Anda di halaman 1dari 20

PATOFISIOLOGI KELAINAN SYSTEM

ENDOKRIN DAN ASUHAN


KEPERAWATAN ANAK DENGAN
JUVENILE DIABETES
Oleh:
1.
Edy Armansyah 2014901011
2.
Hendri Gunawan 2014901014
201490102
3.
Melinda Leona 6
4.
Pariyes susanto 2014901031

PRODI PROFESI KEPERAWATAN JURUSAN KEPERAWATAN


POLTEKKES TANJUNGKARANG
2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
Ilmu Kesehatan Anak ini dengan judul “Patofisiologi Kelainan System Endokrin dan
Asuhan Keperawatan Anak dengan Juvenile Diabetes “.

Dalam menyusun makalah ilmiah ini, penulis banyak memperoleh bantuan serta
bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan
terima kasih kepada Dosen Pembimbing dan kepada teman teman yang telah
mendukung terselesaikannya makalah ini.

Penulis menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini masih jauh dari
sempurna, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun guna sempurnanya makalah ini. Penulis berharap semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.

Bandar Lampung, september 2020

Penyusun
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ii

Daftar isi iii

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Rumusan Masalah 2

1.3 Tujuan 2

BAB II PEMBAHASAN 3

2.1 Definisi Sistem Endokrin 3

2.2 Patofisiologi Gangguan Sistem Endikrin 4

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN 11

3.1 Pengkajian 11

3.2 Diagnosa keperawatan 12

3.3 Intervensi keperawatan 13

BAB IV PENUTUP 15

4.1 Kesimpulan 15

4.2 Saran 15

DAFTAR PUSTAKA 16
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Sistem endokrin mengatur dan mempertahankan fungsi tubuh dan metabolisme


tubuh, jika terjadi ganguan endokrin akan menimbulkanmasalah yang komplek terutama
metabolisme fungsi tubuh terganggu salahsatu gangguan endokrin adalah Diabetes
Melitus yang disebabkan karenadefisiensi absolute atau relatif yang disebabkan
metabolisme karbohidrat,lemak dan protein (Maulana. 2008).

Secara umum di dunia terdapat 15 kasus per 100.000 individu pertahun yang
menderita DM tipe 1. Tiga dari 1000 anak akan menderita IDDM pada umur 20 tahun
nantinya. Insiden DM tipe 1 pa-da anak-anak di dunia tentunya berbeda. Terdapat 0.61
kasus per 100.000 anak di Cina, hingga 41.4 kasus per 100.000 anak di Finlandia.
Angka ini sangat ber-variasi, terutama tergantung pada ling-kungan tempat tinggal. Ada
kecenderung-an semakin jauh dari khatulistiwa, angka kejadiannya akan semakin tinggi.
Meski belum ditemukan angka kejadian IDDM di Indonesia, namun angkanya
cenderung lebih rendah dibanding di negara-negara Eropa. Di Indonesia penderita
Diabetes Melitus ada 1,2 % sampai 2,3 % daripenduduk berusia diatas 15 tahun,
sehingga Diabetes Melitus (DM) tercantumdalam urutan nomor empat dari prioritas
pertama adalah penyakitkardiovaskuler, kemudian disusul penyakit selebrolaskuler dan
katarak. (Depkes RI,2008).
Di Jawa Tengah berdasarkan atas pola penyakit penderita puskesmasdan rumah
sakit dari berbagai tingkat umur, jumlah kasus Diabets Melitusmenempati nomor dua.
Setelah penyakit neoplasma ganas, sedangkanberdasarkan data pola kematian menurt
penyakit penyebab kematian pasiendirawat di rumah sakit Jawa Tengah DM menempati
urutan ke 16 denganjumlah 430 orang dari jumlah kematian 37.279 orang dengan
kematianpenyakit lainnya (Dinkes Jateng,2006). Menurut survei yang dilakukan WHO,
Indonesia menempati urutan ke 4 dengan jumlah penderita Diabetes terbesar didunia
setelah India, Cina, Amerika Serikat. Dengan prevalensi 8,6% dari total penduduk dan
pada tahun2025 diperkirakan meningkat menjadi 12.4 juta penderita. Sedangkan
daridata Departemen Kesehatan , jumlah pasien Diabetes mellitus rawat inapmaupun
rawat jalan di Rumah Sakit menempati urutan pertama dari seluruhpenyakit endokrin.
(Maulana. 2008) Umur ternyata merupakan salah satu faktor yang bersifat
mandiridalam pengaruhnya terhadap perubahan toleransi tubuh terhadap
glukosa.Umumnya pasien diabetes dewasa 90% termasuk diabetes tipe 2. Dari
jumlahtersebut dikatakan 50% adalah pasien berumur > 60 tahun.(Dinkes Jateng,2006)

Hal ini terjadi karena adanya faktor- faktor yang menghambatdiantaranya adalah
sosial ekonomi yang kurang, perumahan dan lingkunganyang kotor, pengetahuan
tentang DM yang masih kurang. Faktor pengetahuankeluarga merupakan penghambat
yang sering terjadi, karena denganpengetahuan yang kurang akan mengetahui proses
pengobatan penyakit. Akibat dari kurangnya pengetahuan keluarga tentang penyakit
DM perlu dilaksanakan suatu tindakan yaitu memberikan asuhan keperawatanpada
keluarga yang mempunyai masalah Diabetus Mellitus.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apa pengertian sistem endokrin ?
2. Apa saja kelainan dari sistem endokrin ?

1.3 TUJUAN
1. Mengetahui pengertian dari sistem endokrin.
2. Mengetahui apa saja kelainan dari sistem endokrin.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Sistem Endokrin


Sistem endokrin adalah sistem kontrol kelenjar tanpa saluran (ductless) yang
menghasilkan hormon yang tersirkulasi di tubuh melalui aliran darah untuk
mempengaruhi organ-organ lain. Hormon bertindak sebagai "pembawa pesan" dan
dibawa oleh aliran darah ke berbagai sel dalam tubuh, yang selanjutnya akan
menerjemahkan "pesan" tersebut menjadi suatu tindakan. Sistem endokrin tidak
memasukkan kelenjar eksokrin seperti kelenjar ludah, kelenjar keringat, dan kelenjar-
kelenjar lain dalam saluran gastroinstestin.

Gambar 1.1 Sistem endokrin

Kelenjar endokrin merupakan kelenjar yang tidak mempunyai saluran, yang


menyalurkan sekresi hormonnya langsung kedalam darah. Hormon tersebut
memberikan efek ke organ atau jaringan target. Beberapa hormon seperti insulin dan
trioksin mempunyai banyak target. Sedangkan hormon lain hanya memiliki satu atau
beberapa target.

Sistem endokrin terdiri dari sekelompok organ (kadang disebut sebagai kelenjar
sekresi internal), yang fungsi utamanya adalah menghasilkan dan melepaskan hormon-
hormon secara langsung ke dalam aliran darah. Hormon berperan sebagai pembawa
pesan untuk mengkoordinasikan kegiatan berbagai organ tubuh. Jika kelenjar endokrin
mengalami kelainan fungsi, maka kadar hormon di dalam darah bisa menjadi tinggi atau
rendah, sehingga mengganggu fungsi tubuh. Untuk mengendalikan fungsi endokrin,
maka pelepasan setiap hormon harus diatur dalam batas-batas yang tepat.

2.2 Patofisiologi Kelainan Sistem Endokrin Pada Anak


Hormon berperan sebagai pembawa pesan untuk mengkoordinasikan kegiatan
berbagai organ tubuh. Jika kelenjar endokrin mengalami kelainan fungsi, maka kadar
hormon di dalam darah bisa menjadi tinggi atau rendah, sehingga mengganggu fungsi
tubuh.Untuk mengendalikan fungsi endokrin, maka pelepasan setiap hormon harus
diatur dalam batas- yang tepat.

a. Abnormalitas Pada Sekresi Hormone Pertumbuhan


1. Kerdil (Dwarfism)
Dwarfism disebabkan oleh hiposekresi growth hormone (GH) selama
masa kanak-kanak mengakibatkan pertumbuhan terhenti. Hormon
pertumbuhan manusia digunakan secara terapeutik dalam kasus dwarfism
hipofisis. Tes diagnosa yang dapat dilakukan untuk menilai pertumbuhan
anak dan memastikan apakah mengidap dwarfism mencakup:
 Pengukuran
Yang biasanya diukur adalah tinggi dan berat badan anak serta lingkar
kepalanya. Pengukuran yang dilakukan secara rutin ini akan membantu
mengidentifikasi apakah anak Anda tumbuh normal atau mengidap
kelainan pertumbuhan. Indikasinya dapat mencakup pertumbuhan tinggi
badan yang tertunda atau ukuran kepala yang tidak proporsional atau lebih
besar daripada ukuran kepala anak seusianya.
 Teknologi pencitraan
X-ray atau scan MRI (Magnetic Resonance Imaging) dapat dilakukan
untuk mencari tahu kelainan pertumbuhan yang mungkin dialami anak.
Berbagai teknologi pencitraan ini dapat mengungkapkan pematangan
tulang yang tertunda yang disebabkan oleh defisiensi hormon pertumbuhan
dan juga dapat mengungkapkan kelainan kelenjar pituitaru dan
hipotalamus yang berperan penting dalam mengatur fungsi hormon.
 Tes genetic
Tes ini tersedia untuk mendiagnosis banyak penyebab gangguan
dwarfisme dan jenis dwarfisme yang diidap ana, misalnya sindrom
Turner.Tes laboratorium khusus dapat dilakukan untuk menilai keadaan
kromosom X yang diambil dari sel darah merah.Perlu diketahui bahwa tes
ini belum tentu memberikan diagnosis yang akurat.
Sejumlah gangguan yang berhubungan dengan dwarfisme dapat mengarah
ke gangguan pertumbuhan dan komplikasi medis lebih lanjut. Pengobatan
dan perawatan yang dilakukan mungkin tidak akan menyembuhkan anak,
seperti memiliki tinggi badan normal, tetapi dapat mengurangi masalah
yang disebabkan oleh komplikasi.

Ada beberapa pengobatan dan perawatan yang tersedia, antara lain:


 Bedah
Sering kali bedah dilakukan untuk mengoreksi tulang. Beberapa prosedur
bedah yang dapat dilakukan mencakup memasukkan staples logam untuk
mengoreksi arah bertumbuhnya tulang, memasukkan batang logam untuk
mengoreksi bentuk tulang belakang, meluruskan tulang dengan bantuan
pelat logam, dan memperbesar ukuran pembukaan pada tulang belakang
untuk mengurangi tekanan pada sumsum tulang belakang. Selain itu,
bedah juga dapat dilakukan untuk memanjangkan anggota badan walaupun
agak lebih berisiko dibandingkan dengan bedah yang bertujuan untuk
mengoreksi tulang.
 Terapi hormon
Kekurangan hormon pertumbuhan dapat diobati dengan memberikan
suntikan hormon sintetis.Anak yang mengidap dwarfisme disarankan
menerima suntikan harian selama beberapa tahun sampai dia mencapai
rata-rata tinggi badan orang dewasa di keluarganya. Pengobatan ini
disarankan berlanjut terus sepanjang masa remaja dan dewasa muda untuk
memastikan pertumbuhan yang seimbang, termasuk massa otot dan lemak
yang sewajarnya. Terapi ini juga dapat mencakup hormon lainnya,
misalnya hormon estrogen untuk anak perempuan yang mengidap sindrom
Turner untuk memastikan dia mencapai pubertas dan pertumbuhan seksual
yang diperlukan ketika dia dewasa kelak.
2. Gigantisme
Gigantisme terjadi karena hipersekresi growth hormone (GH) selama
masa remaja dan sebelum penutupan lempeng lempeng epifisis
mengakibatkan pertumbuhan tulang panjang yang berlebihan (gigantisme
hipofisis).Jenis sekresi berlebihan ini biasanya disebabkan oleh tumor
hipofisis yang jarang terjadi.
3. Akromegali
Akromegali terjadi karena hipersekresigrowth hormone (GH) setelah
penutupan lempeng epifisis tidak menyebabkan penambahan panjang tulang
panjang, tetapi menyebabkan pembesaran yang tidak proporsional pada
jaringan, penambahan ketebalan tulang pipih dan wajah, dan memperbesar
ukuran tangan dan kaki.
Sasaran pengobatan akromegali /gigantisme adalah mengendalikan
pertumbuhan / menormalkan sekresi GH dan mengangkat massa tumor.
Sasaran biokimiawi : IGF-1 normal dan kadar GH < 1 ng/ml setelah beban
glukosa (13).
Terdapat 3 macam pengobatan akromegali yaitu pengobatan medis,
bedah dan radiasi.
 Pengobatan medis.
Pengobatan medis / farmakologis sangat pesat akhir-akhir ini. Tujuan
pengobatan medis adalah menghilangkan keluhan / gejala efek lokal dari
tumor dan / atau kelebihan GH / IGF-1. Untuk itu sasaran pengobatan
adalah kadar GH < 2 ng/ml pada pemeriksaan setelah pebebanan dengan
glukosa ( < 1 mcg / l dengan cara IRMA), disamping tercapainya kadar
IGF-1 normal.
Pengobatan medisutama adalah dengan analog somatostatin dan analog
dopamin. Oleh karena somatostatin, penghambat sekresi GH, mempunyai
waktu paruh pendek maka yang digunakan adalah analog kerja panjang
yang dapat diberikan 1 kali sebulan.Yang banyak digunakan adalah
octreotide yang bekerja pada reseptor somatostatin sub tipe II dan V dan
menghambat sekresi GH. Pengobatan dengan octreotide dapat menurunkan
kadar GH sampai < 5 ng/ml pada 50% pasien dan menormalkan kadar
IGF-1 pada 60% pasien akromegali. Lanreotide, suatu analog somatostatin
“sustained-release” yang dapat diberikan satu kali dua minggu ternyata
efektif dan aman untuk pengobatan akromegali.
Bromokriptin merupakan suatu antagonist dopamin yang banyak
digunakan dalam menekan kadar GH / IGF-1, akan tetapi kurang efektif
dibandingkan dengan oktreotid. Suatu agonist dopamin yang baru, yaitu
cabergoline ternyata lebih efektif dan lebih dapat ditolerir dalam menekan
GH terutama apabila terdapat kombinasi dengan hiperprolatinemia. Akhir-
akhir ini pegvisomant, suatu antagonist reseptor GH terbukti dapat
menormalkan kadar IGF-1 dan memperbaiki gejala klinis.
 Pembedahan
Untuk adenoma hipofisis, pembedahan transsphenoid merupakan pilihan
dan dapat menyembuhkan.Laws dkk. (2000) melaporkan hasil terapi
pembedahan transsphenoid pada 86 pasien akromegali : IGF-1 mencapai
normal pada 67%, kadar GH dapat disupresi sampai < 1 ng/ml oleh beban
glukosa pada 52%. Walaupun pembedahan tidak dapat menyembuhkan pada
sejumlah pasien, namun terapi perbedahan disepakati sebagai terapi lini
pertama.Pada pasien-pasien dengan gejala sisa setelah pembedahan dapat
diberikan pengobatan penunjang (medis dan radiasi). Hipofisektomi
transsfenoid akan segera menghilangkan keluhan-keluhan akibat efek lokal
massa tumor sekaligus menekan / menormalkan kadar GH / IGF-1. Remisi
tergantung pada besarnya tumor, kadar GH dan keterampilan ahli bedahnya.
Angka remisi mencapai 80 – 85% pada mikroadenoma dan 50 – 65% pada
makroadenomia. Pembedahan hipofisis transsphenoid berhasil pada 80 – 90%
pasien dengan tumor < 2 cm dan kadar GH < 50 ng/ml.
 Radiasi.
Untuk tercapainya hasil yang diharapkan dengan terapi radiasi diperlukan
waktu bertahun-tahun.Terapi radiasi konvensional saja menghasilkan remisi
sekitar 40% setelah 2 tahun dan 75% setelah 5 tahun terapi, namun disertai
efek negatif berupa pan hipopituitarisme.Di samping itu studi Ariel dkk
(1997) pada 140 pasien akromegali mendapatkan terapi radiasi tidak dapat
menormalkan kadar IGF-1 walaupun kadar GH sudah dapat dikontrol. Oleh
karena kekurangannya tersebut, terapi radiasi hanya diberikan sebagai terapi
penunjang untuk tumor besar dan invasif dan apabila terdapat kontraindikasi
operasi.Apabila mungkin, terapi radiasi harus dihindari untuk pengobatan
gigantisme.

b. Abnormalitas Pada Sekresi Antidiretik Hormone:


1. Hiposekresi ADH
Hiposekri ADH mengakibatkan diabetes insipidus. Penyakit diabetes
Insipidus merupakan penyakit yang cukup langka, karena jarang ditemukan.
Penyakit diabetes insipidus merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan
mual, pusing (simtoma), kondisi dimana tubuh tidak bisa mengendalikan diri
untuk tidak buang air kecil (poliuria) dan rasa haus yang terjadi terus menerus
tidak bisa berhenti meskipun sudah menghabiskan beberapa liter air
(polidipsia). Pada umunya ada dua jenis diabetes insipidus dengan dua
penyebab yang berbeda.

 Diabetes Insipidus Sentral


Jenis diabetes Insipidus yang paling banyak dijumpai, yang pada dasarnya
disebabkan karena terjadi gangguan pada saat hormon antidiurektik
melakukan proses produksi yang disebabkan karena daerah sekitar
hipotalamus mengalami gangguan. Gangguan yang terjadi pada hipotalamus
dapat disebabkan karena pertumbuhan tumor atau luka cidera pada
hipotalamus itu sendiri, atau bisa juga disebabkan karena kelenjar hipofisis
mengalami kerusakan atau gangguan pada pembuluh darah. Kondisi tersebut
yang jika tidak ditangani dengan cepat akan mengakibatkan dan memicu
munculnya penyakit diabetes Insipidus sentral.

 Diabetes Insipidus Nefrogenesis


Sedangkan untuk jenis penyakit diabetes insipidus nefrogenesis, lebih
disebabkan karena adanya gangguan pada ginjal.Ginjal yang seharusnya
bertugas untuk memberikan reaksi pada hormon vasopresin justru tidak bisa
melaksanakan tugasnya dengan baik. Hormon vasopresin tetap diproduksi
dengan normal, akan terapi kondisi ginjal yang tidak prima membuat ginjal
tidak mampu untuk merespon dengan baik, maka dari itu cairan urin yang
semestinya bisa dikontrol pengeluarannya jadi tidak bisa terkontrol sehingga
seseorang yang menderita penyakit diabetes insipidus nefrogenesis akan lebih
sering ke kamar kecil untuk buang air kecil. Dibutuhkan serangkaian tes yang
cukup rumit dan berat untuk mengetahui apakah menderita penyakit ini atau
hanya menderita penyakit kencing biasa. Dan apakah penyebab diabetes
inspidius nefrogenesis beserta gejala nya cocok dengan apa yang dikeluhkan.

2. Hipersekresi
Hipersekresi kadang terjadi setelah hipotalamus mengalami cedera atau
karena tumor. Hal ini mengakibatkan retensi air, dilusi cairan tubuh, dan
peningkatan volume darah.

Lingkungan memang mempengaruhi terjadinya IDDM, namun berbagai ras dalam


satu lingkungan belum tentu memiliki perbedaan. Orang-orang kulit putih cenderung
memiliki insiden paling tinggi, sedangkan orang-orang cina paling rendah. Orang-orang
yang berasal dari daerah de-ngan insiden rendah cenderung akan lebih berisiko terkena
IDDM jika bermigrasi ke daerah penduduk dengan insiden yang lebih tinggi. Penderita
laki-laki lebih banyak pada daerah dengan insiden yang ting-gi, sedangkan perempuan
akan lebih berisiko pada daerah dengan insiden yang rendah.

Secara umum insiden IDDM akan meningkat sejak bayi hingga mendekati
pubertas, namun semakin kecil setelah pubertas. Terdapat dua puncak masa kejadian
IDDM yang paling tinggi, yakni usia 4-6 tahun serta usia 10-14 tahun. Kadang-kadang
IDDM juga dapat terjadi pada tahun-tahun pertama kehidupan, meskipun kejadiannya
sangat langka. Diagnosis yang telat tentunya akan menimbulkan kematian dini. Gejala
bayi dengan IDDM ialah napkin rash, malaise yang tidak jelas penyebabnya, penurunan
berat badan, senantiasa haus, muntah, dan dehidrasi.

Insulin merupakan komponen vital dalam metabolisme karbohidrat, lemak, dan


protein. Insulin menurunkan kadar glukosa darah dengan cara memfasilitasi masuknya
glukosa ke dalam sel, terutama otot serta mengkonversi glukosa menjadi glikogen
(glikogenesis) sebagai cadangan energi. Insulin juga menghambat pelepasan glukosa
dari glikogen hepar (glikogenolisis) dan memperlambat pemecahan lemak menjadi
trigliserida, asam lemak bebas, dan keton. Selain itu, insulin juga menghambat
pemecahan protein dan lemak untuk memproduksi glukosa (glukoneogenesis) di hepar
dan ginjal. Bisa dibayangkan betapa vitalnya peran insulin dalam metabolisme.

Defisiensi insulin yang dibiarkan akan menyebabkan tertumpuknya glukosa di


darah dan terjadinya glukoneogenesis terusmenerus sehingga menyebabkan kadar gula
darah sewaktu (GDS) meningkat drastis. Batas nilai GDS yang sudah dikategorikan
sebagai diabetes mellitus ialah 200 mg/dl atau 11 mmol/l. Kurang dari itu dikategorikan
normal, sedangkan angka yang lebih dari itu dites dulu dengan Tes Toleransi Glukosa
Oral (TTGO) untuk menentukan benar-benar IDDM atau kategori yang tidak toleran
terhadap glukosa oral.

c. Abnormalitas Sekresi Hormon Tiroid


1. Hipotiroidisme
 Hipotiroidisme adalah penurunan produksi hormon tiroid. Hal ini
mengakibatkan penurunan aktivitas metabolik, konstipasi, letargi, reaksi
mental lambat, dan peningkatan simpanan lemak. Pada anak-anak,
hipotiroidisme mengakibatkan retardasi mental dan fisisk, disebut dengan
kretinisme.

2. Hipertiroidisme adalah produksi hormon tiroid yang berlebihan. Hal ini


mengakibatkan aktivitas metabolik meningkat, berat badan turun, gelisah,
tumor,diare, frekuensi jantung meningkat, dan pada hipertiroidisme
berlebihan, gejalanya adalah toksisitas hormone.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN ANAK
”DM JUVENILE”

3.1 PENGKAJIAN
a. Identitas
meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, dan sebagainya yang digunakan
untuk membedakan klien satu dengan yang lain.

b. Keluhan utama
Ds yang timbul:
 Klien mengeluh sering kesemutan
 Klien mengeluh sering buang air kecil dimalam hari
 Klien mengeluh sering merasa haus
 Klien mengeluh mengalami rasa lapar yang berlebihan
 Klien mengeluh merasa lemah
 Klien mengeluh pandangan kabur.
Do:
 Klien tampak lemas
 terjadi penurunan berat badan
 tonus oto menurun
 terjadi atropi otot
 tampak adanya pernapasan yang cepat dan dalam.

c. Pemeriksaan fisik
 Aktivitas / istrahat.
Tanda : Lemah, letih, susah, bergerak / susah berjalan, kram otot, tonus otot
menurun.
 Sirkulasi
Tanda :
1. Adanya riwayat hipertensi : infark miokard akut, kesemutan pada
ekstremitas dan tachicardia.
2. Perubahan tekanan darah postural : hipertensi, nadi yang menurun / tidak
ada.
3. Disritmia, krekel : DVJ

 Neurosensori
Gejala : Pusing / pening, gangguan penglihatan, disorientasi : mengantuk,
lifargi, stuport / koma (tahap lanjut). Sakit kepala, kesemutan, kelemahan
pada otot, parestesia, gangguan penglihatan, gangguan memori (baru, masa
lalu) : kacau mental, refleks fendo dalam (RTD) menurun (koma), aktifitas
kejang.

 Nyeri / Kenyamanan
Gejala : Abdomen yang tegang / nyeri (sedang berat), wajah meringis dengan
palpitasi: tampak sangat berhati – hati.

 Keamanan
Gejala :
1. Kulit kering, gatal : ulkus kulit, demam diaporesis.
2. Menurunnya kekuatan immune / rentang gerak, parastesia / paralysis otot
termasuk otot – otot pernapasan (jika kadar kalium menurun dengan cukup
tajam).
3. Urine encer, pucat, kuning, poliuria (dapat berkembang menjadi oliguria /
anuria jika terjadi hipololemia barat).

d. Pemeriksaan penunjang
1. Glukosa darah : meningkat 100 – 200 mg/dl atau lebih.
2. Aseton plasma : positif secara menyolok.
3. Asam lemak bebas : kadar lipid dan kolesterol meningkat.
4. Osmolaritas serum : meningkat tetapi biasanya kurang dari 330 m osm/l.

3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN


a. Resiko ketidak seimbangan gula darah berhubungan dengan penyakit diabetes
melitus.
b. Kelelahan berhubungan dengan penurunan produksi energy metabolic yang
ditandai dengan sering lelah, lemah.
c. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
defisiensi insulin/penurunan intake oral
d. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan fungsi leucosit/ gangguan
sirkulasi.
e. Resiko cidera berhubungan dengan disfungsi sensoris

3.2 INTERVENSI KEPERAWATAN


a. Resiko ketidak seimbangan gula darah berhubungan dengan penyakit diabetes
melitus.
1. Pantau kadar gula darah
2. Pantau tanda dan gejala hiperglikemi dan hipoglikemi
3. Pantau tanda – tanda vital
4. Instruksikan pada pasien dan keluarga mengenai pencegahan dan pengenalan
tanda hiperglikemi dan hipoglikemi beserta manajemennya
5. Kolaborasikan pemberian insulin.

b. Kelelahan berhubungan dengan penurunan produksi energy metabolic yang


ditandai
1. Diskusikan dengan pasien dan keluarga tentang kebutuhan aktivitas
2. Tingkatkan partisipasi pasien dalam melakukan aktivitasnya.
3. Pantau TTV.

c. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


defisiensi insulin/penurunan intake oral.
1. Kolaborasikan tentang diet pada ahli gizi.
2. Pantau berat badan setiap hari
3. Libatkan keluarga dalam perencanaan makanan sesuai dengan indikasi.
4. Kolaborasikan pemberian insulin.

d. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan fungsi leucosit/ gangguan


sirkulasi.
1. Observasi tanda infeksi dan peradangan
2. Pertahankan teknik aseptic pada prosedur invasive
3. Tingkatkan upaya pencegahan dengan cara cuci tangan pada orang yang
berhubungan ddengan pasien, termasuk pasien sendiri.
4. Lakukan perubahan posisi, dan anjurkan baruk efektif dan napas dalam

e. Resiko cidera berhubungan dengan disfungsi sensori.


1. Pantau TTV
2. Orientasikan pasien dengan lingkungannya
3. Pantau adanya keluhan parestesia, nyeri, atau kehilanan sensori.
BAB IV
PENUTUP

4.1 KESIMPULAN
Sistem endokrin, dalam kaitannya dengan sistem saraf, mengontrol dan
memadukan fungsi tubuh. Kedua sistem ini bersama-sama bekerja untuk
mempertahankan homeostasis tubuh. Fungsi mereka satu sama lain saling berhubungan,
namun dapat dibedakan dengan karakteristik tertentu. Sistem endokrin memiliki fungsi
untuk mempertahankan hemoestatis, membatu mensekresikan hormon-hormon yang
bekerja dalam sistem persyarafan, pengaturan pertumbuhan dan perkembangan dan
kontrol perkembangan seksual dan reproduksi.

4.2 SARAN
Pada sistem endokrin ditemukan berbagai macam gangguan dan kelainan, baik
karena bawaan maupun karena faktor luar, seperti virus atau kesalahan mengkonsumsi
makanan. Untuk itu jagalah kesehatan anda agar selalu dapat beraktivitas dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA

Bare & Suzanne. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Volume 2 (Edisi 8).
Jakarta: ECG
Corwin J. Elizabeth. 2001. Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan (Edisi 2).
Jakarta: ECG
Doenges, E. Marilynn dan MF. Moorhouse. 2001. Rencana Asuhan Keperawatan (Edisi
III). Jakarta: ECG
Rostinah. TIM. 2017. Asuhan Keperawatan System Endokrin Dilengkapi Mind
Mapping Dan Asuhan Keperawatan Nanda Nic Noc. Yogyakarta: Deepublish
Rumahorbo, Hotma. 1999. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan System Endokrin.
Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai