Anda di halaman 1dari 35

REFERAT

DISFUNGSI EREKSI PADA DIABETES MELITUS

Disusun oleh:

Anindya Anjas Putriavi


1102014027

Pembimbing:
dr. H. Didiet Pratignyo, Sp.PD-FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI JAKARTA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA CILEGON
PERIODE 10 SEPTEMBER – 18 NOVEMBER 2018
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.,

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat
rahmat-Nya, penulis berhasil menyelesaikan penulisan referat yang berjudul
“Disfungsi Ereksi pada Diabetes Melitus”.

Referat ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan
klinik di bagian SMF Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Daerah Kota
Cilegon. Penulisan referat ini tidak lepas dari bantuan dan bimbingan berbagai
pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima
kasih kepada dr. H. Didiet Pratignyo, Sp.PD-FINASIM, yang selalu
membimbing dan memberi saran selama menjalani kepaniteraan klinik Ilmu
Penyakit Dalam.

Dalam penulisan referat ini penulis menyadari bahwa masih jauh dari
kesempurnaan dan masih banyak kekurangan baik dari segi penulisan maupun dari
segi isi. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak
yang bersifat membangun untuk memperbaiki presentasi kasus ini. Penulis
berharap referat ini dapat membawa manfaat bagi semua pihak. Semoga Allah SWT
senantiasa membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Aamiin
ya rabbal’alamin.

Wassalammualaikum Wr. Wb.

Cilegon, 27 Oktober 2018

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ 2


DAFTAR ISI ........................................................................................................... 3
BAB I .......................................................................................................................4
BAB II ..................................................................................................................... 6
2.1. Diabetes Melitus .............................................................................................. 6
2.1.1. Definisi Diabetes Melitus ......................................................................... 6
2.1.2. Etiologi dan Klasifikasi Diabetes Melitus ................................................ 6
2.1.3. Patofisiologi Diabetes Melitus .................................................................. 6
2.1.4. Diagnosis Diabetes Melitus ...................................................................... 8
2.1.5. Tatalaksana Diabetes Melitus ................................................................... 8
2.1.6. Komplikasi Diabetes Melitus.................................................................. 11
2.2. Disfungsi Ereksi ............................................................................................. 13
2.2.1. Definisi Disfungsi Ereksi ........................................................................ 17
2.2.2. Etiologi, Faktor Risiko dan Klasifikasi Disfungsi Ereksi ....................... 18
2.2.3. Epidemiologi Disfungsi Ereksi pada Diabetes Melitus .......................... 20
2.2.4. Patofisiologi Disfungsi Ereksi pada Diabetes Melitus............................ 21
2.2.5. Diagnosis Disfungsi Ereksi pada Diabetes Melitus ................................ 26
2.2.6. Tatalaksana Disfungsi Ereksi pada Diabetes Melitus ............................. 28
2.2.7. Prognosis Disfungsi Ereksi pada Diabetes Melitus ................................ 33
2.2.8. Pencegahan Disfungsi Ereksi pada Diabetes Melitus ............................. 33
BAB III ................................................................................................................. 34
3.1 Simpulan ........................................................................................................ 34
3.2 Saran .............................................................................................................. 34
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 35

3
BAB I
PENDAHULUAN

Salah satu aspek penting yang ikut menentukan kualitas hidup manusia ialah
kehidupan seksual. Karena itu aktivitas seksual menjadi salah satu bagian dalam
penilaian kualitas hidup manusia. Kehidupan seksual yang menyenangkan
memberikan pengaruh positif bagi kualitas hidup. Sebaliknya, kalau kehidupan
seksual tidak menyenangkan, maka kualitas hidup terganggu.
Disfungsi ereksi atau kesulitan ereksi adalah ketidakmampuan yang menetap
atau terus – menerus untuk mencapai atau mempertahankan ereksi penis yang
berkualitas sehingga dapat mencapai hubungan seksual yang memuaskan.
Disfungsi ereksi merupakan istilah yang lebih tepat untuk disfungsi seksual
daripada istilah impotensi yang dapat memberikan konotasi negatif.
Disfungsi ereksi dapat disebabkan oleh faktor psikogenik, organik, maupun
iatrogenik. Pada masa lalu, faktor psikogenik dipercaya sebagai penyebab utama
terjadinya disfungsi ereksi, sekarang ternyata faktor organik lebih sering sebagai
penyebab disfungsi ereksi terutama pada laki-laki usia pertengahan dan usia lanjut,
sedangkan disfungsi ereksi akibat psikogenik lebih sering dijumpai pada usia di
bawah 40 tahun. Penyebab organik terletak pada kelainan neurogenik, vaskulogenik
dan endokrinologik. Di antara penyakit-penyakit yang menyebabkan disfungsi
ereksi organik, diabetes menempati urutan tertinggi 2-5 kali lebih besar disbanding
bukan diabetes. Disfungsi ereksi organik juga dapat terjadi bersama-sama dengan
penyebab psikogenik.
Prevalensi disfungsi ereksi meningkat sesuai dengan pertambahan usia.
Prevalensi disfungsi ereksi diremehkan karena dokter sering tidak mempertanyakan
pasien mereka tentang gangguan ini.
Berdasarkan penelitian meta-analisis dari 145 studi oleh Kouidrat, dkk
(2017), disfungsi ereksi mempengaruhi lebih dari 50% pria dengan diabetes di
seluruh dunia dan lebih dari 65% pria dengan penyakit tipe 2. Berbagai penelitian
telah menunjukkan bahwa usia lanjut, durasi diabetes, kontrol glikemik yang buruk,
hipertensi, hiperlipidemia, gaya hidup menetap, merokok dan adanya komplikasi
4
diabetes lainnya berhubungan dengan disfungsi ereksi terkait diabetes. Dalam
meta-analisis terbaru ini, dibandingkan dengan kontrol yang sehat, prevalensi
disfungsi ereksi pada pria dengan diabetes di seluruh dunia adalah 52,5%.
Prevalensi adalah 66,3% pada diabetes tipe 2, 37,5% pada diabetes tipe 1, dan
57,7% pada kedua jenis diabetes (semua P <.0001).
Temuan bahwa prevalensi disfungsi ereksi lebih tinggi pada pria dengan
diabetes tipe 2 dibandingkan pada mereka dengan diabetes tipe 1 menunjukkan
bahwa banyak pria dengan diabetes tipe 2 mungkin sudah memiliki disfungsi ereksi
saat didiagnosis, merujuk pada penelitian yang menunjukkan bahwa ereksi
disfungsi adalah penanda awal diabetes yang tidak terdiagnosis. Disfungsi ereksi
juga berkontribusi terhadap kualitas hidup yang buruk dan dalam beberapa kasus
menimbulkan depresi. Deteksi dini sangat penting dan meningkatkan kesejahteraan
psikologis membutuhkan pendekatan multidisiplin yang mencakup konseling dan
nasihat psikoseksual.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Diabetes Melitus


2.1.1. Definisi Diabetes Melitus
DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
keduanya.

2.1.2. Etiologi dan Klasifikasi Diabetes Melitus


Tabel 1. Etiologi dan Klasifikasi Diabetes Melitus

2.1.3. Patofisiologi Diabetes Melitus


Pada diabetes melitus tipe 1, terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan
insulin karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun.
Hiperglikemia puasa terjadi akibat produksi glukosa yang tidak terukur oleh hati.
Di samping itu, glukosa yang berasal dari makanan tidak disimpan di hati meskipun
tetap berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia post prandial.
Pada diabetes melitus tipe 2, terdapat dua masalah utama yang berhubungan
dengan insulin yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin.

6
Gambar 1. Patofisiologi Diabetes Melitus tipe 2

7
2.1.4. Diagnosis Diabetes Melitus
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM
perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:
• Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
• Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi
pada pria, serta pruritus vulva pada wanita

Diagnosis juga dapat ditegakkan dengan:


• Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak ada
asupan kalori minimal 8 jam
• Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi Glukosa
Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram
• Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik
• Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode yang terstandarisasi
oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP)

2.1.5. Tatalaksana Diabetes Melitus


Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan
jasmani (gaya hidup sehat).
1. Obat Antihiperglikemia Oral (OHO)
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:
a. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)
• Sulfonilurea
Mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas
• Glinid
Cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada
peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam
obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat

8
fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral
dan diekskresi secara cepat melalui hati.
b. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin
• Metformin
Efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis) dan
memperbaiki ambilan glukosa di jaringan perifer. Metformin tidak boleh
diberikan pada gangguan fungsi ginjal, gangguan hati berat, serta pasien
dengan kecenderungan hipoksemia.
• Tiazolidindion (TZD)
Agonis dari Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-
gamma), suatu reseptor inti yang terdapat antara lain di sel otot, lemak dan
hati. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan
ambilan glukosa di jaringan perifer. Tiazolidindion meningkatkan retensi
cairan tubuh sehingga dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal
jantung karena dapat memperberat edema/retensi cairan.
c. Penghambat Absorpsi Glukosa di saluran pencernaan
Penghambat Alfa Glukosidase:
Memperlambat absorbsi glukosa dalam usus halus, sehingga mempunyai efek
menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Penghambat glukosidase
alfa tidak digunakan pada keadaan GFR≤30ml/min/1,73 m2, gangguan faal
hati yang berat, irritable bowel syndrome.
d. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)
Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim DPP-IV
sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang
tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan sekresi
insulin dan menekan sekresi glukagon bergantung kadar glukosa darah
(glucose dependent).
e. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Cotransporter-2)
Menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli distal ginjal dengan cara
menghambat kinerja transporter glukosa SGLT-2.
9
2. Obat Antihiperglikemia Suntik
Termasuk anti hiperglikemia suntik, yaitu insulin, agonis GLP-1 dan kombinasi
insulin dan agonis GLP-1.
a. Insulin
Indikasi pemberian insulin yaitu pada beberapa keadaan, antara lain HbA1c >
9% dengan kondisi dekompensasi metabolik, penurunan berat badan yang
cepat, hiperglikemia berat yang disertai ketosis, krisis hiperglikemia, gagal
dengan kombinasi OHO dosis optimal, stres berat (infeksi sistemik, operasi
besar, infark miokard akut, stroke), kehamilan dengan DM yang tidak
terkendali dengan perencanaan makan, kontraindikasi dan atau alergi
terhadap OHO, kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi.

b. Agonis GLP-1/Incretin Mimetic


Agonis GLP-1 dapat bekerja pada sel-beta sehingga terjadi peningkatan
pelepasan insulin, mempunyai efek menurunkan berat badan, menghambat
pelepasan glukagon dan menghambat nafsu makan. Efek penurunan berat
badan agonis GLP-1 juga digunakan untuk indikasi menurunkan berat badan
pada pasien DM dengan obesitas.

Tabel 2. Sasaran Pengendalian pada Pasien Diabetes Melitus

10
2.1.6. Komplikasi Diabetes Melitus
A. Penyulit Akut
1. Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 70 mg/dl.
Penurunan kesadaran yang terjadi pada penyandang diabetes harus selalu
dipikirkan kemungkinan disebabkan oleh hipoglikemia.
2. Krisis Hiperglikemia
Ketoasidosis Diabetik (KAD) adalah peningkatan kadar glukosa darah yang
tinggi (300-600 mg/dl), disertai tanda dan gejala asidosis dan plasma keton (+)
kuat. Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH) adalah peningkatan glukosa
darah sangat tinggi (600-1200 mg/dl), tanpa tanda dan gejala asidosis,
osmolaritas plasma sangat meningkat (330-380 mOs/ml), plasma keton (+/-),
anion gap normal atau sedikit meningkat.

B. Penyulit Menahun (Kronik)


1. Makroangiopati
• Pembuluh darah jantung: penyakit jantung koroner
• Pembuluh darah tepi: penyakit arteri perifer yang sering terjadi pada
penyandang DM. Gejala tipikal yang biasa muncul pertama kali adalah nyeri
pada saat beraktivitas dan berkurang saat istirahat (claudicatio intermittent),
namun sering juga tanpa disertai gejala.
• Pembuluh darah otak: stroke iskemik atau stroke hemoragik
2. Mikroangiopati
• Retinopati diabetik
Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko atau
memperlambat progresi retinopati.
• Nefropati diabetik
Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko atau
memperlambat progres nefropati.
• Neuropati
Pada neuropati perifer, hilangnya sensasi distal merupakan faktor penting
11
yang berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki yang meningkatkan risiko
amputasi. Gejala yang sering dirasakan berupa kaki terasa terbakar dan
bergetar sendiri, terasa lebih sakit di malam hari. Setiap pasien perlu
dilakukan skrining untuk mendeteksi adanya polineuropati distal yang
simetris dengan melakukan pemeriksaan neurologi sederhana. Pemeriksaan
ini kemudian diulang paling sedikit setiap tahun. Perawatan kaki yang
memadai untuk menurunkan risiko terjadinya ulkus. Pemberian antidepresan
trisiklik, gabapentin atau pregabalin dapat mengurangi rasa sakit.

Pengobatan non farmakologi pada pasien diabetes adalah dengan edukasi, nutrisi
dan olahraga. Edukasi, keberhasilan pengelolaan diabetes membutuhkan partisipasi
aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan harus mendampingi pasien
menuju perubahan perilaku untuk itu diperlukan edukasi yang komprehensif,
pengembangan keterampilan dan motivasi. Nutrisi, anjuran makanan untuk pasien
DM sama dengan anjuran makanan sehat pada umumnya yaitu menu seimbang dan
sesuai dengan kalori masing-masing agar dapat mencapai dan mempertahankan
berat badan normal. Olahraga, dianjurkan untuk berolahraga 3-4 kali/seminggu
selama 30 menit. Olahraga yang disarankan adalah jogging, bersepeda santai dan
berenang. Adapun mamfaat olahraga adalah membakar kalori sehingga berat badan
turun, menurunkan resiko kardiovaskular, meningkatkan sensitivitas insulin,
menghilangkan kecemasan, stres dan ketegangan.

12
2.2. Disfungsi Ereksi
ANATOMI PENIS
Sistem reproduksi pria terdiri atas testis, saluran kelamin, kelenjar tambahan
dan penis. Penis mulai dari arcus pubis menonjol ke depan berbentuk bulat panjang
Panjang penis orang Indonesia dalam keadaan flaksid dengan mengukur dari
pangkal dan ditarik sampai ujung adalah sekitar 9 sampai 12 cm. Sebagian ada yang
lebih pendek dan sebagian lagi ada yang lebih panjang. Saat ereksi penuh, penis
akan memanjang dan membesar sehingga menjadi sekitar 10 cm sampai 14 cm.
Bagian utama dari penis adalah bagian erektil atau bagian yang dapat
mengecil atau flaksid dan bisa membesar sampai keras. Bila dilihat dari penampang
horizontal, penis terdiri dari 3 rongga yakni 2 batang korpus kavernosa di kiri dan
kanan atas, sedangkan di tengah bawah disebut korpus spongiosa. Kedua korpus
kavernosa ini diliputi oleh jaringan ikat yang disebut tunica albuginea, satu lapisan
jaringan kolagen yang padat dan di luarnya ada jaringan yang kurang padat yang
disebut fascia buck. Korpus kavernosa terdiri dari gelembung-gelembung yang
disebut sinusoid. Dinding dalam atau endothel sangat berperan untuk bereaksi
kimiawi untuk menghasilkan ereksi. Ini diperdarahi oleh arteriol yang disebut
arteria helicina. Seluruh sinusoid diliputi otot polos yang disebut trabekel.
Selanjutnya sinusoid berhubungan dengan venula (sistem pembuluh balik) yang
mengumpulkan darah menjadi suatu pleksus vena lalu akhirnya mengalirkan darah
kembali melalui vena dorsalis profunda dan kembali ke tubuh.

Gambar 2. Persarafan pada penis


13
Penis dipersarafi oleh 2 jenis saraf yakni saraf otonom (parasimpatis dan
simpatis) dan saraf somatik (motoris dan sensoris). Saraf-saraf simpatis dan
parasimpatis berasal dari hipotalamus menuju ke penis melalui medulla spinalis.
Saraf otonom parasimpatis ke luar dari medulla spinalis pada kolumna vertebralis
di S2-4. Sebaliknya saraf simpatis ke luar dari kolumna vertebralis melalui segmen
T11 sampai L2 dan akhirnya parasimpatis dan simpatis menyatu menjadi nervus
kavernosa. Saraf ini memasuki penis pada pangkalnya dan mempersarafi otot polos.
Saraf somatis terutama yang bersifat sensoris yakni yang membawa impuls
(rangsang) dari penis misalnya bila mendapatkan stimulasi yaitu rabaan pada badan
penis dan kepala penis (glans), membentuk nervus dorsalis penis yang menyatu
dengan saraf-saraf lain yang membentuk nervus pudendus. Saraf ini juga berlanjut
ke kolumna vertebralis melalui kolumna vertebralis S2-4. Stimulasi dari penis atau
dari otak secara sendiri atau bersama-sama melalui saraf-saraf di atas akan
menghasilkan ereksi penis.

Gambar 3. Anatomi Penis


14
Pendarahan untuk penis berasal dari arteri pudenda interna lalu menjadi arteri
penis kommunis yang bercabang 3 yakni 2 cabang ke masing-masing yakni ke
korpus kavernosa kiri dan kanan yang kemudian menjadi arteria kavernosa atau
arteria penis profundus yang ketiga ialah arteria bulbourethralis untuk korpus
spongiosum. Arteria memasuki korpus kavernosa lalu bercabang-cabang menjadi
arteriol-arteriol helicina yang bentuknya berkelok-kelok pada saat penis lembek
atau tidak ereksi. Pada keadaan ereksi, arteriol-arteriol helicina mengalami relaksasi
atau pelebaran pembuluh darah sehingga aliran darah bertambah besar dan cepat
kemudian berkumpul di dalam rongga-rongga lakunar atau sinusoid. Rongga
sinusoid membesar sehingga terjadilah ereksi.
Sebaliknya darah yang mengalir dari sinusoid ke luar melalui satu pleksus
yang terletak di bawah tunica albugenia. Bila sinusoid dan trabekel tadi
mengembang karena berkumpulnya darah di seluruh korpus kavernosa, maka vena-
vena di sekitarnya menjadi tertekan. Vena-vena di bawah tunica albuginea ini
bergabung membentuk vena dorsalis profunda lalu ke luar dari korpora kavernosa
pada rongga penis ke sistem vena yang besar dan akhirnya kembali ke jantung.

FISIOLOGI EREKSI

Gambar 4. Mekanisme kerja parasimpatik dan simpatik dalam fase ereksi


15
Ereksi adalah keadaan menjadi kaku dan tegak, seperti jaringan erektil ketika
terisi darah. Pada waktu ereksi, volume penis bertambah karena terkumpulnya
darah dalam korpus kavernosum dan korpus spongiosum. Pada orang yang berdiri,
penis yang ereksi akan membentuk sudut antara 0o dan 45o dari bidang horizontal.
Pada keadaan demikian batang penis terasa kaku dan tekanan intrakavernosum
mendekati tekanan rata-rata pembuluh darah nadi. Pada keadaan demikian, volume
darah dalam penis meningkat lebih dari delapan kali dibandingkan saat tidak ereksi.
Oleh beberapa peneliti, proses ereksi dan detumesens diringkaskan menjadi
beberapa fase, yaitu:
1. Fase 0 (fase flaksid). Pada keadaan lemas, yang dominan adalah pengaruh sistem
saraf simpatik. Otot polos arteriola ujung dan otot polos kavernosum
berkontraksi. Arus darah ke korpus kavernosum minimal dan hanya untuk
keperluan nutrisi saja. Kegiatan listrik otot polos kaverne dapat dicatat,
menunjukkan bahwa otot polos tersebut berkontraksi. Arus darah vena terjadi
secara bebas dari vena subtunika ke vena emisaria.
2. Fase 1 (fase pengisian laten). Setelah terjadi perangsangan seks, sistem saraf
parasimpatik mendominan, dan terjadi peningkatan aliran darah melalui arteria
pudendus interna dan arteria kavernosa tanpa ada perubahan tekanan arteria
sistemik. Tahanan perifer menurun oleh berdilatasinya arteri helisin dan arteri
kavernosa. Penis memanjang, tetapi tekanan intrakavernosa tidak berubah.
3. Fase 2 (fase tumesens (mengembang)). Pada orang dewasa muda yang normal,
peningkatan yang sangat cepat arus masuk (influks) dari fase flasid dapat
mencapai 25 – 60 kali. Tekanan intrakavernosa meningkat sangat cepat. Karena
relaksasi otot polos trabekula, daya tampung kaverne meningkat sangat nyata
menyebabkan pengembangan dan ereksi penis. Pada akhir fase ini, arus arteria
berkurang.
4. Fase 3 (fase ereksi penuh). Trabekula yang melemas akan mengembang dan
bersamaan dengan meningkatnya jumlah darah akan menyebabkan tertekannya
pleksus venula subtunika ke arah tunika albuginea sehingga menimbulkan
venoklusi. Akibatnya tekanan intrakaverne meningkat sampai sekitar 10 – 20
mmHg di bawah tekanan sistol.
16
5. Fase 4 (fase ereksi kaku (rigid erection) atau fase otot skelet). Tekanan
intakaverne meningkat melebih tekanan sistol sebagai akibat kontrasi volunter
ataupun karena refleks otot iskiokavernosus dan otot bulbokavernosus
menyebabkan ereksi yang kaku. Hal demikian menyebabkan ereksi yang kaku.
Pada fase ini tidak ada aliran darah melalui arteria kavernosus.
6. Fase 5 (fase transisi). Terjadi peningkatan kegiatan sistem saraf simpatik, yang
mengakibatkan meningkatnya tonus otot polos pembuluh helisin dan kontraksi
otot polos trabekula. Arus darah arteri kembali menurun dan mekanisme
venoklusi masih tetap diaktifkan.
7. Fase 6 (fase awal detumesens). Terjadi sedikit penurunan tekanan intrakaverne
yang menunjukkan pembukaan kembali saluran arus vena dan penurunan arus
darah arteri.
8. Fase 7 (fase detumesens cepat). Tekanan intrakaverne menurun dengan cepat,
mekanisme venoklusi diinaktifkan, arus darah arteri menurun kembali seperti
sebelum perangsangan, dan penis kembali ke keadaan flaksid.

2.2.1. Definisi Disfungsi Ereksi


Disfungsi ereksi atau kesulitan ereksi adalah ketidakmampuan yang menetap
atau terus-menerus untuk mencapai atau mempertahankan ereksi penis yang
berkualitas sehingga dapat mencapai hubungan seksual yang memuaskan.
Dodie, dkk (2013) dalam penelitiannya di RSUP Prof. dr. R. D. Kandou
Malalayang, Manado, dapat disimpulan bahwa diabetes melitus yang lama
berhubungan dengan kejadian disfungsi ereksi. Kebanyakan disfungsi ereksi
dialami pada penderita yang telah mengidap diabetes melitus lebih dari 5 tahun.
Pada diabetes melitus yang lama dapat terjadi kelebihan gula darah atau gula darah
yang tidak terkontrol, akibatnya gula darah dalam tubuh tidak terkontrol dan dapat
merusak sel-sel saraf dan pembuluh darah. Kerusakan ini diakibatkan adanya stres
oksidatif pada endotel akibat tingginya gula darah. Endotel dalam keadaan normal
bisa menghasilkan nitric oxide (NO) yang berguna untuk melebarkan pembuluh
darah termasuk pembuluh darah di penis. Dalam keadaan rusaknya pembuluh
darah, nitric oxide (NO) tidak dihasilkan sehingga pembuluh darah penis sulit
17
melebar sehingga aliran darah ke organ erektil berkurang sehingga terjadilah
disfungsi ereksi. Lamanya diabetes melitus dan komplikasi mikrovaskuler lainnya
(retinopati, neuropati dan nefropati) merupakan prediktor terjadinya disfungsi
ereksi. Disfungsi saraf somatik dan otonom muncul dalam persentase besar pada
individu dengan diabetes melitus terkait disfungsi ereksi. Komplikasi
makrovaskuler selama diabetes melitus berkontribusi pada pengembangan
disfungsi ereksi. Penyakit aterosklerosis pembuluh darah arteri penis hadir dalam
70-80% kasus dengan disfungsi ereksi. Oklusi arteri kavernosus bisa menjadi faktor
yang berkontribusi dalam jangka panjang.

2.2.2. Etiologi, Faktor Risiko dan Klasifikasi Disfungsi Ereksi

Gambar 5. Etiologi Disfungsi Ereksi

Gambar 6. Faktor Risiko Disfungsi Ereksi


18
Klasifikasi disfungsi ereksi berdasarkan ISIR (International Society of Impotence
Research):
Tabel 3. Klasifikasi Disfungsi Ereksi

Menurut Wibowo (2007), pembagian disfungsi ereksi dikelompokkan menjadi lima


kategori penyebab yaitu:
a. Psikogenik
Disfungsi ereksi yang disebabkan faktor psikogenik biasanya episodik, terjadi
secara mendadak yang didahului oleh periode stress berat, cemas, depresi.
Disfungsi ereksi dengan penyebab psikologis dapat dikenali dengan mencermati
tanda klinisnya yaitu: usia muda dengan awitan mendadak, awitan berkaitan
dengan kejadian emosi spesifik, disfungsi pada keadaan tertentu sementara
dalam keadaan lain normal, ereksi malam hari tetap ada, riwayat terdahulu
adanya disfungsi ereksi yang dapat membaik secara spontan, terdapat stress
dalam kehidupannya, status mental terkait kelainan depresi, psikosis atau cemas.
b. Organik
Disfungsi ereksi yang disebabkan organik dibagi menjadi dua yaitu: neurogenik
dan vaskuler. Disfungsi ereksi akibat neurogenik ditandai dengan gambaran
19
klinis seperti riwayat cedera atau operasi sumsum tulang atau panggul, mengidap
penyakit kronis (DM, alkoholisme), pemeriksaan neurologik abnormal daerah
genital/ perineum. Disfungsi ereksi akibat vaskuler dapat dibagi dua yaitu
kelainan pada arteri dan vena. Kelainan pada arteri memiliki tampilan klinis
seperti minat terhadap seks tetap ada, pada semua kondisi terjadi penurunan
fungsi seks, secara bertahap terjadi disfungsi ereksi sesuai bertambahnya umur.
Kelainan pada memiliki tampilan klinis seperti tidak mampu mempertahankan
ereksi yang sudah terjadi, riwayat priapism, dan kelainan lokal penis.
c. Hormonal
Disfungsi ereksi yang disebabkan karena hormonal mempunyai gambaran klinis
yaitu hilangnya minat pada aktifitas seksual, testis atrofi dan mengecil dan kadar
testosteron rendah prolaktin naik.
d. Farmakologis
Hampir semua obat hipertensi dapat menyebabkan disfungsi ereksi yang bekerja
di sentral, misalnya metildopa, klonidin, dan reserpin. Pengaruh utama
kemungkinan melalui depresi sistem saraf pusat.
e. Traumatik pasca operasi
Patologi penis atau proses penyakit pada panggul dapat merusak jalur serabut
saraf otonom untuk ereksi penis, reseksi abdominal perineal, sistektomi radikal,
prostatektomi radikal, uretroplasti membranesea dan lainnya.

2.2.3. Epidemiologi Disfungsi Ereksi pada Diabetes Melitus


Disfungsi ereksi merupakan salah satu komplikasi dari penyakit DM yang
sering terjadi. Disfungsi ereksi terjadi pada hampir sepertiga wanita dan lebih dari
setengah pria dengan DM. Berdasarkan data dari Massachusetts Male Aging Study
(MMAS), ditemukan bahwa prevalensi disfungsi ereksi pada penderita DM
ditemukan sebesar 52%. Berdasarkan dari beberapa studi ditemukan bahwa angka
prevalensi bervariasi dari 20 – 90%. Disfungsi ereksi dapat terjadi 10 – 15 tahun
lebih awal dibandingkan dengan pria tanpa DM. Disfungsi ereksi pada penderita
DM merupakan komplikasi yang terabaikan. Hal ini terjadi karena adanya faktor
psikosial yang juga berperan pada fungsi seksual, adanya konsep bahwa disfungsi
20
ereksi merupakan akibat dari proses penuaan, serta pengaruh sosial dan budaya
yang berkembang di masyarakat menyebabkan seksualitas menjadi suatu hal yang
tabu untuk diperbincangkan. Padahal, disfungsi ereksi pada penderita DM
merupakan penanda kondisi kontrol gula darah yang buruk.

2.2.4. Patofisiologi Disfungsi Ereksi pada Diabetes Melitus


Disfungsi ereksi dapat disebabkan oleh diabetes melitus. Hal ini dikarenakan
diabetes melitus dapat menyebabkan terjadinya:
1. Hipotestosteron yang akan menurunkan libido lalu menyebabkan terjadinya
disfungsi ereksi.
2. Pengaktifan poliol pathway dan menurunkan NADPH. Aktifasi jalur ini
menyebabkan terjadinya akumulasi AGE (Advance Glycation End Product)
yang akan menyebabkan gangguan relaksasi otot polos dan perubahan
fibroelastik, dimana kedua hal ini akan menurunkan compliance dari kavernosa
sehingga terjadi disfungsi ereksi. Selain itu, Aktifasi jalur ini juga menyebabkan
terjadinya akumulasi sorbitol dan fruktosa melalui enzim aldosa reduktase
sehingga terjadi edema neural lalu gangguan pompa Na-K-ATPase lalu
gangguan tranduksi sinyal serta neurotransmitter sehingga terjadi neuropati
diabetik sehingga terjadi disfungsi ereksi. Jalur ini juga menurunkan kofaktor
NO sintase (L-arginin: NO membutuhkan NO sintase) sehingga terjadi
penurunan NO, akibatnya terjadi disfungsi ereksi.

Patofisiologi disfungsi ereksi pada diabetes melitus diduga disebabkan


mulifaktor, faktor neuropati dan arteriopati dipercaya memegang peranan penting:
A. Faktor Neurogenik
Patogenesis neuropati diabetik sampai saat ini belum seluruhnya jelas, neuropati
autonomic diabetic dapat melibatkan berbagai organ termasuk didalamnya system
urogenital, gastrointestinal, kardiovaskuler dan lain-lain. Berbagai teori dijelaskan
dalam hal terjadinya neuropati diabetik diantaranya:

21
Teori Hormon
Dijumpai tiga hormon yang mempengaruhi fungsi saraf perifer yaitu tiroksin,
testosterone dan insulin. Ternyata pemberian tiroksin dapat memperbaiki kecepatan
hantaran saraf motorik dan memperbaiki konsentrasi dan inositol pada tikus
diabetes. Kastrasi pada tikus diabetes akan mencegah berkurangnya collagen
solubility dan bertambahnya permeabilitas vaskuler tetapi tentunya cara ini tidak
dapat dilakukan pada manusia. Insulin di samping berperan sebagai regulator gula
darah juga berperan sebagai growth factor pada sejumlah jaringan saraf pusat
maupun perifer, maka terjadi penurunan kemampuan proses regenerasi saraf
sehingga mengakibatkan gangguan fungsi dari sel saraf. Namun demikian
pengalaman telah membuktikan bahwa tidak ada hubungan langsung antara
terjadinya disfungsi ereksi dengan insulin. Pemberian insulin saja tidak dapat
memperbaiki gangguan disfungsi ereksi pada penderita diabetes.

Teori Hipoksia
Pemeriksaan terhadap saraf perifer dari tikus diabetes tampak adanya
pengurangan aliran darah di saraf perifer yang disebabkan oleh hiperviskositas dan
mikroangiopati. Tekanan oksigen endoneural akan berkurang dan akhirnya akan
menyebabkan berkurangnya kecepatan hantaran pada saraf motorik.

Teori Glikosilasi
Diketahui bahwa molekul glukosa akan melekat pada protein sesuai dengan
konsentrasi glukosanya. Kolekul glukosa yang melekat ini akan membentuk
fluorescent cross linked protein. Ikatan ini menyebabkan jumlah glikosilasi mielin
meningkat 5 kali. Glikosilasi mielin ini mempunyai reseptor yang spesifik dan
dimakan oleh makrofag. Dengan demikian serangan makrofag ini akan menambah
hilangnya mielin pada saraf perifer.

Teori Vaskuler
Pada otopsi yang dilakukan diperoleh adanya iskemia dari saraf perifer yang
menyebabkan neuropati diabetik. Iskemia dapat terjadi akibat:
22
1. Kerusakan vasa vasorum akibat hiperglikemia
2. Edema neural diserat-serat saraf sensoris

Teori Edema Saraf (Teori Osmotik)


Saat ini banyak penulis menganut teori osmotik dalam hal terjadinya
neuropati diabetik. Spektroskopi resonansi magnetic sangant sensitif terhadap
keadaan hidrasi dari jaringan dan oleh karena itu dipakai untuk menentukan kadar
air di saraf perifer. Pada pemeriksaan in vivo menunjukkan bahwa hidrasi saraf
lebih tinggi pada neuropati diabetik daripada nilai yang didapatkan pada penderita
control. Untuk menjelaskan teori edema saraf ini dikenal ada dua teori:
1. Teori Inositol. Hiperglikemia diduga dapat menurunkan konsentrasi dari
mioinositol melalui dua jalan yaitu glukosa bersaing menghambat transport aktif
dari mioinositol, dan aktifitas polyol pathway di dalam sel-sel saraf merangsang
hilangnya mioinositol dari sel tersebut.
2. Teori Sorbitol. Beberapa penelitian mendapatkan bahwa terjadinya penambahan
kadar glukosa, fruktosa, dan sorbitol di saraf perifer penderita diabetes. Bila
terjadi penambahan dari endoneural sorbitol ini maka osmotik gradient
menyebabkan edema saraf.

B. Faktor Arteriogenik
Aterosklerosis pada arteri besar dan mikroangiopati lebih sering dan lebih
cepat muncul pada penderita diabetes disbanding bukan diabetes. Mikroangiopati
ditandai dengan penebalan kapiler basement membrane. Bila dilakukan arteiografi
terlihat stenosis di arteri pudenda interna. Dengan pemeriksaan ultrasound dupleks
akan tampak diameter arteri penis yang lebig kecil dan aliran darah lebih lambat.
Banyak penelitian membuktikan adanya hubungan yang erat antara disfungsi ereksi
pada DM dengan manifestasi vaskuler lain pada diabetes seperti retinopati, penyakit
jantung iskemik, klaudikasio intermiten dan resiko amputasi. Penurunan aliran
darah ke penis akan mengakibatkan iskemik dalam corpora.

23
C. Faktor Endotel dan Miogenik

Gambar 7. Patofisiologi Pengaruh Endotel dan Miogenik

Penderita dengan diabetes menunjukkan perubahan-perubahan yang nyata


pada fungsi endotel. Endotel mempunyai peranan penentu dalam mengatur
kontraktilitas dinding pembuluh darah dengan mensekresi bahan-bahan vasoaktif.
Sel-sel endotel yang rusak mula-mula mengurangi pelepasan neurotransmitter yang
menyebabkan vasorelaksasi terutama NO. Produksi prostasiklin juga berkurang
pada sel-sel endotel penderita diabetes Kadar glukosa yang tinggi dapat
menghambat proliferasi sel-sel endotel dan meningkatkan permeabilitas lapisan sel
endotel sehingga menyebabkan influks lebih besar bahan-bahan dari darah yang
beredar ke dalam tunika interna dan media.
Gangguan relaksasi otot polos tergantung endotel dan gangguan neurogenik
dapat disebabkan oleh hiperglikemia persisten menyebabkan aktivitas jalur poliol
meningkat, yaitu terjadi aktivasi enzim aldose-reduktase, yang merubah glukosa
menjadi sorbitol, yang kemudian dimetabolisasi oleh sorbitol dehidrogenase
menjadi fruktosa. Akumulasi sorbitol dan fruktosa dalam sel saraf merusak sel saraf
melalui mekanisme yang belum jelas. Salah satu kemungkinannya ialah akibat
akumulasi sorbitol dalam sel saraf menyebabkan keadaan hipertonik intraseluler
sehingga mengakibatkan edema saraf. Peningkatan sintesis sorbitol berakibat
terhambatnya mioinositol masuk ke dalam sel saraf. Penurunan mioinositol dan
akumulasi sorbitol secara langsung menimbulkan stress osmotik yang akan

24
merusak mitokondria dan akan menstimulasi protein kinase C (PKC). Aktivasi PKC
ini akan menekan fungsi Na-K-ATP-ase, sehingga kadar Na intraseluler menjadi
berlebihan, yang berakibat terhambatnya mioinositol masuk ke dalam sel saraf
sehingga terjadi gangguan transduksi sinyal pada saraf. Reaksi jalur poliol ini juga
menyebabkan turunnya persediaan NADPH saraf yang merupakan kofaktor penting
dalam metabolisme oksidatif. Karena NADPH merupakan kofaktor penting untuk
glutathione dan nitric oxide synthase (NOS), pengurangan kofaktor tersebut
membatasi kemampuan saraf untuk mengurangi radikal bebas dan nitric oxide.
Di samping meningkatkan aktivitas jalur poliol, hiperglikemia
berkepanjangan akan menyebabkan terbentuknya advance glycosilation end
products (AGEs). AGEs ini sangat toksik dan merusak semua protein tubuh,
termasuk sel saraf. Dengan terbentuknya AGEs dan sorbitol, maka sintesis dan
fungsi NO menurun. Yang berakibat vasodilatasi berkurang, aliran darah ke saraf
menurun dan bersama rendahnya mioinositol dalam sel saraf, terjadilah ND.
Kerusakan aksonal metabolik awal masih dapat kembali pulih dengan kendali
glikemik yang optimal. Tetapi bila kerusakan metabolik ini berlanjut menjadi
kerusakan iskemik, maka kerusakan struktural akson tidak dapat diperbaiki lagi.

Gambar 8. Patofisiologi kerusakan saraf pada diabetes melitus

Hiperglikemia persisten merangsang produksi radikal bebas oksidatif yang


disebut reactive oxygen species (ROS). Radikal bebas ini membuat kerusakan
endotel vaskular dan menetralisasi NO, yang berefek menghalangi vasodilatasi
mikrovaskular. Mekanisme kelainan mikrovaskular tersebut dapat melalui
25
penebalan membrana basalis, thrombosis pada arteriol intraneural, peningkatan
agregasi trombosit dan berkurangnya deformabilitas eritrosit, berkurangnya aliran
darah saraf dan peningkatan resistensi vaskular, stasis aksonal, pembengkakan dan
demielinisasi pada saraf akibat iskemia akut.

2.2.5. Diagnosis Disfungsi Ereksi pada Diabetes Melitus


Untuk menegakkan diagnosis disfungsi ereksi pada diabetes melitus terlebih
dahulu harus dibuktikan bahwa pasien memiliki penyakit diabetes melitus dengan
memakai kriteria baru hasil konsensus pengelolaan diabetes mellitus di Indonesia
tahun 2015. Adapun pemeriksaaan yang harus dilakukan adalah:
1. Anamnesis
Setelah dilakukan anamnesis secara umum, terhadap penderita
disampaikan beberapa pertanyaan sederhana dan bersifat hari-hati mengenai
masalah yang berhubungan dengan fungsi seksual. Anamnesis mengenai cara
terjadinya disfungsi ereksi, libido dan ereksi pagi hari sangat penting ditanyakan
untuk membedakan apakah kelainan organik atau psikogenik.
Tabel 4. Kuesioner IIEf-5/Sexual Heatlh Inventory for Men (SHIM)

26
Rosen dkk (2001) telah merancang suatu kuisoner tentang indeks fungsi
ereksi yang terdiri dari 5 pertanyaan yang dikenal dengan International Index of
Erectile Function (IIEF-5). IIEF-5 telah digunakan secara luas di seluruh dunia
dalam meneliti terjadinya disfungsi ereksi dan penelitian membuktikan bahwa
IIEF begitu mudah digunakan dalam klinik. IIEF-5 digunakan untuk menilai
fungsi seksual pada laki-laki yang mencakup fungsi ereksi, orgasmus, hasrat
seksual, kepuasaan dalam senggama dan kepuasaan secara keseluruhan. IIEF-5
memiliki tingkat sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi dalam penilaian
disfungsi ereksi, disamping itu juga sangat membantu pasien dan dokter dalam
proses komunikasi. Untuk setiap pertanyaan telah tersedia pilihan jawaban. Skor
22-25 menandakan fungsi ereksi normal, sedangkan skor kurang atau sama
dengan 21 menunjukkan adanya gejala-gejala disfungsi ereksi yang dibagi
dalam disfungsi ereksi ringan (12-21), sedang (8-11) dan berat (5-7).

2. Pemeriksaan Fisik
• Pemeriksaan umum seperti berat badan, tinggi badan, tekanan darah,
pemeriksaan organ tiroid, kardiovaskuler, traktus respiratorius,
gastrointestinal, refleks neurologis, ciri-ciri seks sekunder maupun tanda-
tanda hipogonad.
• Pemeriksaan neurologik: kepekaan terhadap rasa di daerah general dan
perianal, kepekaan rasa fibrasi ujung-ujung jari tangan dan kaki serta genital.
Beberapa tes tertemtu dapat dilakukan untuk mendiagnosis terjadinya
neuropati autonom kardiovaskuler seperti tes valsava, respon frekuensi
jantung pada waktu berdiri, variasi detik jantung dan respon tekanan darah
pada waktu berdiri.
• Pemeriksaan Urogenitalis:
o Penis: ukuran, fimosis, hipospadia
o Testis: jumlas, konsistensi
o Epididimis: besar, konsistensi
o Vas Deferens: teraba/tidak, pengerasan

27
o Skrotum: hidrokel, hernia
o Vesika Seminalis: teraba/tidak
o Prostat: teraba/tidak
3. Pemeriksaan Laboratorium
Perlu dilakukan untuk menunjang pemeriksaan lainnya diantaranya pemeriksaan
urin, darah rutin, kadar gula darah, profil lemak, faal hati dan ginjal, pemeriksaan
hormon FSH/LH, prolaktin, testosterone maupun T3/T4.
4. Pemeriksaan Khusus
a. Nocturnal Penile Tumescence (NPT): pemeriksaan ini menggunakan snap-
gauge band dan rigiscan device untuk membuktikan adanya ereksi malam
hari guna membedakan antara disfungsi ereksi psikogenik dengan organik.
b. Colour Doppler Imaging: pemeriksaan ini membantu memberikan petunjuk
mengenai hemodinamik penis setelah relaksasi otot polos maksimal yang di
induksi oleh obat vasoaktif. Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat adanya
insufisiensi arterial guna membedakan dengan disfungsi ereksi psikogenik.
Kecepatan aliran darah dari arteri kavernosa dapat diukur selama sistilok dan
diastolik.
c. Pharmacocavernosography: Pemeriksaan ini untuk mengukur aliran darah
vena keluar dari penis dengan melakukan injeksi zat kontras ke dalam
corpora.

2.2.6. Tatalaksana Disfungsi Ereksi pada Diabetes Melitus


Upaya pengobatan utama adalah memperbaiki kontrol glukosa darah
senormal mungkin dan memperbaiki faktor risiko DE lain seperti dislipidemia,
merokok, obesitas dan hipertensi. Perlu diidentifikasi berbagai obat yang
dikonsumsi pasien yang berpengaruh terhadap timbulnya atau memberatnya DE.
Dalam terapi disfungsi ereksi, yang menjadi sasaran terapi (bagian yang akan
diterapi) adalah ereksi penis. Berdasarkan sasaran yang diterapi, maka tujuan terapi
adalah meningkatkan kualitas dan kuantitas ereksi penis yang nyaman saat
berhubungan seksual. Kualitas yang dimaksud adalah kemampuan untuk
mendapatkan dan menjaga ereksi. Sedangkan kuantitas yang dimaksud adalah
28
seberapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menjaga ereksi (waktu untuk tiap-tiap
orang berbeda untuk mencapai kepuasan orgasme, tidak ada waktu normal dalam
ereksi).
Sebelum memilih terapi yang tepat, perlu diketahui penyebab atau faktor
resiko pada pasien yang berperan dalam menyebabkan munculnya disfungsi ereksi.
hal ini terkait dengan beberapa penyebab disfungsi ereksi yang terkait. Dengan
demikian, jika diketahui penyebab disfungsi ereksi yang benar maka dapat
diberikan terapi yang tepat pula. Terapi untuk disfungsi ereksi dapat dibedakan
menjadi dua yaitu terapi tanpa obat (nonfarmakologis-pola hidup sehat dan
menggunakan alat ereksi seperti vakum ereksi) dan terapi menggunakan obat
(farmakologis).
Pasien disfungsi ereksi harus memperbaiki pola hidup menjadi sehat.
Beberapa cara dalam menerapkan pola hidup sehat antara lain olah raga, menu
makanan sehat (asam amino arginin, bioflavonoid, seng, vitamin C dan E dan
makanan berserat), kurangi dan hindari rokok atau alkohol, menjaga kadar
kolesterol dalam tubuh, mengurangi berat badan hingga normal) dan mengurangi
stres. Jika dengan menerapkan pola hidup sehat, pasien sudah mengalami
peningkatan kepuasan ereksi maka pasien disfungsi ereksi tidak perlu
menggunakan obat atau vakum ereksi.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam manajemen DE menyangkut
terapi psikologi, terapi medis dan terapi hormonal yaitu:
• Terapi psikologi yaitu terapi seks atau konsultasi psikiatrik, percobaan terapi
(edukasi, medikamentosa oral/intrauretral, vacum constricsi device).
• Terapi medis yaitu terapi yang disesuaikan dengan indikasi medisnya
• Terapi hormonal yaitu jika tes laboratoriumnya abnormal seperti kadar
testoteron rendah, kadar LH dan FSH tinggi maka diterapi dengan pengganti
hormon.
Apabila penyebab disfungsi ereksi tersebut ialah faktor organik, dianjurkan
lima langkah berikut sebelum dilakukan terapi khusus, yakni:
1. Pertimbangkan apakah perlu dilakukan terapi spesifik
2. Pengobatan terhadap masalah psikogenik sekunder
29
3. Menyingkirkan faktor yang memperberat disfungsi ereksi
4. Memperbaiki kondisi atau faktor kesehatan umum
5. Pertimbangkan kenyataan bahwa umur berperan pada penurunan libido dan
frekuensi ereksi.
Sebelum pemberian suatu obat, perlu dipertimbangkan adanya penyakit-
penyakit yang diderita, obat yang telah diperoleh, kepuasan pasangan, kenyamanan
dengan metoda pemberian obat serta profil efek sampingnya. Pada menejemen
operatif, pilihan terapi disfungsi ereksi ialah bedah vaskuler atau implantasi
prostesis penis, dengan mempertimbangkan kemungkinan adanya kontra indikasi.
Implantasi prostesis penis mempunyai tingkat kepuasan tinggi, akan tetapi tidak
direkomendasikan sebagai pilihan utama oleh karena kemungkinan menimbulkan
kerusakan permanen pada jaringan penis (korpus kavernosum). Alat bantu ereksi
vacuum constriction devices dapat diterima oleh sekitar 75 persen pasien.
Tabel 5. Farmakokinetik dari PDE-5 inhibitors

Obat-obatan yang digunakan untuk pengobatan disfungsi ereksi antara lain


golongan phosphodiesterase inhibitor-5 (sildenafil, vardenafil dan tadalafil),
alprostadil (disuntikkan di penis-intracevernosal dan dimasukkan dalam ureter-
intrauretral), papaverine, trazodone dan dengan testosteron replacing hormone
(penambahan homon estrogen). Obat yang digunakan sebagai obat pilihan untuk
pengobatan disfungsi ereksi adalah sildenafil. Injeksi alprostadil intra kavernosa

30
masih dipertimbangkan sebagai cara yang relatif efektif dan aman pada sejumlah
pasien diabetik dengan disfungsi ereksi. Efektivitas terapi alprostadil bervariasi 50-
67 persen. Dosis paling efektif 20 mg, sementara dosis efektif minimal ialah 10 mg.

Gambar 9. Algoritma penggunaan PDE-5 inhibitors oral


Penanganan disfungsi ereksi dengan obat telah berkembang dengan
signifikan. Beberapa obat golongan phosphodiesterase inhibitor-5 antara lain:
• Sildenafil merupakan salah satu obat yang telah terbukti bermanfaat dan
merupakan obat pilihan pertama pasien disfungsi ereksi pada pasien diabetes
melitus . Dosis awal ialah 50 mg (oral) kemudian dapat diturunkan menjadi 25
mg atau dinaikkan menjadi 100 mg tergantung respon penderita. Efek samping
paling banyak terjadi ialah nyeri kepala, flushing, nyeri otot dan gangguan
saluran cerna, bahkan ada laporan menimbulkan kematian. Sildenafil sitrat
kontraindikasi mutlak pada pasien yang mendapat nitrat organik. Beberapa

31
peneliti telah mendiskusikan keuntungan dan kerugian mulai pengobatan dengan
sildenafil dosis rendah. Keuntungan pendekatan tersebut termasuk:
1. Mengidentifikasi pasien yang sangat sensitif sildenafil dan memerlukan dosis
lebih.
2. Meminimalkan efek samping seperti flushing dan pusing yang sering
menakutkan pasien dan mempengaruhi kepatuhan
3. Menghindari efek samping yang berat
4. Menjamin pasien tetap berhati-hati dalam menggunakan terapi sildenafil.
• Vardenafil secara statistik meningkatkan kemampuan ereksi, dan dapat
ditoleransi dengan baik pada pasien diabetik dengan disfungsi ereksi. Vardenafil
meningkatkan fungsi ereksi dan umumnya ditoleransi dengan baik oleh subjek
dengan diabetes melitus dan disfungsi ereksi.

Pengobatan disfungsi ereksi nonfarmakologis antara lain:


• Vacum Constriction Device (VCD) dapat mencapai 250 mmHg dimana
menggunkan cincin untuk mempertahankan kondisi ereksi setelah vakum
dengan waktu maksimal 25 – 30 menit. Kelebihan VCD adalah mudah dilakukan
dan tingkat kepuasan tinggi. Efek samping VCD adalah sering kebas, hematom,
peteki, skrotum terhisap.
• Vascular Resconstructive Surgery (VRS), dilakukan pada pasien DE berusia
muda dengan riwayat trauma pelvis dan perianal. VRS meningkatkan suplai
darah di penis. Cara kerja VRS dengan bypass arteri yang tersumbat dengan
menggunakan arteri dari otot abdomen (inferior epigastric artery). Tingkat
keberhasilan jangka panjang 50 – 60 %. Komplikasi nyeri penis, berkurangnya
sensasi, dan glans hiperemis.
• Penile prosthesis, mengganti struktur erection chamber dengan batang silinder
semi rigid, rigid, ataupun hidrolik. Merupakan terapi ketiga pada pasien DE.
Penile prosthesis membutuhkan anestesi dan biayanya yang mahal. Komplikasi
Penile prosthesis adalah perdarahan tidak terkontrol paska operasi, infeksi
terutama pada pasien DM dan yang mengalami trauma spinalis.

32
Psikoterapi jika pasien mengalami masalah psikologis dan pada pasien yang
gagal setelah dilakukan terapi oral dan injeksi. Pendekatan yang dilakukan adalah
Cognitive Behavioral Intervention. Selain itu dilakukan koreksi kognitif
maladaptif, eksplorasi masa lampau dan terapi pasangan.

2.2.7. Prognosis Disfungsi Ereksi pada Diabetes Melitus


Disfungsi ereksi yang persisten dapat menyebabkan efek psikologis menjadi
signifikan. Disfungsi ereksi dapat menyebabkan gangguan hubungan antara suami
istri dan dapat menyebabkan terjadinya depresi.

2.2.8. Pencegahan Disfungsi Ereksi pada Diabetes Melitus


Pencegahan terhadap disfungsi ereksi pada diabetes melitus sama halnya
dengan pencegahan terjadinya komplikasi pada diabetes melitus atau pencegahan
sekunder. Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat
timbulnya penyulit pada pasien yang telah terdiagnosis DM. Tindakan pencegahan
sekunder dilakukan dengan pengendalian kadar glukosa sesuai target terapi serta
pengendalian faktor risiko penyulit yang lain dengan pemberian pengobatan yang
optimal. Melakukan deteksi dini adanya penyulit merupakan bagian dari
pencegahan sekunder dan dilakukan sejak awal pengelolaan penyakit DM.
Sedangkan pada pasien DM yang mengalami disfungsi ereksi dapat dilakukan
pencegahan tersier dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut serta
meningkatkan kualitas hidup. Upaya rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini
mungkin, sebelum kecacatan menetap. Pada upaya pencegahan tersier tetap
dilakukan penyuluhan pada pasien dan keluarga. Materi penyuluhan termasuk
upaya rehabilitasi yang dapat dilakukan untuk mencapai kualitas hidup yang
optimal.

33
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Disfungsi ereksi adalah salah satu komplikasi jangka panjang (kronik) pada
diabetes melitus yang disebabkan oleh gangguan neuropati dan vaskulopati.
Disfungsi ereksi berkaitan erat dengan kontrol glikemik pada pasien diabetes
melitus dan merupakan komplikasi yang jarang ditanyakan oleh klinisi sehingga
pasien jarang terdiagnosis disfungsi ereksi. Disfungsi ereksi pada pasien diabetes
melitus tidak hanya perlu ditatalaksana dengan obat-obat untuk disfungsi ereksi itu
sendiri namun secara bersamaan diperbaiki kondisi umum penderita termasuk
pengendalian glukosa darah, pola makan (nutrisi) dan pola hidup (exercise).

3.2 Saran
1. Sebagai tenaga kesehatan sebaiknya melakukan edukasi kepada masyarakat
tentang diabetes melitus, gejala, serta komplikasi yang akan terjadi sehingga
masyarakat lebih memproteksikan diri.
2. Sebagai tenaga kesehatan sebaiknya melakukan edukasi kepada penderita
diabetes melitus mengenai pengendalian penyakitnya serta komplikasi yang
akan terjadi sehingga penderita diabetes melitus lebih memahami penyakitnya
dan dapat meningkatkan usaha dalam memperbaiki kondisinya.
3. Sebagai tenaga kesehatan sebaiknya melakukan pemeriksaan berkala untuk
memantau perjalanan penyakit diabetes melitus termasuk komplikasi-
komplikasi yang dapat terjadi.
4. Sebagai tenaga kesehatan sebaiknya mencurigai diabetes melitus sebagai salah
satu penyebab pada pasien yang datang ke pelayanan kesehatan dengan gejala
disfungsi ereksi.

34
DAFTAR PUSTAKA

Fazio, L., & Brock, G. (2004). Erectile dysfunction: management update. Canadian
Medical Association journal, 170(9), 1429-37. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC395819/. [Accessed 17
October 2018]

Jenkins, K. Screening for Erectile Dysfunction Should Be Routine in Diabetes.


https://www.medscape.com/viewarticle/883199#vp_2 [Accessed 18 October
2018].

Kouidrat, Y., Pizzol, D. (2017). High prevalence of erectile dysfunction in diabetes:


a systematic review and meta‐analysis of 145 studies. Diabetic Medicine
34(9), 1185-1192. Available from:
https://onlinelibrary.wiley.com/doi/pdf/10.1111/dme.13403 [Accessed 16
October 2018].

Kim, E. D.. Erectile Dysfunction Treatment & Management.


https://emedicine.medscape.com/article/444220-treatment [Accessed 18
October 2018].

Powers, Alvin C. Diabetes Melitus. Dennis L. Kasper, Anthony S. Fauci, dkk.


(2015). Harrison’s Principles of Internal Medicine. United Stated of
America: McGraw Hill.

Setiadji, V. Hemodinamika Ereksi, Neuroanatomi dan Neurofisiologi Ereksi.


Neurofisiologi Ereksi. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

Soelistijo, S. A., dkk. Konsensus Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetes Melitus


Tipe 2 Di Indonesia 2015. Jakarta: PB PERKENI.

Sugiharso, M., Saraswati, M. Hubungan Disfungsi Ereksi Pada Penderita Diabetes


Melitus Tipe 2 Terhadap Kualitas Hidup Di Poliklinik Penyakit Dalam Rsup
Sanglah Provinsi Bali. E-JURNAL MEDIKA 2016; 5(6).
https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum [Accessed 24 Oktober 2018].
35

Anda mungkin juga menyukai