Disusun oleh:
Pembimbing:
dr. H. Didiet Pratignyo, Sp.PD-FINASIM
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat
rahmat-Nya, penulis berhasil menyelesaikan penulisan referat yang berjudul
“Disfungsi Ereksi pada Diabetes Melitus”.
Referat ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan
klinik di bagian SMF Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Daerah Kota
Cilegon. Penulisan referat ini tidak lepas dari bantuan dan bimbingan berbagai
pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima
kasih kepada dr. H. Didiet Pratignyo, Sp.PD-FINASIM, yang selalu
membimbing dan memberi saran selama menjalani kepaniteraan klinik Ilmu
Penyakit Dalam.
Dalam penulisan referat ini penulis menyadari bahwa masih jauh dari
kesempurnaan dan masih banyak kekurangan baik dari segi penulisan maupun dari
segi isi. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak
yang bersifat membangun untuk memperbaiki presentasi kasus ini. Penulis
berharap referat ini dapat membawa manfaat bagi semua pihak. Semoga Allah SWT
senantiasa membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Aamiin
ya rabbal’alamin.
Penulis
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu aspek penting yang ikut menentukan kualitas hidup manusia ialah
kehidupan seksual. Karena itu aktivitas seksual menjadi salah satu bagian dalam
penilaian kualitas hidup manusia. Kehidupan seksual yang menyenangkan
memberikan pengaruh positif bagi kualitas hidup. Sebaliknya, kalau kehidupan
seksual tidak menyenangkan, maka kualitas hidup terganggu.
Disfungsi ereksi atau kesulitan ereksi adalah ketidakmampuan yang menetap
atau terus – menerus untuk mencapai atau mempertahankan ereksi penis yang
berkualitas sehingga dapat mencapai hubungan seksual yang memuaskan.
Disfungsi ereksi merupakan istilah yang lebih tepat untuk disfungsi seksual
daripada istilah impotensi yang dapat memberikan konotasi negatif.
Disfungsi ereksi dapat disebabkan oleh faktor psikogenik, organik, maupun
iatrogenik. Pada masa lalu, faktor psikogenik dipercaya sebagai penyebab utama
terjadinya disfungsi ereksi, sekarang ternyata faktor organik lebih sering sebagai
penyebab disfungsi ereksi terutama pada laki-laki usia pertengahan dan usia lanjut,
sedangkan disfungsi ereksi akibat psikogenik lebih sering dijumpai pada usia di
bawah 40 tahun. Penyebab organik terletak pada kelainan neurogenik, vaskulogenik
dan endokrinologik. Di antara penyakit-penyakit yang menyebabkan disfungsi
ereksi organik, diabetes menempati urutan tertinggi 2-5 kali lebih besar disbanding
bukan diabetes. Disfungsi ereksi organik juga dapat terjadi bersama-sama dengan
penyebab psikogenik.
Prevalensi disfungsi ereksi meningkat sesuai dengan pertambahan usia.
Prevalensi disfungsi ereksi diremehkan karena dokter sering tidak mempertanyakan
pasien mereka tentang gangguan ini.
Berdasarkan penelitian meta-analisis dari 145 studi oleh Kouidrat, dkk
(2017), disfungsi ereksi mempengaruhi lebih dari 50% pria dengan diabetes di
seluruh dunia dan lebih dari 65% pria dengan penyakit tipe 2. Berbagai penelitian
telah menunjukkan bahwa usia lanjut, durasi diabetes, kontrol glikemik yang buruk,
hipertensi, hiperlipidemia, gaya hidup menetap, merokok dan adanya komplikasi
4
diabetes lainnya berhubungan dengan disfungsi ereksi terkait diabetes. Dalam
meta-analisis terbaru ini, dibandingkan dengan kontrol yang sehat, prevalensi
disfungsi ereksi pada pria dengan diabetes di seluruh dunia adalah 52,5%.
Prevalensi adalah 66,3% pada diabetes tipe 2, 37,5% pada diabetes tipe 1, dan
57,7% pada kedua jenis diabetes (semua P <.0001).
Temuan bahwa prevalensi disfungsi ereksi lebih tinggi pada pria dengan
diabetes tipe 2 dibandingkan pada mereka dengan diabetes tipe 1 menunjukkan
bahwa banyak pria dengan diabetes tipe 2 mungkin sudah memiliki disfungsi ereksi
saat didiagnosis, merujuk pada penelitian yang menunjukkan bahwa ereksi
disfungsi adalah penanda awal diabetes yang tidak terdiagnosis. Disfungsi ereksi
juga berkontribusi terhadap kualitas hidup yang buruk dan dalam beberapa kasus
menimbulkan depresi. Deteksi dini sangat penting dan meningkatkan kesejahteraan
psikologis membutuhkan pendekatan multidisiplin yang mencakup konseling dan
nasihat psikoseksual.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
6
Gambar 1. Patofisiologi Diabetes Melitus tipe 2
7
2.1.4. Diagnosis Diabetes Melitus
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM
perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:
• Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
• Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi
pada pria, serta pruritus vulva pada wanita
8
fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral
dan diekskresi secara cepat melalui hati.
b. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin
• Metformin
Efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis) dan
memperbaiki ambilan glukosa di jaringan perifer. Metformin tidak boleh
diberikan pada gangguan fungsi ginjal, gangguan hati berat, serta pasien
dengan kecenderungan hipoksemia.
• Tiazolidindion (TZD)
Agonis dari Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-
gamma), suatu reseptor inti yang terdapat antara lain di sel otot, lemak dan
hati. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan
ambilan glukosa di jaringan perifer. Tiazolidindion meningkatkan retensi
cairan tubuh sehingga dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal
jantung karena dapat memperberat edema/retensi cairan.
c. Penghambat Absorpsi Glukosa di saluran pencernaan
Penghambat Alfa Glukosidase:
Memperlambat absorbsi glukosa dalam usus halus, sehingga mempunyai efek
menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Penghambat glukosidase
alfa tidak digunakan pada keadaan GFR≤30ml/min/1,73 m2, gangguan faal
hati yang berat, irritable bowel syndrome.
d. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)
Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim DPP-IV
sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang
tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan sekresi
insulin dan menekan sekresi glukagon bergantung kadar glukosa darah
(glucose dependent).
e. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Cotransporter-2)
Menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli distal ginjal dengan cara
menghambat kinerja transporter glukosa SGLT-2.
9
2. Obat Antihiperglikemia Suntik
Termasuk anti hiperglikemia suntik, yaitu insulin, agonis GLP-1 dan kombinasi
insulin dan agonis GLP-1.
a. Insulin
Indikasi pemberian insulin yaitu pada beberapa keadaan, antara lain HbA1c >
9% dengan kondisi dekompensasi metabolik, penurunan berat badan yang
cepat, hiperglikemia berat yang disertai ketosis, krisis hiperglikemia, gagal
dengan kombinasi OHO dosis optimal, stres berat (infeksi sistemik, operasi
besar, infark miokard akut, stroke), kehamilan dengan DM yang tidak
terkendali dengan perencanaan makan, kontraindikasi dan atau alergi
terhadap OHO, kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi.
10
2.1.6. Komplikasi Diabetes Melitus
A. Penyulit Akut
1. Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 70 mg/dl.
Penurunan kesadaran yang terjadi pada penyandang diabetes harus selalu
dipikirkan kemungkinan disebabkan oleh hipoglikemia.
2. Krisis Hiperglikemia
Ketoasidosis Diabetik (KAD) adalah peningkatan kadar glukosa darah yang
tinggi (300-600 mg/dl), disertai tanda dan gejala asidosis dan plasma keton (+)
kuat. Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH) adalah peningkatan glukosa
darah sangat tinggi (600-1200 mg/dl), tanpa tanda dan gejala asidosis,
osmolaritas plasma sangat meningkat (330-380 mOs/ml), plasma keton (+/-),
anion gap normal atau sedikit meningkat.
Pengobatan non farmakologi pada pasien diabetes adalah dengan edukasi, nutrisi
dan olahraga. Edukasi, keberhasilan pengelolaan diabetes membutuhkan partisipasi
aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan harus mendampingi pasien
menuju perubahan perilaku untuk itu diperlukan edukasi yang komprehensif,
pengembangan keterampilan dan motivasi. Nutrisi, anjuran makanan untuk pasien
DM sama dengan anjuran makanan sehat pada umumnya yaitu menu seimbang dan
sesuai dengan kalori masing-masing agar dapat mencapai dan mempertahankan
berat badan normal. Olahraga, dianjurkan untuk berolahraga 3-4 kali/seminggu
selama 30 menit. Olahraga yang disarankan adalah jogging, bersepeda santai dan
berenang. Adapun mamfaat olahraga adalah membakar kalori sehingga berat badan
turun, menurunkan resiko kardiovaskular, meningkatkan sensitivitas insulin,
menghilangkan kecemasan, stres dan ketegangan.
12
2.2. Disfungsi Ereksi
ANATOMI PENIS
Sistem reproduksi pria terdiri atas testis, saluran kelamin, kelenjar tambahan
dan penis. Penis mulai dari arcus pubis menonjol ke depan berbentuk bulat panjang
Panjang penis orang Indonesia dalam keadaan flaksid dengan mengukur dari
pangkal dan ditarik sampai ujung adalah sekitar 9 sampai 12 cm. Sebagian ada yang
lebih pendek dan sebagian lagi ada yang lebih panjang. Saat ereksi penuh, penis
akan memanjang dan membesar sehingga menjadi sekitar 10 cm sampai 14 cm.
Bagian utama dari penis adalah bagian erektil atau bagian yang dapat
mengecil atau flaksid dan bisa membesar sampai keras. Bila dilihat dari penampang
horizontal, penis terdiri dari 3 rongga yakni 2 batang korpus kavernosa di kiri dan
kanan atas, sedangkan di tengah bawah disebut korpus spongiosa. Kedua korpus
kavernosa ini diliputi oleh jaringan ikat yang disebut tunica albuginea, satu lapisan
jaringan kolagen yang padat dan di luarnya ada jaringan yang kurang padat yang
disebut fascia buck. Korpus kavernosa terdiri dari gelembung-gelembung yang
disebut sinusoid. Dinding dalam atau endothel sangat berperan untuk bereaksi
kimiawi untuk menghasilkan ereksi. Ini diperdarahi oleh arteriol yang disebut
arteria helicina. Seluruh sinusoid diliputi otot polos yang disebut trabekel.
Selanjutnya sinusoid berhubungan dengan venula (sistem pembuluh balik) yang
mengumpulkan darah menjadi suatu pleksus vena lalu akhirnya mengalirkan darah
kembali melalui vena dorsalis profunda dan kembali ke tubuh.
FISIOLOGI EREKSI
21
Teori Hormon
Dijumpai tiga hormon yang mempengaruhi fungsi saraf perifer yaitu tiroksin,
testosterone dan insulin. Ternyata pemberian tiroksin dapat memperbaiki kecepatan
hantaran saraf motorik dan memperbaiki konsentrasi dan inositol pada tikus
diabetes. Kastrasi pada tikus diabetes akan mencegah berkurangnya collagen
solubility dan bertambahnya permeabilitas vaskuler tetapi tentunya cara ini tidak
dapat dilakukan pada manusia. Insulin di samping berperan sebagai regulator gula
darah juga berperan sebagai growth factor pada sejumlah jaringan saraf pusat
maupun perifer, maka terjadi penurunan kemampuan proses regenerasi saraf
sehingga mengakibatkan gangguan fungsi dari sel saraf. Namun demikian
pengalaman telah membuktikan bahwa tidak ada hubungan langsung antara
terjadinya disfungsi ereksi dengan insulin. Pemberian insulin saja tidak dapat
memperbaiki gangguan disfungsi ereksi pada penderita diabetes.
Teori Hipoksia
Pemeriksaan terhadap saraf perifer dari tikus diabetes tampak adanya
pengurangan aliran darah di saraf perifer yang disebabkan oleh hiperviskositas dan
mikroangiopati. Tekanan oksigen endoneural akan berkurang dan akhirnya akan
menyebabkan berkurangnya kecepatan hantaran pada saraf motorik.
Teori Glikosilasi
Diketahui bahwa molekul glukosa akan melekat pada protein sesuai dengan
konsentrasi glukosanya. Kolekul glukosa yang melekat ini akan membentuk
fluorescent cross linked protein. Ikatan ini menyebabkan jumlah glikosilasi mielin
meningkat 5 kali. Glikosilasi mielin ini mempunyai reseptor yang spesifik dan
dimakan oleh makrofag. Dengan demikian serangan makrofag ini akan menambah
hilangnya mielin pada saraf perifer.
Teori Vaskuler
Pada otopsi yang dilakukan diperoleh adanya iskemia dari saraf perifer yang
menyebabkan neuropati diabetik. Iskemia dapat terjadi akibat:
22
1. Kerusakan vasa vasorum akibat hiperglikemia
2. Edema neural diserat-serat saraf sensoris
B. Faktor Arteriogenik
Aterosklerosis pada arteri besar dan mikroangiopati lebih sering dan lebih
cepat muncul pada penderita diabetes disbanding bukan diabetes. Mikroangiopati
ditandai dengan penebalan kapiler basement membrane. Bila dilakukan arteiografi
terlihat stenosis di arteri pudenda interna. Dengan pemeriksaan ultrasound dupleks
akan tampak diameter arteri penis yang lebig kecil dan aliran darah lebih lambat.
Banyak penelitian membuktikan adanya hubungan yang erat antara disfungsi ereksi
pada DM dengan manifestasi vaskuler lain pada diabetes seperti retinopati, penyakit
jantung iskemik, klaudikasio intermiten dan resiko amputasi. Penurunan aliran
darah ke penis akan mengakibatkan iskemik dalam corpora.
23
C. Faktor Endotel dan Miogenik
24
merusak mitokondria dan akan menstimulasi protein kinase C (PKC). Aktivasi PKC
ini akan menekan fungsi Na-K-ATP-ase, sehingga kadar Na intraseluler menjadi
berlebihan, yang berakibat terhambatnya mioinositol masuk ke dalam sel saraf
sehingga terjadi gangguan transduksi sinyal pada saraf. Reaksi jalur poliol ini juga
menyebabkan turunnya persediaan NADPH saraf yang merupakan kofaktor penting
dalam metabolisme oksidatif. Karena NADPH merupakan kofaktor penting untuk
glutathione dan nitric oxide synthase (NOS), pengurangan kofaktor tersebut
membatasi kemampuan saraf untuk mengurangi radikal bebas dan nitric oxide.
Di samping meningkatkan aktivitas jalur poliol, hiperglikemia
berkepanjangan akan menyebabkan terbentuknya advance glycosilation end
products (AGEs). AGEs ini sangat toksik dan merusak semua protein tubuh,
termasuk sel saraf. Dengan terbentuknya AGEs dan sorbitol, maka sintesis dan
fungsi NO menurun. Yang berakibat vasodilatasi berkurang, aliran darah ke saraf
menurun dan bersama rendahnya mioinositol dalam sel saraf, terjadilah ND.
Kerusakan aksonal metabolik awal masih dapat kembali pulih dengan kendali
glikemik yang optimal. Tetapi bila kerusakan metabolik ini berlanjut menjadi
kerusakan iskemik, maka kerusakan struktural akson tidak dapat diperbaiki lagi.
26
Rosen dkk (2001) telah merancang suatu kuisoner tentang indeks fungsi
ereksi yang terdiri dari 5 pertanyaan yang dikenal dengan International Index of
Erectile Function (IIEF-5). IIEF-5 telah digunakan secara luas di seluruh dunia
dalam meneliti terjadinya disfungsi ereksi dan penelitian membuktikan bahwa
IIEF begitu mudah digunakan dalam klinik. IIEF-5 digunakan untuk menilai
fungsi seksual pada laki-laki yang mencakup fungsi ereksi, orgasmus, hasrat
seksual, kepuasaan dalam senggama dan kepuasaan secara keseluruhan. IIEF-5
memiliki tingkat sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi dalam penilaian
disfungsi ereksi, disamping itu juga sangat membantu pasien dan dokter dalam
proses komunikasi. Untuk setiap pertanyaan telah tersedia pilihan jawaban. Skor
22-25 menandakan fungsi ereksi normal, sedangkan skor kurang atau sama
dengan 21 menunjukkan adanya gejala-gejala disfungsi ereksi yang dibagi
dalam disfungsi ereksi ringan (12-21), sedang (8-11) dan berat (5-7).
2. Pemeriksaan Fisik
• Pemeriksaan umum seperti berat badan, tinggi badan, tekanan darah,
pemeriksaan organ tiroid, kardiovaskuler, traktus respiratorius,
gastrointestinal, refleks neurologis, ciri-ciri seks sekunder maupun tanda-
tanda hipogonad.
• Pemeriksaan neurologik: kepekaan terhadap rasa di daerah general dan
perianal, kepekaan rasa fibrasi ujung-ujung jari tangan dan kaki serta genital.
Beberapa tes tertemtu dapat dilakukan untuk mendiagnosis terjadinya
neuropati autonom kardiovaskuler seperti tes valsava, respon frekuensi
jantung pada waktu berdiri, variasi detik jantung dan respon tekanan darah
pada waktu berdiri.
• Pemeriksaan Urogenitalis:
o Penis: ukuran, fimosis, hipospadia
o Testis: jumlas, konsistensi
o Epididimis: besar, konsistensi
o Vas Deferens: teraba/tidak, pengerasan
27
o Skrotum: hidrokel, hernia
o Vesika Seminalis: teraba/tidak
o Prostat: teraba/tidak
3. Pemeriksaan Laboratorium
Perlu dilakukan untuk menunjang pemeriksaan lainnya diantaranya pemeriksaan
urin, darah rutin, kadar gula darah, profil lemak, faal hati dan ginjal, pemeriksaan
hormon FSH/LH, prolaktin, testosterone maupun T3/T4.
4. Pemeriksaan Khusus
a. Nocturnal Penile Tumescence (NPT): pemeriksaan ini menggunakan snap-
gauge band dan rigiscan device untuk membuktikan adanya ereksi malam
hari guna membedakan antara disfungsi ereksi psikogenik dengan organik.
b. Colour Doppler Imaging: pemeriksaan ini membantu memberikan petunjuk
mengenai hemodinamik penis setelah relaksasi otot polos maksimal yang di
induksi oleh obat vasoaktif. Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat adanya
insufisiensi arterial guna membedakan dengan disfungsi ereksi psikogenik.
Kecepatan aliran darah dari arteri kavernosa dapat diukur selama sistilok dan
diastolik.
c. Pharmacocavernosography: Pemeriksaan ini untuk mengukur aliran darah
vena keluar dari penis dengan melakukan injeksi zat kontras ke dalam
corpora.
30
masih dipertimbangkan sebagai cara yang relatif efektif dan aman pada sejumlah
pasien diabetik dengan disfungsi ereksi. Efektivitas terapi alprostadil bervariasi 50-
67 persen. Dosis paling efektif 20 mg, sementara dosis efektif minimal ialah 10 mg.
31
peneliti telah mendiskusikan keuntungan dan kerugian mulai pengobatan dengan
sildenafil dosis rendah. Keuntungan pendekatan tersebut termasuk:
1. Mengidentifikasi pasien yang sangat sensitif sildenafil dan memerlukan dosis
lebih.
2. Meminimalkan efek samping seperti flushing dan pusing yang sering
menakutkan pasien dan mempengaruhi kepatuhan
3. Menghindari efek samping yang berat
4. Menjamin pasien tetap berhati-hati dalam menggunakan terapi sildenafil.
• Vardenafil secara statistik meningkatkan kemampuan ereksi, dan dapat
ditoleransi dengan baik pada pasien diabetik dengan disfungsi ereksi. Vardenafil
meningkatkan fungsi ereksi dan umumnya ditoleransi dengan baik oleh subjek
dengan diabetes melitus dan disfungsi ereksi.
32
Psikoterapi jika pasien mengalami masalah psikologis dan pada pasien yang
gagal setelah dilakukan terapi oral dan injeksi. Pendekatan yang dilakukan adalah
Cognitive Behavioral Intervention. Selain itu dilakukan koreksi kognitif
maladaptif, eksplorasi masa lampau dan terapi pasangan.
33
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Disfungsi ereksi adalah salah satu komplikasi jangka panjang (kronik) pada
diabetes melitus yang disebabkan oleh gangguan neuropati dan vaskulopati.
Disfungsi ereksi berkaitan erat dengan kontrol glikemik pada pasien diabetes
melitus dan merupakan komplikasi yang jarang ditanyakan oleh klinisi sehingga
pasien jarang terdiagnosis disfungsi ereksi. Disfungsi ereksi pada pasien diabetes
melitus tidak hanya perlu ditatalaksana dengan obat-obat untuk disfungsi ereksi itu
sendiri namun secara bersamaan diperbaiki kondisi umum penderita termasuk
pengendalian glukosa darah, pola makan (nutrisi) dan pola hidup (exercise).
3.2 Saran
1. Sebagai tenaga kesehatan sebaiknya melakukan edukasi kepada masyarakat
tentang diabetes melitus, gejala, serta komplikasi yang akan terjadi sehingga
masyarakat lebih memproteksikan diri.
2. Sebagai tenaga kesehatan sebaiknya melakukan edukasi kepada penderita
diabetes melitus mengenai pengendalian penyakitnya serta komplikasi yang
akan terjadi sehingga penderita diabetes melitus lebih memahami penyakitnya
dan dapat meningkatkan usaha dalam memperbaiki kondisinya.
3. Sebagai tenaga kesehatan sebaiknya melakukan pemeriksaan berkala untuk
memantau perjalanan penyakit diabetes melitus termasuk komplikasi-
komplikasi yang dapat terjadi.
4. Sebagai tenaga kesehatan sebaiknya mencurigai diabetes melitus sebagai salah
satu penyebab pada pasien yang datang ke pelayanan kesehatan dengan gejala
disfungsi ereksi.
34
DAFTAR PUSTAKA
Fazio, L., & Brock, G. (2004). Erectile dysfunction: management update. Canadian
Medical Association journal, 170(9), 1429-37. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC395819/. [Accessed 17
October 2018]