Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

PEDOMAN PENATALAKSANAAN PENYAKIT


DIABETES MELITUS

Program Studi Diploma Tiga Jurusan Farmasi


Politeknik Kesehatan Kemenkes Manado

Disusun Oleh
Kelompok 2
1. Ridel Imanuel 6. Citra Parimalang
(714840120030) (714840120052)
2. Ni Nyoman Riskayani 7. Yunita Supu
(714840120026) (714840120080)
3. Ni Made Priliani 8. Cherlyka Kanter
(714840120024) (714840120088)
4. Abigael Liow 9. Brigitha Manampiring
(714840120040) (714840120048)
5. Leonardo Supit 10. Jasinda Sawori
(714840120042) (714840120058)

KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN MANADO
KATA PENGANTAR
Puji syukur terima kasih senantiasa kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang
Maha Kuasa yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas kelompok kami Di Kimia
Farma, dengan judul “PEDOMAN PENATALAKSANAAN PENYAKIT
DIABETES MELITUS”.

Kami membuat makalah ini dengan tujuan yaitu kami hanya ingin
memberitahukan Pedoman Penatalaksanaan Penyakit Diabetes Melitus kepada
pembaca. Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna.

Oleh karena itu kami mengharapkan agar makalah ini dapat di terima
dengan baik. Dan kami juga berharap makalah ini dapat bermanfaat di kemudian
hari, dan kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
dunia pendidikan

Manado, Oktober 2022

Tim Penyusun
Daftar Isi

KATA PENGANTAR.............................................................................................2
Daftar Isi..................................................................................................................3
BAB I. PENDAHULUAN.......................................................................................3
A. Latar Belakang..............................................................................................3
B. Tujuan...........................................................................................................4
BAB II. DIABETES MELITUS..............................................................................5
A. Penyakit Diabetes Melitus............................................................................5
B. Klasifikasi Diabetes Melitus.........................................................................6
C. Penatalaksanaan Diabetes Melitus................................................................7
BAB III. PELAYANAN FARMASI KLINIS DALAM PENATALAKSANAAN
DIABETES MELITUS..........................................................................................12
A. Pengkajian dan Pelayanan Resep................................................................12
B. Pelayanan Informasi Obat...........................................................................13
C. Konseling....................................................................................................14
D. Pemantauan Terapi Obat.............................................................................15
BAB IV. PENGKAJIAN RESEP..........................................................................18
BAB V. KESIMPULAN........................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................22
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diabetes merupakan permasalahan kesehatan serius di seluruh dunia.
Diperkirakan 15,7 juta orang di Amerika Serikat menderita diabetes mellitus.
Perkiraan tersebut, merupakan perhitungan antara diabetes yang terdiagnosa dan
tidak terdiagnosa, sebanyak 5,9 % populasi di Amerika Serikat menderita diabetes
mellitus. Diabetes Mellitus menyebabkan kematian lebih dari 162.200 jiwa pada
tahun 1996. Diabetes termasuk tujuh penyebab utama kematian pada daftar angka
kematian di AS, tapi diabetes diyakini termasuk kematian yang tidak tidak
terlaporkan, antaranya adalah kondisi dan penyebab kematian. Diabetes adalah
penyebab utama dari kebutaan. Lebih dari 60 sampai 65% penderita diabetes
menderita hipertensi. Hal yang mengejutkan biaya pengeluaran untuk pengobatan
secara langsung dan tidak langsung untuk diabetes pada tahun 1997 diperkirakan
mencapai 98 juta dolar. Banyaknya biaya tidak memberikan timbal balik yang
kehidupan pasien diabetes dan keluarganya (Sharon Margaret 2000).
Penderita diabetes mellitus di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya, hal
ini dihubungkan dengan meningkatnya angka kesejahteraan. Persentase penderita
diabetes mellitus lebih besar di kota dari pada di desa,14,7% untuk dikota dan
7,2% di desa. Indonesia menduduki peringkat keenam di dunia dalam hal jumlah
terbanyak penderita diabetes. Diabetes Melitus adalah penyakit gangguan
metabolik yang disebabkan oleh gagalnya organ pankreas dalam memproduksi
hormon insulin secara memadai. Penyakit ini bisa dikatakan sebagai penyakit
kronis karena dapat terjadi secara menahun. Berdasarkan penyebabnya diabetes
melitus di golongkan menjadi tiga jenis, diantaranya diabetes melitus tipe 1, tipe 2
dan diabetes melitus gestasional . Diabetes melitus tipe 1 disebabkan karena
reaksi autoimun yang menyebabkan sistem kekebalan tubuh menyerang sel beta
pada pankreas sehingga tidak bisa memproduksi insulin sama sekali. Sedangkan
diabetes melitus tipe 2 terjadi karena akibat adanya resistensi insulin yang mana
sel-sel dalam tubuh tidak mampu merespon sepenuhnya insulin. Diabetes
gestasional disebabkan karena naiknya berbagai kadar hormon saat hamil yang
bisa menghambat kerja insulin. Maka dari itu, untuk mengetahui bahwa seseorang
mengidap penyakit diabetes melitus dapat ditegakkan melalui pemeriksan klinis
berupa pemeriksaan kadar gula darah (Kemenkes RI, 2020).

B. Tujuan
Untuk mengetahui mengenai penyakit Diabetes melitus, Klasifikasi dari
penyakit diabetes melitus, penatalaksanaan penyakit diabetes melitus, pengajian
dan pelayanan resep diabetes melitus.
BAB II. DIABETES MELITUS

A. Penyakit Diabetes Melitus


Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh adanya
kenaikan kadar gula darah (hiperglikemia) kronik. Keadaan hiperglikemia kronik
tersebut dapat mengenai banyak orang pada semua lapisan masyarakat di seluruh
dunia (Waspadji, 1995).
Diabetes Mellitus ditandai oleh hiperglikemia serta gangguan-gangguan
metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang bertalian dengan defisiensi
absolut atau relativ aktivitas dan atau sekresi insulin. Karena itu meskipun
diabetes asalnya merupakan endokrin, manifestasi pokoknya adalah penyakit
metabolik (Anonim, 2000).
Diabetes mellitus seperti juga penyakit menular lainnya akan berkembang
sebagai suatu penyebab utama kesakitan dan kematian di Indonesia. Penyakit ini
akan merupakan beban yang besar bagi pelayanan kesehatan dan perekonomian di
Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung melalui komplikasi-
komplikasinya. Definisi lain menyebutkan diabetes mellitus merupakan suatu
kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi
kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik
pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi, atau
kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan
pembuluh darah. World Health Organization (WHO) sebelumnya telah
merumuskan bahwa DM merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam
suatu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum dapat dikatakan sebagai
suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor
dimana dapat defisiensi insulin absolut atau relativ dan gangguan fungsi insulin
(Gustaviani, 2006).
Gejala klasik diabetes adalah rasa haus yang berlebihan, sering kencing
terutama malam hari dan berat badan yang turun dengan cepat. Disamping
itukadang-kadang ada keluhan lemah, kesemutan pada jari tangan dan kaki, cepat
lapar, gatal-gatal, penglihatan jadi kabur, gairah seks menurun, luka sukar sembuh
dan pada ibu-ibu sering melahirkan bayi dengan berat badan diatas 4 kg (Anonim,
2000). Diabetes dapat pula bermanifestasi sebagai satu atau lebih penyulit yang
bertalian. Diabetes mellitus terutama NIDDM (Non Insulin Dependent Diabetes
Mellitus), bisa tanpa gejala, sehingga sering didiagnosis berdasarkan
ketidaknormalan hasil pemeriksaan darah rutin atau uji glukosa dalam urin. Secara
epidemiologik diabetes seringkali tidak terdeteksi dan dikatakan onset atau mulai
terjadinya diabetes adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan, sehingga
morbiditas dan mortalitas dini terjadi pada kasus yang tidak terdeteksi. Faktor
resiko yang berubah secara epidemiologi diperkirakan adalah bertambahnya usia,
lebih banyak dan lebih lamanya obesitas, distribusi lemak tubuh, kurangnya
aktifitas jasmani dan hiperinsulinemia. Semua faktor ini berinteraksi dengan
beberapa faktor genetik yang berhubungan dengan terjadinya DM tipe 2
(Gustaviani, 2006).

B. Klasifikasi Diabetes Melitus


1) Diabetes Mellitus mencakup 3 sub kelompok diagnostik, yaitu :
a. Diabetes Mellitus tipe I (Insulin dependent)
DM jenis ini paling sering terdapat pada anak-anak dan dewasa muda,
namun demikian dapat juga ditemukan pada setiap umur. Destruksi sel-sel
pembuat insulin melalui mekanisme imunologik menyebabkan hilangnya
hampir seluruh insulin endogen. Pemberian insulin eksogen terutama tidak
hanya untuk menurunkan kadar glukosa plasma melainkan juga untuk
menghindari ketoasidosis diabetika (KAD) dan mempertahankan kehidupan.

b. Diabetes Mellitus tipe II (non-insulin dependent)


DM jenis ini biasanya timbul pada umur lebih 40 tahun. Kebanyakan
pasien DM jenis ini bertubuh gemuk, dan resistensi terhadap kerja insulin
dapat ditemukan pada banyak kasus. Produksi insulin biasanya memadai
untuk mencegah KAD, namun KAD dapat timbul bila ada stress berat.
Insulin eksogen dapat digunakan untuk mengobati hiperglikemia yang
membandel pada para pasien jenis ini.
c. Diabetes Mellitus lain (sekunder)
Pada DM jenis ini hiperglikemia berkaitan dengan penyebab lain yang
jelas, meliputi penyakit-penyakit pankreas, pankreatektomi, sindroma
cushing, acromegaly dan sejumlah kelainan genetik yang tak lazim.

2) Toleransi Glukosa yang terganggu merupakan klasifikasi yang cocok untuk


para penderita yang mempunyai kadar glukosa plasma yang abnormal namun
tidak memenuhi kriteria diagnostik.

3) Diabetes Mellitus Gestasional : istilah ini dipakai terhadap pasien yang


menderita hiperglikemia selama kehamilan. Ini meliputi 2-5% dari seluruh
diabetes. Jenis ini sangat penting diketahui karena dampaknya pada janin
kurang baik bila tidak ditangani dengan benar (Suyono, 2006). Pada pasien-
pasien ini toleransi glukosa dapat kembali normal setelah persalinan
(Anonim, 1995).

C. Penatalaksanaan Diabetes Melitus


Penatalaksanaan terapi pada DM memiliki tujuan untuk menghilangkan
gejala, meningkatkan kualitas hidup pasien, mengurangi adanya resiko komplikasi
akut maupun kronis serta menurunkan morbiditas dan mortalitas dari DM.
Terdapat tiga komponen utama dalam terapi DM, yakni diet nutrisi, penggunaan
obat-obatan (insulin dan OAD) dan olahraga.
a. Terapi Non-Farmakologi
1) Diet
Diet nutrisi atau pengaturan pola makan memiliki peran penting dalam
pengobatan DM. Diet yang dianjurkan yakni makanan dengan komposisi
seimbang antara karbohidrat protein dan lemak (DiPiro, 2015). Diet dengan
penurunan 5% berat badan mampu menurunkan kadar HbA1c sebanyak 0,6%,
setiap kilogram penurunan berat badan berhubungan dengan 3-4 bulan tambahan
waktu harapan hidup. Pilihan jenis makanan juga diperhatikan, dianjurkan
mengkonsumsi makanan yang berserat. Hal ini diharapkan penyerapan lemak
akan dihambat sehingga dapat menurunkan resiko masukan kalori berlebih
(Muchid dkk, 2005).
2) Olahraga
Olahraga atau aktivitas fisik turut mendukung terhadap keberhasilan terapi
secara non-farmakologi. Olahraga secara teratur mampu menurunkan dan menjaga
kadar glukosa darah tetap normal. Olahraga yang dianjurkan yakni kurang lebih
150 menit/minggu dengan intensitas sedang (50-70% denyut jantung maksimal),
tiga hari dalam seminggu dengan tidak lebih dari dua hari antara tiap aktivitas.
Latihan aerobik dapat meningkatkan sensitivitas dari insulin, sedikit mampu
meningkatkan kontrol glikemik, mengurangi resiko terjadinya penyakit
kardiovaskular dan berkontribusi dalam penurunan berat badan (DiPiro, 2015).

b. Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi dapat dilakukan dengan menggunakan OAD dan insulin.
Terapi insulin dapat diklasifikasikan berdasarkan lama kerjanya menjadi 5
golongan, yakni :
1) Rapid-acting-insulin(insulin aspart, insulinl ispro,insulin glulisin,inhaled
insulin)
2) Short-acting insulin
3) Intermediate-acting insulin (nph)
4) Long acting insulin (insulin glargine, insulin detemir, insulin degludec)
5) Premixed insulin
Terdapat sembilan golongan OAD yang disetujui untuk digunakan pada
pasien DM, yakni:
1) Biguanida
Golongan obat ini dibagi menjadi tiga jenis yakni fenformin, buformin dan
metformin. Metformin merupakan satu-satunya dari golongan ini yang masih
digunakan sebagai obat hiperglikemik oral. Mekanisme dari metformin yaitu
menghambat glukoneogenesis dan meningkatkan penggunaan glukosa di jaringan.
Obat ini akan bekerja secara efektif apabila terdapat insulin endogen. Efek
samping dari obat ini adalah mual, muntah, diare, nyeri perut, anoreksia,
penurunan penyerapan vitamin B12, eritema, pruritus, urtikaria dan hepatitis, rasa
logam, asidosis laktat (IONI, 2015).
2) Sulfonilurea
Sulfonilurea mampu menurunkan kadar glukosa darah dengan meningkatkan
sekresi insulin dari sel β-pankreas, menyebabkan saluran kalium sensitif ATP
akan tertutup dan terjadi depolarisasi membran. Saluran kalsium terbuka dan
memungkinkan kalsium untuk masuk ke dalam sel. Meningkatnya kalsium
intraseluler menyebabkan translokasi granula sekretori ke permukaan sel dan
eksositosis granula insulin (Tripathi 2019). Golongan sulfonilurea terdiri dari
generasi pertama (klorpropamida, tolazamida tolbutamid dan asetoheksamid)
yang cenderung memiliki potensi lebih rendah dibandingkan dengan generasi
kedua (gluburida, glipizida, glikazida, glimepirida, dan glikuidon). Efek samping
yang umum terjadi pada penggunaan obat golongan ini adalah ataksia, depresi,
hipoestesi, insomnia, nyeri paresthesia, kantuk, sakit kepala, diaforesis, pruritus,
hipoglikemik, diare, perut kembung, dan muntah (Ganesan & sultan 2019).
3) Meglitinida
Meglitinida mampu meningkatkan sintesis dan sekresi dari insulin dengan
cara berikatan di sisi benzamido pada reseptor sulfonilurea, sehingga akan
menghambat kanal kalium sensitif Adenosine triphosphate (ATP), hal ini
mengakibatkan terbukanya kanal kalium dan terjadi peningkatan kalsium
intraseluler (Tripathi 2019). Contoh dari golongan ini adalah nateglinide dan
repaglinide (Pamela dkk, 2019). Efek samping yang mungkin terjadi setelah
penggunaan repaglinide adalah gangguan pada saluran cerna, sedangkan
penggunaan nateglinide dapat menyebabkan infeksi pada saluran nafas bagian atas
(Muchid dkk, 2005).
4) Tiazolidindion (TZD)
Contoh dari golongan TZD adalah rosiglitazon, pioglitazon dan troglitazon,
dimana penggunaan troglitazon telah ditarik dari pasaran. TZD bekerja dengan
berikatan pada reseptor peroxisome proliferator activator receptor-γ (PPAR-γ) di
otot, jaringan lemak dan hati untuk menurunkan resistensi insulin (Krentz 2005).
Efek samping dari TZD adalah edema, hipoglikemia, gagal jantung, sakit kepala,
patah tulang, mialgia, sinusitis, dan faringitis (Ganesan & sultan 2019).
5) Inhibitor Dipeptidyl Peptidase (DPP-4)
Gliptin merupakan obat yang termasuk dalam inhibitor DPP-4, termasuk di
dalamnya adalah sitagliptin, vildagliptin, saxagliptin, linagliptin dan alogliptin.
Inhibitor DPP-4 menghambat perjalanan glukosa darah setelah makan.
Penghambatan terhadap enzim DPP-4 dapat memperpanjang waktu paruh
glucagone like peptide-1 (GLP-1) dan gastric inhibitory polypeptide (GIP). Kedua
hormon tersebut merupakan hormon inkretin yang mampu meningkatkan sekresi
insulin, menghambat glukagon dan memperlambat proses pengosongan lambung
(Tripathi 2019). Efek samping dari obat ini yaitu mual dan muntah yang biasa
muncul pada awal pengobatan. Gangguan fungsi kekebalan dan infeksi saluran
pernapasan pernah dilaporkan terjadi pada beberapa pengguna obat ini. Obat
golongan ini dikontraindikasikan pada pasien yang memiliki riwayat penyakit
pankreatitis, penyakit ginjal dan penyakit hati berat (Ahmed dkk., 2012)
6) Inhibitor Sodium-Glucose Cotransporters 2 (SGLT2)
Inhibitor SGLT2 telah disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA)
yakni canagliflozin, dapagliflozin, dan empagliflozin. Proses reabsorpsi glukosa
dari urin dalam tubulus proksimal difasilitasi oleh SGLT, dengan menghambat
SGLT2 maka proses reabsorpsi glukosa di tubulus proksimal akan menurun dan
kadar glukosa plasma berkurang sehingga terjadi glukosuria (DiPiro, 2015). Efek
samping yang mungkin timbul dari obat ini adalah dislipidemia, peningkatan
produksi urin, disuria, influenza, patah tulang dan gangguan ginjal (Ganesan &
Sultan, 2019).
7) Agonis dopamin
Bromokriptin mesilat merupakan agonis dopamin yang penggunaannya telah
disetujui oleh FDA untuk pengobatan pada DM tipe 2. Rendahnya kadar dopamin
pada hipotalamus akan mengurangi aktivitas simpatik. Efek ini meningkatkan
sensitivitas insulin di hati dan menurunkan output dari glukosa hepatik (DiPiro,
2015). Efek samping yang umum terjadi adalah hipotensi, pusing, pingsan, mual,
mengantuk, sakit kepala, dan esksaserbasi gangguan psikotik (Koda- Kimble,
2013).
8) Bile Acid Sequestrants
Kolesevelam merupakan salah satu obat golongan Bile Acid Sequestrants
yang telah disetujui penggunaannya oleh FDA. Obat ini digunakan sebagai terapi
tambahan dan meningkatkan kontrol dari glukosa pada pasien DM tipe 2. Obat ini
ditemukan efektif dalam menurunkan kadar kolesterol darah LDL (low density
lipoprotein), mengurangi morbiditas dan mortalitas penyakit kardiovaskular
namun memiliki efek yeng minim dalam penurunan kadar glukosa (Ahmed dkk.,
2012). Efek samping dari penggunaan obat ini adalah gangguan pada saluran
cerna, gangguan pada neuromuskular rangka, serta faringitis (Lecy dkk, 2009).
9) Inhibitor α-glukosidase
Inhibitor α-glukosidase memiliki mekanisme menghambat iagnos dari
glukosa pada umumnya digunakan untuk mengendalikan hiperglikemia
postprandial. Inhibitor α-glukosidase secara kompetitif menghambat enzim
maltase, isomaltase, sukrase dan glukoamilase di usus halus serta memperlambat
pemecahan sukrosa dan karbohidrat kompleks. Hal ini mengakibatkan penundaan
pada absorpsi karbohidrat sehingga memberikan waktu bagi iagnose untuk
mengeluarkan insulin yang digunakan dalam regulasi glukosa. Inhibitor α-
glukosidase juga menghambat enzim α-amilase, inhibisi kedua enzim ini efektif
mampu mengurangi pencernaan dan absorpsi karbohidrat, sehingga mampu
mengurangi peningkatan kadar glukosa postprandial pada penderita DM (Muchid
dkk, 2005). Efek samping yang banyak terjadi akibat pemakaian dari obat ini
adalah diare, nyeri perut, lebih banyak flatus dan peningkatan transaminase (Lecy
dkk, 2009).
BAB III. PELAYANAN FARMASI KLINIS DALAM
PENATALAKSANAAN DIABETES MELITUS

A. Pengkajian dan Pelayanan Resep


Kegiatan pengkajian Resep meliputi administrasi, kesesuaian farmasetik dan
pertimbangan klinis.
Kajian Administrasi meliputi:
1. nama pasien, umur, jenis kelamin dan berat badan;
2. nama dokter, nomor Surat Izin Praktik (SIP), alamat, nomor telepon dan
paraf;
3. tanggal penulisan Resep.
Kajian kesesuaian farmasetik meliputi:
1. bentuk dan kekuatan sediaan;
2. stabilitas;
3. kompatibilitas (ketercampuran Obat).
Pertimbangan klinis meliputi:
1. ketepatan indikasi dan dosis Obat;
2. aturan, cara dan lama penggunaan Obat;
3. duplikasi dan/atau polifarmasi;
4. reaksi Obat yang tidak diinginkan (alergi, efek samping Obat, manifestasi
klinis lain);
5. kontra indikasi;
6. interaksi.
Jika ditemukan adanya ketidaksesuaian dari hasil pengkajian maka Apoteker
harus menghubungi dokter penulis Resep.
Pelayanan Resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan ketersediaan,
penyiapan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
termasuk peracikan Obat, pemeriksaan, penyerahan disertai pemberian informasi.
Pada setiap tahap alur pelayanan Resep dilakukan upaya pencegahan terjadinya
kesalahan pemberian Obat (medication error). Petunjuk teknis mengenai
pengkajian dan pelayanan Resep akan diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal.

B. Pelayanan Informasi Obat


Pelayanan Informasi Obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh Apoteker
dalam pemberian informasi mengenai Obat yang tidak memihak, dievaluasi
dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek penggunaan Obat
kepada profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat. Informasi mengenai Obat
termasuk Obat Resep, Obat bebas dan herbal. Informasi meliputi dosis, bentuk
sediaan, formulasi khusus, rute dan metoda pemberian, farmakokinetik,
farmakologi, terapeutik dan iagnoseve, efikasi, keamanan penggunaan pada ibu
hamil dan menyusui, efek samping, interaksi, stabilitas, ketersediaan, harga, sifat
fisika atau kimia dari Obat dan lain-lain.
Kegiatan Pelayanan Informasi Obat di Apotek meliputi:
1. menjawab pertanyaan baik lisan maupun tulisan;
2. membuat dan menyebarkan iagnose/brosur/leaflet, pemberdayaan masyarakat
(penyuluhan);
3. memberikan informasi dan edukasi kepada pasien;
4. memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada mahasiswa farmasi yang
sedang praktik profesi;
5. melakukan penelitian penggunaan Obat;
6. membuat atau menyampaikan makalah dalam forum ilmiah;
7. melakukan program jaminan mutu.
Pelayanan Informasi Obat harus didokumentasikan untuk membantu
penelusuran kembali dalam waktu yang iagnose singkat dengan
menggunakan Formulir 6 sebagaimana terlampir.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam dokumentasi pelayanan Informasi Obat :
1. Topik Pertanyaan;
2. Tanggal dan waktu Pelayanan Informasi Obat diberikan;
3. Metode Pelayanan Informasi Obat (lisan, tertulis, lewat telepon);
4. Data pasien (umur, jenis kelamin, berat badan, informasi lain seperti riwayat
alergi, apakah pasien sedang hamil/menyusui,data laboratorium);
5. Uraian pertanyaan;
6. Jawaban pertanyaan;
7. Referensi;
8. Metode pemberian jawaban (lisan, tertulis, pertelepon) dan data Apoteker
yang memberikan Pelayanan Informasi Obat.

C. Konseling
Konseling Obat adalah suatu aktivitas pemberian nasihat atau saran terkait
terapi Obat dari Apoteker (konselor) kepada pasien dan/atau keluarganya.
Konseling untuk pasien rawat jalan maupun rawat inap di semua fasilitas
kesehatan dapat dilakukan atas inisitatif Apoteker, rujukan dokter, keinginan
pasien atau keluarganya. Pemberian konseling yang efektif membutuhkan
kepercayaan pasien dan/atau keluarga terhadap Apoteker. Pemberian konseling
Obat bertujuan untuk mengoptimalkan hasil terapi, menghadapi pertanyaan Obat
yang tidak penting (ROTD), dan meningkatkan efektivitas biaya yang pada
akhirnya meningkatkan keamanan penggunaan Obat bagi pasien (pasien
keamanan).
Khusus konseling Obat untuk ditujukan:
1. meningkatkan hubungan kepercayaan antara Apoteker dan pasien;
2. menunjukkan perhatian serta kepedulian terhadap pasien;
3. membantu pasien untuk mengatur dan terbiasa dengan Obat;
4. membantu pasien untuk mengatur dan menyesuaikan penggunaan obat
dengan penyakitnya;
5. meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan;
6. mencegah atau masalah terkait Obat;
7. meningkatkan kemampuan pasien memecahkan masalah dalam hal terapi;
8. memahami permasalahan dalam pengambilan keputusan; dan
9. membimbing dan mendidik pasien dalam penggunaan Obat sehingga dapat
mencapai tujuan pengobatan dan meningkatkan mutu pengobatan pasien.
Kegiatan dan langkah-langkah dalam konseling Obat meliputi:
1. membuka komunikasi antara Apoteker dengan pasien;
2. Identifikasi tingkat pemahaman pasien tentang penggunaan Obat melalui Tiga
Pertanyaan Utama;
3. mencari informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan kepada pasien
untuk mengeksplorasi masalah penggunaan Obat;
4. memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan masalah
pengunaan Obat;
5. melakukan verifikasi akhir dalam rangka mengecek pemahaman pasien; dan
dokumentasi

D. Pemantauan Terapi Obat


Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan suatu proses yang mencakup
kegiatan untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif dan rasional bagi
pasien.
Tujuan PTO adalah meningkatkan efektivitas terapi dan meminimalkan risiko
Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD).
Kegiatan dalam PTO dalam penatalaksaan diabetes iagnose meliputi:
a. pengkajian pemilihan obat, dosis, cara pemberian obat, respons terapi, Reaksi
Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD);
b. pemberian rekomendasi penyelesaian masalah terkait obat; dan
c. pemantauan efektivitas dan efek samping terapi obat.
Pelaksanaan Pemantauan Terapi Obat (PTO)
a. Identifikasi pasien
Sebagai langkah awal dalam PTO, Apoteker memastikan kebenaran
identitas pasien dengan meminta pasien menyebutkan nama dan identitas
lainuntuk dicocokkan dengan catatan pengobatan.
b. Pengumpulan data pasien
Data dasar pasien merupakan komponen penting dalam proses PTO, data
tersebut diperoleh dari Rekam iagn, Profil pengobatan pasien/pencatatan
penggunaan obat,Wawancara dengan pasien, anggota keluarga dan tenaga
kesehatan lain.
Data yang diambil antara lain Riwayat pengobatan pasien Riwayat
keluarga/social, Diet dan gaya hidup, Alergi (obat dan makanan),
Pengetahuan mengenai obat-obat yang digunakan, Kepatuhan pengobatan,
Tanda-tanda vital dan hasil laboratorium
c. Identifikasi masalah terkait obat
Setelah data terkumpul, perlu dilakukan analisis untuk identifikasi adanya
masalah terkait obat. Masalah terkait obat merujuk kepada Masalah Terkait
Obat menurut PCNE V8.02. Apoteker perlu membuat prioritas masalah yang
perlu penyelesaian segera sesuai dengan kondisi pasien dan menentukan
masalah tersebut sudah terjadi atau berpotensi akan terjadi.
d. Rekomendasi penyelesaian masalah terkait obat
Pilihan terapi dari berbagai iagnoseve yang ada ditetapkan berdasarkan
efikasi, keamanan, biaya, regimen yang mudah dipatuhi. Rekomendasi dapat
dilakukan kepada dokter dengan Memulai terapi obat, Obat dihentikan,
Meningkatkan dosis, Menurunkan dosis, Konseling pasien secara individu,
Merujuk pasien.
e. Pemantauan
Setelah ditetapkan pilihan terapi, maka selanjutnya perlu dilakukan
pemantauan, dengan tujuan memastikan pencapaian efek terapi dan
meminimalkan efek yang tidak dikehendaki.
Dalam pemantauan digunakan kriteria pengendalian DM sebagaimana
tercantum dalam tabel 3. Selain itu Apoteker juga memantau apakah masalah
terkait obat dapat terselesaikan melalui rekomendasi yang telah diberikan.
f. Tindak lanjut
Sebagai langkah lanjutan adalah dilaukan evaluasi dan pemantauan secara
keseluruhan apakah farmakoterapi sesuai dengan yang diharapkan. Frekuensi
pemantauan tergantung pada tingkat keparahan penyakit dan risiko yang
berkaitan dengan terapi obat.
Berbagai faktor yang mempengaruhi frekuensi pemantauan antara lain:
1) Kebutuhan khusus dari pasien
2) Karakteristik obat pasien
3) Biaya dan kepraktisan pemantauan
g. Monitoring Efek Samping
Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan
pemantauan setiap respon terhadap obat yang tidak dikehendaki, yang terjadi
pada dosis lazim yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis,
iagnose dan terapi. Efek Samping Obat adalah reaksi Obat yang tidak
dikehendaki yang terkait dengan kerja farmakologi.
Tahapan pemantauan dan pelaporan ESO:
1. mendeteksi adanya kejadian reaksi Obat yang tidak dikehendaki (ESO);
2. mengidentifikasi obat-obatan dan pasien yang mempunyai risiko tinggi
mengalami ESO;
3. mengevaluasi laporan ESO dengan algoritma Naranjo dalam formulir
kuning Badan POM;
4. mendiskusikan dan mendokumentasikan Efek Samping Obat;
5. melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat / Farmakovigilans
Nasional secara online melalui e-meso.pom.go.idatau melalui formulir
kuning yang dialamatkan ke Badan POM.
BAB IV. PENGKAJIAN RESEP

Resep 1

Persyaratan Administrasi

1. Nama Pasien : Ada


2. Umur Pasien : Ada
3. Jenis Kelamin Pasien : Ada
4. Berat badan Pasien : Tidak Ada
5. Nama Dokter : Ada
6. SIP dokter : Tidak Ada
7. Alamat Dokter : Ada
8. No Tlp Dokter : Tidak Ada
9. Tanggal penulisan Resep : Ada
10. Paraf Dokter : Tidak Ada

Kesesuaian Farmasetik
Novomix
1. Nama Obat : Novomix Insulin (Ada)
2. Bentuk Sediaan : Suspensi (Tidak Ada)
3. Kekuatan Sediaan : 100 IU/ml (Tidak Ada)
4. Stabilitas Penyimpanan : suhu 2-8°C
5. Jumlah Obat : 3 (Ada)

Metformin

1. Nama Obat : Metformin (Ada)


2. Bentuk Sediaan : Tablet (Tidak Ada)
3. Kekuatan Sediaan : 500mg (Ada)
4. Stabilitas Penyimpanan : suhu 20-25°C
5. Jumlah Obat : 90 (Ada)

Pertimbangan Klinis
1. 2 komponen obat tersebut tidak mengalami interaksi secara terapeutik.
2. Dilihat dari komposisi , resep yang diberikan dokter untuk penyakit diabetes
mellitus.
3. Novomix yang dikombinasikan dengan metformin lebih efektif terhadap penurunan
gula darah (Diabetes Melitus).
Resep 2

Persyaratan Administrasi

1. Nama Pasien : Ada


2. Umur Pasien : Ada
3. Jenis Kelamin Pasien : Tidak Ada
4. Berat badan Pasien : Tidak Ada
5. Nama Dokter : Ada
6. SIP dokter : Ada
7. Alamat Dokter : Ada
8. No Tlp Dokter : Tidak Ada
9. Tanggal penulisan Resep : Ada
10. Paraf Dokter ; Ada

Kesesuaian Farmasetik
Glimepirid
1. Nama Obat : Glimepirid (Ada)
2. Bentuk Sediaan : Tablet (Tidak Ada)
3. Kekuatan Sediaan : 2mg (Ada)
4. Stabilitas Penyimpanan : suhu 20-25°C
5. Jumlah Obat : 30 (Ada)

Vitamin B Com

1. Nama Obat : Vitamin B Com (Ada)


2. Bentuk Sediaan : Tablet (Tidak Ada)
3. Kekuatan Sediaan : (Tidak Ada)
4. Stabilitas Penyimpanan : suhu 20-25°C
5. Jumlah Obat : 30 (Ada)

Pertimbangan Klinis
1. 2 komponen obat tersebut tidak mengalami interaksi secara terapeutik.
2. Dilihat dari komposisi , resep yang diberikan dokter untuk penyakit diabetes
mellitus.
3. Glimepiride yang dikombinasikan dengan Vitamin B Com efektif terhadap
penurunan gula darah (Diabetes Melitus).
Resep 3

Persyaratan Administrasi

1. Nama Pasien : Ada


2. Umur Pasien : Ada
3. Jenis Kelamin Pasien : Tidak Ada
4. Berat badan Pasien : Tidak Ada
5. Nama Dokter : Ada
6. SIP dokter : Ada
7. Alamat Dokter : Ada
8. No Tlp Dokter : Tidak Ada
9. Tanggal penulisan Resep : Ada
10. Paraf Dokter : Ada

Kesesuaian Farmasetik
Levemir Flexpen
1. Nama Obat : Levemir Flexpen (Ada)
2. Bentuk Sediaan : Suspensi (Tidak Ada)
3. Kekuatan Sediaan : 100 IU/ml (Tidak Ada)
4. Stabilitas Penyimpanan : suhu 2-8°C
5. Jumlah Obat : 1 (Ada)

Novorapid Flexpen
1. Nama Obat : Novoramid Flexpen (Ada)
2. Bentuk Sediaan : Suspensi (Tidak Ada)
3. Kekuatan Sediaan : 100 IU/ml (Tidak Ada)
4. Stabilitas Penyimpanan : suhu 2-8°C
5. Jumlah Obat : 2 (Ada)

Pertimbangan Klinis
1. 2 komponen obat tersebut tidak mengalami interaksi secara terapeutik.
2. Dilihat dari komposisi , resep yang diberikan dokter untuk penyakit diabetes
mellitus.
3. Levemir Flexpen yang dikombinasikan dengan Novoramid Flexpen efektif terhadap
penurunan gula darah (Diabetes Melitus).
BAB V. KESIMPULAN
A. Kesimpulan
1. Diabetes Melitus (DM) adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh
ketidakmampuan tubuh untuk memproduksi hormon insulin atau karena
penggunaan yang tidak efektif dari produksi insulin. Hal ini ditandai dengan
tingginya kadar gula dalam darah(Kemenkes RI).
2. Diabetes merupakan penyakit kronis yang paling tinggi kenaikan angka
prevalensinya saat ini dan merupakan 10 besar penyebab kematian di dunia
(WHO 2016). Prevalensi penderitanya pun juga terus meningkat.
3. Klasifikasi etiologis diabetes menurut American Diabetes Association 2018 dibagi
dalam 4 jenis yaitu :
a. Diabetes Melitus Tipe 1, terjadi karena adanya destruksi sel beta pankreas
karena sebab autoimun
b. Diabetes Melitus Tipe 2, pada penderita DM tipe ini terjadi hiperinsulinemia
tetapi insulin tidak bisa membawa glukosa masuk ke dalam jaringan karena
terjadi resistensi insulin yang merupakan turunnya kemampuan insulin untuk
merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk
menghambat produksi glukosa oleh hati.
c. Diabetes Melitus Tipe Lain, DM tipe ini terjadi akibat penyakit gangguan
metabolik yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa darah akibat faktor
genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin
pankreas, penyakit metabolik endokrin lain, iatrogenik, infeksi virus, penyakit
autoimun dan sindrom genetik lain yang berkaitan dengan penyakit DM.
Diabetes tipe ini dapat dipicu oleh obat atau bahan kimia (seperti dalam
pengobatan HIV/AIDS atau setelah transplantasi organ).
d. Diabetes Melitus Gestasional, DM tipe ini terjadi selama masa kehamilan,
dimana intoleransi glukosa didapati pertama kali pada masa kehamilan,
biasanya pada trimester kedua dan ketiga.
4. Faktor Resiko Diabetes Melitus yaitu usia, berat badan, riwayat keluarga, gaya
hidup
5. Berikut ini adalah beberapa golongan obat untuk diabetes
a. Metformin (biguanid), Obat diabetes yang termasuk ke dalam golongan
biguanid adalah metformin. Ini adalah obat kencing manis generik yang
paling sering diresepkan dokter untuk pasien diabetes tipe 2.
b. Sulfonilurea, sulfonilurea membantu mengendalikan gula darah dengan
cara merangsang pankreas menghasilkan lebih banyak insulin untuk
mengatasi resistensi insulin yang terjadi. Umumnya, obat golongan
sulfonilurea hanya diperuntukkan untuk pasien diabetes tipe 2. Berikut ini
adalah contoh obat diabetes golongan sulfonilurea yaitu
1) Glibenclamide
2) Glimepiride
3) Gliclazide
4) Glipizide
5) Glimepiride
c. 3.Meglitinide, obat diabetes golongan meglitinide bekerja seperti
sulfonilurea, yaitu merangsang pankreas menghasilkan lebih banyak insulin.
d. Thiazolidinediones (glitazone), thiazolidinediones atau juga dikenal dengan
obat golongan glitazone juga kerap diberikan untuk membantu
mengendalikan kadar gula darah pada pasien diabetes melitus tipe 2.
e. Inhibitor DPP-4 (gliptin), inhibitor dipeptidil peptidase-4 (inhibitor DPP-4)
atau dikenal juga dengan golongan gliptin adalah obat generik untuk
diabetes melitus. Obat gliptin ini bekerja dengan cara menghambat enzim
DPP-4 sehingga inkretin tubuh akan dapat bertahan lebih lama.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmed SS., A. M.Z., L. T.R., B. H.A., dan M. Ali T.M. 2012. Update on
Pharmacotherapy For Type 2 Diabetes. KYAMC Journal. 3(1):250–261.

Departemen Kesehatan RI. 1–89Neubig, R. R., M. Spedding, T. Kenakin, dan A.


Christopoulos. 2003. International union of pharmacology committee on
receptor nomenclature and drug classification . xxxviii . update on terms
and symbols in quantitative pharmacology. 55(4):597–606.

DiPiro, et al. 2015. Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach. Edisi 10th.


McGraw-Hill Companies,Inc.

Istiqomah. 2005. Pharmaceutical care untuk penyakit diabetes mellitus.

Informatorium Obat Nasional Indonesia 2015 (IONI 2015). 2015. Direktorat


Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. Departeman Kesehatan
Republik Indonesia.

Koda-Kimble, M. A., L. Y. Young, B. K. Alldredge, R. L. Corelli, B. J.


Guglielmo, W. A. Kradjan, dan B. R. Williams. 2013. Applied
Therapeutics 9th Edition. Edisi 9 th. Philadelphia: Wolters kluwer. 9.
Lippincott Williams &Wilkins

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2016. Peraturan Menteri Kesehatan


Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia

Lecy C.F., Armstrong L.L., Goldman M.P., L. L. L. 2009. Drug Information

Handbook, 17th Edition. American Pharmacists Association. 2009.

Lewis M Sharon, RN, PhD, Heitkemper MC faan. 2000. Medical Surgical


Nursing Ed.5.Mosby

Muchid, A., F. Umar, M. N. Ginting, C. Basri, R. Wahyuni, R. Helmi, dan S. N.

Pamela, D. S., H. Pahlemy, A. Fitriansyah, S. Suratini, B. D. Jerubu, C. R.


Khristanti, dan A. 2019. Pedoman Pelayanan Kefarmasian Pada Diabetes
Melitus. Kemetrian Kesehatan Republik Indonesia.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016 Tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia

Tripathi, K. & B. Saboo. 2019. RSSDI: Sadikot's International Textbook of


Diabetes. India: Jaypee Brother Medical Publisher (P) Ltd Ganesan, K., &
S. Sultan. 20

Anda mungkin juga menyukai