Disusun Oleh:
Puji syukur saya sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-
Nya saya dapat melaksanakan dan menyusun laporan Small Group Discussion (SGD)
LBM 2 yang berjudul “Master Gland” ini tepat pada waktunya. Laporan ini ditulis
untuk memenuhi persyaratan sebagai syarat nilai SGD serta Pleno dalam blok Endokrin
dan Metabolisme. Dalam penyusunan laporan ini, saya mendapat banyak bantuan,
masukan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, melalui
kesampatan ini saya menyampaikan terima kasih kepada:
1. dr. Halia Wanadiatri, M.Si selaku Tutor serta Fasilitator Small Group Discussion
(SGD) kelompok 5
2. Kakak tingkat yang berkenan memberikan banyak saran dan masukan terkait
laporan yang saya buat ini.
3. Serta kepada teman-teman yang memberikan masukan dan dukungannya
kepada saya.
Saya menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna dikarenakan
terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang saya miliki dan masih perlu banyak
perbaikan. Oleh karena itu, saya mengharapkan segala bentuk saran serta yang membangun
dari berbagai pihak. Akhir kata saya berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi
berbagai pihak yang akan menggunakannya.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Skenario
“Aku Kenapa?”
Tn. U berusia 30 tahun datang ke Puskesmas mengeluhkan badan terasa sering
kesemutan sejak 1 bulan yang lalu. Awalnya rasa kesemutan dirasakan di telapak kaki,
namun makin lama rasa kesemutan benyebar ke bagian tubuh lainya hingga ke jari dan
tangan. Walaupun kesemutan, pasien masih bisa merasakan bila disentuh ataupun
memegang sesuatu, hanya terasa tebal. Tn. U juga mengeluhkan sering kencing sejak
tiga bulan yang terakhir, terutama saat tidur di malam hari. Setiap malam pasien bisa
terbangun lebih dari tiga kali untuk kencing. Nafsu makan pasien meningkat sejak
sekitar kurang lebih setahun yang lalu namun pasien mengeluhkan berat badan yang
menurun.
Dari hasil pemeriksaan tanda-tanda vital didapatkan TD 130/90 mmHg. N 120
kali/menit, suhu 36,7, RR 20 kali/menit. Sebagai seorang dokter apakah yang akan
Anda lakukan?
4
1.2 Deskripsi Masalah
5
BAB II
PEMBAHASAN
6
penyakit yang terjadi pada pankreas eksokrin seperti pankreasitis, fibrosis kistik dan
diabetes yang disebabkan oleh obat-obatan dari bahan kimia seperti penggunaan
glukokortikoid dalam pengobatan HIV/AIDS dan setelah transplantasi organ (Setiati,
Siti. 2017).
2.3 Patofisologi DM
Diabetes melitus yang merupakan penyakit dengan gangguan pada
metabolisme karbohidrat, protein dan lemak karena insulin tidak dapat bekerja secara
optimal, jumlah insulin yang tidak memenuhi kebutuhan atau keduanya. Gangguan
metabolisme tersebut dapat terjadi karena 3 hal yaitu pertama karena kerusakan pada
sel-sel beta pankreas karena pengaruh dari luar seperti zat kimia, virus dan bakteri.
Penyebab yang kedua adalah penurunan reseptor glukosa padakelenjar pankreas dan
yang ketiga karena kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer (Setiati, Siti. 2017).
Insulin yang disekresi oleh sel beta pankreas berfungsi untuk mengatur kadar
glukosa darahdalam tubuh. Kadar glukosa darah yang tinggi akan menstimulasi sel beta
pankreas untuk mengsekresi insulin. Sel beta pankreas yang tidak berfungsi secara
optimal sehingga berakibat pada kurangnya sekresi insulin menjadi penyebab kadar
glukosa darah tinggi. Penyebab dari kerusakan sel beta pankreas sangat banyak seperti
contoh penyakit autoimun dan idiopatik (Setiati,Siti. 2017).
9
mengakibatkan glukosa dalam darah akan diekresi melalui urin (glukosuria) sehingga
terjadi diuresis osmotik yang ditandai dengan pengeluaran urin yang berlebihan
(poliuria). Banyaknya cairan yang keluar menimbulkansensasi rasa haus (polidipsia).
Glukosa yang hilang melalui urin dan resistensi insulin menyebabkan kurangnya
glukosa yang akan diubah menjadi energi sehingga menimbulkan rasa lapar yang
meningkat (polifagia) sebagai kompensasi terhadap kebutuhan energi. Penderita akan
merasa mudah lelah dan mengantuk jika tidak ada kompensasi terhadap kebutuhan
energi tersebut. Jika keadaan tersebut terjadi secara terus menerus dan tubuh sudah
tidak mampu untuk mengkompensasi maka akan terjadi diabetes militus (Setiati, Siti.
2017).
Patofisiologi DM tipe 1
DM tipe-1 ini disebabkan oleh karena adanya proses autoimun / idiopatik yang
menyebabkan defisiensi insulin absolut. Ditandai dengan ketidakmampuan pankreas
untuk mensekresikan insulin dikarenakan kerusakan sel beta yang disebabkan oleh
proses autoimun (Setiati, Siti. 2017).
Patofisologi DM tipe 2
1. Resistensi insulin
2. Disfungsi sel B pancreas
10
penumpukan glukosa darah yang pada akhirnyaakan menimbulkan hiperglikemia atau
meningkatnya kadar gula darah dalam tubuh. Pelatihan fisik mempotensiasi efek
olahraga terhadap sensitivitas insulin melalui beberapa adaptasi dalam transportasi
glukosa dan metabolisme. Kegiatan senam diabetes sangat penting dalam
penatalaksanaan diabetes karena efeknya dapat menurunkan kadar gula darah dengan
cara merangsang stimulasi hormon insulin yang akan mengakibatkan peningkatan
glukosa transporter terutama GLUT 4 yang berakibat pada berkurangnya resistensi
insulin dan peningkatan pengambilan gula oleh otot serta memperbaiki pemakaian
insulin yang berakibat menurunya kadar gula darah post prandial dan gula darah puasa.
Sirkulasi darah dan tonus otot juga diperbaiki dengan berolahraga (Setiati, Siti. 2017).
DM tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, namun karena sel
sel sasaraninsulin gagal atau tidak mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini
lazim disebut sebagai“resistensi insulin”. Resistensi insulin banyak terjadi akibat dari
obesitas dan kurang nya aktivitasfisik serta penuaan. Pada penderita DM tipe 2 dapat
juga terjadi produksi glukosa hepatik yang berlebihan namun tidak terjadi pengrusakan
sel-sel B langerhans secara autoimun seperti DM tipe
2. Defisiensi fungsi insulin pada penderita DM tipe 2 hanya bersifat relatif dan tidak
absolut (Setiati, Siti. 2017).
2.4 Gejala DM
Gejala DM dibedakan menjadi akut dan kronik:
1. Gejala akut diabetes melitus yaitu: polifagia, polydipsia ,poliuria, nafsu makan
bertambah namu berat badan turun dengan cepat (5-10 kg dalam waktu 2-4
minggu), mudah lelah.
2. Gejala kronik diabetes melitus yaitu: Kesemutan, kulit terasa panas atau seperti
tertusuk tusuk jarum, rasa kebas di kulit, kram, kelelahan, mudah mengantuk,
11
pandangan mulai kabur, gigi mudah goyah dan mudah lepas, kemampuan seksual
menurun bahkan pada pria bisa terjadi impotensi, pada ibu hamil sering terjadi
keguguran atau kematian janin dalamkandungan atau dengan bayi berat lahir lebih
dari 4kg (Adi, Soebagijo. 2019).
Pada penderita diabetes mellitus pangaturan sistem kadar gula darar terganggu,
insulin tidak cukup mengatasi dan akibatnya kadar gula dalam darah bertambah tinggi.
peningkatan kadar glukosa darah akan menyumbat seluruh sistem energi dan tubuh
berusaha kuat mengeluarkannyamelalui ginjal. Kelebihan gula dikeluarkan didalam air
kemih ketika makan makanan yang banyak kadar gulanya. Peningkatan kadar gula
dalam darah sangat cepat pula karena insulin tidak mencukupi jika ini terjadi maka
terjadilah diabetes mellitus (Adi, Soebagijo. 2019).
Insulin berfungsi untuk mengatur kadar gula dalam darah guna menjamin
kecukupan gulayang disediakan setiap saat bagi seluruh jaringan dan organ, sehingga
proses-proses kehidupan utama bisa berkesinambungan. Pelepasan insulin dihambat
oleh adanya hormon-hormon tertentu lainnya, terutama adrenalin dan nonadrenalin,
yang dihasilkan oleh kelenjar-kelenjar adrenal, yang juga dikenal sebagai katekolamin,
dan somatostatin (Adi, Soebagijo. 2019).
12
Diabetes Mellitus tipe II
Disebabkan oleh kegagalan relative sel beta dan resistensi insulin. Faktor
resiko yang berhubungan dengan proses terjadinya diabetes mellitus tipe II antara lain:
1. Usia
Resistensi insulin cenderung meningkat pada usia diatas 65 tahun, tetapi
pada usia remajapun diabetes mellitus dapat terjadi juga pada umur 11 sampai 13
tahun karena sejak awal pankreas tidak menghasilkan insulin (Adi, Soebagijo.
2019).
2. Obesitas
Karena ketidakseimbangan hormon dalam tubuh akan membuat hormon
insulin tidak dapatbekerja secara maksimal dalam menghantar glukosa yang ada
dalam darah. Pengurangan berat badan sering kali dikaitkan dengan perbaikan
dalam sensitivitas insulin dan pemulihan toleransi glukosa. Obesitas terjadi karena
tubuh kelebihan lemak minimal 20%dari berat badan ideal. Menurut Adriani (2012)
obesitas digolongkan menjadi 3 kelompok(Adi, Soebagijo. 2019).
1. Obesitas ringan : kelebihan berat badan 20-40%
Pada riwayat keluarga yang salah satunya memiliki riwayat diabetes mellitus
bisa diturunkan sejak remaja pada anaknya. Kaum pria sebagai penderita
sesungguhnya dan perempuan sebagai pihak pembawa gen atau keturunan. Gen
yang mempengaruhi pada diabetes tipe II adalah gen TC7L2. Gen ini sangat
berpengaruh pada pengeluaran insulin dan produksi glukosa (Adi, Soebagijo. 2019).
2.5 Komplikasi DM
Komplikasi diabetes melitus :
a. Kompikasi akut
Komplikasi akut diabtes meliputi hipoglikemia, ketoasidosis diabetikum
(KAD), dan sindrom hyperosmolar hiperglikemia non-ketotik (hyperosmolar
13
hyperglycemia state,HHS) (Indaryati, S., & Pranata, L. 2019).
Efek Somogyi (penurunan kadar glukosa darah saat malam hari yang
menyebabkan peningkatan glukosa darah pada pagi harinya) dan dawn
phenomenon (peningkatan kadar glukosa darah saat pagi hari akibat pelepasan
hormon pertumbuhan, kortisol dan katekolamin tanpa didahului oleh kejadian
hipoglikemia) juga dapat dijumpai (Indaryati, S., & Pranata, L. 2019).
Hipoglikemia pada pasien diabetes sering disebut sebagai syok insulin atau
reaksiinsulin. Risiko hipoglikemia pada pasien DM tipe 2 lebih kecil dibanding
dengan pasien DM tipe 1 karena mekanisme glucose counterregulatory yang masih
lengkap (intact). Hipoglikemia pada pasien DM tipe 2 terjadi pada pasien yang
mendapat terapi insulin sekretagog (sulfonilurea) atau insulin eksogen. Gejala
yang muncul berupa wajah kepucatan, tremor, gelisah, takikardia, palpitasi,
berkeringat, nyeri kepala, pusing, iritabilitas, kelelahan, sulit mengambil
keputusan, bingung, gangguan penglihatan, terasa lapar, kejang sampai koma.
Terapi yang harus segera diberikan adalah pemberian pengganti glukosa baik per
oral atau intravena. Glukagon dapat digunakan di rumah terutama untuk pasien
kelompok risiko tinggi." Pencegahan dapat dilakukan dengan pemberian terapi
secara individual baik obat maupun diet disertai pemantauan glukosa darah dan
edukasi (Indaryati, S., & Pranata, L. 2019).
14
perubahan posisi, depresi sistem saraf pusat, ketonuri, anoreksi, mual, nyeri perut,
rasa haus, dan poliuria. Terapi KAD meliputi kombinasi pemberian cairan, insulin
dan koreksi elektrolit (Indaryati, S., & Pranata, L. 2019).
b. Komplikasi kronik
15
pasien diabetes dan perempuan mempunyai risiko yang lebih tinggi. Hipertensi
sering terjadi bersamaan dengan diabetes mellitus. Hipertensi lebih sering
terjadi pada pasien dabetes dibanding dengan populasi nondiabetik dengan
berbagai macam penyebab. Pada pasien DM tipe 1, hipertensi berkaitan dengan
mikroalbuminuria. Pada DM tipe 2, hipertensi berkaitan dengan sindrom
metabolik. Hipertensi meningkatkan risiko penyakit jantung koroner dan
stroke. Penyakit jantung koroner (PJK) menjadi penyebab utama morbiditas
dan mortalitas pasien diabetes. Mekanisme yang mendasari adalah
hiperglikemia dan resistensi insulin, peningkatan kadar low density lipoprotein
(LDL) dan trigliserida, penurunan kadar high density lipoprotein (HDL)
kelainan trombosit, dan disfungsi endotel.4 Secara umum, prevalensi PJK
semakin meningkat sesuai dengan lamanya menderita diabetes dan bukan
berdasar derajat keparahan diabetesnya. Awitan PJK dapat tidak bergejala
(Indaryati, S., & Pranata, L. 2019).
Stroke. Stroke terjadi dua kali lipat lebih sering pada pasien diabetes
(terutama DM tipe 2) dibandingkan dengan pasien nondiabetes. Angka
keberlangsungan hidup pasien diabetes setelah serangan stroke lebih rendah
dibandingkan pasien non-diabetes. Faktor risiko utama yang berperan terhadap
kejadian stroke antara lain hipertensi, hiperglikemia,dan thrombosis (Indaryati,
S., & Pranata, L. 2019).
16
➢ Komplikasi Mikroangiopati merupakan gangguan yang terjadi pada pembuluh
darah kapiler, meliputi retinopati diabetukm, nefropati diabetikum, dan
neuropati diabetikum.
Komplikasi mikrovaskular (gangguan di kapiler) menjadi penyebab
kebutaan, gagal ginjal kronik, dan berbagai kelainan neuropati. Oklusi kapiler
merupakan karakteristik komplikasi mikroangiopatu pada diabetes. Frekuensi
dan derajat lesi dipengaruhi oleh durasi penyakit (umumnya lebih dari 10
tahun) dan kendali glukosa darah. Hipoksia dan iskemia akibat mikroangiopati
biasanya dijumpai di mata, ginjal, danserabut saraf (Indaryati, S., & Pranata, L.
2019).
17
terdiri dari faktor yang dapat dimodifikasi dan faktor yang tidak dapat dimodifikasi.
Faktor resiko yang tidakdapat dimodifikasi adalah umur, jenis kelamin, ras atau suku,
riwayat keluarga dengan diabetes melitus, riwayat ibu yang melahirkan bayi >4.000
gram dan riwayat bayi lahir dengan berat badanlahir rendah (BBLR) atau <2.500 gram,
sedangkan factor resiko yang dapat dimodifikasi adalah :(Christianty, M. A. 2021).
c) Hipertensi
d) Dislipidemia
Diet yang tidak sehat merupakan faktor risiko dari diabetes melitus karena
sebagian besar penderita diabetes melitus diakibatkan oleh kebiasaan dari
18
mengkonsumsi makanan yang tinggi kalori namun nutrisi yang kurang (Christianty,
M. A. 2021).
f) Kondisi prediabetes
Ditandai dengan toleransi glukosa terganggu (TGT 140-199 mg/dl) atau gula
darah puasa terganggu (GDPT <140 mg/dl) (Kementrian Kesehatan RI, 2020)
(Christianty, M. A. 2021).
g) Merokok
2.6 Tatalaksana DM
Terapi Farmakologi, antara lain:
a. Obat-obatan Hipoglikemik Oral (OHO)
1. Golongan sulfoniluria
Cara kerjanya merangsang sel beta pankreas untuk mengeluarkan insulin. Jadi
golongan sulfoniluria hanya bekerja bila sel-sel beta utuh, mengalangi
pengikatan insulin, mempertinggi kepekaan jaringan terhadap insulin dan
menekan pengeluaran glukagon. Indikasi pemberian obat golongan
sulfoniluria adalah bila berat badan sekitar ideal kurang lebih 10% dari berat
badan ideal, bila kebutuhan insulin kurang dari 40 u/hari, bila tidak ada stres
akut, seperti infeksi berat (Adi, Soebagijo. 2019).
2. Golongan biguanid
Cara kerjanya tidak merangsang sekresi insulin. Golongan biguanid dapat
menurunkankadar gula darah menjadi normal dan istimewanya tidak pernah
menyebabkan hipoglikemia. Efek samping obat ini (metformin) menyebabkan
anoreksia, nausea, nyeri abdomen dan diare (Adi, Soebagijo. 2019).
3. Alfa glukosidase inhibitor
Cara kerjanya menghambat kerja insulin alfa glukosidase di dalam saluran
cerna sehingga dapat menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan
hiperglikemia post prandial. Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak
19
menyebabkan hiperglikemia dan tidak berpengaruh pada kadar insulin (Adi,
Soebagijo. 2019).
4. Insulin sensitizing agent
Mempunyai efek farmakologi meningkatkan sensitifitas berbagai masalah
akibat resistensi insulin tanpa menyebabkan hipoglikemia (Adi, Soebagijo.
2019).
b. Insulin ada 3 jenis menurut cara kerjanya, antara lain :
1. Cara kerjanya cepat : RI (regular insulin) dengan masa kerja 2-4 jam. Contoh
obatnya:Actrapid
2. Cara kerjanya sedang: NPN dengan masa kerja 6-12 jam
3. Cara kerjanya lambat: PZI (Protamne Zinc Insulin) dengan masa kerjanya 18-
24 jam (Adi, Soebagijo. 2019).
20
disarankan bagidiabetisi karena terbukti dapat memperbaiki profil lipid tidak
normal yang sering dijumpai pada diabitis (Adi, Soebagijo. 2019).
b. Jadwal makan
Jadwal makan pengidap diabetes mellitus dianjurkan lebih sering dengan
porsi sedang. Disamping jadwal makan utama pagi, siang, dan malam dianjurkan
juga porsi makanan ringan di sela- sela waktu tersebut (Adi, Soebagijo. 2019).
c. Jumlah kalori
Jumlah kalori perhitungan jumlah kalori ditentukan oleh status gizi, umur,
ada tidaknya stress akut dan kegiatan jasmani. Penentuan 24 status gizi dapat dipakai
indeks massa tubuh(IMT) atau rumus Brocca (Adi, Soebagijo. 2019). Pertama-tama
lakukan perhitungan berat badan ideal berdasarkan rumus berat badan ideal (BBI
kg)= (TB cm-100)- 10%. Untuk laki laki <160 cm dan wanita <150 cm,
perhitunganbb ideal tidak dikurangi 10% (Adi, Soebagijo. 2019).
d. Olahraga
Dianjurkan latihan jasmani teratur 3-4 kali tiap minggu selama kurang lebih
setengah jam yang sifatnya sesuai CRIPE (Continous Rythmiccal Intensity
Progressive Endurance). Latihan dilakukan terus- menerus tanpa henti, otot-otot
berkontraksi dan relaksasi secara teratur. Latihan CRIPE minimal dilakukan selama
3 hari dalam seminggu, sedangkan 2 hari yang lain dapat digunakan untuk
melakukan oahraga kesenangannya. Adanya kontraksi otot yang teratur akan
merangsang peningkatan aliran darah dan penarikan glukosa kedalam sel. Olahraga
lebih dianjurkan pada pagi hari (sebelum jam 06.00) karenaselain udara yang masih
bersih juga suasana yang belum ramai sehingga membantu penderita lebih nyaman
dan tidak mengalami stress yang tinggi. Olahraga yang teratur akan memperbaiki
sirkulasi insulin dengan cara meningkatkan dilatasi sel dan pembuluh darah
sehingga membantu masuknya glukosa ke dalam sel (Adi, Soebagijo. 2019).
21
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dapat disimpulkan dari pembahasan di atas bahwa diabetes Mellitus (DM)
adalah penyakit metabolik yang ditandai oleh kadar gula darah yang tinggi akibat
kegagalan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Terdapat beberapa jenis DM,
termasuk tipe 1 (disebabkan oleh reaksi autoimun), tipe 2 (sering disebabkan oleh gaya
hidup tidak sehat), gestasional (terjadi selama kehamilan), dan tipe lain (disebabkan oleh
faktor lain seperti penyakit pankreas eksokrin). DM merupakan masalah kesehatan
global dengan prevalensi yang terus meningkat, terutama karena faktor-faktor seperti
populasi yang bertambah, penuaan, obesitas, dan penurunan aktivitas fisik. DM dapat
menyebabkan kerusakan vaskular dan komplikasi lainnya.
Patofisiologi DM melibatkan gangguan dalam metabolisme karbohidrat, protein,
dan lemak karena kekurangan insulin atau resistensi insulin. Tipe 1 disebabkan oleh
kerusakan sel beta pankreas, sementara tipe 2 melibatkan resistensi insulin dan
penurunan sekresi insulin. Gejala DM dapat berupa polifagia, polidipsia, poliuria, nafsu
makan meningkat, kelelahan, kesemutan, gangguan penglihatan, dan lainnya. Penyebab
DM melibatkan gangguan sistem regulasi kadar gula darah dan resistensi insulin.
Komplikasi DM dapat dibagi menjadi akut (seperti hipoglikemia, ketoasidosis
diabetikum, dan sindrom hiperosmolar hiperglikemia non-ketotik) dan kronik (seperti
makroangiopati dan mikroangiopati). Penanganan komplikasi DM melibatkan
pengelolaan kadar gula darah, tekanan darah, dan kadar lemak darah dengan pengobatan
medis, pola makan yang tepat, dan pola hidup sehat. Faktor resiko DM termasuk faktor
yang dapat dimodifikasi (seperti obesitas) dan faktor yang tidak dapat dimodifikasi
(seperti riwayat keluarga dan usia).
22
DAFTAR PUSTAKA
Adi, Soebagijo. 2019. Buku Pedoman “Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus
Tipe 2 Dewasa di Indonesia”
Christianty, M. A. (2021). Gambaran pola hidup pada penderita diabetes melitus pada
ny. S di wilayah karangploso kabupaten malang (Doctoral dissertation,
Universitas Muhammadiyah Malang).
Huether SE, McCance KL, editors (2019). Buku Ajar Patofisiologi. 6th Indonesiaed vol
1. Singapore: Elsevier;
Indaryati, S., & Pranata, L. (2019). Peran Edukator Perawat Dalam Pencegahan
Komplikasi Diabetes Melitus (Dm) Di Puskesmas Kota Palembang Tahun
2019.
Setiati, Siti. 2017. “Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam”. Edisi VI. Jilid 2. Interna Publishing.
JakartaPusat.
Purwanti, L. E., & Maghfirah, S. (2016). Faktor risiko komplikasi kronis (kaki diabetik)
dalam diabetes mellitus tipe 2. The Indonesian Journal of HealthScience, 7(1).
23