Anda di halaman 1dari 24

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN PENYAKIT

DIABETES MELLITUS
MATAKULIAH KEPERAWATAN KRITIS
Dosen pengampu : Faqih Nafiul Umam, S,Kep,,Ns.,M.Kep

Disusun oleh :
Kelompok 1/ 7A
Afif Rohman ( 201602001 )
Dyah Ayu Putriani ( 201602012 )
Ferylia Amelia Wati ( 201602019 )
M.Rizky Wahyu ( 201602025 )
Sandra Hadi Tamara ( 201602036 )
Yais Umi Kulsum ( 201502077 )

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BHAKTI HUSADA MULIA MADIUN
2019/2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolic dengan


karakteristik tingginya gula darah sebagai akibat dari kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua-duanya (Mahan & Strump, 2006).
Menurut suvey yang dilakukan WHO, indonesia menempati urutan ke-4
terbesar dalam jumlah penderita diabetes melitus dengan prevalensi 8,6% dari total
penduduk, sedangkan urutan diatasnya India, China, dan Amerika Serikat. Temuan
tersebut membuktikan bahwa penyakit diabetes melitus merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang sangan serius. Selain itu di Indonesia prevalensi masalah tersebut
meningkat 2-3 kali lebih cepat dari negara maju. Dari penelitian yang dilakukan
Departemen Kesehatan, didapatkan bahwa prevalensi diabetes melitus sebesar 12,7%
dari seluruh penduduk (Depkes, 2005).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia (2003) diperkirakan
penduduk Indonesia yang berusia 20 tahun sebesar 133 juta jiwa. Dengan prevalensi
diabetes melitus pada daerah perkotaan sebesar 14,7% dan daerah pedesaan sebesar
7,2%, maka diperkirakan pada tahun 2003 terdapat penyandang diabetes sebesar 8,2
juta didaerah perkotaan dan 5,5 juta didaerah pedesaan. Selanjutnya berdasarkan pola
penambahan penduduk, diperkirakan 2030 nanti akan ada 194 juta penduduk yang
berusia diatas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi diabetes melitus pada perkotaan
(14,7%) dan pedesaan (7,2%) makan diperkirakan 12 juta penderita diabetes di daerah
perkotaan dan 8,1 jutadidaerah pedesaan (Perkeni, 2006).
Pengelolaan diabetes meliputi perencanaan makan, latihan jasmani,
pengelolaan farmakologis, dan edukasi. Pengelolaan diabetes inibertujuan untuk
memperbaiki kelainan kadar glukosa darah lipid maupun berbagai kelainan metabolik
lain pada pasien diabetes. Diabetes mellitus yang tidak dikelola dengan baik akan
mengakibatkan terjadinya berbagai penyakit menahun. Jika kadar gula darah dapat
selalu dikendalikandengan baik, diharapkan semua penyakit penyulit tersebut dapat
dicegahatau dihambat (Perkeni, 2006; Surwit et al, 2002).
Terapi gizi merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetesvsecara total.
Kunci keberhasilan terapi gizi medis adalah keterlibatan secara menyeluruh dari
anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain, dan pasien itu sendiri.
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran
makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan
kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes
perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan
jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa
darah atau insulin (Perkeni, 2006).

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan diabetes melitus (DM)?


2. Apa etiologi dari diabetes melitus (DM)?
3. Bagaimana manifestasi diabetes melitus (DM)?
4. Apasajakah klarisifikasi diabetes melitus (DM)?
5. Bagaimana patofisologi dari diabetes melitus (DM)?
6. Bagaimana pemeriksaan penunjang dari diabetes melitus (DM)?
7. Bagaimana penatalaksanaan dari diabetes melitus (DM)?
8. Patway diabetes melitus (DM)
9. Konsep Asuhan diabetes melitus (DM)

1.1 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi dari diabetes melitus (DM)
2. Untuk mengetahui etiologi dari diabetes melitus (DM)
3. Untuk mengetahui manifestasi klinis diabetes melitus (DM)
4. Untuk mengetahui klarisifikasi dari diabetes melitus (DM)
5. Untuk mengetahui patofisologi dari diabetes melitus (DM)
6. Untuk mengetahui bagaimana pemeriksaan dari diabetes melitus (DM)
7. Untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan diabetes melitus (DM)
8. Untuk mengetahui diagnosa dari diabetes melitus (DM)
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Diabetes Melitus merupakan gangguan metabolisme yang ditandai dengan


Hiperglikemi yang berhubungan dengan abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak, dan
protein yang disebabkan oleh penurunan sekresi insulin atau penurunan sensitifitas insulin
atau keduanya dan menyebabkan komplikasi kronis mikrovaskuler, makrovaskuler dan
neuropati (Elin, 2009).

Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolic dengan karakteristik


tingginya gula darah sebagai akibat dari kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-
duanya (Mahan & Strump, 2006).
Diabetes mellitus adalah gangguan metabolism yang ditandai dengan hiperglikemi
yang berhubungan dengan abnormalitas metabolism karbohidrat, lemak dan protein yang
disebabkan oleh penurunan sekresi insulin atau penurunan sensitifitas insulin atau keduanya
dan menyebabkan komplikasi kronis mikrovaskular, makrovaskular, dan neuropati (Nurarif
& Kusuma, 2015, p. 188).

2.2 Etiologi
A. Diabetes Mellitus tipe 1
DM tipe 1, sebelumnya disebut IDDM, atau Diabetes Mellitus onset anak – anak, ditandai
dengan destruksi sel beta pancreas, mengakibatkan defisiensi insulin absolut. DM tipe 1
diturunkan sebagai heterogen, sifat multigenik.Kembar identic memiliki resiko 25-50%
mewarisi penyakit, sementara saudara kandung memiliki 6% resiko dan anak cucu memiliki
5% resiko. Meskipun pengaruh keturunan kuat, 90% orang dengan DM tipe 1 tidak memiliki
tingkat relative tingkat pertama dengan DM (Black, 2014, p. 632).
Diabetes yang tergantung insulin ditandai dengan penghancuran sel – sel beta penkreas yang
disebabkan oleh :

1. Faktor genetic penderita tidak mewarisi diabetes tipe itu sendiri, tetapi mewarisi suatu
predisposisi atau kecenderungan genetic kearah terjadinya diabetes tipe 1

2. Faktor imunologi (autoimun)


3. Faktor lingkungan : virus atau toksin tertentu dapat memicu proses autoimun yang
menimbulakn estruksi sel beta(Nurarif & Kusuma, 2015, p. 188).
B. Diabetes Mellitus tipe 2
DM tipe 2 sebelumnya disebut NIDDM atau Diabetes Mellitus Onset Dewasa, adalah
gangguan yang melibatkan, baik genetic dan faktor lingkungan.DM tipe 2 adalah tipe DM
paling umum mengenai 90% orang yang memiliki penyakit. DM tipe 2 biasanya terdiagnosis
setelah usia 40 tahun dan lebih umum diantara dewasa tua, dewasa obesitas, dan etnic serta
populasi ras tertentu (Black, 2014, p. 631).
DM tipe 2 disebabkan oleh kegagalan relative sel beta dan resistensi insulin. Faktor resiko
yang berhubungan dengan proses terjadinya diabetes tipe 2 : usia, obesitas, riwayat dan
keluarga. Hasil pemeriksaan glukosa darah 2 jam pasca pembedahan dibagi menjadi 3 yaitu :

 <140 mg/dl = Normal


 140-<200 mg/dl = Toleransi glukosa terganggu
 ≥200 mg/dl = diabetes(Nurarif & Kusuma, 2015, p. 188)..
C. Diabetes gestasional
DM gestasional merupakan diagnosis DM yang menerapkan untuk perempuan dengan
intoleransi glukosa atau ditemukan pertama kali selama kehamilan.DM gestasional terjadi
pada 2-5% perempuan hamil namun menghilang ketika hamilnya berakhir (Black, 2014, p.
632).
2.3 Trend Isu

2.4 Manifestasi Klinis


Tanda dangejala diabetes mellitus menurut Smeltzer et al, (2013) dan Kowalak (2011), yaitu :

1. Poliuria
Air tidak di serap kembali oleh tubulus ginjal sekunder untuk aktifitas osmotik
glukosa,mengarah kepada kehilangan air,glukosa dan elektrolit.Kekurangan
insulin untuk mengangkut glukosa melalui membran dalam sel menyebabkan
hiperglikemia sehingga serum plasma meningkat.
2. Polidipsi
Polidipsia adalah peningkatan rasa haus akibat volume urin yang sangat besar
dan keluarnya air menyebabkan dehidrasi ekstrasel. Dehidrasi intrasel
mengikuti dehidrasi ekstrasel karena air intraselakan berdifusi keluar sel
mengikuti penurunan grdient konsentrasi ke plasma yang hipertonik (sangat
pekat). Dehidrasi intrasel merangsang pengeluaran DH (antidieuretik hormon)
dan menimbukan rasa haus.
3. Polifagi
Kelaparan sekunder terhadap ketabolisme jaringan menyebabkan rasa lapar.
Karena glukosa tidak dapat masuk ke sel akibat dari menurunnya kadar insulin
maka produksi energi menurun (Black, 2014, p. 639).
4. Penurunan berat badan
Kehilangan awal sekunder terhadap penipisan simpanan air,glukosadan
trigliserid,kehilangan kronis sekunder terhadap penurunan massa otot karena
asam amino di alihkan untuk membentuk glukosa dan keton.
5. Pandangan kabur berulang
Sekunder terhadap paparan kronis retina dan lensa mata terhadap cairan
hiperosmolar.

6. Pruritus,inveksi kulit,vaginitis

Infeksi jamur dan bakteri pada kulit terlihat lebih umum,hasil penelitian masa
bertentangan.

7. Ketonuria

Ketika glukosa tidak dapat di gunakan untuk energi oleh sel tergantung
insulin, asam lemak di gunakan untuk energi,asam lemak di pecahkan menjadi
keton dalam darah dan di ekskresikan oleh ginjal. Pada DM tipe 2,insulin
cukup untuk menekan berlebihan penggunaan asam lemak tapi tidak cukup
untuk penggunaan glukosa.

8. Lemah dan letih

Penurunan isi plasma mengarah kepada postural hipertensi,kehilangan kalium


dan katabolisme protein berkontribusi terhadap kelemahan.
9. Sering asimtomatik

Tubuh dapat beradaptasi terhadap peningkatan pelan-pelan kadar glukosa


darah sampai tingkat lebih besar di bandingkan peningkatan yang
cepat (Black, 2014, p. 639)

2.5 Komplikasi

Komplikasi yang biasa timbul oleh DM

1. Gangren kaki diabetik; luka pada kaki yang merah kehitm-hitaman dn berbau busuk
akibat sumbatan yang terjadi di pembuluh darah sedang/besarv ditungkai.
2. neuropati diabetik dapat menyababkan mati rasa/kesemutan pada jari jari baimitu
pada jari kaki/tanagn gejalanya;nyeri seperti terbakar
3. retinophati dibaetik adalah salah satu bentuk kompliksi DM dimana kadar gula yang
tinggi pada akhirnya mengakibatkan perusakan pada pembuluh darah retina terutama
jaringan-jaringan yang sensitif terhadapn cahaya
4. nefropati diabetikum yang ditandai dengan ditemukannya kadar protein yang tinggi
dalam urin yang disebabkan oleh adanya kerusakan pada gromeolus. Nefropati
diabetikum merupakan faktor resiko dari gagal ginjal kronik. Nefropati diabetikum
biasanya ditandai dengan hilangnya reflex. Selain itu juga bisa terjadi poliradikulopati
diabetikum yang merupakan suatu sindrom yang ditandai dengan gangguan pada satu
atau lebih akar saraf dan dapat disertai dengan kelemahan motorik biasanya dalam
waktu 6-12 bulan (Tandra,2014).

 Sedangkan komplikasi akibat gangrene

1. osteomirlitis adalah infeksi tulang yang disebabkan oleh mikroganisme yang masuk
kedalam tubuh lewat luka/penyebaran infeksi lewat darah
2. sepsis adalah satu komplikasi dari infeksi yang berpotensi mengancam nyawa
seseorang.
Ada 2 kompliksi pada diabetes miletus yaitu ;
1. Komplikasi Akut
a Hipokalemia
Merupakan komplikasi yang serius pada pengelolaan DM tipe 2 terutama pada
penderita DM tipe 2 terutama pada penderita DM usia lanjut, pasien dengan
insufisiensi renal, dan pasien dengan kelainan mikro maupun makroanginopati
berat. Upaya untuk mencegah terjadinya komplikasi diperlukan kendali gula
darah yang berat mendekati normal, sedangkan akibat dari kendali gula darah
yang berat beresiko terjadinya hipokalemia semakin bertambah berat.
b Keto Asidosis Diabetes (KAD) adalah suatu keadaan hiperkalemia yang
disertai gangguan metabolisme protein, karbohidrat, dan lemak.
a) Klinis : poliuria, polidipsi , mual, dan atau muntah, pernafasan
kussmaul(dalam dan frekuen), lemah, dehidrasi, hipotens, sampai syok,
kesadaran terganggu sampai koma.
b) Darah : hiperkalemia lebih dari 300mg/dl (biasanya melebihi 500
mg/d), bikarbonat kurang dari 20 mEq/l dan ph <7,35 (asidosis
metabolik), ketonomia
c) Urin : glukosuria, ketonuria.
c Koma Hiperosmoler Non –Ketotik (K.HNOK)
Merupakan diagnosa klinis dikenal dengan sebutan tetralogi HONK : 1 yes 3
no yaitu:
a) Glukosa >600mg/dl (Hiperkalemia YES) dengan tidak ada riwayat
DM sebelumnya (DM NO), bikarbonat >15 mEq/l , tidak ada
kusmaul, PH darah normal (NO asidosis metabolik), tidak ada
kotenemia atau ketonuria (NO ketonemia).
b) Dehidrasi berat, hipotensi sampai terjadi syok hipovolemi
c) Diagnosis pasti ditegakkan apabila terdapat gejala klinis ditabah
dengan osmoloritas darah >325-350 mOSM/l.
2. Komplikasi Kronis
d Komplikasi makrovaskuler
a) penyakit jantung koroner dimana diawali berbagai bnetuk dislipidemia
hipertrigliseridemia dan penurunan kadar HDL pada diabetes militus
sendiri tidak meningkatkan kadar LDL namun sedikit kadar LDL pada
DM tipe II sangat bersifat atherogeni karena mudah mengalami
glilikalisasi dan oksidasi
b) Penyakit sereprovaskuler,perubahan aterosklerotik dalam pembuluh
darah serebral atau pembentukan emboli ditempat lain dalam system
pembuluh darah yang kemudian terbawa aliran darah sehingga terjepit
dalam pembuluh darah serebral yang mengakibatkan serangan iskemik
dan stroke
c) Penyakit vaskuler perifer perubahan aterosklerotik dalam pembuluh
darah besar pada ekstremitas bawah menyebabkan oklusi arteri
ektremitas bawah tanda dan gejalanya meliputi prnurunan denyut nadi
perifer dan klaudikatio intermiten (nyeri pada betis pada saat berjalan)

2.6 Klasifikasi DM

Klasifikasi diabetes mellitus menurut Smeltzeret al, (2013) ada 3 yaitu,

1. Tipe 1 (Diabetes melitus tergantung insulin) Sekitar 5% sampai 10% pasien


mengalami diabetes tipe 1. Diabetes melitus tipe 1 ditandai dengan destruksi sel-sel
beta pankreas akibat faktor genetik, imunologis, dan juga lingkungan. DM tipe 1
memerlukan injeksi insulin untuk mengontrol kadar glukosa darah.
2. Tipe 2 (Diabetes melitus tak tergantung insulin)
Sekitar 90% sampai 95% pasien mengalami diabetes tipe 2. Diabetes tipe 2
disebabkan karena adanya penurunan sensitivitas terhadap insulin (resistensi insulin)
atau akibat penurunan jumlah insulin yang diproduksi.
3. Diabetes mellitus gestasional
Diabetes gestasional ditandai dengan intoleransi glukosa yang muncul selama
kehamilan, biasanya pada trimester kedua atau ketiga. Risiko diabetes gestasional
disebabkan obesitas, riwayat pernah mengalami diabetes gestasional, glikosuria, atau
riwayat keluarga yang pernah mengalami diabetes.
2.7 Patofsiologi

Sebagian besar gambaran patologik dari DM dapat dihubungkan dengan salah satu efek
utama kurangnya insulin berikut :

1. Berkurangnya pemakaian glukosa oleh sel-sel tubuh yang mengakibatkan naiknya


kosentrasi glukosa darah setinggi 300-1200 mg/dl
2. Peningkatan mobilisasi lemak dari daerah penyimpanan lemak yang menyebabkan
terjadinya metabolisme lemak yang alonormal disertai dengan endapan kolesterol
pada didnding pembuluh darah
3. Berkurngnya protein dalam jaringan tubuh pasien pasien yang mengalami difensnsi
insulin tidak dapat memperthankan kadar glukosa plasma puasa yang normal/toleransi
sesudah makan. Pada hiperglikemia yang parah yang melebihi ambang ginjal
normal(kosentrasi glukosa darah sebesar 160-180 mg/100ml ). Akan timbul
glikkusura karena terbulus-bulus realistidak dapat menyerap kembali semua
glukosa.glukosaria ini akan mengakibatkan druresis osmitik yang mneyebabkan
poliusi disertai kehilngan sodium. Klorida,potasium dan pospat . adanya poliusi
menyababkan dehidrasi dan timbul polidpsi . akibat glukosa yang keluar bersam urine

Maka pasien akan mengalami keseimbangan protein negatif dan berst badan menurun
serta cenderung terjadi polifagi. Akibat yang lain adalah astenia atau kekurangan energi
sehingga pasien menjadi cepat lelah dan mengantuk yang disebabkan oleh
berkurangnya/hilangnya protein tubuh dan juga berkurangnya penggunaan karbohidar untuk
energi.

Hiperglikemia menyebabkan penumpukan kadar glukosa pada sel x jaringan tertentu


dan dapat menstransport glukosa tanpa insulin. Glukosa yang berlebihan itu tidak akan
termetabolisme habis secara normal. Melalui glikolisis tetapi sebagian dengan perantaraan
enzim aldoze reduktase akan dirubah menjadi sorbitol. Sorbitol akan tertumpuk dalam sel
atau jaringan tersebut dan menyebabkan kerusakan dan perubahan fungsi.

Akibat hiperglikemia akan menyebabkan terjadinya glikosistasi yang mengakibatkan


neuropati dan anginopati. Neuropati mengakibatakan gangguan sensorik dan intestinal.
Intestinal mengakibatkan penurunan peristaltic intestin dan menyebabkan penurunan absorbsi
cairan dan mengakibatkan diare dan menimbulkan masalah keperawatan ganggaun
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Dan gangguan sensorik sendiri mengakibatkan
menurunnya sensasi nyeri pada kaki sehingga akan mengalami trauma tanpa terasa yang
menyebabkan ulkus pada kaki.anginopati akan menyebabkan terganggunya aliran darah ke
kaki.

Apabila sumbatan darah terjadi pada pembuluh darah yang lebih besar maka penderita
akan merasa sakit tungkainya sesudah berjalan pada jarak tertentu. Manifestasi gangguan
pembuluh darah yang lain dapat berupa , ujung kaki terasa dingin, nyeri kaki dimalam hari,
denyut arteri hilang, kaki menjadi pucat bila dinaikan. Adanya anginopati tersebut akan
menyebabkan asupan nutrisi, oksigen (zat asam) serta antibiotika sehingga menyebabkan
luka gangren sulit sembuh. Gangren akan menyebabkan masalah keperawatn gangguan citra
tubuh, resiko tinggi infeksi, kerusakan intergritas kulit dan gangguan perfungsi jaringan.

Ketika hipoglikemia terjadi, respons awal untuk melawan kondisi tersebut adalah
penurunan sekresi insulin dari oankreas. Lalu, produksi glucagon oleh pancreas akan
meningkat. Penurunan sekresi insulin dan peningkatan produksi glucagon akan terdeteksi
oleh hati dan direspon dengan peningkatan glikogenolisis serta gluconeogenesis. Selanjutnya
epineprin akan semakin banyak dihasilkan oleh kelenjar adrenal dan menimbulkan berbagai
efek terhadap sel otot, lemak, dan ginjal untuk menurunkan pengeluaran glukosa dari tubuh.

Apabila defisiensi glucagon terjadi, maka respons epineprin akan meningkat. Kelenjar
adrenal dan saraf perifer yang mendeteksi hipoglikemia akan memicu respon otonom yang di
perantarai neurotransmitter seperti asetilkolin dan norepineprin. Asetilkolin merangsang rasa
lapar dan diafores, sedangkan norepineprin akan memicu tremor dan palpitasi. Inilah yang
kemudian dikenal sebagai respon penyelamatan pada hipoglikemia yang juga merupakan
tanda klinis hipoglikemia yang paling mudah dikenali.

Selain itu, hormone pertumbuhan dan kortisol juga dapat membantu dalam
menigkatkan pembentukan glukosa melalui peningkatan gluconeogenesis. Keduanya juga
dapat menghambat pengambilan glukosa di perifer yang dirangsang oleh insulin serta
meningkatkan lipolysis dan proteolysis. Namun, efek metabolic akut hormone pertumbuhan
dan kortisol terhadap hipoglikemia masih lebih lemah dibandingkan efek epineprin dan
memerlukan proses hipoglikemia yang lama (3-5 jam) sebelum efek tersebut muncul.

2.8 Pemeriksaan Penunjang

1. Untuk penegakan diagnosis DM tipe II yaitu dengan pemeriksaan glukosa darah


dan pemeriksaan glukosa peroral (TTGO). Sedangkan untuk membedakan DM
tipe II dan DM tipe I dengan pemeriksaan C-peptide.
2. Pemeriksaan glukosa darah

a. Glukosa Plasma Vena Sewaktu Pemeriksaan gula darah vena sewaktu


pada pasien DM tipe II dilakukan pada pasien DM tipe II dengan gejala
klasik seprti poliuria, polidipsia dan polifagia. Gula darah sewaktu
diartikan kapanpun tanpa memandang terakhir kali makan. Dengan
pemeriksaan gula darah sewaktu sudah dapat menegakan diagnosis DM
tipe II. Apabila kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl (plasma 15
http://digilib.unimus.ac.id vena) maka penderita tersebut sudah dapat
disebut DM. Pada penderita ini tidak perlu dilakukan pemeriksaan tes
toleransi glukosa.

b. Glukosa Plasma Vena Puasa Pada pemeriksaan glukosa plasma vena


puasa, penderita dipuasakan 8-12 jam sebelum tes dengan menghentikan
semua obat yang digunakan, bila ada obat yang harus diberikan perlu
ditulis dalam formulir. Intepretasi pemeriksan gula darah puasa sebagai
berikut : kadar glukosa plasma puasa < 110 mg/dl dinyatakan normal,
≥126 mg/dl adalah diabetes melitus, sedangkan antara 110- 126 mg/dl
disebut glukosa darah puasa terganggu (GDPT). Pemeriksaan gula darah
puasa lebih efektif dibandingkan dengan pemeriksaan tes toleransi glukosa
oral.

c. Glukosa 2 jam Post Prandial (GD2PP) Tes dilakukan bila ada kecurigaan
DM. Pasien makan makanan yang mengandung 100gr karbohidrat
sebelum puasa dan menghentikan merokok serta berolahraga. Glukosa 2
jam Post Prandial menunjukkan DM bila kadar glukosa darah ≥ 200 mg/dl,
sedangkan nilai normalnya ≤ 140. Toleransi Glukosa Terganggu (TGT)
apabila kadar glukosa > 140 mg/dl tetapi < 200 mg/dl.28

d. Glukosa jam ke-2 pada Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) Pemeriksan
Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dilakukan apabila pada pemeriksaan
glukosa sewaktu kadar gula darah berkisar 140-200 mg/dl untuk
memastikan diabetes atau tidak. Sesuai kesepakatan WHO tahun 2006,tata
cara tes TTGO dengan cara melarutkan 75gram glukosa pada dewasa, dan
1,25 mg pada anak-anak kemudian dilarutkan dalam air 250-300 ml dan
dihabiskan dalam waktu 5 menit.TTGO dilakukan minimal pasien telah
berpuasa selama minimal 8 jam.

Nilai Normal Kadar Gula Darah

Bukan DM Belum pasti DM


DM

Kadar darah Glukosa Plasma <100 100-199 >200


mg/dL sewaktu vena

Plasma <90 90-199 >200


kapiler

Kadar darah Glukosa Plasma <100 100-125 >126


mg/dL puasa vena

Plasma <90 90- 99 >100


kapiler

Nilai untuk kadar gula darah dalam darah bisa dihitungan dengan beberapa cara dan kriteria
yang berbeda. Berikut ini tabel untuk penggolongan kadar glukosa dalam darah sebagai
patokan penyaringan.

Sedangkan menurut rudi (2013) hasil pemerksaan gula darah dikatakan normal
apabila :

a. Gula darah sewaktu : <110 mg/dL

b. Gula darah puasa : 70-110 mg/dL

c. Waktu tidur : 110-150 mg/dL

d. 1 jam setelah makan : <160 mg/dL

e. 2 jam setelah makan : <140 mg/dL


f. Pada wanita hamil : <140 mg/Dl

3. Pemeriksaan HbA1c HbA1c merupakan reaksi antara glukosa dengan


hemoglobin, yang tersimpan dan bertahan dalam sel darah merah selama 120 hari
sesuai dengan umur eritrosit. Kadar HbA1c bergantung dengan kadar glukosa
dalam darah, sehingga HbA1c menggambarkan rata-rata kadar gula darah selama
3 bulan. Sedangkan pemeriksaan gula darah hanya mencerminkan saat diperiksa,
dan tidak menggambarkan pengendalian jangka panjang. Pemeriksaan gula darah
diperlukan untuk pengelolaaan diabetes terutama untuk mengatasi komplikasi
akibat perubahan kadar glukosa yang berubah mendadak.

Normalnya, nilai HbA1C pada yang bukan penderita diabetes adalah 3,5%-5,5%.
Sedangkan untuk penderita diabetes, nilai kontrol gula darah yang baik adalah di
bawah 6.5%. Sejak 2009 ADA telah menetapkan nilai HbA1c sebesar 6,5% (48
mmol/mol) sebagai kriteria diagnostik diabetes. ADA telah menetapkan standar
analitis untuk pengukuran HbA1c intra-laboratorium CV (Coefficient variation) <
2% dan inter-laboratorium CV<3.5%.

2.7 Penatalaksanaan

1. ketoasidosis (KAD)

Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi kekacauan


metabolic yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis, dan ketosis,
terutama disebabkan oleh defiensi insulin absolut atau relatif. Prioritas utama
dalam KAD adalah terapi cairan. Terapi insulin hanya efektif jika cairan
diberikan pada tahap awal terapi dan hanya dengan terapi cairan saja akan
membuat kadar gula darah menjadi lebih rendah.

Keberhasilanterapi KAD membutuhkan koreksi dehidrasi, hiperglikemia,


asidosis, dan kelainan elektrolit, identifikasi factor presifitasi komorbid, dan
yang terpenting adlah pemantauan pasien terus-menerus. Berikut beberapa hal
yang harus diperhatikan pada penatalaksanaan KAD :

1. Terapi cairan
Prioritas utama pada penatalaksanaan KAD adalah terapi cairan.8
Terapi insulin hanya efektif jika cairan diberikan pada tahap awal
terapi dan hanya dengan terapi cairan saja akan membuat kadar gula
darah menjadi lebih rendah. Studi menunjukkan bahwa selama
empat jam pertama, lebih dari 80% penurunan kadar gula darah

disebabkan oleh rehidrasi.2,11 Oleh karena itu, hal penting


pertama yang harus dipahami adalah penentuan diÞsit cairan yang
terjadi. Beratnya kekurangan cairan yang terjadi dipengaruhi oleh
durasi hiperglikemia yang terjadi, fungsi ginjal, dan intake cairan
penderita.

Resusitasi cairan hendaknya dilakukan secara agresif. Targetnya


adalah penggantian cairan sebesar 50% dari kekurangan cairan dalam
8–12 jam pertama dan sisanya dalam 12–16 jam berikutnya. Menurut
perkiraan banyak ahli, total kekurangan cairan pada pasien KAD
sebesar 100 ml/kgBB, atau sebesar 5–8 liter. Pada pasien dewasa,
terapi cairan awal langsung diberikan untuk ekspansi volume cairan
intravaskular dan ekstravaskular dan menjaga perfusi ginjal.
Terdapat beberapa kontroversi tentang jenis cairan yang
dipergunakan. Tidak ada uji klinik yang membuktikan kelebihan
pemakaian salah satu jenis cairan. Kebanyakan ahli menyarankan
pemakaian cairan Þsiologis (NaCl0,9%) sebagai terapi awal untuk
resusitasi cairan. Cairan Þsiologis (NaCl0,9%) di berikan dengan
kecepatan 15-20ml/kg BB/ jam selama jam pertama (±1-1,5 liter)

2. Terapi insulin

Terapi insulin harus segera dimulai sesaat setelah diagnosis KAD


dan rehidrasi yang memadai. Sumber lain menyebutkan
pemberian insulin dimulai setelah diagnosis KAD ditegakkan
dan pemberian cairan telah dimulai Pemakaian insulin akan
menurunkan kadar hormon glukagon, sehingga menekan produksi
benda keton di hati, pelepasan asam lemak bebas dari jaringan
lemak, pelepasan asam amino dari jaringan otot dan
meningkatkan utilisasi glukosa oleh jaringan.
3. Natrium

Penderita dengan KAD kadang-kadang mempunyai kadar natrium


serum yang rendah, oleh karena level gula darah yang tinggi. Untuk
tiap peningkatan gula darah 100 mg/dl di atas 100 mg/dl maka kadar
natrium diasumsikan lebih tinggi 1,6 mEq/l daripada kadar yang
diukur. Hiponatremia memerlukan koreksi jika level natrium
masih rendah setelah penyesuaian efek ini. Contoh, pada orang
dengan kadar gula darah 600 mg/dl dan level natrium yang diukur
130, maka level natrium yang sebenarnya sebesar 130 + (1,6x5) =
138, sehingga tidak memerlukan koreksi dan hanya memerlukan
pemberian cairan normal saline (NaCl0,9%). Sebaliknya kadar
natrium dapat meningkat setelah dilakukan resusitasi cairan dengan
normal saline oleh karena normal saline memiliki kadar natrium lebih
tinggi dari kadar natrium ekstraselular saat itu disamping oleh
karena air tanpa natrium akan berpindah ke intraselular sehingga
akan meningkatkan kadar natrium. Serum natrium yang lebih tinggi
daripada 150 mEq/l memerlukan koreksi dengan NaCl 0,45%.

4. Kalium

Meskipun terdapat kekurangan kalium secara total dalam tubuh


(sampai 3 – 5 mEq/kgBB), hiperkalemia ringan sampai sedang
seringkali terjadi. Hal ini terjadi karena kalium dari intrasel ke
ekstrasel oleh asidosis, kekurangan insulin, dan hipertonisitas,
sehingga terapi insulin, koreksi asidosis, dan penambahan volume
cairan akan menurunkan konsentrasi kalium serum. Untuk mencegah
hipokalemia, penggantian kalium dimulai setelah kadar kalium serum
kurang dari 5,0, sumber lain menyebutkan nilai 5,5 mEq/l. Umumnya,
20 – 30 mEq kalium (2/3 KCl dan 1/3 KPO4) pada tiap liter cairan
infus cukup untuk memelihara kadar kalium serum dalam range
normal 4 – 5 mEq/l. Kadang- kadang pasien KAD mengalami
hipokalemia yang signiÞkan. Pada kasus tersebut, penggantian kalium
harus dimulai dengan terapi KCl 40 mEq/l, dan terapi insulin
harus ditunda hingga kadar kalium > 3,3 mEq/l untuk menghindari
aritmia atau gagal jantung dan kelemahan otot pernapasan. Terapi
kalium dimulai saat terapi cairan sudah dimulai, dan tidak
dilakukan jika tidak ada produksi urine, terdapat kelainan ginjal, atau
kadar kalium > 6 mEq/l.

5. Bikarbonat

Pemakaian bikarbonat pada KAD masih kontroversial. Pada pH


> 7,0, pengembalian aktiÞtas insulin memblok lipolisis dan
memperbaiki ketoasidosis tanpa pemberian bikarbonat. Mengetahui
bahwa asidosis berat menyebabkan banyak efek vaskular yang tidak
diinginkan, tampaknya cukup bijaksana menentukan bahwa pada
pasien dewasa dengan pH < 6,9, 100 mmol natrium bikarbonat
ditambahkan ke dalam 400 ml cairan Þsiologis dan diberikan dengan
kecepatan 200 ml/jam. Pada pasien dengan pH 6,9 – 7,0, 50 mmol
natrium bikarbonat dicampur dalam 200ml cairan Þsiologis dan
diberikan dengan kecepatan 200 ml/jam. Natrium bikarbonat tidak
diperlukan jika pH > 7,0. Sebagaimana natrium bikarbonat, insulin
menurunkan kadar kalium serum, oleh karena itu pemberian
kalium harus terus diberikan secara intravena dan dimonitor secara
berkala. Setelah itu pH darah vena diperiksa setiap 2 jam sampai
pH menjadi 7,0, dan terapi harus diulangi setiap 2 jam jika perlu.

6. Fosfat

Meskipun kadar fosfat tubuh secara keseluruhan mengalami penurunan


hingga 1,0 mmol/kgBB, kadar fosfat serum seringkali normal atau
meningkat. Kadar fosfat menurun dengan terapi insulin. Studi
acak prospektif gagal untuk menunjukkan efek menguntungkan dari
pemberian fosfat pada hasil akhir pasien KAD, dan terapi fosfat
berlebihan dapat menyebabkan hipokalemia berat tanpa bukti adanya
tetanus. Bagaimanapun untuk menghindari lemahnya otot rangka dan
jantung serta depres pernapasan yang disebabkan hipofosfatemia,
pemberian fosfat secara hati-hati mungkin kadang- kadang
diindikasikan pada pasien dengan kelainan jantung, anemia, atau
depresi pernapasan dan pada mereka dengan kadar serum posfat < 1,0
mg/dl. Ketika diperlukan, 20 – 30 mEq/l kalium fosfat dapat
ditambahkan pada terapi cairan yang telah diberikan. Untuk itu
diperlukan pemantauan secara kontinu. Beberapa peneliti
menganjurkan pemakaian kalium fosfat rutin karena mereka percaya
akan dapat menurunkan hiperkloremia setelah terapi dengan

membatasi pemberian anion Cl-. Pemberian fosfat juga mencetuskan


hipokalsemia simtomatis pada beberapa pasien

7. Magnesium

Biasanya terdapat deÞsit magnesium sebesar 1 – 2 mEq/l pada


pasien KAD. Kadar magnesium ini juga dipengaruhi oleh
pemakaian obat seperti diuretik yang dapat menurunkan kadar
magnesium darah. Gejala kekurangan magnesium sangat sulit dinilai
dan sering tumpang tindih dengan gejala akibat kekurangan kalsium,
kalium atau natrium. Gejala yang sering dilaporkan adalah parestesia,
tremor, spame karpopedal, agitasi, kejang, dan aritmia jantung.
Pasien biasanya menunjukkan gejala pada kadar ≤ 1,2 mg/dl.
Jika kadarnya di bawah normal disertai gejala, maka pemberian
magnesium dapat dipertimbangkan.

8. Hiperkloremik asidosis selama terapi

Oleh karena pertimbangan pengeluaran keto acid dalam urine


selama fase awal terapi, substrat atau bahan turunan bikarbonat akan
menurun. Sebagian deÞsit bikarbonat akan diganti dengan infus
ion klorida pada sejumlah besar salin untuk mengkoreksi
dehidrasi. Pada kebanyakan pasien akan mengalami sebuah
keadaan hiperkloremik dengan bikarbonat yang rendah dengan
anion gap yang normal. Keadaan ini merupakan kelainan yang
ringan dan tidak akan berbahaya dalam waktu 12 – 24 jam jika
pemberian cairan intravena tidak diberikan terlalu lama.

Pengobatan KAD menggunakan rumus 2-4-18-24 yang artinya yaitu :


a. jam pertama menggunakan 2 liter cairan PZ/RL sebelumnya harus
melihat fungsi dari jatung apakah ada dekompensasi

b. 4 jam 80 tetes/menit

c. 18 jam tetes/menit

d. 24 jam tetes/menit

Jadi apabila ditotal antara 4-6 L/hari KHNOK terapi tanpa nabic. (Surabaya
Diabetes Workshop VII:Insulin in diabetic pratice,2012).

1) Pemberian elektrolit kalium harus didahului oleh pemeriksaan kadar


elektrolit, dan pemberiannya harus dilakukan dengan hati-hati, dosil
maksimal 20meq/jam atau 100meq/hari.

2) Diberikan Na Bicarbonat bila

a. PH <7

b. diberikan 100 mek bikarbonat + 20 mek KCL dalam 20-40


menit

c. jumlah ini di ulang bila PH masih kurang dari 7,0 sesudah 60-
90menit4.

Insulin terdiri menjadi 5 yaitu :

a. rapid acting waktu pemberinanya yaitu,

b. onset 15-30 menit

c. peak 30-90 menit

d. duration 1-5 jam


Arturan penggunaan digunakan bersamaan makan

a. Intermediate-acting

b. onset 1- 2 ½ jam

c. peak 3-12 jam

d. Duration 18-24 jam

Aturan digunakan untuk mencakupi insulin selama setengah hari


a. long- acting
b. onset ½ 3 jam
c. peak 6-20 jam
d. duration 20-36 jam
Digunakan untukn mencakup insulin sehariane Pre mided
a. Onset 10-30 menit
b. Peak ½ - 12 jam
c. Duration 14-24 jam
Digunakan biasanya 2x sehari sebelum makan.
PATWAY

GulaGula darah
darah difiltrasi
difiltrasi melebihi Glukosa akan lolos bersama Sifat urine menjadi menarik
melebihi ambang normal urine cairan ( osmotic diuresis )
ginjal
mbang normal ginjal

Kehilangan cairan >>>


Pasien mengalami dehidrasi Timbul shock hipovolemik
terjadinya hemokonsentrasi

Manifestasi TTV

Liposis dijaringan
Defisiensi insulin Glucagon meningkat
membentuk asam lemak

Benda keton >>> Adanya keton yang bersifat


Asam lemak bebas dirubah
menjadi benda keton di hati asam dan kehilangan
Natrium bikarbonat keluar
bikarbonat
dari ekstra sel
BAB III

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum pasien dengan dm mengalami penurunan kesadaran
Kepala :Pada pasien diabetes mellitus bentuk kepala tidak ada masalah

(normal), rambut rontok ( pada sebagian orang ), kulit kepala


berkerak dan mengelupas.

Mata :Kantung mata cekung, konjungtiva pucat, penglihatan kabur

(retinopati) atau penglihatan ganda (diplopia), lensa mata


keruh.

Mulut : mukosa bibir pucat, dalam rongga mulut terdapat luka atau

sariawan, Gigi mudah goyah, lidah sering terasa tebal, gusi


mudah bengkak dan berdarah, ludah menjadi lebih kental.

Sitem integumen : turgor kulit menurun dari normal (< 3) , adanya luka / lesi,
warna kehitaman bekas luka, kemerahan pada kulit sekitar luka,
warna kuku mengunin

Kardiovaskuler : perfusi jaringan menurun, nadi perifer lemah /


berkurang,takikardi/ brakicardi , hipertensi/ hipotensi,
aritmia,kardiomegalis,

sistem gastrointestinal : terjadi pilidipsi ( banyak minum ),mual muntah, diare,


konstipasi, dehidrasi, perubahan berat badan
peningkatan lingkar abdomen, obesitas.

Sistem urinari : poliuri (banyak kencing ), retensi urine, inkontinensia

urine,terasa panas / sakit saat berkemih,

Sistem muskolokeletal : cepat lelah, lemah dan nyeri , adanya gangren di


ekstremitas.

Sistem neurologis / sistem saraf : mudah mengantuk,mati rasa terjadi penurunan

sensoris.

inter
DAFTAR PUSTAKA

Bauldoff, Gerene. Karen.M Burke. Priscilla LeMone. 2015. Buku ajar Keperawatan Medikal

Bedah edisi 5. Jakarta:EGC

Nurarif, Amin Huda. Kusuma, Hardhi. 2015. Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa

Medisdan NandaNICNOC jilid 1. Jogjakarta:MediAction

Bararah, T. (2013). Asuhan Keperawatan. Jakarta: Prestasi Pustakaraya.

Anda mungkin juga menyukai