Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

SISTEM ENDOKRIN KASUS DIABETES MELITUS


PADA ANAK
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Keperawatan Anak

Fasilitator : Ns. Eka Rokhmiati, S.Kep.,M.Kep


Disusun Oleh : Mahasiswa Program Studi Sarjana Ilmu Keperawatan

Yeni Lotu Rina Setyowinarni


Nabila Ernita Suci Wili Astuti
Riski Nadian Tri Supraptiningsih
Feby Yidiansyah Maria
Arief Rachmad Farhan Suherman
Intan Kurniasari

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


UNIVERSITAS INDONESIA MAJU
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas rahmat dan hidayah yang telah Tuhan Yang Maha Esa berikan kepada
penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan lancar tanpa hambatan yang
berarti.
Dengan selesainya makalah ini, sudah menjadi keharusan bagi penulis untuk menghaturkan
untaian rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penulisan dan
penyelesaiannya, sehingga dapat rampung pada waktunya. Penghargaan dan terima kasih penulis
sampaikan kepada yang terhormat:
1. Ibu Ns. Eka Rokhmiati, S.Kep.,M.Kep selaku dosen pembimbing (fasilitator) yang telah
banyak memberi arahan dan masukan sehingga mendorong penulis membuat makalah ini.
2. Rekan-rekan penulis senasib dan seperjuangan, yang telah menyumbangkan pikiran demi
membantu penulis hingga terselesaikannya makalah ini.
Dengan adanya makalah ini, kami berharap mahasiswa Ilmu Keperawatan khususnya dan
masyarakat secara umumnya dapat memahami pentingnya etika keperawatan dalam dunia
keperawatan. Penulis juga berharap rekan sesama mahasiswa Ilmu Keperawatan dapat
menerapkan dalam setiap pemberian asuhan keperawatan, sehingga dunia kesehatan Indonesia
menjadi semakin baik dan terpercaya.
Tentunya ada hal-hal yang mendorong penulis untuk membuat makalah ini ialah bertujuan
untuk memberikan informasi dan pengetahuan yang lebih luas mengenai Sistem Endokrin kasus
Diabetes Melitus pada Anak di dalam bidang keperawatan. Oleh karena itu penulis berharap
makalah ini dapat berguna dan bermanfaat bagi pembaca. Penulis menyadari makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan dalam
meningkatkan mutu, mengembangkan data dan penyajian makalah ke arah yang lebih baik lagi.

Jakarta, Juni 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN.................................................................................................1
1.1. Latar Belakang..................................................................................................1
1.2. Perumusam Masalah.........................................................................................2
1.3. Tujuan Penulisan..............................................................................................2
1.4. Sistematika Penulisan.......................................................................................2
BAB 2 PEMBAHASAN....................................................................................................3
2.1. Definisi.............................................................................................................3
2.2. Klasifikasi.........................................................................................................4
2.3. Patofisiologi......................................................................................................5
2.4. Pathway.............................................................................................................6
2.5. Manifestasi Klinis.............................................................................................7
2.6. Komplikasi........................................................................................................8
2.7. Penatalaksanaan................................................................................................9
BAB 3 TINJAUAN KASUS..............................................................................................18
3.1. Pengkajian Keperawatan..................................................................................
3.2. Diagnosa Keperawatan.....................................................................................
3.2. Perencanaan Keperawatan................................................................................
3.2. Pelaksanaan Keperawatan................................................................................
BAB 4 PENUTUP..............................................................................................................
3.1. Kesimpulan.......................................................................................................
3.2. Saran.................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................

i
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang


Sistem endokrin mengatur dan mempertahankan fungsi tubuh dan
metabolisme tubuh, jika terjadi ganguan endokrin akan menimbulkan masalah yang
komplek terutama metabolisme fungsi tubuh terganggu salah satu gangguan endokrin
adalah Diabetes Melitus yang disebabkan karena defisiensi absolute atau relatif yang
disebabkan metabolisme karbohidrat,lemak dan protein. Kelainan ini merupakan kelainan
metabolik-endokrin masa anak dan remaja yang paling lazim dengan konsekuensi penting
pada masa perkembangan fisik dan emosi. Individu yang menderita Diabetes Melitus
tergantung insulin menghadapi beban serius yang meliputi kebutuhan mutlak insulin
eksogen setiap hari nya, kebutuhan untuk memonitor pengendalian metabolic diri nya dan
kebutuhan untuk memperhatikan terus menerus pada masukan diet. Morbiditas dan
mortalitas yang berasal dari kekacauan metabolik ini mempengaruhi pembuluh kecil dan
besar serta menyebabkan retinopati, nefropati, penyakit jantung iskemia dan obstruksi
arteri dengan ganggreng tungkai.
Asuhan anak yang mengalami diabetes berbeda dari asuhan diabetes pada orang
dewasa akibat perbedaan fisiologi dan perkembangan. Pada anak sensitifitas insulin
beragam karena anak tumbuh dan menjalani maturasi seksual. Dan kemampuan
managemen diri beragam diantara anak. Berdasarkan usia, tingkat perkembangan dan
perbedaan individual.asuhan akan diperlu kan dalam berbagai tatanan seperti sekolah,
tempat penitipan anak dan aktivitas ekstrakulikuler. Oleh sebab itu, penyuluhan dan
edukasi akan perlu melibatkan orang tua dan pengasuh lain sepanjang masa kanak-kanak
dan remaja.
Secara umum di dunia terdapat 15 kasus per 100.000 individu pertahun yang
menderita DM tipe 1. 3 dari 1000 anak akan menderita Diabetes Melitus pada umur 20
tahun nantinya. Insiden DM tipe 1 pa-da anak-anak di dunia tentunya berbeda. Terdapat
0.61 kasus per 100.000 anak di Cina, hingga 41.4 kasus per 100.000 anak di
Finlandia. Angka ini sangat ber-variasi, terutama tergantung pada ling-kungan tempat
tinggal. Ada kecenderung-an semakin jauh dari khatulistiwa, angka kejadiannya akan

1
semakin tinggi. Meski belum ditemukan angka kejadian IDDM di Indonesia, namun
angkanya cenderung lebih rendah dibanding di negara-negara Eropa. Di Indonesia
penderita Diabetes Melitus ada 1,2 % sampai 2,3 % dari penduduk berusia diatas 15
tahun, sehingga Diabetes Melitus (DM) tercantum dalam urutan nomor empat dari
prioritas pertama adalah penyakit kardiovaskuler, kemudian disusul penyakit
selebrolaskuler dan katarak. (Depkes RI,2008).
Menurut survei yang dilakukan WHO, Indonesia menempati urutan ke 4 dengan jumlah
penderita Diabetes terbesar didunia setelah India, Cina, Amerika Serikat. Dengan
prevalensi 8,6% dari total penduduk dan pada tahun2025 diperkirakan meningkat
menjadi 12.4 juta penderita. Sedangkan dari data Departemen Kesehatan, jumlah
pasien Diabetes mellitus rawat inap maupun jalan di Rumah Sakit menempati urutan
pertama dari seluruh penyakit endokrin. (Maulana. 2008)

1.2. Perumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan suatu permasalahan
yaitu bagaimana melakukan asuhan keperawatan pada pasien anak dengan gangguan
sistem endokrin kasus Diabetes Melitus?

1.3 Tujuan Penulisan


Penulisan makalah ini dilakukan untuk mengetahui ketepatan Asuhan
Keperawatan pada pasien anak dengan gangguan sistem endokrin kasus Diabetes
Mellitus.

1.4 Sistematika Penulisan


Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah study literature. Metode ini
dilakukan dengan cara mencari informasi yang terkait dengan pembahasan masalah dari
buku, jurnal, dan sumber bacaan lain yang terpercaya. Selain itu, kami juga
mendiskusikan masalah ini terkait dengan pengetahuan yang telah kami miliki.

2
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI
Kata “Diabetes” berasal dari bahasa Yunani yang arti nya “Kencing” dan pada
tahun 1675, Thomas Willis menambahkan kata “Melitus” dari bahsa Latin yang artinya
“Madu” sehingga lengkap nya menjadi Diabetes Melitus. Untuk menyebut penyakit
dengan gejala mengeluarkan kencing atau urin berasa manis. Menurut (TriExs Media
Team, 2009:Hal.1)
Diabetes Melitus adalah sekelompok penyakit yang ditandai oleh meningkat nya
kadar glukosa darah akibat berkurang nya produksi insulin, gangguan kerja insulin atau
kedua nya. Menurut (Bernstein, Daniel & Shelov, Steven. 2017: Hal.310).
Sistem endokrin adalah sistem kontrol kelenjar tanpa saluran (ductless) yang
menghasilkan hormon yang tersirkulasi di tubuh melalui aliran darah untuk
mempengaruhi organ-organ lain. Hormon bertindak sebagai "pembawa pesan" dan
dibawa oleh aliran darah ke berbagai sel dalam tubuh, yang selanjutnya akan
menerjemahkan "pesan" tersebut menjadi suatu tindakan. Sistem endokrin tidak
memasukkan kelenjar eksokrin seperti kelenjar ludah, kelenjar keringat, dan kelenjar-
kelenjar lain dalam saluran gastroinstestin. Kelenjar endokrin merupakan kelenjar yang
tidak mempunyai saluran, yang menyalurkan sekresi hormonnya langsung kedalam
darah. Hormon tersebut memberikan efek ke organ atau jaringan target. Beberapa
hormon seperti insulin dan trioksin mempunyai banyak target. Sedangkan hormon lain
hanya memiliki satu atau beberapa target. Sistem endokrin terdiri dari sekelompok organ
(kadang disebut sebagai kelenjar sekresi internal), yang fungsi utamanya adalah
menghasilkan dan melepaskan hormon- hormon secara langsung ke dalam aliran darah.
Hormon berperan sebagai pembawa pesan untuk mengkoordinasikan kegiatan berbagai
organ tubuh. Jika kelenjar endokrin mengalami kelainan fungsi, maka kadar hormon di

3
dalam darah bisa menjadi tinggi atau rendah, sehingga mengganggu fungsi tubuh. Untuk
mengendalikan fungsi endokrin, maka pelepasan setiap hormon harus diatur dalam batas-
batas yang tepat.

2.2 KLASIFIKASI
Diabetes Melitus bukan suatu wujud tunggal tetapi agak nya merupakan
kelompok kelainan heterogen yang ada perbedaan pola genetic serta mekanisme
patofisiologi dan etiologi lain yang menyebabkan gangguan toleransi glukosa.
(Behrman,dkk.2000: Hal. 2006)
1. DM tipe 1
(Dahulu dinamai DM dependent insulin atau DM awitan Juvenilis), bentuk tersering
DM pada populasi anak, mengenai sekitar 2 anak per 1000. Pada DM Tipe 1 terjadi
kerusakan autoimun sel-sel beta pancreas yang menyebabkan defisiensi insulin.
Meskipun biasanya terdapat pada anak dan dewasa muda, DM Tipe 1 dapat timbul
pada semua usia. Karenanya, istilah seperti diabetes juvenile, diabetes cenderung
ketosis, dan diabetes rapuh harus dihilangkan dan diganti dengan DM Tipe 1 atau
IDDM (Bernstein, Daniel & Shelov, Steven. 2017:Hal.310).
2. DM Tipe 2
Orang-orang dalam subkelas ini dahulu dikenal dengan diabetes yang mulai dewasa,
diabetes yang mulai maturitas (maturity-onset diabetes [MOD], atau diabetes stabil).
Adalah tidak tergantung insulin dan hanya jarang berkembang ketosis. Namun,
beberapa dapat memerlukan insulin untuk perbaikan hiperglikemia bergejala, dan
ketosis dapat timbul pada beberapa penderita selama infeksi berat atau stress lain. Ini
biasanya disebut diabetes mellitus tidak tergantung insulin (Non-Insulin-Dependent
diabetes mellitus [NIDDM]). Diabetes ini jarang pada masa anak dan remaja.
Tampak ada sekresi insulin yang cukup, tetapi juga ada resistensi terhadapnya dan
pada beberapa individu, diabetes ini dapat merupakan diabetes mellitus tipe 1 yang
berkembang secara perlahan. Sebagai pendekatan awal, penurunan berat badan
terindikasi pada anak yang gemuk. Toleransi karbohidrat abnormal juga dapat terjadi
pada anak yang memiliki riwayat keluarga diabetes tipe 2 yang kuat dalam pola yang
mengesankan pewarisan dominan; pola diabetes ini disebut MODY (maturity onset

4
diabetes of the young) dan memerlukan pengobatan dengan insulin. Yang paling
penting, pada tipe diabetes ini tidak ada hubungan dengan antigen leukosit manusia
(Human Leucocyte Antigens [HLA]), autoimunitas, dan atau antibody sel pulau.
(Behrman,dkk.2000: Hal. 2006).

2.3 PATOFISIOLOGI
Proinsulin, yaitu precursor insulin, disintesis di sel beta pancreas sebagai suatu
protein bergelung tunggal yang terdiri dari 2 rantai : A & B, yang dihubungkan oleh
peptida C dan disatukan oleh ikatan disulfida. Ketika insulin di bebas kan kesistemik,
peptida C31 – Asam Amino diputuskan dari Molekul untuk membentuk insulin aktif.
Jumlah insulin yang bergantung pada masukan dari sistem syaraf autonom, tingkat
asupan kalori, olahraga, dan pengaruh hormone. GH, glukakon, glukokortikoid, dan
estrogen merangsang pelepasan insulin; namun, mereka juga mengantagonis efek insulin
dijaringan perifer.
Insulin terutama bekerja untuk mendorong glukosa secara cepat masuk kedalam
sel dandijadikan bahan bakar bagi metabolisme dihampir semua sel tubuh, tetapi terutama
dihati, otot, dan lemak. Insulin menghambat glukoneogenesis dan mendorong perubahan
glukosa hati menjadi asam lemak.
DM tipe 1 terjadi karena kerusakan auto imun sel beta pancreas. 90% dari para
pasien ini positif memiliki antigen leukosit manusia (HLA) DR3 atau DR4, tetapi tipe
HLA kurang memadai untuk menjelaskan semua kasus baru DM. dihipotesiskan bahwa
kombinasi predisposisi genetic dan antigenemia memicu suatu respon auto imun yang
menyerang dan menghancurkan sel beta sertsa menyebabkan insulinopenia (teori “double
hit”). Penanda kerusakan autoimun sel beta adalah autoantibodi sel islet dan autoantibodi
terhadap insulin dan asam glutamate dekarboksilase. Setelah hilangnya sekitar 80% dari
masa sel beta, glukosa darah meningkat akibat berkurangnya penyerapan glukosa.

5
2.4 PATHWAY
DM tipe 1 ( IDDM ) DM tipe II ( NIDDM )

Reaksi Autoimun Idiopatik, Usia,


Genetik, gaya
hisup,dd

Sel β pankreas
hancur Jumlah sel β
pankreas
menurun
Defisiensi Insulin

Hiperglikemia Katabolisme Liposis meningkat


Protein meningkat

Glukoria
Starvasi

Deuresi Osmosis Poliura


Penurunan berat
polipagi
badan
Kehilangan Cairan
Hipotnik
Glukoneogenesis
Kehilangan elektrolit
Gliserol, Asam Lemak
Bebas Menigkat
Sotbitol
Polidipsi

Hiperosmolaris Retinopati
Ketogenesis
ketoadosis

Ketonuria

Kematian Coma

6
2.5 MANIFESTASI KINIS
Menurut (TriExs Team, 2006: Hal.10-11)
1. Obesitas
Orang bertubuh gemuk pantas dicurigai menderita diabetes, baik tahap awal maupun
tahap akut, sehingga mereka yang relative gendut sebaiknya memeriksakan diri lebih
cepat untuk mengetahui apakah dirinya mengidap diabetes atau tidak. Walaupun
tidak semua kasus obesitas disertai serangan diabetes.
2. Sering kencing (polyuria)
Apabila tubuh terus memperoleh asupan makanan atau minuman berkadar gula
tinggi, sedangkan tubuh tidak sanggup menguraikannya, kelebihan gula itu oleh
tubuh akan diusahakan untuk dikeluarkan melalui air kencing atau urine maka
keluarlah air kencing alias urine yang mengandung gula
3. Banyak berkeringat
Zat gula tidak dapat diurai, oleh tubuh juga dapat dipaksakan keluar melalui keringat.
Perhatikan bahwa orang yang gemuk lebih sering mengeluarkan keringat dan
keringatnya lebih banyak dibandingkan dengan orang yang kurus.
4. Selalu lapar dan haus (polydipsia)
Karena asupan gula sudah ditolak dan dipaksakan keluar oleh tubuh melalui air
kencing dan keringat berjumlah banyak, tubuh meminta ganti melalui asupan
makanan dan minuman (polyfagia), sehingga penderita diabetes biasanya sering
merasa lapar dan haus.
5. Berat badan menyusut
Walaupun banyak makan dan minum, penderita diabetes mengalami penyusutan
berat badan dramatis, apabila mengurangi asupan makanan dan minuman yang
mengandung zat gula atau karbohidrat termasuk nasi. Berat badan juga berkurang
sebab tubuh terpaksa mengambil dan membakar lemak sebagai cadangan energy
apabila banyak glukosa dibuang begitu saja sebagai urine lantaran tidak dapat diurai
berhubung tubuh memang tengah kesulitan memproduksi insulin.

7
6. Lesu
Seandainya zat gula sudah banyak dibuang tubuh melalui kencing dan keringat,
tetapi tubuh tidak memperoleh penggantinya berupa asupan makanan dan minuman
lagi, tubuh menjadi lesu atau lekas capek.
7. Luka sulit sembuh
Kelebihan zat gula atau glukosa dalam darahdapat mengakibatkan luka pada tubuh
sulit mengering atau lama sembuh.
8. Mual dan muntah
9. Perubahan pandangan secara mendadak
10. Sensasi kesemutan atau kebas di tangan atau kaki
11. Kulit kering dan infeksi berulang
12. Gangguan tingkat kesadaran, dan kematian

2.6 KOMPLIKASI
Menurut (Brunner dan Suddarth, 2013:Hal.212). Komplikasi yang berkaitan
dengan diabetes di klasifikasikan sebagai komplikasi akut dan kronik. Komplikasi akut
terjadi akibat intoleransi glukosa yang berlangsung dalam jangka waktu pendek dan
mencakup berikut :
 Hipoglikemia
 DKA (Diabetes Ketoacidosis)
 HHNS
Komplikasi kronis biasanya terjadi 10-15 tahun setelah awitan diabetes mellitus,
komplikasinya mencakup berikut :
 Penyakit makrovaskular (pembuluh darah besar) : mempengaruhi sirkulasi coroner,
pembuluh darah perifer, dan pembuluh darah otak.
 Penyakit mikrovaskular (pembuluh darah kecil) : mempengaruhi mata (retinopati)
dan ginjal (nefropati). Kontrol kadar gula darah untuk menunda atau mencegah
awitan komplikasi mikrovaskular maupun makrovaskular.
 Penyakit neuropatik : mempengaruhi saraf sensoris dan motoric dan otonom serta
berperan memunculkan sejumlah masalah, seperti impotensi dan ulkus kaki.

8
2.7 PENATALAKSANAAN
Komponen pengelolaan DMT1 meliputi pemberian insulin, pengaturan makan, olah
raga, edukasi, dan pemantauan mandiri.
1. PEMBERIAN INSULIN
- Tujuan terapi insulin adalah menjamin kadar insulin yang cukup di dalam
tubuh selama 24 jam untuk memenuhi kebutuhan metabolisme sebagai insulin
basal maupun insulin koreksi dengan kadar yang lebih tinggi (bolus) akibat
efek glikemik makanan.
- Regimen insulin sangat bersifat individual, sehingga tidak ada regimen yang
seragam untuk semua penderita DMT1. Regimen apapun yang digunakan
bertujuan untuk mengikuti pola fisiologi sekresi insulin orang normal sehingga
mampu menormalkan metabolisme gula atau paling tidak mendekati normal.
- Pemilihan regimen insulin harus memperhatikan beberapa faktor yaitu: umur,
lama menderita diabetes melitus, gaya hidup penderita (pola makan, jadwal
latihan, sekolah dsb), target kontrol metabolik, dan kebiasaan individu maupun
keluarganya.
- Regimen apapun yang digunakan, insulin tidak boleh dihentikan pada keadaan
sakit. Dosis insulin disesuaikan dengan sakit penderita dan sebaiknya
dikonsulkan kepada dokter.
- Bagi anak-anak sangat dianjurkan paling tidak menggunakan 2 kali injeksi
insulin per hari (campuran insulin kerja cepat/ pendek dengan insulin basal).
- Dosis insulin harian, tergantung pada: Umur, berat badan, status pubertas, lama
menderita, fase diabetes, asupan makanan, pola olahraga, aktifitas harian, hasil
monitoring glukosa darah dan HbA1c, serta ada tidaknya komorbiditas.
- Dosis insulin (empiris):
- Dosis selama fase remisi parsial, total dosis harian insulin <0,5 IU/ kg/ hari.
- Prepubertas (diluar fase remisi parsial) dalam kisaran dosis 0,7–1 IU/kg/hari.
- Selama pubertas kebutuhan biasanya meningkat menjadi 1.2–2 IU/kg/hari

9
2. PENYESUAIAN DOSIS INSULIN
- Penyesuaian dosis insulin bolus dapat dilakukan dengan memperhitungkan
rasio insulin bolus-karbohidrat, yaitu dengan cara memperhitungkan rasio dosis
insulin bolus harian dengan total karbohidrat harian.
- Penyesuaian dosis insulin juga dapat dilakukan dengan jalan memperhitungkan
rasio insulin-karbohidrat (menggunakan rumus 500). Angka 500 dibagi dengan
dosis insulin total harian hasilnya dinyatakan dalam gram, artinya 1 unit insulin
dapat mencakup sejumlah gram karbohidrat dalam diet penderita.
- Koreksi hiperglikemia: dapat dilakukan dengan rumus 1800 bila menggunakan
insulin kerja cepat, dan rumus 1500 bila menggunakan insulin kerja pendek.
Angka 1800 atau 1500 dibagi dengan insulin total harian hasilnya dalam
mg/dL, artinya 1 unit insulin akan menurunkan kadar glukosa darah sebesar
hasil pembagian tersebut dalam mg/dL. Hasil perhitungan dosis koreksi ini
bersifat individual dan harus mempertimbangkan faktor lain misalnya latihan.

3. PENGATURAN MAKAN
- Pada regimen konvensional, pengaturan makan dengan memperhitungkan
asupan dalam bentuk kalori.
- Pada regimen basal-bolus, pengaturan makan dengan memperhitungkan asupan
dalam bentuk gram karbohidrat.
- Pemilihan jenis makanan dianjurkan karbohidrat dengan indeks glikemik dan
glicemic load yang rendah.

4. OLAH RAGA
- Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh anak dan remaja DM Tipe 1 saat
melakukan olahraga.
- Diskusikan jumlah pengurangan dosis insulin sebelum olahraga dengan dokter.
- jika olahraga akan dilakukan pada saat puncak kerja insulin maka dosis insulin
harus diturunkan secara bermakna.
- Pompa insulin harus dilepas atau insulin basal terakhir paling tidak diberikan
90 menit sebelum mulai latihan.

10
- Jangan suntik insulin pada bagian tubuh yang banyak digunakan untuk latihan.
- Jika glukosa darah tinggi, glukosa darah > 250 mg/dL (14 mmol/L) dengan
ketonuria /ketonemia (> 0,5 mmol/L) - Olahraga atau latihan fisik harus
dihindari
- Berikan insulin kerja cepat (rapid acting) sekitar 0,05 U/kg atau 5 % dari dosis
total harian.
- Tunda aktivitas fisik sampai keton sudah negatif.
- Konsumsi 1,0-1,5 gram karbohidrat per kg massa tubuh per jam untuk olahraga
yang lebih lama atau lebih berat jika kadar insulin yang bersirkulasi tinggi atau
insulin sebelum latihan tidak dikurangi.
- Makanan yang mengandung tinggi karbohidrat harus dikonsumsi segera setelah
latihan untuk mencegah terjadinya hipoglikemia pasca latihan fisik.
- Hipoglikemia dapat terjadi sampai 24 jam setelah olahraga.
- Ukur kadar glukosa darah sebelum tidur dan kurangi insulin basal sebelum
tidur (atau basal pompa insulin) sebesar 10-20% setelah olahraga di siang atau
sore hari jika latihannya lebih intensif dari biasanya atau jika aktivitasnya tidak
dilakukan secara reguler.
- Karbohidrat ekstra setelah aktivitas biasanya merupakan pilihan terbaik untuk
mencegah hipoglikemia pasca latihan setelah olahraga anerobik dengan
intensitas tinggi.
- Olahraga yang merupakan kombinasi antara latihan aerobik (sepeda, lari,
berenang) dan anaerobik memerlukan tambahan ekstra karbohidrat sebelum,
selama, dan setelah aktivitas.
- Hiperglikemia setelah latihan dapat dicegah dengan memberikan tambahan
kecil dosis insulin kerja cepat saat pertengahan atau segera setelah selesai
olahraga.
- Risiko terjadinya hipoglikemia nokturnal pasca olahraga cukup tinggi terutama
jika kadar glukosa darah sebelum tidur < 125 mg/dL (<7.0 mmol/L). Dosis
insulin basal sebelum tidur sebaiknya dikurangi.

11
- Pasien dengan retinopati proliferatif atau nefropati harus menghindari olahraga
yang bersifat anaerobik atau yang membutuhkan ketahanan fisik karena dapat
menyebabkan tekanan darah tinggi.
- Kudapan dengan indeks glikemik tinggi harus selalu siap di sekolah.
Berikut ini adalah petunjuk mengenai beberapa penyesuaian diet, insulin, dan cara
monitoring gula darah agar aman berolahraga bagi anak dan remaja DM Tipe 1 :
1) Sebelum berolahraga
a. Tentukan waktu, lama, jenis, intensitas olahraga. Diskusikan dengan pelatih/guru
olah raga dan konsultasikan dengan dokter.
b. Asupan karbohidrat dalam 1-3 jam sebelum olahraga.
c. Cek kontrol metabolik, minimal 2 kali sebelum berolahraga.
d. Jika glukosa darah <90 mg/dL (< 5 mmol/L) dan cenderung turun, tambahkan
ekstra karbohidrat
e. Jika glukosa darah 90-250 mg/dL (5-14 mmol/L) tidak diperlukan ekstra
karbohidrat (tergantung lama aktifitas dan respons individual).
f. Jika glukosa darah >250 mg/dL dan keton urin/darah (+), tunda olah raga sampai
glukosa darah normal dengan insulin
g. Bila olah raga aerobik, perkirakan energi yang dikeluarkan dan tentukan apakah
penyesuaian insulin atau tambahan karbohidrat diperlukan
h. Bila olah raga anaerobik atau olah raga saat panas, atau olahraga kompetisi
sebaiknya insulin dinaikkan
i. Pertimbangkan pemberian cairan untuk menjaga hidrasi (250 mL pada 20 menit
sebelum olahraga)
2) Selama berolah raga
a. Monitor glukosa darah tiap 30 menit.
b. Teruskan asupan cairan (250 ml tiap 20-30 menit).
c. Konsumsi karbohidrat tiap 20-30 menit, bila diperlukan.
3) Setelah berolah raga
a. Monitor glukosa darah, termasuk sepanjang malam (terutama bila tidak biasa
dengan program olahraga yang sedang dijalani).
b. Pertimbangkan mengubah terapi insulin, dengan menurunkan dosis insulin basal.

12
c. Pertimbangkan tambahan karbohidrat kerja lambat dalam 1-2 jam setelah
olahraga untuk menghindari hipoglikemia awitan lambat. Hipoglikemia awitan
lambat dapat terjadi dalam interval 2 x 24 jam setelah latihan.

5. PUASA DI BULAN RAMADAN


a. Risiko yang perlu diwaspadai bila diabetisi berpuasa adalah hipoglikemia,
hiperglikemia dengan atau tanpa ketoasidosis.
b. Kelompok pasien DMT1 yang berisiko tinggi mengalami kondisi yang
memperburuk penyakitnya, dan dianjurkan untuk tidak berpuasa adalah:
- Penderita DM yang pernah mengalami hipoglikemia berat dalam 3 bulan
sebelum Ramadan.
- Riwayat hipoglikemia berulang atau riwayat hypoglycemia unawareness.
- Kontrol glikemik kurang baik (HbA1c > 8).
- Riwayat ketoasidosis diabetik dalam 3 bulan sebelum Ramadan.
- Riwayat koma hiperglikemik hiperosmolar dalam 3 bulan terakhir.
- Sedang sakit lainnya: demam, diare, muntah, dan lain-lain yang
memberatkan.
- Sedang hamil atau melahirkan.
- Menjalani dialisis kronis.
Beberapa rekomendasi bagi anak dan remaja DM Tipe 1 yang akan beribadah
puasa Ramadan :
a) Nutrisi
a. Konsumsi makanan yang kaya karbohidrat dalam jumlah besar saat
berbuka puasa, sebaiknya dihindari.
b. Saat sahur sebaiknya makan makanan yang mengandung karbohidrat
kompleks, dan sebaiknya makan di waktu selambat mungkin yang
diperbolehkan (mendekati akhir waktu sahur). Makanan termasuk
buah, sayur, kacang-kacangan, yoghurt, sereal, nasi.
c. Banyak minum saat di luar waktu berpuasa.
b) Olahraga dan aktivitas fisik.
a. Aktivitas fisik seperti biasa sebaiknya tetap dilakukan.

13
b. Olahraga berat sebaiknya dihindari selama jam-jam berpuasa.
c) Pantau status glikemik.
Bila kadar glukosa darah tinggi (≥250 mg/dL atau 14 mmol/L). – Keton
urin sebaiknya diperiksa.
d) Batalkan puasa bila:
a. Kadar glukosa darah ≤70 mg/dL (4 mmol/L) atau mengalami gejala
dan tanda hipoglikemia.
b. Kadar glukosa darah >300 mg/dL (16,6 mmol/L) atau bila ≥250
mg/dL (14 mmol/L) dengan keton positif. – Sedang sakit.
Regimen insulin perlu disesuaikan selama bulan puasa Ramadan untuk
menjaga kontrol metabolik yang baik. Rekomendasi penyesuaian regimen insulin
adalah sebagai berikut :
1) Regimen Insulin Basal Bolus
a. Menurunkan dosis insulin basal (misalnya glargine, detemir) 1020 % dari
dosis semula (dan dapat diturunkan lagi bila diperlukan ).
b. Menggunakan insulin analog kerja cepat (misalnya aspart) untuk makanan.
c. Bila kadar glukosa darah >250 mg/dL (14 mmol/L), dosis koreksi dengan
insulin kerja cepat sebaiknya diberikan.
d. Menggunakan penghitungan karbohidrat untuk makanan yang dimakan agar
disesuaikan dengan dosis insulin.
e. Bila insulin analog kerja cepat dan panjang tidak tersedia, dapat digunakan
insulin kerja menengah dan kerja pendek.
2) Regimen Insulin Dua Dosis
a. Saat Iftar insulin yang diberikan adalah kombinasi insulin kerja pendek dan
kerja menengah dengan dosis sama dengan dosis pagi hari sebelum berpuasa.
b. Saat sahur insulin yang diberikan hanya insulin kerja pendek dengan dosis
0,1-0,2 U/kg.
3) Regimen Insulin Tiga Dosis
Dua dosis insulin kerja pendek sebelum Iftar dan Sahur, dan 1 dosis insulin kerja
menengah saat tengah malam/sebelum tidur.

14
4) Pemantauan glukosa darah teratur dan sering sebaiknya dilakukan, terutama
sebelum Iftar dan 3 jam setelahnya, dan sebelum dan 2 jam sesudah sahur. Hal ini
diperlukan untuk menyesuaikan dosis insulin dan mencegah hipoglikemia dan
hiperglikemia setelah makan.

6. PEMANTAUAN
a. Tujuan pemantauan gula darah mandiri pada pasien dengan DMT1 adalah
mencapai target kontrol glikemik yang optimal, menghindari komplikasi akut
berupa hipoglikemia dan ketoasidosis dan komplikasi kronis yaitu penyakit
akibat ganggaun mikro dan makrovaskuler, menimalisasi akibat hipoglikemia
dan hiperglikemia terhadap fungsi kognitif.
b. Pemantauan kontrol glikemik dilakukan dengan melakukan pemantauan
glukosa darah mandiri, HbA1c, keton, dan pemantauan glukosa darah
berkelanjutan.
c. Pemantauan tumbuh kembang merupakan bagian integral dari pemantauan
diabetes.
a. Pemantauan Glukosa Darah Mandiri
- Pemantauan glukosa darah mandiri memungkinkan pasien untuk
melakukan penyesuaian insulin terhadap makanan yang dikonsumsi
menjadi lebih baik dan memungkinkan pasien DM untuk mengkoreksi
kadar glukosa darah yang berada diluar target sehingga dapat
memperbaiki kadar HbA1c.
- Pemantauan glukosa darah mandiri selama olahraga memungkinkan
penyesuaian dosis insulin sebelum dan selama olahraga sehingga
mengurangi risiko terjadinya hipoglikemia selama dan setelah olahraga.
- Frekuensi pemantauan glukosa darah mandiri berbeda-beda untuk
masing-masing individu tergantung dari ketersediaan alat dan
kemampuan anak untuk mengidentifikasikan hipoglikemia. Untuk
mengoptimalkan kontrol glikemik maka pemantauan glukosa darah
mandiri harus dilakukan 4-6 kali sehari.

15
- Pagi hari setelah bangun tidur untuk melihat kadar glukosa darah
setelah puasa malam hari.
- Setiap sebelum makan.
- Pada malam hari untuk mendeteksi hipoglikemia atau
hiperglikemia.
- 1 ,5-2 jam setelah makan.
- Pemantauan glukosa darah mandiri dilakukan secara lebih sering pada
olahraga dengan intensitas tinggi yaitu sebelum, selama dan setelah
melakukan kegiatan tersebut

b. Pemeriksaan Keton
a. Normal keton darah: <0.6 mmol/L
b. Pemeriksaan keton darah lebih baik dari pada keton urin.
c. Keton darah >3,0 mmol/L biasanya disertai dengan asidosis sehingga harus segera
dibawa ke IGD. Keton darah <0,6 mmol/L biasa ditemukan setelah puasa malam
hari
Pemeriksaan keton harus tersedia dan dilakukan pada saat :
a. Sakit yang disertai demam dan/atau muntah.
b. Jika glukosa darah di atas 14 mmol/L (250 mg/dL) pada anak yang tidak sehat
atau jika kadar glukosa darah meningkat diatas 14 mmol/L (250 mg/dL)
secara persisten.
c. Ketika terdapat poliuria persisten disertai peningkatan kadar glukosa darah,
terutama jika disertai nyeri abdomen atau napas cepat.
d. Pemeriksaan keton darah sebaiknya tersedia bagi anak yang lebih muda atau
pasien yang menggunakan pompa insulin.

7. EDUKASI

a. Edukasi/pendidikan merupakan unsur strategis pada pengelolaan DM tipe-1,


harus dilakukan secara terus menerus dan bertahap sesuai tingkat pengetahuan
serta status sosial penderita/keluarga.

16
b. Sasaran edukasi adalah pasien (anak atau remaja) dan kedua orang tua, serta
pengasuhnya.
c. Edukasi tahap pertama dilakukan saat diagnosis ditegakkan (biasanya selama
perawatan di rumah sakit). Edukasi ini meliputi: pengetahuan dasar tentang
DMT1 (terutama perbedaan dengan tipe lain), pengaturan makanan, insulin
(jenis, cara pemberian, efek samping, penyesuaian dosis sederhana dll), dan
pertolongan pertama pada kedaruratan medik akibat DMT1 (hipoglikemia,
pemberian insulin pada saat sakit).
d. Edukasi tahap kedua selanjutnya berlangsung selama konsultasi di poliklinik.
Pada tahap ini, edukasi berisi penjelasan lebih terperinci tentang patofisiologi,
olahraga, komplikasi, pengulangann terhadap apa yang pernah diberikan serta
bagaimana menghadapi lingkungan sosial.

17
BAB 3
TINJAUAN KASUS

18
BAB 3
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1. Kesimpulan
Diabetes Melitus adalah sekelompok penyakit yang ditandai oleh meningkat nya
kadar glukosa darah akibat berkurang nya produksi insulin, gangguan kerja insulin atau
kedua nya. Diabetes Melitus bukan suatu wujud tunggal tetapi agak nya merupakan
kelompok kelainan heterogen yang ada perbedaan pola genetic serta mekanisme
patofisiologi dan etiologi lain yang menyebabkan gangguan toleransi glukosa, Pada
Diabetes Militus terdapat Tipe 1 dan Tipe 2.
Komplikasi yang berkaitan dengan diabetes diklasifikasikan sebagai komplikasi
akut dan kronik. Komplikasi akut terjadi akibat intoleransi glukosa yang berlangsung
dalam jangka waktu pendek, komponen pengelolaan DM Tipe 1 meliputi pemberian
insulin, pengaturan makan, olah raga, edukasi, dan pemantauan mandiri.

3.2. Saran
Sebagai perawat harus selalu sigap dalam penanganan pada penyakit Diabetes Militus
baik Tipe 1 maupun Tipe 2, karena akan menjadi fatal jika terlambat menanganinya.
Selain itu perawat juga memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga agar mereka
paham dengan tanda gejala dan makanan apa saja yang harus dihindari penyakit Diabetes
Militus dan bagaimana pengobatannya.

19
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth.2013. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 2.Jakarta:EGC

Daniel,Bernstein&Shelov,Steven.Ilmu Kesehatan Anak Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi III.


Jakarta:EGC

Yati,Niken Prita dkk.2017. Diagnosis dan Tata Laksana Diabetes Melitus Tipe-1 Pada Anak
dan Remaja.Surabaya:UKK

TriExs Team.2009 Having Fun With Diabetes Militus. Bandung:TirEx Media Team.

Dochterman, J. M., & Bulechek, G. M. (2004). Nursing Interventions classification (NIC) (5th
ed.). America: Mosby Elseiver

Moorhead, S., Jhonson, M., Maas, M., dan Swanson, L. (2008). Nursing Outcomes Classification
(NOC) (5th ed.). United state of America: Mosby Elsevier

SDKI DPP PPNI. 2016. Standart Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan Indikator
Diagnostik Edisi 1. Jakarta : Persatuan Perawat Nasional Indoneia (PPNI)

20

Anda mungkin juga menyukai