Anda di halaman 1dari 46

BAB 1

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Diabetes melitus (DM) adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan

karakteristik hiperglikemi yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kelainan kerja

insulin atau keduanya. Gambaran patologik DM sebagian besar dapat dihubungkan

dengan salah satu efek utama akibat kurangnya insulin yaitu penurunan pemakaian

glukosa oleh sel-sel tubuh dan peningkatan metabolisme lemak, serta berkurangnya

protein dalam jaringan tubuh.

Prevalensi diabetes mellitus di dunia meningkat sangat pesat dalam 2 dekade

terakhir. Meskipun prevalensi DM tipe I dan tipe II sama-sama meningkat, namun

DM tipe II kelihatannya akan lebih cepat peningkatannya di masa depan karena

semakin tingginya angka obesitas dan semakin kurangnya aktivitas fisik manusia.

Pada tahun 2000, prevalensi DM diperkirakan 0,19% pada orang umur <20 th dan

8,6% pada orang umur >20 th. Pada lansia >65 th prevalensi DM adalah 20,1%.

Prevalensi pada pria dan wanita sama, kecuali pada usia >60 th lebih tinggi pria

dibanding wanita.

Diabetes melitus yang tidak terkontrol akan menyebabkan terjadinya berbagai

komplikasi kronik, baik mikrovaskuler maupun makrovaskuler. Manifestasi

komplikasi makrovaskuler dapat berupa penyakit jantung koroner, trombosis serebral,

dan gangrene. Penyakit akibat komplikasi mikrovaskular yang dapat terjadi pada

pasien diabetes yaitu retinopati dan nefropati diabetik.

Nefropati Diabetik adalah komplikasi diabetes melitus pada ginjal yang dapat

berakhir sebagai gagal ginjal. Penyakit ginjal (nefropati) merupakan penyebab utama

kematian dan kecacatan pada DM. Sekitar 50% gagal ginjal tahap akhir di Amerika
Serikat disebabkan nefropati diabetik. Hampir 60% penderita hipertensi dan diabetes

di Asia menderita Nefropati diabetik.

Diabetes melitus tipe 2 di Indonesia sekitar 1,4%-1,6% dari seluruh penduduk

dewasa berdasarkan data epidemiologi. World Health Organisation tahun 2025

memperkirakan Indonesia berada di peringkat 5 dunia dengan jumlah penderita DM

tipe 2 menjadi 12,4 juta orang (Suyono, 2009).

Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan suatu keadaan dimana

terjadinya peningkatan tekanan darah yang tidak normal dalam pembuluh darah arteri

dan terjadi secara terus menerus. Hipertensi adalah salah satu penyebab utama

kematian dini diseluruh dunia dan hipertensi membunuh hampir 8 miliar orang setiap

tahun di dunia. Insiden hipertensi meningkat seiring bertambahnya usia, selain itu

faktor risiko hipertensi yaitu riwayat keluarga, jenis kelamin, riwayat merokok, berat

badan yang berlebih, riwayat konsumsi alkohol, riwayat konsumsi minuman

berkafein, dan aktivitas fisik.


1.2 Tujuan Penulisan

a. Memahami teori mengenai DM Tipe 2, Nefropati Diabetik, dan Hipertensi

b. Mengintegrasikan ilmu kedokteran terhadap kasus DM Tipe 2, Nefropati Diabetik,


dan Hipertensi
BAB II

Tinjauan Pustaka

2.1 Pengertian Diabetes Melitus

Diabetes Melitus adalah suatu penyakit metabolik yang ditandai dengan

adanya hiperglikemia yang terjadi karena pankreas tidak mampu mensekresi insulin,

gangguan kerja insulin, ataupun keduanya. Dapat terjadi kerusakan jangka panjang

dan kegagalan pada berbagai organ seperti mata, ginjal, saraf, jantung, serta pembuluh

darah apabila dalam keadaaan hiperglikemia kronis (American Diabetes Association,

2020).

2.2 Klasifikasi Diabetes Melitus

Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2020, klasifikasi DM

yaitu DM tipe 1, DM tipe 2, DM gestasional, dan DM tipe lain. Namun jenis DM

yang paling umum yaitu DM tipe 1 dan DM tipe 2.

1) Diabetes Melitus Tipe I

DM tipe 1 merupakan proses autoimun atau idiopatik dapat menyerang orang

semua golongan umur, namun lebih sering terjadi pada anak-anak. Penderita DM tipe

1 membutuhkan suntikan insulin setiap hari untuk mengontrol glukosa darahnya (IDF,

2019). DM tipe ini sering disebut juga Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM),

yang berhubungan dengan antibody berupa Islet Cell Antibodies (ICA), Insulin

Autoantibodies (IAA), dan Glutamic Acid Decarboxylase Antibodies (GADA). 90%

anak-anak penderita IDDM mempunyai jenis antibodi ini (Bustan, 2007).

2) Diabetes Melitus Tipe II

DM tipe 2 atau yang sering disebut dengan Non Insulin Dependent Diabetes

Mellitus (NIDDM) adalah jenis DM yang paling sering terjadi, mencakup sekitar 85%
pasien DM. Keadaan ini ditandai oleh resistensi insulin disertai defisiensi insulin

relatif. DM tipe ini lebih sering terjadi pada usia diatas 40 tahun, tetapi dapat pula

terjadi pada orang dewasa muda dan anak-anak (Greenstein dan Wood, 2010).

3) Diabetes Melitus Gestational

Diabetes yang didiagnosis pada trimester kedua atau ketiga kehamilan dan

tidak mempunyai riwayat diabetes sebelum kehamilan (ADA, 2020).

4) Diabetes Melitus Tipe Lain

Contoh dari DM tipe lain (ADA, 2020), yaitu :

- Sindrom diabetes monogenik (diabetes neonatal)

- Penyakit pada pankreas

- Diabetes yang diinduksi bahan kimia (penggunaan glukortikoid pada

HIV/AIDS atau setelah transplantasi organ)

2.3 Faktor resiko

Berbagai faktor gaya hidup merupakan salah satu yang meningkatkan risiko

DM tipe 2, seperti sedentary lifestyle (Zimmet et al., 2001), kurangnya aktivitas fisik,

merokok, dan konsumsi alkohol (“Diet, Lifestyle, and the Risk of Type 2 Diabetes

Mellitus in Women,” 2001). Studi epidemiologi telah menunjukkan bahwa obesitas

adalah faktor risiko DM tipe 2 yang paling sering dan menyebabkan resistensi insulin

(Belkina and Denis, 2010). Hampir 90% pasien DM tipe 2 mengalami obesitas

(WHO, 2011). Popularitas makanan cepat saji diantara orang dewasa dan anak-anak

meningkatkan kejadian obesitas (Permana and Harbiyan, 2015). Kebiasaan makan

makanan rendah serat dengan indeks glukosa yang tinggi juga terkait faktor risiko

DM tipe 2 (Simin Liu, MD, ScD, JoAnn E. Manson, MD, DrPH, Meir J. Stampfer,
MD, DrPH, et al., 2000). Asupan lemak menyebabkan juga menyebabkan resistensi

insulin (Hu et al.,2001).


2.4 Manifestasi Klinik

Beberapa gejala DM tipe 2 yaitu sering berkemih (poliuria), meningkatnya

rasa haus (polidipsia), banyak makan (polifagia), kehilangan berat badan secara

drastis, pandangan kabur, dan merasa kelelahan (fatigue). Selain itu, ditandai dengan

sering buang air kecil pada malam hari (nokturia) dan lesu (lethargy) (Dipiro dkk.,

2015).

2.5 Diagnosis

Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus adalah sebagai berikut (ADA, 2020) :

1) Kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dL. Puasa adalah kondisi tidak ada

asupan kalori minimal 8 jam.

2) Glukosa plasma 2 jam setelah makan ≥ 200 mg/dL. Tes Toleransi Glukosa

Oral (TTGO) adalah pemeriksaan glukosa setelah mendapat pemasukan glukosa yang

setara dengan 75 gram glukosa anhidrat yang dilarutkan dalam air.

3) Nilai A1C ≥ 6,5% . Dilakukan pada sarana laboratorium yang telah

terstandardisasi dengan baik.

4) Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl dengan keluhan klasik

(poliuria, polidipsi, dan polifagia).

2.6 Patofisiologi

Gangguan-gangguan patofisiologi DM dikaitkan dengan ketidakmampuan

tubuh untuk merombak glukosa menjadi energi karena tidak ada atau kurangnya

produksi insulin di dalam tubuh. Insulin adalah suatu hormon pencernaan yang

dihasilkan oleh kelenjar pankreas dan berfungsi untuk memasukkan gula ke dalam sel
tubuh untuk digunakan sebagai sumber energi. Pada penderita DM, insulin yang

dihasilkan tidak mencukupi sehingga gula menumpuk dalam darah (Agoes dkk,

2013).

Patofisiologi pada DM tipe 1 terdiri atas autoimun dan non-imun. Pada

autoimun-mediated DM, faktor lingkungan dan genetik diperkirakan menjadi faktor

pemicu kerusakan sel beta pankreas. Tipe ini disebut tipe 1A. Sedangkan tipe non-

imun, lebih umun daripada autoimun. Tipe non-imun terjadi sebagai akibat sekunder

dari penyakit lain seperti pankreatitis atau gangguan idiopatik (Brashers dkk, 2010).

DM tipe 2 adalah hasil dari gabungan resistensi insulin dan sekresi insulin

yang tidak adekuat, hal tersebut menyebabkan predominan resistensi insulin sampai

dengan predominan kerusakan sel beta. Kerusakan sel beta yang ada bukan suatu

autoimun mediated. Pada DM tipe 2 tidak ditemukan pertanda autoantibodi. Pada

resistensi insulin, konsentrasi insulin yang beredar mungkin tinggi tetapi pada

keadaan gangguan fungsi sel beta yang berat kondisinya dapat rendah. Pada dasarnya

resistensi insulin dapat terjadi akibat perubahan-perubahan yang mencegah insulin

untuk mencapai reseptor (praresptor), perubahan dalam pengikatan insulin atau

transduksi sinyal oleh resptor, atau perubahan dalam salah satu tahap kerja insulin

pascareseptor. Semua kelainan yang menyebabkan gangguan transport glukosa dan

resistensi insulin akan menyebabkan hiperglikemia sehingga menimbulkan

manifestasi DM (Rustama dkk, 2010).

2.7 Komplikasi

Komplikasi akan mempengaruhi dan mengganggu berbagai organ yang sering

terjadi pada pasien DM karena tingginya kadar glukosa dalam darah. Komplikasi DM

tipe 2 ada yang bersifat akut dan kronis. Diabetes ketoasidosis, hiperosmolar non
ketotik, dan hipoglikemia merupakan komplikasi akut, sedangkan komplikasi kronis

yang bersifat menahun, yaitu (Audehm et al., 2014 dan Perkeni, 2015):

1) Makroangiopati merupakan komplikasi pada pembuluh darah besar seperti

otak, jantung, dan arteri perifer.

2) Mikroangiopati merupakan komplikasi pada pembuluh darah kecil.

Terdapat 2 bentuk komplikasi mikroangiopati, yaitu:

a) Retinopati, adalah gangguan penglihatan hingga kebutaan pada retina mata.

Gangguan lainnya seperti kebutaan, makulopati (meningkatnya cairan di bagian

tengah retina), katarak, dan kesalahan bias (adanya perubahan ketajaman lensa mata

yang dipengaruhi oleh konsentrasi glukosa dalam darah) (Perkeni, 2015).

b) Nefropati diabetik, adalah komplikasi yang ditandai dengan kerusakan

ginjal sehingga racun didalam tubuh tidak bisa dikeluarkan dan menyebabkan

proteinuria (terdapat protein pada urin) (Ndraha, 2014).

3) Neuropati ditandai dengan hilangnya sensasi distal dan berisiko tinggi

mengalami amputasi, nyeri pada malam hari, bergetar dan kaki terasa terbakar

(Perkeni, 2015). Penyempitan pembuluh darah pada jantung merupakan ciri dari

penyakit pembuluh darah perifer yang diikuti dengan neuropati (Ndraha, 2014).
2.8 Penatalaksanaan

Terapi non farmakologis

Dari awal, pada pengelolaan pasien DMT2 harus direncanakan terapi non

farmakologis dan pertimbangan terapi farmakologis. Hal yang paling penting pada

terapi non farmakologis adalah monitor sendiri kadar glukosa darah dan pendidikan

berkelanjutan tentang penatalaksanaan diabetes pada pasien. Latihan jasmani secara

teratur (3-4 kali seminggu selama 30 menit/ kali), merupakan salah satu pilar dalam

pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar,

menggunakan tangga, dan berkebun harus tetap dilakukan. Latihan jasmani selain

untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki

sensitivitas insulin sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan

jasmani yang dianjurkan adalah berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti

jalan kaki, bersepeda santai, joging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya

disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif

sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan. Sementara bagi mereka yang sudah

mengalami komplikasi DM, intensitas latihan jasmani dapat dikurangi. Terapi nutrisi

medis dilaksanakan dalam beberapa tahap. Pengenalan sumber dan jenis karbohidrat,

pencegahan dan penatalaksanaan hipoglikemia harus dilakukan terhadap pasien.

Terapi nutrisi medis ini bersifat bersifat individu. Secara umum, terapi nutrisi medis

meliputi upaya-upaya untuk mendorong pola hidup sehat, membantu kontrol gula

darah, dan membantu pengaturan berat badan.


Obat Hipoglikemik Oral (OHO)

Pengelolaan DMT2 dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani

selama beberapa waktu. Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran,

dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau

suntikan insulin. Pemilihan obat untuk pasien DMT2 memerlukan pertimbangan yang

banyak agar sesuai dengan kebutuhan pasien. Pertimbangan itu meliputi, lamanya

menderita diabetes, adanya komorbid dan jenis komorbidnya, riwayat pengobatan

sebelumnya, riwayat hipoglikemia sebelumnya, dan kadar HbA Dengan 1c.

pertimbangan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung

kombinasi, sesuai indikasi. Pada keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya

ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, adanya ketonuria,

insulin dapat segera diberikan. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan

gejala hipoglikemia dan cara mengatasinya harus dijelaskan kepada pasien.


Penggunaan Insulin pada Pasien Rawat Jalan

Terapi insulin diupayakan mampu meniru pola sekresi insulin yang fisiologis.

Defisiensi insulin dapat berupa defisiensi insulin basal, insulin prandial (setelah

makan), atau keduanya. Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya

hiperglikemia pada keadaan puasa, sedangkan defisiensi insulin prandial

menyebabkan timbulnya hiperglikemia setelah makan.

Tatalaksana komplikasi DMT2 pada Ginjal

Pada pasien DMT2 dengan mikroalbuminuria dapat ditambahkan obat

golongan ACE-I untuk menurunkan tekanan intraglomerulus sehingga

mikroalbuminuria membaik. Pada DMT2 dengan proterinuria persisten biasanya


sudah disertai dengan hipertensi sistemik, maka seyogyanya ditambahkan modalitas

terapi anti hipertensi golongan ACE-I ataupun Angiotensin Receptor Blocker (ARB).

Pada penderita DMT2 dengan laju filtrasi glomerulus < 30 mL/menit/1.73, harus

dihindari pemakaian OHO golongan biguanid dan α-glukosidase inhibitor. Pada

kondisi demikian dianjurkan untuk menggunakan insulin sebagai modalitas utama

terapi. Bila tidak memungkinkan untuk memberikan insulin, dapat diberikan OHO

golongan sulfonil urea (gliquidone) kerja singkat dan linagliptin yang tidak

memerlukan penyesuaian dosis.


3.1 Definisi Hipertensi

Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah kondisi medis kronis dimana

tekanan darah di arteri meningkat, yang mengharuskan jantung bekerja lebih keras

dari biasanya untuk mengalirkan darah melalui pembuluh darah (Ibekwe, 2015).

Hipertensi merupakan suatu keadaan tekanan darah dalam arteri mengalami

peningkatan yang tidak normal secara terus menerus.

Hipertensi dapat mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh

darah terhambat sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkan, sehingga memberi

gejala berlanjut pada suatu target organ tubuh yang menimbulkan kerusakan lebih

berat pada target organ bahkan kematian (Kayce Bell, June Twiggs, 2018).

3.2 Etiologi

Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang beragam.

Bagi sebagian besar pasien dengan tekanan darah tinggi, penyebabnya tidak diketahui.

Ini diklasifikasikan sebagai hipertensi primer atau esensial. Sebagian kecil pasien

memiliki penyebab spesifik tekanan darah tinggi, yang diklasifikasikan sebagai

hipertensi sekunder. Lebih dari 90% pasien dengan tekanan darah tinggi memiliki

hipertensi primer.

Hipertensi primer tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat dikontrol dengan

terapi yang tepat (termasuk modifikasi gaya hidup dan obat-obatan). Faktor genetik

dapat memainkan peran penting dalam pengembangan hipertensi primer. Dimana

bentuk tekanan darah tinggi ini cenderung berkembang secara bertahap selama

bertahun-tahun (Kayce Bell, June Twiggs, 2018).


Kurang dari 10% pasien dengan tekanan darah tinggi memiliki hipertensi

sekunder. Hipertensi sekunder disebabkan oleh kondisi medis atau pengobatan yang

mendasarinya. Mengontrol kondisi medis yang mendasarinya atau menghilangkan

obat-obatan penyebab akan mengakibatkan penurunan tekanan darah sehingga

menyelesaikan hipertensi sekunder. Bentuk tekanan darah tinggi ini cenderung

muncul tiba-tiba dan sering menyebabkan tekanan darah lebih tinggi daripada

hipertensi primer (Kayce Bell, June Twiggs, 2018).

3.3. Fisiologi Tekanan Darah

Tekanan darah arteri rata-rata adalah gaya utama untuk mendorong darah ke

jaringan. Tekanan tersebut harus diatur secara ketat dengan tujuan:

a. Dihasilkan dorongan yang cukup sehingga otak dan jaringan lain

menerima asupan darah yang adekuat,

b. Terjadi tekanan yang terlalu tinggi yang dapat memperberat kerja

jantung dan meningkatkan risiko kerusakan pembuluh darah.

Pengaturan tekanan darah melibatkan integrasi berbagai sistem sirkulasi dan

sistem tubuh lain (Gambar 2.1). Perubahan setiap faktor tersebut akan mengubah

tekanan darah kecuali perubahan kempensatorik pada variabel lain sehingga tekanan

darah konstan (Sheerwood, 2001).

Berdasarkan bagan berikut diketahui bahwa tekanan darah sangat tergantung

pada curah jantung (cardiac output) dan resistensi perifer. Menurut Wilson and Price

(2006), besar tekanan darah juga dapat dihitung dengan rumus:

Tekanan darah = Curahjantung x resistensi perifer total

Dan curah jantung adalah hasil isi sekuncup dikali denyut jantung

sehingga memberikan rumus:


Curah jantung = Isi sekuncup x denyut jantung

Gambar 2.1. Mekanisme pengaturan tekanan darah.

Isi sekuncup ditentukan oleh 1) Kontraktilitas dari jantung, 2) Aliran balik

vena (preload), dan 3) resistensi ditahan oleh ventrikel kiri untuk mengeluarkan darah

ke aorta (afterload). Sekurang-kurangnya, empat sistem bertanggungjawab untuk

meregulasi tekanan darah yaitu 1) jantung, yang mensuplai tekanan untuk memompa

darah 2) pembuluh darah, yang menentukan resistensi sistemik 3) ginjal, yang

mengatur volume intravaskuler dan 4) hormon, yang mengatur tiga sistem yang telah

disebutkan (Lilly, 2011).

Satu mekanisme umpan balik yang sangat berperan dalam pengaturan tekanan

darah adalah refleks baroreseptor. Refleks ini dimediasi oleh reseptor yang terletak

pada dinding arcus aorta dan sinus caroticus.


Baroreseptor ini mendeteksi sebarang perubahan pada tekanan darah melalui

sensasi regangan dan deformasi dari arteri. Sekiranya terjadi kenaikan tekanan darah,

baroreseptor terstimulasi sehingga meningkatkan transmisi dari impul ke sistem saraf

pusat. Sinyal umpan balik negatif kemudin dikirim kembali ke sistem sirkulasi

sehingga tekanan darah kembali ke normal (Lilly, 2011).

3.4 Faktor Resiko

Faktor Resiko yang dapat di ubah:

1) Etnis

Menurut data dari Third National Health and Nutrition Examination Survey

(NHANES III, 1988-1991) dalam Sheps (2005) menunjukkan bahwa jumlah penderita

hipertensi berkulit hitam 40% akan lebih tinggi dibandingkan dengan yang berkulit

putih. Hal ini belum diketahui secara pasti penyebabnya, namun dalam orang berkulit

hitam ditemukan kadar rennin yang lebih rendah dan sensitifitas terhadap vasopresin

lebih besar (Rustiana, 2014).

2) Riwayat Keluarga

Faktor genetik pada keluarga tertentu akan menyebabkankeluarga itu

mempunyai risiko menderita hipertensi. Hal ini berhubungan dengan peningkatan

kadar sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara potasium terhadap sodium.

Berbagai penelitian dan study kasus menguatkan bahwa faktor keturunan merupakan

salah satu penyebab terjadinya hipertensi, dimana jika dalam keluarga ada yang

menderita hipertensi 25-60% akan terjadi pada anaknya (Lili and Tantan, 2007).
3) Usia

Pasien yang berumur di atas 60 tahun mempunyai tekanan darah di atas 140/90

mmHg akan menyebabkan perubahan alami pada jantung, pembuluh darah dan

hormone. Berdasarkan jurnal epidemiologi hubungan karakteristik dan obesitas

sentral dengan kejadian hipertensi bahwa kelompok hipertensi sebanyak (87,00%)

berusia > 59 tahun., sementara usia ≤ 59 tahun hanya (58,00%) yang hipertensi

(Amanda and Martini, 2018).

4) Jenis kelamin.

Hasil pengamatan Third National Health and Nutrition Examination Survey

(NHANES) III memperlihatkan bahwa distribusi hipertensi lebih tinggi pada populasi

laki-laki dibandingkan populasi perempuan pada kelompok sebelum menopause. Pada

masa setalah menopause atau mendekati usia 60 tahun maka distribusi hipertensi

kedua kelompok hampir sama.

Hasil penelitian yang di lakukan oleh Hesti Rahayu (2012) menunjukkan bahwa

kejadian hipertensi lebih tinggi terjadi pad perempuan sebesar 68,3% dibandingkan

laki-laki sebesar 31,7% (Rustiana, 2014).

b. Faktor risiko yang dapat diubah

1) Merokok.

Kandungan dalam rokok terdapat nikotin yang dapat menyebabkan

meningkatnya denyut jantung dan menyebabkan vasokonstriksi perifer yang akan

meningkatkan tekanan darah arteri pada jangka waktu yang pendek, selama dan

setelah merokok.
Dengan menghentikan rokok, maka kemungkinan terjadinya hipertensi,

serangan jantung, stroke, dan penyakit lainnya akan menurun (Rustiana, 2014).

2) Berat Badan Berlebih

Berat badan merupakan faktor determinan pada tekanan darah pada

kebanyakan kelompok etnik disemua umur. Penurunan berat badan dianjurkan untuk

mengurangi tekanan darah pada orang dewasa yang kelebihan berat badan atau

obesitas.

Direkomendasikan diet sehat jantung dan peningkatan aktivitas fisik melalui

program olahraga terstruktur (American Heart Association, 2018).

3) Konsumsi Natrium

World Health Organization (WHO) merekomendasikan pola konsumsi garam

yang dapat mengurangi risiko terjadinya hipertens yaitu tidak lebih dari 100 mmol

(sekitar 2,4 gram sodium atau 6 gram garam) perhari. Konsumsi natrium yang

berlebih menyebabkan konsentrasi natrium di dalam cairan ekstraseluler meningkat

sehingga volume darah meningkat, dan berdampa kepada timbulnya hipertensi

(Nuraini, 2015). Asupan natrium harus dikurangi, dan kalium harus ditambah kecuali

dikontraindikasikan (American Heart Association, 2018).

4) Konsumsi Alkohol dan Kafein

Konsumsi secara berlebihan alkohol dan kafein yang terdapat dalam minuman

kopi, teh dan cola akan meningkatkan risiko terjadinya hipertensi pada seseorang.

Alkohol bersifat meningkatkan aktivitas saraf simpatis karena dapat merangsang


sekresi corticotropin releasing hormone (CRH) yang berujung pada peningkatan

tekanan darah. Sementara kafein dapat menstimulasi jantung untuk bekerja lebih cepat

sehingga mengalirkan lebih banyak cairan pada setiap detiknya (Irza, 2009). Kafein

juga merangsang kelenjar adrenal melepas lebih banyak kartisol dan adrenalin yang

memicu tekanan darah meningkat (Rustiana, 2014).

5) Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik teratur didefinisikan sebagai olahraga sedang yang berlangsung

tidak kurang dari 30 menit,≥ 3 kali per minggu (Chu-Hong Lu, Song-Tao Tang, Yi-

Xiong Lei, Mian-Qiu Zhang, Wei-Quan Lin, Sen-Hua Ding, 2015). Orang-orang yang

tidak aktif cenderung mempunyai detak jantung lebih cepat dan otot jantung mereka

harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi, semakin keras dan sering jantung

harus memompa semakin besar pula kekuatan yang mendesak arteri (Nuraini, 2015).

Aktivitas fisik yang mengangkat beban sebaiknya dihindari karena dapat

meningkatkan tekanan darah secara mendadak sebagai respon vagal (Rustiana, 2014).

Contoh aktivitas fisik (olahraga) yang dapat dilakukan untuk menurunkan

tekanan darah tinggi adalah jalan pagi,jalan kaki, sebam, bersepeda dan berenang.

Kegiatan aktiviats ini disarankan agar dilakukan ≥30 menit per hari dan ≥3hari per

minggu (Kemenkes RI, 2015).

3.5 Patofisiologi

Mengenai patofisiologi hipertensi masih banyak terdapat ketidakpastian.

Beberapa mekanisme fisiologis terlibat dalam mempertahankan tekanan darah yang

normal, dan gangguan pada mekanisme ini dapat menyebabkan terjadinya hipertensi

esensial. Faktor yang telah banyak diteliti ialah : asupan garam, obesitas, resistensi
terhadap insulin, sistem renin-angiotensin dan sistem saraf simpatis (Lumbantobing,

2008).

Ada dua unsur utama yang menyebabkan kenaikan hipertensi yaitu cardiac

output dan tahanan perifer total. Apabila peningkatan tekanan disebabkan oleh jalur

yang pada akhirnya menyebabkan peningkatan cardiac output, maka hipertensi ini

menyebabkan tekanan sistolik akan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan diastolik.

Apabila peningkatan tekanan itu disebabkan oleh kenaikan tahan perifer total maka

hipertensi yang terjadi menyebabkan peningkatan tekana sistolik dan diastolik yang

bersamaan, atau lebih sering tekanan diastolik meningkat lebih tinggi dibandingkan

dengan tekanan sistolik. Kejadian hipertensi resisten dimana tekanan diastolik

peningkatannya lebih besar disbanding dengan tekanan sistolik dapat terjadi jika

peningkatan tahanan perifer total sudah memperlambat fungsi ejeksi daripada cardiac

output (Kadir, 2015).

3.6 Klasifikasi

Klasifikasi hipertensi dapat di bedakan berdasarkan penyebabnya dan

berdasarkan derajat tekanan darah.

a. Berdasarkan Penyebabnya

1) Hipertensi primer, Hipertensi primer atau esensial adalah jenis yangpaling

umu m dari Hipertensi. Hipertensi yang penyebabnya tidak diketahui (idiopatik),

hipertensi primer tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat dikontrol dengan terapi yang

tepat (termasuk modifikasi gaya hidup dan obat-obatan). Faktor genetik dapat

memainkan peran penting dalam pengembangan hipertensi primer (Kayce Bell, June

Twiggs, 2018).
2) Hipertensi sekunder, Hipertensi yang diketahui penyebabnya. Kurang dari

10% pasien dengan tekanan darah tinggi memiliki hipertensi sekunder. Hipertensi

sekunder disebabkan oleh kondisi medis atau pengobatan yang mendasarinya,

misalnya penyakit ginjal, tiroid, obat pil KB, dekongestan dan lainnya (Kayce Bell,

June Twiggs, 2018)

b. Berdasarkan Derajat Tekanan Darah

Tekanan darah bervariasi pada populasi dan cenderung untuk meningkat sesuai

bertambahnya usia. Risiko terjadinya komplikasi vaskuler meningkat dengn progresif

dan berbanding lurus dengan kenaikan tekanan darah sehingga menentukan tahapan

dari hipertensi masih diperdebatkan.


3.7 Gejala Klinis

Individu yang menderita hipertensi kadang tidak menunjukkan gejala sampai

bertahun – tahun. Oleh karena itulah hipertensi dikenal sebagai silent killer. Pada

pemeriksaan fisik, tidak dijumpai kelainan apapun selain tekanan darah yang tinggi,

tetapi dapat pula ditemukan perubahan pada retina, seperti perdarahan, eksudat,

penyempitan pembuluh darah, dan atau edema pupil.

Gejala – gejala hipertensi bervariasi pada masing – masing individu dan

hampir sama dengan gejala penyakit lainnya. Adapun gejala klinis yang dialami oleh

penderita hipertensi biasanya berupa, sakit kepala/pusing, jantung berdebar – debar,

mudah marah, sulit bernafas setelah bekerja keras atau mengangkat beban berat,

mudah lelah, penglihatan kabur/mata berkunang kunang, hidung berdarah (mimisan),

rasa berat ditengkuk, dan dunia terasa berputar (Ketaren, 2009).


Gejala lain akibat komplikasi hipertensi seperti gangguan penglihatan,

gangguan neurologi, gejala payah jantung, dan gejala lain akibat gangguan fungsi

ginjal sering dijumpai. Payah jantung dan gangguan penglihatan sering dijumpai pada

hipertensi berat atau hipertensi maligna yang umumnya disertai dengan gangguan

pada ginjal. Gangguan serebral akibat hipertensi dapat berupa kejang atau gejala –

gejala akibat perdarahan pembuluh darah otak yang berupa kelumpuhan, gangguan

kesadaran bahkan sampai koma. Apabila gejala tersebut timbul, tekanan darah perlu

segera diturunkan (E J, Kapojos, 2001).

3.8 Diagnosis

Hipertensi yang dikenal sebagai silent killer karena pasien dengan hipertensi

esensial biasanya tidak ada gejala (asimtomatik). Pengukuran rata – rata dua kali atau

lebih dalam waktu dua kali control ditentukan untuk mendiagnosis dan

mengklasifikasi sesuai dengan tingkatan hipertensi (Ketaren, 2009).

Peningkatan tekanan darah sering merupakan satu – satunya tanda kelainan

hipertensi esensial, sehingga diperlukan pengukuran tekanan darah secara akurat (E J,

Kapojos, 2001). Tekanan darah biasanya diukur dengan sphygmomanometer air raksa

dengan satuan mmHg pada posisi duduk atau terlentang. Adanya variasi yang besar

tekanan darah, diagnosis hipertensi harus berdasarkan beberapa kali pengukuran tensi

darah yang diukur pada beberapa kesempatan (waktu) yang terpisah (Ketaren, 2009).
3.9 Penatalaksanaan

a. Terapi Nonfarmakologi

Menerapkan gaya hidup sehat bagi setiap orang untuk mencegah tekanan

darah tinggi merupakan bagian penting dalam penatalaksanaan hipertensi. Modifikasi

gaya hidup yang dapat menurunkan tekanan darah adalah (Irza, 2009) :

1) Mengurangi berat badan untuk individu yang obesitas atau gemuk.

2) Mengadopsi pola makan DASH (Dietary Approach to Stop Hypertension)

yang kaya akan kalium dan kalsium; diet rendah natrium.

3) Mengkonsumsi alkohol seperlunya saja.

4) Olahraga aerobik secara teratur minimal 30 menit/hari seperti jogging,

berenang, jalan kaki, dan menggunakan sepeda. Keuntungan ini dapat terjadi

walaupun tanpa disertai penurunan berat badan. Pasien harus konsultasi dengan dokter

untuk mengetahui jenis olahraga mana yang terbaik terutama untuk pasien dengan

kerusakan organ target.

5) Menghentikan rokok.

6) Mempelajari cara mengendalikan diri/stress.

b. Terapi Farmakologis

Tabel 2.5 berikut merupakan guideline JNC 8 yang mencantumkan 9

rekomendasi penanganan hipertensi (Hernandez-, 2015) :


Pedoman JnC-8 merekomendasikan bahwa terapi farmakologis awal populasi

nonblack umum (termasuk yang dengan diabetes) harus mencakup diuretik tipe

thiazide, penghambat saluran kalsium, penghambat enzim pengonversi angiotensin,

atau penghambat reseptor angiotensin. Sebaliknya, terapi awal populasi kulit hitam

umum (termasuk mereka yang menderita diabetes) harus mencakup diuretik

tiazidetipe atau penghambat saluran kalsium. Rekomendasi populasi kulit hitam

berbeda dari populasi nonblack berdasarkan bukti bahwa pasien kulit hitam memiliki

pengurangan tekanan darah yang lebih kecil ketika diberi terapi obat ACEi atau ARB

(Kayce Bell, June Twiggs, 2018).


3.10 Komplikasi

Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh baik secara langsung

maupun tidak langsung. Tekanan darah yang meningkat adalah faktor risiko utama

untuk penyakit jantung kronis, stroke, dan penyakit jantung koroner. Peningkatan TD

berkorelasi positif dengan risiko stroke dan penyakit jantung koroner. Selain penyakit

jantung koroner dan stroke, komplikasinya meliputi gagal jantung, penyakit pembuluh
darah perifer, gangguan ginjal, pendarahan retina, dan gangguan penglihatan (Shikha

Singh, Ravi Shankar, 2017).

Tabel 2.7 berikut menunjukkan manifestasi target penyakit organ akibat

hipertensi (Soldavini, 2019):


BAB III
STATUS ORANG SAKIT

Nama : Ny. Halipah

Umur : 48 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Kerang, Batu Brak

No. RM : 094951

ANAMNESA

Keluhan Utama : Lemas badan

Telaah : Pasien datang dengan keluhan lemas badan. Hal ini di alami

1 hari SMRS, mual (+) ,muntah (+) sudah 2 kali dalam sehari ini, os juga

mengeluhkan sesak, merasa cepat lelah jika aktifitas ringan atau berjalan kaki. Os

terbiasa tidur dengan di ganjal 1 bantal. Batuk (-) pilek (-) nafsu makan baik, BAB

dalam batas normal , BAK dalam batas normal.

Riwayat Penyakit Terdahulu : HT (+) terbiasa minum obat captopril 1x25mg,

Furosemide 1x40mg, Bisoprolol 1x5mg, Spironolacton 1x12,5mg, DM (+) tidak

minum obat teratur, CHF (+), Asthma (-). Riwayat rawat inap 3 malam, pulang 2

minggu yang lalu dari RSAU dengan keluhan yang sama.

Riwayat Penyakit Keluarga : tidak ada

Riwayat Alergi : tidak ada


PEMERIKSAAN FISIK

Status Present

Sensorium : Compos Mentis

Tekanan Darah : 222/104 mmHg

Suhu : 36.6 C̊

HR : 107 x/i

RR : 24 x/i

Saturasi Oksigen :96% dengan O2 3 Lpm

BB : 45kg

TB : 155kg

Status Lokalisata

Mata : Refleks cahaya (+/+), pupil isokor, konjunctiva palpebral inferior

anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), edema palpebral (-/-)

Leher : Bengkak (-), pembesaran KGB (-)

Toraks : Simetris, BJ I,II Reguler, mur mur (-) gallop (-) Vesicular +/+ ronkhi

(-/-), wheezing (-/-)

Abdomen : Soepel, peristaltik (+), Hepatomegali (-) splenomegali (-) Murphy sign

(+) Blumberg (-) rousing (-) obturator (-) psoas (-) defans muscular (-) Nyeri tekan

epigastrium (+)

Ekstremitas : akral hangat, sianosis (-), edema +/+


 RENCANA

 Cek Darah Lengkap, GDS, Urinalisis,

 Rontgen thorax

 Ekg
DIAGNOSA BANDING

 Hiperglikemi et causa DM Tipe II

 Hipertensi Stage II

 CHF
DIAGNOSA KERJA

 Hiperglikemi e.c DM Tipe II + Hipertensi Stage II + CHF

TERAPI

 O2 2 lpm nasal kanul

 IVFD RL 10 gtt mikro

 Inj. Omeprazole / 24 jam IV

 Inj. Ondansentron / 8 jam IV

 Inj. Furosemide / 12 jam IV

 Spironolacton 1x12,5mg PO

 Captopril 1x25mg PO

Advice dr. Nurcahyo, Sp.Pd

 Inj. Levemir 1x 8 unit

 Inj. Novorapid 3x4 unit

 Spironolacton 1x25mg PO

 Captopril 3x25mg PO

 As. Folat 2x1 PO

 Terapi Lain Lanjut

 Besok Cek GDP, GDPP


Follow-up Tanggal : 27/12/2021

TANGGA S O A P
L
27/12/2021 Lemas (+) KU: Lemas DD - R/

,Sesak (-), TD : 130/80 -DM Tipe II - IVFD rl 10 Tpm

Mual (-), mmhg T : 36,4 C -Nefropati - Diet DM


1500kkal
muntah (-), HR : 80x/i Diabetik
- Inj. Levemir 1x 8
oedem RR : 20x/i -HT unit

kedua SpO2: 98% - Inj. Novorapid


3x4 unit
ekstremitas GDP: 153
- Spironolacton
(+), urine GDPP: 142
1x25mg PO
kuning

pekat (+) Kepala - Inj. Furosemide


3x1 amp
Mata : reflex cahaya
- Ramipril 5mg 0-
(+/+), pupil isokor, 0-1

konjunctivapalpebral - Asam Folat 2x1

inferior pucat (-/-), sclera - Omeprazole 2x1

ikterik -/- - Inbumin 2x1

Leher : - Cek Ureum,


creatinin, albumin
Pembesaran KGB (-)

Thorax

Simetris,BJI,II Regule mur

mur (-) gallop (-)

Vesicular +/+ ronkhi (-/-),

wheezing (-/-)

Abdomen
Soepel, peristaltic (+)

NTE (-)

Ekstremitas

Oedem (-) akral hangat

+/+

Follow-up Tanggal : 28/12/2021


TANGGAL S O A P

28/12/2021 Lemas (+), KU: Lemah DD - R/

nyeri ulu TD :164/73 -DM Tipe II - IVFD rl 10 Tpm

hati (+), T : 36,3 C̊ -Nefropati - Diet DM


1500kkal
oedem HR : 88x/i Diabetik
- Inj. Levemir 1x 8
ekstremitas RR : 20x/i -HT unit

inferior SpO2: 99% - Inj. Novorapid


3x4 unit
(+), urine Albumin: 1,9
- Spironolacton
kuning (3.5-6.5)
1x25mg PO
pekat (+) Ur: 40 gr/dL(10-

50) , Cr: 0.9 - Inj. Furosemide


3x1 amp
gr/dL (0.5-0.9)
- Captopril 3x25 mg
GDP: 164,
- Asam Folat 2x1
GDPP: 188
- Omeprazole 2x1

- Inbumin 2x1
Kepala

Mata : reflex cahaya (+/+),

pupil isokor,

konjunctivapalpebral

inferior pucat (-/-), sclera

ikterik -/-

Leher :

Pembesaran KGB (-)


Thorax

Simetris,BJI,II Regule mur

mur (-) gallop (-)

Vesicular +/+ ronkhi (-/-),

wheezing (-/-)

Abdomen

Soepel, peristaltic (+)

NTE (+)

Ekstremitas

Oedem (+/+) akral hangat

+/+

Follow-up Tanggal : 29/12/2021

TANGGAL S O A P

29/12/2021 Lemas (-), Kes: CM DD - R/


- Rawat Jalan
oedem TD :130/80 -DM Tipe II
- Inbumin 2x1
ekstremitas T : 36,3 C̊ -Nefropati
- Asam folat 2x1
inferior (-), HR : 84x/i Diabetik
- Cefadroxil 2x1
urine pekat RR : 24x/i -HT
- Spironolacton
(-) SpO2: 98% 1x25mg

- Furosemide 1x1

Kepala: - Captopril 3x25mg


Mata : reflex cahaya
- Inj. Levemir 1x 8
(+/+), pupil isokor, unit SC
konjunctivapalpebral
- Inj. Novorapid
inferior pucat (-/-), sclera 3x4 unit SC

ikterik +/+

Leher :

Pembesaran KGB (-)

Thorax

Simetris,BJI,II Regule

mur mur (-) gallop (-)

Vesicular +/+ ronkhi (-/-),

wheezing (-/-)

Abdomen

Soepel, peristaltic (+)

Murphy sign (+) NTE (-)

Ekstremitas

Oedem (-) akral hangat

+/+
BAB V DISKUSI KASUS

Seorang wanita, 48 tahun, dengan keluhan lemas badan, sesak, mual, muntah,

riwayat diabetes dan hipertensi. Pada pemeriksaan fisis didapatkan tekanan darah

222/104 mmHg, nadi 107 x/menit, reguler, pernafasan 24 x/menit, suhu 36,7°C,

abdomen didapatkan nyeri tekan epigastrium dan edema pada ekstremitas bawah.

Hasil pemeriksaan laboratorium pada saat masuk rumah sakit didapatkan

hiperglikemia, hipoalbuminemia, uremia, peningkatan kadar kreatinin, hiponatremia,

proteinuria.

Penderita didiagnosis sementara dengan Hiperglikemi e.c DM Tipe II +

Hipertensi stage II + susp. CHF.

Selama perawatan di RS, hasil laboratorium didapatkan :

Hipoalbuminemia pada penderita terjadi karena meningkatnya ekskresi

protein lewat urin akibat kerusakan glomerulus pada nefropati diabetik.

Peningkatan kadar glukosa pada penderita disebabkan karena penyakit DM

yang tidak terkontrol. Pada anamnesis disebutkan penderita tidak minum obat

teratur, dan kadar glukosa tetap tinggi. Kontrol gula darah penting untuk penderita

ND karena dapat memperlambat kecepatan perlanjutan ke arah gagal ginjal.


BAB VI

KESIMPULAN

Pasien laki laki berumur 54 tahun, atas nama AHMAD KHOTWA masuk

rumah sakit dengan keluhan utama nyeri perut kanan atas didiagnosa dengan

obstruksi jaundice

+kolelitiasis
dan ditatalaksana :

- IVFD rl 20 Tpm

- Inj ceftriaxone

- Inj ketorolac 2x1

- Inj OMZ 1x1

- Inj metronidazole 3x1

- Curcuma tab 3x1

- Pct tab 3x1

- Urosolid 3X1

- Cetrizin 2x1

Daftar Pustaka

Guyton, A.C.dan Hall, J.E.2008. Buku Ajar Fisiologi. Edisi 11.Jakarta.egc

Ginting S.2011.Description characteristic risk factor of the kolelitiasisin Columbia

asian medan hospital

Joseph.Abel.2021.Jaundice.jurnal NCBI
Kumar V, Cotran RZ, Gastroenterologi Robbin SL, Buku Ajar Pathologi Robbin

Edisi 7.Vol 2.Jakarta 2007.504-508

Price A Sylvia,2006. Patofisiologi. Konsep Klinis Proses Proses Penyakit. Edisi 6.

Jakarta EGC

Schwrts S,Shires G, Spencer F.Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah.edisi

6.penerbit buku kedokteran.EGC.2000

Tuuk.Andreyne L.Z 2016.Jurnal Profil Kasus Batu Empedu di RSUP

prof.Dr.R.D.Kandou Manado,Vol4,Nomor

Widiastuti Wisda.2019.Bagian Ilmu Penyakit Dalam.Universitas Baiturrahman

Padang.vol2.No4

Anda mungkin juga menyukai