Anda di halaman 1dari 37

SATUAN ACARA PENGAJARAN (SAP)

1. IDENTITAS
Mata kuliah : Block Obstetric
Semester : Ganjil
Beban Studi : 2 SKS
Pertemuan : I (1x50’)
Pokok bahasan : Medical forensics : Pembunuhan Anak Sendiri
Sub pokok bahasan : 1. Definisi infanticide
2. Undang-undang pembunuhan anak
3. Pemeriksaan kedokteran forensik
4. Pemeriksaan penunjang

Standar kompetensi : Melakukan pemeriksaan Ilmu Kedokteran Forensik dan


Medikolegal, secara benar, sistematis, dan lengkap (4)

Kompetensi dasar : Mahasiswa mampu untuk melakukan:


Evaluasi Surat Permintaan Visum et Repertum dari
penyidik dan Pemeriksaan Korban

Indikator keberhasilan : Mahasiswa mampu melakukan simulasi langkah-langkah


survey skunder pada kasus-kasus pembunuhan anak
sendiri, mampu melakukan pemeriksaan terhadap korban,
mampu menentukan adanya bekas-bekas kehamilan, mampu
menentukan adanya bekas-bekas persalinan, mampu
menentukan adanya hubungan genetic antara tersangka dengan
korban.
2. PETA KONSEP
TIU TIK 8

TIK 6 TIK 7

TIK 5 TIK 3 TIK 4

TIK 2

TIK 1

3. URAIAN MATERI
Pada pertemuan ini akan dijelaskan kepada mahasiswa tentang langkah-langkah survey
skunder pada kasus-kasus hanging, strangulation, drowning secara benar, sistematis,
dan lengkap.
4. STRATEGI PEMBELAJARAN MIKRO
N Tahap Learning Rovolution
o Pembelaj Interaksi Belajar Metode Media Evalu Alok Atribut
aran Mengajar pembelaj pembelaj asi asi Soft Skill/ Sum
aran aran Belaj Wak Karakter ber
ar tu Belaj
Dosen Mahasisw ar
a
1. Pendahulu Memberi Menjawab Ceramah Media Tidak 5’ - Mampu 1,2,3
an salam, salam, tatap persentase ada berkom
memipin Berdo’a muka (Power unikasi
do’a bersama Point), efektif
pembuka Laptop, - Memilik
majelis dan LCD i
memperken Proyektor, landasan
alkan diri pengeras ilmiah
Memberika Mendengar suara kedokter
n apresiasi kan an yang
kepada baik
mahasiswa - Mampu
yang telah melakuk
hadir tepat an
waktu untuk pengelol
mengikuti aan
perkuliahan masalah
Menyampai Mendengar Ilmu
kan kan Kedokte
penjelasan ran
tentang TIU Forensik
dan TIK dan
mata kuliah Medikol
Menjelaska Mendengar egal,
n deskripsi kan - Mawas
singkat diri dan
mata kuliah pengem
Menjelaska Mendengar bangan
n relevansi kan diri
mata kuliah
saat ini
dengan
mata kuliah
pertemuan I
Melakukan Merespon
flashback pertanyaan
singkat
terhadap
apa yang
telah
dibahas
pada
pertemuan I
2. Penyajian Menjelaska Mendengar Ceramah Media Soal 40’ - Mampu
n tentang kan, tatap persentase ujian berkom
: menjawab muka, (Power modul unikasi
pertanyaan diskusi Point), dan efektif
Pembuatan
, bertanya contoh Laptop, ujian pada
Visum kasus, LCD blok anggota
et role play Proyektor, pada tim dan
Repertu pengeras akhir keluarga
m suara blok pasien
- Mampu
melakuk
an
langkah-
langkah
survey
primer
pada
kasus
Ilmu
Kedokte
ran
Forensik
dan
Medikol
egal,
dengan
benar
- Memilik
i
landasan
ilmiah
kedokter
an yang
baik
- Memilik
i
kebiasaa
n untuk
berani
bertanya
dan
berdisku
si secara
ilmiah
- Mampu
melakuk
an
pengelol
aan
masalah
trauma
- Mawas
diri dan
pengem
bangan
diri
3. Penutup - Membu Mendengar Ceramah Media Soal 5’ - Mampu
at kan, tatap persentase ujian berkom
kesimp memberi muka, (Power modul unikasi
ulan tanggapan, diskusi Point), dan efektif
dari bertanya, Laptop, ujian - Memilik
materi berdo’a LCD blok i
yang bersama Proyektor, pada landasan
disamp pengeras akhir ilmiah
aikan. suara blok kedokter
- Membu an yang
ka sesi baik
diskusi - Memilik
tambah i
an kebiasaa
- Memint n untuk
a berani
tanggap bertanya
an dari dan
1 atau 2 berdisku
orang si secara
mahasis ilmiah
wa - Mawas
- Menjel diri dan
askan pengem
kelanjut bangan
an diri
materi
ini pada
praktik
keteram
pilan
klinik
dasar
(KKD)
- Memim
pin
do’a
penutup
majelis
1. Materi / Bahan Perkuliahan
1. Muin A.Idris,Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik, Edisi pertama,Binarupa
Aksara,1997,Hal 216-241
2. Idris AM, Tjiptomartono Agung Legowo. Penerapan Imu Kedokteran Forensik
Dalam Proses Penyidikan. Edisi revisi. Jakarta. 2008. Hal : 113- 132.
3. Muda.Ahmad A.K, kamus lengkap bahasa Indonesia, penerbit reality publisher,
cetakan pertama tahun 2006, Hal 141,511,539.
4. Hamdani Njowito. Ilmu Kedokteran kehakiman. Edisi kedua. Jakarta.1972. Hal : 174-
186.
5. KUHPer, KUHP, KUHAP. Jakarta. 2008
6. Budianto A. Widiatmika W. Sudiono S. Winardi T. Ilmu Kedokteran Forensik. FK-
UI. Jakarta. 1997. Hal : 147- 158.
7. Chada. Alih bahasa Hutauruk Johan. Ilmu Forensik Dan Toksikologi. Edisi V. 1995.
Hal : 150- 157.
8. Taber ben- zion. Kapita Selekta kedaruratan Obstetri dan Ginekologi. EGc. Jakarta.
Hal : 394- 400.
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Banyak negara yang menganut bahwa pembunuhan anak sendiri (Infanticide)
bukanlah tindakan kriminal, tetapi merupakan tindakan akibat tuntutan sosial ekonomi. Di
Inggris dan Wales sejak tahun 1922, infantisida tidak dimasukkan ke dalam undang-undang
kriminalitas. Di Indonesia, infantisida juga memiliki kekhususan dalam penanganan hukum,
dimana pembunuhan ini tidak dikategorikan ke dalam aturan pembunuhan yang bersifat
umum (pasal 338 dan 340 KUHP). Pembunuhan bayi oleh ibu kandungnya ini didasarkan
atas motif takut ketahuan melahirkan anak, baik itu dilakukan tanpa rencana sebelumnya
(Kinderdoodslag) ataupun direncanakan (Kindermood). Motif ini dikaitkan dengan kultur
dalam masyarakat Indonesia yang masih tabu dan merupakan aib yang besar jika melahirkan
tanpa suami.8
Saat ini ada kecenderungan kejadian infantisida yang meningkat yang dipicu oleh
berbagai faktor. Perilaku seks bebas yang berkembang dikalangan masyarakat Indonesia yang
menghasilkan anak yang tidak sah mendorong ibu untuk membunuh bayinya demi menjaga
kehormatan dan harga dirinya. Keterpurukan ekonomi negara yang menyebabkan angka
penduduk miskin meningkat tajam turut menjadi pemicu kejadian ini.8
Oleh karena itu kita sebagai praktisi kesehatan yang akan terjun ke masyarakat sangat
mungkin sekali dimintai tolong oleh aparat penegak hukum untuk melakukan pemeriksaan
yang berkaitan dengan infantisida.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI2
Berdasarkan hukum di Indonesia, infantisida adalah pembunuhan yang dilakukan oleh
seorang ibu terhadap anak kandungnya, pada saat anak itu dilahirkan atau tidak lama
kemudian, karena takut akan ketahuan bahwa ia melahirkan anak.
Menurut definisi WHO, bayi dinyatakan lahir hidup bila pada saat seluruh tubuhnya
dilahirkan, ia bernafas atau menunjukkan salah satu tanda kehidupan lain, seperti denyut atau
detak jantung, denyut nadi ahli pusat atau gerakan involunter (otot rangka).

B. UNDANG-UNDANG PEMBUNUHAN ANAK SENDIRI2,6

Dasar Hukum
Berikut ini adalah beberapa pasal dalam KUHP (Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana) yang dapat digunakan dalam kasus infantisida untuk menjerat pelaku,
yaitu:
KUHP pasal 181
Barang siapa mengubur, menyembunyikan, mengangkat, atau menghilangkan
mayat, dengan maksud hendak menyembunyikan kematian dan kelahiran orang itu,
dihukum penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya
empat ratus ribu lima ratus rupiah.
KUHP pasal 341
Seorang ibu yang karena takut akan ketahuan akan melahirkan anak, pada saat
anak dilahirkan atau tidak lama kemudian, dengan sengaja merampas nyawa anaknya,
diancam karena membunuh anak sendiri dengan pidana penjara paling lama tujuh
tahun.
KUHP pasal 342
Seorang ibu yang untuk melaksanakan niat yang ditentukan karena takut akan
ketahuan bahwa ia akan melahirkan, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama
kemudian merampas nyawa anaknya, diancam karena melakukan pembunuhan anak
sendiri dengan rencana, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
KUHP pasal 343
Bagi orang lain yang turut serta dalam kejahatan yang diterangkan dalam pasal
341 dan 342 dianggap sebagai pembunuhan atau pembunuhan yang direncanakan.
Berdasarkan pasal-pasal tersebut di atas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) diperoleh batasan infantisida adalah sebagai berikut:
1. Ibu: hanya ibu kandung yang dapat dihukum karena melakukan pembunuhan anak
sendiri, tidak dipersoalkan apakah ia kawin atau tidak. Sedangkan bagi orang lain
yang melakukan atau turut membunuh anak tersebut dihukum karena pembunuhan
atau pembunuhan berencana dengan hukuman yang lebih berat yaitu penjara 15
tahun ( pasal 338: tanpa rencana) atau 20 tahun, seumur hidup atau hukuman mati
(pasal 339 dan pasal 340)
2. Waktu: dalam undang-undang tidak disebutkan batasan waktu yang tepat, tetapi
hanya dinyatakan “pada saat dilahirkan atau tidak lama kemudian. Sehingga boleh
dianggap pada saat belum timbul rasa kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya.
Bila rasa kasih sayang sudah timbul maka ibu tersebut akan merawat dan bukan
membunuh anaknya.
3. Psikis: ibu membunuh anaknya karena terdorong oleh rasa ketakutan akan
diketahui oleh orang telah melahirkan anak itu, biasanya anak yang dibunuh
tersebut didapat dari hubungan yang tidak sah.

Bila menemukan mayat bayi di tempat yang tidak semestinya, misalnya tempat
sampah, got, sungai dan sebagainya, maka bayi tersebut kemungkinannya adalah :
1. Korban pembunuhan anak sendiri (pasal 341, pasal 342)
2. Pembunuhan (pasal 338, pasal 339, pasal 340, pasal 343)
3. Lahir mati kemudian dibuang (pasal 181)
4. Bayi yang ditelantarkan sampai mati (pasal 308)

KUHP pasal 338 ayat 2


Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena
pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

KUHP pasal 340 ayat 2


Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa
orang lain, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu
tertentu, paling lama dua puluh tahun.
Di Jerman Barat pengertian pembunuhan anak ini hanya berlaku bagi anak yang
dilahirkan dari hubungan yang tidak sah, sedangkan negara-negara Eropa Barat lain dan
Amerika tidak mempersoalkan apakah hasil dari hubungan sah atau tidak. Inggris dengan
Infanticide Act (1938) memperpanjang masa berlaku delik khusus ini ke masa laktasi (12
bulan). Hal ini berakibat ditemukannya beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan terhadap
bayi korban infantisida di Indonesia yang hanya pernah hidup “sebentar”.
C . PEMERIKSAAN KEDOKTERAN FORENSIK
Pemeriksaan kedokteran forensik dalam kasus infantisida dilakukan terhadap
korban dan pelaku atau wanita tersangka.
1. Pemeriksaan Terhadap Tersangka
Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 179 ayat 1
yang berbunyi “Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman
atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan ahli demi keadilan”, 6 dokter wajib melakukan
pemeriksaan sesuai yang diperintahkan oleh penyidik. Pemeriksaan terhadap tersangka bila
yang bersangkutan menyangkal pernah melahirkan. Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk
menentukan apakah wanita tersebut baru melahirkan. Tanda-tanda yang dicari dalam
pemeriksaan forensik terhadap tersangka pelaku, antara lain:4
a) Adanya bekas-bekas kehamilan, yaitu:
 Striae Gravidarum
 Dinding perut kendor
 Rahim akan mengalami involusi (mengecil kembali) setelah kelahiran bayi
dapat diraba diatas simfisis. Dengan perabaan melalui dinding perut dapat
ditentukan tinggi letak dasar rahim (fundus)
 Setelah bayi lahir : setinggi pusat
 Akhir hari ke-1 : 2 jari di bawah pusat
 Hari ke-2 : 2-3 jari di bawah pusat
 Hari ke-5 : pertengahan jarak pusat kemaluan
 Hari ke-7 : 2-3 jari di atas tulang kemaluan
 Hari ke-12 : tidak teraba lagi di atas tulang kemaluan
 Payudara besar dan kencang, hiperpigmentasi areola mammae, tonjolan
kelenjar Montgomery jelas dan pada pemijitan akan keluar kolostrum
berwarna kuning dan agak keruh atau mengeluarkan air susu.
b) Adanya bekas-bekas persalinan, yaitu:
 Robekan perineum
 Keluarnya cairan lochea (lendir dan darah). Pada hari pertama dan kedua
setelah kelahiran bayi, ditemukan getah nifas berupa cairan berwarna
merah (lochea rubra) yang terdiri dari darah, sisa-sisa ketuban, sel-sel
desidua, verniks, lanugo dan mekonium pada lubang kemaluan (vulva).
Pada hari ke-3 terdapat getah bening bercampur lendir (lochea
sanguinolenta). Setelah hari ke-7, getah cairan berwarna kuning dan tanpa
darah (lochea serosa), dan setelah 2 minggu, getah cairan berwarna putih
(lochea alba).
c) Adanya hubungan genetik antara tersangka dan korban
 Pemeriksaan golongan darah
Penentuan golongan darah wanita tersangka dapat (tetapi tidak selalu)
membantu dalam penentuan apakah wanita itu mungkin ibu dari bayi
bersangkutan. Hal ini dimungkinkan karena sistem golongan darah
diturunkan dari kedua orang tua kepada anak melalui hukum Mendel.
Pemeriksaan golongan darah meliputi pemeriksaan sistem ABO, MNS,
dan sistem rhesus.4
Bila didapatkan sel darah merah dalam keadaan utuh, maka penentuan
golongan darah dapat dilakukan secara langsung seperti pada penentuan
golongan darah orang hidup, yaitu dengan meneteskan 1 tetes antiserum
ke atas satu tetes darah dan dilihat terjadinya aglutinasi.2
Bila sel darah merah sudah rusak, maka penentuan golongan darah dapat
dilakukan dengan cara menentukan jenis agglutinin dan antigen. Antigen
mempunyai sifat yang jauh lebih stabil dibandingkan dengan agglutinin.
Diantara sistem-sistem golongan darah, yang paling bertahan adalah
antigen dari sistem golongan darah ABO.2
Cara yang biasa dilakukan adalah cara absorpsi elupsi dengan prosedur
sebagai berikut: 2-3 helai benang yang mengandung bercak kering
difiksasi dengan metal alkohol selama 15 menit. Benang diangkat dan
dibiarkan mengering. Selanjutnya dilakukan penguraian benang tersebut
menjadi serat-serat halus dengan menggunakan dua buah jarum.2
Lakukan juga terhadap benang yang tidak mengandung bercak darah
sebagai kontrol negatif. Serat benang dimasukkan ke dalam 2 tabung
reaksi. Ke dalam tabung pertama diteteskan serum anti-A dan ke dalam
tabung kedua serum anti-B hingga serabut benang tersebut terendam
seluruhnya. Kemudian tabung-tabung tersebut disimpan dalam lemari
pendingin dengan suhu 4oC selama 1 malam.2
Lakukan pencucian dengan menggunakan larutan garam faal dingin (4oC) sebanyak 5-6 kali,
lalu tambahkan 2 tetes suspensi 2% sel indikator (sel darah merah golongan A pada tabung
pertama dan sel golongan B pada tabung kedua), pusing dengan kecepatan 1000 RPM selama
1 menit. Bila tidak terjadi aglutinasi, cuci sekali lagi dan kemudian tambahkan 1 – 2 tetes
larutan garam faal dingin. Panaskan pada suhu 560C selama 10 menit dan pindahkan eluat ke
dalam tabung lain. Tambahkan 1 tetes suspensi sel indikator ke dalam masing – masing
tabung, biarkan selama 5 menit, lalu pusing selama 1 menit pada kecepatan 1000 RPM.
Pembacaan hasil dilakukan secara makroskopik. Bila tejadi aglutinasi berarti darah
mengandung antigen yang sesuai dengan antigen sel indikator.2
Dalam kasus yang ada kaitannya dengan faktor keturunan, hukum Mendel
memainkan peranan penting. Hukum Mendel untuk sistem golongan darah adalah sebagai
berikut: Antigen tidak mungkin muncul pada anak, jika antigen tersebut tidak terdapat pada
salah satu atau kedua orang tuanya.2
Orang tua yang homozigot pasti meneruskan gen untuk antigen tersebut pada anaknya
(anak dengan golongan darah O tidak mungkin mempunyai orang tua yang bergolongan
darah AB).2
 Pemeriksaan DNA

Dengan berkembangnya teknik cloning, sequencing dan PCR terbuka kemungkinan


untuk lebih meningkatkan pemanfaatan dari gen–gen hiperpolimorfis. Polimorfisme yang
berlebihan yang terdapat pada lokus–lokus VNTR ataupun mikrosatalit pada umumnya
terjadi karena proses “deletion insertion” sebagai konsekuensi dari peristiwa “anequal
crossing” (Wolf, 1991 ). Lokus – lokus tersebut merupakan daerah DNA yang
dipertahankan keutuhannya dalam proses evolusi dan diturunkan sesuai prinsip–prinsip
hukum pewarisan dari Mendel, sehingga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pemeriksaan
paternitas.4
Macam – macam pemeriksaan DNA antara lain:
a. Pemeriksaan DNA fingerprint
Pemeriksaaan ini didasarkan atas adanya bagian DNA manusia yang termasuk
daerah non-coding atau intron ( tak mengkode protein ) yang ternyata merupakan
urutan basa tertentu yang berulang kali. Bagian DNA ini tersebar dalam seluruh
genom manusia sehingga dinamakan multilokus. Bagian DNA ini dimiliki oleh semua
orang tetapi masing – masing individu mempunyai jumlah pengulangan yang berbeda
– beda satu sama lain, sedemikian sehingga kemungkinan dua individu mempunyai
fragmen DNA yang sama adalah sangat kecil. Bagian DNA ini dikenal dengan nama
Variable Number of Tandem Repeats ( VNTR ) dan umumnya tersebar dari bagian
ujung kromosom, VNTR ini diturunkan dari kedua orang tua menurut hukum Mendel
sehingga dapat dilacak secara tidak langsung dari orang tua, anak, maupun saudara
kandungnya.
Prosedur pemeriksaan sidik DNA meliputi :
- Pengambilan sampel
- Ekstraksi DNA dari sel berinti
- Pemotongan DNA dengan enzim restriksi Hinfl sehingga DNA menjadi
potongan – potongan
- Potongan DNA ini dipisahkan berdasarkan berat molekul dengan
elektroforesis pada gel agarose.
- Southern Bloting
Dengan menempatkan DNA pada sisi bermuatan negatif, maka DNA yang
juga bermuatan negatif akan ditolak ke sisi lainnya dengan kecepatan yang
berbanding terbalik dengan panjang fragmen DNA. Fragmen DNA yang
telah terpisah satu sama lain di dalam agar lalu diserap pada suatu
membran nitroselulosa dengan suatu metode yang dinamakan metode
Southern Blot
- Persiapan pelacak DNA
Membran yang kini telah mengandung potongan DNA ini lalu diproses
untuk membuat DNA-nya menjadi DNA untai tunggal ( proses
denaturasi ), baru kemudian dicampurkan dengan pelacak DNA yang telah
diberi label dengan bahan radioaktif dalam proses yang dinamakan
hibridisasi.
- Hibridisasi
Pada proses ini pelacakan DNA akan bergabung dengan fragmen DNA
yang merupakan basa komplemennya.
- Pencucian sisa pelacak
- Membran yang telah bersih, dipaparkan film di atas membran sehingga
film akan terbakar oleh adanya radioaktif ( proses autoradiografi )
sehingga menghasilkan gambaran pita – pita DNA yang membentuk
gambaran serupa Barcode ( label barang di supermarket ).

b. Analisis VNTR lain


Pemeriksaan ini menggunakan sistem pelacakan dengan pelacak tunggal ( single locus
), yang diperiksa hanyalah satu lokus tertentu saja sehingga pada analisis selanjutnya
hanya akan didapatkan dua pita DNA saja. Karena pola penurunan DNA ini juga
sama, maka satu pita berasal dari ibu dan pita satunya berasal dari ayah. Keuntungan
dari metode ini adalah interpretasi lebih mudah dan sederhana, dan dapat mendeteksi
jumlah pelaku perkosaan.

c. Pemeriksaan RFLP
RFLP ( Retriction Fragment Length Polymorphisms ) adalah suatu polimorfisme
DNA yang terjadi akibat adanya variasi panjang fragmen DNA setelah dipotong
dengan enzim restriksi tertentu. Adanya mutasi tertentu pada lokasi pemotongan dapat
membuat DNA yang biasanya dapat fragmen DNA yang lebih panjang. Variasi inilah
yang menjadi dasar metode analisis RFLP.

d. Metode PCR
Metode PCR ( Polymerase Chain Reaction ) adalah suatu metode untuk
memperbanyak fragmen DNA tertentu secara in vitro dengan menggunakan enzim
polymerase DNA. Siklus proses PCR terdiri dari fase denaturasi, fase penempelan
primer dan fase ekstensi atau elongasi. Proses ini diawali dengan pemanasan pada
suhu tinggi 90 – 950 C ( fase denaturasi ). Pada suhu tinggi DNA untai ganda terlepas
menjadi DNA untai tunggal. Proses ini dilanjutkan dengan pendinginan pada suhu
tertentu ( fase penempelan primer/primerannealing ) yang dihitung dengan rumus
Thein dan Wallace; Suhu = 4(G+C) + 2(A+T).
G, C, T dan A adalah jumlah basa Guanine, Sitosin, Timin dan Adenin pada primer
yang digunakan. Pada fase ini primer akan menempel pada basa komplemennya pada
DNA untai tunggal tadi. Selanjutnya, siklus diakhiri dengan pemanasan kembali
antara 70 -750 C ( Fase ekstensi/elongasi), yang akan membuat primer
memperpanjang diri membentuk komplemen dari untai tunggal dengan menggunakan
bahan dNTP.
Pemeriksaan dengan metode PCR hanya dimungkinkan jika bagian DNA yang ingin
diperbanyak telah diketahui urutan basanya. Tahapan selanjutnya adalah menentukan
dan menyiapkan primer yang merupakan komplemen dari basa pada ujung – ujung
bagian yang akan diperbanyak. Pemeriksaan PCR ini sendiri merupakan suatu proses
pencampuran antara DNA cetakan ( Template ) yang akan diperbanyak, dNTP,
primer, enzim polymerase DNA, dan larutan buffer dalam reaksi 50ul atau 100ul.
Campuran ini dipaparkan pada tiga suhu secara berulang sebanyak n-buah siklus
( biasanya di bawah 35 siklus ).
Adanya mesin otomatis ( Thermal Cycler ) untuk proses ini membuat prosedurnya
menjadi amat sederhana. DNA hasil perbanyakan dapat langsung dianalisa dengan
melakukan elektroforesis pada gel agarose atau gel poliakrilamide.
Lokus DNA yang dapat dianalisis dengan metode PCR, meliputi banyak sekali lokus
VNTR maupun RFLP lainnya, diantaranya lokus D1S58 ( dulu disebut D1S80 ) dan
D2S44. Metode analisis dengan PCR ini begitu banyak disukai sehingga penemuan –
penemuan lokus DNA polimorfik yang potensial untuk analisis kasus forensik terus
terjadi tanpa henti setiap saat.
Kelebihan PCR adalah dapat menganalisis bahan yang sudah berdegradasi sebagian.
Hal ini penting karena banyak dari sampel forensik merupakan sampel postmortem
yang tidak segar lagi.2
2. Pemeriksaan Terhadap Korban
Tanda – tanda yang dicari dalam pemeriksaan autopsi forensik terhadap bayi baru
lahir ditujukan untuk memperoleh kejelasan mengenai :
a. Apakah bayi dilahirkan mati ( still-birth ) atau dilahirkan hidup ( life-birth )
b. Bila terbukti lahir hidup, berapa jam atau hari umur bayi tersebut ( umur setelah
dilahirkan )
c. Apakah bayi sudah atau belum bernafas
d. Umur bayi dalam kandungan, premature, matur atau postmatur
e. Apakah bayi tersebut viable atau non-viable
f. Apakah terdapat tanda – tanda perawatan atau tidak
g. Apakah kematian berhubungan dengan infantisida
h. Apakah ada tanda – tanda kekerasan atau tidak
i. Bila terbukti lahir hidup, apakah penyebab kematiannya. Bila terbukti lahir mati,
apakah sebab kelahiran matinya.1

 Autopsi Janin
Autopsi Rongga Kepala Janin
Pada pemeriksaan bayi baru lahir, perlu dilakukan pemeriksaan teliti terhadap
kepala, mengingat kepala bayi yang dapat mengalami moulase pada saat kelahiran, mungkin
dapat menimbulkan cedera pada sinus – sinus di kepala. Untuk meneliti hal ini, kepala bayi
harus dibuka dengan tekhnik khusus yang menghindari terpotongnya sinus – sinus tersebut
sehingga dinilai dengan sebaik – baiknya.
Kulit kepala dibuka dan dikupas seperti pada mayat dewasa. Tulang tengkorak
bayi baru lahir masih lunak sehingga pembukaan tengkorak dapat dilakukan dengan gunting.
Untuk menghindari terpotongnya sinus sagitalis superior, gunting os parietal
pada jarak 0,5 sampai 1 cm lateral dari garis median, dimulai pada daerah fontanela besar ke
arah belakang sampai bagian posterior os parietal tersebut untuk kemudian membelok ke arah
lateral. Di depan, pengguntingan dilanjutkan ke arah os frontalis yang pada jarak 1 – 2
sentimeter dari lipatan kulit, membelok ke arah lateral. Dengan demikian, pada garis median
sinus sagitalis tetap utuh. Os parietalis kanan dan kiri kini dapat dibuka ke arah lateral.
Dengan menarik baga otak besar ke arah lateral, sinus sagitalis superior, falks cerebri dan
sinus sagitalis inferior dapat diperiksa akan adanya robekan, resapan darah maupun
perdarahan. Dengan menarik baga oksipitalis ke arah kranio lateral, tentorium serebelli serta
sinus lateralis, sinus oksipitalis dapat diperiksa.
Otak bayi kemudian dapat dikeluarkan dengan cara pertama – pertama
memasukkan tangan kiri di garis pertengahan daerah frontal, antara baga otak dan tulang
tengkorak. Dengan sedikit menekan baga frontal, akan tampak falks serebri yang dapat
dipotong atau digunting sampai dasar tengkorak. Kedua jari tangan kiri tersebut kemudian
dapat sedikit mengangkat baga frontal dan memperlihatkan nn.olfaktorius, nn.opticus, yang
kemudian dipotong sedekat mungkin dengan tengkorak. Pemotongan lebih lanjut dapat
dilakukan pada aa.karotis interna yang memasuki otak, serta saraf-saraf otak yang keluar
pada dasar otak. Dengan memiringkan kepala mayat ke salah satu sisi, serta jari-jari tangan
kiri sedikit menarik atau mengangkat baga pelipis (temporalis) sisi lain, tentorium serebelli
akan jelas tampak dan mudah dipotong, dimulai dari foramen magnum kearah lateral
menyusuri tepi belakang tulang karang (os.petrosum). Dengan cara yang sama tentorium
serebelli sisi lainnya juga dipotong. Kemudian kepala dikembalikan ke posisi semula dan
batang otak dapat dipotong melintang dengan memasukkan pisau sejauh-jauhnya dalam
foramen magnum. Dengan tangan kiri menyanggah baga oksipital, dua jari tangan kanan
dapat ditempatkan di sisi kanan dan kiri batang otak yang telah terpotong, untuk kemudian
menarik bagian bawah otak ini dengan gerakan memutar hingga keluar dari rongga
tengkorak. Setelah otak dikeluarkan, duramater yang melekat pada dasar tengkorak harus
dilepaskan dari dasarnya, agar dapat diperhatikan kelainan dasar tengkorak.
Jaringan otak bayi baru lahir biasanya lunak dari jaringan otak dewasa. Untuk
dapat melakukan pengirisan dengan baik, kadang-kadang perlu dilakukan fiksasi
jaringan otak tersebut dengan formalin 10%, baik dengan merendam otak tersebut
ataupun melakukan penyuntikan imbibisi.
Autopsi Organ-organ Dalam
Teknik yang digunakan untuk pemeriksaan organ dalam adalah modifikasi
dari teknik Letulle dan teknik Ghon. Setelah rongga tubuh dibuka organ-organ
diambil dan dipisahkan menjadi 2 blok, yaitu: organ leher dan dada menjadi 1 blok,
usus-usus diangkat mulai dari perbatasan duodenojejunal sampai perbatasan
rektosigmoid, dan organ-organ perut serta organ urogenital menjadi 1 blok.
Teknik insisi menggunakan teknik irisan 1. Insisi kulit dilakukan mengikuti
garis pertengahan badan mulai dari bawah dagu diteruskan kearah umbilicus dan
melingkari umbilicus di sisi kiri dan seterusnya kembali mengikuti garis pertengahan
badan sampai daerah simfisis pubis. Pada daerah leher insisi hanya mencapai
kedalaman setebal kulit saja. Pada daerah dada insisi kulit mencapai kedalaman
permukaan depan tulang dada atau sternum. Insisi pada dinding perut biasanya
dimulai pada daerah epigastrium dengan membuat irisan pendek yang menembus
sampai ke peritoneum. Dengan jari telunjuk dan jari tengah tangan kiri yang
dimasukkan ke dalam lubang insisi ini maka dinding perut dapat ditarik atau diangkat
ke atas. Pisau diselipkan di antara dua jari tersebut dan insisi dapat sampai simfisis
pubis.
Dinding dada dilepaskan dengan memulai irisan otot-otot sepanjang arkus
costae. Pelepasan dinding dada dilakukan terus kearah dada sampai daerah tulang
selangka dan ke samping sampai garis ketiak depan. Kemudian otot-otot pektorales
dibebaskan dari dinding dada sehingga kelainan-kelainan pada dinding dada seperti
resapan darah, patah tulang maupun luka terbuka dapat ditemukan. Kulit daerah leher
dilepaskan dari otot-otot leher yang berada di bawahnya sehingga dapat diperhatikan
apakah ada tanda-tanda kekerasan dan kelainan lainnya.
Pada dinding perut diperhatikan keadaan lemak bawah kulit serta otot-otot
dinding perut, catat tebal masing-masing serta luka-luka bila terdapat. Rongga perut
diperiksa dengan mula-mula memperhatikan keadaan organ-organ perut secara
umum. Bagaimana penyebaran tirai usus atau omentum, apakah menutupi seluruh
usus-usus kecil, ataukah mengumpul pada satu tempat akibat adanya kelainan
setempat. Periksa keadaan usus-usus apakah ada kelainan berupa volvulus,
intussusepsi, infark, tanda-tanda kekerasan lainnya. Bila mayat telah mengalami
operasi sebelumnya, perhatikan pula bagian/alat-alat perut yang mengalami
penjahitan, reseksi, dan tindakan-tindakan lainnya. Perhatikan adakah cairan dalam
rongga perut, dan bila terdapat, catat sifat dari cairan, serous, purulen, darah, atau
cairan keruh. Dinding perut sebelah dalam diperhatikan keadaan selaput lendirnya.
Pada selaput lendir normal tampak licin dan halus berwarna kelabu mengkilat. Pada
kelainan peritonitis, akan tampak selaput lendir yang tidak rata, keruh, dengan fibrin
yang melekat.
Tentukan pula letak sekat rongga badan (diafragma), dengan membandingkan tinggi
diafragma dengan iga-iga di garis pertengahan selangka (midclavicular line). Rongga dada
dibuka dengan jalan mengiris rawan-rawan iga pada tempat setengah sampai satu sentimeter
medial dari batas rawan-tulang masing-masing iga. Dengan bagian perut pisau dan bidang
pisau (knife blade) yang diletakkan tegak lurus, rawan iga dipotong mulai dari iga kedua
terus kearah kaudal. Pemotongan ini dapat dilakukan dengan mudah pada mayat yang masih
muda karena bagian rawan belum mengalami penulangan. Dengan tangan kanan memegang
gagang pisau dan telapak tangan kiri menekan punggung pisau, pisau digerakkan memotong
rawan iga-iga tersebut mulai dari iga kedua sampai daerah arkus kosta. Lakukan hal yang
sama pada sisi tubuh yang lain. Dengan memotong insersi otot-otot diafragma yang melekat
pada dinding dada bagian depan sebelah bawah, perlekatan sternum dengan pericardium
dapat dilepaskan.
Iga pertama dipotong dengan meneruskan irisan pada iga kedua ke arah kranio-lateral,
dengan demikian, irisan dihindarkan dari mengenai manubrium sterni yang keras. Setelah
rawan iga pertama terpotong, pisau dapat diteruskan kearah medial menyusuri tepi bawah
tulang selangka untuk mencapai sendi antara tulang selangka dan tulang dada (articulatio
sterno-clavicularis) dan memotongnya. Bila ini telah dilakukan pada kedua sisi, maka bagian
depan dinding dada telah dapat dilepaskan.
Perhatikan pertama-tama letak paru-paru terhadap kandung jantung, dapat
mengetahui keadaan pengembangan paru-paru. Untuk pemeriksaan lebih lanjut, alat-
alat leher akan dikeluarkan bersama-sama dengan alat-alat rongga dada. Usus halus
mulai dari jejunum sampai rectum dilepaskan tersendiri kemudian alat-alat dalam
rongga perut dikeluarkan bersama-sama dengan alat-alat dalam rongga panggul.
Pengeluaran alat-alat leher dimulai dengan melakukan pengirisan insersi otot-
otot dasar mulut. Lepaskan esophagus bagian kaudal dari jaringan ikat sekitarnya dan
buatlah dua ikatan di atas diafragma. Esophagus digunting di antara kedua ikatan
tersebut.
Usus-usus dilepaskan dengan pertama-tama melakukan dua ikatan pada awal
jejunum, dekat dengan tempat menembusnya duodenum dari arah retroperitoneal.
Pengguntingan dilakukan di antara dua ikatan yang dibuat, agar isi duodenum tidak
tercecer. Dengan tangan kiri memegang pada ujung distal dan mengangkatnya, maka
mesenterium yang melekatkan usus dengan rongga perut dapat diiris dekat dengan
rongga usus. Pengirisan dilakukan sepanjang usus halus sampai daerah ileum
terminalis. Pada daerah caecum pengirisan dilakukan terhadap mesokolon, dengan
memotong daerah mesokolon pada bagian lateral dari kolon ascendens. Pada daerah
kolon transversum, lepaskan daerah perlekatan antara kolon dan lambung. Mesokolon
kembali diiris di sebelah lateral dari kolon descendens dengan memisahkannya dari
limpa dan ginjal kiri. Kolon sigmoid dapat dilepaskan dari dinding rongga perut
dengan memotong mesokolon di bagian belakangnya. Rectum dipegang dengan
tangan kanan, mulai dari bagian distal dan mengurutnya ke arah proksimal, agar isi
rectum dipindahkan ke arah kolon sigmoid dan rektum dapat diikat dengan dua
ikatan, untuk kemudian diputus di antara dua ikatan tersebut. Sambil melakukan
pelepasan usus halus dan usus besar dapat dilakukan sepanjang usus untuk
menemukan kelainan.
Untuk melepaskan alat-alat rongga perut dan panggul irisan dimulai dengan
memotong diafragma dekat pada insersinya pada dinding rongga badan. Alat rongga
panggul dilepaskan dengan terlebih dahulu melepas peritonium di daerah simfisis dan
kandung kencing serta alat lain dapat dipegang dengan tangan kiri sampai ke arah
belakang bersama rektum. Kemudian seluruh alat rongga panggul dilepaskan dengan
perlekatan dengan sekitarnya dan diangkat bersama-sama dengan alat rongga perut
yang telah dilepaskan terlebih dahulu.
Pemeriksaan Penunjang pada kasus Infantisida
1. Uji Apung Paru1,11
Uji ini harus dilakukan dengan teknik tanpa sentuh (no touch technique) paru-paru
tidak disentuh untuk menghindari kemungkinan timbulnya artefak pada sediaan
histopatologik jaringan paru akibat manipulasi berlebihan.1
Pada uji apung paru (hydrostatic test, docimacia pulmonum hydrostatica) bukan bobot
jenis (docimacia) paru yang ditentukan tetapi perbedaan yang terdapat antara berat jenis paru
yang belum mengalami aerasi (1,040-1,056) dan berat jenis paru yang sudah mengalami
aerasi (0,940). Yang pertama tenggelam dalam air, sedangkan yang kedua mengapung. Uji
tersebut dapat dibuat menjadi lebih sensitive dengan menggunakan larutan garam dapur
(NaCl), 60 gram dalam 1 liter air. Bobot jenis larutan garam itu adalah kira-kira 1,040 yang
kira-kira sama dengan bobot jenis terendah dari paru-paru yang belum mengalami aerasi dan
jauh lebih besar dari bobot jenis paru-paru yang sudah mengalami aerasi.1
Pada uji apung paru yang klasik diuji kedua paru dan setelah itu jaringan paru yang
tersisa diambil untuk pemeriksaan histologik. Namun mengingat bahwa manipulasi yang
berkaitan dengan uji apung itu dapat menimbulkan kerusakan/artefak pada jaringan paru dan
berpedoman pada pendapat Osborn dan Polson bahwa pemeriksaan histologik lebih superior
dibandingkan dengan uji apung paru, maka sebaiknya cara klasik itu diubah sedikit. Bila
mayat masih segar dan kita ingin memeriksa ada tidaknya sel-sel epitel inisial, maka paru
harus difiksasi dalam larutan Zenker-Formol.1
Semua organ leher dan dada dikeluarkan dari tubuh lalu dimasukkan ke dalam air dan
dilihat apakah mengapung atau tenggelam. Kemudian paru-paru kiri dan kanan dilepaskan
dan dimasukkan kembali ke dalam air, dan dilihat apakah mengapung atau tenggelam.
Setelah itu tiap lobus dipisahkan dan dimasukkan ke dalam air dan dilihat apakah mengapung
atau tenggelam. Setelah itu diambil 5 potong kecil dari bagian perifer jaringan paru dengan
besar kira-kira 1x1x1/2 cm dari bagian permukaan masing-masing lobus dan potongan-
potongan itu diuji. Apabila semua potongan tenggelam, maka hasil uji apung paru adalah
negative.2
Hingga tahap ini, paru bayi yang lahir mati masih dapat mengapung oleh karena
kemungkinan adanya gas pembusukan. Bila potongan kecil itu mengapung, letakkan diantara
dua helai kertas manila atau karton dan ditekan (dengan arah tekanan yang tegak lurus jangan
bergeser ataupun ditekan secara digeser) atau diletakkan di lantai dan dibawah sepatu
pemeriksa dan ditekan dengan cara berdiri di atasnya (dengan telapak kaki). Kaki itu jangan
digerak-gerakkan atau kaki lainnya jangan diangkat dari lantai agar tekanannya tidak menjadi
berlebihan dan jaringan paru tidak menjadi rusak (dinding alveoli pecah).2
Cara lain adalah dengan meletakkan di meja dan ditekan dengan pisau berdaun lebar
seperti pisau untuk mengiris otak (brain knife). Setelah dilakukan penekanan uji kembali.
Apabila semua potongan tetap mengapung maka hasil uji apung paru adalah positif dan
kesimpulan bayi pasti telah bernapas. Sebaliknya, jika semua tenggelam, maka hasil uji
apung adalah negative dan dibuat kesimpulan kemungkinan bayi belum bernapas. Sedangkan
bila beberapa potong paru tetap mengapung dan beberapa potong lainnya melayang dalam
air, untuk kemudian lambat-lambat tenggelam, maka hasil uji apung paru adalah positif
sebagian dan ini sudah merupakan bukti bahwa bayi telah bernapas (lahir hidup).1
Penekanan tersebut bertujuan untuk menyingkirkan gas pembusukan yang
terdapat dalam jaringan interstitial paru-paru yang membusuk. Gas pembusukan ini
membuat paru-paru bayi yang belum pernah bernapas sekalipun akan mengapung
dalam air. Oleh karena itu, setelah penekanan jaringan paru dimasukkan kembali ke
dalam air dan diamati apakah masih mengapung atau tenggelam. Bila masih
mengapung berarti alveoli paru tersebut berisi udara residu yang tidak akan keluar,
berarti bayi tersebut pernah bernapas. Tetapi bila paru tersebut sudah membusuk
sekali, alveoli sudah pecah atau menjadi pecah pada penekanan, maka residual air
tersingkirkan pula dan jaringan paru akan tenggelam. Dengan demikian bayi yang
telah bernapas dapat dinilai sebagai yang belum bernapas setelah dilahirkan. Hal ini
merupakan salah satu alasan mengapa pada hasil uji apung paru yang negative tidak
dapat kesimpulan bahwa bayi pasti belum bernapas.1
Uji apung ini memberikan hasil yang bermakna bila semua organ thoraks
secara bersamaan dimasukkan ke dalam air dan mengapung. Jika hanya paru saja,
tidak terlalu bermakna.4
Menurut Prof. Polson, tes apung paru tidak valid untuk menentukan apakah
janin lahir hidup atau mati, dia menyatakan bahwa di tahun 1990an ketika teori tes
apung paru baru muncul, hal ini tidak didasari oleh suatu pembicaraan yang jelas dan
saat ini teori tersebut terbukti tidak dapat digunakan lagi. Beberapa kelemahan dari tes
apung paru menurut Palson antara lain: jika sudah terjadi pembusukan pada janin
maka akan menghasilkan positif palsu pada tes apung paru karena adanya gas
pembusukan pada jaringan paru, selain itu udara di dalam alveoli dapat juga masuk
karena adanya pernapasan pasif (resusitasi), dengan demikian maka pada tes apung
paru, paru-paru dapat mengapung meskipun bayi lahir mati. 7,11
2. Uji Telinga Tengah1
Dasar dari uji telinga tengah (middle ear test) Wreden-Wendt adalah bahwa bila bayi
bernapas waktu dilahirkan, maka ia dapat mengadakan gerakan menelan yang mengakibatkan
tuba eudativa Eustachii terbuka ( karena aktivitas musculus tensor eta levator veli palatine )
dan udara masuk ke dalam rongga telinga tengah.
Uji ini dilakukan sebagai berikut: dengan gunting yang kuat atau pahat kecil tegmen
timpani dibuka di bawah permukaan air, dan diperhatikan apakah keluar gelembung-
gelembung dari telinga tengah (hasil positif) atau tidak (hasil negatif). Kedua telinga tengah
diuji. Usahakan tidak terdapat gelembung dari dalam air.
Hasil negatif belum tentu bayi belum bernapas, karena bayi mungkin tidak menelan
udara walaupun ia bernapas pada waktu dilahirkan. Debilitis vitae dapat menyebabkan bayi
tidak mampu untuk mengadakan gerakan menelan yang aktif. Kegunaan uji telinga tengah
adalah pada kasus mutilasi mayat bayi baru lahir, bila yang ditemukan kepalanya.
3. Uji Apung Lambung-Usus1
Bila bayi sudah bernapas, maka lambung dan usus mengapung dalam air (hasil
positif) karena berisi udara yang tertelan, sedangkan bila belum bernafas lambung dan usus
tenggelam dalam air (hasil negatif).
Uji ini atau uji Breslau dilakukan sebagai berikut : duodenum didekat pilorus, usus
halus di daerah vulva Bauhini dan usus besar di daerah rekto-sigmoid diikat tali rami
Esophagus telah diikat di atas diafragma dan telah diputuskan di atas ikatan pada waktu alat-
alat dada dikeluarkan. Seluruh saluran cerna dikeluarkan dari rongga perut dan kemudian
diletakkan dalam air serta diperhatikan apakah seluruhnya mengapung atau tenggelam. Bila
tidak seluruhnya, maka diperhatikan bagian mana saja yang tidak mengapung.
Cara lain: masing-masing bagian saluran cerna diuji secara tersendiri. Pada
tempat-tempat tersebut dibuat dua ikatan dan masing-masing bagian diuji dengan
meletakkannya dalam air.
Pada bayi yang sudah bernapas, dan meninggal tidak lama kemudian dapat
ditemukan lambung yang mengapung dalam air, kadang-kadang bersama dengan
duodenum. Bila terdapat pada lambung atau duodenum berarti hidup beberapa saat,
dalam usus halus berarti telah hidup 1-2 jam, bila dalam usus besar telah hidup 5-6
jam dan bila telah terdapat dalam rektum berarti telah hidup 12 jam. Pernapasan
buatan dengan menggunakan alat pada bayi lahir mati dan pada bayi lahir hidup tetapi
tidak bernapas (apneu atau asfiksi) dapat menyebabkan lambung dan usus halus atau
seluruh saluran cerna berisi gas pembusukan, maka tidak ada gunanya menggunakan
uji Breslau ini.
Viabilitas Bayi
Bayi dikatakan viable apabila keadaan bayi atau janin yang sudah mampu
hidup di luar kandungan ibunya tanpa peralatan khusus atau canggih. Kriteria
viabilitas terdiri atas:
 Telah dikandung ibunya selama paling tidak 28 minggu
 Tidak mempunyai cacat berat, seperti misalnya anencephalus (lack of a brain)

Tanda-tanda bahwa bayi telah dikandung selama 28 minggu atau lebih oleh ibunya
ialah:
a. Tanda-tanda terukur, yaitu:
 Panjang badan (kepala-tumit) 35 cm atau lebih
 Panjang badan (kepala-tungging) lebih dari 23 cm
 Berat badan 1000 gram atau lebih
 Lingkar kepala oksipito frontal 23cm atau lebih
b. Tanda-tanda tidak terukur, yaitu:
 Jenis kelamin sudah dapat dibedakan meskipun testis pada bayi laki-laki
belum tentu sudah turun ke skrotum
 Bulu badan, alis dan bulu mata sudah tumbuh
 Kuku sudah melewati ujung jari
 Inti penulangan sudah terbentuk pada tulang kalkaneus atau talus
 Pertumbuhan gigi sudah sampai tingkat kalsifikasi4

Dengan demikian jika kondisi bayi menunjukkan gambaran telah dikandung


28 minggu atau lebih tapi mempunyai cacat berat atau jika bayi tidak mempunyai
cacat berat tapi dikandung kurang dari 28 minggu maka bayi tersebut dianggap tidak
viabel.4
Bayi cukup bulan atau mature adalah bayi yang lahir dengan umur kehamilan
37 minggu atau lebih tetapi kurang dari 42 minggu penuh (259 sampai 293 hari).
Kriteria bayi cukup bulan adalah sebagai berikut : 2
 Panjang badan (kepala-tumit) lebih dari 48 cm
 Panjang badan (kepala-tungging) 30 cm atau lebih
 Berat badan 2500-4000 gram
 Lingkar kepala oksipito-frontal 33-34cm
Pada bayi cukup bulan, hampir selalu terdapat pusat penulangan pada distal
femur, sedangkan pada proksimal tibia kadang-kadang terdapat atau baru terdapat
sesudah lahir, juga pada tulang kuboid. Pada bayi wanita, pusat penulangan timbul
lebih cepat.
Ciri-ciri lain yang dapat dijumpai pada bayi cukup bulan adalah lanugo
sedikit, terdapat pada dahi, punggung dan bahu. Pembentukan tulang rawan pada
telinga telah sempurna (bila daun telinga dilipat akan cepat kembali ke keadaan
semula), diameter tonjolan susu 7 mm atau lebih, kuku jari tangan sudah panjang
melewati ujung-ujung jari, ujung distalnya tegas dan relative keras sehingga terasa
bila digarukkan pada telapak tangan pelaku autopsi, kuku jari kaki masih relative
pendek, garis-garis telapak kaki telah terdapat melebihi 2/3 bagian depan kaki, pada
bayi laki-laki, testis sudah turun dengan sempurna (complete descensus testiculorum),
yakni sampai pada dasar skrotum dan rugae pada kulit skrotum sudah lengkap, pada
bayi perempuan, labia minora tertutup dengan baik oleh labia mayora yang telah
berkembang sempurna, kulit berwarna merah muda (pada kulit putih atau merah
kebiru-biruan pada kulit berwarna), yang telah 1-2 minggu berubah menjadi lebih
pucat atau coklat kehitam-hitaman, lemak bawah kulit cukup merata sehingga kulit
tidak keriput (kulit pada bayi premature berkeriput).2
Penentuan Umur Janin2
Penentuan umur janin atau embrio menurut rumus “De Haas”
 Untuk 5 bulan pertama: panjang kepala-tumit (cm) = kuadrat umur gestasi
(bulan)
 Untuk usia > 5 bulan : panjang kepala-tumit (cm) = umur gestasi (bulan) x 5

Umur Panjang badan (kepala-tumit)


1 bulan 1 x 1 = 1 cm
2 bulan 2 x 2 = 4 cm
3 bulan 3 x 3 = 9 cm
4 bulan 4 x 4 = 16 cm
5 bulan 5 x 5 = 25 cm
6 bulan 6 x 5 = 30 cm
7 bulan 7 x 5 = 35 cm
8 bulan 8 x 5 = 40 cm
9 bulan 9 x 5 = 45 cm
Tabel 1.1 Tabel Perkiraan Umur Bayi berdasarkan panjang badan
(De Haas)

Perkiraan umur janin dapat dilakukan dengan melihat keadaan pusat


penulangan (ossification center)
Pusat penulangan pada: Umur (bulan)
Klavikula 1,5
Tulang panjang 2
Diafisis 3
Iskium 4
Pubis 5-6
Kalkaneus 6
Manubrium sterni Akhir 7
Talus Akhir 8
Sternum bawah Akhir 9 atau setelah lahir
Distal femur Akhir 9 atau setelah lahir
Proximal tibia Akhir 9 atau setelah lahir
Kuboid Bayi wanita lebih cepat
Tabel 1.2. Tabel perkiraan umur bayi berdasarkan pusat penulangan
Pemeriksaan pusat penulangan diatas, dapat dilakukan melalui pemeriksaan
radiologis atau secara langsung pada saat melakukan autopsi dengan cara sebagai
berikut :3
a. Calcaneus, tallus, dan kuboid
Lakukan dorsofleksi kaki dan buat insisi mulai dari tumit ke arah depan sampai sela
jari kaki ketiga dan keempat. Dengan melebarkan potongan pada kulit, tallus dan
calcaneus dapat dipotong longitudinal untuk memeriksa adanya pusat penulangan.
b. Distal femur dan proximal tibia
Lakukan flexi maksimal tungkai bawah pada sendi lutut dan buat irisan melintang
pada lutut sampai tempurung lutut. Dengan gunting, ligamentum patellae dipotong
dan patellae disingkirkan. Dengan pisau, lakukan pengirisan distal femur atau
proximal tibia mulai dari ujung, lapis demi lapis ke arah metaphyse. Pusat penulangan
akan tampak sebagai bercak berwarna merah homogen berbentuk oval dengan
diameter lebih dari 5 mm di daerah epiphyse tulang.
Walaupun dalam undang-undang tidak dipersoalkan umur bayi, tetapi kita harus
menentukan apakah bayi tersebut cukup bulan atau belum cukup bulan (premature) ataukah
non viable, karena pada keadaan premature dan non viable, kemungkinan bayi tersebut
meninggal akibat pembunuhan anak sendiri adalah kecil.
Bayi Baru Lahir dan Belum Dirawat
Keadaan baru lahir dan belum dirawat adalah sebagai petunjuk dari tidak lama setelah
dilahirkan, berarti tubuh bayi masih berlumuran darah dan verniks kaseosa tali pusat mungkin
masih berhubungan dengan ari atau sudah terpisah, tetapi belum diikat (belum dirawat).
Lahir Mati atau Lahir Hidup
Lahir mati (still birth) adalah suatu istilah yang menunjukan adanya suatu kematian
hasil konsepsi sebelum keluar atau dikeluarkan oleh ibunya, tanpa mempersoalkan usia
kehamilan. Kematian ditandai oleh janin yang tidak bernafas atau tidak menunjukkan tanda
kehidupan lain seperti denyut jantung, denyut nadi tali pusat atau gerakan otot rangka.
Lahir hidup (live birth) adalah keluar atau dikeluarkannya hasil konsepsi yang
lengkap, yang setelah pemisahan bernafas atau menunjukan tanda kehidupan lain, tanpa
mempersoalkan usia gestasi, sudah atau belum tali pusat dipotong dan plasenta dilahirkan.
Tanda-tanda yang harus diperhatikan dalam menentukan apakah seorang bayi lahir mati atau
hidup adalah sebagai berikut :
a. Tanda Maserasi

Pada bayi lahir mati terdapat tanda-tanda maserasi (aseptic decomposition), yaitu
proses pembusukan intrauterine yang berlangsung dari luar ke dalam dan adanya
infark pada tali pusat. Tanda ini dapat dilihat setelah 8-10 hari kematian intrauterine.
Bila kematian baru terjadi 3 atau 4 hari maka tanda yang terlihat hanya berupa
perubahan pada kulit saja (vesikel atau bulla yang berisi cairan kemerahan ). Tanda
lain yang dapat berupa epidermis berwarna putih, keriput, bau tengik (bukan bau
busuk ), tubuh mengalami perlunakan sehingga dada terlihat datar, sendi pada lengan
dan tungkai lunak, dan organ-organ tampak basah tetapi tidak berbau busuk dan
warnanya “Brownies pink”.
Pada bayi lahir hidup tidak ditemukan tanda-tanda maserasi tetapi pada bayi lahir
hidup yang sudah mengalami pembusukan terdapat bau busuk dan warnanya
kehijauan. Tetapi pada bayi lahir mati dimana ibunya mengalami ketuban pecah dini,
bayi dapat lahir dalam keadaan membusuk.
b. Tanda pada dada
Pada bayi lahir mati tampak dada belum mengembang yang ditandai dengan
tulang iga masih datar dan diafragma masih setinggi iga 3-4. Tetapi pada saat
dilakukan otopsi, udara dapat masuk ke dalam rongga toraks sehingga diafragma
menjadi turun. Sedangkan pada bayi lahir hidup tampak dada sudah mengembang dan
diafragma sudah turun sampai sela iga 4-5, terutama pada bayi yang telah lama hidup.
c. Tanda pada paru
Cara terbaik umtuk mengetahui apakah bayi itu pernah bernafas atau tidak
adalah dengan melihat dan meraba paru-paru.
Pada bayi lahir mati
Pemeriksaan makroskopis paru bentuknya amorf atau tidak begitu jelas, belum
mengembang, terletak di belakang jantung, berwarna gelap dan homogen, beratnya rata-rata
1/70 dari berat badan bayi. Teksturnya terlihat sama atau uniform, tidak ada permukaan yang
lebih pucat, tidak ada area yang mengalami krepitasi dan sudutnya terlihat lebih tajam. Paru
terlihat lebih kecil dibandingkan rongga toraks. Bila paru dibedah bagian dalamnya terlihat
sama baik dalam warna dan teksturnya (moist mirip seperti jelly strawberry).
Menurut Bernard pemeriksaan makroskopis paru merupakan pemeriksaan yang paling
membantu untuk menentukan apakah bayi lahir mati atau lahir hidup. Pemeriksaan dapat
dilakukan dengan melihat, meraba dan mendengar paru-paru (look,feel, and listen to the
lungs). Pada bayi yang lahir mati akan ditemukan warna paru yang lebih gelap, ukuran lebih
kecil dan memiliki berat dan penampakan yang hampir sama dengan hati, bahkan terkadang
dalam pemeriksaan uji apung paru, paru-paru akan terlihat mengapung. Pada bayi lahir mati
bentuk paru tidak beraturan dan terdapat celah pada mediastinum yang seharusnya dipenuhi
oleh paru-paru apabila pernah mengembang.
Paru-paru yang belum mengembang terlihat lebih kecil daripada paru-paru yang telah
mengembang. Menurut Polson, berat paru-paru yang belum mengembang adalah 1/70 dari
berat badan, ketika paru-paru telah berfungsi dan terisi udara maka akan terjadi peningkatan
berat paru, yaitu menjadi 1/35 dari berat badan yang disebabkan oleh karena adanya
peningkatan masa vaskuler dalam paru. Walaupun pada saat otopsi akan terjadi variasi pada
berat paru-paru, rata-rata berat paru-paru adalah 40 gram dan rata-rata berat perpaduan dua
paru adalah 85 gram . pada penelitian ini, berat badan bayi rata-rata adalah 3000 gram.
Struktur dari paru-paru yang belum bernafas adalah elastis dan bentuknya sama antara
kedua paru, tidak berujung dan kadang terdapat area krepitasi pada tepi paru, sudut paru
tajam dan pada pemotongan terlihat warna dan struktur kedua paru akan terlihat sama, kenyal
seperti jelly. Ketika paru digesekkan dengan dua jari maka tidak didapatkan adanya bunyi
krepitasi.
Pada paru-paru yang telah bernafas akan terjadi perubahan bentuk yang dipengaruhi
oleh berapa lama dia hidup di luar kandungan dan berapa banyak udara yang dihirup.
Pernafasan juga akan berefek pada pembentukan tepi paru, dan semakin banyak udara yang
masuk akan menyebabkan pengembangan paru total. Hal ini juga bisa terjadi pada paru-paru
yang memperoleh terapi oksigen, resusitasi, kompresi dada dan bantuan nafas dari mulut ke
mulut, baik bayi lahir hidup maupun mati.
Pada pemeriksaan mikroskopik paru, dapat ditemukan struktur seperti kelenjar
tetapi ini bukan merupakan ciri paru bayi yang belum bernafas, melainkan merupakan ciri
bayi yang belum mencapai usia gestasi 26 minggu. Tanda khas untuk bayi belum bernafas
adalah adanya tonjolan ( projection), yang berbentuk seperti bantal (cushion-like) yang
kemudian akan bertambah tinggi dengan dasar menipis sehingga tampak seperti gada (club-
like). Pada permukaan ujung bebas projection tampak kapiler yang berisi banyak darah. Pada
paru bayi belum bernafas yang sudah membusuk, dengan pewarnaan Gomori atau Ladewig,
tampak serabut-serabut retikulin pada permukaan dinding alveoli berkelok-kelok seperti
rambut yang keriting, sedangkan pada projection berjalan di bawah kapiler sejajar dengan
permukaan projection dan membentuk gelung-gelung terbuka (open loops). Serabut-serabut
elastin pada dinding alveoli belum terwarnai dengan jelas, masih merupakan fragmen-
fragmen yang tersusun dan belum membentuk satu lapisan yang mengelilingi seluruh alveoli.
Serabut tersebut tegang, tidak bergelombang dan tidak terdapat di daerah basis projection.
Pada paru bayi lahir mati mungkin pula ditemukan tanda inhalasi cairan amnion yang
luas karena asfiksia intrauterine, misalnya akibat tertekannya tali pusat atau solutio placentae
sehingga terjadi pernafasan janin premature (intrauterine submersion). Mekoneum yang
berbentuk bulat berwarna jernih sampai hijau tua mungkin terlihat dalam bronkioli dan
alveoli. Kadang-kadang ditemukan deskuamasi sel-sel epitel bronkus yang merupakan tanda
maserasi diri, atau fagositosis mekoneum oleh sel-sel dinding alveoli. Koloni dapat
menggelembung berisi mekoneum, yang merupakan tanda usaha untuk bernafas (strunggle to
breath). Tampak sel-sel verniks akibat deskuamasi sel-sel permukaan kulit, berbentuk persegi
panjang dengan inti piknotik berbentuk huruf “S”, bila dilihat di atas samping terlihat seperti
bawang (onion bulb). Juga tampak sedikit sel-sel amnion yang bersifat asidofilik dengan
batas tidak tegas dan inti terletak eksentrik dengan batas yang juga tidak jelas.
Pada Bayi lahir hidup
Pemeriksaan makroskopis paru, tampak paru sudah mengisi rongga dada dan sudah
menutupi sebagian kandungan jantung. Paru berwarna merah muda tidak merata tidak dengan
pleura yang tegang dan menunjukkan gambaran mozaik karena sudah terisi udara. Beratnya
1/35 berat badan bayi, ujung sudut paru sudah lebih membulat karena sudah adanya ekspansi
dan jika ditekan terdapat krepitasi. Apeks paru kanan paling dahulu atau jelas terisi karena
halangannya paling minimal. Gambaran marmer terjadi akibat pembuluh darah interstisial
terisi oleh darah. Konsistensinya seperti spons. Pada waktu paru dimasukkan dalam air akan
terlihat jelas keluarnya gelembung udara dan darah. Pada umumnya dengan satu kali
pernafasan yang baik keadaan tersebut di atas sudah dapat terjadi. Tetapi bila yang terjadi
hanya pernafasan minimal maka perubahan yang terjadi hanya sedikit, biasa terjadi ekspansi
parsial yang terlihat pada batas anterior. Area lingula, batas diafragmatik anterior dan ujung
media dari lobus bawah bisa terlihat lebih merah muda dan lebih mengembang dibandingkan
bagian yang posterior. Tes yang paling sensitive adalah tes krepitasi tetapi terlebih dahulu
harus menyingkirkan segala kemungkinan proses pembusukan.
Pemeriksaan mikroskopik paru, menunjukkan alveoli paru yang mengembang
sempurna dengan atau tanpa emfisema obstruktif serta tidak terlihat adanya penonjolan
(projection). Pada pewarnaan Gomori atau Ledewig serabut retikulin akan tampak tegang.
Pada pernafasan parsial yang singkat mungkin hasil uji apung paru negative dan mikroskopis
memperlihatkan gambaran alveoli yang kolaps dengan dinding yang berhimpitan atau hampir
berhimpitan. Kadang-kadang dapat ditemukan edema yang luas pada jaringan paru,
membrane duktus alveolaris yang tersebar dalam jaringan paru yang mungkin berasal dari
lemak verniks (membrane hialin, yamg akan terlihat bila bayi telah hidup lebih dari 1 jam ),
atau atelektasis paru akibat obstruksi oleh membrane duktus alveolaris.
Namun pernyataan ini mendapat sanggahan dari Bernard dalam bukunya yang
menyatakan bahwa pemeriksaan mikroskopis paru tidak dapat digunakan dalam menentukan
apakah bayi pernah bernafas atau tidak. Bernard menyatakan bahwa bentuk dari alveoli dan
ketebalan dinding epitel mengindikasikan pengembangan paru oleh masuknya udara ke
dalam paru, baik bayi bernafas atau tidak. Sedangkan menurut Saphiro (1977) bentuk dari
alveoli dan ketebalan dinding epitel lebih menunjukkan tingkat maturitas bayi dibandingkan
indikasi apakah bayi tersebut bernafas atau tidak. Ruang alveoli dapat juga mengembang oleh
karena substansi lain, bahkan ketika bayi tidak menghirup udara. Seperti yang di jelaskan
oleh saphiro, bahwa pada saat ibu mengalami rupture uteri, maka fetus akan mengalami
reflek yang menyebabkan janin menghirup cairan amnion. Pada keadaan ini, pemeriksaan
mikroskopik juga dapat menunjukan adanya pengembangan alveoli oleh karena aspirasi
amnion.
Menurut penulis lain yang menerangkan tentang maturasi paru janin (kuroid et al.:
Parmentier; Ham and Baldwin). Menurut penulis, pengembangan paru juga dapat terjadi
sebelum masa aterm janin, karena pada usia setelah 5 bulan biasanya kelenjar alveoli secara
alami akan menghasilkan cairan amnion yang dapat mengisi lumen alveoli, bahkan pada
janin yang menderita atresia bronkhotracheal dapat juga ditemukan adanya pengembangan
alveoli pada pemeriksaan mikroskopisnya.
d. Tali Pusat dan Plasenta
Tali pusat dan plasenta harus di ukur dan ditimbang untuk memperkirakan maturitas
bayi dan juga melihat adanya kelainan yang mungkin menjadi penyebab kematian bayi.
Pada bayi yang sudah pernah hidup selama 24-48 jam akan terdapat tanda-tanda vital
pada tali pusat yang berupa cincin kemerahan pada pangkal tali pusat dan kulit di
sekitarnya. Pada pemeriksaan mikroskopik akan tampak reaksi inflamasi yang akan
timbul 24 jam post partum berupa serbukan sel-sel leukosit berinti banyak, kemudian
akan terlihat sel limfosit dan jaringan granulasi. Tanda ini tetap dapat dilihat pada awal
pembusukan.
e. Keadaan yang tidak memungkinkan terjadinya kehidupan
Keadaan tersebut misalnya trauma persalinan yang hebat, perdarahan otak yang hebat,
dengan atau tanpa robekan pada tentorium cerebri, pneumonia intrauterine, kelainan
congenital yang fatal seperti anensefali dan sebagainya sering kali terdapat pada bayi lahir
mati. Sekalipun bayi tersebut lahir hidup, bayi tersebut akan mati karena kelainan-
kelainan tersebut di atas.
f. Tanda pada saluran pencernaan
Adanya udara pada saluran pencernaan dapat dilihat pada foto rontgen. Udara dalam
duodenum atau pada saluran yang lebih distal menunjukkan lahir hidup dan telah hidup
selama 6-12 jam. Bila udara sudah sampai di usus besar berarti bayi telah hidup 12-24
jam. Tetapi harus diingat kemungkinan adanya pernapasan buatan atau gas pembusukan.
Adanya makanan pada saluran pernapasan merupakan bukti kuat bahwa bayi lahir hidup.
g. Perubahan Sirkulasi Darah
Setelah bayi lahir hidup, akan terjadi obliterasi arteri dan vena umbilikalis dalam waktu 3-
4 hari. Duktus venosus akan tertutup setelah 3-4 minggu dan foramen ovale akan tertutup
3 minggu sampai 1 bulan tetapi kadang-kadang tidak menutup walaupun sudah tidak
berfungsi lagi. Duktus arteriosus akan tetap tertutup setelah 3 minggu sampai 1 bulan.
Pada bayi lahir mati tidak akan ditemukan.
h. Eritrosit berinti
Eritrosit berinti akan hilang dalam 24 jam pertama bayi lahir hidup, namun kadang kala
masih dapat ditemukan dalam sinusoid hati.

i. Tanda pada ginjal


Pada hari kedua sampai hari keempat pada bayi lahir hidup, akan terdapat deposit asam
urat berwarna jingga berbentuk kipas ( fan shape ) terutama pada piramida pada medulla.
Hal ini akan menghilang setelah hari keempat saat metabolisme telah terjadi.
Sebab Kematian 1, 2, 4
Penyebab kematian yang tersering pada pembunuhan anak sendiri adalah asfiksia.
Kematian dapat pula diakibatkan oleh proses persalinan ( trauma lahir ), kecelakaan ( bayi
terjatuh, partus presipitatus ), pembunuhan atau alamiah ( penyakit ).
1) Trauma lahir
Kematian pada bayi baru lahir sering kali berkaitan dengan proses persalinan yang
diperpanjang atau kesulitan persalinan. Pada trauma lahir, biasa hanya dijumpai
kelainan yang terbatas jarang sekali ditemukan fraktur tengkorak dan memar jaringan
otak. Trauma lahir dapat menyebabkan timbulnya tanda-tanda seperti :
 Kaput suksadaneum. Kaput suksadaneum dapat memberikan gambaran
mengenai lamanya persalinan berlangsung maka kaput suksadaneum yang
timbul akan lebih hebat. Akan nampak gambaran oedema pada kulit
kepala bagian dalam di daerah presentasi terendah dan berwarna
kemerahan. Kaput tidak terdapat perdarahan di bawah periosteum tulang
tengkorak. Pada pemeriksaan mikroskopik terlihat gambaran jaringan yang
mengalami oedem dengan perdarahan-perdarahan di sekitar pembuluh
darah.
 Safal hematom adalah perdarahan setempat diantara periosteum dan
permukaan tulang tengkorak dan tidak melampaui sutura tulang tengkorak
dan molase yang hebat. Umumnya terdapat pada tulang parietal dan
skuama tulang–tulang occipital. Sefal hematom memberi gambaran
perdarahan di bawah periosteum yang terbatas pada satu tulang dan tidak
melewati sutura.
 Fraktur tulang tengkorak. Patah tulang tengkorak jarang terjadi pada
trauma lahir, biasanya hanya berupa cekungan saja pada tulang ubun-ubun
( Celluloiid ball fracture ). Penggunaan forceps dapat menyebabkan fraktur
tengkorak dengan robekan otak.
 Perdarahan intracranial. Yang sering terjadi adalah perdarahan subdural
akibat laserasi tentorium serebelli dan falks serebri, robekan vena galena di
dekat pertemuannya dengan sinus rectus, robekan sinus sagitalis superior
dan sinus tranversus, dan robekan bridging vein dekat sinus sagitalis
superior. Perdarahan ini timbul pada molase kepala yang hebat atau
kompresi kepala yang cepat dan mendadak oleh jalan lahir yang belum
melemas ( pada partus presipitatus ).
 Perdarahan subarachnoid atau Interventrikuler jarang terjadi. Umumnya
terjadi pada bayi-bayi premature akibat belum sempurna berkembangnya
jaringan-jaringan otak.
 Perdarahan epidural. Sangat jarang terjadi karena durameter melekat erat
pada tulang tengkorak bayi.
2) Kecelakaan
Kecelakaan dapat terjadi karena jatuh dari gendongan atau jatuh saat dimandikan.
Kadang-kadang dapat terjadi akibat ketidaktahuan dari wanita yang baru pertama
kali melahirkan anak, misalnya saat melahirkan wanita tersebut merasa ingin
buang air besar.
Partus presipitatus, biasanya bayi lahir bersamanya dengan plasentanya, sehingga
tali pusatnya dalam keadaan utuh; tali pusatnya terlalu panjang sehingga anak
mencapai tanah tanpa menarik plasentanya; dan tali pusatnya terputus maka
ujungnya tidak rata.
3) Pembunuhan
Pada kasus pembunuhan, harus diingat bahwa ibu dalam keadaan panik sehingga
ia akan melakukan tindakan kekerasan yang berlebihan walaupun sebenarnya bayi
tersebut dalam keadaan tidak berdaya dan lemah sekali.
Cara yang tersering dilakukan adalah menimbulkan asfiksia dengan cara
pembekapan, penyumbatan jalan napas, pencekikan dan penenggelaman. Kadang-
kadang bayi dimasukkan ke dalam lemari, koper dan sebagainya.
Pembunuhan dengan melakukan kekerasan tumpul pada kepala jarang dijumpai.
Bila dilakukan cara biasanya dilakukan dengan berulang-berulang meliputi daerah
yang luas hingga menyebabkan patah dan retak pada tulang tengkorak dan memar
jaringan otak. Pembunuhan dengan senjata tajam jarang ditemukan. Pernah
ditemukan tusukan di daerah palatum molle, melalui foramen ovale dan merusak
medulla oblongata. Pembunuhan dengan cara membakar, menyiramkan cairan
panas, memberikan racun dan memutir kepala sangat jarang terjadi.
4) Kematian yang disebabkan sakit
Penyakit yang paling sering menyebabkan kematian adalah malformasi
aneritroblastosis fetalis yang menyebabkan keadaan yang fatal atau mematikan
bayi ketika lahir.
5) Apakah Kematian Berhubungan Dengan Infantisida
Jika tubuh bayi baru lahir ditemukan di tempat-tempat pembuangan sampah, tanpa
ada penjelasan riwayat kematiannya, dalam otopsi akan menunjukkan bahwa bayi
yang dibunuh oleh tindakan kriminal. Tindakan yang paling sering dilakukan
dalam infantisida adalah berbagai tindakan yang menyebabkan asfiksia untuk
menutup tangisan bayi.
Banyak kematian bayi disebabkan pembekapan dengan tenaga atau bentuk yang
menutupi wajah dan menunjukkan tanda-tanda distorsi dan tekanan.
 Infanticide choking disebabkan gumpalan kapas, gulungan kain kasa dan
berbagai macam bahan seperti debu atau bubuk bedak yang disumbatkan
pada tenggorokan yang menutupi laring. Jika benda asing tidak ditemukan
dalam mulut dan jalan napas, cara kematian mungkin akan sulit
dibuktikan.
 Strangulasi, disebabkan umumnya oleh ligasi cekikan leher sering
ditemukan tali pusat pada waktu otopsi. Umumnya tindakan strangulasi ini
dilakukan secara manual.
 Luka tusuk di daerah kapala melalui fontanel, luka tusuk pada jantung,
luka irisan di daerah tenggorokan, kematian ini disebabkan oleh karena
syok atau perdarahan. Pernah ditemukan tusukan di daerah palatum molle
melalui foramen magnum dan merusak medulla oblongata.
 Fraktur tulang tengkorak terjadi akibat benturan berulang yang terjadi
pada kepala ataupun karena bayi dilemparkan dari jendela. Dalam
beberapa kasus, leher bayi patah karena pemuntiran yang dilakukan oleh
ibunya, fraktur iga dan ekstremitas pun kadang-kadang terjadi.

BAB III
KESIMPULAN

1. Infatisida adalah tindakan membunuh yang baru saja dilahirkan oleh ibu kandungnya
sendiri untuk menutupi kehamilan atau kelahirannya.
2. Tindakan infatiside di Indonesia pelaku dijerat oleh pasal 341 KUHP, 342 KUHP, 343
KUHP dan 181 KUHP.
3. Pada pemeriksaan forensic, infantisida dilakukan terhadap korban dan pelaku.
DAFTAR PUSTAKA
1. Budijanto A, dkk. Pembunuhan Anak Sendiri. Ikatan Ahli Patologi Indonesia.
Yayasan AFIAT. Jakarta : 1988
2. Budijanto A, dkk. Ilmu Kedokteran Forensik. Bagian Kedokteran Forensik FKUI.
Jakarta : 1997
3. Staf Pengajar Bagian Ilmu Kedokteran Kehakiman FKUI. Tekhnik Autopsi Forensik.
Bagian Kedokteran Forensik FKUI. Jakarta : 2000
4. Dahlan S. Ilmu Kedokteran Forensik. Badan Penerbit UNDIP. Semarang : 2000
5. Idris A.M. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik edisi I. Binarupa Aksara. Jakarta :
1997
6. Hamzah A. KUHP dan KUHAP edisi Digabung Dalam Satu Buku. Rineka Cipta.
Jakarta : 1992
7. Knight B. Forensic Pathology. Oxford University Press inc. United States Of America
: 1996
8. Anonim. Pembunuhan Anak Sendiri dan Pengguguran Kandungan.
http://www.freewebs.com : 2006
9. Ranson DL. Craniofacial Identification in Forensic Medicine. Oxford University
Press inc. New York : 1997
10. Indriati E. Antropologi Forensik. Gajah Mada University Press. Yogyakarta : 2002
11. Shepherd R. Simpson’s Forensic Medicine 12th edition
VI. MEDIA PEMBELAJARAN
- LCD

VII. DAFTAR TUGAS


- Reparat

VIII. KISI-KISI TES DAN TES

Nama Dosen : dr. Abdul Gafar Parinduri. MKed (For). SpF


Bagian : Forensik

Skenario Kasus
Sesosok mayat bayi baru lahir ditemukan di suatu tempat sampah. Masyarakat
melaporkannya kepada polisi. Mereka juga melaporkan bahwa semalam melihat
seorang perempuan yang menghentikan mobilnya didekat sampah tersebut dan berada
di sana cukup lama.
Silahkan interpretasi skenario diatas:
SOAL
1Yang bukan termasuk. Undang-undang pembunuhan anak sendiri adalah
a KUHP pasal 181
b KUHP pasal 341
c KUHP pasal 342
d. KUHP pasal 347

2. Yang Tidak Termasuk Pemeriksaan Penunjang pada kasus Infantisida adalah


a. UJI Mikroskopik Paru
b. Uji Apung Paru
c. Uji Telinga Tengah
d. Uji Apung Lambung-Usus

3.Yang bukan Penyebab kematian yang tersering pada pembunuhan anak sendiri adalah
a. Trauma lahir
b. kecelakaan bayi terjatuh
c. Trauma Kemis
d. Pembunuhan

4. Seorang ibu yang karena takut akan ketahuan akan melahirkan anak, pada saat anak
dilahirkan atau tidak lama kemudian, dengan sengaja merampas nyawa anaknya, diancam
karena membunuh anak sendiri dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Pernyataan di atas termasuk kedalam pasal
a. Berdasarkan KUHP pasal 341
b. Berdasarkan KUHP Pasal 342
c. Berdasarkan KUHP pasal 181
d. Berdasarkan KUHP Pasal 343

5. “Seorang ibu yang untuk melaksanakan niat yang ditentukan karena takut akan ketahuan
bahwa ia akan melahirkan, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian merampas
nyawa anaknya, diancam karena melakukan pembunuhan anak sendiri dengan rencana,
dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
”. Pernyataan ini termasuk dalam pasal
a. Berdasarkan KUHP pasal 341
b.Berdasarkan KUHP Pasal 342
c. Berdasarkan KUHP pasal 343
d. Berdasarkan KUHP Pasal 181

6. ‘’Barang siapa mengubur, menyembunyikan, mengangkat, atau menghilangkan mayat,


dengan maksud hendak menyembunyikan kematian dan kelahiran orang itu, dihukum penjara
selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya empat ratus ribu lima ratus
rupiah’’ Pernyataan ini termasuk dalam pasal‘’
a. . Berdasarkan KUHP pasal 341
b. Berdasarkan KUHP pasal 343
c. Berdasarkan KUHP Pasal 181
d. Berdasarkan KUHP pasal 342
7. Bila menemukan mayat bayi di tempat yang tidak semestinya, misalnya tempat
sampah, got, sungai dan sebagainya, maka bayi tersebut kemungkinan yang salah
adalah

a. Korban pembunuhan anak sendiri pasal 341, pasal 342


b. Pembunuhan pasal 338, pasal 339, pasal 340, pasal 343
c. Lahir mati kemudian dibuang pasal 179
d. Bayi yang ditelantarkan sampai mati (pasal 308)

JAWABAN
1. D
2. A
3. C
4. A
5. B
6. C
7. C

Anda mungkin juga menyukai