Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH SINDROM NEFROTIK

Dosen pengampu :Ns.Desi Kurniawati, M.Kep.Sp.Kep.An

Anggota :
1. A'tini Nisa'atul Khamidah 2019206203038
2. Muhammad Al Azziz 2019206203059

PRODI S1 KEPERAWATAN FAKULTAS KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PRINGSEWU
2021
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala


kebesaran dan nikmat hidayah yang telah diberikan-Nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah tentang sindrom nefrotik ini dengan lancar. Penyusunan
Makalah ini dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah sistem perkemihan dan
sebagai sarana untuk menambah pengetahuan serta wawasan.

Makalah ini masih memiliki kelemahan dan kekurangan. Oleh karena itu,
kami memohon maaf atas kekurangan tersebut. Juga senantiasa membuka tangan
untuk menerima kritik dan saran yang membangun agar kelak kami bisa berkarya
lebih baik lagi. Harapan kami semoga karya kecil ini bisa bermanfaat bagi kita
semua S1 Keperawatan Universitas Muhammadiyah Surabaya.

Pringsewu, 1 Oktober 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................2
BAB I.................................................................................................................................3
PENDAHULUAN.............................................................................................................3
1.1 Latar Belakang...................................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................4
1.3 Tujuan................................................................................................................4
1.4 Manfaat..............................................................................................................4
BAB II...............................................................................................................................5
STUDI LITERATUR.........................................................................................................5
2.1 Definisi...............................................................................................................5
2.2 Etiologi...............................................................................................................6
2.3 Klasifikasi..........................................................................................................8
2.4 Patofisiologi.......................................................................................................8
2.5 Manifestasi Klinis..............................................................................................9
2.6 Pemeriksaan Diagnostik...................................................................................10
2.7 Penatalaksanaan...............................................................................................11
2.8 Prognosis..........................................................................................................16
2.9 Web of Caution (WOC)....................................................................................16
BAB III............................................................................................................................17
ASUHAN KEPERAWATAN..........................................................................................17
3.1 Pengkajian........................................................................................................17
3.2 Diagnosa Keperawatan.....................................................................................18
3.3 Intervensi..........................................................................................................19
3.4 Pendidikan Kesehatan Terpilih.........................................................................23
BAB IV............................................................................................................................24
ANALISA ARTIKEL JURNAL......................................................................................24
BAB V.............................................................................................................................26
PENUTUP.......................................................................................................................26
5.1 Simpulan..........................................................................................................26
5.2 Saran................................................................................................................26
Daftar Pustaka..................................................................................................................27

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sindrom nefrotik merupakan salah satu penyakit ginjal yang sering


dijumpai pada masa kanak-kanak. Menurut kepustakaan di Amerika
Serikat dan Eropa, insiden sindrom nefrotik pada anak berkisar antara 1-3
kasus baru dari setiap 100.000 anak dibawah 16 tahun setiap tahunnya,
dengan prevalensi kumulatif sebesar 16 kasus per 100.000 anak. Di negara
berkembang angka kejadian sindrom nefrotik pada anak lebih tinggi
daripada di negara maju. Di Indonesia Willa Wirya (Jakarta) memastikan
adanya 6 orang anak menderita sindrom nefrotik di antara 100.000 anak
yang berusia di bawah 14 tahun per tahun.
 Insidens lebih tinggi pada laki-laki dari pada perempuan.
Mortalitas dan prognosis anak dengan sindrom nefrotik bervariasi
berdasarkan etiologi, berat, luas kerusakan ginjal, usia anak, kondisi yang
mendasari, dan responnya trerhadap pengobatan. Sindrom nefrotik jarang
menyerang anak dibawah usia 1 tahun. Sindrom nefrotik perubahan
minimal ( SNPM ) menacakup 60 – 90 % dari semua kasus sindrom
nefrotik pada anak. Angka mortalitas dari SNPM telah menurun dari 50 %
menjadi 5 % dengan majunya terapi dan pemberian steroid. Bayi dengan
sindrom nefrotik tipe finlandia adalah calon untuk nefrektomi bilateral dan
transplantasi ginjal.
Semua penyakit yang mengubah fungsi glomerulus sehingga
mengakibatkan kebocoran protein (khususnya albumin) ke dalam ruang
Bowman akan menyebabkan terjadinya sindrom ini. Etiologi SN secara
garis besar dapat dibagi 3, yaitu kongenital, glomerulopati
primer/idiopatik, dan sekunder mengikuti penyakit sistemik seperti pada
purpura Henoch-Schonlein dan lupus eritematosus sitemik. Sindrom

1
nefrotik pada tahun pertama kehidupan, terlebih pada bayi berusia kurang
dari 6 bulan, merupakan kelainan kongenital (umumnya herediter) dan
mempunyai prognosis buruk.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah studi literatur tentang penyakit Sindrom Nefrotik?


2. Bagaimanakah asuhan keperawatan tentang penyakit Sindrom
Nefrotik?
3. Bagaimanakah analisis artikel jurnal terkait dengan intervensi?

1.3 Tujuan

1. Tujuan Umum
Mengetahui dan menganalisa asuhan keperawatan pada pasien dengan
diagnosa Sindrom Nefrotik
2. Tujuan Khusus
 Mengetahui studi literatur tentang penyakit Sindrom Nefrotik
 Mengetahui dan menganalisa asuhan keperawatan tentang
Sindrom Nefrotik
 Menganalisis artikel jurnal terkait dengan intervensi

1.4 Manfaat

1. Bagi Institusi
Menilai/mengevaluasi sejauh mana pemahaman mahasiswa dalam
memahami ilmu yang telah diberikan khususnya dalam melaksanakan
proses keperawatan dan sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya
terutama yang berkaitan dengan asuhan keperawatan dengan
infertilitas.
2. Bagi Mahasiswa
Mahasiswa dapat memahami dan menganalisa asuhan keperawatan
dengan infertilisasi.

2
BAB II

STUDI LITERATUR

2.1 Definisi

Sindrom nefrotik adalah penyakit dengan gejala edema,


hipoalbuminemia, dan hiperkolesterolemia. Kadang- kadang terdapat
hematuria, hipertensi, dan penurunan fungsi ginjal (Soemyarso, 2014).

Sindrom nefrotik adalah penyakit denagn gejala edema, proteinuria,


hipoalbuminemia dan hiperkolesterolemia, kadang-kadang terdapat
hematuria, hipertensi dan penurunan fungsi ginjal (Ngastiyah, 2005).
Sindroma nefrotik adalah keadaan klinis yang disebabkan oleh
peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma yang
menimbulkan proteinuria, hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan edema
(Betz, Cecily dan Sowden, Linda, 2002)
Sindroma nefrotik merupakan sekumpulan gejala yang terdiri atas
proteinuria masif (lebih dari 50 mg/kg BB/24 jam). Hipoalbuminemia
(kurang dari 2,5 gram/100ml). Yang disertai atau tidak disertai denagn edema
dan hiperkolesterolemia (Rauf, 2002).
Sindrom nefrotik merupakan gangguan klinis ditandai oleh
peningkatan protein, penurunan albumin dalam darah (hipoalbuminemia),
edema dan serum kolesterol yang tinggi dan lipoprotein densitas rendah
(hiperlipidemia). (Brunner & Suddarth, 2001).
Nefrotik sindrom merupakan kelainan klinis yang ditandai dengan
proteinuria, hipoalbuminemia, edema, dan hiperkolesterolmia. (Baughman,
2000)
Dapat disimpulkan bahwa sindrom nefrotik adalah sekumpulan gejala
klinis yang disebabkan oleh hilangnya permeabilitas glomerulus terhadap
protein yang ditandai dengan empat gejala khas yaitu priteinuria,
hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan edema.

3
2.2 Etiologi

Menurut Ngastiyah, 2005, etiologi sindrom nefrotik dibagi menjadi :


1. Sindrom Nefrotik Bawaan
Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal.
Resisten terhadap semua pengobatan. Gejala: edema pada masa
neonatus. Pernah dicoba pencangkokan ginjal pada neonatus tetapi
tidak berhasil. Prognosis buruk dan biasanya pasien meninggal dalam
bulan-bulan pertama kehidupannya.
2. Sindrom Nefrotik Sekunder
Disebabkan oleh:
 Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus sistemik
 Glomerulonefritis akut atau glomerulonefritis kronik, trombosis
vena renalis
 Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam
emas, sengatan lebah, racun oak, air raksa
 Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis
membranoproliferatif hipokomplementemik.
3. Sindrom Nefrotik Idiopatik atau Primer
(Tidak diketahui sebabnya atau juga disebut SN primer). Berdasarkan
histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal dengan pemeriksaan
mikroskop biasa dan mikroskop elektron, Churg dkk. membagi dalam
4 golongan yaitu:
a. Kelainan minimal
Dengan mikroskop biasa glomerulus tampak normal, sedangkan
dengan mikroskop elektron tampak foot prosessus sel epitel
berpadu. Dengan cara imunofluoresensi ternyata tidak terdapat IgG
atau imunoglobulin beta-1C pada dinding kapiler glomerulus.
Golongan ini lebih banyak terdapat pada anak daripada orang
dewasa, prognosis lebih baik dibandingkan dengan golongan lain.

4
b. Nefropati membranosa
Semua glomerulus menunjukkan penebalan dinding kapiler yang
tersebar tanpa poliferasi sel. Tidak sering ditemukan pada anak.
Prognosis kurang baik.
c. Glomerulonefritis proliferatif
 Glomerulonefritis proliferatif eksudatif difus terdapat
poliferasi sel mesangial dan infiltrasi sel polimorfonukleus.
Pembengkakan sitoplasma endotel yang menyebabkan kapiler
tersumbat. Kelainan ini sering ditemukan pada nefritis yang
timbul setelah infeksi dengan Streptococcus yang berjalan
progresif dan pada sindrom nefrotik. Prognosis jarang baik,
tetapi kadang-kadang terdapat penyembuhan setelah
pengobatan yang lama.
 Dengan penebalan batang lobular (lobular stalk thickening)
Terdapat proliferasi sel mesangial yang tersebar dan penebalan
batang lobular.
 Dengan bulan sabit (crescent)
Didapatkan proliferasi sel mesangial dan proliferasi sel epitel
sampai (kapsular) dan viseral. Prognosis buruk.
 Glomerulonefritis membranoproliferatif
Poliferasi sel mesangial dan penempatan fibrin yang
menyerupai membran basalis di mesangium. Titer globulin
beta-1C atau beta-1A rendah. Prognosis tidak baik.
 Lain-lain perubahan proliferasi yang tidak khas.
4. Glomerulosklerosis Fokal Segmental
Pada kelainan ini yang mencolok sklerosis glomerulus. Sering disertai
atrofi tubulus. Prognosis buruk.

5
2.3 Klasifikasi

Whaley dan Wong (1999 : 1385) membagi tipe-tipe sindrom nefrotik:

1. Sindrom Nefrotik Lesi Minimal ( MCNS : minimal change nephrotic


syndrome).
Kondisi yang sering menyebabkan sindrom nefrotik pada anak usia
sekolah. Anak dengan sindrom nefrotik ini, pada biopsi ginjalnya
terlihat hampir normal bila dilihat dengan mikroskop cahaya.
2. Sindrom Nefrotik Sekunder
Terjadi selama perjalanan penyakit vaskuler seperti lupus eritematosus
sistemik, purpura anafilaktik, glomerulonefritis, infeksi system
endokarditis, bakterialis dan neoplasma limfoproliferatif.
3. Sindrom Nefrotik Kongenital
Faktor herediter sindrom nefrotik disebabkan oleh gen resesif
autosomal. Bayi yang terkena sindrom nefrotik, usia gestasinya pendek
dan gejala awalnya adalah edema dan proteinuria. Penyakit ini resisten
terhadap semua pengobatan dan kematian dapat terjadi pada tahun-
yahun pertama kehidupan bayi jika tidak dilakukan dialysis.

2.4 Patofisiologi

Sindroma nefrotik adalah keadaan klinis yang disebabkan oleh


peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma yang
menimbulkan proteinuria, hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan edema.
Meningkatnya permeabilitas dinding kapiler glomerular akan berakibat pada
hilangnya protein plasma dan kemudian akan terjadi proteinuria. Lanjutan
dari proteinuria menyababkan hipoalbuminemia. Dengan menurunnya
albumin, tekanan osmotik plasma menurun sehingga cairan intravaskuler
berpindah ke dalam interstisial. Perpindahan cairan tersebut menjadikan
volume cairan intravaskuler berkurang, sehingga menurunkan jumlah aliran
darah ke renal karena hypovolemi. Karena terjadi penurunan aliran darah ke
renal, maka ginjal akan melakukan kompensasi denagn merangsang produksi

6
renin-angiotensin dan peningkatan sekresi anti diuretic hormone (ADH) dan
sekresi aldosteron yang kemudian terjadi retensi natrium dan air, denagn
retensi natrium dan air akan menyebabkan edema (Betz C, 2002).

Membran glomerulus yang normalnya impermiabel terhadap albumin dan


protein lain menjadi permiabel terhadap protein terutama albumin, yang
melewati membran dan ikut keluar bersama urin (hiperalbuminemia). Hal ini
menurunkan kadar albumin (hipoalbuminemia), menurunkan tekanan onkotik
koloid dalam kapiler mengakibatkan akumulasi cairan di interstisial (edema)
dan pembengkakan tubuh, biasanya pada abdominal (acites). Berpindahnya
cairan plasma ke interstisial menurunkan volume cairan vaskuler
(hypovolemia), yang mengaktifkan stimulasi sistem renin-angiotensin dan
sekresi ADH serta aldosteron. Reabsorbsi tubulus terhadap air dan sodium
meningkatkan volume intravaskuler (Donna L Wong, 2004).

2.5 Manifestasi Klinis

Sindrom nefrotik ditegakkan berdasarkan 4 gejala klinik yang khas, yaitu :


1. Proteinuria masif atau proteinuria nefrotik
Dalam urin terdapat protein ≥40 mg/m2/jam, atau >50 mg/kg/24jam,
atau rasio albumin/kreatinin urin sewaktu >2 mg/mg, atau dipstik ≥2+.
Proteinuria pada sindrom nefrotik kelainan minimal relatif selektif,
yang terbentuk terutama oleh albumin.
2. Hipoalbuminemia
Albumin serum < 2,5 g/dl. Kadar albumin plasma normal pada anak
denagn gizi baik berkisar antara 3,6-4,4 g/dl. Retensi cairan dean
sembab akan mulai tampak bila kadar albumin plasma kurang dari 2,5-
3,0 g/dl, tetapi sering sekali kadar albumin plasma jauh di bawah kadar
tersebut.
3. Edema
Edema merupakan manifestasi klinis utama yang mudah terlihat oleh
orang tua dan keluarga penderita. Akibat meningkatnya permeabilitas
kapiler glomerulus, albumin terlepas ke dalam urin sehingga
menimbulkan albuminuria masif dengan akibat hipoalbuminemia.

7
Hipoalbuminemia menyebabkan turunnya tekanan onkotik plasma
intravaskuler. Hal tersebut mendorong terjadinya ekstravasasi cairan
melintasi didnding kapiler, terlepas dari ruang intravaskuler masuk ke
ruang interstisial yang menyebabkan timbulnua edema. Diawali
dengan edema disekitar mata dan wajah yang sering disangka alergi,
konjungtivitis, gondong atau infeksi gigi. Dalam beberapa hari
kemudian, bengkak secara berangsur semakin menghebat dan menjalar
kearah tungkai dan perut.
4. Hiperlipidemia
Penderita sindrom nefrotik idiopatik mengalami hiperkolesterolemia
(kolesterol serum lebih dari 200 mg/dl), yang tampak lebih nyata pada
sindrom nefrotik kelainan minimal. Umumnya terdapat korelasi
terbalik antara kadar albumin serum dan kolesterol. Apabila albumin
serum kembali normal, baik secara spontan ataupun dengan pemberian
albumin, kadar lipid akan juga kembali normal. Lipid dapat ditemukan
di dalam urin dalam bentuk oval fat bodies.
Gejala lain yang menyertai :
1. Perubahan urin (penurunan volume, berbau buah, gelap)
2. Pembengkakan abdomen (asites)
3. Kesulitan pernapasan (efusi pleura)
4. Mudah lelah
5. Hipertensi
6. Anoreksia, mual dan muntah

2.6 Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan diagnostik pada sindrom nefrotik menurut Benz, Cecily L,


2002 :

1. Uji Urin
a. Protein urin  >3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh/hari
b. Urinalisa  cast hialin dan granular, hematuria
c. Dipstick urin  positif untuk protein dan darah

8
d. Berat jenis urin  meningkat (normal: 285 mOsmol)
2. Uji Darah
a. Albumin serum  <3 g/dl
b. Kolesterol serum  meningkat
c. Hemoglobin dan hematokrit  meningkat (hemokonsentrasi)
d. Laju endap darah (LED)  meningkat
e. Elektrolit serum  bervariasi dengan keadaan penyakit perorangan
f. Bila curiga lupus erimatosus sistemik pemeriksaan dilengkapi
dengan pemeriksaan kadar komplemen 4 (C4), ANA (anti nuclear
antibody) dan anti-dsDNA
3. Uji Diagnostik
a. Rontgen dada bisa menunjukkan adanya cairan berlebihan
b. USG ginjal dan CT Scan ginjal atau IVP menunjukkan pengkisutan
ginjal
c. Biopsi ginjal dapat menunjukkan salah satu bentuk
glomerulonefritis kronis atau pembentukkan jaringan parut yang
tidak spesifik pada glomeruli

2.7 Penatalaksanaan

1. Medik
a. Diuretik
Dimulai dengan furosemid 1-3 mg/kgBB/hari 2 kali sehari. Bila
tidak ada respon, dosis dinaikkan sampai 4-6 mg/kgBB/hari
bersama dengan spironolakton (antagonis aldosteron) 2-3
mg/kg/hari, sebagai potassium-sparing agent (diuretik hemat
kalium). Bila denagn terapi tersebut masih gagal, dapat ditambah
thiazide (hidroklorothiazid). Kadang-kadang perlu diberikan
furosemid bolus intravena atau infus. Pemakaian diuretik lebih
dari 1 minggu dengan dosis tinggi perlu pemantauan terhadap
hipovolemia dan elektrolit serum.
b. Kortikosteroid

9
 Pengobatan Inisial
Sesuai dengan anjuran ISKDC (International Study on Kidney
Diseases in Children), pengobatan inisial prednison dimulai
dengan dosis penuh 2 mg/kg/hari atau 60 mg/m 2/hari
(maksimal 60 mg/hari). Dosis prednison dihitung sesuai dengan
berat badan ideal. Prednison dosis penuh inisial diberikan
selama 4 minggu. Bila terjadi remisi pada 4 minggu pertama,
maka pemberian steroid dilanjutkan dengan 4 minggu kedua
dengan dosis 40 mg/m2/hari (2/3 dosis awal) secara alternating
(selang sehari) 1 kali sekali setelah makan pagi.
 Pengobatan Sindrom Nefrotik Relaps Sering
Dimulai dari prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 3
minggu) kemudian dilanjutkan dengan prednison
intermitten/alternating 40 mg/m2/hari selama 4 minggu, dan
kemudian dosis diturunkan perlahan selama 12-21 minggu
(masa pengobatan total 4-6 bulan). Kombinasi dengan
corticosteroid-sparing agent yang dimulai saat sudah
mengalami remisi, pilihannya :
 Siklofosfamid 2 mg/kg/hari sebagai dosis tunggal selama
8-12 minggu (dosis kumulatif maksimal 168 mg/kg).
Hanya aman diberikan dalam 1 seri pengobatan.
 Levamisol 2,5 mg/kg sebagai dosis alternatif (selang
sehari) selama minimal 12 bulan.
 Siklosporin A dosis awal 4-5 mg/kg/hari dalam dosis
terbagi (tiap 12 jam) selama minimal 12 bulan denagn
pemantauan fungsi ginjal dan kadar siklosporin A dalam
darah untuk menghindari nefrotoksisitas.
 Mikofenolat mofetil 1200 mg/m2/hari dalam dosis terbagi
(tiap 12 jam) selama minimal 12 bulan.
 Takrolimus dosis awal 0,1 mg/kg/hari dalam dosis terbagi
(tiap 12 jam) selama minimal 12 bulan denagn

10
pemantauan fungsi ginjal dan kadar takrolimus dalam
darah untuk menghindari nefrotoksisitas.
 Pengobatan sindrom nefrotik dependen steroid
Dimulai dari prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal
3 minggu) kemudian dilanjutkan dengan prednison
intermitten/alternating 40 mg/m2/hari selama 4 minggu, dan
kemudian dosis diturunkan perlahan selama 12-21 minggu
(masa pengobatan total 4-6 bulan). Kombinasi dengan
corticosteroid-sparing agent yang dimulai saat sudah
mengalami remisi sama dengan untuk pengobatan sindrom
nefrotik relaps sering. Namun terdapat pilihan obat lagi, yaitu
Rituksimab 375 mg/m2 tiap 2 minggu sebanyak 2 seri
pengobatan, bila tetap mengalami kambuh sering dengan
kombinasi optimal steroid dan obat lainnya.
 Pengobatan sindrom nefrotik resisten steroid
Dimulai dari prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal
3 minggu) kemudian dilanjutkan dengan prednison
intermitten/alternating 40 mg/m2/hari selama 4 minggu, dan
kemudian dosis diturunkan perlahan selama 12-21 minggu
(masa pengobatan total 4-6 bulan). Kombinasi dengan
corticosteroid-sparing agent yang dimulai saat sudah
mengalami remisi, pilihannya :
 Siklosporin A dosis awal 4-5 mg/kg/hari dalam dosis
terbagi (tiap 12 jam) selama minimal 12 bulan denagn
pemantauan fungsi ginjal dan kadar siklosporin A dalam
darah untuk menghindari nefrotoksisitas. Bila
menunjukkan remisi parsial, dapat dilanjutkan sampai 12
bulan.
 Mikofenolat mofetil 1200 mg/m2/hari dalam dosis terbagi
(tiap 12 jam) selama minimal 12 bulan.
 Takrolimus dosis awal 0,1 mg/kg/hari dalam dosis terbagi
(tiap 12 jam) selama minimal 12 bulan denagn

11
pemantauan fungsi ginjal dan kadar takrolimus dalam
darah untuk menghindari nefrotoksisitas. Bila
menunjukkan remisi parsial, dapat dilanjutkan sampai 12
bulan.
 Rituksimab 375 mg/m2 tiap 2 minggu sebanyak 2 seri
pengobatan, bila tetap mengalami kambuh sering dengan
kombinasi optimal steroid dan obat lainnya.
 Metilprednisolon (steroid dosis tinggi) intravena 30 mg/kg
(maksimal 1 gram) atau deksametason intravena 5 mg/kg
(maksimal 150 mg), diberikan selang sehari sebanyak 6
dosis, bergantian dengan prednison oral 2 mg/kg/hari
secara selang sehari.
c. Pemberian non imunosupresif
Pada pasien sindrom nefrotik yang telah resisten terhadap obat
kortikosteroid, sitostatik, dan siklosporin, dapat diberikan diuretik
(bila ada edema) dikombinasikan dengan inhibitor ACE
(angiotensinconverting enzyme) untuk mengurangi proteinuria.
Jenis obat ini yang biasa dipakai adalah kaptopril 0,1-2
mg/kgBB/hari 3 kali sehari, atau enalapril 0,5 mg/kgBB/hari
dibagi 2 dosis. Dapat pula diberikan golongan angiotensin
receptor blocker (ARB) seperti losartan 0,5-2 mg/kg/hari dalam
dosis tunggal. Tujuan pemberian inhibitor ACE atau ARB juga
untuk menghambat terjadinya gagal ginjal terminal
(renoprotektif).
2. Keperawatan
a. Edema yang berat
Pasien sindrom nefrotik denagn anasarka perlu istirahat di tempat
tidur karena keadaan edema yang berat menyebabkan pasien
kehilangan kemampuannya untuk bergerak. Terutama di tempat
tidur.

12
 Baringkan pasien setengah duduk, karena adanya cairan di
dalam rongga toraks akan menyebabkan pasien sesak
napas
 Berikan alas bantal pada kedua kakinya sampai pada tumit
(bantal diletakkan memanjang, karena jika bantal
melintang bagian ujung kaki akan lebih rendah dan akan
menyababkan edema lebih berat)
 Bila pasien seorang anak laki-laki, berikan ganjal di bawah
skrotum untuk mencegah pembengkakkan skrotum karena
tergantung.

Bila edema telah berkurang pasien diperbolehakan melakukan


kegiatan sesuai dengan kemampuannya. Untuk mengetahui
berkurangnya edema, berat badan pasien perlu ditimbang setiap
hari dan dicatat. Yang perlu juga dilakukan dalam perawatan pasien
sindrom nefrotik ialah pencatatan masukkan dan keluaran cairan
selama 24 jam.

b. Diet
Pemberian diet tinggi protein sekarang tidak dianjurkan karena
akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa
metabolisme protein. Jadi diet protein yang dianjurkan adalah
normal atau sesuai dengan RDA (recommended daily allowances)
yaitu 1,5-2 g/kgBB/hari dan cukup kalori yaitu 35 kcal/kg/hari.
Lemak dapat diberikan dengan jumlah yang tidak melebihi 30%
jumlah total kalori keseluruhan, lebih dianjurkan memberikan
karbohidrat kompleks daripada gula sederhana. Diet rendah garam
(1-2 g/hari, atau 2 mmol/kg/hari) plus menghindari camilan asin,
dianjurkan selama anak mengalami edema atau hipertensi. Bentuk
makanan disesuaikan dengan keadaan penderita, dapat makanan
biasa atau lunak.
c. Risiko terjadi komplikasi

13
Komplikasi pada kulit akibat infeksi Streptococcus atau
Staphylococcus dapat terjadi. Untuk mencegah infeksi tersebut
kebersihan kulit perlu diperhatikan dan pakaian pasien harus selalu
bersih dan kering. Karena psien sindrom nefrotik berisiko
terjadinya dekubitus maka posisi pasien perlu diubah secara teratur
misalnya setiap 3 jam dan bagian tubuh yang bekas tertekan di lap
dengan air hangat, dilap kering, kemudian dibedak. Mengingat
daya tahan tubuh pasien SN ini rendah dan mudah mendapat
infeksi, sebaiknya ruangan untuk pasien penyakit SN tidak dekat
dengan ruangan untuk pasien yang menderita infeksi dan mudah
menular. Perawat harus mempertahankan cara kerja yang aseptik.

2.8 Prognosis

Sebagaian besar anak dengan nefrosis yang berespon terhadap steroid


akan mengalami kekambuhan berkali-kali sampai penyakitnya menyembuh
sendiri secara spontan menjelang usia akhir dekade kedua. Myang penting
adalah menunjukkan pada keluarganya bahwa anak tersebut tidak herediter,
dan anak akan tetap fertile bila tidak ada terapi siklosfosfamid. Untuk
memperkecil efek psikologis nefrosis, ditekan bahwa selama masa remisi
anak tersebut normal tidak perlu pembatasan diet dan aktivitas. Pada yang
sedang berada pada masa remisi pemeriksaan urin protein biasanya tidak
diperlukan (Behrman, Kliegman, Arvin, 2000).
Terapi antibakteri dapat mengurangi kematian akibat infeksi tetapi tidak
berdaya terhadap kelainan ginjal sehingga akhirnya dapat terjadi gagal ginjal.
Penyembuhan klinik kadang-kadang terdapat setelah pengobatan bertahun-
tahun dengan kortikosteroid.

2.9 Web of Caution (WOC)


(terlampir)

14
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian

1. Identitas
Umumnya 90 % dijumpai pada kasus anak. Enam kasus pertahun
setiap 100.000 anak terjadi pada  usia kurang dari 14 tahun. Rasio laki-
laki dan perempuan yaitu 2 : 1. Pada daerah endemik malaria banyak
mengalami komplikasi nefrotic syndrome.
2. Keluhan Utama
Keluhan utama yang sering dikeluhkan adalah adanya bengkak
padawajah atau kaki.
3. Riwayat penyakit Sekarang
Badan bengkak, muka sembab, muntah, napsu makan menurun,
konstipasi, diare, urine menurun.
4. Riwayat Penyakit Terdahulu
Edema masa neonatus, malaria, riwayat glomerulonefritis akut dan
glomerulonefritis kronis, terpapar bahan kimia.
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Karena kelainan gen autosom resesif. Kelainan ini tidak dapat
ditangani dengan terapi biasa dan bayi biasanya mati pada tahun
pertama atau dua tahun setelah kelahiran.
6. Pemeriksaan Fisik
a. B1 (breathing)

15
Biasanya tidak didapatkan adanya gangguan pola napas dan jalan
napas walau secara frekuensi mengalami peningkatan terutama
pada fase akut. Pada fase lanjut sering didapatkan adanya
gangguan pola napas dan jalan napas yang merupakan respons
terhadap edema pulmoner dan efusi pleura.

b. B2 (blood)
Sering ditemukan penurunan curah jantung respon sekunder dari
peningkatan beban volume. Terkadang hipertensi ringan juga
dijumpai pada kasus ini.
c. B3 (brain)
Didapatkan edema wajah terutama periorbital, sklera tidak ikterik.
Status neurologis mengalami perubahan sesuai tingkat parahnya
azotemia pada sistem saraf pusat.
d. B4 (bladder)
Urine/24 jam 600-700 ml, hematuri, proteinuria, oliguri. Perubahan
warna urine output seperti warna urine berwarna kola.
e. B5 (bowel)
Didapatkan adanya mual dan muntah, anoreksia sehingga sering
didapatkan penurunan intake nutrisi dari kebutuhan. Didapatkan
asites pada abdomen.
f. B6 (bone)
Didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum, efek sekunder
dari edema tungkai dari keletihan fisik secara umum. Dikarenakan
pasien mengalami edema anasarka, maka pasien mengalami
immobilisasi, sehingga sirkulasi perifer pada area yang tertekan
tidak adekuat akan menyababkan luka dekubitus.

16
3.2 Diagnosa Keperawatan

1. Kelebihan Volume Cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme


regulasi. (00026)
2. Ketidakseimbangan Nutrisi : Kurang dari Kebutuhan Tubuh
berhubungan dengan kehilangan nafsu makan (anoreksia). (00002)
3. Intoleransi Aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum. (00092)
4. Kerusakan Integritas Kulit berhubungan dengan faktor internal :
perubahan status cairan, penurunan sirkulasi. (00046)
5. Resiko Infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh primer yang
tidak adekuat (status cairan tubuh) dan prosedur invasif. (00004)

3.3 Intervensi

1. Kelebihan Volume Cairan berhubungan dengan gangguan


mekanisme regulasi. (00026)
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan dalam waktu 2×24 jam
keseimbangan volume cairan tercapai.
Kriteria Hasil :
 Tidak ada edema
 Intake cairan sama dengan output cairan
 Berat jenis urin atau hasil laboratorium mendekati normal
INTERVENSI RASIONAL
 Pantau asupan dan haluaran  Pemantauan membantu
cairan setiap pergantian menetapkan status cairan
 Timbang berat badan setiap pasien
hari  Penimbangan berat badan
harian adalah pengawasan
status cairan terbaik.
Peningkatan berat badan
lebih dari 0,5 kg/hari di duga
 Kaji perubahan edema: ukur ada retensi cairan
lingkar abdomen serta  Untuk mengkaji acites dan

17
pantau edema sekitar mata kerena merupakan sisi
 Programkan pasien pada umum edema
diet rendah natrium selama
fase edema  Suatu diet rendah natrium
 Awasi pemeriksaan dapat mencegah retensi
laboratorium (BUN, cairan
kreatinin, natrium, kalium,
 Mengkaji berlanjutnya dan
Hb/ht)
penanganan disfungsi/gagal
ginjal. Kreatinin adalah
indikator terbaik untuk
penilaian fungsi ginjal
karena tidak dipengaruhi
 Berikan obat sesuai indikasi
oleh hidrasi, diet, dan
diuretik. Contoh furosemid
katabolisme jaringan
(lasix) dan mannitol
(osmitol)
 Diberikan dini pada fase
oliguri untuk mengubah ke
fase nonoliguri untuk
menurunkan hiperkalemia
dan meningkatkan volume
urin adekuat

2. Ketidakseimbangan Nutrisi : Kurang dari Kebutuhan Tubuh


berhubungan dengan kehilangan nafsu makan (anoreksia).
(00002)
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan intervensi selama 3×24 jam
diharapkan kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi
Kriteria Hasil:
 Tidak mengeluh mual
 Nafsu makan meningkat
 Protein dan albumin dalam batas normal
INTERVENSI RASIONAL

18
 Kaji/catat pemasukkan diet  Membantu dan
mengidentifikasi defisiensi
 Timbang berat badan tiap dan kebutuhan diet
hari  Perubahan kelebihan 0,5 kg
dapat menunjukkan
perpindahan keseimbangan
 Tawarkan perawatan mulut cairan
sebelum dan sesudah
 Menjaga kebersihan mulut
makan
dan makanan yang akan
 Berikan makanan sedikit dikonsumsi
tapi sering
 Meminimalkan anoreksia
dan mual sehubungan dengan
 Berikan diet tinggi protein status uremik
dan rendah garam
 Memenuhi kebutuhan protein
 Beri makanan dengan cara yang hilang bersama urin
yang menarik
 Meningkatkan nafsu makan
 awasi pemeriksaan
laboratorium. Contoh:
 Indikator kebutuhan nutrisi,
BUN, albumin serum,
pembatasan dan efektivitas
transferin, natrium dan
terapi
kalium

3. Intoleransi Aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum.


(00092)
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3×24 jam pasien
dapat beraktivitas dengan normal
Kriteria Hasil:
 Menunjukkan aktivitas sesuai dengan kemampuan
 Berpartisipasi dalam aktivitas fifik tanpa disertai peningkatan TD,
nadi & RR
 Sirkulasi status baik
INTERVENSI RASIONAL
 Pertahankan tirah baring  Tirah baring yang sesuai

19
awal bila terjadi edema gaya gravitasi dapat
hebat menurunkan edema
 Ambulasi menyebabkan
 Seimbangkan istirahat dan kelelahan
aktivitas bila ambulasi  Aktivitas yang tenang
 Rencanakan dan berikan mengurangi penggunaan
aktivitas tenang energi yang dapat
menyebabkan kelelahan
 Mengadekuatkan fase
 Instruksiksn istirahat bila istirahat pasien
pasien mulai merasa lelah  Pasien dapat menikmati
 Berikan periode istirahat masa istirahatnya
tanpa gangguan
4. Kerusakan Integritas Kulit berhubungan dengan faktor
internal : perubahan status cairan, penurunan sirkulasi.
(00046)
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3×24 jam
integritas kilit terjaga
Kriteria Hasil:
 Tidak ada tanda kemerahan
 Tidak ada luka/lesi pada kulit
 Perfusi jaringan baik
INTERVENSI RASIONAL
 Berikan perawatan kulit  Memberikan kenyamanan
pada anak dan mencegah
kerusakan kulit
 Hindari pakaian ketat  Dapat mengakibatkan area
yang menonjol tertekan
 Bersihkan dan bedaki area  Untuk mencegah terjadinya
kulit beberapa kali sehari iritasi pada kulit karena
gesekan dengan alat tenun
 Topang area edema seperti  Untuk menghilangkan area
skrotum, labia tekanan

20
 Ubah posisi dengan sering  untuk mencegah terjadinya
dekubitus
 Gunakan penghilang  untuk mencegah terjadinya
tekanan atau matras atau dekubitus
tempat tidur penurun
tekanan sesuai kebutuhan
5. Resiko Infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh primer
yang tidak adekuat (status cairan tubuh) dan prosedur invasif.
(00004)
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3×24 jam tidak
terjadi infeksi
Kriteia Hasil:
 Hasil laboratorium normal
 Tanda-tanda vital stabil
 Tidak ada tanda-tanda infeksi
INTERVENSI RASIONAL
 Lindungi anak dari kontak  untuk meminimalkan
individu terinfeksi pajanan pada organism
 Gunakan teknik mencuci infektif
tangan yang baik  untuk memutus mata rantai
 Jaga agar anak tetap hangat penyebaran infeksi
dan kering  karena kerentanan terhadap
 Pantau suhu infeksi pernafasan
 indikasi awal adanya tanda
 Ajari orang tua tentang infeksi
tanda dan gejala infeksi  memberi pengetahuan dasar
tentang tanda dan gejala
infeksi

3.4 Pendidikan Kesehatan Terpilih


(terlampir)

21
BAB IV

ANALISA ARTIKEL JURNAL

A. Nama Jurnal

“Pengaruh suplementasi kapsul ekstrak ikan gabus terhadap laju filtrasi


glomerulus pada sindrom nefrotik resisten steroid anak”

B. Pengarang

Nisa Ashila , M. Heru Muryawan

C. Lokasi penelitian dan waktu penelitian

Penelitian ini Di poliklinik anak RSUP dr. Kariadi Semarang bulan Mei 2015

D. Latar Belakang

Sindrom Nefrotik Resisten Steroid (SNRS) merupakan jenis sindrom


nefrotik yang tidak merespon terhadap pengobatan steroid. Anak dengan
SNRS memiliki risiko tinggi penurunan fungsi ginjal. Laju filtrasi merupakan
sebuah indikator fungsi ginjal. Pemberian suplemen kapsul ekstrak ikan gabus
dapat meningkatkan albumin serum sehingga secara tidak langsung
diharapkan dapat meningkatkan laju filtrasi glomerulus.

E. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan kuasi eksperimentalpre and post


design dilakukan di poliklinik RSUP dr. Kariadi Semarang, pada 10 anak
dengan SNRS yang selanjutnya terdapat 3 anak drop out dari penelitian.
Pasien mendapatkan suplementasi kapsul ekstrak ikan gabus dosis 2 x 500 mg
selama 21 hari. Laju filtrasi glomerulus dihitung sebelum dan setelah
suplementasi. Analisis statistik mengunakan uji t berpasangan.

F. Hasil Penelitian

22
Rerata laju filtrasi glomerulus awal senilai 114,09 ± 41,60 ml/menit/1,73
m2 menurun menjadi 105,97 ± 33,81 ml/menit/1,73 m2 setelah perlakuan
dengan rerata perbedaan senilai -8,12 ± 39,23 ml/menit/1,73 m2. Hasil
penelitian membuktikan bahwa terdapat perbedaan yang tidak bermakna
secara statistik (p = 0, 604) antara rerata laju filtrasi glomerulus sebelum dan
setelah pemberian suplemen kapsul ekstrak ikan gabus.

G. Kesimpulan Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat


perbedaan laju filtrasi glomerulus berupa penurunan laju filtrasi glomerulus
yang tidak bermakna sebelum dan setelah pemberian suplementasi kapsul
ekstrak ikan gabus 2 x 500 mg selama 21 hari pada Sindrom Nefrotik
Resisten Steroid (SNRS) anak usia 2-18 tahun.Perlunya penelitian lebih
lanjut mengenai laju filtrasi glomerulus atau fungsi ginjal pada anak dengan
SNRS di Indonesia menggunakan studi deskriptif serta pengaruh pemberian
diet tinggi protein terhadap fungsi ginjal anak dengan SNRS dengan
memperpanjang waktu pemberian dan memperhatikan lama pasien menderita
SNRS dengan metode Randomized Controlled Trial.

H. Ringkasan PICO/PICOT

P = anak

I = suplementasi kapsul ekstrak ikan gabus

C =-

O = laju filtrasi glomerulus

T =-

23
BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan

Sindrom nefrotik adalah suatu kumpulan gejala gangguan klinis,


meliputi hal-hal: proteinuria masif >3,5 g/hari, hipoalbuminemia, edema,
dan hiperlipidemia. Manifestasi dari keempat kondisi tersebut yang sangat
merusak membran kapiler glomerulus dan menyebabkan peningkatan
permeabilitas glomerulus.
Etiologi dari sindrom nefrotik dibagi menjadi tiga kelompok yaitu
bawaan, sekunder (SLE, glomerulonefritis, bahan kimia, amiiloidosis),
primer (kelainan minimal, nefropati membranosa, glomerulonefritis
poliferatif, glomerulonefritis membranopoliferatif), dan
glomerulosklerosis fokal segmental. Pengobatan dapat dilakukan secara
medik (kortikosteroid dan diuretik) serta keperawatan (diet rendah garam,
posisi untuk menanggulangi edema).
Tanda paling umum adalah adanya peningkatan cairan di dalam
tubuh (edema). Sehingga masalah keperawatan yang mungkin muncul
adalah kelebihan volume cairan, ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh, intoleransi aktifitas, kerusakan integritas kulit, dan
resiko infeksi.

5.2 Saran

Demikian isi dari makalah yang dapat kami sampaikan. Kami


berharap agar makalah yang dibuat ini dapat bermanfaat bagi semua
kalangan baik dosen, mahasiswa ataupun pembaca.

24
Daftar Pustaka

Brunner & Suddarth. 2003. Medical Surgical Nursing (Perawatan Medikal


Bedah), alih bahasa: Monica Ester. Jakarta : EGC.

Wong, Donna L. 2004. Pedoman Klinis Keperawatan Anak Edisi 4, alih bahasa:
Monica Ester. Jakarta: EGC.

Price A & Wilson L. 1995. Pathofisiology Clinical Concept of Disease Process


(Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit), alih bahasa: Dr.
Peter Anugrah. Jakarta: EGC.

Potter, Patricia A. Perry, Anne Griffin. 2005. Buku Ajar Fudamental 


Keperawatan : Konsep, Proses dan Praktis Volume 2. EGC: Jakarta.

Soemyarso, Ninik Asmaningsih, dkk. 2014. Model Pembelajaran Ilmu Kesehatan


Anak. Surabaya: Airlangga University Press.

Betz, Cecily L dan Sowden, Linda L. 2002. Keperawatan Pediatrik, Edisi 3.


EGC: Jakarta.

O’callaghan, Cheis. 2009. At a Glance Sistem Ginjal Edisi Kedua. Jakarta:


Erlangga.

Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC.

Nurarif, Amin Huda dan Kusuma, Hardhi. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan
berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC 2. Yogyakarta:
Mediaction

Behrman, Kliegman dan Arvin. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Volume 3. Jakarta:
EGC.

NANDA., 2013. Diagnosa Keperawatan Nanda. Jakarta: Prima Medika.

25
Lampiran 1

Istilah yang sering digunakan pada sindrom nefrotik

Istilah Keterangan

Remisi Proteinuria negatif atau trace, (proteinuria >40


mg/m2/jam) selama 3 hari berturut-turut dalam 1
minggu

Relaps Proteinuria 2+ (proteinuria >40 mg/m2/jam) 3 hari


berturut-turut dalam 1 minggu, dimana sebelumnya
perbnah mengalmi remisi

Relaps jarang Relaps terjadi kurang dari 2 kali dalam 6 bulan pertama
setelah respon awal atau kurang dari 4 kali per tahun
pengamatan

Relaps sering Relaps terjadi ≥ 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah


respons awal, atau ≥ 4 kali dalam periode 1 tahun

Sensitif steroid Remisi tercapai dalam 4 minggu atau kurang setelah


pengobatan steroid dosis penuh (full dose)

Dependen steroid Relaps terjadi pada saat dosis steroid diturunkan, atau
dalam waktu 14 hari setelah pengobatan steroid
dihentikan, dan hal ini terjadi 2 kali berturut-turut

Resisten steroid Tidak terjadi remisi setelah 8 minggu pengobatan


steroid (dosis penuh 4 minggu diikuti dosis rumatan

26
selama 4 miggu)

Responder lambat Remisi terjadi setelah 4 minggu terapi prednison 60


mg/m2/hari tanpa tambahan terapi lain

Nonresponder awal Resisten steroid sejak terapi awal

Nonresponder lambat Resisten steroid terjadi pada pasien yang sebelumnya


sensitif steroid

27

Anda mungkin juga menyukai