Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN

SMALL GROUP DISCUSSION


LBM 2
“Aku Kenapa?”

Disusun Oleh:

NAMA : I Putu Wira Janardana


NIM : 022.06.0039
KELOMPOK : SGD 5
TUTOR : dr. Halia Wanadiatri, M.Si
BLOK : ENDOKRIN & METABOLISME

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS


ISLAM AL-AZHAR MATARAM
2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-
Nya saya dapat melaksanakan dan menyusun laporan Small Group Discussion (SGD)
LBM 2 yang berjudul “Master Gland” ini tepat pada waktunya. Laporan ini ditulis
untuk memenuhi persyaratan sebagai syarat nilai SGD serta Pleno dalam blok Endokrin
dan Metabolisme. Dalam penyusunan laporan ini, saya mendapat banyak bantuan,
masukan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, melalui
kesampatan ini saya menyampaikan terima kasih kepada:
1. dr. Halia Wanadiatri, M.Si selaku Tutor serta Fasilitator Small Group Discussion
(SGD) kelompok 5
2. Kakak tingkat yang berkenan memberikan banyak saran dan masukan terkait
laporan yang saya buat ini.
3. Serta kepada teman-teman yang memberikan masukan dan dukungannya
kepada saya.
Saya menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna dikarenakan
terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang saya miliki dan masih perlu banyak
perbaikan. Oleh karena itu, saya mengharapkan segala bentuk saran serta yang membangun
dari berbagai pihak. Akhir kata saya berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi
berbagai pihak yang akan menggunakannya.

Mataram, 12 Oktober 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...............................................................................................ii

DAFTAR ISI .............................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................... 4

1.1 Skenario ............................................................................................................. 4

1.2 Deskripsi Masalah ............................................................................................. 5

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................... 6

2.1 Definisi dan jenis DM ....................................................................................... 6

2.2 Epidemiologi, Etiologi dan faktor resiko DM ................................................ 7

2.3 Patofisologi DM ................................................................................................. 9

2.4 Gejala DM........................................................................................................ 11

2.5 Komplikasi DM ............................................................................................... 13

2.6 Tatalaksana DM .............................................................................................. 19

BAB III PENUTUP ................................................................................................. 22

3.1 Kesimpulan ...................................................................................................... 22

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 23

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Skenario

“Aku Kenapa?”
Tn. U berusia 30 tahun datang ke Puskesmas mengeluhkan badan terasa sering
kesemutan sejak 1 bulan yang lalu. Awalnya rasa kesemutan dirasakan di telapak kaki,
namun makin lama rasa kesemutan benyebar ke bagian tubuh lainya hingga ke jari dan
tangan. Walaupun kesemutan, pasien masih bisa merasakan bila disentuh ataupun
memegang sesuatu, hanya terasa tebal. Tn. U juga mengeluhkan sering kencing sejak
tiga bulan yang terakhir, terutama saat tidur di malam hari. Setiap malam pasien bisa
terbangun lebih dari tiga kali untuk kencing. Nafsu makan pasien meningkat sejak
sekitar kurang lebih setahun yang lalu namun pasien mengeluhkan berat badan yang
menurun.
Dari hasil pemeriksaan tanda-tanda vital didapatkan TD 130/90 mmHg. N 120
kali/menit, suhu 36,7, RR 20 kali/menit. Sebagai seorang dokter apakah yang akan
Anda lakukan?

4
1.2 Deskripsi Masalah

Pada scenario Tn. U dikatakan sering kencing yang disebabkan oleh


metabolisme glukosa terganggu sehingga kadar gula darah meningkat yang
menyebabkan sering kencing dikarenakan gula akan dikeluarkan lewat urin, dimana
gula yang dibuang sekitar 1,5 L. pada scenario juga dikatakan bahwa Tn. U
mengalami nafsu makan yang meningkat tetapi tubuhnya tetap kurus, hal tersebut
dikarenakan terjadinya gangguan metabolisme dimana sel – sel terus membutuhkan
energi, oleh karena itu sel – sel akan terus membuat tubuh merasa lapar sehingga
seseorang akan merasa lapr atau ingin terus makan, namun BB turun dikarenakan
makanan atau energi tidak disalurkan dengan baik ke seluruh tubuh. Sedangkan
penyebab kesemutan yang dirasakan oleh Tn. U dikarenakan oleh kadar glukosa
darah tinggi sehingga dalam darah hanya terdapat gula sehingga terjadinya
oenyempitan yang biasanya system saraf akan menjadi rusak atau saraf tidak dapat
memberikan sinyal ke otak. Nah sebagai dokter pastinya kita perlu memberikan
Tindakan kepada keluhan yang dirasakan oleh pasien tersebut. Penatalaksaan yang
dapat dilakukan yakni pertama – tama melakukan anamnesis kepada pasien, lalu
setelah itu dapat melakukan alloanamnesis, setelah itu kita dapat melakukan
pemeriksaan fisik untuk memastikan keluhan pasien, namun jika saat pemeriksaan
fisik belum yakin terhadap diagnosis yang dialami pasien, maka kita dapat melalukan
pemeriksaan penunjang kepada pasien.

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi dan jenis DM


Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit metabolik yang ditandai dengan
kadar gula darah yang tinggi (hiperglikemia) akibat kegagalan sekresi insulin, kerja
insulin, atau keduanya. Penyakit ini bersifat kronis dan jumlah penderitanya terus
meningkat di seluruh dunia seiring dengan bertambahnya jumlah populasi, usia,
prevalensi obesitas dan penurunan aktivitas fisik. Hiperglikemia dapat tidak terdeteksi
karena penyakit Diabetes Mellitus tidak menimbulkan gejala (asimptomatik) dan
sering disebut sebagai pembunuh manusia diam-diam "Silent Killer" dan
menyebabkan kerusakan vaskular sebelum penyakit ini terdeteksi (Setiati, Siti. 2017).

klasifikasikan Diabetes Melitus (DM) sebagai berikut :

1) Diabetes Melitus tipe 1


Pada Diabetes Melitus Tipe 1 diduga berkaitan dengan faktor genetik, pada DM
tipe ini disebabkan oleh reaksi dari autoimun yang mana sistem pertahanan tubuh
menyerang sel beta pada pankreas sehingga akan berakibat tubuh tidak dapat
memproduksi insulin yang dibutuhkan untuk mengatur kadar gula darah (Setiati, Siti.
2017).
2) Diabetes Melitus tipe 2
Pada Diabetes Melitus tipe 2 sering terjadi karena gaya hidup yang tidak sehat.
Pada DM tipe ini penyebabnya dikarenakan menurunnya sekresi insulin sel beta
secara progresif, Yang mana pada diabetes tipe 2 ini tubuh masih bisa memproduksi
insulin namun resisten terhadap insulin itu sendiri sehingga insulin menjadi tidak
efektif. Sehingga dalam keadaantersebut menyebabkan kadar glukosa darah menjadi
tinggi (Setiati, Siti. 2017).
3) Diabetes Melitus Gestational
Diabetes gestational terjadi selama kehamilan yang diawali dengan intoleransi
glukosa yang mana intoleransi tersebut di diagnosa pada trimester kedua dan trimester
ketiga (Setiati, Siti. 2017).
4) Diabetes Melitus tipe lain
Tipe diabetes ini disebabkan oleh penyebab lain seperti, sindrom diabetes
monogenik (seperti diabetes neonatal atau diabetes yang dialami oleh bayi baru lahir),

6
penyakit yang terjadi pada pankreas eksokrin seperti pankreasitis, fibrosis kistik dan
diabetes yang disebabkan oleh obat-obatan dari bahan kimia seperti penggunaan
glukokortikoid dalam pengobatan HIV/AIDS dan setelah transplantasi organ (Setiati,
Siti. 2017).

2.2 Epidemiologi, Etiologi dan faktor resiko DM


Diabetes Melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua
duanya. Etiologi penyakit ini dapat berasal dari kombinasi faktor genetik dan faktor
pengaruh lingkungan Widodo, F. Y. (2014).
Pada tahun 2000, diperkirakan sekitar 150 juta orang di dunia mengidap diabetes
mellitus. Jumlah ini diperkirakanPada tahun 2000, diperkirakan sekitar 150 juta orang
di dunia mengidap diabetes mellitus. Jumlah ini diperkirakan akan meningkat menjadi
dua kali lipat pada tahun 2005, dan sebagian besar peningkatan itu akan terjadi di
negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Populasi penderita diabetes di
Indonesia diperkirakan berkisar antara 1,5 sampai 2,5% kecuali di Manado sebesar 6%.
Dengan jumlah penduduk sekitar 200 juta jiwa, berarti lebih kurang 3-5 juta penduduk
Indonesia menderita diabetes Widodo, F. Y. (2014).
Hingga tahun 2012, diseluruh dunia penderita diabetes mellitus mencapai 371
juta jiwa. Populasi penderita diabetes mellitus di Indonesia pada tahun yang sama
mencapai 7,6 juta jiwa. Ini merupakan urutan ke 7 terbanyak dari jumlah penderita
diabetes mellitus di seluruh dunia, dan yang terdeteksi hanya sekitar 3 juta jiwa atau
hanya sekitar 39% saja. Dari jumlah itu yang meninggal dunia akibat diabetes mellitus
di Indonesia mencapai lebih dari 150.000 jiwa per tahun, dan lebih dari separuhnya
meninggal dibawah usia 60 tahun. Kebanyakan pasien tersebut meninggal akibat
komplikasi dari penyakit diabetes mellitus. Komplikasi ini timbul tergantung dari
lamanya penyakit ini diderita atau dari keparahan penyakit itu sendiri. Komplikasi yang
dimaksud disini adalah komplikasi makrovaskuler dan mikrovaskuler. Komplikasi
makrovaskuler dapat menyebabkan timbulnya penyakit jantung koroner, penyakit
pembuluh darah otak, dan penyakit pembuluh darah perifer. Komplikasi mikrovaskuler
terjadi akibat hiperglikemia yang persisten dan pembentukan protein yang terglikasi
(termasuk HbA1c), yang mendorong timbulnya retinopati, nefropati dan neuropati
Widodo, F. Y. (2014).
Adapun faktor resiko dari komplikasi diabetes diantara yaitu sebagai berikut:
7
1. Faktor merokok, Itu berarti merokok dapat mencampuri cara tubuh
memanfaatkan insulin. Kekebalan tubuh terhadap insulin biasanya mengawali
terbentuknya Diabetes yang beresiko terjadinya peripheral arterial disease.
Peripheral arterial disease merupakan penyakit dimana adanya sumbatan aliran
darah dari atau ke jaringan organ. Sumbatan pada aliran darah dapat terbentuk
atas lemak, kalsium, jaringan fibrosa atau zat lain. Sumbatan akut pada
ekstremitas bermanifestasi sebagai gejala- gejala iskemia yang timbulnya
mendadak seperti nyeri, pucat, hilangnya denyut nadi dan paralisis.
Penyumbatan pembuluh darah yang terbentuk pada aliran darah pasien diabetes
melitus yang memiliki kebiasaan merokok disebabkan karena bahan kimia
dalam tembakau yang dapat merusak sel endotel yang melapisi dinding
pembuluh darah sehingga meningkatkan permeabilitas lipid (lemak) dan
komponen darah lainnya serta merangsang pembentukan lemak substansi atau
ateroma. Sumbatan pada pembuluh darah mengakibatkan penurunan jumlah
sirkulasi darah pada kaki dan menurunkan jumlah oksigen yang dikirim ke
jaringan dan menyebabkan iskemia dan ulserasi atau ulkus diabetikum.
(Purwanti, 2016).
2. Faktor aktifitas, pasien dengan penyakit diabetes mellitus yang jarang
melakukan aktivitas dapat berisiko 0,5 kali terkena komplikasi kronik karena
pasien yang memiliki aktivitas minim dapat mengakibatkan pengeluaran tenaga
dan energi hanya sedikit. Sehingga penerapan pola hidup sehat pada pasien
diabetes melitus sangat dianjurkan, salah satunya yaitu dengan berolahraga
secara rutin. (Purwanti, 2016).
3. Faktor Riwayat diabetes lama, Pasien diabetes melitus yang sudah lama
didiagnosa penyakit diabetes memiliki risiko lebih tinggi terjadinya ulkus
diabetikum. Kadar gula darah yang tidak terkontrol dari waktu ke waktu dapat
mengakibatkan hiperglikemia sehingga dapat menimbulkan komplikasi yang
berhubungan dengan neuropati diabetik dimana pasien diabetes melitus akan
kehilangan sensasi perasa dan tidak menyadari timbulnya luka. (Purwanti,
2016).
4. Faktor gangguan penglihatan, pasien DM yang mempunyai gangguan
penglihatan mempunyai risiko 4 kali terkena komplikasi kronik (kaki diabetic).
Gangguan penglihatan pada pasien diabetes melitus dapat mempengaruhi
pelaksanaan perawatan kaki seperti mengkaji ada atau tidaknya luka di kaki pada
8
setiap harinya. (Purwanti, 2016).
5. Faktor Riwayat ulkus, Pasien diabetes melitus yang memiliki riwayat ulkus
sebelumnya berisiko mengalami ulkus berulang pada tiga tahun berikutnya dan
memiliki risiko 32 kali untuk mengalami amputasi pada ekstremitas bawah
karena pada pasien diabetes dengan riwayat ulkus sebelumnya memiliki kontrol
gula darah yang buruk, adanya neuropati, peningkatan tekanan plantar dan
lamanya terdiagnosa diabetes melitus. (Purwanti, 2016).

2.3 Patofisologi DM
Diabetes melitus yang merupakan penyakit dengan gangguan pada
metabolisme karbohidrat, protein dan lemak karena insulin tidak dapat bekerja secara
optimal, jumlah insulin yang tidak memenuhi kebutuhan atau keduanya. Gangguan
metabolisme tersebut dapat terjadi karena 3 hal yaitu pertama karena kerusakan pada
sel-sel beta pankreas karena pengaruh dari luar seperti zat kimia, virus dan bakteri.
Penyebab yang kedua adalah penurunan reseptor glukosa padakelenjar pankreas dan
yang ketiga karena kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer (Setiati, Siti. 2017).

Insulin yang disekresi oleh sel beta pankreas berfungsi untuk mengatur kadar
glukosa darahdalam tubuh. Kadar glukosa darah yang tinggi akan menstimulasi sel beta
pankreas untuk mengsekresi insulin. Sel beta pankreas yang tidak berfungsi secara
optimal sehingga berakibat pada kurangnya sekresi insulin menjadi penyebab kadar
glukosa darah tinggi. Penyebab dari kerusakan sel beta pankreas sangat banyak seperti
contoh penyakit autoimun dan idiopatik (Setiati,Siti. 2017).

Gangguan respons metabolik terhadap kerja insulin disebut dengan resistensi


insulin. Keadaan ini dapat disebabkan oleh gangguan reseptor, pre reseptor dan post
reseptor sehingga dibutuhkan insulin yang lebih banyak dari biasanya untuk
mempertahankan kadar glukosa darah agar tetap normal. Sensitivitas insulin untuk
menurunkan glukosa darah dengan cara menstimulasi pemakaian glukosa di jaringan
otot dan lemak serta menekan produksi glukosa oleh hati menurun. Penurunan
sensitivitas tersebut juga menyebabkan resistensi insulin sehingga kadar glukosa dalam
darah tinggi (Setiati, Siti. 2017).
Kadar glukosa darah yang tinggi akibat menurunya kerja insulin selanjutnya
berakibat pada proses filtrasi yang melebihi transpor maksimum. Keadaan ini

9
mengakibatkan glukosa dalam darah akan diekresi melalui urin (glukosuria) sehingga
terjadi diuresis osmotik yang ditandai dengan pengeluaran urin yang berlebihan
(poliuria). Banyaknya cairan yang keluar menimbulkansensasi rasa haus (polidipsia).
Glukosa yang hilang melalui urin dan resistensi insulin menyebabkan kurangnya
glukosa yang akan diubah menjadi energi sehingga menimbulkan rasa lapar yang
meningkat (polifagia) sebagai kompensasi terhadap kebutuhan energi. Penderita akan
merasa mudah lelah dan mengantuk jika tidak ada kompensasi terhadap kebutuhan
energi tersebut. Jika keadaan tersebut terjadi secara terus menerus dan tubuh sudah
tidak mampu untuk mengkompensasi maka akan terjadi diabetes militus (Setiati, Siti.
2017).

Patofisiologi DM tipe 1

DM tipe-1 ini disebabkan oleh karena adanya proses autoimun / idiopatik yang
menyebabkan defisiensi insulin absolut. Ditandai dengan ketidakmampuan pankreas
untuk mensekresikan insulin dikarenakan kerusakan sel beta yang disebabkan oleh
proses autoimun (Setiati, Siti. 2017).

Patofisologi DM tipe 2

Gambar 1. Patofisiologi DM Tipe 2

1. Resistensi insulin
2. Disfungsi sel B pancreas

Pada DM terjadi gangguan pada reaksi RIS (Receptor Insulin Substrate)


sehingga menurunkan jumlah transporter glukosa terutama GLUT 4 yang
mengakibatkan berkurangnya distribusi glukosa kejaringan yang menyebabkan

10
penumpukan glukosa darah yang pada akhirnyaakan menimbulkan hiperglikemia atau
meningkatnya kadar gula darah dalam tubuh. Pelatihan fisik mempotensiasi efek
olahraga terhadap sensitivitas insulin melalui beberapa adaptasi dalam transportasi
glukosa dan metabolisme. Kegiatan senam diabetes sangat penting dalam
penatalaksanaan diabetes karena efeknya dapat menurunkan kadar gula darah dengan
cara merangsang stimulasi hormon insulin yang akan mengakibatkan peningkatan
glukosa transporter terutama GLUT 4 yang berakibat pada berkurangnya resistensi
insulin dan peningkatan pengambilan gula oleh otot serta memperbaiki pemakaian
insulin yang berakibat menurunya kadar gula darah post prandial dan gula darah puasa.
Sirkulasi darah dan tonus otot juga diperbaiki dengan berolahraga (Setiati, Siti. 2017).

DM tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, namun karena sel
sel sasaraninsulin gagal atau tidak mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini
lazim disebut sebagai“resistensi insulin”. Resistensi insulin banyak terjadi akibat dari
obesitas dan kurang nya aktivitasfisik serta penuaan. Pada penderita DM tipe 2 dapat
juga terjadi produksi glukosa hepatik yang berlebihan namun tidak terjadi pengrusakan
sel-sel B langerhans secara autoimun seperti DM tipe
2. Defisiensi fungsi insulin pada penderita DM tipe 2 hanya bersifat relatif dan tidak
absolut (Setiati, Siti. 2017).

Pada awal perkembangan DM tipe 2, sel B menunjukan gangguan pada sekresi


rtama, artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin. Apabila tidak
ditangani dengan baik, pada perkembangan selanjutnya akan terjadi kerusakan sel-sel
B pankreas. Kerusakan sel- sel B pankreas akan terjadi secara progresif seringkali akan
menyebabkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin
eksogen (Setiati, Siti. 2017).

2.4 Gejala DM
Gejala DM dibedakan menjadi akut dan kronik:

1. Gejala akut diabetes melitus yaitu: polifagia, polydipsia ,poliuria, nafsu makan
bertambah namu berat badan turun dengan cepat (5-10 kg dalam waktu 2-4
minggu), mudah lelah.
2. Gejala kronik diabetes melitus yaitu: Kesemutan, kulit terasa panas atau seperti
tertusuk tusuk jarum, rasa kebas di kulit, kram, kelelahan, mudah mengantuk,

11
pandangan mulai kabur, gigi mudah goyah dan mudah lepas, kemampuan seksual
menurun bahkan pada pria bisa terjadi impotensi, pada ibu hamil sering terjadi
keguguran atau kematian janin dalamkandungan atau dengan bayi berat lahir lebih
dari 4kg (Adi, Soebagijo. 2019).

Penyebab diabetes melitus :

Pada penderita diabetes mellitus pangaturan sistem kadar gula darar terganggu,
insulin tidak cukup mengatasi dan akibatnya kadar gula dalam darah bertambah tinggi.
peningkatan kadar glukosa darah akan menyumbat seluruh sistem energi dan tubuh
berusaha kuat mengeluarkannyamelalui ginjal. Kelebihan gula dikeluarkan didalam air
kemih ketika makan makanan yang banyak kadar gulanya. Peningkatan kadar gula
dalam darah sangat cepat pula karena insulin tidak mencukupi jika ini terjadi maka
terjadilah diabetes mellitus (Adi, Soebagijo. 2019).

Insulin berfungsi untuk mengatur kadar gula dalam darah guna menjamin
kecukupan gulayang disediakan setiap saat bagi seluruh jaringan dan organ, sehingga
proses-proses kehidupan utama bisa berkesinambungan. Pelepasan insulin dihambat
oleh adanya hormon-hormon tertentu lainnya, terutama adrenalin dan nonadrenalin,
yang dihasilkan oleh kelenjar-kelenjar adrenal, yang juga dikenal sebagai katekolamin,
dan somatostatin (Adi, Soebagijo. 2019).

Diabetes Mellitus tipe I


Diabetes yang tergantung insulin ditandai dengan penghancuran sel-sel beta
pankreas yangdisebabkan oleh :
1. Faktor genetik
Penderita tidak mewarisi diabetes tipe itu sendiri, tetapi mewarisi suatu
predisposisi atau kecenderungan genetic kearah terjadinya diabetes tipe I (Adi,
Soebagijo. 2019).
2. Faktor imunologi
Adanya respon autoimun yang merupakan respon abnormal dimana antibodi
terarahpadaaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut
yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing (Adi, Soebagijo. 2019).
3. Faktor lingkungan
Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses autonium yang menimbulkan
ekstruksi sel beta (Adi, Soebagijo. 2019).

12
Diabetes Mellitus tipe II
Disebabkan oleh kegagalan relative sel beta dan resistensi insulin. Faktor
resiko yang berhubungan dengan proses terjadinya diabetes mellitus tipe II antara lain:
1. Usia
Resistensi insulin cenderung meningkat pada usia diatas 65 tahun, tetapi
pada usia remajapun diabetes mellitus dapat terjadi juga pada umur 11 sampai 13
tahun karena sejak awal pankreas tidak menghasilkan insulin (Adi, Soebagijo.
2019).
2. Obesitas
Karena ketidakseimbangan hormon dalam tubuh akan membuat hormon
insulin tidak dapatbekerja secara maksimal dalam menghantar glukosa yang ada
dalam darah. Pengurangan berat badan sering kali dikaitkan dengan perbaikan
dalam sensitivitas insulin dan pemulihan toleransi glukosa. Obesitas terjadi karena
tubuh kelebihan lemak minimal 20%dari berat badan ideal. Menurut Adriani (2012)
obesitas digolongkan menjadi 3 kelompok(Adi, Soebagijo. 2019).
1. Obesitas ringan : kelebihan berat badan 20-40%

2. Obesitas sedang : kelebihan berat badan 41-100%

3. Obesitas berat : kelebihan berat badan >100%

3. Riwayat dalam keluarga

Pada riwayat keluarga yang salah satunya memiliki riwayat diabetes mellitus
bisa diturunkan sejak remaja pada anaknya. Kaum pria sebagai penderita
sesungguhnya dan perempuan sebagai pihak pembawa gen atau keturunan. Gen
yang mempengaruhi pada diabetes tipe II adalah gen TC7L2. Gen ini sangat
berpengaruh pada pengeluaran insulin dan produksi glukosa (Adi, Soebagijo. 2019).

2.5 Komplikasi DM
Komplikasi diabetes melitus :

a. Kompikasi akut
Komplikasi akut diabtes meliputi hipoglikemia, ketoasidosis diabetikum
(KAD), dan sindrom hyperosmolar hiperglikemia non-ketotik (hyperosmolar

13
hyperglycemia state,HHS) (Indaryati, S., & Pranata, L. 2019).

Efek Somogyi (penurunan kadar glukosa darah saat malam hari yang
menyebabkan peningkatan glukosa darah pada pagi harinya) dan dawn
phenomenon (peningkatan kadar glukosa darah saat pagi hari akibat pelepasan
hormon pertumbuhan, kortisol dan katekolamin tanpa didahului oleh kejadian
hipoglikemia) juga dapat dijumpai (Indaryati, S., & Pranata, L. 2019).

Hipoglikemia pada pasien diabetes sering disebut sebagai syok insulin atau
reaksiinsulin. Risiko hipoglikemia pada pasien DM tipe 2 lebih kecil dibanding
dengan pasien DM tipe 1 karena mekanisme glucose counterregulatory yang masih
lengkap (intact). Hipoglikemia pada pasien DM tipe 2 terjadi pada pasien yang
mendapat terapi insulin sekretagog (sulfonilurea) atau insulin eksogen. Gejala
yang muncul berupa wajah kepucatan, tremor, gelisah, takikardia, palpitasi,
berkeringat, nyeri kepala, pusing, iritabilitas, kelelahan, sulit mengambil
keputusan, bingung, gangguan penglihatan, terasa lapar, kejang sampai koma.
Terapi yang harus segera diberikan adalah pemberian pengganti glukosa baik per
oral atau intravena. Glukagon dapat digunakan di rumah terutama untuk pasien
kelompok risiko tinggi." Pencegahan dapat dilakukan dengan pemberian terapi
secara individual baik obat maupun diet disertai pemantauan glukosa darah dan
edukasi (Indaryati, S., & Pranata, L. 2019).

Ketoasidosis diabetikum (KAD) adalah komplikasi serius yang


disebabkan defisiensi insulin dan peningkatan kadar hormon kontra insulin
(katekolamin, kortisol, glukagon, hormon pertumbuhan). KAD terjadi pada 30%
anak dengan DM tipe 1 dan 5%pasien DM tipe 2. KAD lebih sering terjadi pada
pasien DM tipe 1 karena defisiensi insulin berat. KAD ditandai dengan
hiperglikemia, asidosis dan ketonuria. Pada keadaan normal, insulin akan
menstimulasi lipogenesis dan menghambat lipolisis sehingga katabolisme lemak
terhambat. Pada keadaan defisiensi insulin, akan terjadi lipolisis dan peningkatan
jumlah asam lemak nonester yang dibawa ke hepar. Akibatnya, terjadi
glikoneogenesis dan hiperglikemia serta terbentuknya benda keton (asetoasetat,
hidroksibutirat, dan aseton) oleh mitokondria di hepar dengan kecepatan melebihi
yang dibutuhkan jaringan perifer. Akumulasi benda keton menyebabkan penurunan
kadar pH dan asidosis metabolik. Gejala KAD meliputi pernapasan Kussmaul
(hiperventilasi sebagai mekanisme kompensasi asidosis), rasa pusing akibat

14
perubahan posisi, depresi sistem saraf pusat, ketonuri, anoreksi, mual, nyeri perut,
rasa haus, dan poliuria. Terapi KAD meliputi kombinasi pemberian cairan, insulin
dan koreksi elektrolit (Indaryati, S., & Pranata, L. 2019).

Sindrom hiperosmolar hiperglikemia non-ketotik (hyperosmolar


hyperglycemic state, HHS) adalah suatu kondisi yang jarang terjadi dan
merupakan komplikasi serius DM tipe 2 dengan mortalitas yang tinggi. Ini sering
terjadi pada pasien usia lanjut dengan komorbiditas, seperti infeksi, penyakit
kardiovaskular atau kelainan ginjal. Sindrom ini berbeda dengan KAD baik dari
derajat defisiensi insulin (yang lebih berat pada KAD) dan derajat dehidrasi (yang
lebih berat pada HHS). Gambaran laboratorium HHS meliputi kadar glukosa darah
dan osmolaritas yang sangat tinggi, sedangkan kadar bikarbonat dan pH biasanya
mendekati normal. Kadar glukosa darah lebih tinggi pada HHS akibat kekurangan
cairan. Mengingat jumlah insulin yang dibutuhkan untuk menghambat pemecahan
lemak lebih sedikit dari yang dibutuhkan untuk transpor glukosa, maka lipolisis
dan ketosis yang berlebihan masih dapat dihambat. Manifestasi klinis HHS
meliputi pasien tampak dehidrasi berat, kehilangan elektrolit termasuk kalium,serta
perubahan status neurologis, seperti stupor. Terapi yang diberikan berupa rehidrasi
cairan, insulin, dan koreksi elektrolit (Indaryati, S., & Pranata, L. 2019).

b. Komplikasi kronik

➢ Komplikasi Makroangiopati merupakan gangguan berupa lesi yang terjadi pada


pembuluh darah ukuran sedang dan besar, meliputi penyakit kardiovaskular,
stroke, dan penyakit arteri perifer (Indaryati, S., & Pranata, L. 2019).

Komplikasi makrovaskular (lesi pada pembuluh darah ukuran sedang


dan besar) meningkatkan morbiditas dan mortalitas serta mempercepat
timbulnya aterosklerosis dan penyakit jantung koroner, stroke, penyakit arteri
perifer, terutama pada pasien DM tipe 2. Anak dengan diabetes yang tidak
terkontrol mempunyai risiko komplikasi makrovaskularyang tinggi dalam satu
sampai dua dekade ke depan. Proses tersebut bisa lebih berat atau cepat bila
disertai faktor risiko lain, seperti obesitas, hiperlipidemia, dan merokok
(Indaryati, S., & Pranata, L. 2019).

Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian pada 75%

15
pasien diabetes dan perempuan mempunyai risiko yang lebih tinggi. Hipertensi
sering terjadi bersamaan dengan diabetes mellitus. Hipertensi lebih sering
terjadi pada pasien dabetes dibanding dengan populasi nondiabetik dengan
berbagai macam penyebab. Pada pasien DM tipe 1, hipertensi berkaitan dengan
mikroalbuminuria. Pada DM tipe 2, hipertensi berkaitan dengan sindrom
metabolik. Hipertensi meningkatkan risiko penyakit jantung koroner dan
stroke. Penyakit jantung koroner (PJK) menjadi penyebab utama morbiditas
dan mortalitas pasien diabetes. Mekanisme yang mendasari adalah
hiperglikemia dan resistensi insulin, peningkatan kadar low density lipoprotein
(LDL) dan trigliserida, penurunan kadar high density lipoprotein (HDL)
kelainan trombosit, dan disfungsi endotel.4 Secara umum, prevalensi PJK
semakin meningkat sesuai dengan lamanya menderita diabetes dan bukan
berdasar derajat keparahan diabetesnya. Awitan PJK dapat tidak bergejala
(Indaryati, S., & Pranata, L. 2019).

Stroke. Stroke terjadi dua kali lipat lebih sering pada pasien diabetes
(terutama DM tipe 2) dibandingkan dengan pasien nondiabetes. Angka
keberlangsungan hidup pasien diabetes setelah serangan stroke lebih rendah
dibandingkan pasien non-diabetes. Faktor risiko utama yang berperan terhadap
kejadian stroke antara lain hipertensi, hiperglikemia,dan thrombosis (Indaryati,
S., & Pranata, L. 2019).

Penyakit arteri perifer. Terjadi peningkatan insidensi penyakit arteri


perfier berupa klaudikasio (nyeri saat beraktivitas akibat penurunan aliran
darah), ulkus, gangren,dan amputasi pada pasien diabetes. Usia, lama menderita
DM, genetik dan faktor lainnya (merokok, hiperlipidemia, hipertensi)
mempengaruhi diagnosis dan manajemen penyakit arteri perifer. Pada diabetes,
manifestasi klinis sering kali lebih luas dan melibatkan arteri di bawah lutut.
Oklusi di arteri kecil dan arteriol menyebabkan gangren pada ekstremitas
bawah dan area di sekitar kaki dan jari kaki. Lesi biasanya diawali dengan ulkus
dan berlanjut menjadi osteomielitis atau gangren yang membutuhkan tindakan
amputasi. Salah satu faktor yang memperburuk perjalanan penyakit adalah
infeksi dan neuropati perifer. Amputasi yang luas meningkatkan risiko
morbiditas dan mortalitas (Indaryati, S., & Pranata, L. 2019).

16
➢ Komplikasi Mikroangiopati merupakan gangguan yang terjadi pada pembuluh
darah kapiler, meliputi retinopati diabetukm, nefropati diabetikum, dan
neuropati diabetikum.
Komplikasi mikrovaskular (gangguan di kapiler) menjadi penyebab
kebutaan, gagal ginjal kronik, dan berbagai kelainan neuropati. Oklusi kapiler
merupakan karakteristik komplikasi mikroangiopatu pada diabetes. Frekuensi
dan derajat lesi dipengaruhi oleh durasi penyakit (umumnya lebih dari 10
tahun) dan kendali glukosa darah. Hipoksia dan iskemia akibat mikroangiopati
biasanya dijumpai di mata, ginjal, danserabut saraf (Indaryati, S., & Pranata, L.
2019).

Penanganan Komplikasi Diabetes Melitus :

Prinsip utama penanganan komplikasi diabetes melitus adalah dengan


mengendalikan kadar gula darah agar tidak merusak organ-organ tubuh. Penanganan
yang diberikan mencakup pengobatan secara medis, pengaturan gizi, dan penerapan
pola hidup sehat untuk penderita diabetes (Wisse, B. National Institute of Health
2020).
Semakin baik Anda mengelola kadar gula darah, tekanan darah, dan kadar
lemak darah, semakin rendah risiko terjadinya komplikasi diabetes melitus. Anda
dianjurkan untuk melakukanpemeriksaan rutin ke dokter agar penyakit diabetes dapat
dikelola dengan baik (Wisse, B. NationalInstitute of Health 2020).
Pola makan yang tepat dan penerapan pola hidup sehat dengan cara rajin
berolahraga, menjaga berat badan, menghentikan kebiasaan merokok, serta
menghindari peningkatan tekanan darah dan kolesterol, akan mendukung Anda untuk
tetap sehat dan menurunkan risiko terjadinya komplikasi diabetes melitus (Wisse, B.
National Institute of Health 2020).
Jika Anda mengalami salah satu gejala atau diketahui memiliki faktor risiko
seperti yang telah dijelaskan di atas, segera konsultasikan ke dokter. Jangan
mengabaikan tanda dan gejala yang timbul, karena dapat mempersulit proses
pengobatan dan pemulihan komplikasi diabetes melitus (Wisse, B. National Institute
of Health 2020).

Factor resiko diabetes melitus :

Menurut (Kementrian Kesehatan RI, 2020) , Faktor resiko diabetes melitus

17
terdiri dari faktor yang dapat dimodifikasi dan faktor yang tidak dapat dimodifikasi.
Faktor resiko yang tidakdapat dimodifikasi adalah umur, jenis kelamin, ras atau suku,
riwayat keluarga dengan diabetes melitus, riwayat ibu yang melahirkan bayi >4.000
gram dan riwayat bayi lahir dengan berat badanlahir rendah (BBLR) atau <2.500 gram,
sedangkan factor resiko yang dapat dimodifikasi adalah :(Christianty, M. A. 2021).

a) Berat badan lebih dan obesitas sentral/abdominal

Seseorang yang memiliki kelebihan berat badan maupun obesitas semakin


lama akan menjadi kurang sensitif terhadap insulin (retensi insulin). Dikarenakan
lemak pada penderita yang memiliki berat badan lebih maupun obesitas akan
meningkatkan pelepasan asam lemak bebas yang menyebabkan retensi insulin
sehingga sel beta akan bekerja lebih keras dalam memproduksi insulin dan akan
mengalami kelelahan sehingga tidak mampu lagi untuk memproduksi insulin dalam
jumlah yang cukup akibatnya kadar gula darah menjadi naik (Christianty, M. A.
2021).

b) Kurangnya aktivitas fisik

Kurangnya aktivitas fisik merupakan faktor risiko penyakit diabetes melitus.


Ketika seseorang kurang dalam melakukan aktivitas fisik maka glikogen atau
cadangan glukosa yang tersimpan pada otot akan menumpuk akibatnya gula darah
akan naik (Christianty, M.A. 2021).

c) Hipertensi

Hipertensi merupakan faktor risiko diabetes melitus karena memengaruhi


sekresi insulin di pankreas yang akibatnya meningkatkan kadar gula darah
(Christianty, M. A. 2021).

d) Dislipidemia

Dislipidemia ditandai dengan kenaikan kadar trigliserida dan penurunan


kadar HDL yangsering terjadi pada penderita diabetes melitus (Christianty, M. A.
2021).

e) Diet tidak sehat dan tidak seimbang (tinggi kalori)

Diet yang tidak sehat merupakan faktor risiko dari diabetes melitus karena
sebagian besar penderita diabetes melitus diakibatkan oleh kebiasaan dari

18
mengkonsumsi makanan yang tinggi kalori namun nutrisi yang kurang (Christianty,
M. A. 2021).

f) Kondisi prediabetes

Ditandai dengan toleransi glukosa terganggu (TGT 140-199 mg/dl) atau gula
darah puasa terganggu (GDPT <140 mg/dl) (Kementrian Kesehatan RI, 2020)
(Christianty, M. A. 2021).

g) Merokok

Perokok aktif memiliki resiko lebih tinggi terkena diabetes melitus


dibandingkan dengan yang tidak merokok. Nikotin pada rokok memengaruhi sekresi
insulin akibatnya terjadi penumpukan glukosa dalam darah (Christianty, M. A.
2021).

2.6 Tatalaksana DM
Terapi Farmakologi, antara lain:
a. Obat-obatan Hipoglikemik Oral (OHO)

1. Golongan sulfoniluria
Cara kerjanya merangsang sel beta pankreas untuk mengeluarkan insulin. Jadi
golongan sulfoniluria hanya bekerja bila sel-sel beta utuh, mengalangi
pengikatan insulin, mempertinggi kepekaan jaringan terhadap insulin dan
menekan pengeluaran glukagon. Indikasi pemberian obat golongan
sulfoniluria adalah bila berat badan sekitar ideal kurang lebih 10% dari berat
badan ideal, bila kebutuhan insulin kurang dari 40 u/hari, bila tidak ada stres
akut, seperti infeksi berat (Adi, Soebagijo. 2019).
2. Golongan biguanid
Cara kerjanya tidak merangsang sekresi insulin. Golongan biguanid dapat
menurunkankadar gula darah menjadi normal dan istimewanya tidak pernah
menyebabkan hipoglikemia. Efek samping obat ini (metformin) menyebabkan
anoreksia, nausea, nyeri abdomen dan diare (Adi, Soebagijo. 2019).
3. Alfa glukosidase inhibitor
Cara kerjanya menghambat kerja insulin alfa glukosidase di dalam saluran
cerna sehingga dapat menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan
hiperglikemia post prandial. Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak

19
menyebabkan hiperglikemia dan tidak berpengaruh pada kadar insulin (Adi,
Soebagijo. 2019).
4. Insulin sensitizing agent
Mempunyai efek farmakologi meningkatkan sensitifitas berbagai masalah
akibat resistensi insulin tanpa menyebabkan hipoglikemia (Adi, Soebagijo.
2019).
b. Insulin ada 3 jenis menurut cara kerjanya, antara lain :
1. Cara kerjanya cepat : RI (regular insulin) dengan masa kerja 2-4 jam. Contoh
obatnya:Actrapid
2. Cara kerjanya sedang: NPN dengan masa kerja 6-12 jam
3. Cara kerjanya lambat: PZI (Protamne Zinc Insulin) dengan masa kerjanya 18-
24 jam (Adi, Soebagijo. 2019).

Terapi non farmakologi


a. Jenis makanan
1. Karbohidrat
Sebagai sumber energi yang diberikan pada dibetisi tidak boleh lebih dari 55-
65% daritotal kebutuhan energi sehari atau tidak boleh lebih dari 70% jika
dikombinasi dengan pemberian asam lemak tidak jenuh rantai tunggal. Pada
setiap hari karbohidrat terdapat kandungan energi sebesar 4 kilokalori (Adi,
Soebagijo. 2019).
2. Protein
Jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan sekitar 10-15% dari total
kalori per hari. Pada penderita dengan kelainan ginjal dimana diperlukan
pembatasan asuhan protein sampai 40 gram per hari, maka perlu ditambahkan
pemberian suplementasi asam amino esensial. Protein mengandung energi
sebesar 4 kilokalori/ gram (Adi, Soebagijo. 2019).
3. Lemak
Lemak mempunyai kandungan energi sebesar 9 kilokalori/ gram. Bahkan
makanan inisangat penting untuk membawa vitamin larut dalam lemak seperti
vitamin A, D, E, dan
K. Berdasarkan ikatan rantai karbonnya, lemak dikelompokkan menjadi lemak
jenuh dan tidak jenuh. Pembatasan lemak jenuh dan kolesterol sangat

20
disarankan bagidiabetisi karena terbukti dapat memperbaiki profil lipid tidak
normal yang sering dijumpai pada diabitis (Adi, Soebagijo. 2019).
b. Jadwal makan
Jadwal makan pengidap diabetes mellitus dianjurkan lebih sering dengan
porsi sedang. Disamping jadwal makan utama pagi, siang, dan malam dianjurkan
juga porsi makanan ringan di sela- sela waktu tersebut (Adi, Soebagijo. 2019).
c. Jumlah kalori
Jumlah kalori perhitungan jumlah kalori ditentukan oleh status gizi, umur,
ada tidaknya stress akut dan kegiatan jasmani. Penentuan 24 status gizi dapat dipakai
indeks massa tubuh(IMT) atau rumus Brocca (Adi, Soebagijo. 2019). Pertama-tama
lakukan perhitungan berat badan ideal berdasarkan rumus berat badan ideal (BBI
kg)= (TB cm-100)- 10%. Untuk laki laki <160 cm dan wanita <150 cm,
perhitunganbb ideal tidak dikurangi 10% (Adi, Soebagijo. 2019).
d. Olahraga
Dianjurkan latihan jasmani teratur 3-4 kali tiap minggu selama kurang lebih
setengah jam yang sifatnya sesuai CRIPE (Continous Rythmiccal Intensity
Progressive Endurance). Latihan dilakukan terus- menerus tanpa henti, otot-otot
berkontraksi dan relaksasi secara teratur. Latihan CRIPE minimal dilakukan selama
3 hari dalam seminggu, sedangkan 2 hari yang lain dapat digunakan untuk
melakukan oahraga kesenangannya. Adanya kontraksi otot yang teratur akan
merangsang peningkatan aliran darah dan penarikan glukosa kedalam sel. Olahraga
lebih dianjurkan pada pagi hari (sebelum jam 06.00) karenaselain udara yang masih
bersih juga suasana yang belum ramai sehingga membantu penderita lebih nyaman
dan tidak mengalami stress yang tinggi. Olahraga yang teratur akan memperbaiki
sirkulasi insulin dengan cara meningkatkan dilatasi sel dan pembuluh darah
sehingga membantu masuknya glukosa ke dalam sel (Adi, Soebagijo. 2019).

21
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dapat disimpulkan dari pembahasan di atas bahwa diabetes Mellitus (DM)
adalah penyakit metabolik yang ditandai oleh kadar gula darah yang tinggi akibat
kegagalan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Terdapat beberapa jenis DM,
termasuk tipe 1 (disebabkan oleh reaksi autoimun), tipe 2 (sering disebabkan oleh gaya
hidup tidak sehat), gestasional (terjadi selama kehamilan), dan tipe lain (disebabkan oleh
faktor lain seperti penyakit pankreas eksokrin). DM merupakan masalah kesehatan
global dengan prevalensi yang terus meningkat, terutama karena faktor-faktor seperti
populasi yang bertambah, penuaan, obesitas, dan penurunan aktivitas fisik. DM dapat
menyebabkan kerusakan vaskular dan komplikasi lainnya.
Patofisiologi DM melibatkan gangguan dalam metabolisme karbohidrat, protein,
dan lemak karena kekurangan insulin atau resistensi insulin. Tipe 1 disebabkan oleh
kerusakan sel beta pankreas, sementara tipe 2 melibatkan resistensi insulin dan
penurunan sekresi insulin. Gejala DM dapat berupa polifagia, polidipsia, poliuria, nafsu
makan meningkat, kelelahan, kesemutan, gangguan penglihatan, dan lainnya. Penyebab
DM melibatkan gangguan sistem regulasi kadar gula darah dan resistensi insulin.
Komplikasi DM dapat dibagi menjadi akut (seperti hipoglikemia, ketoasidosis
diabetikum, dan sindrom hiperosmolar hiperglikemia non-ketotik) dan kronik (seperti
makroangiopati dan mikroangiopati). Penanganan komplikasi DM melibatkan
pengelolaan kadar gula darah, tekanan darah, dan kadar lemak darah dengan pengobatan
medis, pola makan yang tepat, dan pola hidup sehat. Faktor resiko DM termasuk faktor
yang dapat dimodifikasi (seperti obesitas) dan faktor yang tidak dapat dimodifikasi
(seperti riwayat keluarga dan usia).

22
DAFTAR PUSTAKA

Adi, Soebagijo. 2019. Buku Pedoman “Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus
Tipe 2 Dewasa di Indonesia”

Appleton, Vanbergen, O’Neill, Murphy, editor, (2019). Sistem Endokrin, Metabolisme


dan Nutrisi. 1st Indonesian Ed. Singapore: Elsevier;

Christianty, M. A. (2021). Gambaran pola hidup pada penderita diabetes melitus pada
ny. S di wilayah karangploso kabupaten malang (Doctoral dissertation,
Universitas Muhammadiyah Malang).

Huether SE, McCance KL, editors (2019). Buku Ajar Patofisiologi. 6th Indonesiaed vol
1. Singapore: Elsevier;

Indaryati, S., & Pranata, L. (2019). Peran Edukator Perawat Dalam Pencegahan
Komplikasi Diabetes Melitus (Dm) Di Puskesmas Kota Palembang Tahun
2019.

Setiati, Siti. 2017. “Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam”. Edisi VI. Jilid 2. Interna Publishing.
JakartaPusat.

PERKENI. (2021). Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 diIndonesia,


PERKENI, Jakarta.

Purwanti, L. E., & Maghfirah, S. (2016). Faktor risiko komplikasi kronis (kaki diabetik)
dalam diabetes mellitus tipe 2. The Indonesian Journal of HealthScience, 7(1).

Wisse, B. National Institute of Health (2020). U.S. National Library of Medicine


MedlinePlus. Diabetic ketoacidosis.

Widodo, F. Y. (2014). Pemantauan penderita diabetes mellitus. Ilmiah Kedokteran, 3(2),


55-69.

23

Anda mungkin juga menyukai