TINJAUAN PUSTAKA
6
7
peningkatan glukosa darah dari sel beta pulau Langerhans dan glukagon
sebagai respons terhadap penurunan glukosa darah dari sel alfa (Dolensek, Rupnik
dan Stozer, 2015).
penderita diabetes melitus tipe 1 hanya sebanyak 5-10% dari total seluruh penderita
di dunia (ADA, 2020).
2.2.3.1 Diabetes Melitus Tipe 1/ Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM)
Diabetes tipe 1 terjadi akibat defisiensi absolute sekresi insulin akibat
destruksi autoimun yang dimediasi oleh seluler dari sel β pankreas hal ini
mengakibatkan produksi insulin berkurang dan terhenti (Sarbacker & Urteaga,
2016).
Gejal akhas yang ditunjukkan penderita diabetes melitus tipe 1 adalah
poliuria, polidipsia, polipagia dan kira-kira sepertiganya dengan ketoasidosis
diabetik (DKA). Timbulnya diabetes tipe 1 mungkin lebih bervariasi pada orang
dewasa, dan mungkin tidak muncul dengan gejala klasik yang terlihat pada anak-
anak (ADA, 2018).
2.2.3.2 Diabetes Melitus Tipe 2/Non Insulin Dependent Diabetes Melitus
(NIDDM)
Pada Diabetes Melitus Tipe 2 tubuh mengalami resistensi insulin yang
disebabkan oleh ketidakmampuan sel β mensekresi insulin. Keadaan tersebut
menyebabkan kadar glukosa darah menjadi tinggi. Manifestasi umum yang sering
dialami penderita diabetes melitus tipe 2 adalah poliuria, polidipsia, polifagiaidan
penurunan berat badan. Diabetes melitus tipe 2 dapat disebabkan oleh lifestyle yang
buruk seperti (obesitas, kurangnya aktivitas fisik, dan kalori yang berlebihan di
dalam tubuh atau faktor genetik) (ADA, 2018).
2.2.3.3 Diabetes pada kehamilan/Gestational Diabetes Melitus (GDM)
Diabetes gestational terjadi pada wanita hamil yang didiagnosis mengalami
kenaikan kadar glukosa dalam darah secara signifikan (hiperglikemi) saat
kehamilan. Gestational Diabetes melitus biasanya diketahui saat ibu hamil
memasuki trisemester ketiga. Keadaan ini terjadi karena pembentukan hormon pada
ibu hamil yang menyebabkan resistensi insulin. Diabetes ini dapat menyebabkan
peningkatan resiko komplikasi pada wanita selama kehamilan dan saat melahirkan.
Wanita hamil dengan diabetes gestasional memiliki risiko tinggi mengalami
diabetes melitus tipe 2 pasca melahirkan atau di kemudian hari (ADA, 2018).
2.2.3.4 Diabetes Melitus tipe lain/ Others Specific Types
Diabetes melitus tipe lain atau Others Specific Types ini merupakan diabetes
melitus yang disebabkan karena adanya etiologi lain seperti gangguan
10
Gambar 2. 2 The Egregious Eleven (Schwatrz SS, et al., 2016 dalam Perkeni,
2019)
2.2.6.9 Ginjal
Ginjal adalah organ yang diketahui berperan dalam patogenesis DMT2.
Ginjal menyaring sekitar 163 gram glukosa setiap hari. 90% dari glukosa yang
disaring akan diserap kembali melalui aksi enzim sodium-glukosa cotransporter
(SGLT-2) di dalam tubulus proksimal konvektif, dan 10% sisanya akan diserap oleh
SGLT-1 dalam aksi tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada
glukosa dalam urin. Pada orang dengan DM, ekspresi gen SGLT-2 meningkat, yang
menyebabkan peningkatan reabsorpsi glukosa di tubulus ginjal dan peningkatan
kadar gula darah. Obat-obatan yang menghambat kinerja SGLT-2 akan
menghambat reabsorpsi glukosa di tubulus ginjal, sehingga memungkinkan glukosa
dikeluarkan dari urin. Obat yang berperan dalam jalur ini adalah SGLT-2 inhibitor,
seperti degligliflozin, empagliflozin, dan canagliflozin (Soelistijo et al., 2019).
2.2.6.10 Lambung
Penurunan produksi amilin pada diabetes merupakan akibat dari kerusakan
sel beta pankreas. Penurunan kadar amilin menyebabkan pengosongan
gastrointestinal lebih cepat dan peningkatan penyerapan glukosa, yang terkait
dengan peningkatan kadar glukosa setelah makan (Soelistijo et al., 2019).
2.2.6.11 Sistem imun
Terdapat bukti bahwa sitokin menyebabkan reaksi fase akut (disebut
inflamasi tingkat rendah, yang merupakan bagian dari aktivasi sistem imun
bawaan), yang terkait erat dengan patogenesis DMT2, dan terkait dengan
komplikasi seperti dislipidemia dan aterosklerosis. Inflamasi sistemiik tingkat
rendah berperan dalm induksi stress pada endoplasma akibat peningkatan
kebutuhan metabolisme untuk insulin. DMT2 ditandai dengan resistensii insulin
perifer dan penurunan produksi insulin, disertai dengan inflamasi kronik derajat
rendah pada jaringan perifer seperti adiposa, hepar, dan otot (“Approaches to
Glycemic Treatment,” 2016).
Dalam beberapa dekade terakhir, telah dibuktikan bahwa ada hubungan
antara obesitas dan resistensi insulin terhadap inflamasi. Ini menggambarkan peran
penting inflamasi dalam patogenesis DMT2, yang dianggap sebagai kelainan imun
15
beban glukosa 75 gram glukosa oral atau pemeriksaan glukosa plasma sewaktu
≥200 mg/dL dengan keluhan klasik atau pemeriksaan GbA1c ≥6,5% dengan
menggunakan metode High-Performance Liquid Chromatography (HPLC) yang
terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP)
(Silver et al., 2018)
Diabetes juga dapat didiagnosis dengan mengukur hemoglobin terglikasi
(HbA1c), bahkan jika pasien tidak dalam keadaan puasa HbA1c mencerminkan
konsentrasi glukosa darah rata-rata selama beberapa minggu terakhir, bukan
konsentrasi glukosa darah pada saat itu (tercermin dari puasa dan pengukuran
glukosa darah 2 jam yang disebutkan di atas). Namun, tes ini lebih mahal daripada
pengukuran glukosa darah. Selain itu, diagnosis diabetes melitus dapat dilakukan
dengan melihat manifestasi berupa gejala DM (poliuria, polidipsia, polifagia,
penurunan berat badan tanpa sebab) kadar glukosa plasma sewaktu 200 mg/ dL
(11.1 mmol/L). Atau ditambah dengan keluhan lain yaitu lemah badan, kesemutan,
gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita
(WHO, 2016).
Hasil pemeriksan yang tidak memenuhi kriteria normal digolonggkan ke
dalam kelompok prediabetes yang meliputi toleransi glukosa terganggu (TGT) dan
glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT) : hasil pemeriksaan glukosa plasma
puasa antara 100 – 125 mg/dL dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2 jam < 140
mg/dL
Toleransi Glukosa terganggu (TGT) : hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 jam
setelah TTGO antara 140 – 199 mg/dL dan glukosa plasma puasa < 100 mg/dL
Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan dengan berdasarkan hasil
pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7 – 6,4 %(Soelistijo et al., 2019)
Tabel 2. 1 Kadar Tes Laboratorium Darah untuk Diagnosis Diabetes dan
Prediabetes (Perkeni, 2019)
HbA1c (%) Glukosa darah Glukosa plasma 2 jam
puasa (mg/dL) setelah TTGO (mg/dL)
2.2.10 Komplikasi
Pada penderita diabetes melitus terdapat 2 komplikasi yang dapat
menyerang penderita diabetes melitus, yaitu komplikasi akut dan komplikasi kronik
:
2.2.10.1 Komplikasi Akut
Terdapat 3 komplikasi akut pada penderita diabetes melitus meliputi
hipoglikemia, ketoasidosis diabetik, dan Hiperosmolar Hiperglikemik State.
A. Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah salah satu komplikasi akut pada penderita diabetes
melitus. Kondisi ini terjadi ketika kadar glukosa atau kadar gula darah dalam tubuh
dibawah normal. Hipoglikemia paling sering disebabkn karena peggunaan insulin
dan sulfonilurea. Hipoglikemia terjadi karena menurunnya kadar glukosa darah <
70 mg/dL. Gejala hipoglikemia antara lain jantung berdebar, berkeringat banyak,
gemetar, lapar, pusing, gelisah, kesadaran menurun hingga koma (Soelistijo et al.,
2019).
B. Diabetes Ketoasidosis
Diabetes Ketoasidosis adalah keadaan dekompensasi kekacauan metabolik
yang ditandai dengan hiperglikemia, asidosis, dan ketosis yang merupakan salah
satu komplikasi akut metabolik diabetes melitus. Kondisi ini ditandai dengan
peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia) >300 mg / dL, ketosis (akumulasi
asam β-hidroksibutirat dan asam asetoasetat dalam tubuh), asidosis (pH darah
rendah karena asam berlebihan), osmolalitas plasma meningkat, kelelahan ,
penglihatan kabur, mulut dan kulit kering, mual dan muntah. Ketoasidosis diabetik
disebabkan oleh kekurangan insulin, yang menyebabkan gula darah tidak terkontrol
(Soelistijo et al., 2019).
C. Hiperosmolar Hiperglikemik State
Dalam kasus peningkatan gula darah yang sangat tinggi (yaitu 600-1200 mg /
dL), gula dalam darah akan menarik air dari sel, yang menyebabkan air keluar dari
sel seingga akan dikelurkan melalui urin secara terus menerus dan menyebabkan
19
pembuluh darah otak berupa pembuluh darah otak yang tersumbat atau pecah,
bukan oleh penyakit lain seperti tumor otak, infeksi otak, atau penyakit saraf tepi
(WHO, 2016).
2.2.10.2.2 Mikrovaskular
1) Retinopati Diabetik
Diabetik retinopati adalah komplikasi diabetes melitus yang terjadi pada
mata orang dewasa dengan umur 20-74 tahun. Penyebab dari komplikasi ini ialah
rusaknya pembuluh darah dari jaringan yang sensitif terhadap cahaya di retina.
Retinopatik diabetik dapat berkembang pada penderita diabetes melitus 1 dan
diabetes melitus 2, semakin tinggi kadar gula dalam darah semakin tinggi risiko
terkena komplikasi ini. Selain itu, beberapa faktor yang dapat meningkatkan atau
berhubungan dengan risiko retinopati antara lain hyperglicemia, nefropaty, dan
hypertensi. Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko
atau memperlambat progresi retinopati (Soelistijo et al., 2019).
2) Nefropati Diabetik
Nefropati Penyakit ginjal adalah penyakit atau kerusakan pada ginjal.
Nefropati diabetik adalah kerusakan ginjal akibat DM. Hal ini terjadi karena
glomerulus tidak dapat menyaring protein dan glukosa, sehingga protein dan
glukosa tidak dapat diserap kembali dan dikeluarkan bersama urin. Pasien diabetes
dengan nefropati diabetik berhubungan dengan peningkatan tekanan darah
(hypertensi). Tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol dapat menyebabkan
penurunan laju filtrasi glomerulus, yang dapat menyebabkan kerusakan ginjal.
Kontrol gula darah dan tekanan darah yang baik akan menurunkan risiko penyakit
ginjal atau memperlambat perkembangannya.Untuk penderita nefropati diabetik,
tidak disarankan untuk mengurangi asupan protein di bawah 0,8 g / kgBB / hari,
karena tidak akan meningkatkan risiko penyakit ginjal. penyakit kardiovaskular dan
menurunkan GFR ginjal (Soelistijo et al., 2019).
3) Neuropati Diabetik
Neuropati merupakan komplikasi paling umum dari diabetes yang
menyerang saraf di anggota tubuh, terutama tungkai. Gangguan biasanya terjadi
pada fungsi sensorik secara simetris, yang menyebabkan sensasi abnormal dan mati
rasa secara progresif, yang berkontribusi pada pembentukan ulkus (kaki diabetik)
21
akibat trauma eksternal dan / atau distribusi tekanan abnormal ke tulang internal
(IDF, 2017).
Pada neuropati perifer, hilangnya sensasi distal merupakan faktor penting
dalam tingginya risiko ulkus kaki, yang meningkatkan risiko amputasi. Gejala
umum termasuk rasa terbakar dan gemetar secara spontan pada kaki, dan rasa sakit
yang meningkat di malam hari. Semua pasien diabetes dengan neuropati perifer
harus diberikn edukasi perawatan kaki untuk mengurangi risiko ulkus kaki
(Soelistijo et al., 2019).
2.2.11 Penatalaksanaan Diabetes Melitus Tipe 2
Dalam mengobati pasien diabetes melitus tipe 2 tujuan penatalaksanaan
secara umum yang harus dicapai adalah meningkatkan kualitas hidup pasien.
Tujuan penatalaksanaan meliputi Tujuan penatalaksanaan jangka pendek yaitu
menghilangkan keluhan dan tanda penderita diabetes melitus, mempertahankan
rasa nyaman, mencapai target pengendalian glukosa darah, memperbaiki kualitas
hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut. Tujuan penatalaksanaan jangka
panjang yaitu untuk mencegah dan menghambat progresivitas komplikasi
makrovaskuler dan mikrovaskuler. Tujuan akhir pengelolaan diabetes melitus tipe
2 adalsh menurunkn morbidiitas serta mortalitas diabetes melitus. Untuk mencspai
tujuuan tersebutt perlu dilakukan penatalaksanan diabetes melitus sejak dini dan
melakukan pengendalian glukosa darah, TD, berat badan, dan profil lipid dapat
dikendalikan. Ha ini dapst tercapai melalui pengelolaan pasien dengan mengajarkan
perawatan mandiri dan perubahan pola hidup (Soelistijo et al., 2019).
Penatalaksanaan Diabetes Melitus tipe 2 dibagi menjadi 2, yaitu terapi non
farmakologis dan terapi farmakologi:
2.2.11.1 Terapi Non Farmakologi
2.2.11.1.1 Edukasi
Edukasi untuk penderita diabetes melitus tipe-2 harus memfokuskan pada
perubahan gaya hidup (diet dan aktivitas fisik), di samping edukasi tentang
pemberian obat antidiabetes oral dan insulin. Edukasi sebaiknya dilakukan oleh tim
yang melibatkan ahli gizi dan psikolog, serta, ahli aktivitas fisik. Edukasi sebaiknya
juga diberikan kepada seluruh anggota keluarga agar mereka memahami
pentingnya perubahan gaya hidup untuk keberhasilan manajemen diabetes melitus
tipe 2 (Decroli, 2019). Materi edukasii meliputi materi edukasi tingkat awal yang
22
Jenis Kelamin
Kebutuhan kalori pada wanita lebih sedikit dibandingaan kebutuhan kalori pada
pria. Kebutuhan kalori wanita sebesar 25 kal/kg BBI dan pria sebesar 30 kal/kg
BBI.
Umur
Untuk penderita diatas usia 40 tahun: kebutuhan kalori dikurangi5% (untuk usia
antara 40 dan 59 tahun), dikurangi 10% (untuk usia 60 - 69 tahun), dan dikurangi
20% (untuk usia >70 tahun).
Aktivitas Fisik
Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas fisik.
Penambahan 10% dari kbutuhan kalori basal diberikan pada penderita dalam
keadan istirahat total, penambahan 20% dari kebutuuhan kalori basal diberikan
pada penderita dengan aktivitas fisik ringan, penambahan 30% dari kebutuhan
kalori basal diberikan padaa penderita dengan aktivitas fisik sedang, dan
penambahan 50% dari kebutuhan kalori basal diberikan pada penderita dengan
aktivitas fisik sangat berat.
Berat Badan
Pada penderita obesitas, kebutuhan kalori berkurang sekitar 20-30% dari
kebutuhan kalori basal (tergantung derajat obesitasnya yaitu obesitas I atau obesitas
II). Pada penderita underweight, kebutuhan kalori akan meningkat 20-30% dari
kebutuhan kalori basal (berdasarkan kebutuhan penambahan berat badan).
Berdasarkan hasil perhitungan total kalori yang diperoleh dengan menggunakan
rumus Brocca dan memperhitungkan faktor koreksi, maka total kalori tersebut
dibagi menjadi tiga bagian yaitu sarapan pagi (20%), makan siang (30%) dan makan
malam (25)%. ) dan 2-3 snack (10-15%). Sisanya dibagi menjadi tiga kali makan
utama. Untuk meningkatkan kepatuhan pasien, pola diet disesuaikan dengan
kebiasaan pasien sebelumnya. Bagi penderita diabetes dengan penyakit lain,
sesuaikan nutrisi pengobatan dengan penyakit yang menyertainya (Decroli, 2019).
2.2.11.1.4 Komposisi Makanan
Untuk penderita DMT2, persentasi asupaan karbohidrat yang dianjurkan
sebesar 45-65% dari total kebutuhan kalori. Persentase asupan lemak yang
disarankan adalah sekitar 20-25% dari total kebutuhan kalori. Asupann lemak tidak
24
boleh lebih dari 30% dari total kebutuhan kalori. Persentasee asupan lemak jenuh
yang disarankan kurang dari 7% dari total kebutuhan kalori. Pesentase asupan
lemak tak jenuh ganda yang disarankan adalah kurang dari 10% dari total kebutuhan
kalori. Bahan makanan yang perlu dibatasi adalh makanan yang mengandung
banyak lemak jenuh dan lemak trans, termasuk daging berlemak dan susu murni.
Konsumsi kolesterol yang dianjurkan kurang dari 300 mg / hari. Persentase asupan
protein yang dianjurkan adalah 10-20% dari total kebutuhan kalori. Sumber protein
yang baik adalah makanan laut (ikan, udang, cumi-cumi, dll.), Daging tanpa lemak,
ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu dan kacang-
kacangan. Asupan natrium yang dianjurkan untuk penderita diabetes sama dengan
asupan natrium yang dianjurkan untuk masyarakat umum, tidak melebihi 3000 mg
atau sama dengan 6-7 gram (1 sendok teh) garam meja. Pada pasien hipertensi
dengan DMT2, asupan natrium harus dibatasi, yaitu tidak lebih dari 2,4g garam
meja. Sumbe natrium meliputi garam meja, monosodium glutamat, air soda, dan
pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit. Seperti masyarakat umum,
penderita diabetes dianjurkan untuk mendapatkan serat yang cukup dari kacang-
kacangan, buah dan sayur, serta karbohidrat tinggi serat, karena mengandung
vitamin, mineral, serat dan bahan sehat lainnya. Konsumsi serat yang dianjurkan
adalah sekitar 25 g / 1000 kkal / hari. Pemanis diklasifikasikan menjadi pemanis
bergizi dan pemanis non-nutrisi. Pemanis nutrisi termasuk gula alkohol dan
fruktosa. Gula alkohol termasuk isomalt, laktitol, maltitol, manitol, sorbitol dan
xylitol. Dalam penggunaannya, nutrisi pemanis kalori harus diperhatikan. Fruktosa
tidak disarankan untuk pasien diabetes karena memengaruhi kadar lipid darah.
Pemanis non-nutrisi, seperti aspartam, sakarin, acesulfame potassium, sucralose
dan neotame (Decroli, 2019).
2.2.11.1.5 Diet Mediterania
Diet Mediterania adalah pola makan nabati yang dimulai pada tahun 1960.
Minyak zaitun adalah sumber utama lemak; produk susu, ikan, dan unggas; dan
sedikit daging merah dan anggur merah, terutama saat makan. Diet mediterania
dapat meningkatkan kontrol gula darah dan mengurangi faktor risiko
kardiovaskular, termasuk tekanan darah sistolik, kolesterol total, kolesterol
lipoprotein densitas tinggi, dan trigliserida pada DMT2. Diet mediterania
25
mengurangi HbA1c, kadar glukosa darah puasa dan menunda kebutuhan terapi obat
anti hiperglikemik (Decroli, 2019).
2.2.11.1.6 Aktfitas Fisik
Latihan jasmani merupakan salah satu penatalaksanaan dalam pengelolaan
diabetes melitus tipe 2. latihan jasmani dilakukan secara secara teratur sebanyak 3-
5 kali perminggu selama sekitar 30-45 menit, dengan total 150 menit perminggu.
Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan glukosa darah sebelum latihan jasmani.
Apabila kadar glukosa darah <100 mg/dL pasien harus mengkonsumsi karbohidrat
terlebih dahulu dan bila >250 mg/dL dianjurkan untuk menunda latihan jasmani.
Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat
badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali
glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa jalan cepat, bersepeda
santai, dan jogging. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status
kesegaran jasmani. Intensitas latihan jasmani pada penyandang DM yang relatif
sehat bisa ditingkatkan, sedangkan pada penyandang DM yang disertai komplikasi
intesitas latihan perlu dikurangi dan disesuaikan dengan masing-masing individu
(Soelistijo et al., 2019).
26
Gambar 2. 6 Strategi dan regimen terapi insulin pada penderita DMT2 (Lukito,
2020)
29
Efek penurunan glukosa darah pada sulfonylurea dapat diamati baik pada
tingkat puasa dan postprandial. Monoterapi dengan agen ini umumnya
menghasilkan penurunan 1,5 – 2 % (0,015 – 0,02 atau 17 – 22 mmol/mol Hgb) pada
konsentrasi A1c dan penurunan kadar FBG sebesar 60 hingga 70 mg/dL (3,3 – 3,9
mmol/L). Efek samping yang umum termasuk hipoglikemia dan penambahan berat
badan (Chisholm-Burns, et al., 2016). Dosis yang lebih rendah pada awalnya harus
digunakan pada pasien berisiko tinggi, sebagai tambahan hipoglikemia pada
sulfonylurea dosis rendah dapat menentukan peralihan ke terapi dengan risiko
hipoglikemia rendah (Dipiro et al., 2020).
2.2.11.2.2 Golongan Meglitinida
Meglitinida memiliki mekanisme kerja yang sama dengan sulfonylurea.
Karena meglitinida memiliki waktu kerja yang singkat sehingga digunakan sebagai
obat setelah makan (prandial). Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu
Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Repaglinid
dapat menurunkan glukosa darah puasa walaupun mempunyai waktu paruh.
Sedangkan meglitinida merupakan gol. obat terbaru, mempunyai masa paruh yang
lebih singkat diabandingkan repaglinid dan tidak menurunkan glukosa darah
puasaa. Keduanya merupakan obat khusus untuk menurunkan glukosa darah setelah
makan dengan efek hipoglikemi yang minimal. Glinid dapat digunakan pada pasien
usia lanjut dengan pengawasan. Glinid dimetabolism dan dieksresika melalui
kantung empedu, sehingga relatif aman digunkan pada lansia yang menderita
gangguan fungsi ginjal (Decroli, 2019).
2.2.11.2.3 Golongan Biguanid
Salah satu obat golongan biguanid yaitu metformin. Metformin pertama kali
disintesis pada tahun 1922 dan diperkenalkan sebagai obat pada tahun 1957 dan
sampai saat ini metformin dikenal sebagai obat anti diabetik. Metformin merupakan
pilihan pertama pada sebagian besar kasus diabetes melitus. Metformin merupakan
Obat Anti Diabetik (OAD) golongan biguanid yang digunakan untuk menurunkan
kadar gula dalam darah yang meningkat pada penderita diabetes melitus. Metformin
mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), dan
memperbaiki glukosa di jaringan perifer. Obat ini dapat digunakan sebagai obat
tunggal atau dikombinasikan dengan obat penurun gula darah yang lain. Pada
diabetes melitus tipe 2, hormon insulin yang diproduksi oleh pankreas untuk
31
mengatur kadar gula dalam darah tidak dapat digunakan oleh tubuh secara optimal.
Akibatnya, kadar gula dalam darah mengalami peningkatan. Metformin bekerja
dengan cara meningkatkan efektivitas tubuh dalam menggunakan insulin untuk
menekan peningkatan kadar gula darah. Selain itu, Metformin tidak menyebabkan
efek samping hipoglikemia. (Sanchez-Rangel, E., dan Inzucchi, S. E. 2017).
Metformin juga merupakan obat anti diabetik yang paling sering diresepkan
pada pasien diabetes melitus tipe 2. Selain dapat menekan peningkatan kadar gula
dalam darah, metformin juga bekerja mengurangi penyerapan glukosa usus dan
menurunkan kadar insulin plasma puasa ( Wang Yi-Wei et al, 2017 ). Dosis
Metformin diturunkan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (GFR 30- 60
ml/menit/1,73 m2). Metformin tidak boleh diberikan pada beberapa keadaan
seperti: GFR <30 mL/menit/1,73 m2, adanya gangguan hati berat, serta pasien-
pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular,
sepsis, dan gagal jantung. Efek samping yang mungkin berupa gangguan saluran
pencernaan seperti halnya gejala dispepsia (Soelistijo et al., 2019).
2.2.11.2.4 Golongan Tiazolidindion (TZD)
Tiazolidindion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator Activated
Receptor Gamma (PPAR-gamma), suatu reseptor inti yang terdapat antara lain di
sel otot, lemak, dan hati. Tiazolidinedion menurunkan produksii glukosa dihepar
dan menurunkaan kadar asam lemak bebas diplasma. Tiazolidinedion dapat
menurunkan kadar HbA1c (1-1.5 %) serta meningkakan HDL. Tiazolidindion
meningkatkan retensi cairan tubuh sehingga dikontraindikasikan pada pasien
dengan gagal jantung, karena dapat memperberat edema/retensi cairan. Hati-hati
pada gangguan faal hati dan tidak dianjurkan penggunaannya pada usia lanjut. Obat
yang masuk dalam golongan ini adalah Pioglitazone (Soelistijo et al., 2019).
2.2.11.2.5 Golongan Penghambat Alfa Glukosidase
Acarbose hampir tidak diabsorbsi dan bekerja lokal pada saluran
pencernaan. Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa dalam usus
halus, Inhibisi kerja enzim ini secara efektif dapat mengurangi peningkatan kadar
glukosa setelah makan pada pasien diabetes melitus tipe 2. Acarbose relatif aman
digunakan pada lansia karena tidak merangsang sekresi insulin sehingga tidak
menyebabkan hipoglikemia. Efek sampingnya antara lain gejala gastrointestinal
seperti meteorismus, perut kembung dan diare. Akarbosa dikontraindikasikan pada
32
IBS (sindrom iritasi usus besar), obstruksi gastrointestinal, sirosis hati dan
insufisiensi ginjal lanjut, dan laju filtrasi glomerulus ≤30 mL / menit / 1,73 m
(Decroli, 2019).
2.2.11.2.6 Golongan DPP4- inhibitor
Ada dua jenis peptida yang diklasifikasikan sebagai incretin yang
mempengaruhi metabolisme glukosa, yaitu GLP-1 (glucagon-like peptide-1) dan
GIP (glukosa-dependent insulinotropic peptide). Dari keduanya, GLP-1 lebih
penting dalam metabolisme glukosa. Karena merangsang glukosa dalam sel β
sekaligus menghambat sekresi glukagon, GLP-1 berperan dalam meningkatkan
sekresi insulin, terutama pada fase pertama sekresi insulin. Keduanya menyebabkan
penurunan kadar gula darah. Setelah disekresikan di usus kecil (ileum), GLP-1
memasuki aliran darah dan berperan aktif dalam meningkatkan sekresi insulin dan
menghambat sekresi glukagon. Namun GLP-1 tidak akan bertahan lama di dalam
darah (waktu paruh 1-2 menit) karena akan langsung dihancurkan oleh enzim DPP-
4 (dipeptidyl peptidase-4). Salah satu upaya untuk mempertahankan GLP-1 dalam
darah lebih lama adalah dengan menghambat enzim DPP-4 yaitu penggunaan
inhibitor DPP-4 sehingga dapat meningkatkan aktivitas GLP-1.Pada saat ini
golongan DPP-4 inhibitor yang beredar di Indonesia adalah sitagliptin, vildagliptin
dan linagliptin (Decroli, 2019).
2.2.11.2.7 Golongan SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2) Inhibitor
Obat golongan penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2)
merupakan obat antidiabetes oral jenis baru yang menghambat penyerapan kembali
glukosa di tubuli distal ginjal dengan cara menghambat kinerja transporter glukosa
SGLT-2. Obat yang termasuk golongan ini adalah empaglifozin, canaglifozin, dan
dapaglifozin (Decroli, 2019).
2.2.11.2.8 Insulin
Sebagian besar produk insulin diberikan secara subkutan untuk manajeman
kronis diabetes. Penyerapan insulin dari depot subkutan bergantung pada beberapa
faktor, antara lain sumber insulin, konsentrasi insulin, aditif pada sediaan insulin
(misalnya seng dan protamin), aliran darah (gesekan area injeksi, peningkatan suhu
kulit, dan latihan di otot dekat tempat suntikan dapat meningkatkan absorpsi), dan
tempat suntikan. Perut memberikan penyerapan insulin paling konsisten. Insulin
33
Insulin memiliki keuntungan lebih baik jika agen lain tidak efektif dalam
terapi dan harus diberikan terapi lebih lanjut yaitu terapi regimen kombinasi ketika
tingkat hiperglikemia sudah semakin parah, terutama jika gejalanya semakin intens
dan berat seeperti sistem katabolik yang muncul (berat badan turun, ketosis).
Pertimbangan untuk memulai kombinasi injeksi insulin terapi ketika glukosa darah
adalah 300–350 mg / dL (16,7–19,4 mmol / L) dan / atau A1C adalah 10-12% (86-
108 mmol / mol) (“Approaches to Glycemic Treatment,” 2016).
optimal. Pada DMT2, di mana sekresi insulin endogen dapat menutupi kekurangan
dalam insulin basal. Namun demikian durasi kerja tergantung pada dosis; pada
dosis yang lebih tinggi berarti durasi tindakan lebih lama. Ketika glargine dan
detemir diberikan dalam dosis tinggi, keduanya menunjukkan puncak profil
farmakokinetik dan farmakodinamik. Dosis rendah dikhawatirkan tidak mampu
untuk mencapai periode waktu 24 jam (Marín-Peñalver et al., 2016).
Onset kerja Insulin kerja pendek sekitar 30-60 menit, efek puncak dalam 2–
4 jam, dan durasi kerja 4–8 jam. Insulin ini dimetabolisme di hati, limpa, ginjal, dan
otot (Silver et al., 2018).
2.3.4.3 Insulin kerja menengah (Intermediate-acting insulin)
Insulin ini diserap lebih lambat dan bertahan dengan durasi lebih lama.
Digunakan untuk mengontrol kadar glukosa darah basal (semalaman, saat puasa,
dan diantara waktu makan). Golongan ini mencakup:Insulin Manusia NPH (neutral
protamine Hagedorn), memiliki onset kerja 1 hingga 2 jam, efek puncak dalam 4
hingga 6 jam, dan durasi kerja lebih dari 12 jam. Dosis sangat kecil akan memiliki
efek puncak lebih awal dan durasi kerja lebih pendek, sedangkan dosis lebih tinggi
akan memiliki efek lebih lama (Lukito, 2020).
2.3.4.4 Insulin kerja panjang (Long-acting insulin)
Beberpa contoh insulin long-acting adalah ultralente dengan onset lebih
lambat dan puncak kerja lebiih lama. Insulin glargine adalah analog insulin kerja
panjang, waktu kerjanya 1-1,5 jam, dan mencapai efek maksimumnya setelah 4-6
jam. Aktivitas ini bisa berlangsung 11-24 jam. Detemir adalah analog insulin kerja
panjang yang baru-baru ini dikembangkan. Jenis insulin ini menyebabkan lebih
sedikit hipoglikemia dibandingkan insulin NPH. Waktu kerja Detemir insulin yang
tergantung dosis adalah 1-2 jam, dan waktu kerja lebih dari 12 jam (Goodman and
Gilman’s, 2018).
2.3.4.5 Insulin campuran (Premixed insulin)
Insulin NPH rapid acting memerlukan beberapa jam untuik dapatt
mencapai efek terapeutik yang adekuat, penggunaannya pada pasien diabetes
melitusbiasanya memerlukantambahan insulin long acting atau singkat sebelum
makan. Insulin lispro, aspart dan glulisin dapat dicampurkan secara cepat
(sebelum penyuntikan) dengan insulin NPH tanpa memengaruhi
penyerapannya yang cepat. Namun sejauh ini sediaan premixed insulin masih
belum stabil (Johnston BT. Boohan, 2017).
2.3.5 Tinjauan Insulin Long-acting
2.3.5.1 Definisi Insulin Long-acting
Insulin kerja panjang mengemulasi sekresi insulin basal endogen tubuh,
dengan cara yang mirip dengan insulin menengah. Namun, perbedaan utamanya
adalah durasi kerja, karena dapat bertahan hingga 36 jam. Namun, dibutuhkan
38
beberapa hari (dua hingga empat) untuk mencapai tingkat insulin yang konstan
dalam tubuh. Insulin glargine merupakan contoh insulin yang diberikan sehari
sekali, sedangkan insulin detemir diberikan baik satu kali atau dua kali berdasarkan
kebutuhan individu (Jabeen, 2020).
Kelompok insulin ini diserap perlahan, memiliki efek puncak dan efek
plateu konstan yang bertahan hampir sepanjang hari. Digunakan untuk mengontrol
kadar glukosa darah basal (semalaman, puasa, dan di antara waktu makan) (Lukito,
2020).
2.3.5.2 Indikasi Penggunaan Insulin Long-acting
Pertimbangan penggunaan terapi insulin pada pasien diabetes melitus tipe 2
jika baru didiagnosis dengan gejala dan / atau HbA1c≥10% (86 mmol / mol) dan /
atau gula darah ≥300 mg / dL (16,7 mmol / L) atau pasien dengan diabetes tipe 2
yang telah didiagnosis, Jika Target HbA1c tidak tercapai dalam 3 bulan setelah
menggunakan 3 jenis obat antidiabetes oral. Tujuan utama terapi hiperglikemia
adalah untuk mengontrol gula darah basal (puasa, sebelum makan), gula darah
prandial (setelah makan) serta meniru pola sekresi insulin endogen pada individu
normal. Tujuan lainnya adalah menormalkan aktivitas insulin dan kadar glukosa
darah sebagai upaya untuk mengurangi terjadinya komplikasi vaskuler serta
neuropatik (Lukito, 2020) (Aprilia et al., 2018). Insulin yang digunakan untuk
mencapai tujuan gula darah basal adalah insulin basal (insulin kerja sedang atau
panjang). Insulin basal biasanya disuntikkan pada malam hari dan dikombinasikan
dengan metformin atau obat non insulin lainnya (Gamayanti et al., 2018).
2.3.5.3 Keuntungan Insulin Long-acting
Insulin analog seperti insulin long-acting memiliki sekresi yang mirip
dengan sekresi fisiologis (normal) insulin. Insulin long acting juga tidak memiliki
aktivitas puncak, sehingga efeknya lebih dapat diprediksi. Selain itu, dibandingkan
dengan insulin kerja pendek, insulin long acting memiliki risiko hipoglikemik yang
lebih rendah dan dapat segera digunakan tanpa memperhatikan waktu makan
(Anggriani et al., 2020).
Insulin basal disekresikan oleh sel β di pankreas pada kondisi basal (puasa)
untuk mengendalikan glukosa basal, memungkinkan glukosa yang cukup untuk
metabolisme tetapi tidak terlalu banyak sehingga tidak terjadi hipoglikemia. Untuk
melengkapi sekresi insulin basal, sel β melepaskan lonjakan insulin tambahan untuk
39
mengontrol glukosa setelah makan. Pada grafik, sekresi insulin basal endogen
sebagian besar menyerupai garis datar, diselingi dengan lonjakan sekresi insulin
prandial. DM2 berkembang ketika jumlah sekresi insulin prandial (defisiensi awal)
dan basal (kemudian defisiensi) tidak memadai untuk kebutuhan tubuh,
mengakibatkan hiperglikemia. DM2 juga ditandai oleh resistensi insulin, terutama
di hati, tetapi juga di jaringan perifer. Seiring waktu, sel β menjadi semakin tidak
berfungsi, dan akhirnya tidak dapat memproduksi cukup insulin untuk
mempertahankan homeostasis (Hompesch et al., 2019).
2.3.5.4 Mekanisme Insulin Long-acting
Setelah diserap ke dalam sirkulasi, semua insulin memiliki mekanisme kerja
yang sama pada jaringan target (yaitu, semua insulin memiliki aksi yang sama jika
diberikan secara intravena). Insulin mempercepat masuknya glukosa ke sel otot
rangka dan adiposa. Insulin masuk ke reseptor alfa di luar sel ke mudian ke reseptor
Beta di dalam sel. Selanjutnya merangsang fosforilase intrasel yang kompleks,
berakhir dengan pembentukan transporter glukosa (GLUT4). Kemudian GLUT4
ditranslokasi ke dinding sel, glukosa plasma masuk ke sel melalui GLUT4. Dalam
sel, digunakan untuk metabollisme atau disimpan sebagai glikogen atau trigliserida.
Seperti jenis insulin lainnya, aksi utama insulin long-acting adalah mengatur
metabolisme glukosa. Insulin long-acting juga menurunkan konsentrasi glukosa
darah dengan merangsang pengambilan (uptake) glukosa terutama oleh otot dan
lemak serta menghambat produksi glukosa hati. Insuliin menghambat lipolisis
dalam adiposit, menghambat proteolisis, dan meningkatkan sintesis protein
(Herawati, 2018).
2.3.6 Farmakodinamik Insulin Long-acting
1. Insulin Glargine
Aktivitas utama insulin glargine adalh mengatur metabolisme gukosa.
Keterikatan dua molekul arginin ke terminal karboksil rantai-B dan substitusi glisin
untuk asparagine pada posisi A21 menciptakan analog yang dapat larut dalam
larutan asam tetapi mengendap dalam benda yang dengan pH yang lebih netral,
setelah injeksi subkutan sehingga mengendap dalam kulit. Molekul Insulin glargine
larut dalam suasana yang asam (pH pelarut = 4,0) dan mengalami presipitasi sesaat
setelah disuntikkan secara subkutan karena pH tubuh yang netral. Glargine biasanya
diberikan sekali sehari karena lama efek kerja hingga 24 jam tanpa puncak yang
40
nyata. Untuk menjaga kelarutan, formulasi sangat asam (pH 4.0), dan insulin
glargine seharusnya tidak dicampur dengan insulin lainnya (Johnston BT. Boohan,
2017).
2. Insulin Detemir
Detemir insulin mengatur metabolisme glukosa dengan mengikat insulin
responders. Untuk menurunkan gula darah, insulin yang terikat reseptor mendorong
penyerapan glukosa sel ke dalam otot rangka, sedangkan lemak mencegah keluaran
glukosa dari hati. Selain itu, insulin menghambat lipolisis sel lemak, sehingga
menghambat proteolisis dan meningkatkan protein buatan (Ho & Gibaldi, 2013).
2.3.7 Farmakokinetik Insulin Long-acting
1. Insulin Glargine
Farmakokinetik: Insulin glargine ditandaii dengan penyerapaan lambat di
tempat injeksii subkutandan profil insulin plasma dataar. Pola penyerapanny
serupaa stelah injeksi subkutan ke lengan, perut atau paha. Sebuah studi terhadap
pasien dengan diabeteas type 1 menemukan bahwa waktu rata-rata dari injeksi NPH
insulin manusia hingga akhir tindakan farmakologisnya adalah 14,5 jam (kisaran
9,5-19,3 jam), yaitu 24 jam (kisaran 10,8 hingga> 24 jam). ; durasi kerja insulin
glargine insulin adalah 24 jam. Pengaruh gangguan ginjal pda farmakokinetik
insulin lispro belum diteliti. Namun, beberapaa penelitian tentang insulin manusia
menunjukkan bahwa kadar insulin pada pasien gagal ginjal meningkat. Pasien
dengan insufisiensi ginjal mungkin perlu memantau glukosa darah dengan cermat
dan menyesuaikan dosis insulin termasuk insulin lispro (Ho & Gibaldi, 2013).
2. Insulin Detemir
Insulin detemir menunjukkan konsentrasi yang lebih lambat setelah
injeksi subkutan pada subjek sehat dan pasien dengan diagnosis diabetes melitus.
Penyerapannya lebih dari 24 jam lebih lama dari NPH insulin manusia. Kadar
puncak (Cmax) dicapai 6-8 jam setelah pemberian, tergantung dosisnya. Waktu
paruh T1 / 2 atau insulin ini adalah 5-7 jam. Volume distribusi insulin Determir
sangat kecil, sekitar 0,1 L / kg. Dibandingkan dengan orang dewasa, area di bawah
kurva detergensi insulin plasma (AUC) dan Cmaks anak-anak meningkat masing-
masing sebesar 10% dan 24%. AUC Detemir insulin pada lansia sehat (≥68 tahun)
dapat meningkat hingga 35% (Ho dan Gibaldi, 2013).
41