Anda di halaman 1dari 36

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Pankreas

Gambar 2. 1 Anatomi Pankreas (Dolensek, Rupnik dan Stozer, 2015).


Secara anatomis pankreas terletak di perut bagian atas dan memanjang dari
sisi kanan garis tengah ke sisi kiri menuju limpa serta melekat pada duodenum,
dengan sekitar 200.000-1.800.000 pulau langerhans. Pankreas adalah kelenjar yang
memanjang serta memiliki berat sekitar 82-117 g. memiliki bentuk lembut dan
berwarna merah muda keabu-abuan selama hidup dan biasanya memiliki panjang
17-20 cm, lebar 3-5 cm dan tebal 1,5-2,5 cm. Dalam pulau langerhans terdapat sel
beta yang pada normalnya berjumlah antara 60% - 80% pada manusia dari populasi
sel Pulau Langerhans. Pulau langerhans berbentuk oval dan tersebar diseluruh
pankreas (Yuan et al., 2021).
Fungsi pulau langerhans sebagai unit sekresi dalam pengeluaran
homeostatik nutrisi, menghambat sekresi insulin, glikogen dan polipeptida.
Penampakan pankras berwarna putih keabuan hingga kemerahan. Pankreas
merupakan kelenjar majemuk yang terdiri atas jaringan eksokrin dan jaringan
endokrin. Jaringan eksokrin menghasilkan enzim-enzim pankreas seperti amylase,
peptidase dan lipase, sedangkan jaringan endokrin menghasilkan hormon-hormon
seperti insulin, glukagon dan somatostatin. Fungsi jaringan eksokrin berfungsi
sebagai sekresi trypsin, lipase, amylase dan ahymotrypsin untuk membantu
pencernaan. Sedangkan fungsi adalah sebagai sekresi insulin untuk respons pada

6
7

peningkatan glukosa darah dari sel beta pulau Langerhans dan glukagon
sebagai respons terhadap penurunan glukosa darah dari sel alfa (Dolensek, Rupnik
dan Stozer, 2015).

2.2 Tinjauan Diabetes melitus


2.2.1 Definisi Diabetes melitus
Diabetes Melitus merupakan penyakit gangguan sistem metabolik yang
ditandai dengan peningkatan konsentrasi glukosa dalam darah atau hiperglikemia
karena gangguan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Keadaan
hiperglikemia yang kian lama menyebabkan kerusakan progresif diberbagai
jaringan seperti gangguan fungsi dan kegagalan berbagai organ, terutama mata,
ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah (Dipiro et al, 2015).
Kekurangan insulin dalam tubuh dapat menyebabkan kadar gula darah
tinggi (hiperglikemia). Jika tidak segera diobati dan menyebabkan defisiensi insulin
jangka panjang, dapat merusak organ tubuh dan menyebabkan beberapa penyakit
seerti kardiovaskular (CVD), kerusakan saraf (neuropati), kerusakan ginjal
(nefropati) dan penyakit mata (menyebabkan retinopati bahkan butaa (IDF, 2019).
Diabetes melitus ditandai oleh hiperglikemia kronis atau biasa disebut
peningkatan gula dalam darah yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat,
protein, dan lemak. Hiperglikemia dapat tidak terdeteksi karena penyakit Diabetes
melitus tidak menimbulkan gejala (asimptomatik) dan menyebabkan kerusakan
vaskular sebelum penyakit terdeteksi atau biasa disebut sebagai silent killer
(Gabriellyn, 2016).
Seseorang dikatakan menderita diabetes melitus jika memiliki kadar gula
darah puasa > 126 mg/dL, kadar gula darah post prandial/ setelah makan >
180mg/dL, dan pada tes sewaktu > 200 mg/dL. Kadar gula darah akan meningkat
setelah makan dan kembali normal dalam waktu 2 jam (Soelistijo et al., 2019).
2.2.2 Epidemiologi
Diabetes merupakan masalah global, dan prevalensinya terus meningkat
setiap tahun di dunia dan Indonesia. Menurut International Diabetes Federation
(IDF), prevalensi diabetes global pada 2019 diperkirakan 9,3% (463 juta orang),
yang akan meningkat menjadi 10,2% (578 juta) pada tahun 2030 dan 10,9% pada
tahun 2030 (700 juta) Pada tahun 2045 (IDF, 2019). Cina merupakan negara dengan
8

jumlah penderita diabetes terbesar didunia dengan 114 juta penderita,


kemudian India (72,9 juta), Amerika Serikat (30,1 juta), Brazil (12,5 juta) dan
Meksiko (12 juta). Negara Indonesia menempati urutan keenam untuk penderita
diabetes melitus dengan jumlah 10,3 juta pasien (IDF., 2017). Survei registrasi
sampel data tahun 2014 menunjukkan bahwa diabetes merupakan penyebab
kematian nomor tiga dengan presentase (6,7%) di Indonesia setelah stroke (21,1%)
dan penyakit jantung koroner (12,9%) ( IDF, 2017).
Pada tahun 2015, Indonesia menempati peringkat 7 sebagai negara dengan
penyandang diabetes melitus terbanyak di dunia dan diperkirakan akan naik
peringkat 6 pada tahun 2040 (Soelistijo et al., 2019). Data Sample Registration
Survey tahun 2014 menunjukkan bahwa diabetes merupakan penyebab kematian
terbesar nomor 3 di Indonesia dengan presentase sebesar (6,7%), setelah stroke
(21,1%) dan penyakit jantung koroner (12,9) (Kemkes, 2016). WHO memprediksi
kenaikan jumlah penyandang Diabetes Melitus di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun
2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Laporan ini menunjukkan adanya
peningkatan jumlah penyandang Diabetes Melitus sebanyak 2-3 kali lipat pada
tahun 2035 (Perkeni, 2015). Prevalensi penderita diabetes melitus cenderung
meningkat pada perempuan (1,8%) dibandingkan dengan laki-laki (1,2%)
berdasarkan kategori usia penderita diabetes melitus terbesar di derita oleh usia
dengan rentang usia 55- 64 tahun dan 65-74 tahun. Kemudian untuk daerah domisili
lebih banyak penduduk diabetes melitus yang berada di perkotaan (1,9%) dibanding
dengan pedesaan (1,0%) (Azis et al., 2020)
2.2.3 Klasifikasi Diabetes Melitus
Klasifkasi diabtes melitus secara umum terdiri atas dyabetes melitus tipe 1
atau Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM) dan Diabetes melitus tipe 2 atau
Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM), kemudian terdapat Diabetes
Melitus karena kehamilan (Gestational diabetes melitus (GDM) yang di diagnosis
pada trimester kedua atau ketiga dan belum jelas faktor yang menyebabkan
kenaikan signifikan kadar glukosa pada darah dan diabetes melitus tipe lain (Others
Specific Types) karena penyebab lain. Jumlah penderita Diabetes melitus tipe 2
lebih banyak dari pada penderita diabetes melitus tipe 1. Penderita diabetes melitus
tipe 2 sebanyak 90-95% dari penderita diabetes melitus di seluruh dunia sedangkan
9

penderita diabetes melitus tipe 1 hanya sebanyak 5-10% dari total seluruh penderita
di dunia (ADA, 2020).
2.2.3.1 Diabetes Melitus Tipe 1/ Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM)
Diabetes tipe 1 terjadi akibat defisiensi absolute sekresi insulin akibat
destruksi autoimun yang dimediasi oleh seluler dari sel β pankreas hal ini
mengakibatkan produksi insulin berkurang dan terhenti (Sarbacker & Urteaga,
2016).
Gejal akhas yang ditunjukkan penderita diabetes melitus tipe 1 adalah
poliuria, polidipsia, polipagia dan kira-kira sepertiganya dengan ketoasidosis
diabetik (DKA). Timbulnya diabetes tipe 1 mungkin lebih bervariasi pada orang
dewasa, dan mungkin tidak muncul dengan gejala klasik yang terlihat pada anak-
anak (ADA, 2018).
2.2.3.2 Diabetes Melitus Tipe 2/Non Insulin Dependent Diabetes Melitus
(NIDDM)
Pada Diabetes Melitus Tipe 2 tubuh mengalami resistensi insulin yang
disebabkan oleh ketidakmampuan sel β mensekresi insulin. Keadaan tersebut
menyebabkan kadar glukosa darah menjadi tinggi. Manifestasi umum yang sering
dialami penderita diabetes melitus tipe 2 adalah poliuria, polidipsia, polifagiaidan
penurunan berat badan. Diabetes melitus tipe 2 dapat disebabkan oleh lifestyle yang
buruk seperti (obesitas, kurangnya aktivitas fisik, dan kalori yang berlebihan di
dalam tubuh atau faktor genetik) (ADA, 2018).
2.2.3.3 Diabetes pada kehamilan/Gestational Diabetes Melitus (GDM)
Diabetes gestational terjadi pada wanita hamil yang didiagnosis mengalami
kenaikan kadar glukosa dalam darah secara signifikan (hiperglikemi) saat
kehamilan. Gestational Diabetes melitus biasanya diketahui saat ibu hamil
memasuki trisemester ketiga. Keadaan ini terjadi karena pembentukan hormon pada
ibu hamil yang menyebabkan resistensi insulin. Diabetes ini dapat menyebabkan
peningkatan resiko komplikasi pada wanita selama kehamilan dan saat melahirkan.
Wanita hamil dengan diabetes gestasional memiliki risiko tinggi mengalami
diabetes melitus tipe 2 pasca melahirkan atau di kemudian hari (ADA, 2018).
2.2.3.4 Diabetes Melitus tipe lain/ Others Specific Types
Diabetes melitus tipe lain atau Others Specific Types ini merupakan diabetes
melitus yang disebabkan karena adanya etiologi lain seperti gangguan
10

endokrinopati yang menyebabkan hiperglikemia akibat peningkatan produksi


glukosa hati, sindrom diabetes monogenik seperti diabetes neonatal serta
penggunaan obat atau bahan kimia diabates yang diinduksi seperti penggunaan
glukokortikoid dalam pengobatan HIV/AIDS (“Approaches to Glycemic
Treatment,” 2016).

2.2.4 Etiologi Diabetes melitus


Terdapat dua risiko faktor diabetes melitus yang sifatnya dapat di
modifikasi dan faktor resiko yang tidak dapat di modifikasi.
A. Faktor resiko yang dapat di modifikasi
 Gaya hidup (meliputi; makanan yang dikonsumsi, alcohol, merokok, pola
istirahat, aktifitas fisik dan manajemen stress.)
 Obesitas (yaitu ≥ 20% melebihi berat badan ideal atau indeks massa tubuh
(BMI) ≥ 25 kg/m2)
 Hipertensi (≥140/90 mmHg pada orang dewasa atau dengan terapi
hipertensi)
B. Faktor risiko yang tidak dapat di modofikasi
 Umur: risiko untuk menderita intoleransi glukosa meningkat seiring
meningkatnya usia. Usia ≥ 45 tahun harus diskrining DM
 Faktor genetik atau riwayat keluarga yang menderita DM
 Riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lahir bayi >4000 gram atau
riwayat pernah menderita DM gestasional (Salasa et al., 2019).
2.2.5 Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik yang umum terjadi pada penderita Diabetes melitus
adalah 3P, yaitu: Poliuria (produksi urin berlebihan), Polidipsia (rasa haus terus
menerus), dan Polifagia (rasa lapar terus-menerus) disertai penurunan berat badan
secara signifikan, dan sering kesemutan. Pada kasus lain terdapat gejala lain dari
Diabetes melitus seperti rasa lelah dan lemah yang tidak biasa, pandangan kabur,
pemulihan luka yang lama atau sering infeksi, dan warna kulit gelap (Narulita et
al., 2019).
11

2.2.6 Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 2


Patogenesis pada penderita diabetes melitus type 2 bukan hanya pada hepar,
sel Beta pankreas dan otot saja namun terdapat delapan organ lainnya yang berperan
serta disebut sebagai the egregious eleven (Schwatrz et al., 2016).

Gambar 2. 2 The Egregious Eleven (Schwatrz SS, et al., 2016 dalam Perkeni,
2019)

Patogenesis hiperglikemia disebabkan oleh sebelas organ (egregious eleven),


yaitu:

2.2.6.1 Kegagalan sel beta pankreas


Pada saat penderita diabetes melitus type 2 didiagnosis sel beta sudah
mengalami disfungsi. OAD yang bekerja melalui jalur ini adalah agonis glucagon-
like peptide (GLP-1), meglitinid, sulfonilurea dan penghambat dipeptidil peptidase-
4 (DPP-4) (Soelistijo et al., 2019).
2.2.6.2 Disfungsi sel alfa pankreas
Sel alfa berfungsi pada sintesis glucagon dan akan meningkat kadarnya
dalam plasma ketika dalam keadaan puasa. Peningkatan ini mengakibatkan
produksi glukosa hati (hepatic glucose production) dalam keadaan basal akan
meningkat secara siignifikan dibanding individu yang normal. Agonis GLP-1,
penghambat DPP-4 dan amilin adalah obat yang mampu menghambat sekresi
glucagon atau menghambat reseptor glucagon (Soelistijo et al., 2019).
12

2.2.6.3 Sel lemak


Sel lemak yang resisten pada efek antilipolisis dari insulin, mengakibatkan
peningkatan prosess lipolisis dan kadar asam lemak bebas (free fatty acid (FFA))
dalam plasma (Soelistijo et al., 2019). Pada pasien dengan diabetes melitus tipe 2,
FFA plasma puasa meningkat dan gagal menjadi normal setelah konsumsi
karbohidrat. Normalnya, FFA disimpan sebagai trigliserida dalam adiposit dan
berfungsi sebagai sumber energi penting selama puasa. Namun, karena konsentrasi
plasma yang meningkat secara klinis dapat mengganggu sekresi insulin dan
menyebabkan resistensi insulin di otot dan hati (Dipiro et al., 2020). Peningkatan
FFA akan merangsang proses glukoneogenesis, dan mengakibatkan resistensi
insulin di otot dan hepar, sehingga menghambat sekresi insulin. Hal ini disebut
lipotoksisitas. Obat yang bekerja dijalur ini adalah tiazolinedion (Soelistijo et al.,
2019).
2.2.6.4 Otot
Pada penderita diabetes melitus tipe 2, terdapat berbagai gangguan fungsi
insulin intraseluler yang disebabkan oleh fosforilasi tirosin yang abnormal sehingga
menyebabkan gangguan transportasi glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis
glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. (Soelistijo et al., 2019).
Pada diabetes melitus tipe 2, onset kerja insulin di otot tertunda dan ambilan
glukosa di otot tungkai berkurang hingga 50%. Sinyal insulin intraseluler yang
terganggu dan tidak normal pada pasien dengan diabetes melitus tipe 2 merupakan
gangguan di hampir setiap langkah aktivasi karena resistensi insulin, lipotoksisitas,
dan glukotoksisitas. Kompensasi hiperinsulinemia yang diperlukan untuk
mengatasi gangguan pensinyalan insulin dapat mengaktifkan jalur alternatif MAP
kinase, yang mempercepat aterosklerosis. Disfungsi mitokondria juga berperan
dalam resistensi insulin pada jaringan otot, namun fungsi dan kepadatan
mitokondria lebih rendah pada diabetes melitus tipe 2 (Dipiro et al, 2020).
2.2.6.5 Hepar
Resistensi terhadap kerja insulin di hati berkontribusi secara signifikan
terhadap produksi glukosa hati berlebihan. Pada pasien dengan diabetes melitus tipe
2 dengan hiperglikemia puasa termoderate ringan (140-200 mg/dL; 7,8-11,1
mmol/L), produksi glukosa hati basal meningkat sekitar 0,5 mg/kg/menit.
Akibatnya, hati pada orang dengan berat badan 80 kg dengan diabetes
13

menghasilkan 35 g glukosa ekstra dalam semalam dan menyebabkan hiperglikemia


puasa. Selain itu, hati melanjutkan produksi glukosa hati secara tidak tepat setelah
makan. Oleh karena itu, pasien dengan diabetes melitus tipe 2 memiliki dua sumber
glukosa pada keadaan postprandial, satu sumber dari makanan dan yang lainnya
dari produksi glukosa lanjutan dari hati (Dipiro et al., 2020). Pada penyandang
diabetes melitus tipe 2 terjadi resistinsi insulin yang parah dan mengakibatkan
glukoneogenesis sehingga produksi glukosa dalam basal oleh hepar (hepatic
glucose production) meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini adalah
metformin, yang menekan proses glukoneogenesis (Soelistijo et al., 2019).
2.2.6.6 Otak
Insulin adalah penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu obesitas
dengan DM maupun non-DM terdapat hiperinsulinemia yang merupakan
mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada kelompok ini, asupan makanan
justru meningkat karena adanya resistensi insulin, yang juga terjadi di otak. Obat
yang bekerja di jalur ini adalah GLP-1 agonist, amiline dan bromocriptine
(Soelistijo et al., 2019).
2.2.6.7 Kolon/ Mikrobiota
Perubahan komposisi mikrobiota usus besar dapat menyebabkan gula darah
tinggi. Mikrobiota usus terbuktii berhubungn dengan diabetes melitus tipe 1,
diabetes melitus tipe 2, dan obesitas sehingga menjelaskan bahwa hanya sebagian
individu berat badan berlebih akan berkembang menjadi DM. Probiotik dan
prebiotik diperkirakan sebagian mediator untuk menangani keadaan hiperglikemia
(Soelistijo et al., 2019).
2.2.6.8 Usus halus
Glukosa yang memicu jalur respons insulin lebih besar daripada glukosa
yang diberikan secara intravena. Efek ini disebut efek incretin, yangndiperankan
oleh 2 hormon yaitu glucagon-like polypeptide-1 (GLP-1) dan glucose-dependent
insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polyprptide (GIP).
Pada penderita diabetes melitus tipe 2, terjadi kekurangan GLP-1 dan resistensi
terhadap hormon GIP. Kehadiran enzim DPP-4 juga langsung memecah hormon
incretin, sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit saja. Obat yang bekerja
menghambat kinerja DPP-4 adalah DPP-4 inhibitor. Saluran pencernaan juga
menyerap karbohidrat dengan menyerap α-glukosidase, yang memecah
14

polisakarida menjadi monosakarida, yang kemudian diserap oleh usus,


menyebabkan peningkatan gula darah setelah makan. Acarbose merupakan obat
yang dapat menghambat kinerja alfa glukosidase (Soelistijo et al., 2019).

2.2.6.9 Ginjal
Ginjal adalah organ yang diketahui berperan dalam patogenesis DMT2.
Ginjal menyaring sekitar 163 gram glukosa setiap hari. 90% dari glukosa yang
disaring akan diserap kembali melalui aksi enzim sodium-glukosa cotransporter
(SGLT-2) di dalam tubulus proksimal konvektif, dan 10% sisanya akan diserap oleh
SGLT-1 dalam aksi tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada
glukosa dalam urin. Pada orang dengan DM, ekspresi gen SGLT-2 meningkat, yang
menyebabkan peningkatan reabsorpsi glukosa di tubulus ginjal dan peningkatan
kadar gula darah. Obat-obatan yang menghambat kinerja SGLT-2 akan
menghambat reabsorpsi glukosa di tubulus ginjal, sehingga memungkinkan glukosa
dikeluarkan dari urin. Obat yang berperan dalam jalur ini adalah SGLT-2 inhibitor,
seperti degligliflozin, empagliflozin, dan canagliflozin (Soelistijo et al., 2019).
2.2.6.10 Lambung
Penurunan produksi amilin pada diabetes merupakan akibat dari kerusakan
sel beta pankreas. Penurunan kadar amilin menyebabkan pengosongan
gastrointestinal lebih cepat dan peningkatan penyerapan glukosa, yang terkait
dengan peningkatan kadar glukosa setelah makan (Soelistijo et al., 2019).
2.2.6.11 Sistem imun
Terdapat bukti bahwa sitokin menyebabkan reaksi fase akut (disebut
inflamasi tingkat rendah, yang merupakan bagian dari aktivasi sistem imun
bawaan), yang terkait erat dengan patogenesis DMT2, dan terkait dengan
komplikasi seperti dislipidemia dan aterosklerosis. Inflamasi sistemiik tingkat
rendah berperan dalm induksi stress pada endoplasma akibat peningkatan
kebutuhan metabolisme untuk insulin. DMT2 ditandai dengan resistensii insulin
perifer dan penurunan produksi insulin, disertai dengan inflamasi kronik derajat
rendah pada jaringan perifer seperti adiposa, hepar, dan otot (“Approaches to
Glycemic Treatment,” 2016).
Dalam beberapa dekade terakhir, telah dibuktikan bahwa ada hubungan
antara obesitas dan resistensi insulin terhadap inflamasi. Ini menggambarkan peran
penting inflamasi dalam patogenesis DMT2, yang dianggap sebagai kelainan imun
15

(immune disorder). Gangguan metabolisme lain yang berhubungan dengan


inflamasi juga sering terjadi pada DMT2 (Soelistijo et al., 2019).
2.2.7 Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe 1

Gambar 2. 3 Patofisiologi Diabetes Melitus tipe 1 (ADA, 2019)


DM tipe 1 adalah penyakit autoimun yang disebabkan oleh kerusakaan
selektif sel β (beta) pankreas oleh limfosit T yang menargetkan antigen sel β yang
tidak jelas (Hammer and McPhee, 2018). Pada DMT1, mereka tidak memproduksi
insulin karena sel-sel yang mensekresi insulin di pankreas telah dihancurkan. Pada
kebanyakan orang, hal ini disebabkan oleh respon autoimun dimana sistem kebalan
secara keliru menyerang sel-sel yang mengeluarkan insulin. Terlepas dari mereka
yang memiliki kerusakan pada pankreas, DMT1 hanya terjadi pada mereka yang
memiliki kecenderungan genetik (Walker and Toms, 2020).
16

2.2.8 Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe 2

Gambar 2. 4 Patofisiologi Diabtes Melitus tipe 2 (Zheng, Y et al. 2017)

Patofisiologi yang mendasari Diabetes melitus tipe 2 adalah sel β pankreas


yang menghasilkan insulin mengalami kerusakan sehingga menghasilkan insulin
dalam jumlah sedikit atau mengalami resiistensi insulin pda sel otot dan hati, serta
keggagalan sel β pankreas. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa kegagalan sel β
terjadi lebih awal dan lebih berat dari yang diperkirakan sebelumnya. Organ lain
yang terlibat pada dibets melitus type 2 adalah jaringan lemak (meningkatnya
lipolisis), gastrointestinal (defisiensi incretin), sel α pankreas (hiperglukagonemia),
ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan otak (resistensi insulin), yang ikut
berperan menyebabkan gangguan toleransi glukosa (Soelistijo et al., 2019).
2.2.9 Diagnosis Diabetes melitus
Diagnosis diabetes didasarkan pada pemeriksaan kadar gula darah. Tes
glukosa darah yang dianjurkan adalah menggunakan plasma intravena untuk
melakukan tes enzim glukosa darah. Pengukur glukosa darah dapat digunakan
untuk memantau hasil pengobatan melalui tes glukosa darah kapiler. Diagnosis
ketika pasien dalam keadaan puasa adalah ≥126 mg / dL (7 mmol / L) dan tidak ada
asupan kalori selama minimal 8 jam pada saat perut kosong atau periksa glukosa
plasma ≥200 mg/dL 2 jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dengan
17

beban glukosa 75 gram glukosa oral atau pemeriksaan glukosa plasma sewaktu
≥200 mg/dL dengan keluhan klasik atau pemeriksaan GbA1c ≥6,5% dengan
menggunakan metode High-Performance Liquid Chromatography (HPLC) yang
terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP)
(Silver et al., 2018)
Diabetes juga dapat didiagnosis dengan mengukur hemoglobin terglikasi
(HbA1c), bahkan jika pasien tidak dalam keadaan puasa HbA1c mencerminkan
konsentrasi glukosa darah rata-rata selama beberapa minggu terakhir, bukan
konsentrasi glukosa darah pada saat itu (tercermin dari puasa dan pengukuran
glukosa darah 2 jam yang disebutkan di atas). Namun, tes ini lebih mahal daripada
pengukuran glukosa darah. Selain itu, diagnosis diabetes melitus dapat dilakukan
dengan melihat manifestasi berupa gejala DM (poliuria, polidipsia, polifagia,
penurunan berat badan tanpa sebab) kadar glukosa plasma sewaktu 200 mg/ dL
(11.1 mmol/L). Atau ditambah dengan keluhan lain yaitu lemah badan, kesemutan,
gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita
(WHO, 2016).
Hasil pemeriksan yang tidak memenuhi kriteria normal digolonggkan ke
dalam kelompok prediabetes yang meliputi toleransi glukosa terganggu (TGT) dan
glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
 Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT) : hasil pemeriksaan glukosa plasma
puasa antara 100 – 125 mg/dL dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2 jam < 140
mg/dL
 Toleransi Glukosa terganggu (TGT) : hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 jam
setelah TTGO antara 140 – 199 mg/dL dan glukosa plasma puasa < 100 mg/dL
 Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan dengan berdasarkan hasil
pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7 – 6,4 %(Soelistijo et al., 2019)
Tabel 2. 1 Kadar Tes Laboratorium Darah untuk Diagnosis Diabetes dan
Prediabetes (Perkeni, 2019)
HbA1c (%) Glukosa darah Glukosa plasma 2 jam
puasa (mg/dL) setelah TTGO (mg/dL)

Normal < 5,7 70 – 99 70 – 139


18

Pre-Diabetes 5,7 – 6,4 100 – 125 140 – 199

Diabetes ≥ 6,5 ≥ 126 ≥ 200

2.2.10 Komplikasi
Pada penderita diabetes melitus terdapat 2 komplikasi yang dapat
menyerang penderita diabetes melitus, yaitu komplikasi akut dan komplikasi kronik
:
2.2.10.1 Komplikasi Akut
Terdapat 3 komplikasi akut pada penderita diabetes melitus meliputi
hipoglikemia, ketoasidosis diabetik, dan Hiperosmolar Hiperglikemik State.
A. Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah salah satu komplikasi akut pada penderita diabetes
melitus. Kondisi ini terjadi ketika kadar glukosa atau kadar gula darah dalam tubuh
dibawah normal. Hipoglikemia paling sering disebabkn karena peggunaan insulin
dan sulfonilurea. Hipoglikemia terjadi karena menurunnya kadar glukosa darah <
70 mg/dL. Gejala hipoglikemia antara lain jantung berdebar, berkeringat banyak,
gemetar, lapar, pusing, gelisah, kesadaran menurun hingga koma (Soelistijo et al.,
2019).
B. Diabetes Ketoasidosis
Diabetes Ketoasidosis adalah keadaan dekompensasi kekacauan metabolik
yang ditandai dengan hiperglikemia, asidosis, dan ketosis yang merupakan salah
satu komplikasi akut metabolik diabetes melitus. Kondisi ini ditandai dengan
peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia) >300 mg / dL, ketosis (akumulasi
asam β-hidroksibutirat dan asam asetoasetat dalam tubuh), asidosis (pH darah
rendah karena asam berlebihan), osmolalitas plasma meningkat, kelelahan ,
penglihatan kabur, mulut dan kulit kering, mual dan muntah. Ketoasidosis diabetik
disebabkan oleh kekurangan insulin, yang menyebabkan gula darah tidak terkontrol
(Soelistijo et al., 2019).
C. Hiperosmolar Hiperglikemik State
Dalam kasus peningkatan gula darah yang sangat tinggi (yaitu 600-1200 mg /
dL), gula dalam darah akan menarik air dari sel, yang menyebabkan air keluar dari
sel seingga akan dikelurkan melalui urin secara terus menerus dan menyebabkan
19

dehidrasi. Hiperglikemia hiperosmolar juga dapat disebut hiperglikemia


hiperosmolar nonketotik (HHNK), yang terutama ditandai dengan hiperosmolalitas
dan perubahan tingkat kesadaran (Soelistijo et al., 2019).
2.2.10.2 Komplikasi Kronik
Apabila kadar gula darah pada penderita diabetes terus menerus tidak
dapat dikendalikan dengan baik, maka dapat menyebabkan terjadinya berbagai
komplikasi kronis pada penderita diabetes. Komplikasi ini termasuk komplikasi
makrovaskuler dan mikrovaskuler. Komplikasi makrovaskuler lebih banyak
disebabkan oleh adanya resistensi insulin, sedangkan komplikasi mikrovaskuler
lebih banyak disebabkan oleh hiperglikemia kronik. Kerusakan pembuluh darah
dimulai dengan kegagalan endotel yang disebabkan oleh glikosilasi dan stres
oksidatif sel endotel (Decroli, 2019).
2.2.10.2.1 Makrovaskuler
1) Coronary Artery Disease (CAD)
Penyakit jantung koroner adalah kondisi ketika pembuluh darah jantung
(arteri koroner) tersumbat oleh timbunan lemak. Bila lemak makin menumpuk,
maka arteri makin menyempit, dan membuat aliran darah ke jantung berkurang.
Kondisi dimana jantung tidak dapat memompa darah dengan baik (WHO, 2016).
Penyakit jantung koroner merupakan sumber utama kematian pada
penderita diabetes. Intervensi dengan beberapa faktor risiko (lipid, hipertensi,
berhenti merokok dan terapi antiplatelet) 5 Tindakan intervensi akan mengurangi
beban kejadian makrovaskular yang berlebihan (Soelistijo et al., 2019).
2) Peripheral Arterial Disease (PAD)
Penyakit arteri perifer adalah suatu kondisi di mana arteri menyempit
sehingga menyebabkan aliran darah ke kaki tersumbat. Penyempitan ini disebabkan
oleh timbunan lemak di dinding arteri yang disebabkan oleh kolesterol atau produk
limbah lainnya (artheroma). Dalam hal ini, kaki tidak bisa mendapatkan aliran
darah yang cukup sehingga menyebabkan nyeri pada kaki, terutama saat berjalan
(klaudikasio). Penyebab penyakit arteri perifer adalah obesitas, diabetes, merokok,
tekanan darah tinggi dan kolesterol tinggi (WHO, 2016).
3) Cerebrovascular Disease (CVD)
Cerebrovascular (CVD) adalah penyumbatan pembuluh darah yang
memasok otak (terutama arteri serebral). Penyakit ini disebabkan oleh gangguan
20

pembuluh darah otak berupa pembuluh darah otak yang tersumbat atau pecah,
bukan oleh penyakit lain seperti tumor otak, infeksi otak, atau penyakit saraf tepi
(WHO, 2016).
2.2.10.2.2 Mikrovaskular
1) Retinopati Diabetik
Diabetik retinopati adalah komplikasi diabetes melitus yang terjadi pada
mata orang dewasa dengan umur 20-74 tahun. Penyebab dari komplikasi ini ialah
rusaknya pembuluh darah dari jaringan yang sensitif terhadap cahaya di retina.
Retinopatik diabetik dapat berkembang pada penderita diabetes melitus 1 dan
diabetes melitus 2, semakin tinggi kadar gula dalam darah semakin tinggi risiko
terkena komplikasi ini. Selain itu, beberapa faktor yang dapat meningkatkan atau
berhubungan dengan risiko retinopati antara lain hyperglicemia, nefropaty, dan
hypertensi. Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko
atau memperlambat progresi retinopati (Soelistijo et al., 2019).
2) Nefropati Diabetik
Nefropati Penyakit ginjal adalah penyakit atau kerusakan pada ginjal.
Nefropati diabetik adalah kerusakan ginjal akibat DM. Hal ini terjadi karena
glomerulus tidak dapat menyaring protein dan glukosa, sehingga protein dan
glukosa tidak dapat diserap kembali dan dikeluarkan bersama urin. Pasien diabetes
dengan nefropati diabetik berhubungan dengan peningkatan tekanan darah
(hypertensi). Tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol dapat menyebabkan
penurunan laju filtrasi glomerulus, yang dapat menyebabkan kerusakan ginjal.
Kontrol gula darah dan tekanan darah yang baik akan menurunkan risiko penyakit
ginjal atau memperlambat perkembangannya.Untuk penderita nefropati diabetik,
tidak disarankan untuk mengurangi asupan protein di bawah 0,8 g / kgBB / hari,
karena tidak akan meningkatkan risiko penyakit ginjal. penyakit kardiovaskular dan
menurunkan GFR ginjal (Soelistijo et al., 2019).
3) Neuropati Diabetik
Neuropati merupakan komplikasi paling umum dari diabetes yang
menyerang saraf di anggota tubuh, terutama tungkai. Gangguan biasanya terjadi
pada fungsi sensorik secara simetris, yang menyebabkan sensasi abnormal dan mati
rasa secara progresif, yang berkontribusi pada pembentukan ulkus (kaki diabetik)
21

akibat trauma eksternal dan / atau distribusi tekanan abnormal ke tulang internal
(IDF, 2017).
Pada neuropati perifer, hilangnya sensasi distal merupakan faktor penting
dalam tingginya risiko ulkus kaki, yang meningkatkan risiko amputasi. Gejala
umum termasuk rasa terbakar dan gemetar secara spontan pada kaki, dan rasa sakit
yang meningkat di malam hari. Semua pasien diabetes dengan neuropati perifer
harus diberikn edukasi perawatan kaki untuk mengurangi risiko ulkus kaki
(Soelistijo et al., 2019).
2.2.11 Penatalaksanaan Diabetes Melitus Tipe 2
Dalam mengobati pasien diabetes melitus tipe 2 tujuan penatalaksanaan
secara umum yang harus dicapai adalah meningkatkan kualitas hidup pasien.
Tujuan penatalaksanaan meliputi Tujuan penatalaksanaan jangka pendek yaitu
menghilangkan keluhan dan tanda penderita diabetes melitus, mempertahankan
rasa nyaman, mencapai target pengendalian glukosa darah, memperbaiki kualitas
hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut. Tujuan penatalaksanaan jangka
panjang yaitu untuk mencegah dan menghambat progresivitas komplikasi
makrovaskuler dan mikrovaskuler. Tujuan akhir pengelolaan diabetes melitus tipe
2 adalsh menurunkn morbidiitas serta mortalitas diabetes melitus. Untuk mencspai
tujuuan tersebutt perlu dilakukan penatalaksanan diabetes melitus sejak dini dan
melakukan pengendalian glukosa darah, TD, berat badan, dan profil lipid dapat
dikendalikan. Ha ini dapst tercapai melalui pengelolaan pasien dengan mengajarkan
perawatan mandiri dan perubahan pola hidup (Soelistijo et al., 2019).
Penatalaksanaan Diabetes Melitus tipe 2 dibagi menjadi 2, yaitu terapi non
farmakologis dan terapi farmakologi:
2.2.11.1 Terapi Non Farmakologi
2.2.11.1.1 Edukasi
Edukasi untuk penderita diabetes melitus tipe-2 harus memfokuskan pada
perubahan gaya hidup (diet dan aktivitas fisik), di samping edukasi tentang
pemberian obat antidiabetes oral dan insulin. Edukasi sebaiknya dilakukan oleh tim
yang melibatkan ahli gizi dan psikolog, serta, ahli aktivitas fisik. Edukasi sebaiknya
juga diberikan kepada seluruh anggota keluarga agar mereka memahami
pentingnya perubahan gaya hidup untuk keberhasilan manajemen diabetes melitus
tipe 2 (Decroli, 2019). Materi edukasii meliputi materi edukasi tingkat awal yang
22

diselenggarakan dipelayanan kesehatan primer yang meliputi intervensi non


farmakologi dan farmakologi serta targett pengobatan, cara pemantauan glukosa
darah, mengenal dan penanganan awal pada gejala hipoglikemia, serta pentingnya
latihan jasmani yang teratur. Materi edukasi pada tingkat lanjut dilaksanakan di
Pelayanan Kesehatan Sekunder dan Tersier, yang meliputi pengetahuan mengenai
penyulit menahun diabetes melitus dan penatalaksanaan diabetes melitus selama
menderita penyakit lain (Soelistijo et al., 2019).
2.2.11.1.2 Terapi Nutrisi Medis
Terapi nutrisi medis merupakan bagian penting dari penatalaksanaan
diabetes melitus tipe 2 secara komprehensif. Kunci keberhasilannya adalah
keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas
kesehatan yang lain serta pasien dan keluarganya). Prinsip pengaturan makan pada
penyandang diabetes melitus hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat
umum, yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat
gizi masing-masing individu. Penyandang diabetes melitus perlu diberikan
penekanan mengenai pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah
kandungan kalori, terutama pada mereka yang menggunakan obat yang
meningkatkan sekresi insulin atau terapi insulin itu sendiri. Komposisi makanan
yang dianjurkan terdiri dari lemak, karbohidrat, protein, natrium, dan serat
(Soelistijo et al., 2019)

2.2.11.1.3 Diet Diabetes


Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan pasien
diabetes. Cara yang paling umum digunakan adalah menghitung kebutuhan kalori
dasar sebesar 25-30 kalori / kg berat badan ideal (BBI), dengan mempertimbangkan
beberapa faktor koreksi. Faktor koreksi ini termasuk jenis kelamin, usia, aktivitas
dan berat badan.
 Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dilakukan dengan menggunakan rumus
Brocca yang dimodifikasi yaitu: BB ideal = 90% x (TB (cm) - 100) x 1 kg.
 Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm,
rumus dimodifikasi menjadi: Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x
1 kg.

Faktor-faktoryang menentukan kebutuhan antara lain:


23

 Jenis Kelamin
Kebutuhan kalori pada wanita lebih sedikit dibandingaan kebutuhan kalori pada
pria. Kebutuhan kalori wanita sebesar 25 kal/kg BBI dan pria sebesar 30 kal/kg
BBI.
 Umur
Untuk penderita diatas usia 40 tahun: kebutuhan kalori dikurangi5% (untuk usia
antara 40 dan 59 tahun), dikurangi 10% (untuk usia 60 - 69 tahun), dan dikurangi
20% (untuk usia >70 tahun).
 Aktivitas Fisik
Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas fisik.
Penambahan 10% dari kbutuhan kalori basal diberikan pada penderita dalam
keadan istirahat total, penambahan 20% dari kebutuuhan kalori basal diberikan
pada penderita dengan aktivitas fisik ringan, penambahan 30% dari kebutuhan
kalori basal diberikan padaa penderita dengan aktivitas fisik sedang, dan
penambahan 50% dari kebutuhan kalori basal diberikan pada penderita dengan
aktivitas fisik sangat berat.
 Berat Badan
Pada penderita obesitas, kebutuhan kalori berkurang sekitar 20-30% dari
kebutuhan kalori basal (tergantung derajat obesitasnya yaitu obesitas I atau obesitas
II). Pada penderita underweight, kebutuhan kalori akan meningkat 20-30% dari
kebutuhan kalori basal (berdasarkan kebutuhan penambahan berat badan).
Berdasarkan hasil perhitungan total kalori yang diperoleh dengan menggunakan
rumus Brocca dan memperhitungkan faktor koreksi, maka total kalori tersebut
dibagi menjadi tiga bagian yaitu sarapan pagi (20%), makan siang (30%) dan makan
malam (25)%. ) dan 2-3 snack (10-15%). Sisanya dibagi menjadi tiga kali makan
utama. Untuk meningkatkan kepatuhan pasien, pola diet disesuaikan dengan
kebiasaan pasien sebelumnya. Bagi penderita diabetes dengan penyakit lain,
sesuaikan nutrisi pengobatan dengan penyakit yang menyertainya (Decroli, 2019).
2.2.11.1.4 Komposisi Makanan
Untuk penderita DMT2, persentasi asupaan karbohidrat yang dianjurkan
sebesar 45-65% dari total kebutuhan kalori. Persentase asupan lemak yang
disarankan adalah sekitar 20-25% dari total kebutuhan kalori. Asupann lemak tidak
24

boleh lebih dari 30% dari total kebutuhan kalori. Persentasee asupan lemak jenuh
yang disarankan kurang dari 7% dari total kebutuhan kalori. Pesentase asupan
lemak tak jenuh ganda yang disarankan adalah kurang dari 10% dari total kebutuhan
kalori. Bahan makanan yang perlu dibatasi adalh makanan yang mengandung
banyak lemak jenuh dan lemak trans, termasuk daging berlemak dan susu murni.
Konsumsi kolesterol yang dianjurkan kurang dari 300 mg / hari. Persentase asupan
protein yang dianjurkan adalah 10-20% dari total kebutuhan kalori. Sumber protein
yang baik adalah makanan laut (ikan, udang, cumi-cumi, dll.), Daging tanpa lemak,
ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu dan kacang-
kacangan. Asupan natrium yang dianjurkan untuk penderita diabetes sama dengan
asupan natrium yang dianjurkan untuk masyarakat umum, tidak melebihi 3000 mg
atau sama dengan 6-7 gram (1 sendok teh) garam meja. Pada pasien hipertensi
dengan DMT2, asupan natrium harus dibatasi, yaitu tidak lebih dari 2,4g garam
meja. Sumbe natrium meliputi garam meja, monosodium glutamat, air soda, dan
pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit. Seperti masyarakat umum,
penderita diabetes dianjurkan untuk mendapatkan serat yang cukup dari kacang-
kacangan, buah dan sayur, serta karbohidrat tinggi serat, karena mengandung
vitamin, mineral, serat dan bahan sehat lainnya. Konsumsi serat yang dianjurkan
adalah sekitar 25 g / 1000 kkal / hari. Pemanis diklasifikasikan menjadi pemanis
bergizi dan pemanis non-nutrisi. Pemanis nutrisi termasuk gula alkohol dan
fruktosa. Gula alkohol termasuk isomalt, laktitol, maltitol, manitol, sorbitol dan
xylitol. Dalam penggunaannya, nutrisi pemanis kalori harus diperhatikan. Fruktosa
tidak disarankan untuk pasien diabetes karena memengaruhi kadar lipid darah.
Pemanis non-nutrisi, seperti aspartam, sakarin, acesulfame potassium, sucralose
dan neotame (Decroli, 2019).
2.2.11.1.5 Diet Mediterania
Diet Mediterania adalah pola makan nabati yang dimulai pada tahun 1960.
Minyak zaitun adalah sumber utama lemak; produk susu, ikan, dan unggas; dan
sedikit daging merah dan anggur merah, terutama saat makan. Diet mediterania
dapat meningkatkan kontrol gula darah dan mengurangi faktor risiko
kardiovaskular, termasuk tekanan darah sistolik, kolesterol total, kolesterol
lipoprotein densitas tinggi, dan trigliserida pada DMT2. Diet mediterania
25

mengurangi HbA1c, kadar glukosa darah puasa dan menunda kebutuhan terapi obat
anti hiperglikemik (Decroli, 2019).
2.2.11.1.6 Aktfitas Fisik
Latihan jasmani merupakan salah satu penatalaksanaan dalam pengelolaan
diabetes melitus tipe 2. latihan jasmani dilakukan secara secara teratur sebanyak 3-
5 kali perminggu selama sekitar 30-45 menit, dengan total 150 menit perminggu.
Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan glukosa darah sebelum latihan jasmani.
Apabila kadar glukosa darah <100 mg/dL pasien harus mengkonsumsi karbohidrat
terlebih dahulu dan bila >250 mg/dL dianjurkan untuk menunda latihan jasmani.
Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat
badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali
glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa jalan cepat, bersepeda
santai, dan jogging. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status
kesegaran jasmani. Intensitas latihan jasmani pada penyandang DM yang relatif
sehat bisa ditingkatkan, sedangkan pada penyandang DM yang disertai komplikasi
intesitas latihan perlu dikurangi dan disesuaikan dengan masing-masing individu
(Soelistijo et al., 2019).
26

2.2.11.2 Terapi Farmakologi

Gambar 2. 5 Algoritma Penatalaksanaan Diabetes Melitus Tipe 2 (Soelistijo et al., 2019)

Pemeriksan HbA1C (A1C) sangat penting untuk menentukan kombinasi obat


OAD. Menurut ruang lingkupnya, penderita dibedakan menjadi tiga kategori yaitu
A1c <7.5%, A1c> 7.5% dan A1c> 9%. Untuk pasien diabetes dengan A1C <7,5,
dianjurkan untuk menggunakan metformin sebagai pengobatan lini pertama.
Pasalnya, metformin memiliki kelebihan dalam mengontrol kadar gula darah dan
menurunkan berat badan berlebih pada pasien obesitas. Dosis yang dianjurkan
adalah 500 mg tiga kali sehari. Namun, untuk beberapa pasien yang alergi atau tidak
toleran terhadap metformin, pertimbangkan untuk menggunakan terapi
thiazolidinedione, penghambat SGLT-2, penghambat DPP-IV, agonis GLP-1,
penghambat alfa glikosidase, dan obat-obatan sulfonil Urea. Jika tingkat A1c
pasien> 7,5%, ataun pengobatan lini satu menggunakan OAD tunggal (metformin)
27

pada pasien belum membaik (pemantauan selama tiga bulan), perlu


dipertimbangkan penggunaan gabungan dari dua obat OAD. Prinsip penggunaan
gabungan dua obat OAD adalah metformin (atau obat lini pertama lainnya) + obat
lini kedua dengan efek terapeutik berbeda (“Approaches to Glycemic Treatment,”
2016).
Untuk pasien dengan A1C> 9% dengan salah satu gejala diabetes yang jelas:
penurunan berat badan, gangren kaki, hiperglikemia, disfungsi ginjal dan hati berat,
suntikan insulin perlu diberikan. Namun, jika tidak demikian, dapat
dipertimbangkan untuk menggunakan kombinasi 3 obat OAD. Prinsip terapi 3
kombinasi OAD adalah menggabungkan obat lini pertama dan lini kedua dengan
obat ketiga dengan efek terapeutik yang berbeda. Berikut ini adalah diabetes tipe 2
yang dirawat menurut Perkeni (ADA, 2019).
28

Gambar 2. 6 Strategi dan regimen terapi insulin pada penderita DMT2 (Lukito,
2020)
29

Gambar 2. 7 Daftar Insulin (Nijakowska, 2018).


2.2.11.2.1 Golongan Sulfonylurea
Sulfonylurea meningkatkan sekresi insulin dengan memblokir saluran
kalium yang sensitif terhadap ATP di membrane sel β pankreas. Tindakan ini
menghasilkan depolarisasi membran, yang memungkinkan masuknya kalsium
untuk menyebabkan translokasi butiran sekretori insulin ke permukaan sel, dan
meningkatkan sekresi insulin dengan cara yang tidak bergantung pada glukosa.
Insulin kemudian diangkut melalui vena portal ke hati, menekan produksi glukosa
hati. Obat ini diklasifikasikan sebagai agen generasi pertama atau kedua. Sebagian
besar pasien yang menerima sulfonylurea diresepkan agen generasi kedua
(Chisholm-Burns et al., 2016).
30

Efek penurunan glukosa darah pada sulfonylurea dapat diamati baik pada
tingkat puasa dan postprandial. Monoterapi dengan agen ini umumnya
menghasilkan penurunan 1,5 – 2 % (0,015 – 0,02 atau 17 – 22 mmol/mol Hgb) pada
konsentrasi A1c dan penurunan kadar FBG sebesar 60 hingga 70 mg/dL (3,3 – 3,9
mmol/L). Efek samping yang umum termasuk hipoglikemia dan penambahan berat
badan (Chisholm-Burns, et al., 2016). Dosis yang lebih rendah pada awalnya harus
digunakan pada pasien berisiko tinggi, sebagai tambahan hipoglikemia pada
sulfonylurea dosis rendah dapat menentukan peralihan ke terapi dengan risiko
hipoglikemia rendah (Dipiro et al., 2020).
2.2.11.2.2 Golongan Meglitinida
Meglitinida memiliki mekanisme kerja yang sama dengan sulfonylurea.
Karena meglitinida memiliki waktu kerja yang singkat sehingga digunakan sebagai
obat setelah makan (prandial). Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu
Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Repaglinid
dapat menurunkan glukosa darah puasa walaupun mempunyai waktu paruh.
Sedangkan meglitinida merupakan gol. obat terbaru, mempunyai masa paruh yang
lebih singkat diabandingkan repaglinid dan tidak menurunkan glukosa darah
puasaa. Keduanya merupakan obat khusus untuk menurunkan glukosa darah setelah
makan dengan efek hipoglikemi yang minimal. Glinid dapat digunakan pada pasien
usia lanjut dengan pengawasan. Glinid dimetabolism dan dieksresika melalui
kantung empedu, sehingga relatif aman digunkan pada lansia yang menderita
gangguan fungsi ginjal (Decroli, 2019).
2.2.11.2.3 Golongan Biguanid
Salah satu obat golongan biguanid yaitu metformin. Metformin pertama kali
disintesis pada tahun 1922 dan diperkenalkan sebagai obat pada tahun 1957 dan
sampai saat ini metformin dikenal sebagai obat anti diabetik. Metformin merupakan
pilihan pertama pada sebagian besar kasus diabetes melitus. Metformin merupakan
Obat Anti Diabetik (OAD) golongan biguanid yang digunakan untuk menurunkan
kadar gula dalam darah yang meningkat pada penderita diabetes melitus. Metformin
mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), dan
memperbaiki glukosa di jaringan perifer. Obat ini dapat digunakan sebagai obat
tunggal atau dikombinasikan dengan obat penurun gula darah yang lain. Pada
diabetes melitus tipe 2, hormon insulin yang diproduksi oleh pankreas untuk
31

mengatur kadar gula dalam darah tidak dapat digunakan oleh tubuh secara optimal.
Akibatnya, kadar gula dalam darah mengalami peningkatan. Metformin bekerja
dengan cara meningkatkan efektivitas tubuh dalam menggunakan insulin untuk
menekan peningkatan kadar gula darah. Selain itu, Metformin tidak menyebabkan
efek samping hipoglikemia. (Sanchez-Rangel, E., dan Inzucchi, S. E. 2017).
Metformin juga merupakan obat anti diabetik yang paling sering diresepkan
pada pasien diabetes melitus tipe 2. Selain dapat menekan peningkatan kadar gula
dalam darah, metformin juga bekerja mengurangi penyerapan glukosa usus dan
menurunkan kadar insulin plasma puasa ( Wang Yi-Wei et al, 2017 ). Dosis
Metformin diturunkan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (GFR 30- 60
ml/menit/1,73 m2). Metformin tidak boleh diberikan pada beberapa keadaan
seperti: GFR <30 mL/menit/1,73 m2, adanya gangguan hati berat, serta pasien-
pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular,
sepsis, dan gagal jantung. Efek samping yang mungkin berupa gangguan saluran
pencernaan seperti halnya gejala dispepsia (Soelistijo et al., 2019).
2.2.11.2.4 Golongan Tiazolidindion (TZD)
Tiazolidindion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator Activated
Receptor Gamma (PPAR-gamma), suatu reseptor inti yang terdapat antara lain di
sel otot, lemak, dan hati. Tiazolidinedion menurunkan produksii glukosa dihepar
dan menurunkaan kadar asam lemak bebas diplasma. Tiazolidinedion dapat
menurunkan kadar HbA1c (1-1.5 %) serta meningkakan HDL. Tiazolidindion
meningkatkan retensi cairan tubuh sehingga dikontraindikasikan pada pasien
dengan gagal jantung, karena dapat memperberat edema/retensi cairan. Hati-hati
pada gangguan faal hati dan tidak dianjurkan penggunaannya pada usia lanjut. Obat
yang masuk dalam golongan ini adalah Pioglitazone (Soelistijo et al., 2019).
2.2.11.2.5 Golongan Penghambat Alfa Glukosidase
Acarbose hampir tidak diabsorbsi dan bekerja lokal pada saluran
pencernaan. Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa dalam usus
halus, Inhibisi kerja enzim ini secara efektif dapat mengurangi peningkatan kadar
glukosa setelah makan pada pasien diabetes melitus tipe 2. Acarbose relatif aman
digunakan pada lansia karena tidak merangsang sekresi insulin sehingga tidak
menyebabkan hipoglikemia. Efek sampingnya antara lain gejala gastrointestinal
seperti meteorismus, perut kembung dan diare. Akarbosa dikontraindikasikan pada
32

IBS (sindrom iritasi usus besar), obstruksi gastrointestinal, sirosis hati dan
insufisiensi ginjal lanjut, dan laju filtrasi glomerulus ≤30 mL / menit / 1,73 m
(Decroli, 2019).
2.2.11.2.6 Golongan DPP4- inhibitor
Ada dua jenis peptida yang diklasifikasikan sebagai incretin yang
mempengaruhi metabolisme glukosa, yaitu GLP-1 (glucagon-like peptide-1) dan
GIP (glukosa-dependent insulinotropic peptide). Dari keduanya, GLP-1 lebih
penting dalam metabolisme glukosa. Karena merangsang glukosa dalam sel β
sekaligus menghambat sekresi glukagon, GLP-1 berperan dalam meningkatkan
sekresi insulin, terutama pada fase pertama sekresi insulin. Keduanya menyebabkan
penurunan kadar gula darah. Setelah disekresikan di usus kecil (ileum), GLP-1
memasuki aliran darah dan berperan aktif dalam meningkatkan sekresi insulin dan
menghambat sekresi glukagon. Namun GLP-1 tidak akan bertahan lama di dalam
darah (waktu paruh 1-2 menit) karena akan langsung dihancurkan oleh enzim DPP-
4 (dipeptidyl peptidase-4). Salah satu upaya untuk mempertahankan GLP-1 dalam
darah lebih lama adalah dengan menghambat enzim DPP-4 yaitu penggunaan
inhibitor DPP-4 sehingga dapat meningkatkan aktivitas GLP-1.Pada saat ini
golongan DPP-4 inhibitor yang beredar di Indonesia adalah sitagliptin, vildagliptin
dan linagliptin (Decroli, 2019).
2.2.11.2.7 Golongan SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2) Inhibitor
Obat golongan penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2)
merupakan obat antidiabetes oral jenis baru yang menghambat penyerapan kembali
glukosa di tubuli distal ginjal dengan cara menghambat kinerja transporter glukosa
SGLT-2. Obat yang termasuk golongan ini adalah empaglifozin, canaglifozin, dan
dapaglifozin (Decroli, 2019).
2.2.11.2.8 Insulin
Sebagian besar produk insulin diberikan secara subkutan untuk manajeman
kronis diabetes. Penyerapan insulin dari depot subkutan bergantung pada beberapa
faktor, antara lain sumber insulin, konsentrasi insulin, aditif pada sediaan insulin
(misalnya seng dan protamin), aliran darah (gesekan area injeksi, peningkatan suhu
kulit, dan latihan di otot dekat tempat suntikan dapat meningkatkan absorpsi), dan
tempat suntikan. Perut memberikan penyerapan insulin paling konsisten. Insulin
33

dapat menyebabkan reaksi ditempat suntikan kemerahan, nyeri, gatal, urtikaria,


edema, dan peradangan (Dipiro J et al., 2015).
Insulin tersedia dalam beberapa konsentrasi yang mengandung 100 unit/mL
(U-100), 200 unit/mL (U-200), 300 unit/mL (U-300), atau 500 unit/mL (U-500).
Konsentrasi insulin yang paling umum digunakan adalah U-100. Insulin paket yang
mengandung lebih dari 100 unit/mL dapat dipertimbangkan untuk individu yang
membutuhkan dosis insulin yang lebih besar untuk mengontrol diabetes mereka
(Dipiro et al., 2020). Dosis insulin harus disesuaikan dengan kebutuhan individu.
Pada DMT1, kebutuhan harian rata-rata untuk insulin adalah 0,5 – 0,6 unit/kg,
dengan sekitar 50% diberikan sebagai insulin basal, dan 50% sisanya didedikasikan
untuk cakupan makanan. Pada DMT2, dosis yang lebih tinggi diperlukan untuk
pasien dengan resistensi insulin yang signifikan. Dosis sangat bervariasi tergantung
tingkat resistensi insulin dan penggunaan bersamaan obat antihiperglikemik oral
(Dipiro J et al., 2015).

2.3 Tinjauan Insulin


2.3.1 Definisi Insulin
Insulin berasal dari bahasa latn Insula atau ‘pulau’ untuk menggambarkan
insulin yang berasal dari pulau pankreas Langerhans. sel β yang terdapat pada pulau
Langerhans ini menghasilkaan insulin dan hormon peptida yang berfungsii untuk
membantu masuknyaa glukosa ke dalam organ-organ target seperti otot, lemak, dan
hati untuk metabolisme lebih lanjut (Crasto, et al, 2016).
Molekul insulin terdiri dari dua rantai polipeptida yang dihubungkan oleh
dua ikatan disulfida. Rantai A mengandung 21 asam amino, dan rantai B
mengandung 30 asam amino. Setelah insulin dilepaskan, ia menempel pada reseptor
glikoprotein di permukaan sel target. Subunit α pada reseptor glikoprotein berikatan
dengan hormon insulin, dan subunit β (tirosinase spesifik protein kinase) memediasi
efek insulin pada metabolisme dan pertumbuhan (Crasto et al, 2016).
Tabel 2. 2 Karakteristik dan Klasifikasi sediaan insulin (Soelistijo et al., 2019)
Macam insulin Onset Peak effect Durasi Sediaan
insulin
analog
34

1. Insulin analog kerja cepat


(Rapid-acting) Pens/
- Insulin Aspart(Aspart) Cartrdengane
- Insulin Lispro(Humalog) 5-15 menit 1-2 jam 4-6 jam Pens, vial Pens
- Insulin
Gluilisin(Glulisine)

Insulin kerja pendek (Short-


Action) Vial,
Humulin R Actrapid 30-60 2-4 jam 6-8 jam pen/Cartridengane
menit
Insulin kerja menengah
(Intermediate-Action)
Insuman Basal Humulin N 1,5-4 jam 4-10 jam 8-12 jam Vial,
Insulatard pen/
Cartridengane
Insulin analog kerja panjang
(Long-Action)
Insulin Glargin 1-3 jam Hampir tanpa 12-24 Pen
Insulin Detemir puncak jam

2.3.2 Tujuan Pemberian Insulin


Pengobatan insulin pada diabetes tipe 2 diindikasikan dalam pengaturan
ketoasidosis, kejadian medis akut, pembedahan besar, penyakit bersamaan atau
pengobatan steroid kronis, diabetes autoimun laten, gejala hiperglikemia, kegagalan
pengobatan noninsulin karena kontraindikasi atau efek samping , kontrol glikemik
yang buruk dengan modifikasi gaya hidup dan pengobatan noninsulin, dan
kehamilan (Sarbacker dan Urteaga, 2016).
Tujuan pemberian insulin yaitu untuk mengontrol kadar basal dan post
prandial, karena pada penderita diabetes melitus tipe 2 terjadi gangguan sekresi
insulin basal (puasa) dan prandial (setelah makan). Insulin mempunyai peran yang
sangat penting dan luas dalam pengendalian metabolisme. Insulin yang
disekresikan oleh sel-sel β pankreas akan langsung diinfusikan ke dalam hati
melalui vena porta dan kemudian didistribusikan ke seluruh tubuh melalui
peredaran darah (Cahyaningsih dan Amal, 2019).
Target tujuan pemberian terapi pada pasien diabetes melts type 2 menurut
(Silver et al, 2018) adalah sebagai berikut :
 Glukosa plasma puasa (FPG): 4,4–-7,2 mmol / L
 Glukosa plasma postprandial (PPG): <10,0 mmol / L
35

 Glukosa plasma postprandial 2 jam (2-hPPG): <7,8 mmol / L


 HbA1C :
 <6,5% (48 mmol / mol) pada pasien yang baru didiagnosis dengan DMT2;
mereka yang dirawat dengan gaya hidup atau metformin saja; DMT2 dengan
harapan hidup panjang atau tidak ada penyakit kardiovaskular (CV) yang
signifikan.
 <7.0% (<53 mmol / mol) pada sebagian besar pasien DM.
 <8.0% (<64 mmol / mol) pada pasien dengan riwayat hipoglikemia berat;
harapan hidup terbatas; komplikasi mikrovaskuler atau makrovaskular lanjut;
atau diabetes jangka panjang yang tujuannya sulit dicapai meskipun sudah ada
edukasi swamanajemen diabetes, pemantauan glukosa yang tepat, dan dosis
efektif dari beberapa terapi antihiperglikemik termasuk insulin.
 Untuk perawatan paliatif, tujuannya adalah untuk menghindari gejala
simptomatik hiperglikemia (Silver et al., 2018).

Insulin memiliki keuntungan lebih baik jika agen lain tidak efektif dalam
terapi dan harus diberikan terapi lebih lanjut yaitu terapi regimen kombinasi ketika
tingkat hiperglikemia sudah semakin parah, terutama jika gejalanya semakin intens
dan berat seeperti sistem katabolik yang muncul (berat badan turun, ketosis).
Pertimbangan untuk memulai kombinasi injeksi insulin terapi ketika glukosa darah
adalah 300–350 mg / dL (16,7–19,4 mmol / L) dan / atau A1C adalah 10-12% (86-
108 mmol / mol) (“Approaches to Glycemic Treatment,” 2016).

Insulin kerja panjang (glargine dan detemir) dapat dikombinasikan dengan


insulin kerja cepat (aspart, lispro atau glulisine) dalam terapi basal bolus. Glargine
memiliki durasi kerja yang biasanya berlangsung selama 24 jam. Glargine tidak
dapat dicampur dengan insulin kerja cepat sebagai kinetika dari insulin kerja cepat
karena glargine akan termodifikasi. Detemir insulin adalah analog insulin lain yang
dikembangkan dengan menghilangkan treonin dan mengasilasi lisin dengan asam
lemak 14 karbon; rantai samping asam lemak memungkinkan pengikatan albumin
dan menghasilkan perpanjangan kerja. Uji klinis pada pasien dengan diabetes tipe
1 menunjukkan bahwa suntikan dua kali per hari mungkin diperlukan untuk
mencapai cakupan tingkat basal yang dapat diterima dan kontrol glikemik yang
36

optimal. Pada DMT2, di mana sekresi insulin endogen dapat menutupi kekurangan
dalam insulin basal. Namun demikian durasi kerja tergantung pada dosis; pada
dosis yang lebih tinggi berarti durasi tindakan lebih lama. Ketika glargine dan
detemir diberikan dalam dosis tinggi, keduanya menunjukkan puncak profil
farmakokinetik dan farmakodinamik. Dosis rendah dikhawatirkan tidak mampu
untuk mencapai periode waktu 24 jam (Marín-Peñalver et al., 2016).

2.3.3 Sekresi Insulin

Mengatur sekresi insulin untuk menjaga konsentrasi glukosa darah untuk


menjaga kestabilan selama puasa dan makan. Glukosa, asam lemak, asam amno dan
badan keton merangsang secresi insulin. Umumnya, penyakit yang mengaktifkan
sistem saraf simpatis, seperti hipoglikemia, hipoksia, hipotermia, olahraga, luka
bakar parah, atau pembedahan, dapat menghambat sekresi insulin dengan
merangsang reseptor α2-adrenergik. Antagonis reseptor alfa2-adrenergik dapat
meningkatkan konsentrasi insulin plasma basal, sedangkan antagonis beta2-
adrenergik dapat menurunkan konsentrasi ini. Glukosa adalah stimulator utama
sekresi insulin dan dapat menyebabkan efek dari banyak senyawa lain yang
disekresikan. Sekresi insulin yang diinduksi glukosa bersifat bifasik, di mana tahap
pertama mencapai puncaknya dalam 1-2 menit dan memiliki durasi yang singkat,
sedangkan tahap kedua memiliki onset yang tertunda tetapi durasinya lebih lama
(Goodman and Gilman’s, 2018).

2.3.4 Klasifikasi Insulin


Menurut Perkeni (2019) Insulin diklasifikasikan berdasarkan lama kerjanya,
yaitu :
2.3.4.1 Insulin kerja cepat (Rapid-acting insulin)
Insulin jenis ini memiliki keunggulan yaitu memungkinkan pemberian
insulin segera sebelum makan tanpa mengorbankan kontrol glukosa. Masa kerjanya
4-5 jam jarang lebih dari itu. Contoh dari insulin jenis ini yang beredar dipasaran
yaitu, insulin lispro, insulin aspart, insulin glulisin (Johnston BT. Boohan, 2017).
2.3.4.2 Insulin kerja pendek (Short-acting insulin)
Insulin kerja pendek adalah kelompok insulin yang diserap cepat dari
jaringan lemak subkutan ke aliran darah. Digunakan untuk mengontrol kadar
glukosa darah post-prandial dan pada hiperglikemia (Lukito, 2020).
37

Onset kerja Insulin kerja pendek sekitar 30-60 menit, efek puncak dalam 2–
4 jam, dan durasi kerja 4–8 jam. Insulin ini dimetabolisme di hati, limpa, ginjal, dan
otot (Silver et al., 2018).
2.3.4.3 Insulin kerja menengah (Intermediate-acting insulin)
Insulin ini diserap lebih lambat dan bertahan dengan durasi lebih lama.
Digunakan untuk mengontrol kadar glukosa darah basal (semalaman, saat puasa,
dan diantara waktu makan). Golongan ini mencakup:Insulin Manusia NPH (neutral
protamine Hagedorn), memiliki onset kerja 1 hingga 2 jam, efek puncak dalam 4
hingga 6 jam, dan durasi kerja lebih dari 12 jam. Dosis sangat kecil akan memiliki
efek puncak lebih awal dan durasi kerja lebih pendek, sedangkan dosis lebih tinggi
akan memiliki efek lebih lama (Lukito, 2020).
2.3.4.4 Insulin kerja panjang (Long-acting insulin)
Beberpa contoh insulin long-acting adalah ultralente dengan onset lebih
lambat dan puncak kerja lebiih lama. Insulin glargine adalah analog insulin kerja
panjang, waktu kerjanya 1-1,5 jam, dan mencapai efek maksimumnya setelah 4-6
jam. Aktivitas ini bisa berlangsung 11-24 jam. Detemir adalah analog insulin kerja
panjang yang baru-baru ini dikembangkan. Jenis insulin ini menyebabkan lebih
sedikit hipoglikemia dibandingkan insulin NPH. Waktu kerja Detemir insulin yang
tergantung dosis adalah 1-2 jam, dan waktu kerja lebih dari 12 jam (Goodman and
Gilman’s, 2018).
2.3.4.5 Insulin campuran (Premixed insulin)
Insulin NPH rapid acting memerlukan beberapa jam untuik dapatt
mencapai efek terapeutik yang adekuat, penggunaannya pada pasien diabetes
melitusbiasanya memerlukantambahan insulin long acting atau singkat sebelum
makan. Insulin lispro, aspart dan glulisin dapat dicampurkan secara cepat
(sebelum penyuntikan) dengan insulin NPH tanpa memengaruhi
penyerapannya yang cepat. Namun sejauh ini sediaan premixed insulin masih
belum stabil (Johnston BT. Boohan, 2017).
2.3.5 Tinjauan Insulin Long-acting
2.3.5.1 Definisi Insulin Long-acting
Insulin kerja panjang mengemulasi sekresi insulin basal endogen tubuh,
dengan cara yang mirip dengan insulin menengah. Namun, perbedaan utamanya
adalah durasi kerja, karena dapat bertahan hingga 36 jam. Namun, dibutuhkan
38

beberapa hari (dua hingga empat) untuk mencapai tingkat insulin yang konstan
dalam tubuh. Insulin glargine merupakan contoh insulin yang diberikan sehari
sekali, sedangkan insulin detemir diberikan baik satu kali atau dua kali berdasarkan
kebutuhan individu (Jabeen, 2020).
Kelompok insulin ini diserap perlahan, memiliki efek puncak dan efek
plateu konstan yang bertahan hampir sepanjang hari. Digunakan untuk mengontrol
kadar glukosa darah basal (semalaman, puasa, dan di antara waktu makan) (Lukito,
2020).
2.3.5.2 Indikasi Penggunaan Insulin Long-acting
Pertimbangan penggunaan terapi insulin pada pasien diabetes melitus tipe 2
jika baru didiagnosis dengan gejala dan / atau HbA1c≥10% (86 mmol / mol) dan /
atau gula darah ≥300 mg / dL (16,7 mmol / L) atau pasien dengan diabetes tipe 2
yang telah didiagnosis, Jika Target HbA1c tidak tercapai dalam 3 bulan setelah
menggunakan 3 jenis obat antidiabetes oral. Tujuan utama terapi hiperglikemia
adalah untuk mengontrol gula darah basal (puasa, sebelum makan), gula darah
prandial (setelah makan) serta meniru pola sekresi insulin endogen pada individu
normal. Tujuan lainnya adalah menormalkan aktivitas insulin dan kadar glukosa
darah sebagai upaya untuk mengurangi terjadinya komplikasi vaskuler serta
neuropatik (Lukito, 2020) (Aprilia et al., 2018). Insulin yang digunakan untuk
mencapai tujuan gula darah basal adalah insulin basal (insulin kerja sedang atau
panjang). Insulin basal biasanya disuntikkan pada malam hari dan dikombinasikan
dengan metformin atau obat non insulin lainnya (Gamayanti et al., 2018).
2.3.5.3 Keuntungan Insulin Long-acting
Insulin analog seperti insulin long-acting memiliki sekresi yang mirip
dengan sekresi fisiologis (normal) insulin. Insulin long acting juga tidak memiliki
aktivitas puncak, sehingga efeknya lebih dapat diprediksi. Selain itu, dibandingkan
dengan insulin kerja pendek, insulin long acting memiliki risiko hipoglikemik yang
lebih rendah dan dapat segera digunakan tanpa memperhatikan waktu makan
(Anggriani et al., 2020).
Insulin basal disekresikan oleh sel β di pankreas pada kondisi basal (puasa)
untuk mengendalikan glukosa basal, memungkinkan glukosa yang cukup untuk
metabolisme tetapi tidak terlalu banyak sehingga tidak terjadi hipoglikemia. Untuk
melengkapi sekresi insulin basal, sel β melepaskan lonjakan insulin tambahan untuk
39

mengontrol glukosa setelah makan. Pada grafik, sekresi insulin basal endogen
sebagian besar menyerupai garis datar, diselingi dengan lonjakan sekresi insulin
prandial. DM2 berkembang ketika jumlah sekresi insulin prandial (defisiensi awal)
dan basal (kemudian defisiensi) tidak memadai untuk kebutuhan tubuh,
mengakibatkan hiperglikemia. DM2 juga ditandai oleh resistensi insulin, terutama
di hati, tetapi juga di jaringan perifer. Seiring waktu, sel β menjadi semakin tidak
berfungsi, dan akhirnya tidak dapat memproduksi cukup insulin untuk
mempertahankan homeostasis (Hompesch et al., 2019).
2.3.5.4 Mekanisme Insulin Long-acting
Setelah diserap ke dalam sirkulasi, semua insulin memiliki mekanisme kerja
yang sama pada jaringan target (yaitu, semua insulin memiliki aksi yang sama jika
diberikan secara intravena). Insulin mempercepat masuknya glukosa ke sel otot
rangka dan adiposa. Insulin masuk ke reseptor alfa di luar sel ke mudian ke reseptor
Beta di dalam sel. Selanjutnya merangsang fosforilase intrasel yang kompleks,
berakhir dengan pembentukan transporter glukosa (GLUT4). Kemudian GLUT4
ditranslokasi ke dinding sel, glukosa plasma masuk ke sel melalui GLUT4. Dalam
sel, digunakan untuk metabollisme atau disimpan sebagai glikogen atau trigliserida.
Seperti jenis insulin lainnya, aksi utama insulin long-acting adalah mengatur
metabolisme glukosa. Insulin long-acting juga menurunkan konsentrasi glukosa
darah dengan merangsang pengambilan (uptake) glukosa terutama oleh otot dan
lemak serta menghambat produksi glukosa hati. Insuliin menghambat lipolisis
dalam adiposit, menghambat proteolisis, dan meningkatkan sintesis protein
(Herawati, 2018).
2.3.6 Farmakodinamik Insulin Long-acting
1. Insulin Glargine
Aktivitas utama insulin glargine adalh mengatur metabolisme gukosa.
Keterikatan dua molekul arginin ke terminal karboksil rantai-B dan substitusi glisin
untuk asparagine pada posisi A21 menciptakan analog yang dapat larut dalam
larutan asam tetapi mengendap dalam benda yang dengan pH yang lebih netral,
setelah injeksi subkutan sehingga mengendap dalam kulit. Molekul Insulin glargine
larut dalam suasana yang asam (pH pelarut = 4,0) dan mengalami presipitasi sesaat
setelah disuntikkan secara subkutan karena pH tubuh yang netral. Glargine biasanya
diberikan sekali sehari karena lama efek kerja hingga 24 jam tanpa puncak yang
40

nyata. Untuk menjaga kelarutan, formulasi sangat asam (pH 4.0), dan insulin
glargine seharusnya tidak dicampur dengan insulin lainnya (Johnston BT. Boohan,
2017).
2. Insulin Detemir
Detemir insulin mengatur metabolisme glukosa dengan mengikat insulin
responders. Untuk menurunkan gula darah, insulin yang terikat reseptor mendorong
penyerapan glukosa sel ke dalam otot rangka, sedangkan lemak mencegah keluaran
glukosa dari hati. Selain itu, insulin menghambat lipolisis sel lemak, sehingga
menghambat proteolisis dan meningkatkan protein buatan (Ho & Gibaldi, 2013).
2.3.7 Farmakokinetik Insulin Long-acting
1. Insulin Glargine
Farmakokinetik: Insulin glargine ditandaii dengan penyerapaan lambat di
tempat injeksii subkutandan profil insulin plasma dataar. Pola penyerapanny
serupaa stelah injeksi subkutan ke lengan, perut atau paha. Sebuah studi terhadap
pasien dengan diabeteas type 1 menemukan bahwa waktu rata-rata dari injeksi NPH
insulin manusia hingga akhir tindakan farmakologisnya adalah 14,5 jam (kisaran
9,5-19,3 jam), yaitu 24 jam (kisaran 10,8 hingga> 24 jam). ; durasi kerja insulin
glargine insulin adalah 24 jam. Pengaruh gangguan ginjal pda farmakokinetik
insulin lispro belum diteliti. Namun, beberapaa penelitian tentang insulin manusia
menunjukkan bahwa kadar insulin pada pasien gagal ginjal meningkat. Pasien
dengan insufisiensi ginjal mungkin perlu memantau glukosa darah dengan cermat
dan menyesuaikan dosis insulin termasuk insulin lispro (Ho & Gibaldi, 2013).
2. Insulin Detemir
Insulin detemir menunjukkan konsentrasi yang lebih lambat setelah
injeksi subkutan pada subjek sehat dan pasien dengan diagnosis diabetes melitus.
Penyerapannya lebih dari 24 jam lebih lama dari NPH insulin manusia. Kadar
puncak (Cmax) dicapai 6-8 jam setelah pemberian, tergantung dosisnya. Waktu
paruh T1 / 2 atau insulin ini adalah 5-7 jam. Volume distribusi insulin Determir
sangat kecil, sekitar 0,1 L / kg. Dibandingkan dengan orang dewasa, area di bawah
kurva detergensi insulin plasma (AUC) dan Cmaks anak-anak meningkat masing-
masing sebesar 10% dan 24%. AUC Detemir insulin pada lansia sehat (≥68 tahun)
dapat meningkat hingga 35% (Ho dan Gibaldi, 2013).
41

2.3.8 Dosis dan Aturan Pakai Insulin


Pemberian dosis insulin sebenarnya bergantung pada respon glukosa darah
terhadap asupan makanan dan latihan fisik yang dilakukan oleh pasien. Pada
penderita diabetes tipe 1, rata-rata dosis insulin biasanya 0,6-0,7 unit / kg / hari,
dengan kisaran 0,2-1 unit / kg / hari. Pada pasien anak yang didiagnosis diabetes
tipe 1, dosis awal biasanya 0,5-1 unit / kg / hari. Karena adanya resistensi jaringan
di sekitarnya terhadap insulin, penderita diabetes tipe 2 (terutama obesitas) biasanya
membutuhkan sekitar 2 unit /kg/ hari. Pasien dalam keadaan sehat perlu
mengonsumsi insulin dengan dosis lebih rendah 0,5 unit / kg / hari. Umumnya, pada
pasien dewasa dengan berat badan normal, dosis awal 15-20 unit insulin kerjaa
sedang atau panjang dapat diberikan secara subkutan saat sarapan, makann malam
atau sebelum tidur. Pada saat yang sama, penderita yang obesitas dapat diberikan
dosis awal 25-30 unit per hari (Goodman and Gilman’s, 2018).
2.3.9 Efek Samping Insulin
Efek samping utama dari terapi insulin adalah hipoglikemia dan bentuk
reaksi alergi lainnya terhadap insulin (Soelistijo et al., 2019). Untuk menghindari
efek samping hipoglikemia, setiap pasien DMT2 yang menerima terapi insulin
harus diberi edukasi mengenai tanda serta gejala hipoglikemia. Jika pasien
mengalami tanda atau gejala hipoglikemia setelah mendapat suntikan insulin, maka
yang bersangktan harus segera melakukan pengecekan kadar glukosa darah secara
mandiri dan bila kadar glukosa darah <70 mg / dl, pasien harus segeraa minum air
gula dan menurunkan dosis insulin pada pemberian insulin berikutnya. Efek
samping lain dari terapi insulin pda pasin rawat jalan adalah penambahan berat
badan yang signifikan. Pada beberapa pasien, penambahan berat badan menjadi
masalah (Decroli, 2019)

Anda mungkin juga menyukai