Anda di halaman 1dari 41

MAKALAH PRAKTIKUM PRESKRIPSI

“DIABETES MELITUS”

Disusun oleh :

Eka Nur Hasana Mukmin 201510410311108


Irene Yuni Farida 201510410311125
Nencylia Mahmintari 201510410311130
Neneng Arfani S 201510410311129
Achmad Fatoni 201510410311142
Dini Berliana 201510410311143
Richa Faidhatul L 201510410311149

Kelompok 4
Farmasi C

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2018
KATA PENGANTAR

Dengan rasa syukur kehadirat dan segala puji bagi tuhan yang maha esa. Yang telah
mencurahkan rahmat dan hidayahnya bagi kita semua. Sehingga kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini yang berjudul “Diabetes Meitus”. Makalah ini disusun oleh penulis
diajukan dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah preskip di Program Studi Farmasi
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Malang .

Penulisan makalah ini menggunakan metode kepustakaan. Dengan ditulisnya makalah


ini kami selaku penulis berharap bahwa yang membaca dapat mengetahui lebih jauh
mengenai DM.

Dengan tersusunnya makalah ini, penulis tak lupa mengucapkan terima kasih kepada
berbagai pihak yang telah memberi bantuan dan dorongan serta bimbingannya. Ucapan
terima kasih tersebut khusus kami sampaikan kepada dosen – dosen mata kuliah Preskirpsi
yang sudah membimbing.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu
kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi peningkatan
makalah.

Malang, 30 April 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................ i


DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
BAB I ......................................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 3
BAB II........................................................................................................................................ 4
PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 4
2.1. Definisi Diabetes Melitus .............................................................................................. 4
2.2 Klasifikasi Diabetes Mellitus ........................................................................................... 5
2.3 Patofisiologi Diabetes Melitus ......................................................................................... 6
2.4 Klasifisikasi Diabetes Mellitus dan Etiologi .................................................................... 7
2.5 Faktor Resiko Diabetes Mellitus ...................................................................................... 9
2.6 Diagnosis ....................................................................................................................... 12
2.7 Komplikasi .................................................................................................................... 14
2.7 Manifestasi Klinis .......................................................................................................... 15
2.8 Terapi non Farmakologi ................................................................................................. 16
2.9 Terapi farmakologi ......................................................................................................... 17
BAB III .................................................................................................................................... 39
PENUTUP................................................................................................................................ 39

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Diabetes Mellitus (DM) yang umum dikenal sebagai kencing manis adalah penyakit
yang ditandai dengan hiperglikemia (peningkatan kadar gula darah) yang terus-menerus dan
bervariasi, terutama setelah makan. Diabetes mellitus merupakan keadaan hiperglikemia
kronik disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal, yang menimbulkan
berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, dan pembuluh darah, disertai lesi pada
membran basalis dalam pemeriksaan dengan mikroskop elektron (Bilous, 2002). Jumlah
penduduk dunia yang sakit diabetes mellitus cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Hal
ini berkaitan dengan jumlah populasi meningkat, pola hidup, prevalensi obesitas meningkat
dan kegiatan fisik kurang (Smeltzer & Bare, 2002).
Laporan dari WHO mengenai studi populasi DM di berbagai Negara, jumlah
penderita diabetes mellitus pada tahun 2000 di Indonesia menempati urutan ke-4 terbesar
dalam jumlah penderita diabetes mellitus dengan prevalensi 8,4 juta jiwa. Urutan diatasnya
adalah India (31,7 juta jiwa), China (20,8 juta jiwa), dan Amerika Serikat (17,7 juta jiwa)
(Darmono, 2007). Pada tahun 2010 jumlah penderita DM di Indonesia minimal menjadi 5
juta dan di dunia 239,9 juta penderita. Diperkirakan pada tahun 2030 prevalensi diabetes
mellitus di Indonesia meningkat menjadi 21,3 juta. Angka kesakitan dan kematian akibat DM
di Indonesia cenderung berfluktuasi setiap tahunnya sejalan dengan perubahan gaya hidup
masyarakat yang mengarah pada makanan siap saji dan sarat karbohidrat (Depkes RI, 2006).
Data Departemen Kesehatan RI menyebutkan bahwa jumlah pasien rawat inap maupun rawat
jalan di Rumah Sakit menempati urutan pertama dari seluruh penyakit endokrin adalah
Diabetes mellitus. Organisasi yang peduli terhadap permasalahan Diabetes, Diabetic
Federation mengestimasi bahwa jumlah penderita Diabetes mellitus di Indonesia pada tahun
2008, terdapat 5,6 juta penderita Diabetes untuk usia diatas 20 tahun, akan meningkat
menjadi 8,2 juta pada tahun 2020, bila tidak dilakukan upaya perubahan pola hidup sehat
pada penderita (Tandra, 2008).
Saat ini, banyak orang masih menanggap penyakit Diabetes Mellitus merupakan
penyakit orang tua atau penyakit yang hanya timbul karena faktor keturunan. Namun, setiap
orang dapat mengidap Diabetes Mellitus baik tua maupun muda. Tingginya kadar glukosa
darah secara terus menerus atau berkepanjangan dapat menyebabkan komplikasi diabetes.
Berdasarkan penelitian Murray (2000) tiap 19 menit ada satu orang di dunia yang terkena

3
stroke, ada satu orang yang buta dan ada satu orang di dunia diamputasi akibat komplikasi
Diabetes Mellitus (Maulana, 2009).
Berbagai komplikasi dapat terjadi jika penatalaksanaan Diabetes Mellitus tidak
optimal. Penatalaksanaan Diabetes Melitus dikenal 4 pilar utama pengelolaan yaitu:
penyuluhan, perencanaan makan, latihan jasmani, dan obat hipoglikemik. 3 Terapi gizi
merupakan komponen utama keberhasilan penatalaksanaan diabetes. Kepatuhan pasien
terhadap prinsip gizi dan perencanaan makan merupakan salah satu kendala pada pasien
diabetes. Penderita diabetes banyak yang merasa tersiksa sehubungan dengan jenis dan
jumlah makanan yang dianjurkan (Maulana, 2009).

BAB II

PEMBAHASAN
2.1. Definisi Diabetes Melitus
Diabetes Melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kinerja insulin
atau kedua-duanya (ADA, 2010). Menurut WHO, Diabetes Melitus (DM) didefinisikan
sebagai suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang
ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme
karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat dari insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi
insulin dapat disebabkan oleh gangguan produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans
kelenjar pankreas atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin
(Depkes,2008).
Berdasarkan Perkeni tahun 2011 Diabetes Mellitus adalah penyakit gangguan
metabolisme yang bersifat kronis dengan karakteristik hiperglikemia. Berbagai komplikasi
dapat timbul akibat kadar gula darah yang tidak terkontrol, misalnya neuropati, hipertensi,
jantung koroner, retinopati, nefropati, dan gangren. Diabetes Mellitus telah menjadi penyebab
kematian terbesar keempat di dunia. Setiap tahun ada 3,2 juta kematian yang disebabkan
langsung oleh diabetes. Terdapat 1 orang per 10 detik atau 6 orang per menit yang meninggal
akibat penyakit yang berkaitan dengan diabetes. Penderita DM di Indonesia sebanyak 4,5 juta
pada tahun 1995, terbanyak ketujuh di dunia. Sekarang angka ini meningkat menjadi 8,4 juta
dan diperkirakan akan menjadi 12,4 juta pada tahun 2025 atau urutan kelima di dunia
(Tandra, 2008).
Provinsi Lampung tercatat pada tahun 2005-2006 jumlah penderita diabetes melitus
mengalami peningkatan 12% dari periode sebelumnya yaitu sebanyak 6.256 penderita

4
(Riskesdas, 2007). Angka kejadian diabetes melitus di provinsi Lampung untuk rawat jalan
pada tahun 2009 mencapai 365 orang dan mengalami peningkatan pada tahun 2010 sejumlah
1103 orang (Dinkes Lampung, 2011).
Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas,2007), menunjukkan prevalensi
diabetes paling tinggi di Kota Bandar Lampung sebesar 0,9% dan terendah di Lampung Utara
0,1%, baik berdasarkan diagnosis maupun gejala. Lampung Barat apabila dihitung dengan
angka prevalensi 1,2% dari seluruh populasi penduduk hampir 500.000 jiwa, maka terdapat
lebih dari 5.000 penderita Diabetes Melitus (diabetisi) yang tersebar di Lampung Barat
(Riskesdas, 2007).
Diabetes Melitus tidak dapat disembuhkan tetapi kadar gula darah dapat dikendalikan
melalui diet, olah raga, dan obat-obatan. Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronis,
diperlukan pengendalian DM yang baik (Perkeni, 2011).

2.2 Klasifikasi Diabetes Mellitus


Klasifikasi diabetes melitus mengalami perkembangan dan perubahan dari waktu ke
waktu. Dahulu diabetes diklasifikasikan berdasarkan waktu munculnya (time of onset).
Diabetesyang muncul sejak masa kanak-kanak disebut “juvenile diabetes”, sedangkan yang
baru munculsetelah seseorang berumur di atas 45 tahun disebut sebagai “adult diabetes”.
Namun klasifikasi ini sudah tidak layak dipertahankan lagi, sebab banyak sekali kasus-kasus
diabetes yang muncul pada usia 20-39 tahun, yang menimbulkan kebingungan untuk
mengklasifikasikannya.
Pada tahun 1968, ADA (American Diabetes Association) mengajukan rekomendasi
mengenai standarisasi uji toleransi glukosa dan mengajukan istilah-istilah Pre-diabetes,
Suspected Diabetes, Chemicalatau Latent Diabetesdan Overt Diabetes untuk
pengklasifikasiannya. British Diabetes Association (BDA) mengajukan istilah yang berbeda,
yaitu Potential Diabetes, Latent Diabetes, Asymptomatic atau Sub-clinical Diabetes, dan
Clinical Diabetes. WHO pun telah beberapa kali mengajukan klasifikasi diabetes melitus.
Pada tahun 1965 WHO mengajukan beberapa istilah dalam pengklasifikasian diabetes, antara
lain Childhood Diabetics, Young Diabetics, Adult Diabeticsdan Elderly Diabetics Pada tahun
1980 WHO mengemukakan klasifikasi baru diabetes melitus memperkuat rekomendasi
National Diabetes Data Group pada tahun 1979 yang mengajukan 2 tipe utama diabetes
melitus, yaitu"Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (IDDM) disebut juga Diabetes Melitus
Tipe 1 dan "Non-Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (NIDDM) yang disebut juga Diabetes
Melitus Tipe 2.

5
Pada tahun 1985 WHO mengajukan revisi klasifikasi dan tidak lagi menggunakan
terminologi DM Tipe 1 dan 2, namun tetap mempertahankan istilah "Insulin-Dependent
Diabetes Mellitus" (IDDM) dan "Non-Insulin-Dependent Diabetes Mellitus"(NIDDM),
walaupun ternyata dalam publikasi-publikasi WHO selanjutnya istilah DM Tipe 1 dan 2 tetap
muncul. Disamping dua tipe utama diabetes melitus tersebut, pada klasifikasi tahun 1980 dan
1985 ini WHO juga menyebutkan 3 kelompok diabetes lain yaitu Diabetes Tipe Lain,
Toleransi Glukosa Terganggu atau Impaired Glucose Tolerance (IGT) dan Diabetes Melitus
Gestasional atau Gestational Diabetes Melitus (GDM).
Pada revisi klasifikasi tahun 1985 WHO juga mengintroduksikan satu tipe diabetes
yang disebut Diabetes Melitus terkait Malnutrisi atau Malnutrition-related Diabetes Mellitus
(MRDM). Klasifkasi ini akhirnya juga dianggap kurang tepat dan membingungkan sebab
banyak kasus NIDDM (Non-Insulin-Dependent Diabetes Mellitus) yang ternyata juga
memerlukan terapi insulin. Saat ini terdapat kecenderungan untuk melakukan
pengklasifikasian lebih berdasarkan etiologi penyakitnya.

2.3 Patofisiologi Diabetes Melitus


Pankreas adalah kelenjar penghasil insulin yang terletak di belakang lambung. Di
dalamnya terdapat kumpulan sel yang berbentuk seperti pula dalam peta, sehingga disebut
dengan pulau - pulau Langerhans pankreas. Pulau-pulau ini berisi sel alpha yang
menghasilkan hormon glukagon dan sel beta yang menghasilkan hormon insulin. Kedua
hormon ini bekerja secara berlawanan, glukagon meningkatkan glukosa darah sedangkan
insulin bekerja menurunkan kadar glukosa darah (Schteingart, 2006).
Insulin yang dihasilkan oleh sel beta pankreas dapat diibaratkan sebagai anak kunci
yang dapat membuka pintu masuknya glukosa ke dalam sel. Dengan bantuan GLUT 4 yang
ada pada membran sel maka insulin dapat menghantarkan glukosa masuk ke dalam sel.
Kemudian di dalam sel tersebut glukosa di metabolisasikan menjadi ATP atau tenaga. Jika
insulin tidak ada atau berjumlah sedikit, maka glukosa tidak akan masuk ke dalam sel dan
akan terus berada di aliran darah yang akan mengakibatkan keadaan hiperglikemia
(Sugondo,2009)

6
Gambar 2.2. Patofisiologi DM
Pada DM tipe 2 jumlah insulin berkurang atau dapat normal, namun reseptor di
permukaan sel berkurang. Reseptor insulin ini dapat diibaratkan lubang kunci masuk pintu ke
dalam sel. Meskipun anak kuncinya (insulin) cukup banyak, namun karena jumlah lubangnya
(reseptornya) berkurang maka jumlah glukosa yang masuk ke dalam sel akan berkurang juga
(resistensi insulin). Sementara produksi glukosa oleh hati terus meningkat, kondisi ini
menyebabkan kadar glukosa meningkat (Schteingart,2006)
Penderita diabetes mellitus sebaiknya melaksanakan 4 pilar pengelolaan diabetes
mellitus yaitu edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani, dan intervensi farmakologis
(ADA,2010). Latihan jasmani secara teratur dapat menurunkan kadar gula darah. Latihan
jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan
memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah
(Vitahealth, 2006).

2.4 Klasifisikasi Diabetes Mellitus dan Etiologi


Klasifikasi etiologi Diabetes mellitus menurut American Diabetes Association,2010
adalah sebagai berikut:
a. Diabetes tipe 1 (destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut):
1) Autoimun.
2) Idiopatik.
Pada Diabetes tipe 1 (Diabetes Insulin Dependent), lebih sering ternyata pada
usia remaja. Lebih dari 90% dari sel pankreas yang memproduksi insulin mengalami
kerusakan secara permanen. Oleh karena itu, insulin yang diproduksi sedikit atau
tidak langsung dapat diproduksikan. Hanya sekitar 10% dari semua penderita diabetes
melitus menderita tipe 1. Diabetes tipe 1 kebanyakan pada usia dibawah 30 tahun.

7
Para ilmuwan percaya bahwa faktor lingkungan seperti infeksi virus atau faktor gizi
dapat menyebabkan penghancuran sel penghasil insulin di pankreas (Merck, 2008).
b. Diabetes tipe 2 (bervariasi mulai yang terutama dominan resistensi insulin disertai
defesiensi insulin relatif sampai yang terutama defek sekresi insulin disertai resistensi
insulin).
Diabetes tipe 2 ( Diabetes Non Insulin Dependent) ini tidak ada kerusakan
pada pankreasnya dan dapat terus menghasilkan insulin, bahkan kadang - kadang
insulin pada tingkat tinggi dari normal. Akan tetapi, tubuh manusia resisten terhadap
efek insulin, sehingga tidak ada insulin yang cukup untuk memenuhi kebutuhan
tubuh. Diabetes tipe ini sering terjadi pada dewasa yang berumur lebih dari 30 tahun
dan menjadi lebih umum dengan peningkatan usia. Obesitas menjadi faktor resiko
utama pada diabetes tipe 2. Sebanyak 80% sampai 90% dari penderita diabetes tipe 2
mengalami obesitas. Obesitas dapat menyebabkan sensitivitas insulin menurun, maka
dari itu orang obesitas memerlukan insulin yang berjumlah sangat besar untuk
mengawali kadar gula darah normal (Merck,2008).
c. Diabetes tipe lain.
1) Defek genetik fungsi sel beta :
2) DNA mitokondria.
3) Defek genetik kerja insulin.
4) Penyakit eksokrin pankreas :
a. Pankreatitis.
b. Tumor/ pankreatektomi
c. Pankreatopati fibrokalkulus.
5) Endokrinopati.
a. Akromegali.
b. Sindroma Cushing.
c. Feokromositoma.
d. Hipertiroidisme.
6) Karena obat/ zat kimia.
7) Pentamidin, asam nikotinat.
8) Glukokortikoid, hormon tiroid.

d. Diabetes mellitus Gestasional

8
Diabetes Mellitus Gestasional (GDM=Gestational Diabetes Mellitus) adalah
keadaan diabetes atau intoleransi glukosa yang timbul selama masa kehamilan, dan
biasanya berlangsung hanya sementara atau temporer. Sekitar 4-5% wanita hamil
diketahui menderita GDM, dan umumnya terdeteksi pada atau setelah trimester
kedua.
Diabetes dalam masa kehamilan, walaupun umumnya kelak dapat pulih sendiri
beberapa saat setelah melahirkan, namun dapat berakibat buruk terhadap bayi yang
dikandung. Akibat buruk yang dapat terjadi antara lain malformasi kongenital,
peningkatan berat badan bayi ketika lahir dan meningkatnya risiko mortalitas
perinatal. Disamping itu, wanita yang pernah menderita GDM akan lebih besar
risikonya untuk menderita lagi diabetes di masa depan. Kontrol metabolisme yang
ketat dapat mengurangi risiko-risiko tersebut
e. Pra-diabetes mellitus
Pra-diabetes adalah kondisi dimana kadar gula darah seseorang berada diantara
kadar normal dan diabetes, lebih tinggi dari pada normal tetapi tidak cukup tinggi
untuk dikatagorikan ke dalam diabetes tipe 2. Penderita pra-diabetes diperkirakan
cukup banyak, di Amerika diperkirakan ada sekitar 41 juta orang yang tergolong pra-
diabetes, disamping 18,2 orang penderita diabetes (perkiraan untuk tahun 2000). Di
Indonesia, angkanya belum pernah dilaporkan, namun diperkirakan cukup tinggi, jauh
lebih tinggi dari pada penderita diabetes. Kondisi pra-diabetes merupakan faktor
risiko untuk diabetes, serangan jantung dan stroke. Apabila tidak dikontrol dengan
baik, kondisi pra-diabetes dapat meningkat menjadi diabetes tipe 2 dalam kurun
waktu 5-10 tahun. Namun pengaturan diet dan olahraga yang baik dapat mencegah
atau menunda timbulnya diabetes. Ada dua tipe kondisi pra-diabetes, yaitu:
- Impaired Fasting Glucose (IFG), yaitu keadaan dimana kadar glukosa darah puasa
seseorang sekitar 100-125 mg/dl (kadar glukosa darah puasa normal: <100 mg/dl),
- Impaired Glucose Tolerance (IGT)atau Toleransi Glukosa Terganggu (TGT),
yaitu keadaan dimana kadar glukosa darah seseorang pada uji toleransi glukosa
berada di atas normal tetapi tidak cukup tinggi untuk dikatagorikan ke dalam
kondisi diabetes. Diagnosa IGT ditetapkan apabila kadar glukosa darah seseorang
2 jam setelah mengkonsumsi 75 gram glukosa per oral berada diantara 140-199
mg/d
2.5 Faktor Resiko Diabetes Mellitus
Faktor risiko diabetes mellitus umumnya di bagi menjadi 2 golongan besar yaitu :

9
1. Faktor yang tidak dapat dimodifikasi
a. Umur
Manusia mengalami penurunan fisiologis setelah umur 40 tahun. Diabetes
mellitus sering muncul setelah manusia memasuki umur rawan tersebut.
Semakin bertambahnya umur, maka risiko menderita diabetes mellitus akan
meningkat terutama umur ≥ 45 tahun(kelompok risiko tinggi).
b. Jenis kelamin
Distribusi penderita diabetes mellitus menurut jenis kelamin sangat
bervariasi. Di Amerika Serikat penderita diabetes mellitus lebih banyak
terjadi pada perempuan daripada laki -laki. Namun, mekanisme yang
menghubungkan jenis kelamin dengan kejadian diabetes mellitus belum
jelas.
c. Bangsa dan etnik
Berdasarkan penelitian terakhir di 10 negara menunjukkan bahwa bangsa
Asia lebih berisiko terserang diabetes mellitus dibandingkan bangsa Barat.
Hasil dari penelitian tersebut mengatakan bahwa secara keseluruhan bangsa
Asia kurang berolahraga dibandingkan bangsa - bangsa di benua Barat.
Selain itu, kelompok etnik tertentu juga berpengaruh terutama Cina, India,
dan Melayu lebih berisiko terkena diabetes mellitus.
d. Faktor keturunan
Diabetes mellitus cenderung di turunkan, bukan ditularkan. Adanya riwayat
diabetes mellitus dalam keluarga terutama orang tua dan saudara kandung
memiliki risiko lebih besar terkena penyakit ini dibandingkan dengan
anggota keluarga yang tidak menderita diabetes. Ahli menyebutkan bahwa
diabetes mellitus merupakan penyakit yang terpaut kromosom seks atau
kelamin. Umumnya laki- laki menjadi penderita sesungguhnya, sedangkan
perempuan sebagai pihak yang membawa gen untuk diwariskan kepada anak
 anaknya.
e. Riwayat menderita diabetes gestasional.
Diabetes gestasional dapat terjadi sekitar 2-5 % pada ibu hamil. Biasanya
diabetes akan hilang setelah anak lahir. Namun, dapat pula terjadi diabetes
dikemudian hari. Ibu hamil yang menderita diabetes akan melahirkan bayi
besar dengan berat badan lebih dari 4000 gram. Apabila hal ini terjadi, maka
kemungkinan besar si ibu akan mengidap diabetes tipe 2 kelak.

10
f. Riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lahir lebih dari 4000 gram.
2. Faktor yang dapat dimodifikasi :
a. Obesitas
Berdasarkan beberapa teori menyebutkan bahwa obesitas merupakan faktor
predisposisi terjadinya resistensi insulin. Semakin banyak jaringan lemak
pada tubuh, maka tubuh semakin resisten terhadap kerja insulin, terutama
bila lemak tubuh atau kelebihan berat badan terkumpul didaerah sentral atau
perut (central obesity). Lemak dapat memblokir kerja insulin sehingga
glukosa tidak dapat diangkut kedalam sel dan menumpuk dalam pembuluh
darah, sehingga terjadi peningkatan kadar glukosa darah. Obesitas
merupakan faktor risiko terjadinya diabetes mellitus tipe 2 dimana sekitar 80-
90% penderita mengalami obesitas.
b. Aktifitas fisik yang kurang
Berdasarkan penelitian bahwa aktifitas fisik yang dilakukan secara teratur
dapat menambah sensitifitas insulin. Prevalensi diabetes mellitus mencapai
2-4 kali lipat terjadi pada individu yang kurang aktif dibandingkan dengan
individu yang aktif. Semakin kurang aktifitas fisik, maka semakin mudah
seseorang terkena diabetes. Olahraga atau aktifitas fisik dapat membantu
mengontrol berat badan. Glukosa dalam darah akan dibakar menjadi energi,
sehingga sel - sel tubuh menjadi lebih sensitif terhadap insulin. Selain itu,
aktifitas fisik yang teratur juga dapat melancarkan peredaran darah, dan
menurunkan faktor risiko terjadinya diabetes mellitus.
c. Hipertensi
Hipertensi merupakan suatu keadaan dimana tekanan darah sistole ≥ 140
mmHg atau tekanan darah diastole ≥ 90 mmHg. Hipertensi dapat
menimbulkan berbagai penyakit yaitu stroke, penyakit jantung koroner,
gangguan fungsi ginjal, gangguan penglihatan. Namun, hipertensi juga dapat
menimbulkan resistensi insulin dan merupakan salah satu faktor risiko
terjadinya diabetes mellitus. Akan tetapi, mekanisme yang menghubungkan
hipertensi dengan resistensi insulin masih belum jelas, meskipun sudah jelas
bahwa resistensi insulin merupakan penyebab utama peningkatan kadar
glukosa darah.
d. Stress

11
Kondisi stres kronik cenderung membuat seseorang mencari makanan yang
manis - manis dan berlemak tinggi untuk meningkatkan kadar serotonin
pada otak. Serotonin mempunyai efek penenang sementara untuk meredakan
stresnya. Tetapi efek mengkonsumsi makanan yang manis - manis dan
berlemak tinggi terlalu banyak berbahaya bagi mereka yang berisiko terkena
diabetes mellitus.
e. Pola makan
Pola makan yang salah dapat mengakibatkan kurang gizi atau kelebihan berat
badan. Kedua hal tersebut dapat meningkatkan risiko terkena diabetes.
Kurang gizi (malnutrisi) dapat menganggu fungsi pankreas dan
mengakibatkan gangguan sekresi insulin. Sedangkan kelebihan berat badan
dapat mengakibatkan gangguan kerja insulin.
f. Penyakit pada pankreas : pankreatitis, neoplasma, fibrosis kistik.
g. Alkohol
Alkohol dapat menyebabkan terjadinya inflamasi kronis pada pankreas yang
dikenal dengan istilah pankreatitis. Penyakit tersebut dapat menimbulkan
gangguan produksi insulin dan akhirnya dapat menyebabkan diabetes
mellitus.

2.6 Diagnosis
Cara diagnosis diabetes melitus dapat dilihat dari peningkatkan kadar glukosa
darahnya. Terdapat beberapa kriteria diagnosis Diabetes Melitus berdasarkan nilai kadar
gula darah, berikut ini adalah kriteria diagnosis berdasarkan American Diabetes
Association tahun 2010. Kriteria Diagnostik Diabetes melitus menurut American
Diabetes Association 2010 :
1. Gejala klasik DM dengan glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/ dl (11.1 mmol/L).
Glukosa darah sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari
tanpa memperhatikan waktu makan terakhir. Gejala klasik adalah: poliuria,
polidipsia dan berat badan turun tanpa sebab.
2. Kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/ dl (7.0 mmol/L).Puasa adalah pasien tak
mendapat kalori sedikitnya 8 jam.
3. Kadar glukosa darah 2 jam PP ≥ 200 mg/ dl (11,1 mmol/L). Tes Toleransi
Glukosa Oral dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa
yang setara dengan 75 gr glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.

12
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka
dapat digolongkan ke dalam kelompok Toleransi Glukosa Terganggu (TTGO)
atau Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT) tergantung dari hasil yang
dipeoleh :
TGT : glukosa darah plasma 2 jam setelah beban antara 140-199 mg/dl (7,8-
11,0 mmol/L)
GDPT : glukosa darah puasa antara 100–125 mg/dl (5,6-6,9 mmol/L)
Berikut ini adalah langkah - langkah diagnosis DM :

Tabel 2.1. Alur Diagnostik DM dan Toleransi Glukosa Terganggu

13
Diagnosis diabetes mellitus ditegakkan berdasarkan gejala klasik yaitu
Polifagia, Polidipsia, Poliuria, penurunan berat badan yang tidak jelas sebabnya, dan
hasil pemeriksaan darah yang menunjukkan hiperglikemia positif. Diagnosis diabetes
mellitus dapat ditegakkan melalui tiga cara, yaitu :
1. Apabila ditemukan keluhan klasik dan pada pemeriksaan kadar glukosa darah
sewaktu ≥ 200 mg/dL sudah cukup untuk mendiagnosis penyakit diabetes mellitus.
Glukosa darah sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat tanpa memperhatikan
waktu makan terakhir.
2. Apabila ditemukan keluhan klasik dan pada pemeriksaan glukosa darah puasa ≥
126 mg/dL. Yang dimaksud puasa pada pemeriksaan ini adalah pasien tidak
mendapat kalori tambahan paling sedikit 8 jam.
3. Dengan memeriksa test toleransi glukosa oral (TTGO). Pemeriksaan ini dilakukan
dengan memberikan beban glukosa yang setara dengan 75 gr glukosa anhidrus
yang dilarutkan dalam air. kemudian setelah 2 jam diperiksa kadar glukosa darah
pasca pembebanan didapatkan hasil ≥ 200 mg/dL. Pemeriksaan TTGO lebih
sensitif dan lebih spesifik bila dibandingkan dengan pemeriksaan glukosa darah
puasa. Namun pemeriksaan ini lebih sulit dilakukan, sehingga dalam praktek
jarang dilakukan.

2.7 Komplikasi
1. Komplikasi akut
a. Ketoasidosis diabetikum
Ketoasidosis diabetikum ditandai dengan hiperglikemia, asidosis dan ketosis.
Glukosuria dan ketonuria dapat mengakibatkan diuresis osmotik, sehingga
mengakibatkan pasien mengalami dehidrasi dan kehilangan elektrolit. Pasien dapat
menjadi hipotensi dan mengalami syok bahkan mengalami koma dan meninggal.

b. Koma hiperosmolar non ketotik


Koma hiperosmolar non ketotik sering terjadi pada penderita diabetes mellitus tipe 2.
Komplikasi ini ditandai dengan hiperglikemia tanpa disertai ketosis. Gejala khasnya
adalah dehidrasi berat, hiperglikemia berat, pernafasan cepat dan dalam (kussmaul).

c. Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan munculnya rasa lapar, pusing, banyak keringat,
gemetar, berdebar - debar, gelisah, dan kesadaran menurun sampai koma.
2. Komplikasi kronik

14
Komplikasi kronik diabetes mellitus terdiri dari komplikasi makrovaskular dan
komplikasi mikrovaskular. Komplikasi makrovaskular, meliputi penyakit jantung
koroner, pembuluh darah kaki (gangren), stroke, dan hipertensi. Sedangkan
komplikasi mikrovaskular, meliputi retinopati, neuropati, dan nefropati.
3. Impotensi
Kadar glukosa darah tinggi dalam jangka waktu yang panjang dapat
menyebabkan terjadinya kerusakan lapisan endotel arteri. Kerusakan sel-sel endotel
akan mencetuskan reaksi imunitas dan inflamasi sehingga terjadi penimbunan
endapan lemak, trombosit,makrofag, neutrofil, dan monosit di seluruh kedalaman
tunika intima (lapisan endotel) dan akhirnya ke tunika media (lapisan otot polos).
Hal tersebut menyebabkan terjadinya aterosklerosis (pengerasan arteri). Bila
terjadi aterosklerosis pada arteri – arteri penis, aliran darah ke penis akan berkurang
dan terjadi penurunan kemampuan arteri - arteri penis untuk berdilatasi sewaktu
perang sangan seksual. Sehingga dapat menyebabkan terjadinya ketidakmampuan pria
untuk mencapai atau mempertahankan ereksi (impotensi).

4. Rentan terjadi infeksi


Penderita diabetes mellitus rentan terjadi infeksi, antara lain :
Infeksi saluran kemih , Pneumonia, Ulkus diabetik, Infeksi kulit (abses), Infeksi pada
rongga mulut, Infeksi pada telinga.

2.7 Manifestasi Klinis


Gejala pada penderita diabetes mellitus disebut juga dengan istilah 3 P, yaitu Polifagia
(banyak makan), Polidipsia (banyak minum), dan Poliuria (banyak kencing). Bila
keadaan ini tidak cepat diobati, dalam jangka waktu yang panjang gejala yang dirasakan
bukan 3 P lagi, melainkan 2 P saja (Polidipsia dan Poliuria) dan beberapa keluhan lain
seperti nafsu makan mulai berkurang, penurunan berat badan, cepat lelah, badan lemah,
kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada
wanita.
Di samping gejala diatas, ada juga gejala yang sering tampak setelah terjadi
komplikasi kronis antara lain : kesemutan, kulit terasa panas (neuropati), kram, mata
kabur, infeksi jamur pada alat reproduksi wanita, kemampuan seksual menurun bahkan
impotensi, luka lama sembuh, pada ibu hamil sering mengalami keguguran atau
kematian janin dalam kandungan, atau melahirkan dengan berat badan lahir bayi lebih
dari 4000 gram.
 Pada DM Tipe I gejala klasik yang umum dikeluhkan adalah poliuria, polidipsia,
polifagia, penurunan berat badan, cepat merasa lelah (fatigue), iritabilitas, dan
pruritus (gatal-gatal pada kulit). ƒ

15
 Pada DM Tipe 2 gejala yang dikeluhkan umumnya hampir tidak ada. DM Tipe 2
seringkali muncul tanpa diketahui, dan penanganan baru dimulai beberapa tahun
kemudian ketika penyakit sudah berkembang dan komplikasi sudah terjadi.
Penderita DM Tipe 2 umumnya lebih mudah terkena infeksi, sukar sembuh dari
luka, daya penglihatan makin buruk, dan umumnya menderita hipertensi,
hiperlipidemia, obesitas, dan juga komplikasi pada pembuluh darah dan syaraf.

2.8 Terapi non Farmakologi


1. Pengaturan Diet
Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan diabetes. Diet
yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal
karbohidrat, protein dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut:
• Karbohidrat : 60-70%
• Protein : 10-15%
• Lemak : 20-25%
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut dan
kegiatan fisik, yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan mempertahankan
berat badan ideal.
Penurunan berat badan telah dibuktikan dapat mengurangi resistensi insulin
dan memperbaiki respons sel-sel β terhadap stimulus glukosa. Dalam salah satu
penelitian dilaporkan bahwa penurunan 5% berat badan dapat mengurangi kadar
HbA1c sebanyak 0,6% (HbA1c adalah salah satu parameter status DM), dan setiap
kilogram penurunan berat badan dihubungkan dengan 3-4 bulan tambahan waktu
harapan hidup. Selain jumlah kalori, pilihan jenis bahan makanan juga sebaiknya
diperhatikan. Masukan kolesterol tetap diperlukan, namun jangan melebihi 300 mg
per hari. Sumber lemak diupayakan yang berasal dari bahan nabati, yang mengandung
lebih banyak asam lemak tak jenuh dibandingkan asam lemak jenuh. Sebagai sumber
protein sebaiknya diperoleh dari ikan, ayam (terutama daging dada), tahu dan tempe,
karena tidak banyak mengandung lemak. Masukan serat sangat penting bagi penderita
diabetes, diusahakan paling tidak 25 g per hari.
Disamping akan menolong menghambat penyerapan lemak, makanan berserat
yang tidak dapat dicerna oleh tubuh juga dapat membantu mengatasi rasa lapar yang
kerap dirasakan penderita DM tanpa risiko masukan kalori yang berlebih. Disamping
itu makanan sumber serat seperti sayur dan buah-buahan segar umumnya kaya akan
vitamin dan mineral.
2. Olah Raga

16
Berolah raga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula darah
tetap normal. Saat ini ada dokter olah raga yang dapat dimintakan nasihatnya untuk
mengatur jenis dan porsi olah raga yang sesuai untuk penderita diabetes. Prinsipnya,
tidak perlu olah raga berat, olah raga ringan asal dilakukan secara teratur akan sangat
bagus pengaruhnya bagi kesehatan.
Olahraga yang disarankan adalah yang bersifat CRIPE(Continuous, Rhytmical,
Interval, Progressive, Endurance Training). Sedapat mungkin mencapai zona sasaran
75-85% denyut nadi maksimal (220-umur), disesuaikan dengan kemampuan dan
kondisi penderita.
Beberapa contoh olah raga yang disarankan, antara lain jalan atau lari pagi,
bersepeda, berenang, dan lain sebagainya. Olahraga aerobik ini paling tidak dilakukan
selama total 30-40 menit per hari didahului dengan pemanasan 5-10 menit dan
diakhiri pendinginan antara 5-10 menit. Olah raga akan memperbanyak jumlah dan
meningkatkan aktivitas reseptor insulin dalam tubuh dan juga meningkatkan
penggunaan glukosa.

2.9 Terapi farmakologi


Terapi farmakologi ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai dengan
terapi non farmakologi.

2.9.1 Terapi obat Hipoglekemik Oral


Obat-obat hipoglikemik oral terutama ditujukan untuk membantu penanganan pasien
DM Tipe II. Pemilihan obat hipoglikemik oral yang tepat sangat menentukan keberhasilan
terapi diabetes. Bergantung pada tingkat keparahan penyakit dan kondisi pasien,
farmakoterapi hipoglikemik oral dapat dilakukan dengan menggunakan satu jenis obat atau
kombinasi dari dua jenis obat. Pemilihan dan penentuan rejimen hipoglikemik yang
digunakan harus mempertimbangkan tingkat keparahan diabetes (tingkat glikemia) serta
kondisi kesehatan pasien secara umum termasuk penyakit-penyakit lain dan komplikasi yang
ada. (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).
a. Penggolongan Obat hipoglekemik Oral
Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat hipoglikemik oral dapat dibagi menjadi 3
golongan, yaitu:
a) Obat-obat yang meningkatkan sekresi insulin, meliputi obat hipoglikemik oral golongan
sulfonilureadan glinida (meglitinida danturunan fenilalanin).
b) Sensitiser insulin (obat-obat yang dapat meningkatkan sensitifitas sel terhadap insulin),
meliputi obat-obat hipoglikemik golongan biguanida dan tiazolidindion, yang dapat
membantu tubuh untuk memanfaatkan insulin secara lebih efektif.

17
c) Inhibitor katabolisme karbohidrat, antara lain inhibitor α-glukosidase yang bekerja
menghambat absorpsi glukosa dan umum digunakan untuk mengendalikan hiperglikemia
post-prandial (post-meal hyperglycemia). Disebut juga “starch-blocker”

Golongan Nama Obat Mekanisme Kerja


Sulfonilurea Gliburida/ Merangsang sekresi insulin di kelenjar
Glibenklamid pankreas, sehingga hanya efektif pada penderita
Glipizida diabetes yang se-sel β pankreasnya masih
Glikazida berfungsi dengan baik
Glimepirida
Glikuidon

Turunan Fenilalamin Nateglinid Meningkatkan kecepatan insulin oleh pankreas.

Meglitinida Repaglinid Merangsang sekresi insulin di kelenjar pankreas

Biguanida Metformin Bekerja langsung pada hati (hepar),


menurunkan produksi glukosa hati. Tidak
merangsang sekresi insulin oleh kelenjar
pankreas

Tiazolidindion Rosiglitazon Meningkatkan kepekatan tubuh terhadap


Troglitazon insulin. Berikatan dengan peroxisome
Pioglitazon proliferators actived receptor gamma/PPAR
gamma di otot, jaringan lemak, dan hati untuk
menurunkan resistensi insulin

Inhibitor Acarbose Menghambat kerja enzim-enzim pencenaan


α-glukosidase Miglitol yang mencerna karbohidrat, sehingga
memperlambat absorpsi glukosa ke dalam darah

Gambar. Pengolongan obat


a. Golongan Sulfonilurea
Merupakan obat hipoglikemik oral yang paling dahulu ditemukan. Sampai beberapa tahun
yang lalu, dapat dikatakan hampir semua obat hipoglikemik oral merupakan golongan
sulfonilurea. Obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea merupakan obat pilihan (drug of
choice) untuk penderita diabetes dewasa baru dengan berat badan normal dan kurang serta

18
tidak pernah mengalami ketoasidosis sebelumnya. Senyawa-senyawa sulfonilurea sebaiknya
tidak diberikan pada penderita gangguan hati, ginjal dan tiroid. Obat-obat kelompok ini
bekerja merangsang sekresi insulin di kelenjar pancreas, oleh sebab itu hanya efektif apabila
sel-sel β Langerhans pankreas masih dapat berproduksi. Penurunan kadar glukosa darah yang
terjadi setelah pemberian senyawa-senyawa sulfonilurea disebabkan oleh perangsangan
sekresi insulin oleh kelenjar pancreas. Sifat perangsangan ini berbeda dengan perangsangan
oleh glukosa, karena ternyata pada saat glukosa (atau kondisi hiperglikemia) gagal
merangsang sekresi insulin, senyawa-senyawa obat ini masih mampu meningkatkan sekresi
insulin. Oleh sebab itu, obat-obat golongan sulfonilurea sangat bermanfaat untuk penderita
diabetes yang kelenjar pankreasnya masih mampu memproduksi insulin, tetapi karena
sesuatu hal terhambat sekresinya. Pada penderita dengan kerusakan sel-sel βLangerhans
kelenjar pancreas, pemberian obat-obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea tidak
bermanfaat. Pada dosis tinggi, sulfonilurea menghambat degradasi insulin oleh hati. Absorpsi
senyawa-senyawa sulfonilurea melalui usus cukup baik, sehingga dapat diberikan per oral.
Setelah diabsorpsi, obat ini tersebar ke seluruh cairan ekstrasel. Dalam plasma sebagian
terikat pada protein plasma terutama albumin (70-90%).
- Efek Samping (Handoko dan Suharto, 1995; IONI, 2000)
Efek samping obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea umumnya ringan dan
frekuensinya rendah, antara lain gangguan saluran cerna dan gangguan susunan syaraf pusat.
Gangguan saluran cerna berupa mual, diare, sakit perut, hipersekresi asam lambung dan sakit
kepala. Gangguan susunan syaraf pusat berupa vertigo, bingung, ataksia dan lain sebagainya.
Gejala hematologik termasuk leukopenia, trombositopenia, agranulosistosis dan anemia
aplastik dapat terjadi walau jarang sekali. Klorpropamida dapat meningkatkan ADH
(Antidiuretik Hormon). Hipoglikemia dapat terjadi apabila dosis tidak tepat atau diet terlalu
ketat, juga pada gangguan fungsi hati atau ginjal atau pada lansia. Hipogikemia sering
diakibatkan oleh obat-obat hipoglikemik oral dengan masa kerja panjang.
- Interaksi Obat (Handoko dan Suharto, 1995; IONI, 2000)
Banyak obat yang dapat berinteraksi dengan obat-obat sulfonilurea, sehingga risiko
terjadinya hipoglikemia harus diwaspadai. Obat atau senyawa-senyawa yang dapat
meningkatkan risiko hipoglikemia sewaktu pemberian obat-obat hipoglikemik sulfonilurea
antara lain: alkohol, insulin, fenformin, sulfonamida, salisilat dosis besar, fenilbutazon,
oksifenbutazon, probenezida, dikumarol, kloramfenikol, penghambat MAO (Mono Amin
Oksigenase), guanetidin, steroida anabolik, fenfluramin, dan klofibrat.
- Peringatan dan Kontraindikasi(IONI, 2000 dan )

19
Penggunaan obat-obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea harus hati-hati pada pasien
usia lanjut, wanita hamil, pasien dengan gangguan fungsi hati, dan atau gangguan fungsi
ginjal. Klorpropamida dan glibenklamida tidak disarankan untuk pasien usia lanjut dan pasien
insufisiensi ginjal. Untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal masih dapat digunakan
glikuidon, gliklazida, atau tolbutamida yang kerjanya singkat.
• Wanita hamil dan menyusui, porfiria, dan ketoasidosis merupakan kontra indikasi bagi
sulfonilurea.
• Tidak boleh diberikan sebagai obat tunggal pada penderita diabetes yuvenil, penderita
yang kebutuhan insulinnya tidak stabil, dan diabetes melitus berat.
• Obat-obat golongan sulfonilurea cenderung meningkatkan berat badan. Ada beberapa
senyawa obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea yang saat ini beredar (Tabel 9).
Obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea generasi pertama yang dipasarkan sebelum
1984 dan sekarang sudah hampir tidak dipergunakan lagi antara lain asetoheksamida,
klorpropamida, tolazamida dan tolbutamida.
Yang saat ini beredar adalah obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea generasi kedua
yang dipasarkan setelah 1984, antara lain gliburida (glibenklamida), glipizida, glikazida,
glimepirida, dan glikuidon. Senyawa-senyawa ini umumnya tidak terlalu berbeda
efektivitasnya, namun berbeda dalam farmakokinetikanya, yang harus dipertimbangkan
dengan cermat dalam pemilihan obat yang cocok untuk masing-masing pasien dikaitkan
dengan kondisi kesehatan dan terapi lain yang tengah dijalani pasien
Sulfonilurea generasi pertama
Tolbutamid diabsorbsi dengan baik tetapi cepat dimetabolisme dalam hati. Masa
kerjanya relatif singkat, dengan waktu paruh eliminasi 4-5 jam (Katzung, 2002). Dalam darah
tolbutamid terikat protein plasma. Di dalam hati obat ini diubah menjadi karboksitolbutamid
dan diekskresi melalui ginjal (Handoko dan Suharto, 1995).
Asektoheksamid dalam tubuh cepat sekali mengalami biotransformasi, masa paruh
plasma 0,5-2 jam. Tetapi dalam tubuh obat ini diubah menjadi 1- hidroksilheksamid yang
ternyata lebih kuat efek hipoglikemianya daripada asetoheksamid sendiri. Selain itu itu 1-
hidroksilheksamid juga memperlihatkan masa paruh yang lebih panjang, kira-kira 4-5 jam
(Handoko dan Suharto, 1995).
Klorpropamid cepat diserap oleh usus, 70-80% dimetabolisme di dalam hati dan
metabolitnya cepat diekskresi melalui ginjal. Dalam darah terikat albumin, masa paruh kira-
kira 36 jam sehingga efeknya masih terlihat beberapa hari setelah pengobatan dihentikan
(Handoko dan Suharto, 1995).

20
Tolazamid diserap lebih lambat di usus daripada sulfonilurea lainnya dan efeknya
pada glukosa darah tidak segera tampak dalam beberapa jam setelah pemberian. Waktu
paruhnya sekitar 7 jam (Katzung, 2002).
Sulfonilurea generasi kedua
Gliburid (glibenklamid) khasiat hipoglikemisnya yang kira-kira 100 kali lebih kuat
daripada tolbutamida. Sering kali ampuh dimana obat-obat lain tidak efektif lagi, risiko
hipoglikemia juga lebih besar dan sering terjadi. Pola kerjanya berlainan dengan sulfonilurea
yang lain yaitu dengan single-dose pagi hari mampu menstimulasi sekresi insulin pada setiap
pemasukan glukosa (selama makan) (Tjay dan Rahardja, 2002).
Obat ini dimetabolisme di hati, hanya 21% metabolit diekresi melalui urin dan sisanya
diekskresi melalui empedu dan ginjal (Handoko dan Suharto, 1995).
Glipizid memiliki waktu paruh 2-4 jam, 90% glipizid dimetabolisme dalam hati
menjadi produk yang aktif dan 10% diekskresikan tanpa perubahan melalui ginjal (Katzung,
2002).
Glimepiride dapat mencapai penurunan glukosa darah dengan dosis paling rendah dari
semua senyawa sulfonilurea. Dosis tunggal besar 1 mg terbukti efektif dan dosis harian
maksimal yang dianjurkan adalah 8 mg. Glimepiride mempunya waktu paruh 5 jam dan
dimetabolisme secara lengkap oleh hati menjadi produk yang tidak aktif (Katzung, 2002).

Obat Hipoglikemik Oral Keterangan


Gliburida Memiliki efek hipoglikemik yang poten
(Glibenklamida) sehingga pasien perlu diingatkan untuk
Contoh Sediaan melakukan jadwal makan yang ketat.
: Gliburida dimetabolisme dalam hati, hanya
Glibenclamide (generik) 25% metabolit diekskresi melalui ginjal,
Abenon (Heroic) sebagian besar diekskresi melalui empedu
Clamega (Emba dan dikeluarkan bersama tinja. Gliburida
Megafarma) efektif dengan pemberian dosis tunggal. Bila
Condiabet (Armoxindo) pemberian dihentikan, obat akan bersih
Daonil (Aventis) keluar dari serum setelah 36 jam.
Diacella (Rocella) Diperkirakan mempunyai efek terhadap
Euglucon (Boehringer agregasi trombosit. Dalam batas-batas
Mannheim, Phapros) tertentu masih dapat diberikan pada

21
Fimediab (First Medipharma) beberapa pasien dengan kelainan fungsi hati
Glidanil (Mersi) dan ginjal. (Handoko dan Suharto, 1995;
Gluconic (Nicholas) Soegondo, 1995b)
Glimel (Merck)
Hisacha (Yekatria Farma)
Latibet (Ifars)
Libronil (Hexpharm Jaya)
Prodiabet (Bernofarm)

Prodiamel (Corsa)
Renabetic (Fahrenheit)
Semi Euglucon (Phapros,
Boeh. Mannheim)
Tiabet (Tunggal IA)

Glipizida Mempunyai masa kerja yang lebih lama


Contoh Sediaan dibandingkan dengan glibenklamid tetapi
: lebih pendek dari pada klorpropamid.
Aldiab (Merck) Kekuatan hipoglikemiknya jauh lebih besar
Glucotrol (Pfizer) dibandingkan dengan tolbutamida.
Glyzid (Sunthi Sepuri) Mempunyai efek menekan produksi glukosa
Minidiab (Kalbe Farma) hati dan meningkatkan jumlah reseptor
Glucotrol insulin. Glipizida diabsorpsi lengkap sesudah
pemberian per oral dan dengan cepat
dimetabolisme dalam hati menjadi metabolit
yang tidak aktif. Metabolit dan kira-kira 10%
glipizida utuh diekskresikan melalui ginjal
(Handoko dan Suharto, 1995; Soegondo,
1995b).

22
Glikazida Mempunyai efek hipoglikemik sedang
Contoh Sediaan sehingga tidak begitu sering menyebabkan
: efek hipoglikemik. Mempunyai efek anti
ƒ agregasi trombosit yang lebih poten. Dapat
Diamicron (Darya Varia) diberikan pada penderita gangguan fungsi
ƒ hati dan ginjal yang ringan (Soegondo,
Glibet (Dankos) 1995b)
ƒ
Glicab (Tempo Scan
Pacific)
Glidabet (Kalbe Farma)
Glikatab (Rocella Lab)
Glucodex (Dexa Medica)
Glumeco (Mecosin)
Gored (Bernofarm)
Linodiab (Pyridam)
Nufamicron (Nufarindo)
Pedab (Otto)
Tiaglip (Tunggal IA)
Xepabet (Metiska Farma)
Zibet (Meprofarm)
Zumadiac (Prima Hexal)

Memiliki waktu mula kerja yang pendek dan


Glimepirida waktu kerja yang lama, sehingga umum
Contoh Sediaan diberikan dengan cara pemberian dosis
: tunggal. Untuk pasien yang berisiko tinggi,
Amaryl yaitu pasien usia lanjut, pasien dengan
gangguan ginjal atau yang melakukan
aktivitas berat dapat diberikan obat ini.
Dibandingkan dengan glibenklamid,
glimepirid
lebih jarang menimbulkan efek hipoglikemik

23
pada awal pengobatan (Soegondo, 1995b).

Glikuidon Mempunyai efek hipoglikemik sedang dan


Contoh Sediaan jarang menimbulkan serangan hipoglikemik.
: Karena hampir seluruhnya diekskresi melalui
Glurenorm (Boehringer empedu dan usus, maka dapat diberikan
Ingelheim) pada pasien dengan gangguan fungsi hati
dan ginjal yang agak berat (Soegondo,
1995b).

b. Golongan Biguanida
Golongan ini yang tersedia adalah metformin, metformin menurunkan glukosa darah
melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat selular dan menurunkan produksi
gula hati. Metformin juga menekan nafsu makan hingga berat badan tidak meningkat,
sehingga layak diberikan pada penderita yang overweight (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes,
2005).
Obat hipoglikemik oral golongan biguanida bekerja langsung pada hati (hepar),
menurunkan produksi glukosa hati. Senyawa-senyawa golongan biguanida tidak merangsang
sekresi insulin, dan hampir tidak pernah menyebabkan hipoglikemia. Satu-satunya senyawa
biguanida yang masih dipakai sebagai obat hipoglikemik oral saat ini adalah metformin.
Metformin masih banyak dipakai di beberapa negara termasuk Indonesia, karena frekuensi
terjadinya asidosis laktat cukup sedikit asal dosis tidak melebihi 1700 mg/hari dan tidak ada
gangguan fungsi ginjal dan hati.
- Efek Samping(Soegondo, 1995b)
Efek samping yang sering terjadi adalah nausea, muntah, kadang-kadang diare, dan dapat
menyebabkan asidosis laktat.
- Kontra Indikasi

24
Sediaan biguanida tidak boleh diberikan pada penderita gangguan fungsi hepar, gangguan
fungsi ginjal, penyakit jantung kongesif dan wanita hamil. Pada keadaan gawat juga
sebaiknya tidak diberikan biguanida.
Obat Hipoglikemik Oral Keterangan
Metformin Satu-satunya golongan biguanida yang masih
Contoh Sediaan: dipergunakan sebagai obat hipoglikemik oral.
Metformin (generic) Bekerja menurunkan kadar glukosa darah
Benoformin (Benofarma) dengan memperbaiki transport glukosa ke
Bestab (Yekatria) dalam sel-sel otot. Obat ini dapat
Diabex (Combiphar) memperbaiki uptakeglukosa sampai sebesar
Eraphage (Guardian) 10-40%. Menurunkan produksi glukosa hati
Formell (Alpharma) dengan jalan mengurangi glikogenolisis dan
Glucotika (Ikapharmindo) glukoneogenesis (Soegondo, 1995b)
Glucophage (Merck)
Gludepatic (Fahrenheit)
Glumin (Dexa Medica)
Methpica (Tropica Mas)
Neodipar (Aventis)
Rodiamet (Rocella)
Tudiab (Meprofarm)
Zumamet (Prima Hexal)
Metformin satu-satunya golongan biguanid yang tersedia, mempunyai mekanisme
kerja yang berbeda dengan sulfonilurea, keduanya tidak dapat dipertukarkan. Efek utamanya
adalah menurunkan glukoneogenesis dan meningkatkan penggunaan glukosa di jaringan.
Karena kerjanya hanya bila ada insulin endogen, maka hanya efektif bila masih ada fungsi
sebagian sel islet pankreas. Metformin merupakan obat pilihan pertama pasien dengan berat
badan berlebih dimana diet ketat gagal untuk mengendalikan diabetes, jika sesuai bisa juga
digunakan sebagai pilihan pada pasien dengan berat badan normal. Juga digunakan untuk
diabetes yang tidak dapat dikendalikan dengan terapi sulfonilurea. Jika kombinasi diet ketat
dengan terapi metformin gagal, pilihan lainnya meliputi:
 Kombinasi dengan akarbosa yang mungkin mempunyai manfaat, tapi flatulensi dapat
menjadi masalah.
 Kombinasi dengan insulin tapi peningkatan berat badan dan hipoglikemia dapat menjadi
masalah (kenaikan berat badan menjadi minimal jika insulin diberikan pada malam hari).
 Kombinasi dengan sulfonilurea, (laporan peningkatan risiko bahaya pada penggunaan
kombinasi ini belum pasti).
 Kombinasi dengan pioglitazon.
 Kombinasi dengan repaglinid atau nateglinid.

25
Terapi insulin hampir selalu diperlukan pada kedaruratan medis dan bedah; sebaiknya
digantikan dengan insulin sebelum suatu pembedahan terencana, (pemberian metformin
dihentikan pada pagi hari sebelum pembedahan dan diberi insulin jika diperlukan).
Hipoglikemia tidak terjadi dengan pemberian metformin; keuntungan lainnya jarang terjadi
peningkatan berat badan dan penurunan kadar insulin plasma. Metformin tidak menyebabkan
hipoglikemia pada pasien non diabetes kecuali diberikan dosis berlebih.

 METFORMIN HIDROKLORIDA
Indikasi:
diabetes mellitus tipe 2, terutama untuk pasien dengan berat badan berlebih (overweight),
apabila pengaturan diet dan olahraga saja tidak dapat mengendalikan kadar gula darah.
Metformin dapat digunakan sebagai monoterapi atau dalam kombinasi dengan obat
antidiabetik lain atau insulin (pasien dewasa), atau dengan insulin (pasien remaja dan anak
>10 tahun). Lihat juga keterangan di atas.
Peringatan:
lihat keterangan di atas, tentukan fungsi ginjal (menggunakan metoda sensitif yang sesuai)
sebelum pengobatan sekali atau dua kali setahun (lebih sering pada atau bila keadaan
diperkirakan memburuk).
Kontraindikasi:
gangguan fungsi ginjal, ketoasidosis, hentikan bila terjadi kondisi seperti hipoksia jaringan
(sepsis, kegagalan pernafasan, baru mengalami infark miokardia, gangguan hati),
menggunakan kontras media yang mengandung iodin (jangan menggunakan metformin
sebelum fungsi ginjal kembali normal) dan menggunakan anestesi umum (hentikan
metformin pada hari pembedahan dan mulai kembali bila fungsi ginjal kembali normal),
wanita hamil dan menyusui.
Efek Samping:
anoreksia, mual, muntah, diare (umumnya sementara), nyeri perut, rasa logam, asidosis laktat
(jarang, bila terjadi hentikan terapi), penurunan penyerapan vitamin B12, eritema, pruritus,
urtikaria dan hepatitis.
Dosis:
dosis ditentukan secara individu berdasarkan manfaat dan tolerabilitas. Dewasa & anak > 10
tahun: dosis awal 500 mg setelah sarapan untuk sekurang-kurangnya 1 minggu, kemudian
500 mg setelah sarapan dan makan malam untuk sekurang-kurangnya 1 minggu, kemudian

26
500 mg setelah sarapan, setelah makan siang dan setelah makan malam. Dosis maksimum 2 g
sehari dalam dosis terbagi.

c. Golongan Tiazolidindion
Golongan obat baru ini memiliki kegiatan farmakologis yang luas dan berupa
penurunan kadar glukosa dan insulin dengan jalan meningkatkan kepekaan bagi insulin dari
otot, jaringan lemak dan hati, sebagai efeknya penyerapan glukosa ke dalam jaringan lemak
dan otot meningkat. Tiazolidindion diharapkan dapat lebih tepat bekerja pada sasaran
kelainan yaitu resistensi insulin tanpa menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak
menyebabkan kelelahan sel β pankreas.
Obat Hipoglikemik Oral Keterangan
Rosiglitazone Cara kerja hampir sama dengan pioglitazon,
Contoh Sediaan diekskresi melalui urin dan feses.
: Avandia Mempunyai efek hipoglikemik yang cukup
(GlaxoSmithKline) baik jika dikombinasikan dengan metformin.
Pada saat ini belum beredar di Indonesia

Pioglitazone Mempunyai efek menurunkan resistensi


Contoh Sediaan insulin dengan meningkatkan jumlah protein
Actos (Takeda Chemicals transporter glukosa, sehingga meningkatkan
Industries Ltd) uptake glukosa di sel-sel jaringan perifer.
Obat ini dimetabolisme di hepar. Obat ini
tidak boleh diberikan pada pasien gagal
jantung karena dapat memperberat edema
dan juga pada gangguan fungsi hati. Saat ini
tidak digunakan sebagai obat tunggal.

d. Golongan Inhibitor Alfa Glukosidase


Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim glukosidase alfa di
dalam saluran cerna sehingga dapat menurunkan hiperglikemia postprandrial dengan kata lain
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorbsi glukosa di usus halus, sehingga mempunyai
efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Obat ini bekerja di lumen usus dan
tidak menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar insulin. Contoh:
Acarbose (Tjay dan Rahardja, 2002)
Indikasi pemakaian Obat Hipoglikemik Oral :
a.Diabetes sesudah umur 40 tahun.
b.Diabetes kurang dari 5 tahun.

27
c.Memerlukan insulin dengan dosis kurang dari 40 unit sehari.
d.Diabetes mellitus tipe 2, berat normal atau lebih (Soegondo, 2005).
Obat ini termasuk kelompok obat baru, yang berdasarkan pada persaingan inhibisi
enzim alpha-glukosidase di mukosa, duodenum sehingga penguraian polisakarida menjadi
monosakarida menjadi terhambat. Dengan demmikian, glukosa dilepaskan lebih lambat dan
absorpsinya kedalam darah juga kurang cepat, lebih rendah dan merata, sehingga
memuncaknya kadar gula dalam darah dihindarkan. Kerja ini mirip dengan efek makanan
yang kaya akan serat gizi. Tidak ada kemungkinan hipoglikemia dan terutama berguna pada
penderita kegemukan, kombinasi dengan obat-obat lain memperkuat efeknya (Tjay, 2002).
Obat golongan inhibitor alfa glukosidase (Acarbose) mempunyai mekanisme kerja
menghambat kerja enzim alfa glukosidase yang terdapat pada “brush border” dipermukaan
membran usus halus. Enzim alfa glukosidase berfungsi sebagai enzim pemecah karbohidrat
menjadi glukosa diusus halus. Dengan pemberian acarbose maka pemecahan karbohidrat
menjadi glukosa di usus akan menjadi berkurang, dengan sendirinya kadar glukosa darah
akan berkurang (Adam, JMF. 1997).
Mekanisme aksi dari a-Glukosidase inhibitor hanya terbatas dalam saluran cerna
beberapa metabolit acarbose diabsorpsi secara sistemik dan diekskresikan melalui renal.
Sedangkan sebagian besar miglitol tidak mengalami metabolisme.
Penggolongan Inhibitor Alpha-Glukosidase
1. Acarbose
Acarbose adalah suatu oligosakarida yang diperoleh dari proses fermentasi
mikroorganisme, Actinoplnes utahensis, dengan nama kimia O¬-4,6-dideoxdy-
4[[(1S,4R,5S,6S)-4,5,6-trihydroxy-3-(hydroxymethyl)-2-cyclohexene-1-yl]amino]-α-
D-gluco pyranosyl-1(1–>4)-O-α-D glucopyranosyl-(1–>4)-D-glucose. Acarbose
merupakan serbuk berwarna putih dengan berat molekul 645,6 bersifat larut dalam air
dan memiliki pKa 5,1. Rumus empiriknya adalah C25H43NO18.

Kelas terapi : Hormon, Obat Endokrin Lain dan Kontraseptik


Nama Dagang : Glucobay, Precose, Eclid
Bentuk Sediaan : Tablet 25 mg, 50 mg, dan 100 mg
Indikasi : Sebagai tambahan pada terapi OHO sulfonilurea atau
biguanida pada Diabetes mellitus yang tak dapat dikendalikan
dengan diet dan obat-obat tersebut. Acarbose terutama sangat
bermanfaat bagi pasien DM yang cenderung meningkat

28
Dosis : Obat ini umumnya diberikan dengan dosis awal 50 mg dan
dinaikkan secara bertahap sampai 150-600 mg/hari. Dianjurkan
untuk mengkonsumsinya bersama segelas penuh air pada suap
pertama sarapan/makan.
Bentuk Sediaan : Tablet 25 mg, 50 mg, dan 100 mg
Kontraindikasi : Hipersensitif terhadap acarbose, Obstruksi usus, parsial
ataupun keseluruhan, Radang atau luka/borok pada kolon,
Penyakit usus kronis lainnya atau penyakit-penyakit lain yang
akan bertambah parah jika terjadi pembentukan gas berlebihan
di saluran pencernaan
Penyimpanan : Jangan simpan di atas 25°C. Jauhkan dari lembab, wadah
sebaiknya selalu tertutup rapat.

- Mekanisme Kerja
Obat ini menghambat enzim alfa glukosidase yang terletak pada dinding usus halus
dan menghambat enzim alfa-amilase pankreas, sehingga secara keseluruhan
menghambat pencernaan dan absorpsi karbohidrat.Acarbose tidak merangsang
sekresi insulin oleh sel-sel ß-Langerhans kelenjar pankreas.

- Farmakokinetik
Resorpsinya dari usus buruk, hanya ca 2% dan naik sampai lebih kurang 35%
setelah dirombak secara enzimatis oleh kuman usus. Ekskresinya berlangsung
cepat lewat kemih.

- Farmakodinamik
Senyawa-senyawa inhibitor alpha-glukosidase bekerja menghambat enzim alfa
glukosidase yang terletak pada dinding usus halus. Enzim-enzim alpha glukosidase
(maltase, isomaltase, glukomaltase dan sukrase) berfungsi untuk menghidrolisis
oligosakarida,pada dinding usus halus. Inhibisi kerja enzim ini secara efektif dapat
mengurangi pencernaan karbohidrat kompleks dan absorbsinya, sehingga dapat
mengurangi peningkatan kadar glukosa post prandial pada pasien diabetes.
Senyawa inhibitor alpha-glukosidase juga menghambat enzim a-amilase pankreas
yang bekerja menghidrolisis polisakarida di dalam lumen usus halus. Acarbose
tidak merangsang sekresi insulin oleh sel-sel ß-Langerhans kelenjar pankreas. Oleh

29
sebab itu tidak menyebabkan hipoglikemia, kecuali diberikan bersama-sama
dengan OHO yang lain atau dengan insulin.
Obat ini efektif bagi pasien dengan diet tinggi karbohidrat dan kadar glukosa
plasma puasa kurang dari 180 mg/dl. Pasien yang mendapat terapi acarbose saja
umumnya tidak akan meningkat berat badannya, bahkan akan sedikit
menurun.Acarbose dapat diberikan dalam terapi kombinasi dengan sulfonilurea,
metformin, atau insulin.

- Efek samping
Acarbose tidak diserap ke dalam darah, oleh sebab itu efek samping sistemiknya
minimal. Efek samping yg sering terjadi, terutama gangguan lambung, lebih
banyak gas, lebih sering flatus dan kadang-kadang diare, yg akan berkurang setelah
pengobatan berlangsung lebih lama. Efek samping ini dapat berkurang dgn
mengurangi konsumsi karbohidrat. Kadang-kadang dapat terjadi gatal-gatal dan
bintik-bintik merah pada kulit, sesak nafas, tenggorokan serasa tersumbat,
pembengkakan pada bibir, lidah atau wajah. Bila diminum bersama-sama obat
golongan sulfonilurea atau dengan insulin, dapat terjadi hipoglikemia yang hanya
dapat diatasi dengan glukosa murni, jadi tidak dapat diatasi dengan pemberian
sukrosa (gula pasir).
Interaksi dengan obat lain :

 Alkohol: dapat menambah efek hipoglikemik.


 Antagonis Hormon: aminoglutetimid dapat mempercepat metabolisme
OHO; oktreotid dapat menurunkan kebutuhan insulin dan OHO.
 Antidepresan (inhibitor MAO): meningkatkan efek hipoglikemik.
 Hormon steroid: estrogen dan progesterone (kontrasepsi oral) antagonis
efek hipoglikemia.
 Klofibrat: dapat memperbaiki toleransi glukosa dan mempunyai efek
aditif terhadap OHO.
 Penyekat adrenoreseptor beta : meningkatkan efek hipoglikemik dan
menutupi gejala peringatan, misalnya tremor.
 Penghambat ACE: dapat menambah efek hipoglikemik .
 Resin penukar ion: kolestiramin meningkatkan efek hipoglikemik
acarbose.

30
 Suplemen enzim pencernaan seperti pancreatin (amilase, protease, lipase)
dapat mengurangi efek acarbose apabila dikonsumsi secara bersamaan.
 Antagonis kalsium: misalnya nifedipin kadang-kadang mengganggu
toleransi glukosa
 Antihipertensi diazoksid: melawan efek hipoglikemik
 Obat-obat yang dapat mempengaruhi kadar glukosa darah, seperti obat-
obat diuretika (misalnya hidroklortiazida, klorotiazida, klortalidon,
indapamid, dan lain-lain), senyawa steroid (misalnya prednisone,
metilprednisolon, estrogen), senyawa-senyawa fenotiazin
(misalnya klorpromazin, proklorperazin, prometazin), hormone-hormon
tiroid, fenitoin, calcium channel blocker (misalnya verapamil, diltiazem,
nifedipin)
 Sulfonilurea vs akarbose  meningkatkan efek hipoglikemi

MK: sulfonilurea merangsang sel beta untuk melepaskan insulin yang


selanjutnya akan merubah glukosa menjadi glikogen.

 Dengan adanya akarbose akan memperlambat absorbsi & penguraian


disakarida menjadi monosakarida  insulin >> daripada glukosa 
hipoglikema meningkat.

Informasi Untuk Pasien :


 Jangan konsumsi obat lain tanpa seizin dokter atau apoteker.
 Obat ini hanya berperan sebagai pengendali diabetes, bukan penyembuh.
 Obat ini hanya faktor pendukung dalam pengelolaan diabetes, faktor
utamanya adalah pengendalian diet (pola makan) dan olah raga
 Konsumsi obat sesuai dosis dan aturan pakai yang diberikan dokter
 Jika Anda merasakan gejala-gejala hipoglikemia (pusing, lemas, gemetar,
pandangan berkunang-kunang), pitam (pandangan menjadi gelap), keluar
keringat dingin, detak jantung meningkat, segera hubungi dokter.
 Obat ini tidak boleh dikonsumsi semasa hamil atau menyusui, kecuali
sudah diizinkan oleh dokter
5. Miglitol
Miglitol memiliki mekanismekerja, Indikasi, kontraindikasi, peringatan dan efek
samping seperti akarbose.

31
Dosis : Obat ini umumnya diberikan dengan dosis awal 50 mg dan
dinaikkan secara bertahap sampai 100 mg dalam waktu 4-12
minggu. Dianjurkan untuk mengkonsumsinya bersama
segelas penuh air pada suap pertama sarapan/makan.

Farmakokinetik : Resorpsinya dalam saluran cerna lebih baik dari pada


akarbose (60-70%). Sehingga efeksampingnya mengenai
ganngguan lambung dan usus jauh lebih sedikit.

Efek samping Efek samping :


 Sifat lekas marah
 Tinja lunak
 Berkeringat
 Perut atau sakit perut
 Melewati gas
 Tingkat gula darah rendah
 Udara berlebih atau gas dalam perut atau usus
 Diare
 Pusing
 Peningkatan buang air besar
Kontraindikasi
Hipersensitivitas pada Miglitol adalah sebuah kontraindikasi. Sebagai tambahan,
Miglitol tidak boleh dikonsumsi jika Anda memiliki kondisi berikut:
 Gangguan ginjal
 Ketoasidosis diabetik
 gangguan motilitas gastrointestinal
 hipersensitivitas
 obstruksi usus parsial
Interaksi Obat
Miglitol dapat berinteraksi dengan obat dan produk berikut ini:
 Digoxin
 Gatifloxacin
 Propranolol
 Ranitidine

32
ANTIDIABET LAIN
a. Naleginid
Indikasi:
diabetes mellitus tipe 2 dikombinasikan dengan metformin jika metformin tunggal
tidak cukup.
Peringatan:
pemberian insulin pada diabetes melitus yang disertai penyakit lain (seperti infark
miokardia, koma infeksi dan trauma) dan selama pembedahan (hentikan nateglinid
pada pembedahan pagi hari dan diberikan kembali setelah makan dan minum normal),
lanjut usia, pasien lemah dan tidak berdaya, gangguan fungsi hati sedang.
Kontraindikasi:
ketoasidosis, kehamilan dan menyusui.
Efek Samping:
hipoglikemia, reaksi hipersensitif termasuk pruritus, kemerahan dan urtikaria.
Dosis:
Awal, 60 mg tiga kali sehari diberikan 30 menit sebelum makan, disesuaikan dengan
respon, dosis maksimal 180 mg tiga kali sehari, anak dan remaja di bawah 18 tahun
tidak dianjurkan.
b. Repaglinid
Indikasi:
diabetes mellitus tipe 2 (tunggal atau dikombinasikan dengan metformin jika
metformin tunggal tidak tepat).
Peringatan:
pemberian insulin selama penyakit intercurrent (seperti infark miokardia, koma
infeksi dan trauma) dan selama pembedahan (abaikan nateglinide pada pembedahan
pagi hari dan berikan sewaktu makan dan minum normal), pasien lemah dan tidak
berdaya, gangguan fungsi ginjal.
Interaksi: -
Kontraindikasi:
ketoasidosis, gangguan fungsi hati berat, kehamilan (Lampiran 4), menyusui.
Efek Samping:
nyeri perut, diare, konstipasi, mual, muntah, hipoglikemia (jarang terjadi), reaksi
hipersensitifitas termasuk pruritus, kemerahan, vaskulitis, urtikaria dan gangguan
penglihatan.

33
Dosis:
Awal, 500 mcg, diberikan 30 menit sebelum makan (1 mg jika mendapat obat
hipoglikemik oral lain) disesuaikan dengan respons pada interval 1-2 minggu, sampai
4 mg diberikan dosis tunggal, dosis maksimal 16 mg sehari, anak, remaja dibawah 18
tahun dan lanjut usia diatas 75 tahun tidak dianjurkan.

2.9.2. Terapi Insulin


adalah hormon yang dihasilkan dari sel β pankreas dalam merespon glukosa. Insulin
merupakan polipeptida yang terdiri dari 51 asam amino tersusun dalam 2 rantai, rantai A
terdiri dari 21 asam amino dan rantai B terdiri dari 30 asam amino.
Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita diabetes mellitus tipe 1. Pada
diabetes mellitus tipe 1, sel-sel β langerhans kelenjar pankreas penderita rusak, sehingga tidak
lagi dapat memproduksi insulin. Sebagai penggantinya, maka penderita diabetes mellitus tipe
1 harus mendapatkan insulin eksogen untuk membantu agar metabolisme karbohidrat di
dalam tubuhnya dapat berjalan normal.
Walaupun sebagian besar penderita diabetes mellitus tipe 2 tidak memerlukan insulin,
namun hampir 30% ternyata memerlukan insulin disamping terapi hipoglikemik oral
(Anonim, 2005b). Insulin mempunyai peran yang sangat penting dan luas dalam
pengendalian metabolisme, efek kerja insulin adalah membantu transport glukosa dari darah
ke dalam sel.
a. Mekanisme kerja insulin
Insulin mempunyai peran yang sangat penting dan luas dalam pengendalian metabolisme.
Insulin yang disekresikan oleh sel-sel βpankreas akan langsung diinfusikan ke dalam hati
melalui vena porta, yang kemudian akan didistribusikan ke seluruh tubuh melalui peredaran
darah. Efek kerja insulin yang sudah sangat dikenal adalah membantu transpor glukosa dari
darah ke dalam sel. Kekurangan insulin menyebabkan glukosa darah tidak dapat atau
terhambat masuk ke dalam sel. Akibatnya, glukosa darah akan meningkat, dan sebaliknya
sel-sel tubuh kekurangan bahan sumber energi sehingga tidak dapat memproduksi energi
sebagaimana seharusnya. Disamping fungsinya membantu transport glukosa masuk ke dalam
sel, insulin mempunyai pengaruh yang sangat luas terhadap metabolisme, baik metabolisme
karbohidrat dan lipid, maupun metabolisme protein dan mineral.insulin akan meningkatkan

34
lipogenesis, menekan lipolisis, serta meningkatkan transport asam amino masuk ke dalam sel.
Insulin juga mempunyai peran dalam modulasi transkripsi, sintesis DNA dan replikasi sel.
Itu sebabnya, gangguan fungsi insulin dapat menyebabkan pengaruh negatif dan komplikasi
yang sangat luas pada berbagai organ dan jaringan tubuh
b. Prinsip Terapi Insulin
1. Semua penderita DM Tipe 1 memerlukan insulin eksogen karena produksi insulin
endogen oleh sel-sel βkelenjar pankreas tidak ada atau hampir tidak ada
2. Penderita DM Tipe 2 tertentu kemungkinan juga membutuhkan terapi insulin apabila
terapi lain yang diberikan tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah
3. Keadaan stres berat, seperti pada infeksi berat, tindakan pembedahan, infark miokard
akut atau stroke
4. DM Gestasional dan penderita DM yang hamil membutuhkan terapi insulin, apabila diet
saja tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah.
5. Ketoasidosis diabetik
6. Insulin seringkali diperlukan pada pengobatan sindroma hiperglikemia hiperosmolar
non-ketotik.
7. Penderita DM yang mendapat nutrisi parenteral atau yang memerlukan suplemen tinggi
kalori untuk memenuhi kebutuhan energi yang meningkat, secara bertahap memerlukan
insulin eksogen untuk mempertahankan kadar glukosa darah mendekati normal selama
periode resistensi insulin atau ketika terjadi peningkatan kebutuhan insulin.
8. Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
9. Kontra indikasi atau alergi terhadap OHO
c. Penggolongan Sediaan Insulin
Untuk terapi, ada berbagai jenis sediaan insulin yang tersedia, yang terutama berbeda
dalam hal mula kerja (onset) dan masa kerjanya (duration).
1. Insulin kerja singkat Sediaan ini terdiri dari insulin tunggal biasa, mulai kerjanya baru
sesudah setengah jam (injeksi subkutan), contoh: Actrapid, Velosulin, Humulin
Regular.
2. Insulin kerja panjang (long-acting) Sediaan insulin ini bekerja dengan cara
mempersulit daya larutnya di cairan jaringan dan menghambat resorpsinya dari
tempat injeksi ke dalam darah. Metoda yang digunakan adalah mencampurkan insulin
dengan protein atau seng atau mengubah bentuk fisiknya, contoh: Monotard Human.

35
3. Insulin kerja sedang (medium-acting) Sediaan insulin ini jangka waktu efeknya dapat
divariasikan dengan mencampurkan beberapa bentuk insulin dengan lama kerja
berlainan, contoh: Mixtard 30 HM (Tjay dan Rahardja, 2002).
Respon individual terhadap terapi insulin cukup beragam, oleh sebab itu jenis sediaan
insulin mana yang diberikan kepada seorang penderita dan berapa frekuensi penyuntikannya
ditentukan secara individual, bahkan seringkali memerlukan penyesuaian dosis terlebih
dahulu. Umumnya, pada tahap awal diberikan sediaan insulin dengan kerja sedang, kemudian
ditambahkan insulin dengan kerja singkat untuk mengatasi hiperglikemia setelah makan.
Insulin kerja singkat diberikan sebelum makan, sedangkan Insulin kerja sedang umumnya
diberikan satu atau dua kali sehari dalam bentuk suntikan subkutan.
Namun, karena tidak mudah bagi penderita untuk mencampurnya sendiri, maka tersedia
sediaan campuran tetap dari kedua jenis insulin regular (R) dan insulin kerja sedang (NPH).
Waktu paruh insulin pada orang normal sekitar 5-6 menit, tetapi memanjang pada penderita
diabetes yang membentuk antibodi terhadap insulin. Insulin dimetabolisme terutama di hati,
ginjal dan otot. Gangguan fungsi ginjal yang berat akan mempengaruhi kadar insulin di
dalam darah (IONI, 2000).
d. Sediaan Insulin Yang Beredar Di Indonesia

36
Tabel 2.2 Profil beberapa sediaan insulin yang beredar di Indonesia
Secara keseluruhan sebanyak 20-25% pasien DM tipe 2 kemudian akan memerlukan
insulin untuk mengendalikan kadar glukosa darahnya. Untuk pasien yang sudah tidak dapat
dikendalikan kadar glukosa darahnya dengan kombinasi metformin dan sulfonilurea, langkah
selanjutnya yang mungkin diberikan adalah insulin (Waspadji, 2010).
Insulin diperlukan pada keadaan :
1. Penurunan berat badan yang cepat
2. Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
3. Ketoasidosis diabetik
4. Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
5. Hiperglikemia dengan asidosis laktat
6. Gagal dengan kombinasi OHO dosis
hampir maksimal
7. Stress berat (infeksi sistemik, operasi
besar, IMA, Stroke)
8. Kehamilan dengan DM/diabetes
mellitus gestasional yang tidak
terkendali dengan terapi gizi medis
9. Gangguan fungsi ginjal atau hati yang
berat
10. Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO (Anonim, 2006a)

e. Cara Pemberian Sediaan insulin


saat ini tersedia dalam bentuk obat suntik yang umumnya dikemas dalam bentuk vial.
Kecuali dinyatakan lain, penyuntikan dilakukan subkutan (di bawah kulit).
Lokasi penyuntikan yang disarankan ditunjukan pada gambar 4 disamping ini.
Penyerapan insulin dipengaruhi oleh beberapa hal. Penyerapan paling cepat terjadi di
daerah abdomen, diikuti oleh daerah lengan, paha bagian atas dan bokong.
Bila disuntikkan secara intramuskular dalam, maka penyerapan akan terjadi lebih
cepat, dan masa`kerjanya menjadi lebih singkat. Kegiatan fisik yang dilakukan segera
setelah penyuntikan akan mempercepat waktu mula kerja (onset) dan juga mempersingkat
masa kerja. Selain dalam bentuk obat suntik, saat ini juga tersedia insulin dalam bentuk
pompa (insulin pump) atau jet injector, sebuah alat yang akan menyemprotkan larutan
insulin ke dalam kulit.

37
Sediaan insulin untuk disuntikkan atau ditransfusikan langsung ke dalam vena juga
tersedia untuk penggunaan di klinik. Penelitian untuk menemukan bentuk baru sediaan
insulin yang lebih mudah diaplikasikan saat ini sedang giat dilakukan. Diharapkan suatu
saat nanti dapat ditemukan sediaan insulin per oral atau per nasal.

f. Penyimpanan Sediaan Insulin (SoeGondo, 1995b)


Insulin Harus Disimpan Sesuai Dengan Anjuran Produsen Obat Yang Bersangkutan.
Berikut Beberapa Hal Yang Perlu Diperhatikan:
- Insulin Harus Disimpan Di Lemari Es Pada Temperatur 2-8C. Insulin Vial Eli Lily
Yang Sudah Dipakai Dapat Disimpan Selama 6 Bulan Atau Sampai 200 Suntikan Bila
Dimasukkan Dalam Lemari Es. Vial Novo Nordisk Insulin Yang Sudah Dibuka,
Dapat Disimpan Selama 90 Hari Bila Dimasukkan Lemari Es. ƒ
- Insulin Dapat Disimpan Pada Suhu Kamar Dengan Penyejuk 15-20C Bila Seluruh Isi
Vial Akan Digunakan Dalam Satu Bulan. Penelitian MenunJukkan Bahwa Insulin
Yang Disimpan Pada Suhu Kamar Lebih Dari 30°C. Akan Lebih Cepat Kehilangan
Potensinya. Penderita Dianjurkan Untuk Memberi Tanggal Pada Vial Ketika Pertama
Kali Memakai Dan Sesudah Satu Bulan Bila Masih Tersisa Sebaiknya Tidak
Digunakan Lagi. ƒ
- Penfill Dan Pen Yang Disposable Berbeda Masa Simpannya. Penfill Regular Dapat
Disimpan Pada Temperatur Kamar Selama 30 Hari Sesudah Tutupnya Ditusuk.
Penfill 30/70 Dan Nph Dapat Disimpan Pada Temperatur Kamar Selama 7 Hari
Sesudah Tutupnya Ditusuk. ƒ
- Untuk Mengurangi Terjadinya Iritasi Lokal Pada Daerah Penyuntikan Yang Sering
Terjadi Bila Insulin Dingin Disuntikkan, Dianjurkan Untuk Mengguling-Gulingkan
Alat Suntik Di Antara Telapak Tangan Atau Menempatkan Botol Insulin Pada Suhu
Kamar, Sebelum Disuntikkan.
2.9.3. Terapi Kombinasi
Pemberian Obat Hipoglikemik Oral maupun insulin selalu dimulai dengan dosis
rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respon kadar glukosa
darah. Terapi dengan Obat Hipoglikemik Oral kombinasi, harus dipilih dua macam obat dari
kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah
belum tercapai, dapat diberikan kombinasi tiga Obat Hipoglikemik Oral dari kelompok yang
berbeda, atau kombinasi Obat Hipoglikemik Oral dengan insulin. Pada pasien yang disertai

38
dengan alasan klinik dimana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, dipilih terapi dengan
kombinasi tiga Obat Hipoglikemik Oral (Anonim, 2006a), seperti pada gambar 1.

Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Penggunaan Obat Hipoglikemik Oral


1. Dosis selalu harus dimulai dengan dosis rendah yang kemudian dinaikkan secara
bertahap.
2. Harus diketahui betul bagaimana cara kerja, lama kerja dan efek samping obat-obat
tersebut.
3. Bila diberikan bersama obat lain, pikirkan kemungkinan adanya interaksi obat.
4. Pada kegagalan sekunder terhadap obat hipoglikemik oral, usahakanlah menggunakan
obat oral golongan lain, bila gagal lagi, baru pertimbangkan untuk beralih pada insulin.
5. Hipoglikemia harus dihindari terutama pada penderita lanjut usia, oleh sebab itu
sebaiknya obat hipoglikemik oral yang bekerja jangka panjang tidak diberikan pada
penderita lanjut usia.
6. Usahakan agar harga obat terjangkau oleh penderita.

BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Diabetes Mellitus (DM) adalah penyakit yang ditandai dengan hiperglikemia


(peningkatan kadar gula darah) yang terus-menerus dan bervariasi. Tingginya kadar glukosa
darah secara terus menerus atau berkepanjangan dapat menyebabkan komplikasi diabetes.
Berbagai komplikasi dapat terjadi jika penatalaksanaan Diabetes Mellitus tidak optimal.
Terapi gizi merupakan komponen utama keberhasilan penatalaksana an diabetes. Kepatuhan
pasien terhadap prinsip gizi dan perencanaan makan merupakan salah satu kendala pada
pasien diabetes.

3. 2 Saran
Bagi penderita diabetes melitus atau kencing manis sebaiknya menjaga pola makan
dan diet agar kadar gula dalam darah bisa terkontrol dengan baik. Selain menjaga pola makan
dan diet penderita DM juga bisa menggunakan kombinasi obat anti diabetes seperti
metformin dengan glibenclamid untuk mengetahui efek penurunannya terhadap kadar gula
darah.

39
Daftar Pustaka
Agromedia, Redaksi.Solusi Sehat Mengatasi Diabetes. Jakarta : Agromedia Pustaka; 2009.
Gustaviani, R.Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes mellitus. In : Sudoyo, A.W., B. Setiyohadi,
I. Alwi, M. Simadibrata. K., dan S. Setiati, editors.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid III Edisi IV. Jakarta : FKUI;2007.
Guyton, A.C., dan Hall, J.E.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC;2007.
Hadisaputro, S., dan H. Setyawan. Epidemiologi dan Faktor-Faktor Risiko terjadinya
Diabetes Mellitus Tipe 2. In: Darmono, T. Suhartono, T.G.D. Pemayun, F.S.
Padmomartono, editors. Naskah Lengkap Diabetes Mellitus Ditinjau dari Berbagai
aspek Penyakit Dalam. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro; 2007.
Maulana, M. Mengenal Diabetes Mellitus Panduan Praktis Menangani Penyakit Kencing
Manis. Jogjakarta : Katahati; 2009.
Price, S.A., dan L.M.Wilson.Patofisiologi Konsep Klinis Proses-ProsesPenyakit Volume 2
Edisi 6. Jakarta : EGC;2006.
Sustrani, L., S. Alam., dan I. Hadibroto.Diabetes.Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama;
2004.
Tandra, H. Segala Sesuatu yang Harus Anda Ketahui Tentang Diabetes. Jakarta : PT
Gramedia Pustaka Utama; 2007.
Tjokroprawiro, A.Hidup Sehat dan Bahagia Bersama Diabetes Mellitus.Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama;2001.
Yatim, F. Kendalikan Obesitas dan Diabetes : Mengatur Pola Hidup dan Pola Makan. Jakarta
: Indocamp; 2010.
Farmakologi dan Terapi. Bagian Farmakologi FKUI, 2000.
Antidiabet lain diakses online di http://pionas.pom.go.id/ioni/bab-6-sistem-endokrin/61-
diabetes/612-antidiabetik-oral/6123-antidiabetik-lain . Diakses pada tanggal 30 April 2018
Metformin Hidroklorida diakses online di http://pionas.pom.go.id/monografi/metformin-
hidroklorida . Diakses pada tanggal 30 April 2018

40

Anda mungkin juga menyukai