Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH KEPERAWATAN GERONTIK

“Asuhan Keperawatan Lansia dengan gangguan Sistem Endokrin”

Dosen Pengampu : Ns,.Tri Wahyuni M,Kep

Disusun Oleh :

Kelompok 9

Mariana

Topan Sanjaya

PRODI NERS REGULER B SEKOLAH

TINGGI ILMU KEPERAWATAN

MUHAMMADIYAH PONTIANKA TAHUN

2020/2021

1
KATA PENGANTAR

Rasa syukur yang dalam kami sampaikan ke hadiran Tuhan Yang


Maha Pemurah, karena berkat kemurahan-Nya makalah ini dapat kami
selesaikan sesuai yang diharapkan. Makalah ini dibuat dalam rangka
memperdalam pemahaman materi tentang “Asuhan Keperawatan Lansia
dengan sistem endokrin” dan sekaligus melakukan apa yang menjadi tugas
mahasiswa yang mengikuti mata kuliah “Keperawatan Gerontik” Dalam
proses pedalaman materi tentang Asuhan Keperawatan Lansia dengan sistem
endokrin ini tentunya kami mendapat bimbingan , arahan , koreksi , dan saran
, untuk itu kami mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :

1. Kedua Orangtua kami, yang telah mendoakan serta mendukung sehingga


kami dapat menyelesaikan Makalah ini.
2. Ns, Tri Wahyuni, M.Kep selaku dosen mata kuliah
3. Teman-teman satu kelompok yang sudah dapat bekerjasama dalam
pengerjaan makalah ini.

Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini jauh dari kata


sempurna, maka daripada itu kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca. Semoga Allah memberikan balasan yang berlipat
ganda kepada semua pihak yang sudah membantu penulis dalam
menyelesaikan makalah ini. Demikian makalah ini kami buat, semoga dapat
bermanfaat dan dapat menambah wawasan kita semua.

Pontianak, 07 Juni 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

COVER……………………………………………………………………………1

KATA PENGANTAR…………………………………………………………...2

DAFTAR ISI……………………………………………………………………...3

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………..4

1. LATAR BELAKANG……………………………………………………4
2. RUMUSAN MASALAH…………………………………………………5
3. TUJUAN ………………………….………………………………………6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………..8

1. SISTEM ENDOKRIN…………………………………………………..12
2. PROSES MENUA PADA SISTEM ENDOKRIN…………………….12
3. DIABETES MELLITUS TIPE 2……………………………………….14
4. PATOFISIOLOGI DM TIPE 2…………………………………………16
5. KOMPLIKASI DAN DAMPAK DM TIPE 2…………………………18
6. KOMPLIKASI DAN DAMPAK DM TIPE 2…………………………20
7. TANDA DAN GEJALA………………………………………………...24
8. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK……………………………………...24
9. PENANGANAN…………………………………………………………25

BAB III ASKEP…………………………………………………………………28

PENUTUP……………………………………………………………………….30

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………..31

3
BAB 1

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG
Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit kekurangan atau resisten insulin yang
kronis, diabetes mellitus ditandai dengan gangguan metabolism karbohidrat, protein dan
lemak. Peranan insulin di tubuh adalah untuk mengangkut glukosa ke dalam sel untuk bahan
bakar atau simpanan glikogen. Insulin juga merangsang sintesis protein dan penyimpanan
asam lemak bebas dalam jaringan adiposa. Kekurangan insulin menghambat kemampuan
tubuh untuk mengakses nutrient yang penting untuk bahan dasar dan simpanan. Karena
insiden diabetes selalu meningkat seiring pertambahan usia, profesional perawatan kesehatan
yang merawat lansia harus memiliki pemahaman yang lengkap mengenai penyakit umum ini.
Pendapat umum menyatakan bahwa pada usia lanjut kita hanya berhadapan dengan
diabetes tipe 2. Memang sebagian besar benar demikian, tetapi kini ada tendensi lain karena
DM tipe 1 di usia lanjut bertambah, ditambah pula dengan insulin requiring cases, LADA.
Diabetes dapat terjadi dalam bentuk utama: tipe 1, diabetes mellitus yang bergantung pada
insulin, dan yang lebih prevalen adalah tipe 2 yang merupakan diabetes mellitus yang tidak
bergantung pada insulin. Pada lansia diabetes tipe 2 terhitung 90% kasus di Indonesia.
The Congressionally-Established Diabetes Research Working Group (1999)
melaporkan bahwa walaupun kematian karena penyakit-penyakit kanker, stroke, dan
kardiovaskular cenderung berkurang sejak 1988, angka kematian karena diabetes naik sekitar
30 persen. Usia harapan hidup orang-orang yang menderita diabetes rata-rata 15 tahun lebih
pendek dari. Prevalensi diabetes mellitus di dunia semakin meningkat sehingga dianggap
sebagai wabah, dimana pada tahun 2000 diperkirakan jumlah penduduk dunia yang menderita
DM sebanyak 150 juta jiwa dan pada tahun 2020 diperkirakan meningkat 300 juta jiwa.
Angka prevalensi yang sangat meningkat ini diperkirakan terjadi di Negara yang sedang
berkembang seperti Cina dan India termasuk Indonesia. Sebaliknya di Negara yang maju,
prevalensi DM tidak begitu meningkat. Peningkatan yang luar biasa di Negara sedang
berkembang di duga akibat perubahan pola hidup (Sanusi Harsinen, 2004).
Hasil survey yang dilakukan badan kesehatan dunia WHO, Indonesia menempati
urutan ke-4 jumlah penderita diabetes terbesar di dunia setelah India, Cina dan Amerika
Serikat, dengan prevalensi 8,6 % dari total penduduk. Diperkirakan pada tahun 1995 terdapat

4
4,5 juta pengidap DM dan pada tahun 2025 diperkirakan menjadi meningkat 12.4 juta
penderita. Sedangkan data yang telah dihimpun Depkes, jumlah pasien yang rawat inap
maupun rawat jalan di RS menempati urutan pertama dari seluruh penyakit endokrin (Depkes
RI, 2006).
DM disebut sebagai penyakit kronis sebab DM dapat menimbulkan perubahan yang
permanen bagi kehidupan seseorang. Penyakit kronis tersebut memiliki implikasi yang luas
bagi lansia maupun keluarganya, terutama munculnya keluhan yang menyertai, penurunan
kemandirian lansia dalam melakukan aktivitas keseharian, dan menurunnya partisipasi sosial
lansia. Sehingga secara otomatis akan mempengaruhi kualitas hidup lansia yang menderita
DM.
Perawat komunitas sejak awal dapat berperan dalam meminimalisasi perubahan
potensial pada sistem tubuh pasien. Beberapa penelitian eksperimental memperlihatkan
bahwa perawat mempunyai peran yang cukup berpengaruh terhadap perilaku pasien. Salah
satu peran yang penting guna mendorong masyarakat terutama lansia adalah agar lansia dan
keluarga mampu memahami kondisi lansia diabetisi sehingga dapat melakukan perawatan
diri secara mandiri (self-care).
Untuk menjadikan lansia yang sehat dan sejahtera membutuhkan dukungan semua
pihak. Untuk itu masyarakat harus mempersiapkan diri hidup berdampingan dengan para
lansia. Namun masyarakat urban memerlukan perhatian khusus, keterbatasan waktu dan
kesempatan bercengkerama memungkinkan perhatian terhadap lansia berkurang.
Selain situasi juga kondisi yang mendukung, umumnya lansia memiliki banyak keterbatasan.
Terlebih kesehatan yang mulai turun, kemampuan yang terbatas dan penyakit khas orang-
orang tua. Diabetes melitus (DM) misalnya menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan
lansia.
Tujuan penanganan DM pada lanjut usia tidak jauh berbeda dengan orang dewasa
umumnya yaitu untuk mencegah terjadinya dekompensasi metabolik akut dan menurunkan
angka kesakitan dan angka kematian akibat komplikasi. Satu hal yang tidak boleh diabaikan,
yaitu walaupun pencapaian kualitas hidup yang lebih baik merupakan tujuan utama
penanganan DM pada lanjut usia, namun pemberiaan obat-obatan secara agresif dan non
prosedural adalah tidak benar.
Berdasarkan banyaknya persentasi tersebut di atas maka sangat penting untuk dibahas
mengenai masalah gangguan system endokrin pada lansia, khususnya yang sering terjadi
yaitu diabetes mellitus tipe 2. Sehingga ketika profesi di masyarakat nanti kelompok mampu
member informasi kepada lansia dan keluarga yang menderita diabetes mellitus.
5
2. TUJUAN

Adapun tujuan dari pembuatan makalah adalah :

1. Mengetahui angka kejadian DM tipe 2 di Indonesia


2. Memahami system endokrin dan proses menua system endokrin
3. Memahami penyebab, tanda dan gejala serta dampak DM tipe 2
4. Mampu memberikan asuhan keperawatan pada lansia yang terkena DM tipe 2
5. Mampu memberikan penyuluhan untuk mengurangi angka kejadian DM tipe 2

6
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Sistem Endokrin
Kelenjar endokrin mencakup kelenjar hipofisis (pituitari), tiroid, paran tetiroid,
adrenal, pulau langerhans, ovarium dan testis. Semua kelenjar ini meng ekskresikan
produknya langsung ke dalam darah, berbeda dengan kelenjar eksokrin misalnya kelenjar
keringat yang mensekresikan produknya lewat saluran permukaan epithelia. Hipotalamus
berfungsi sebagai penghubung antara system saraf dan system endokrin.

Gambar 1. Kelenjar endokrin utama pada manusia


Zat-zat kimia yang disekresikan oleh kelenjar endokrin disebut hormone. Hormone
membantu mengatur fungsi organ agar bekerja secara terkoordinasi dengan system saraf.
System regulasi ganda ini, dimana kerja cepat system saraf diimbangi oleh kerja hormone
yang lebih lambat, memungkinkan pengendalian berbagai fungsi tubuh secara cepat dalam
bereaksi tehadap perubahan di dalam dan luar tubuh.
Organ anatomis tertentu adalah tempat dimana kelenjar endokrin biasa ditemukan.
Kelenjar endokrin tersusun dari sel-sel sekretorik yang terbagi dalam kelompok-kelompok
kecil (asinus). Meskipun tidak terdapat duktus, kelenjar endokrin memiliki suplai darah yang
kaya sehingga zat-zat kimia yang diproduksinya dapat langsung memasuki aliran darah
dengan cepat.

2. Proses Menua pada sistem endokrin


Hampir semua proses produksi dan pengeluaran hormon dipengaruhi oleh enzim, dan
enzim ini dipengaruhi oleh proses menua. Berdasarkan klirens hormone yang melambat

7
(ingatlah bahwa semua proses sintesis, perubahan dari non-aktif menjadi aktif, transfor
bahan, masuknya hormone lewat reseptor membrane; semuanya ini membutuhkan enzim
yang terganggu pada usia lanjut) dapat ditemukan kadar hormone naik meskipun tidak diikuti
gejala ataupun tanda klinik.
Sama dengan sel lain, kelenjar endokrin dapatmengalami kerusakan yang bersifat age
related cell loss, fibrosis, infiltrasi limfosit, dan sebaginya. Perubahan karena usia pada
reseptor hormon, kerusakan permeabilitassel dan sebagainya, dapat menyebabkan perubahan
respon inti sel terhadap kompleks hormone-reseptor.
Semua jenis penyakit hormonal dapat terjadi pada usia lanjut namun bentuk disfungsi
ini tidak se khas seperti pada orang muda atau dewasa. Dan justru hal inilah yang harus kita
kenali.
Pada manusia, defisiensi GH(growth hormon) pada proses menua akan ditandai
dengan penurunan sintesis protein, penurunan lean body massdan bone massdan kenaika
presentasi lemak tubuh. Sekresi GH, kadar IGF 1 dan IGFBP 3 menurun dengan usia.
Bagaimana hubungannya secara pasti belum diketahui. Pemberian GH pada usia lanjut
dengan IGF 1 rendah akan meninggikan kadar IGF 1, retensi nitrogen, lean body mass,
mengurangi lemak tubuh tetapi tidak mempengaruhi densitas tulang. Untuk waktu sekarang
pemberian GH jangka pendek hanya dianjurkan pada usia lanjutyang menderita penyakit
katabolic, salah makan, kebakaran, cachexia dan sebagainya.

3. Diabetes Melitus Tipe 2


Seiring pertambahan usia, sel-sel tubuh menjadi lebih resisten terhadap insulin, yang
mengurangi kemampuan lansia untuk memetabolisme glukosa. Selain itu, pelepasan insulin
dari sel beta pancreas berkurang dan melambat. Hasil dari kombinasi proses ini adalah
hiperglikemia. Pada pasien lansia, konsentrasi glukosa yang mendadak dapat meningkatkan
dan lebih memperpanjang hiperglikemia.
Diabetes terjadi hampir satu dari lima orang yang berusia 65 tahun atau lebih. Karena
gejalanya samar, para peneliti percaya lebih banyak pasien lansia yang menderita diabetes
mellitus tipe 2 yang tidak terdiagnosis. Selain itu, lebihari 40% individu pada usia ini
memiliki beberapa bentuk intoleransi glukosa.
Diabetes tipe 2 pada lansia disebabkan oleh sekresi insulin yang tidak normal, resistensi
terhadap kerja insulin pada jaringan target, dan kegagalan glukoneogenesis hepatik. Penyebab
utama hiperglikemia pada lansia adalah peningkatan resistensi insulin pada jaringan perifer.
Meskipun jumlah reseptor insulin sebenarnya sedikit menurun seiring pertambahan usia,
8
resistensi dipercaya terjadi setelah insulin berikatan dengan reseptor tersebut. Selain itu, sel-
sel beta pada pulau Langerhans kurang sensitif terhadap kadar glukosa yang tinggi, yang
memperlambat produksi insulin. Beberapa lansia juga tidak mampu untuk menghambat
produksi glukosa di hati.

4. Patofisiologi DM tipe 2
Pada diabetes tipe II (Diabetes Melitus Tidak Tergantung Insulin – NIDDM) terdapat dua
masalah utama yang berhubungan dengan insulin, yaitu : resistensi insulin dan gangguan
sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel.
Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi
dalam metabolisme glukosa didalam sel. Resistensi insulin pada diabetes mellitus tipe II
disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini.
Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa
oleh jaringan. Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukagon
dalam darah harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan. Pada penderita
toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan
kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun
demikian, jika sel-sel beta tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin,
maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes mellitus tipe II. Meskipun terjadi
gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas diabetes mellitus tipe II, namun masih
terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan
produksi badan keton yang menyertainya. Karena itu, ketoasidosis diabetic tidak terjadi pada
diabetes mellitus tipe II. Meskipun demikian, diabetes mellitus tipe II yang tidak terkontrol
dapat menimbulkan masalah akut lainnya yang dinamakan sindrom hiperglikemik
hiperosmoler nonketotik (HHNK).
Diabetes mellitus tipe II paling sering terjadi pada penderita diabetes yang berusia lebih
dari 30 tahun dan obesitas. Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat (selama
bertahun-tahun) dan progresif, maka awitan diabetes mellitus tipe II dapat berjalan tanpa
terdeteksi. Jika gejalanya dialami pasien, gejala tersebut sering bersifat ringan dan dapat
mencakup kelelahan, iritabilitas, poliuria, polidipsia, luka pada kulit yang lama sembuh-
sembuh, infeksi vagina atau pandangan kabur (jika kadar glukosanya sangat tinggi).
Untuk sebagian besar pasien ( 75%), penyakit diabetes mellitus tipe II yang dideritanya
ditemukan secara tidak sengaja (misalnya pada saat pasien menjalani pemeriksaan
laboratorium yang rutin). Salah satu konsekuensi tidak terdeteksinya penyakit diabetes
9
selama bertahun-tahun adalah bahwa komplikasi diabetes jangka panjang (misalnya kelainan
mata, neuropati perifer, kelainan vaskuler perifer) mungkin sudah terjadi sebelum diagnosis
ditegakkan.

5. Komplikasi dan dampak DM tipe 2


Hipoglikemia adalah komplikasi yang mungkin terjadi pada penderita diabetes yang
diobati dengan insulin atau obat-obatan antidabetik oral. Hal ini mungkin disebabkan oleh
pemberian insulin yang berlebihan, asupan kalori yang tidak adekuat, konsumsi alkohol, atau
olahraga yang berlebihan. Lansia lebih sensitif terhadap kadar glukosa darah yang rendah
dibandingkan individu dewasa yang lebih muda. Gejala hipoglikemia lansia dapat berkisar
dari ringan sampai berat dan dapat tidak disadari hingga sampai pada kondisi mengancam
jiwa.
Ada dua komplikasi metabolic lain pada diabetes: ketoasidosis diabetic, yang ditandai
dengan hiperglikemia berat, merupakan kondisi yang mengancam jiwa. Ketoasidosis diabetik
biasanya terjadi pada lansia dengan diabetes tipe 1, tetapi kadang kala dapat terjadi pada
individu yang terkena diabetes tipe 2 yang mengalami stress fisik dan emosional yang
ekstrim. Sindroma nonketonik hiperglikemik hiperosmolar (HHNS), juga dikenal sebagai
koma hiperosmolar yaitu komplikasi metabolic akut yang paling umum terlihat pada pasien
yang menderita diabetes. Sebagaisuatu kedaruratan medis, HHNS ditandai dengan
hiperglikemia berat (kadar glukosa di atas 800 mg/dl), hiperosmolaritas ( diatas 280
mOSm/L), dan dehidrasi berat akibat dieresis osmotic. Tanda dan gejala mencakup kejang
dan hemiparesis (yang sering kali keliru diagnosis menjadi cedera serebrovaskular) dan
kerusakan pada tingkat kesadaran (biasanya koma atau hampir koma).
Individu yang menderita diabetes melitus juga beresiko lebih besar mengalami berbagai
penyakit kronis yang terjadi hampir pada semua sitem tubuh. Pada populasi lansia,
komplikasi makrovaskuler dan mikrovaskuler meningkat karena efek penuaan kardiovaskuler
yang sudah ada. Komplikasi kronis yang paling umum mencakup neuropati perifer dan
otonom, penyakit vaskuler perifer, penyakit kardiovaskuler dan dermopati diabetic.
Neuropati perifer biasanya terjadi di tangan dan kaki serta dapat menyebabkan kebas atau
nyeri dan kemungkina lesi kulit. Neuropati otonom juga bermanifestasi dalam berbagagai
cara, yang mencakup gastroparesis (keterlambatan pengosongan lambung yang
menyebabkanperasaan mual dan penuh setelah makan), diare noktural, impotensi dan
hipotensi ortostatik.

10
Pasien lansia yang menderita diabetes memiliki insdien hipertensi 10 kali lipat dari yang
ditemukan pada lansia yang tida menderita diabetes. Hasil ini lebuh meningkatkan resiko
serangan iskemik sementara dan penyakit serebrovaskular, penyakit arteri koroner, dan MCI,
aterosklerosis serebral, terjadinya retinopati dan neuropati orogresif, kerusakan kognitif, serta
depresi system saraf pusat.
Hiperglikemia merusak resistensi lansia tehadap infeksi karena kandungan glukosa
epidermis dan urin mendorong pertumbuhan bakteri. Hal ini menyebabkan lansia rentan
terhadap infeksi kulit dan saluran kemih serta vaginitis.

6. Tanda dan Gejala


Adapun tanda dan gejala dari pasien diabetes mellitus yaitu:
- Penurunan berat badan dan kelelahan (tanda dan gejala klasik pada pasien lansia)
- Kehilangan selera makan
- Inkotinesia
- Penurunan penglihatan
- Konfusi atau derajat delirium
- Konstipasi atau kembung pada abdomen (akibat hipotonusitas lambung)
- Retinopati atau pembentukan katarak
- Perubahan kulit, khususnya pada tungkai dan kaki, akibat kerusakan sirkulasi perifer;
kemungkinan kondisi kulit kronis, seperti selulitis atau luka yang tidak kunjung
sembuh; turgor kulit buruk dan membran mukosa kering akibat dehidrasi.
- Penurunan nadi perifer, kulit dingin, penurunan reflex dan kemungkinan nyeri perifer
atau kebas
- Hipotensi ortostatik

NB: lansia mungkin tidak mengalami polidipsi (tanda dibetes pada dewasa muda) karena
fungsi mekanisme haus lansia kurang efektif.

7. Pemeriksaan Diagnostik
 Kadar glukosa serum puasa dan pemeriksaan toleransi glukosa memberikan diagnosis
definitif diabetes. Akan tetapi, pada lansia pemeriksaan glukosa serum posprandial 2
jam dan pemeriksaan toleransi glukosa oral lebih membantu menegakka diagnosis
karena lansia mungkin memiliki kadar glukosa puasa hampir normal, tetapi
mengalami hiperglikemia berkepanjangan setelah makan.
Diagnosis biasanya dibuat setelah satu dari ketiga kriteria berikut ini terpenuhi:

11
1. Konsentrasi glukosa plasma acak 200 mg/dl atau lebih tinggi
2. Konsentrasi glukosa darah puasa 126mg/dl atau lebih tinggi
3. Kadar glukosa darah puasa setelah asupan glukosa per oral 200 mg/dl atau lebih
tinggi.
 Pemeriksaan hemoglobin terglikosilasi (hemoglobin A atau HbA1C), yang
menggambarkan kadar rata-rata glukosa serum dalam tiga bulan sebelumnya,
biasanya dilakukan untuk memantau keefektifan terapai antidiabetik. Pemeriksaan ini
sangat berguna, tetapi peningkatan hasil telah ditemukan pada lansia dengan toleransi
glukosa normal.
 Fruktosamina serum, yang menggambarkan kadar glukosa serum rata-rata selama 2-3
minggu sebelumnya, merupakan indikator yang lebih baik pada lansia karena kurang
menimbulkan kesalahan.

8. Penanganan
Pasien yang menderita diabetes tipe 1 membutuhkan penggantian insulin dan pemantauan
kadar glukosa serum dan diet serta regimen latihan yang ketat. Pasien yang menderita
diabetes tipe 2 dapat memerlukan obat antidiabetik oral untuk merangsang produksi insulin
endogen, meningkatkan sensitifitas insulin di tingkat seluler, menekan glukoneogenis
hepatik, dan memperlambat absorpsi karbohidrat di GI. Untuk beberapa pasien, kadar
glukosa darah dapat dikontrol dengan diet dan perubahan gaya hidup saja.
Terdapat berbagai golongan obat untuk diabetes tipe 2 yang dapat membantu. Obat-
obatan ini mencakup generasi kedua sulfonil urea (seperti: gliburida dan glipizida), inhibitor
alfa glikosida (seperti karbosa dan maglitol), biguanida (seperti metformin), glitazon (seperti
rosiglitazon) dan meglinitida (repaglinida).
Ahli gizi dapat menyusun diet khusus untuk memenuhi kebutuhan setiap pasien. Diet
tersebut hrus memenuhi panduan nutrisi, mengontrol kadar glukosa darah, dan
mempertahankan berat badan yang sesuai.
Olahraga merupakan sarana yang penting dalam menangani diabetes tipe 2. Aktifitas fisik
meningkatkan sensitifitas insulin, memperbaiki toleransi glukosa, dan meningkatkan
pengendalian berat badan. Penelitian juga menunjukkan bahwa olahraga sedang dapat
memperlambat atau mencegah awitan diabetes tipe 2 pada kelompok resiko tinggi. Ketika
anda merencanakan program olahraga untuk lansia, pastikan tingkat latihan fisik sesuai
dengan tingkat kesehatannya. Olehraga yang dipilih untuk lansia mencakup berjalan,
berenang, dan bersepeda.
12
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN LANSIA
DENGAN DIABETES MELLITUS TIPE2

1. Pengkajian
 Riwayat Kesehatan Keluarga
Adakah keluarga yang menderita penyakit seperti klien ?
Riwayat Kesehatan Pasien dan Pengobatan Sebelumnya?
Berapa lama klien menderita DM, bagaimana penanganannya, mendapat terapi insulin
jenis apa, bagaimana cara minum obatnya apakah teratur atau tidak, apa saja yang
dilakukan klien untuk menanggulangi penyakitnya.
 Aktivitas/ Istirahat :
Letih, Lemah, Sulit Bergerak / berjalan, kram otot, tonus otot menurun.
 Sirkulasi
Adakah riwayat hipertensi,AMI, klaudikasi, kebas, kesemutan pada ekstremitas, ulkus
pada kaki yang penyembuhannya lama, takikardi,perubahan tekanan darah
 Integritas Ego
Stress, ansietas
 Eliminasi
Perubahan pola berkemih ( poliuria, nokturia, anuria ), diare
 Makanan / Cairan
Anoreksia, mual muntah, tidak mengikuti diet, penurunan berat badan, haus,
penggunaan diuretik.
 Neurosensori
Pusing, sakit kepala, kesemutan, kebas kelemahan pada otot, parestesia,gangguan
penglihatan.
 Nyeri / Kenyamanan
Abdomen tegang, nyeri (sedang / berat)
 Pernapasan
Batuk dengan/tanpa sputum purulen (tergangung adanya infeksi / tidak)
 Keamanan

13
Kulit kering, gatal, ulkus kulit

2. MASALAH KEPERAWATAN
A. Resiko tinggi gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan
B. Kekurangan volume cairan
C. Gangguan integritas kulit
D. Resiko terjadi injury

3. DIAGNOSA
 Resiko tinggi gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
penurunan masukan oral, anoreksia, mual, peningkatan metabolisme protein, lemak.
 Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik.
 Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan status metabolik (neuropati
perifer).
 Resiko terjadi injury berhubungan dengan penurunan fungsi penglihatan.

4. PERENCANAAN/ INTERVENSI KEPERAWATAN


 Resiko tinggi gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
penurunan masukan oral, anoreksia, mual, peningkatan metabolisme protein, lemak.
Tujuan : kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi
Kriteria Hasil :
 Pasien dapat mencerna jumlah kalori atau nutrien yang tepat
 Berat badan stabil atau penambahan ke arah rentang biasanya
Intervensi :
a. Timbang berat badan setiap hari atau sesuai dengan indikasi.
b. Tentukan program diet dan pola makan pasien dan bandingkan dengan
makanan yang dapat dihabiskan pasien.
c. Auskultasi bising usus, catat adanya nyeri abdomen / perut kembung, mual,
muntahan makanan yang belum sempat dicerna, pertahankan keadaan puasa
sesuai dengan indikasi.
d. Berikan makanan cair yang mengandung zat makanan (nutrien) dan elektrolit
dengan segera jika pasien sudah dapat mentoleransinya melalui oral.
e. Libatkan keluarga pasien pada pencernaan makan ini sesuai dengan indikasi.

14
f. Observasi tanda-tanda hipoglikemia seperti perubahan tingkat kesadaran, kulit
lembab/dingin, denyut nadi cepat, lapar, peka rangsang, cemas, sakit kepala.
g. Kolaborasi melakukan pemeriksaan gula darah.
h. Kolaborasi pemberian pengobatan insulin.
i. Kolaborasi dengan ahli diet.

 Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik.


Tujuan : kebutuhan cairan atau hidrasi pasien terpenuhi
Kriteria Hasil :
 Pasien menunjukkan hidrasi yang adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil, nadi
perifer dapat diraba, turgor kulit dan pengisian kapiler baik, haluaran urin tepat
secara individu dan kadar elektrolit dalam batas normal.
Intervensi :
a. Pantau tanda-tanda vital, catat adanya perubahan TD ortostatik
b. Pantau pola nafas seperti adanya pernafasan kusmaul
c. Kaji frekuensi dan kualitas pernafasan, penggunaan otot bantu nafas
d. Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit dan membran mukosa
e. Pantau masukan dan pengeluaran
f. Pertahankan untuk memberikan cairan paling sedikit 2500 ml/hari dalam batas
yang dapat ditoleransi jantung
g. Catat hal-hal seperti mual, muntah dan distensi lambung.
h. Observasi adanya kelelahan yang meningkat, edema, peningkatan BB, nadi
tidak teratur
i. Kolaborasi : berikan terapi cairan normal salin dengan atau tanpa dextrosa,
pantau pemeriksaan laboratorium (Ht, BUN, Na, K).

 Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan status metabolik (neuropati


perifer).
Tujuan : gangguan integritas kulit dapat berkurang atau menunjukkan penyembuhan.
Kriteria Hasil :
 Kondisi luka menunjukkan adanya perbaikan jaringan dan tidak terinfeksi
Intervensi :
a. Kaji luka, adanya epitelisasi, perubahan warna, edema, dan discharge, frekuensi
ganti balut.
15
b. Kaji tanda vital
c. Kaji adanya nyeri
d. Lakukan perawatan luka
e. Kolaborasi pemberian insulin dan medikasi.
f. Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.

 Resiko terjadi injury berhubungan dengan penurunan fungsi penglihatan.


Tujuan : pasien tidak mengalami injury
Kriteria Hasil : pasien dapat memenuhi kebutuhannya tanpa mengalami injury
Intervensi :
a. Hindarkan lantai yang licin
b. Gunakan bed yang rendah
c. Orientasikan klien dengan ruangan
d. Bantu klien dalam melakukan aktivitas sehari-hari
e. Bantu pasien dalam ambulasi atau perubahan posisi

 Perbedaan Spesifik Asuhan Keperawatan pada Lansia di Komunitas dan di Klinis


Penatalaksanaan Diabetes Melitus
Untuk penatalaksanaannya perlu memperhatikan 4pilar utama yaitu:
1. Penyuluhan
Penyuluhan ditujukan pada penderita DM, keluarga , pendamping / orang yang merawat
penderita sehari-hari. Penyuluhan bagi pasien DM tidak hanya dilakukan oleh dokter yang
menghimbau tetapi juga oleh segenap jajaran yang terkait seperti perawat penyuluh, ahli gizi,
pekerjaan sosial.
Penyuluhan pada lansia tidak mudah apalagi bagi penderita yang sudah terdapat
gangguan pendengaran, kesukaran bicara, demensia, aktivitas fisik sudah sangat menurun.
Penyuluhan dapat diberikan kepada individu atau dalam grup-grup kecil sehingga lebih
efektif.
Penyuluhan Pasien
Pasien dengan penyakit diabetes sangat penting untuk mendapatkan
penyuluhan tidak hanya dari perawat namun dari semua tenaga medis yang berhubungan
dengan regimen pengobatan dan terapi, diantaranya:
 Ajarkan pasien mengenai proses penyakit, dan tekankan pentingnya mengikuti
rencana terapi yang sudah dprogramkan dengan baik. Sesuaikan penyuluhan perawat

16
dengan kebutuhan dan kemampuan pasien. Diskusikan mengenai diet, pengobatan
(temasuk teknik pemberian), olah raga, teknik pemantauan, hygiene, dan bagaimana
mencegah, mengenali, serta mengatasi hipoglikemia dan hiperglikemia.
 Motivasi pasien untuk mengikuti semua pertemuan dengan dokter dan pemeriksaan
laboratorium serta mempertahankan glukosa darah normal. Jelaskan bahwa lansia
masih dapat melakukan aktifitas yang disenangi, termasuk rekreasi.
 Jelaskan kepada lansia dan keluarganya, bagaimana cara pengontrolan gula darah.
Beritahu mengenai alat bantu yang yang dapat membuat kepatuhan lebih mudah
seperti kaca pembesar yang melekat pada spuit dan lapisan serta pegangan antilicin
untuk lansia yang menderita kelemahan pada tangan.
 Instruksikan perawatan kaki pasien. Beri tahu untuk mencuci kakinya setiap hari
dengan hati-hati, keringkan celah diantara jemari kakinya, dan inspeksi apakah ada
kapalan, emerahan, bengkak, memar dan luka lecet pada kulit. Anjurkan pasien untuk
melaporkan apabila ada perubahan pada kulit
 Anjurkan lansia untuk memakai sepatu yang nyaman dan tidak sempit.
 Jelaskan tanda dan gejala neuropati diabetic dan tekankan mengenai perlunya
tindakan kewaspadaan karena penurunan sensasi dapat menyebabkan cedera.
 Motivasi pasien untuk melakukan pemeriksaan mata setiap tahun untuk deteksi dini
neuropati diabetic.
 Anjurkan pasien dan keluarga cara memantau diet pasien ddan menggunakan daftar
perubahan makanan. Pastikan daftar perubahan tersebut berisi makanan yang sesuai
dengan budaya pasien. Tunjukkan pada mereka cara membaca label di supermarket
untuk mengidentifikasi kandungan lemak, karbohidrat, protein dan gula.
 Ajarkan pasien dan keluarga cara menggunakan monitor glukosa di rumah jika
diprogramkan. Kemudian minta mereka mendemonstrasikan kembali prosedur
tersebut. Rencanakan agar perawat kunjungan rumah memeriksa kemampuan pasien
setelah pemulangan.
 Anjurkan pasien dan keluarga mengunjungi Yayasan Diabetes Indonesia untuk
mendapatkan tambahan informasi.

2. Perencanaan Makan
Perencanaan makan pada lansia dikaitkan dengan tujuan mencapai berat badan ideal basal
metabolismo index antara 22-25 pada laki-laki dan 18-24 pada wanita termasuk diet bila
komplikasi-komplikasi sudah ada, pemberian serat yang cukup 23-25 gram perhari,

17
pemberian vitamin dan mineral yang cukup. Makanan terbagi dalam 3 porsi : makan besar
pagi 20%, siang 30% dan sore 25% ditambah makan ringan total 10-15%. Komposisi
makanan seimbang yang dianjurkan yaitu karbohidrat 60-70%, protein 10-15% dan lemak
20-25%. Jumlah kalori tentu disesuaikan yaitu kebutuhan basal 24-35 kalori / KGB ditambah
aktivitas penderita 10-30 % dari kalori basal.

3. Latihan Jasmani

Manfaat latihan jasmani pada lansia:

Dapat meningkatkan sensitivitas insulin

 Memperbaiki kesegaran kardiovascular


 Memperkuat otot dan tulang
 Mengurangi obesitas
 Memperbaiki kadar gula darah
 Mengurangi kebutuhan obat
 Memperbaiki problem psikososial

4. Obat Hipoglikemik Oral (OHO)

Saat ini dikenal obat OHO yaitu:

 Golongan sulphoniluria (generasi 1,2,3) misalnya Daonil,DiamicronAmaryl


 Golongan biguanid, misalnya glucophage
 Golongan alphaglukosidase inhibitor misalnya Glucobay
 Thiazolidiones ,pioglitazone (Actos), rosiglitazone (Avandia)
 Glinid repaglinid, misalnya Novonorm
 Incretin/penghambat enzim DPP-4, sitagliptin (Januvia), vidagliptin (Galvus)

Obat insulin efek pendek, efek menengah dan efek panjang dan insulin campuran saat ini
jarang dipakai karena adanya insiden insulin hipoglikemia yang tinggi pada lansia.

18
BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Prevalensi diabetes mellitus di dunia semakin meningkat sehingga dianggap
sebagai wabah. Angka prevalensi yang sangat meningkat ini diperkirakan terjadi
di Negara yang sedang berkembang seperti Cina dan India termasuk Indonesia.
Seiring pertambahan usia, sel-sel tubuh menjadi lebih resisten terhadap
insulin, yang mengurangi kemampuan lansia untuk memetabolisme glukosa.
Selain itu, pelepasan insulin dari sel beta pancreas berkurang dan melambat. Hasil
dari kombinasi proses ini adalah hiperglikemia. Pada pasien lansia, konsentrasi
glukosa yang mendadak dapat meningkatkan dan lebih memperpanjang
hiperglikemia.
Diabetes terjadi hampir satu dari lima orang yang berusia 65 tahun atau lebih.
Karena gejalanya samar, para peneliti percaya lebih banyak pasien lansia yang
menderita diabetes mellitus tipe 2 yang tidak terdiagnosis. Selain itu, lebihari 40%
individu pada usia ini memiliki beberapa bentuk intoleransi glukosa.

3.2 Saran
Kelompok berharap setelah mendapatkan pemaparan dan memahami DM
yang terjadi pada lansia, kelompok dan rekan lainnya mampu mengaplikasikan
asuhan keperawatan sesuai dengan evidence based yang sudah di tampilkan dan
mampu menerapkan sedini mungkin pencegahan terjadinya DM pada lansia yang
belum menderirta DM atau mengurangi angka kematian.

19
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Volume 2. Jakarta:
EGC

Darmojo, B & Hadi Martono.(2000). Buku Ajar Geriatri Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit
FK UI

Depkes RI, 2006. Penderita Diabetes Indonesia Urutan ke-4 di dunia. Diakses dari www.
Depkes.go.id. Pada tanggal 20 Maret 2010.

Palestin, B. 2007. Pendidikan Kesehatan dalam Pengelolaan Diabetes secara Mandiri bagi
Diabetesi Dewasa. Diakses dari : http://bondankomunitas.blogspot.com/. Pada
tanggal : 13 April 2010.

Sanusi Harsien, 2004. Tinjauan Medis DM Akibatnya pada Kematian, Makassar

Stockslager, J L. (2007). Buku Saku Asuhan Keperawatan Geriatrik Edisi 2. Jakarta: EGC

Ulfahsyam(2009). Asuhan Keperawatan pada klien dengan Diabetes Mellitus. Diakses dari
http://ilmukeperawatan.net/. Pada tanggal 10 Maret 2010.

20

Anda mungkin juga menyukai