Anda di halaman 1dari 27

ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS

PADA SISTEM ENDOKRIN DENGAN HIPOGLIKEMIA

Dosen Pengajar :
Nurma Afiani,S.Kep.,Ners.,M.Kep

Disusun Oleh
Kelompok 1

Krispina Melsadalim ( 1608.14201.490 )


Liliosa Friska Mumu ( 1608.14201.492 )
Lisye Angriani Miru ( 1608.14201.493 )
Pertus Sudi Zada ( 1608.14201.
Benyamin Bali Mema ( 1608.14201.

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


STIKES WIDYAGAMA HUSADA
MALANG
2019
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan hidayah, taufik,
dan inayahnya kepada kita semua. Sehingga tugas makalahini dapat
terselesaikan. Makalah yang berjudul “Makalah Kegawatan Psikiatri”ini dengan
tujuan untuk mengetahui tentang kegawatan psikiatri.
Selanjutnya kamimengucapkan banyak terimakasih kepada Ibu Nurma
Afiani W, S.Kep., Ners., M.Kep yang telah membimbing kami dalam pembuatan
makalah ini hingga selesai.
Mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila dalam penulisan
makalah ini terdapat banyak kesalahan didalamnya. Kami mengharapkan
saran dan kritik yang membangun demi tercapainya kesempurnaan
makalah selanjutnya.

            Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya


dan bagi pembaca umumnya.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Penulis,

ii
DAFTAR ISI

COVER
KATA PENGANTAR..............................................................................................ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..........................................................................................1
B. Tujuan.......................................................................................................2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Definisi.........................................................................................................3
B. Etiologi .........................................................................................................
C. Klasifikasi ....................................................................................................5
D. Patofisiologi ...............................................................................................9
E. Gejala........................................................................................................10
F. Penatalaksanaan ......................................................................................10
G. Asuhan keperawatan psikiatri....................................................................11

BAB III
A. Trend dan issue...........................................................................................

BAB IV PENUTUPAN
A. Kesimpulan...................................................................................................32
B. Saran......................................................................................................... 32

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................33
LAMPIRAN

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Diabetes melitus (DM) adalah penyakit metabolik yang bersifat


kronik, ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah sebagai
akibat dari adanya gangguan penggunaan insulin, sekresi insulin, atau
keduanya (Smeltzer et al, 2010; ADA, 2013). Insulin adalah hormon yang
disekresi dari pankreas dan dibutuhkan dalam proses metabolisme
glukosa. Saat insulin tidak bekerja sebagaimana fungsinya maka terjadi
penumpukan glukosa di sirkulasi darah atau hiperglikemia (Price &
Wilson, 2006). Berdasarkan standard of medical care in diabetes,
klasifikasi diabetes dijabarkan secara lengkap berdasarkan penyebabnya
(ADA, 2013). Diabetes tipe 1 adalah tubuh sangat sedikit atau tidak
mampu memproduksi insulin akibat kerusakan sel beta pankreas ataupun
adanya proses autoimun. Umumnya DM tipe 1 menyerang di usia anak-
anak dan remaja.

Diabetes tipe 2 adalah hasil dari gangguan sekresi insulin


progresif yang menyebabkan terjadinya resistensi insulin. DM tipe spesifik
lain terjadi sebagai hasil kerusakan genetik spesifik sekresi insulin dan
pergerakan insulin ataupun pada kondisi-kondisi lain. Diabetes
gestasional adalah diabetes yang terjadi selama kehamilan (ADA, 2013;
Alberti, 2010). Di antara tipe diabetes yang memiliki jumlah terbesar
adalah DM tipe 2 dengan prosentase 90% - 95% dari keseluruhan
penderita diabetes (IDF, 2012). Prevalensi DM tipe 2 paling besar
ditemukan pada populasi urban di negara-negara berkembang, dimana
diperkirakan jumlahnya akan meningkat sebesar 100% pada tahun 2030
(Wild et al, 2004). Perubahan demografik yang paling berperan dalam
meningkatkan prevalensi DM adalah peningkatan proporsi penduduk
berusia 65 tahun atau lebih (Sue Kirkman et al, 2012; Wild et al, 2004).

Estimasi IDF di tahun 2012 menunjukkan bahwa China


merupakan negara dengan prevalensi diabetes tertinggi di dunia dengan
jumlah penderita mencapai 92,3 juta jiwa, diikuti dengan India sebanyak
63 juta jiwa, dan Amerika Serikat 24,1 juta jiwa. Indonesia sendiri berada

1
pada peringkat ke 7 dengan jumlah penderita mencapai 7,6 juta jiwa.
Berdasarkan kecendrungan statistik selama 10 tahun terakhir, IDF
memprediksikan bahwa pada tahun 2030 Indonesia akan berada pada
peringkat ke enam dengan jumlah penderita mencapai 12 juta jiwa (IDF,
2012). Prevalensi nasional diabetes melitus yang berada di perkotaan
lebih tinggi dibandingkan yang berada di pedesaan (Kemenkes RI, 2007).
Berdasarkan hasil pengukuran gula darah pada penduduk berusia di atas
15 tahun yang bertempat tinggal di perkotaan adalah 5,7%. Sebanyak 13
provinsi mempunyai prevalensi DM di atas prevalensi nasional, yaitu
Nanggroe Aceh Darussalam, Riau, Lampung, Bangka Belitung, DKI
Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, Kalimantan Barat,
Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Maluku Utara
(Kemenkes RI, 2007).

Dari hasil penelitian Riskesdas pada tahun 2007, diperoleh


pravalensi total DM tipe 2 di Provinsi Jawa Barat padadaerah perkotaan
mencapai 4,2% dengan persentase toleransi glukosa terganggu (TGT)
mencapai 7,8%. Sementara itu untuk survei di daerah pedesaan
menunjukkan bahwa prevalensi DM mencapai 1,1% (Kemenkes RI,
2007). Kota Depok memiliki angka diabetes yang cukup tinggi.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI dan bekerjasama dengan
WHO dalam Rahjeng & Kusumawardhani (2007) menunjukkan bahwa
prevalensi penderita diabetes di Kota Depok pada rentang usia 25-64
tahun adalah sebesar 8% dengan prevalensi tertinggi pada rentang usia
55-64 tahun yakni sebesar 21,5%. Sedangkan prevalensi untuk kadar
glukosa darah puasa di atas normal adalah sebesar 6,1% pada rentang
usia 25-64 tahun. Prevalensi tertinggi diperoleh pada rentang usia 5564
tahun yakni sebesar 15,2%. Sedangkan untuk prevalensi gula darah
sewaktu di atas normal mencapai 3,2% pada rentang usia 25-64 tahun,
dengan prevalensi tertinggi pada rentang usia 55-64 tahun yakni sebesar
7%. Secara umum diabetes melitus memerlukan perawatan jangka
panjang yang membutuhkan pengawasan. Tanpa pengelolaan yang baik
maka akan terjadi peningkatan gula darah yang dapat menimbulkan
komplikasi pada banyak organ dan jaringan (Doriguzzi, 2012).

2
American Diabetes Association tahun 2005 melaporkan bahwa
orang dengan DM memiliki ketakutan yang lebih terhadap hipoglikemia
dibandingkan saat mereka mengalami komplikasi kronik diabetes.
Penyandang DM atau yang sering disebut diabetisi akan menghadapi
situasi dilematik dalam pencegahan komplikasi hiperglikemi maupun
hipoglikemi (Wu, Juang, & Yeh, 2011). Situasi dilematik yang dihadapi
adalah pasien diharuskan untuk mencegah hiperglikemi dengan
mempertahankan kadar gula darah normal melalui pengelolaan terapi
insulin, mengkonsumsi obat oral ataupun dengan modifikasi gaya hidup
seperti melalui olahraga dan diet dengan teratur. Di lain hal, pasien juga
menghadapi ketakutan dan kekhawatiran akan efek samping terapi yang
dapat menyebabkan komplikasi hipoglikemia (Wu et al, 2011). Penelitian
Cefalu (2005) & Doriguzzi (2012) menjelaskan bahwa strategi utama
dalam mengontrol hipoglikemia adalah memberikan edukasi pada pasien
tentang gejala awal hipoglikemia, bagaimana menolong atau merawat diri
sendiri saat hipoglikemi terjadi. Pasien diajarkan dalam mengatur waktu
kebutuhan makan, membatasi jumlah karbohidrat yang dimakan, sering
memonitor gula darah dan belajar mengenali hubungan penurunan
tingkat gula darah dengan gejala hipoglikemi.

Di Indonesia, peneliti juga belum menemukan publikasi riset


terkait persepsi dan pengalaman pasien menghadapi hipoglikemia.
Dengan adanya perubahan paradigma pelayanan kesehatan yang
berfokus pada pasien (patient-centred) daripada berfokus hanya pada
penyakit maka tenaga kesehatan khususnya perawat harus memiliki
pemahaman yang komprehensif terhadap pengalaman hipoglikemi dari
perspektif diabetisi (Cryer, 2008; Stewart, 2001). Pemahaman itu dapat
dijadikan perawat sebagai salah satu sumber dalam melengkapi
pengkajian proses keperawatan secara holistik bahwa perawat melihat
pasien secara menyeluruh meliputi aspek bio-psikososio dan spiritual.
Sejalan dengan fenomena tentang begitu kompleksnya masalah yang
dihadapi pasien dalam mengontrol gula darahnya termasuk pengalaman
yang menakutkan jika menghadapi hipoglikemia, peneliti tertarik untuk
menggali pengalaman pasien tersebut dari segi perspektif pasien.

3
A. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang sebelumnya, maka dapat dirumuskan
beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan diabetes mellitus?
2. Apa yang yang dimaksud dari Hipoglikemia ?
3. Apa saja etiologi hipoglikemia?
4. Apa patofisiologi hipoglikemia ?
5. Apa saja manifestasi klinis hipoglikemia ?
6. Apa penanganan yang tepat untuk mencegah hipoglikemia ?

B. Tujuan
1. Untuk mengetahaui pengertian dari Diabetes Melitus
2. Untuk mengetahaui penegertian dari Hipoglikemia
3. Untuk mengetahui etiologi hipoglikemia
4. Untuk mengetahui patofisiologi hipoglikemia
5. Untuk menegtahui manifestasi klinis hipoglikemia
6. Untuk menegtahui penanganan yang tepat untuk mencegah
hipoglikemia
a.

4
BAB II
TINJAUAN KONSEP

A. Definisi Diabetes Militus


Diabetes melitus (DM) adalah penyakit metabolik yang bersifat kronik,
ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah sebagai akibat dari
adanya gangguan penggunaan insulin, sekresi insulin, atau keduanya
(Smeltzer et al, 2010; ADA, 2013). Insulin adalah hormon yang disekresi dari
pankreas dan dibutuhkan dalam proses metabolisme glukosa. Saat insulin
tidak bekerja sebagaimana fungsinya maka terjadi penumpukan glukosa di
sirkulasi darah atau hiperglikemia (Price & Wilson, 2006).
Diabetes mellitus adalah penyakit yang disebakan oleh gagalnya
penguraian zat gula dalam darah pada tubuh normal, zat gula yang di uarai
menjadi glukosa dan oleh hormone insulin yang diproduksi sel beta pancreas.
Glukosa dan glikogen ini yang kemudian oleh tubuh melalui proses
metabolisme atau pembakaran diubah menjadi energy ( Hartini, 2009 ).
Diabetes mellitus adalah gangguan kesehatan dengan gejala yang timbul
pada seseorang yang disebabkan oleh peningkatan kadar gula dalam darah
akibat kekurangan insulin ataupun resistensi insulin dan gangguan metabolic.
Penyakit diabetes akan menimbulkan komplikasi baik yang akut maupun yang
kronis atau menahun apabila tidak dikendalikan dengan baik ( Isniati, 2007 ).

Berdasarkan standard of medical care in diabetes, klasifikasi diabetes


dijabarkan secara lengkap berdasarkan penyebabnya (ADA, 2013). Diabetes
tipe 1 adalah tubuh sangat sedikit atau tidak mampu memproduksi insulin
akibat kerusakan sel beta pankreas ataupun adanya proses autoimun.
Umumnya DM tipe 1 menyerang di usia anak-anak dan remaja. Diabetes tipe
2 adalah hasil dari gangguan sekresi insulin progresif yang menyebabkan
terjadinya resistensi insulin. DM tipe spesifik lain terjadi sebagai hasil
kerusakan genetik spesifik sekresi insulin dan pergerakan insulin ataupun
pada kondisi-kondisi lain. Diabetes gestasional adalah diabetes yang terjadi
selama kehamilan (ADA, 2013; Alberti, 2010). Di antara tipe diabetes yang
memiliki jumlah terbesar adalah DM tipe 2 dengan prosentase 90% - 95% dari
keseluruhan penderita diabetes (IDF, 2012).

5
B. Pengertian Hipoglikemia
Hipoglikemia merupakan salah satu kegawatan diabetic yang
mengancam, sebagai akibat dari menurunnya kadar glukosa darah < 60
mg/dl. Hipoglikemia atau penurunan kadar gula darah merupakan keadaan
dimana kadar glukosa darah berada di bawah normal, yang dapat terjadi
karena ketidakseimbangan antara makanan yang dimakan, aktivitas fisik dan
obat-obatan yang digunakan. Sindrom hipoglikemia ditandai dengan gejala
klinis antara lain penderita merasa pusing, lemas, gemetar, pandangan
menjadi kabur dan gelap, berkeringat dingin, detak jantung meningkat dan
terkadang sampai hilang kesadaran (syok hipoglikemia). (Nabyl, 2009)
Hipoglikemia adalah episode ketidaknormalan konsentrasi glukosa
dalam plasma darah yang menunjukkan nilai kurang dari 3,9 mmol/ l (70
mg/dl) dan merupakan komplikasi akut DM yang seringkali terjadi secara
berulang (Cryer, 2005). Ada sedikit variasi nilai kadar gluksa darah dalam
mendefinisikan hipoglikemia. Menurut Smeltzer et al (2010) hipoglikemia
terjadi ketika kadar glukosa kurang dari 50-60 mg/dl, menurut Wiliams &
Hopper (2007) < 50 mg/dl, Dunning (2009) < 54 mg/dl dan (Cryer, 2010);
Ferry (2013) <= 70 mg/dl. Berdasarkan American Diabetes Association
Workgroup on Hypoglycemia, (2005) sesuai perkembangan ilmu pengetahuan
dan banyak riset tentang hipoglikemia, nilai <= 70 mg/dl adalah nilai rujukan
yang sekarang digunakan untuk mendefinisikan hipoglikemia (ADA, 2005).

C. Etiologi Hipoglikemia
1. Pelepasan insulin yang berlebihan oleh pankreas
2. Dosis insulin atau obat lainnya yang terlalu tinggi, yang diberikan
kepada penderita diabetes untuk menurunkan kadar gula darahnya
3. Kelainan pada kelenjar hipofisa atau kelenjar adrenal
4. Kelainan pada penyimpanan karbohidrat atau pembentukan glukosa di
hati.Secara umum, hipogklikemia dapat dikategorikan sebagai yang
berhubungan dengan obat dan yang tidak berhubungan dengan obat.
Sebagian besar kasus hipoglikemia terjadi pada penderita diabetes dan
berhubungan dengan obat. Hipoglikemia yang tidak berhubungan
dengan obat lebih jauh dapat dibagi lagi menjadi:
a) Hipoglikemia karena puasa, dimana hipoglikemia terjadi setelah
berpuasa

6
b) Hipoglikemia reaktif, dimana hipoglikemia terjadi sebagai reaksi
terhadap makan, biasanya karbohidrat.
5. Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh insulin atau obat lain
(sulfonilurea) yang diberikan kepada penderita diabetes untuk
menurunkan kadar gula darahnya. Jika dosisnya lebih tinggi dari
makanan yang dimakan maka obat ini bisa terlalu banyak menurunkan
kadar gula darah. Penderita diabetes berat menahun sangat peka
terhadap hipoglikemia berat. Hal ini terjadi karenasel-sel pulau
pankreasnya tidak membentuk glukagon secara normal dan kelanjar
adrenalnya tidak menghasilkan epinefrin secara normal. Padahal kedua
hal tersebut merupakan mekanisme utama tubuh untuk mengatasi kadar
gula darah yang rendah.
6. Pentamidin yang digunakan untuk mengobati pneumonia akibat AIDS
juga bisa menyebabkan hipoglikemia. Hipoglikemia kadang terjadi pada
penderita kelainan psikis yang secara diam-diam menggunakan insulin
atau obat hipoglikemik untuk dirinya.
7. Pemakaian alkohol dalam jumlah banyak tanpa makan dalam waktu
yang lama bisa menyebabkan hipoglikemia yang cukup berat sehingga
menyebabkan stupor. Olah raga berat dalam waktu yang lama pada
orang yang sehat jarang menyebabkan hipoglikemia.
8. Puasa yang lama bisa menyebabkan hipoglikemia hanya jika terdapat
penyakit lain (terutama penyakit kelenjar hipofisa atau kelenjar adrenal)
atau mengkonsumsi sejumlah besar alkohol. Cadangan karbohidrat di
hati bisa menurun secara perlahan sehingga tubuh tidak dapat
mempertahankan kadar gula darah yang adekuat.
9. Pada orang-orang yang memiliki kelainan hati, beberapa jam berpuasa
bisa menyebabkan hipoglikemia.
10. Bayi dan anak-anak yang memiliki kelainan sistem enzim hati yang
memetabolisir gula bisa mengalami hipoglikemia diantara jam-jam
makannya.
11. Seseorang yang telah menjalani pembedahan lambung bisa mengalami
hipoglikemia diantara jam-jam makannya (hipoglikemia alimenter, salah
satu jenis hipoglikemia reaktif). Hipoglikemia terjadi karena gula sangat
cepat diserap sehingga merangsang pembentukan insulin yang
berlebihan. Kadar insulin yang tinggi menyebabkan penurunan kadar

7
gula darah yang cepat. Hipoglikemia alimentari kadang terjadi pada
seseorang yang tidak menjalani pembedahan. Keadaan ini
disebuthipoglikemia alimentari idiopatik.
12. Jenis hipoglikemia reaktif lainnya terjadi pada bayi dan anak-anak
karena memakan makanan yang mengandung gula fruktosadan
galaktosa atau asam amino leusin. Fruktosa dan galaktosa menghalangi
pelepasan glukosa dari hati, leusin merangsang pembentukan insulin
yang berlebihan oleh pankreas. Akibatnya terjadi kadar gula darah yang
rendah beberapa saat setelah memakan makanan yang mengandung
zat-zat tersebut.
13. Hipoglikemia reaktif pada dewasa bisa terjadi setelah mengkonsumsi
alkohol yang dicampur dengan gula (misalnya gin dan tonik).
Pembentukan insulin yang berlebihan juga bisa menyebakan
hipoglikemia. Hal ini bisa terjadi pada tumor sel penghasil insulin di
pankreas (insulinoma). Kadang tumor diluar pankreas yang
menghasilkan hormon yang menyerupai insulin bisa menyebabkan
hipoglikemia.
14. Penyebab lainnya adalah penyakti autoimun, dimana tubuh membentuk
antibodi yang menyerang insulin. Kadar insulin dalam darah naik-turun
secara abnormal karena pankreas menghasilkan sejumlah insulin untuk
melawan antibodi tersebut. Hal ini bisa terjadi pada penderita atau
bukan penderita diabetes.
15. Hipoglikemia juga bisa terjadi akibat gagal ginjal atau gagal jantung,
kanker, kekurangan gizi, kelainan fungsi hipofisa atau adrenal, syok dan
infeksi yang berat.
16. Penyakit hati yang berat (misalnya hepatitis virus, sirosis atau kanker)
juga bisa menyebabkan hipoglikemia.

D. Patofisiologis

Normal tubuh mempertahankan kadar gula darah antara 60-120


mg/dl. agar dapat memberi sumber energi bagi metabolisme sel. Pemasukan
glukosa dari berbagai sumber seperti : pemasukan makanan, pemecahan
glikogen, glukoneogenesis memacu terjadinya respon insulin. Orang sehat
akan segera memproduksi Hormon insulin untuk menurunkan kembali kadar
gula darah ke level yang normal.

8
Pada orang Diabetes Melitus, terjadi defisiensi Insulin, sehingga
Glukosa tidak bisa dimanfaatkan oleh sel dan hanya beredar di pembuluh
darah sehingga menimbulkan Hiperglikemia. Untuk menurunkan kadar gula
darah biasanya diberikan Insulin, namun karena dosis yang kurang tepat bisa
menimbulkan penurunan glukosa darah yang cepat.
Efek dari penurunan glukosa darah , bisa timbul Hipoglikemia, dengan
gejala yang ringan sampai berat. Gejala Hipoglikemia Ringan, ketika kadar
glukosa darah menurun, sistem syaraf simpatis akan terangsang. Terjadi
pelimpahan adrenalin ke dalam darah menyebabkan gejala : perspirasi,
tremor, takhikardia, palpitasi, gelisah dan rasa lapar.
Pada Hipoglikemia Sedang, penurunan kadar glukosa darah
menyebabkan sel-sel otak tidak memperoleh cukup bahan bakar dengan
baik. Tanda-tanda gangguan fungsi pada sistem syaraf pusat mencakup
ketidakmampuan berkonsentrasi, sakit kepala, vertigo, konfusio, penurunan
daya ingat, patirasa di daerah bibir serta lidah, bicara pelo, gerakan tidak
terkoordinasi, perubahan emosional, penglihatan ganda dan perasaan ingin
pingsan.
Pada Hipoglikemia Berat, fungsi sistem syaraf pusat mengalami
gangguan yang sangat berat sehingga pasien memerlukan pertolongan
orang lain untuk mengatasi Hipoglikemia yang diderita, gejalnya :
Disorientasi, serangan kejang, sulit dibangunkan dari tidur, kehilangan
kesadaran.

Terjadi hipoglikemia bila serum glukosa tidak cukup untuk memenuhi


kebutuhan jaringan. Sistem saraf sangat sensitif terhadap penurunan kadar
glukosa serum, karena glukosa merupakan sumber energi utama. Otak tidak
dapat menggunakan sumber energi lain (ketone, lemak) kecuali glukosa.
Sebagai konsekwensi penurunan kadar glukosa, maka akan mempengaruhi
aktivitas sistem saraf.

Dalam keadaan normal, penurunan glukosa serum oleh karena


aktivitas hormon insulin secara akut, akan merangsang sekresi hormon
glukagon dan epinephrin yang dapat meningkatkan kadar glukosa darah.
Sekresi hormon glukagon pada penderita IDDM mengalami
gangguan, sehingga tidak dapat menaikkan kadar gula darah. Peran hormon
glukagon diasumsikan akan digantikan oleh hormon ephinephrine untuk
menaikan gula darah, dengan cara meningkatkan produksi glukosa hepar

9
dan menghambat sekresi hormon insulin. Akan tetapi pada penderita IDDM
sekresi hormon ephinephrine juga menurun, sebagai akibat adanya
gangguan saraf outonom.
Respon terhadap penurunan kadar gula darah (hipoglikemia) dapat
dibedakan menjadi 2 kategori yaitu :
1. Gejala adrenergik  sebagai akibat dari stimulasi sistem saraf outonom
dengan gejala palpitasi, iritabile, kelemahan umum, dilatasi pupil, pucart,
keringat dingin.
2. Gejala neuroglycopenia  sebagai akibat dari tidak adekwatnya suplay
gula darah ke jaringan saraf, yaitu sakit kepala, gelisah, tidak mampu
konsentrasi, bicara tidak jelas, gangguan penglihatan, kejang, coma. Hal
ini sering tampak pada kadar glukosa darah dibawah 45 – 50 mg/dl.

E. Manifestasi Klinis
Hipoglikemia diklasifikasikan sebagai ringan, sedang dan berat
berdasarkan tanda dan gejala serta kebutuhan bantuan dari luar (Frederick,
Cox, & Clarke, 2003).

Pada hipoglikemia ringan, ketika kadar glukosa darah menurun, system


saraf simpatik akan terangsang. Pelimpahan adrenalin ke dalam darah
menyebabkan gejala seperti :
a. Tremor
b. Takikardi
c. Palpitasi
d. Kegelisahan
e. Rasa lapar.
Pada hipoglikemia sedang, penurunan kadar glukosa darah
menyebabkan sel-sel otak tidak memperoleh cukup bahan bakar untuk
bekerja dengan baik. Tanda-tanda gangguan fungsi pada system saraf pusat
mencakup :
a. Ketidakmampuan konsentrasi
b. Sakit kepala
c. Vertigo
d. Konfusi
e. Penurunan daya ingat
f. Pati rasa di daerah bibir dan lidah

10
g. Bicara pelo
h. Gerakan tidak terkoordinasi
i. Perubahan emosional
j. Perilaku yang tidak rasional
k. Penglihatan ganda
l. Perasaan ingin pingsan.
Pada hipoglikemia berat, fungsi system saraf pusat mengalami
gangguan sangat berat sehingga pasien memerlukan pertolongan
orang lain untuk mengatasi hipoglikemia yang dideritanya. Gejala
dapat mencakup :
a. Perilaku yang mengalami disorientasi
b. Serangan kejang
c. Sulit dibangunkan dari tidur atau bahkan kehilangan kesadaran.
Hipoglikemia berat sering muncul tanpa dirasakan, menimbulkan
gejala keletihan fisik, kebingungan, perubahan perilaku, koma, kejang
sampai terjadi kematian. Kondisi ini membutuhkan bantuan
penatalaksanaan medis secara cepat (Cryer et al, 2003; Frederick et al,
2003).
Gejala hipoglikemia dapat terjadi mendadak dan tanpa terduga
sebelumnya. Kombinasi semua gejala tersebut dapat bervariasi antara
pasien yang satu dan lainnya. Sampai derajat tertentu, gejala ini dapat
berhubungan dengan tingkat penurunan kadar glukosa darah yang
sebenarnya atau dengan kecepatan penurunan kadar tersebut. Sebagai
contoh, pasien yang biasanya memiliki glukosa darah dalam kisaran
hiperglikemia (misalnya, sekitar 200-an atau lebih ) dapat merasakan
gejala hipoglikemi (adrenergik) kalau kadar glukosa darahnya secara tiba-
tiba turun hingga 120 mg/dl (6,6 mmol/L) atau kurang. Sebaliknya, pasien
yang biasanya memiliki kadar glukosa drah yang rendah namun masih
berada dalam rentang yang normal dapat tetap asimtomatik meskipun
kadar glukosa tersebut turun secara perlahan-lahan sampai dibawah 50
mg/dl (2,7 mmol/L).
Faktor lain yang berperan dalam menimbulkan perubahan gejala
hipoglikemi adalah penurunan respon hormonal (adrenergik) terhadap
hipoglikemi. Keadaan ini terjadi pada sebagian pasien yang telah
menderita diabetes selama bertahun-tahun. Penurunan respon

11
adrenergic tersebut dapat berhubungan dengan salah satu komplikasi
kronis diabetes yaitu neuropati otonom. Dengan penurunan kadar glukosa
darah, limpahan adrenalin yang normal tidak terjadi. Pasien tidak
merasakan gejala adrenergic yang lazim seperti perasaan lemah.
Keadaan hipoglikemi ini mungkin baru terdeteksi setelah timbul gangguan
system saraf pusat yang sedang atau berat.

F. Penatalaksanaan

1. Glukosa 40% IV, atau glukosa 10% IV setelah 6 jam


2. Glukagon 1-3 mg IM/SC namun jarang dilakukan
3. TKTP
4. Bila tidak ada gangguan sistem syaraf pusat, diberi minuman cairan
yang mengandung karbohidrat
5. Monitor gula darah tiap jam jika perlu
Hipoglikemia membutuhkan penanganan dengan cepat dan tepat
sehingga tidak berdampak merusak organ utama manusia terutama otak
(Amiel et al, 2008; Bonds et al, 2010). Penurunan kadar glukosa di bawah nilai
< 55 mg/dl akan berdampak secara akut pada fungsi otak karena otak sangat
tergantung dengan glukosa dan otak tidak mampu menyimpan cadangan
glukosa untuk proses metabolismenya (Zammitt & Frier, 2005). Sel otak akan
mengalami iskemia apabila tidak mendapatkan suplai oksigen dan glukosa 4-
6 menit, serta akan menimbulkan kerusakan otak yang bersifat irreversible jika
lebih dari 10 menit (Liang et al, 2009 ).
Gejala hipoglikemia akan menghilang dalam beberapa menit setelah
penderita mengkonsumsi gula (dalam bentuk permen atau tablet glukosa)
maupun minum jus buah, air gula atau segelas susu. Seseorang yang sering
mengalami hipoglikemia (terutama penderita diabetes), hendaknya selalu
membawa tablet glukosa karena efeknya cepat timbul dan memberikan
sejumlah gula yang konsisten. Baik penderita diabetes maupun bukan,
sebaiknya sesudah makan gula diikuti dengan makanan yang mengandung
karbohidrat yang bertahan lama (misalnya roti atau biskuit).
Jika hipoglikemianya berat dan berlangsung lama serta tidak mungkin
untuk memasukkan gula melalui mulut penderita, maka diberikan glukosa
intravena untuk mencegah kerusakan otak yang serius. Seseorang yang
memiliki resiko mengalami episode hipoglikemia berat sebaiknya selalu

12
membawa glukagon. Glukagon adalah hormon yang dihasilkan oleh sel pulau
pankreas, yang merangsang pembentukan sejumlah besar glukosa dari
cadangan karbohidrat di dalam hati. Glukagon tersedia dalam bentuk suntikan
dan biasanya mengembalikan gula darah dalam waktu 5-15 menit. Tumor
penghasil insulin harus diangkat melalui pembedahan.
Sebelum pembedahan, diberikan obat untuk menghambat pelepasan
insulin oleh tumor (misalnya diazoksid). Bukan penderita diabetes yang sering
mengalami hipoglikemia dapat menghindari serangan hipoglikemia dengan
sering makan dalam porsi kecil.

13
KONSEP
ASUHAN KEPERAWATAN HIPOGLIKEMIA

1. Pengkajian Keperawatan
a. Riwayat keperawatan
1) Persepsi – managemen kesehatan
 Riwayat DM
 Riwayat pemakaian insulin, oral hipoglikemic
 Riwayat diet dan olah raga.
 Riwayat periksa.
2) Nutrisi – metabolik
 Merasa lapar
 Mengeluh mual
3) Eliminasi
 Mengeluh banyak mengeluarkan keringat.
4) Aktivitas – exercise
 lelah, lemas.
 Pingsan
5) Kognitif
 Tidak ada konsentrasi.
 Penglihatan kabur.
b. Pemeriksaan fisik
1) Cardiovaskular
 Tachycardia, palpitasi, sinkope.
2) Integumen
 Pucat, diaphoresis.
3) Neurologi
 Iritable, perilaku tidak terkontrol, kejang, coma.
4) Muskuloskeletal
 Kelemahan
c. Pemeriksaan diagnostik
 Glukosa serum kurang dari 50 mg/ dl.

14
2. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan
a. Gangguan fungsi cerebral bd hypoglikemia.
Intervensi :
 Berikan cairan glukosa 50 % sebanyak 50 ml IV(sesuai program )
 Berikan injeksi glukagon 1 mg SC atau IM( sesuai program ).
 Berikan dan pertahankan infus Dextrose 10 %( sesuai program ),
sampai kadar gula darah 200 mg/ dl pasien sadar.
 Monitor fungsi neurologi: tingkat kesadaran, gangguan penglihatan,
paralisis, kejang, dll.
 Monitor fungsi adrenergik: tanda vital( HR, TD, Nadi, RR, suhu ).
 Monitor kadar gula darah.

b. Resiko injury : kejang bd perubahan metabolisme neural karena


hipoglikemia.
Intervensi :
 Berikan pengaman tempat tidur.
 Aturlah tempat tidur yang rendah.
 Siapkan alat emergency: suction, oropharingeal/nashoparingeal
tube, oksigen.
 Observasi secara kontinyu kemungkinan timbulnya kejang.

c. Kurangnya pengetahuan tentang penyakit, terapi, aktivitas.


Intervensi :
 Berikan penkes terhadap keluarga tentang: Penyakit, program terapi
dan bentuk diet serta aktivitas.

3. Evaluasi Keperawatan
a. Klien memiliki fungsi cerebral yang optimal
Krteria :
 Dapat berorientasi terhadap orang, tempat dan waktu.
 Tekanan darah dalam batas normal.

15
 HR lebih 60 dan kurang dari 100 x/menit, irama teratur.
 RR < 25 x/menit.
 Glukosa serum stabil 70 – 110 mg/100 ml.
b. Klien tidak mengalami injury
Kriteria :
 Tidak jatuh.
 Tidak kejang.
 Tidak aspirasi
 Tidak cidera lidah.
c. Keluarga dan klien mengetahui penyakit, program terapi, aktivitas.
Kriteria :
 Mampu menjelaskan penyakit, program terapi dan aktivitas dengan
bahasa sederhana.
 Kooperatif dalam program tindakan.

16
BAB III
PEMBAHASAN

A. Alternatif Pemecahan Masalah Pada Kondisi Kritis Pasien DM

Pendekatan tanpa obat pada dasarnya merupakan penatalaksanaan


atau pengelolaan pada penderita DM. pengelolaan tersebut di mulai melalui
pengaturan makan (Diet) sesuai kebutuhan kalori, olahraga dengan latihan
fisik yang cukup selama beberapa waktu. Obat di berikan jika kadar gula
darah belum/tidak memenuhi kadar sasaran metabolic yang di harapkan atau
di katakan kurang efektif, maka pendekatan dengan obat dapat di lakukan,
obat yang di berikan adalah obat oral (OHO) atau dapat di berikan suntikan
insulin sesuai dengan dosis dan indikasi (Wahyidiyah, 2010). Penatalksanaan
ini perlu di patuhi oleh pasien DM.

Berikut tahapan tatalaksana pada penderita DM untuk meminimalkan pasien


ke kondisi kritis :

PENGATURAN
EDUKASI
DIET DM

FARMAKOLOGI
LATIHAN FISIK TERAPI

TERAPI FARMAKOLOGI DI
BERIKAN JIKA PASIEN
JATUH PADA KONDISI
KRITIS
EX : (HIPOGLIKEMIA)

17
B. Tatalaksana Pasien DM Dengan Kondisi Kritis Hipoglikemia
Menurut PERKENI (2006) pedoman tatalaksana hipoglikemia sebagai
berikut:
1. Glukosa di arahkan pada kadar glukosa puasa yaitu 120mg/dl.
2. Bila di perlukan pemberian glukosa cepat (IV) 1 flakon (25cc) Dex 40%
(10gr Dex) dapat menaikan kadar glukosa kurang lebih 25-30 mg/dl.

Manajemen Hipoglikemia menurut Soemadji (2006); Rush & Louise


(2004) :

Tergantung derajat Hipoglikemia :

1. Hipoglikemia Ringan
a) Diberikan 150-200 ml teh manis atau jus buah atau 6-10 butir
permen atau 2-3 sendok the sirup atau madu.
b) Bila gejala tidak berkurang dalam 15 menit maka ulangi
pemberianya.
c) Tidak di anjurkan untuk mengkonsumsi makanan tinggi kalori
seperti cokelat, kue, donat, ice cream, cake.
2. Hipoglikemia Berat
a) Tergantung tingkat kesadaran pasien.
b) Bila klien dalam keadaan tidak sadar maka jangan memberikan
makanan atau minuman ASPIRASI.
3. Terapi Hipoglikemia
a) Glukosa oral
b) Glukosa intravena
c) Glucagon 1mg (SC/IM)
d) Thiamine 100mg (IV/IM) pada pasien alcoholic atau Wernicke
encephalopathy
e) Monitoring.

18
Tabel Tatalaksna Farmakologi :

Kadar Glukosa Terapi Hipoglikemi


(dengan rumus 3-2-1)

<30mg/dl Injeksi IV Dex.40%(25cc)bolus 3 flakon

30-60 mg/dl Injeksi IV Dex.40%(25cc)bolus 2 flakon

60-100mg/dl Injeksi IV Dex.40%(25cc)bolus 1 flakon

FOLLOW UP :
1. Periksa kadar gula darah lagi 30 menit sesudah injeksi IV
2. Sesudah bolus 3 atau 2 atau 1 flakon setelah 30 menit dapat di
berikan 1 flakon lagi sampai 2-3x untuk mencapai kadar >120mg/dl.

C. Evaluasi Oleh Fasilitator


1) Mengapa pada hipoglikemia tidak di berikan ice cream, cake, atau nasi
untuk penanganan hipoglikemia.
2) Jenis insulin
3) Pemilihan jenis insulin yang di pergunakan pada regulasi cepat.
4) Tindkan follow up pada pasien hipoglikemia.
5) Contoh-contoh kasus
Seorang perawat kritis harus bisa mengetahui jenis terapi yang tepat
pada pasien hipoglikemia untuk meningkatkan survival pasien dengan
penurunan kesadaran atau kondisi yang mengancam.

D. Aplikasi Pemantau Kadar Gula Darah Pasien


Elvasense merupakan sebuah alat pengukuran gula darah yang
baru saja di luncurkan di Indonesia dengan tujuan memungkinkan
seseorang untuk memantau kadar gula darah kapan saja dan dimana
saja. Alat ini di gunakan bersama dengan aplikasi yang dapat di instal
pada ponsel pintar berbasis iOS maupun android. (Business Unit Head
PT Enseval Medika Prima). Dengan adanya aplikasi dan alat ukur gula

19
darah ini menjadi solusi bagi penderita dm karena dapat di evaluasi
dengan cepat kadar gula darah misalnya saat stress kadar gula darah
dapat tinggi sehingga hal ini merupakan dasar/ alat deteksi dini pasien
DM sebelum jatuh ke kondisi yang mengancam nyawa akibat kurang
pengetahuan ujar Dicky Mulyono.

20
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Perasaan traumatis merupakan stressor bagi penyandang DM yang
pernah memiliki penengalaman hipoglikemia. Pemahaman partisipan
terhadap penyebab hipoglikemia berbeda-beda walaupun latar belakang
pendidikan tinggi tidak menjamin seseorang tidak mengalami hipoglikemia
kembali. Kesadaran untuk pencegahan hipoglikemia akan muncul setelah
penyandang DM mengalami hipoglikemia terlebih dahulu. Kayakinan diri
merupakan sumber koping yang paling utama bagi penyandang DM dalam
menghadapi kondisi hipoglikemia karena dengan menumbuhkan keyakinan
yang kuat untuk tetap belajar, mengenali gejala awal hipoglikemia maka
kejadian hipoglikemia akan dapat dicegah. Kebutuhan pelayanan
keperawatan sangat diharapkan oleh para penyandang DM selain dari
pelayanan medis itu sendiri. Penyandang DM mengharapkan bahwa
pelayanan kesehatan itu harus memegang teguh prinsip menghargai orang
lain, pemberian informasi dan pendekatan fisik dan psikis yang tepat serta
dalam pemberian pelayanan kesehatan juga harus mempertimbangkan
aspek finansial dan sosial.

B. Saran
1. Bagi institusi pelayanan keperawatan bahwa
telah diketahui bahwasannya penyandang DM yang pernah mengalami
hipoglikemia menunjukkan dampak psikologis berupa ketakutan
terhadap serangan ulang maka pelayanan keperawatan hendaknya
memberikan pendekatan interpersonal pada individu melalui edukasi
secara berkelanjutan, memberikan motivasi dan penguatan terhadap
kepercayaan diri pasien sehingga penyandang DM mampu menghadapi
hipoglikemia yang dapat menyerangnya setiap saat.
2. Bagi penelitian selanjutnya perlu dilakukan penelitian kembali tentang
pengalaman episode hipoglikemia pada penyandang diabetes melitus
tipe 1. Hal ini perlu dilakukan karena penyandang DM tipe 1 dari hasil

21
berbagai riset terkait episode hipoglikemia menunjukkan onset yang
lebih sering dibandingkan dengan DM tipe 2. Dengan adanya penelitian
ini, diharapkan tema yang didapatkan dari hasil penelitian dapat
menggambarkan pengalaman yang berbeda dari pengalaman
mengalami episode hipoglikemia dari 2 tipe DM tersebut.

22
DAFTAR PUSTAKA

Doenges, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien Ed. 3. Jakarta:
EGC.

Rumahorbo, Hotma. 1999. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan


Sistem Endokrin. Jakarta: EGC

Ferry, R. 2013. Hypoglycemia (low blood sugar). Retrieved April 04, 2013,
from:www. emedi c i nehea l t h. c om/ low_blood_sugar_hypoglycemia/article.

Gibson, H. 2009. Hypoglycaemia unawareness. Practice nursing, 20(5), 240-


244.

American Diabetes Association (ADA). 2013. Standards of medical care in


diabetes-2013. Diabetes Care, 36, S11-66.

Amiel, S.A., Dixon, T., Mann, R., & Jameson, K. 2008. Hypoglycaemia in type
2 diabetes. [Article]. Diabetic medicine, 25(3), 245-254. doi: 10.1111/j.1464-
5491.2007.02341.x.

Almaini.,Hendri Heryanto.,(2019).Pengaruh Kepatuhan Diet, Aktivitas Fisik


Dan Pengobatan dengan Perubahan Kadar Gula Darah Pada Pasien
DM.Jurnal Keperawatan Raflesia. Volume 1 Nomor 1. Di Unduh Pada
1 Mei 2019.

Albal,E.& kultu, Y.2010. the relationship between the depression coping self
efficacy level and perceived social support resources. Jornal of psychiatric
nursing. May 23,2013.

23
American Association of Clinical endocrinologists (AACE).2011. AACE 2011:
survey reveals more than half of diabetes patients experience low bloods sugar.
Florida: American Association of clinical endocrinologists.
American Diabetes Association (ADA).2015. Workgroup on hypoglycemia
defining and reporting hypoglycemia in diabetes. Diabetes care.
American Diabetes Association (ADA).2013. standards of medical care in
diabetes-2013. Diabetes care,36,S11-66.

24

Anda mungkin juga menyukai