 16 kg
mg
TB: 110 cm
Spironolakton
BB/TB 76,2%
2x25 mg
Captopril 3x6,25
mg
Calcium lactate
3x1/2tab
Amoxicillin
3x250 mg
Albumin 200cc
Pdx Protein total, Cholesterol 517 Protein total 3,76 Protein urin 3+ Protein urin (-)
albumin, Protein total 4,18 Albumin 2,12 Leucosit urin (-)
globulin, ureum Albumin 3,6 Globulin 1,64
Ureum 22 Ureum 24
Cratinin 0,5 Cratinin 0,9

BAB IV
ANALISIS KASUS DAN PEMBAHASAN

Pasien anak laki-laki, umur 6 tahun, dibawa dengan keluhan sembab pada seluruh
tubuh sejak 2 hari SMRS disertai perut yang membuncit. Nyeri perut, mual muntah, atau
diare (-). Batuk tidak berdahak 1 minggu SMRS. Sesak (-), Frekuensi BAK berkurang 2 hari
SMRS. Keluhan ini sudah berulang 3 kali dalam setahun.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran
compos mentis, BB/TB 114,3% gizi baik (dengan edema), status hemodinamik stabil,
hipertensi (-), status generalis didapatkan THT dalam batas normal, cor/pulmo dalam batas
normal, edema anasarka, dan asites.

19
Hasil pemeriksaan penunjang yang diperoleh proteinuria 4+, leukosituria 2+, hematuri
(-), hipoalbuminemia 1,38 gr/dL, hipoproteinemia 3,04 mg/dL, rasio albumin/globulin
terbalik, hiperkolesterolemia 730 mg/dL. Foto thorax kesan efusi pleura (-), cor dalam batas
normal.
Berdasarkan data anamnesis, pemeriksaan fisik, dan konfirmasi pemeriksaan
penunjang di atas, penulis menyimpulkan bahwa pasien mengalami sindrom nefrotik relaps
sering dan infeksi saluran kemih. Penulis tidak mendapatkan tanda-tanda komplikasi pada
pasien ini. Kesimpulan ini diambil dari 4 gejala klinis utama pada sindrom nefrotik yaitu
edema, proteinuria masif, hipoalbuminemia, dan hipercholesterolemia. 1 selain tanda tersebut,
hasil urinalisa menunjukkan adanya ISK (leukosituria 2+). Sedangkan diagnosis SN relaps
sering didasari oleh kekambuhan 3 kali dalam setahun.
Keluhan batuk kering pada pasien dialami selama kurang lebih 1 minggu, tapi dalam
pemeriksaan tidak ditemukan demam, faring/tonsil hiperemis, tanda dan gejala rhinitis,
pembesaran KGB, atau suara napas abnormal. Dari pemeriksaan penunjang, hasil
laboratorium menunjukkan leukositosis relatif (11.000 mg/dL) dan hasil foto rontgen
menunjukkan pelebaran perihiler bilateral tanpa infiltrat. Penulis curiga batuk tidak berdahak
pada pasien ini terjadi akibat adanya ekstravasasi cairan minimal ke interstitial paru dan
merangsang reseptor batuk yang ada disepanjang saluran napas dengan kemungkinan lain
seperti infeksi saluran napas akibat virus.
Menurut Kliegman dalam Nelson Textbook of Pediatrics ed.18 tahun 2007, pasien SN
seringkali mempunyai faktor predisposisi infeksi, biasanya pasien SN diawalai gejala infeksi
virus atau infeksi saluran kemih.9 Dalam kasus ini, penulis menduga infeksi saluran kemih
menjadi salah satu faktor kekambuhan pasien.
Faktor lain yang mempengaruhi kekambuhan pasien adalah kejadian relaps pada
pasien dan kondisi histopatologis ginjal nefrotik pasien. Dalam literatur disebutkan bahwa
sekitar 50% pasien SNSS (Sindrom Nefrotik Steroid-Sensitif ) yang mengalami relaps akan
menjadi SN relaps sering atau SN steroid dependen.12 selain itu, dalam literatur juga
disebutkan bahwa Pada pengobatan kortikosteroid inisial sebagian besar SNKM (94%)
mengalami remisi total (responsif), sedangkan pada GSFS 80-85% tidak responsif (resisten
steroid).1,4 Dari pernyatan tersebut di atas, penulis menduga bahwa pasien ini mengalami SN
tipe bukan kelainan minimal, baik itu GSFS atau MPD. Hal ini dapat dibuktikan dengan
pemeriksaan biopsi ginjal jika ditemukan indikasi klinis resisten/dependen steroid.11

20
Terapi pada pasien ini yaitu: terapi non-medikamentosa antara lain diet nefrotik 1500
kkal; dengan diit garam 1 gr/hr, dan diit protein 40 mg.hr, serta balance cairan negatif.
Sedangkan terapi medikamentosa antara lain IVFD D5% 4 tpm, prednison 3x15 mg (3-3-3)
po, furosemid 1x20 mg (iv), spironolakton 2x25 mg (po), captopril 3x6,25 mg (po), calcium
lactate 3x1/2tab (po), amoxicillin 3x250 mg (po), dan albumin 200cc.
Berdasarkan teori1 diit nefrotik yang diberikan pada pasien ini meliputi diit protein
normal yaitu 2 g/kgBB/hari karena diit tinggi protein akan menambah beban glomerulus
untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein dan menyebabkan terjadinya sklerosis
glomerulus. Sedangkan diit rendah protein akan menyebabkan malnutrisi energi protein dan
hambatan pertumbuhan anak. Karena terdapat edema tubuh, perlu restriksigaram yaitu
diberikan 1-2 gr/hari.
Selain itu perlu dilakukan penghitungan balance cairan berdasarkan input dan output.
Balance cairan yang diharapkan tidak melebihi -10 cc/kgBB (balans cairan negatif), dengan
perhitungan IWL (30 – usia) x kgBB.
Untuk mengatasi kondisi hiperkolesterolemia, dianjurkan untuk makan makanan
rendah kolesterol dengan jumlah lemak < 30% dari kalori total dan asam lemak jenuh 10%
dari seluruh kalori.7 Pada SN relaps atau resisten steroid terjadi peningkatan kadar LDL dan
VLDL kolesterol, trigliserida dan lipoprotein (a) (Lpa) sedangkan kolesterol HDL menurun
atau normal. Zat-zat tersebut bersifat aterogenik dan trombogenik, sehingga meningkatkan
morbiditas kardiovaskular dan progresivitas glomerulosklerosis.11,14
Pada SN sensitif steroid, peningkatan zat-zat tersebut bersifat sementara, cukup
dengan pengurangan diit lemak.10 Pada SN resisten steroid, dianjurkan untuk
mempertahankan berat badan normal untuk tinggi badannya, dan diit rendah lemak jenuh.
Dapat dipertimbangan pemberian obat penurun lipid seperti inhibitor HMgCoA reduktase
(statin).11
Untuk mengatasi edema, dapat diberikan furosemid yang dikombinasi dengan
spironolakton untuk mencegah hipokalemia akibat penggunaan furosemid.1
Gambar IV.1. Algoritma Pemberian Diuretik

21
Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi karena
hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/dL), dapat diberikan infus albumin 20-25%
dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial dan
diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb. Bila diperlukan, suspensi
albumin dapat diberikan selang-sehari untuk memberi kesempatan pergeseran cairan dan
mencegah overload cairan.
Pada pasien ini diberikan kombinasi loop diuretic, furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, dosis
1x20 mg/hari, dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4
mg/kgbb/hari, dosis 2x25 mg/hari. Kombinasi ini dimaksudkan untuk mencegah hipokalemia.
Selain itu, pada pasien ini juga diberikan infus albumin 20% selang sehari dengan kebutuhan
berdasarkan rumus: ∆albumin x BB x 0,8 (dalam gram) x 20% atau 25% (dalam cc).
Berdasarkan perhitungan didapatkan hasil 200cc.
Pemeriksaan anjuran pada pasien ini adalah tes mantoux yang dilakukan sebelum
pengobatan steroid dimulai. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis 5. INH selama 6 bulan
bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberikan obat antituberkulosis (OAT).
Pada pasien ini uji mantoux tidak dilakukan dengan alasan klinis. Pada pemeriksaan
penunjang foto rontgen AP juga tidak ditemukan adanya gambaran tuberkuloma.
Pada pasien ini didapatkan tanda infeksi berupa leukosituria 2+, dan curiga infeksi
saluran napas dengan gejala batuk yang biasa disebakan oleh virus. Oleh karena itu, pasien
ini diberikan terapi empiris antibiotik spektrum luas golongan penicilin yaitu amoxicillin 7,5-
15 mg/kgBB/x dengan dosis 3x250mg. Infeksi lain yang mungkin pada pasien SN adalah
selulitis dan peritonitis primer. Bila terjadi peritonitis primer (biasanya disebabkan oleh
kuman Gram negatif dan Streptococcus pneumoniae) perlu diberikan pengobatan penisilin

22
parenteral dikombinasi dengan sefalosporin generasi ketiga yaitu sefotaksim atau seftriakson
selama 10-14 hari.
Pada SN dapat terjadi hipokalsemia karena penggunaan steroid jangka panjang yang
menimbulkan osteoporosis dan osteopenia, dan kebocoran metabolit vitamin D. Oleh karena
itu pada pasien SN yang mendapat terapi steroid jangka lama (lebih dari 3 bulan) dianjurkan
pemberian suplementasi kalsium 250-500 mg/hari dan vitamin D (125-250 IU). Pada pasien
ini telah diberikan calcium 3x250mg per oral.
Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) dan angiotensin receptor blocker
(ARB) telah banyak digunakan untuk mengurangi proteinuria. Cara kerja kedua obat ini
dalam menurunkan ekskresi protein di urin melalui penurunan tekanan hidrostatik dan
mengubah permeabilitas glomerulus. ACEI juga mempunyai efek renoprotektor melalui
penurunan sintesis transforming growth factor (TGF)-β1 dan plasminogen activator inhibitor
(PAI)-1, keduanya merupakan sitokin penting yang berperan dalam terjadinya
glomerulosklerosis.
Pada SNSS relaps, kadar TGF-β1 urin sama tinggi dengan kadarnya pada SNRS,
berarti anak dengan SNSS relaps sering maupun dependen steroid mempunyai risiko untuk
terjadi glomerulosklerosis yang sama dengan SNRS. Dalam kepustakaan dilaporkan bahwa
pemberian kombinasi ACEI dan ARB memberikan hasil penurunan proteinuria lebih banyak.
Pada anak dengan SNSS relaps sering, dependen steroid dan SNRS dianjurkan untuk
diberikan ACEI saja atau dikombinasikan dengan ARB, bersamaan dengan steroid atau
imunosupresan lain. Jenis obat ini yang bisa digunakan adalah: kaptopril 0.3 mg/kgbb
diberikan 3 x sehari, enalapril 0.5 mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis, lisinopril 0,1 mg/kgbb dosis
tunggal (ACE-I), losartan 0,75 mg/kgbb dosis tunggal (ARB). Pada pasien ini diberikan
captopril 3x6,25mg per oral.
Terapi steroid inisial pasien SN dimulai dengan pemberian prednison dosis penuh 60
mg/m2LPB/hari, dibagi 3 dosis, untuk menginduksi remisi. Dosis dihitung sesuai dengan
berat badan ideal. Prednison dosis penuh diberikan selama 4 minggu. Umumnya kebanyakan
anak memberi respon dalam 4 minggu pertama.1
Perhitungan LPB: √BB(kg) xTB(cm)/ 3600
Gambar IV.2. Alur Tatalaksana SN Episode Pertama.

23
Pada pasien ini tergolong dalam kategori sindrom nefrotik relaps sering. Berdasarkan
konsensus, terdapat 4 opsi pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid: Pemberian
steroid jangka panjang, Pemberian Levamisol, Pengobatan dengan sitostatik, dan Pengobatan
dengan siklosporin, atau mikofenolat mofetil. Pada pasien ini diberikan terapi steroid jangka
panjang dengan alasan terapi steroid masih dapat memberikan remisi pada pasien.
Pada anak yang telah dinyatakan relaps sering atau dependen steroid, setelah remisi
dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid dosis 1,5 mg/kgbb secara
alternating. Dosis ini kemudian diturunkan perlahan/bertahap 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu.
Penurunan dosis tersebut dilakukan sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps
yaitu antara 0,1 – 0,5 mg/kgbb alternating. Dosis ini disebut dosis threshold dan dapat
dipertahankan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba dihentikan. Umumnya anak usia sekolah
dapat bertoleransi dengan prednison 0,5 mg/kgbb, sedangkan anak usia pra sekolah sampai 1
mg/kgbb secara alternating.
Bila relaps terjadi pada dosis prednison antara 0,1 – 0,5 mg/kgbb alternating, maka
relaps tersebut diterapi dengan prednison 1 mg/kgbb dalam dosis terbagi, diberikan setiap
hari sampai terjadi remisi. Setelah remisi maka prednison diturunkan menjadi 0,8 mg/kgbb
diberikan secara alternating, kemudian diturunkan 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu, sampai satu

24
tahap (0,2 mg/kgbb) di atas dosis prednison pada saat terjadi relaps yang sebelumnya atau
relaps yang terakhir.
Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/kgbb alternating, tetapi < 1,0
mg/kgbb alternating tanpa efek samping yang berat, dapat dicoba dikombinasikan dengan
levamisol selang sehari 2,5 mg/kgbb selama 4-12 bulan, atau langsung diberikan
siklofosfamid (CPA).
Gambar IV.3. Pengobatan SN relaps sering

Berdasarkan rumus diatas didapatkan dosis prednison 15 mg diberikan 3x sehari


dengan dosis 3-3-3 (tablet). Kadar kortisol darah dalam keadaan basal mengalami variasi
diurnal, yaitu pagi hari paling tinggi sedangkan malam hari paling rendah. Pemberian dosis
steroid pada pasien mengikuti variasi diurnal ini.9
Sebagai evaluasi pemberian prednison selama 4 minggu, dilakukan pemeriksaan
ulang urinalisa untuk mengetahui respon penggunaan prednison sehingga pengobatan dapat
dilanjutkan. Hampir semua pasien SN dengan kelainan minimal tidak menunjukkan
hipertensi sehingga observasi tekanan darah dapat dilakukan ataupun tidak.

Gambar IV.4. Alur Tatalaksana SN relaps sering

25
SN dengan kelainan minimal > 95% berespons terhadap pemberian steroid, sehingga
prognosis ad vitam, fungsionam dan sanactionam pada pasien ini bonam. Selain itu pasien
tidak menderita untuk pertamakalinya pada umur di bawah 2 tahun, tidak disertai dengan
hipertensi, hematuria, tidak termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder, dan gambaran
histopatologik bukan kelainan minimal.
Pemberian steroid jangka lama akan menimbulkan efek samping yang signifikan,
karenanya hal tersebut harus dijelaskan kepada pasien dan orangtuanya. Efek samping
tersebut meliputi peningkatan napsu makan, gangguan pertumbuhan, perubahan perilaku,
peningkatan risiko infeksi, retensi air dan garam, hipertensi, dan demineralisasi tulang. Pada
semua pasien SN harus dilakukan pemantauan terhadap gejala-gejala cushingoid, pengukuran
tekanan darah, pengukuran berat badan dan tinggi badan setiap 6 bulan sekali, dan evaluasi
timbulnya katarak setiap tahun sekali.
Prognosis pada pasien ini penulis bagi dalam 3 kategori prognosis, yaitu ad vitam, ad
functionam, dan ad sanationam. Prognosis ad vitam bonam karena tidak ditemukan tanda-
tanda komplikasi yang mengancam nyawa seperti hipovolemik, sepsis, atau tromboemboli.
Prognosis ad functionam dubia ad bonam berdasarkan indikator fungsi ginjal yang masih
baik, sedangkan ad sanationam dubia ad malam.
Biopsi ginjal terindikasi pada keadaan-keadaan: pada presentasi awal; awitan sindrom
nefrotik pada usia <1 tahun atau lebih dari 16 tahun, terdapat hematuria nyata, hematuria

26
mikroskopik persisten, atau kadar komplemen C3 serum yang rendah, hipertensi menetap,
penurunan fungsi ginjal yang tidak disebabkan oleh hipovolemia, dan tersangka sindrom
nefrotik sekunder. Sedangkan apabila pada keadaan setelah pengobatan inisial; SN resisten
steroid, sebelum memulai terapi siklosporin. Pada pasien ini tidak terdapat kriteria yang
mengindikasikan untuk dilakukan biopsi ginjal.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Alatas Husein, dkk. Konsensus Tatalaksana Sindrom Nefrotik Idiopatik pada Anak. Unit Kerja
Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2005.
2. International Study of Kidney Disease in Children, 1978. Nephrotic syndrome in children.
Prediction of histopathology from clinical and laboratory chracteristics at time of diagnosis.
Kidney Int 13 : 159
3. A Report of the International Study of Kidney Disease in Children, 1981. The primary nephrotic
syndrome in children : Identification of patients with minimal change nephrotic syndrome from
initial response to prednison. J Pediatr 98 : 561.
4. Kaysen GA, 1992. Proteinuria and the nephrotic syndrome. In : Schrier RW, editor. Renal and
electrolyte disorders. 4th edition. Boston : Little, Brown and Company pp. 681-726.
5. Wila Wirya IG, 2002. Sindrom nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO,
editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi-2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI pp. 381-426
6. Alatas Husein, dkk. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi 2. Jakarta: IDAI. 2002.
7. A. Price Sylvia, M. Wilson Lorraine. Patofisiologi konsep klinis proses penyakit. Edisi 6. EGC:
Jakarta. 2006.h.931.
8. Noer MS, 1997. Sindrom Nefrotik. In: Putra ST, Suharto, Soewandojo E, editors. Patofisiologi
Kedokteran. Surabaya : GRAMIK FK Universitas Airlanggap. 137-46.
9. Kliegman. Nephrotic Syndrome. Dalam: Nelson Textbook of Pediatric 18ed. Saunders 2007 an
imprint of Elsevier; chapter 527.
10. Niaudet P. Steroid sensitive idiopathic nephrotic syndrome in children. Dalam: Avner ED,
Harmon WE, Niaudet P, penyunting, Pediatric Nephrology, edisi ke-5, Lippincott Williams &
Wilkins, Philadelphia, 2004;h 543-56.
11. Niaudet P. Steroid resistant idiopathic nephrotic syndrome in children. Dalam: Avner ED,
Harmon WE, Niaudet P, penyunting, Pediatric Nephrology, edisi ke-5, Lippincott Williams &
Wilkins, Philadelphia, 2004;h 557-74.
12. KDIGO. KDIGO clinical practice guidelines for glumerulonephritis. Dalam: Kidney International
Supplements volume 2. International Society of Nephrology. 2012.
13. Farmakologi dan Terapi. Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. Edisi 5. 2007.h.497.
14. Filler G: Treatment of nephrotic syndrome in children and controlled trials. Nephrol Dial
Transplant 2003;18:vi75.
15. Nayak SS. Nephrotic Syndrome: At a glance. YUVA Journal of Medical Sciences Vol 1 (4).
December 2015; pg 56-57

28

Anda mungkin juga menyukai