1. IDENTITAS
Mata kuliah : Block Obstetric
Semester : Ganjil
Beban Studi : 2 SKS
Pertemuan : I (1x50’)
Pokok bahasan : Medical forensics : Pembunuhan Anak Sendiri
Sub pokok bahasan : 1. Definisi infanticide
2. Undang-undang pembunuhan anak
3. Pemeriksaan kedokteran forensik
4. Pemeriksaan penunjang
TIK 6 TIK 7
TIK 2
TIK 1
3. URAIAN MATERI
Pada pertemuan ini akan dijelaskan kepada mahasiswa tentang langkah-langkah survey
skunder pada kasus-kasus hanging, strangulation, drowning secara benar, sistematis,
dan lengkap.
4. STRATEGI PEMBELAJARAN MIKRO
N Tahap Learning Rovolution
o Pembelaj Interaksi Belajar Metode Media Evalu Alok Atribut
aran Mengajar pembelaj pembelaj asi asi Soft Skill/ Sum
aran aran Belaj Wak Karakter ber
ar tu Belaj
Dosen Mahasisw ar
a
1. Pendahulu Memberi Menjawab Ceramah Media Tidak 5’ - Mampu 1,2,3
an salam, salam, tatap persentase ada berkom
memipin Berdo’a muka (Power unikasi
do’a bersama Point), efektif
pembuka Laptop, - Memilik
majelis dan LCD i
memperken Proyektor, landasan
alkan diri pengeras ilmiah
Memberika Mendengar suara kedokter
n apresiasi kan an yang
kepada baik
mahasiswa - Mampu
yang telah melakuk
hadir tepat an
waktu untuk pengelol
mengikuti aan
perkuliahan masalah
Menyampai Mendengar Ilmu
kan kan Kedokte
penjelasan ran
tentang TIU Forensik
dan TIK dan
mata kuliah Medikol
Menjelaska Mendengar egal,
n deskripsi kan - Mawas
singkat diri dan
mata kuliah pengem
Menjelaska Mendengar bangan
n relevansi kan diri
mata kuliah
saat ini
dengan
mata kuliah
pertemuan I
Melakukan Merespon
flashback pertanyaan
singkat
terhadap
apa yang
telah
dibahas
pada
pertemuan I
2. Penyajian Menjelaska Mendengar Ceramah Media Soal 40’ - Mampu
n tentang kan, tatap persentase ujian berkom
: menjawab muka, (Power modul unikasi
pertanyaan diskusi Point), dan efektif
Pembuatan
, bertanya contoh Laptop, ujian pada
Visum kasus, LCD blok anggota
et role play Proyektor, pada tim dan
Repertu pengeras akhir keluarga
m suara blok pasien
- Mampu
melakuk
an
langkah-
langkah
survey
primer
pada
kasus
Ilmu
Kedokte
ran
Forensik
dan
Medikol
egal,
dengan
benar
- Memilik
i
landasan
ilmiah
kedokter
an yang
baik
- Memilik
i
kebiasaa
n untuk
berani
bertanya
dan
berdisku
si secara
ilmiah
- Mampu
melakuk
an
pengelol
aan
masalah
trauma
- Mawas
diri dan
pengem
bangan
diri
3. Penutup - Membu Mendengar Ceramah Media Soal 5’ - Mampu
at kan, tatap persentase ujian berkom
kesimp memberi muka, (Power modul unikasi
ulan tanggapan, diskusi Point), dan efektif
dari bertanya, Laptop, ujian - Memilik
materi berdo’a LCD blok i
yang bersama Proyektor, pada landasan
disamp pengeras akhir ilmiah
aikan. suara blok kedokter
- Membu an yang
ka sesi baik
diskusi - Memilik
tambah i
an kebiasaa
- Memint n untuk
a berani
tanggap bertanya
an dari dan
1 atau 2 berdisku
orang si secara
mahasis ilmiah
wa - Mawas
- Menjel diri dan
askan pengem
kelanjut bangan
an diri
materi
ini pada
praktik
keteram
pilan
klinik
dasar
(KKD)
- Memim
pin
do’a
penutup
majelis
1. Materi / Bahan Perkuliahan
1. Muin A.Idris,Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik, Edisi pertama,Binarupa
Aksara,1997,Hal 216-241
2. Idris AM, Tjiptomartono Agung Legowo. Penerapan Imu Kedokteran Forensik
Dalam Proses Penyidikan. Edisi revisi. Jakarta. 2008. Hal : 113- 132.
3. Muda.Ahmad A.K, kamus lengkap bahasa Indonesia, penerbit reality publisher,
cetakan pertama tahun 2006, Hal 141,511,539.
4. Hamdani Njowito. Ilmu Kedokteran kehakiman. Edisi kedua. Jakarta.1972. Hal : 174-
186.
5. KUHPer, KUHP, KUHAP. Jakarta. 2008
6. Budianto A. Widiatmika W. Sudiono S. Winardi T. Ilmu Kedokteran Forensik. FK-
UI. Jakarta. 1997. Hal : 147- 158.
7. Chada. Alih bahasa Hutauruk Johan. Ilmu Forensik Dan Toksikologi. Edisi V. 1995.
Hal : 150- 157.
8. Taber ben- zion. Kapita Selekta kedaruratan Obstetri dan Ginekologi. EGc. Jakarta.
Hal : 394- 400.
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Banyak negara yang menganut bahwa pembunuhan anak sendiri (Infanticide)
bukanlah tindakan kriminal, tetapi merupakan tindakan akibat tuntutan sosial ekonomi. Di
Inggris dan Wales sejak tahun 1922, infantisida tidak dimasukkan ke dalam undang-undang
kriminalitas. Di Indonesia, infantisida juga memiliki kekhususan dalam penanganan hukum,
dimana pembunuhan ini tidak dikategorikan ke dalam aturan pembunuhan yang bersifat
umum (pasal 338 dan 340 KUHP). Pembunuhan bayi oleh ibu kandungnya ini didasarkan
atas motif takut ketahuan melahirkan anak, baik itu dilakukan tanpa rencana sebelumnya
(Kinderdoodslag) ataupun direncanakan (Kindermood). Motif ini dikaitkan dengan kultur
dalam masyarakat Indonesia yang masih tabu dan merupakan aib yang besar jika melahirkan
tanpa suami.8
Saat ini ada kecenderungan kejadian infantisida yang meningkat yang dipicu oleh
berbagai faktor. Perilaku seks bebas yang berkembang dikalangan masyarakat Indonesia yang
menghasilkan anak yang tidak sah mendorong ibu untuk membunuh bayinya demi menjaga
kehormatan dan harga dirinya. Keterpurukan ekonomi negara yang menyebabkan angka
penduduk miskin meningkat tajam turut menjadi pemicu kejadian ini.8
Oleh karena itu kita sebagai praktisi kesehatan yang akan terjun ke masyarakat sangat
mungkin sekali dimintai tolong oleh aparat penegak hukum untuk melakukan pemeriksaan
yang berkaitan dengan infantisida.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI2
Berdasarkan hukum di Indonesia, infantisida adalah pembunuhan yang dilakukan oleh
seorang ibu terhadap anak kandungnya, pada saat anak itu dilahirkan atau tidak lama
kemudian, karena takut akan ketahuan bahwa ia melahirkan anak.
Menurut definisi WHO, bayi dinyatakan lahir hidup bila pada saat seluruh tubuhnya
dilahirkan, ia bernafas atau menunjukkan salah satu tanda kehidupan lain, seperti denyut atau
detak jantung, denyut nadi ahli pusat atau gerakan involunter (otot rangka).
Dasar Hukum
Berikut ini adalah beberapa pasal dalam KUHP (Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana) yang dapat digunakan dalam kasus infantisida untuk menjerat pelaku,
yaitu:
KUHP pasal 181
Barang siapa mengubur, menyembunyikan, mengangkat, atau menghilangkan
mayat, dengan maksud hendak menyembunyikan kematian dan kelahiran orang itu,
dihukum penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya
empat ratus ribu lima ratus rupiah.
KUHP pasal 341
Seorang ibu yang karena takut akan ketahuan akan melahirkan anak, pada saat
anak dilahirkan atau tidak lama kemudian, dengan sengaja merampas nyawa anaknya,
diancam karena membunuh anak sendiri dengan pidana penjara paling lama tujuh
tahun.
KUHP pasal 342
Seorang ibu yang untuk melaksanakan niat yang ditentukan karena takut akan
ketahuan bahwa ia akan melahirkan, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama
kemudian merampas nyawa anaknya, diancam karena melakukan pembunuhan anak
sendiri dengan rencana, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
KUHP pasal 343
Bagi orang lain yang turut serta dalam kejahatan yang diterangkan dalam pasal
341 dan 342 dianggap sebagai pembunuhan atau pembunuhan yang direncanakan.
Berdasarkan pasal-pasal tersebut di atas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) diperoleh batasan infantisida adalah sebagai berikut:
1. Ibu: hanya ibu kandung yang dapat dihukum karena melakukan pembunuhan anak
sendiri, tidak dipersoalkan apakah ia kawin atau tidak. Sedangkan bagi orang lain
yang melakukan atau turut membunuh anak tersebut dihukum karena pembunuhan
atau pembunuhan berencana dengan hukuman yang lebih berat yaitu penjara 15
tahun ( pasal 338: tanpa rencana) atau 20 tahun, seumur hidup atau hukuman mati
(pasal 339 dan pasal 340)
2. Waktu: dalam undang-undang tidak disebutkan batasan waktu yang tepat, tetapi
hanya dinyatakan “pada saat dilahirkan atau tidak lama kemudian. Sehingga boleh
dianggap pada saat belum timbul rasa kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya.
Bila rasa kasih sayang sudah timbul maka ibu tersebut akan merawat dan bukan
membunuh anaknya.
3. Psikis: ibu membunuh anaknya karena terdorong oleh rasa ketakutan akan
diketahui oleh orang telah melahirkan anak itu, biasanya anak yang dibunuh
tersebut didapat dari hubungan yang tidak sah.
Bila menemukan mayat bayi di tempat yang tidak semestinya, misalnya tempat
sampah, got, sungai dan sebagainya, maka bayi tersebut kemungkinannya adalah :
1. Korban pembunuhan anak sendiri (pasal 341, pasal 342)
2. Pembunuhan (pasal 338, pasal 339, pasal 340, pasal 343)
3. Lahir mati kemudian dibuang (pasal 181)
4. Bayi yang ditelantarkan sampai mati (pasal 308)
c. Pemeriksaan RFLP
RFLP ( Retriction Fragment Length Polymorphisms ) adalah suatu polimorfisme
DNA yang terjadi akibat adanya variasi panjang fragmen DNA setelah dipotong
dengan enzim restriksi tertentu. Adanya mutasi tertentu pada lokasi pemotongan dapat
membuat DNA yang biasanya dapat fragmen DNA yang lebih panjang. Variasi inilah
yang menjadi dasar metode analisis RFLP.
d. Metode PCR
Metode PCR ( Polymerase Chain Reaction ) adalah suatu metode untuk
memperbanyak fragmen DNA tertentu secara in vitro dengan menggunakan enzim
polymerase DNA. Siklus proses PCR terdiri dari fase denaturasi, fase penempelan
primer dan fase ekstensi atau elongasi. Proses ini diawali dengan pemanasan pada
suhu tinggi 90 – 950 C ( fase denaturasi ). Pada suhu tinggi DNA untai ganda terlepas
menjadi DNA untai tunggal. Proses ini dilanjutkan dengan pendinginan pada suhu
tertentu ( fase penempelan primer/primerannealing ) yang dihitung dengan rumus
Thein dan Wallace; Suhu = 4(G+C) + 2(A+T).
G, C, T dan A adalah jumlah basa Guanine, Sitosin, Timin dan Adenin pada primer
yang digunakan. Pada fase ini primer akan menempel pada basa komplemennya pada
DNA untai tunggal tadi. Selanjutnya, siklus diakhiri dengan pemanasan kembali
antara 70 -750 C ( Fase ekstensi/elongasi), yang akan membuat primer
memperpanjang diri membentuk komplemen dari untai tunggal dengan menggunakan
bahan dNTP.
Pemeriksaan dengan metode PCR hanya dimungkinkan jika bagian DNA yang ingin
diperbanyak telah diketahui urutan basanya. Tahapan selanjutnya adalah menentukan
dan menyiapkan primer yang merupakan komplemen dari basa pada ujung – ujung
bagian yang akan diperbanyak. Pemeriksaan PCR ini sendiri merupakan suatu proses
pencampuran antara DNA cetakan ( Template ) yang akan diperbanyak, dNTP,
primer, enzim polymerase DNA, dan larutan buffer dalam reaksi 50ul atau 100ul.
Campuran ini dipaparkan pada tiga suhu secara berulang sebanyak n-buah siklus
( biasanya di bawah 35 siklus ).
Adanya mesin otomatis ( Thermal Cycler ) untuk proses ini membuat prosedurnya
menjadi amat sederhana. DNA hasil perbanyakan dapat langsung dianalisa dengan
melakukan elektroforesis pada gel agarose atau gel poliakrilamide.
Lokus DNA yang dapat dianalisis dengan metode PCR, meliputi banyak sekali lokus
VNTR maupun RFLP lainnya, diantaranya lokus D1S58 ( dulu disebut D1S80 ) dan
D2S44. Metode analisis dengan PCR ini begitu banyak disukai sehingga penemuan –
penemuan lokus DNA polimorfik yang potensial untuk analisis kasus forensik terus
terjadi tanpa henti setiap saat.
Kelebihan PCR adalah dapat menganalisis bahan yang sudah berdegradasi sebagian.
Hal ini penting karena banyak dari sampel forensik merupakan sampel postmortem
yang tidak segar lagi.2
2. Pemeriksaan Terhadap Korban
Tanda – tanda yang dicari dalam pemeriksaan autopsi forensik terhadap bayi baru
lahir ditujukan untuk memperoleh kejelasan mengenai :
a. Apakah bayi dilahirkan mati ( still-birth ) atau dilahirkan hidup ( life-birth )
b. Bila terbukti lahir hidup, berapa jam atau hari umur bayi tersebut ( umur setelah
dilahirkan )
c. Apakah bayi sudah atau belum bernafas
d. Umur bayi dalam kandungan, premature, matur atau postmatur
e. Apakah bayi tersebut viable atau non-viable
f. Apakah terdapat tanda – tanda perawatan atau tidak
g. Apakah kematian berhubungan dengan infantisida
h. Apakah ada tanda – tanda kekerasan atau tidak
i. Bila terbukti lahir hidup, apakah penyebab kematiannya. Bila terbukti lahir mati,
apakah sebab kelahiran matinya.1
Autopsi Janin
Autopsi Rongga Kepala Janin
Pada pemeriksaan bayi baru lahir, perlu dilakukan pemeriksaan teliti terhadap
kepala, mengingat kepala bayi yang dapat mengalami moulase pada saat kelahiran, mungkin
dapat menimbulkan cedera pada sinus – sinus di kepala. Untuk meneliti hal ini, kepala bayi
harus dibuka dengan tekhnik khusus yang menghindari terpotongnya sinus – sinus tersebut
sehingga dinilai dengan sebaik – baiknya.
Kulit kepala dibuka dan dikupas seperti pada mayat dewasa. Tulang tengkorak
bayi baru lahir masih lunak sehingga pembukaan tengkorak dapat dilakukan dengan gunting.
Untuk menghindari terpotongnya sinus sagitalis superior, gunting os parietal
pada jarak 0,5 sampai 1 cm lateral dari garis median, dimulai pada daerah fontanela besar ke
arah belakang sampai bagian posterior os parietal tersebut untuk kemudian membelok ke arah
lateral. Di depan, pengguntingan dilanjutkan ke arah os frontalis yang pada jarak 1 – 2
sentimeter dari lipatan kulit, membelok ke arah lateral. Dengan demikian, pada garis median
sinus sagitalis tetap utuh. Os parietalis kanan dan kiri kini dapat dibuka ke arah lateral.
Dengan menarik baga otak besar ke arah lateral, sinus sagitalis superior, falks cerebri dan
sinus sagitalis inferior dapat diperiksa akan adanya robekan, resapan darah maupun
perdarahan. Dengan menarik baga oksipitalis ke arah kranio lateral, tentorium serebelli serta
sinus lateralis, sinus oksipitalis dapat diperiksa.
Otak bayi kemudian dapat dikeluarkan dengan cara pertama – pertama
memasukkan tangan kiri di garis pertengahan daerah frontal, antara baga otak dan tulang
tengkorak. Dengan sedikit menekan baga frontal, akan tampak falks serebri yang dapat
dipotong atau digunting sampai dasar tengkorak. Kedua jari tangan kiri tersebut kemudian
dapat sedikit mengangkat baga frontal dan memperlihatkan nn.olfaktorius, nn.opticus, yang
kemudian dipotong sedekat mungkin dengan tengkorak. Pemotongan lebih lanjut dapat
dilakukan pada aa.karotis interna yang memasuki otak, serta saraf-saraf otak yang keluar
pada dasar otak. Dengan memiringkan kepala mayat ke salah satu sisi, serta jari-jari tangan
kiri sedikit menarik atau mengangkat baga pelipis (temporalis) sisi lain, tentorium serebelli
akan jelas tampak dan mudah dipotong, dimulai dari foramen magnum kearah lateral
menyusuri tepi belakang tulang karang (os.petrosum). Dengan cara yang sama tentorium
serebelli sisi lainnya juga dipotong. Kemudian kepala dikembalikan ke posisi semula dan
batang otak dapat dipotong melintang dengan memasukkan pisau sejauh-jauhnya dalam
foramen magnum. Dengan tangan kiri menyanggah baga oksipital, dua jari tangan kanan
dapat ditempatkan di sisi kanan dan kiri batang otak yang telah terpotong, untuk kemudian
menarik bagian bawah otak ini dengan gerakan memutar hingga keluar dari rongga
tengkorak. Setelah otak dikeluarkan, duramater yang melekat pada dasar tengkorak harus
dilepaskan dari dasarnya, agar dapat diperhatikan kelainan dasar tengkorak.
Jaringan otak bayi baru lahir biasanya lunak dari jaringan otak dewasa. Untuk
dapat melakukan pengirisan dengan baik, kadang-kadang perlu dilakukan fiksasi
jaringan otak tersebut dengan formalin 10%, baik dengan merendam otak tersebut
ataupun melakukan penyuntikan imbibisi.
Autopsi Organ-organ Dalam
Teknik yang digunakan untuk pemeriksaan organ dalam adalah modifikasi
dari teknik Letulle dan teknik Ghon. Setelah rongga tubuh dibuka organ-organ
diambil dan dipisahkan menjadi 2 blok, yaitu: organ leher dan dada menjadi 1 blok,
usus-usus diangkat mulai dari perbatasan duodenojejunal sampai perbatasan
rektosigmoid, dan organ-organ perut serta organ urogenital menjadi 1 blok.
Teknik insisi menggunakan teknik irisan 1. Insisi kulit dilakukan mengikuti
garis pertengahan badan mulai dari bawah dagu diteruskan kearah umbilicus dan
melingkari umbilicus di sisi kiri dan seterusnya kembali mengikuti garis pertengahan
badan sampai daerah simfisis pubis. Pada daerah leher insisi hanya mencapai
kedalaman setebal kulit saja. Pada daerah dada insisi kulit mencapai kedalaman
permukaan depan tulang dada atau sternum. Insisi pada dinding perut biasanya
dimulai pada daerah epigastrium dengan membuat irisan pendek yang menembus
sampai ke peritoneum. Dengan jari telunjuk dan jari tengah tangan kiri yang
dimasukkan ke dalam lubang insisi ini maka dinding perut dapat ditarik atau diangkat
ke atas. Pisau diselipkan di antara dua jari tersebut dan insisi dapat sampai simfisis
pubis.
Dinding dada dilepaskan dengan memulai irisan otot-otot sepanjang arkus
costae. Pelepasan dinding dada dilakukan terus kearah dada sampai daerah tulang
selangka dan ke samping sampai garis ketiak depan. Kemudian otot-otot pektorales
dibebaskan dari dinding dada sehingga kelainan-kelainan pada dinding dada seperti
resapan darah, patah tulang maupun luka terbuka dapat ditemukan. Kulit daerah leher
dilepaskan dari otot-otot leher yang berada di bawahnya sehingga dapat diperhatikan
apakah ada tanda-tanda kekerasan dan kelainan lainnya.
Pada dinding perut diperhatikan keadaan lemak bawah kulit serta otot-otot
dinding perut, catat tebal masing-masing serta luka-luka bila terdapat. Rongga perut
diperiksa dengan mula-mula memperhatikan keadaan organ-organ perut secara
umum. Bagaimana penyebaran tirai usus atau omentum, apakah menutupi seluruh
usus-usus kecil, ataukah mengumpul pada satu tempat akibat adanya kelainan
setempat. Periksa keadaan usus-usus apakah ada kelainan berupa volvulus,
intussusepsi, infark, tanda-tanda kekerasan lainnya. Bila mayat telah mengalami
operasi sebelumnya, perhatikan pula bagian/alat-alat perut yang mengalami
penjahitan, reseksi, dan tindakan-tindakan lainnya. Perhatikan adakah cairan dalam
rongga perut, dan bila terdapat, catat sifat dari cairan, serous, purulen, darah, atau
cairan keruh. Dinding perut sebelah dalam diperhatikan keadaan selaput lendirnya.
Pada selaput lendir normal tampak licin dan halus berwarna kelabu mengkilat. Pada
kelainan peritonitis, akan tampak selaput lendir yang tidak rata, keruh, dengan fibrin
yang melekat.
Tentukan pula letak sekat rongga badan (diafragma), dengan membandingkan tinggi
diafragma dengan iga-iga di garis pertengahan selangka (midclavicular line). Rongga dada
dibuka dengan jalan mengiris rawan-rawan iga pada tempat setengah sampai satu sentimeter
medial dari batas rawan-tulang masing-masing iga. Dengan bagian perut pisau dan bidang
pisau (knife blade) yang diletakkan tegak lurus, rawan iga dipotong mulai dari iga kedua
terus kearah kaudal. Pemotongan ini dapat dilakukan dengan mudah pada mayat yang masih
muda karena bagian rawan belum mengalami penulangan. Dengan tangan kanan memegang
gagang pisau dan telapak tangan kiri menekan punggung pisau, pisau digerakkan memotong
rawan iga-iga tersebut mulai dari iga kedua sampai daerah arkus kosta. Lakukan hal yang
sama pada sisi tubuh yang lain. Dengan memotong insersi otot-otot diafragma yang melekat
pada dinding dada bagian depan sebelah bawah, perlekatan sternum dengan pericardium
dapat dilepaskan.
Iga pertama dipotong dengan meneruskan irisan pada iga kedua ke arah kranio-lateral,
dengan demikian, irisan dihindarkan dari mengenai manubrium sterni yang keras. Setelah
rawan iga pertama terpotong, pisau dapat diteruskan kearah medial menyusuri tepi bawah
tulang selangka untuk mencapai sendi antara tulang selangka dan tulang dada (articulatio
sterno-clavicularis) dan memotongnya. Bila ini telah dilakukan pada kedua sisi, maka bagian
depan dinding dada telah dapat dilepaskan.
Perhatikan pertama-tama letak paru-paru terhadap kandung jantung, dapat
mengetahui keadaan pengembangan paru-paru. Untuk pemeriksaan lebih lanjut, alat-
alat leher akan dikeluarkan bersama-sama dengan alat-alat rongga dada. Usus halus
mulai dari jejunum sampai rectum dilepaskan tersendiri kemudian alat-alat dalam
rongga perut dikeluarkan bersama-sama dengan alat-alat dalam rongga panggul.
Pengeluaran alat-alat leher dimulai dengan melakukan pengirisan insersi otot-
otot dasar mulut. Lepaskan esophagus bagian kaudal dari jaringan ikat sekitarnya dan
buatlah dua ikatan di atas diafragma. Esophagus digunting di antara kedua ikatan
tersebut.
Usus-usus dilepaskan dengan pertama-tama melakukan dua ikatan pada awal
jejunum, dekat dengan tempat menembusnya duodenum dari arah retroperitoneal.
Pengguntingan dilakukan di antara dua ikatan yang dibuat, agar isi duodenum tidak
tercecer. Dengan tangan kiri memegang pada ujung distal dan mengangkatnya, maka
mesenterium yang melekatkan usus dengan rongga perut dapat diiris dekat dengan
rongga usus. Pengirisan dilakukan sepanjang usus halus sampai daerah ileum
terminalis. Pada daerah caecum pengirisan dilakukan terhadap mesokolon, dengan
memotong daerah mesokolon pada bagian lateral dari kolon ascendens. Pada daerah
kolon transversum, lepaskan daerah perlekatan antara kolon dan lambung. Mesokolon
kembali diiris di sebelah lateral dari kolon descendens dengan memisahkannya dari
limpa dan ginjal kiri. Kolon sigmoid dapat dilepaskan dari dinding rongga perut
dengan memotong mesokolon di bagian belakangnya. Rectum dipegang dengan
tangan kanan, mulai dari bagian distal dan mengurutnya ke arah proksimal, agar isi
rectum dipindahkan ke arah kolon sigmoid dan rektum dapat diikat dengan dua
ikatan, untuk kemudian diputus di antara dua ikatan tersebut. Sambil melakukan
pelepasan usus halus dan usus besar dapat dilakukan sepanjang usus untuk
menemukan kelainan.
Untuk melepaskan alat-alat rongga perut dan panggul irisan dimulai dengan
memotong diafragma dekat pada insersinya pada dinding rongga badan. Alat rongga
panggul dilepaskan dengan terlebih dahulu melepas peritonium di daerah simfisis dan
kandung kencing serta alat lain dapat dipegang dengan tangan kiri sampai ke arah
belakang bersama rektum. Kemudian seluruh alat rongga panggul dilepaskan dengan
perlekatan dengan sekitarnya dan diangkat bersama-sama dengan alat rongga perut
yang telah dilepaskan terlebih dahulu.
Pemeriksaan Penunjang pada kasus Infantisida
1. Uji Apung Paru1,11
Uji ini harus dilakukan dengan teknik tanpa sentuh (no touch technique) paru-paru
tidak disentuh untuk menghindari kemungkinan timbulnya artefak pada sediaan
histopatologik jaringan paru akibat manipulasi berlebihan.1
Pada uji apung paru (hydrostatic test, docimacia pulmonum hydrostatica) bukan bobot
jenis (docimacia) paru yang ditentukan tetapi perbedaan yang terdapat antara berat jenis paru
yang belum mengalami aerasi (1,040-1,056) dan berat jenis paru yang sudah mengalami
aerasi (0,940). Yang pertama tenggelam dalam air, sedangkan yang kedua mengapung. Uji
tersebut dapat dibuat menjadi lebih sensitive dengan menggunakan larutan garam dapur
(NaCl), 60 gram dalam 1 liter air. Bobot jenis larutan garam itu adalah kira-kira 1,040 yang
kira-kira sama dengan bobot jenis terendah dari paru-paru yang belum mengalami aerasi dan
jauh lebih besar dari bobot jenis paru-paru yang sudah mengalami aerasi.1
Pada uji apung paru yang klasik diuji kedua paru dan setelah itu jaringan paru yang
tersisa diambil untuk pemeriksaan histologik. Namun mengingat bahwa manipulasi yang
berkaitan dengan uji apung itu dapat menimbulkan kerusakan/artefak pada jaringan paru dan
berpedoman pada pendapat Osborn dan Polson bahwa pemeriksaan histologik lebih superior
dibandingkan dengan uji apung paru, maka sebaiknya cara klasik itu diubah sedikit. Bila
mayat masih segar dan kita ingin memeriksa ada tidaknya sel-sel epitel inisial, maka paru
harus difiksasi dalam larutan Zenker-Formol.1
Semua organ leher dan dada dikeluarkan dari tubuh lalu dimasukkan ke dalam air dan
dilihat apakah mengapung atau tenggelam. Kemudian paru-paru kiri dan kanan dilepaskan
dan dimasukkan kembali ke dalam air, dan dilihat apakah mengapung atau tenggelam.
Setelah itu tiap lobus dipisahkan dan dimasukkan ke dalam air dan dilihat apakah mengapung
atau tenggelam. Setelah itu diambil 5 potong kecil dari bagian perifer jaringan paru dengan
besar kira-kira 1x1x1/2 cm dari bagian permukaan masing-masing lobus dan potongan-
potongan itu diuji. Apabila semua potongan tenggelam, maka hasil uji apung paru adalah
negative.2
Hingga tahap ini, paru bayi yang lahir mati masih dapat mengapung oleh karena
kemungkinan adanya gas pembusukan. Bila potongan kecil itu mengapung, letakkan diantara
dua helai kertas manila atau karton dan ditekan (dengan arah tekanan yang tegak lurus jangan
bergeser ataupun ditekan secara digeser) atau diletakkan di lantai dan dibawah sepatu
pemeriksa dan ditekan dengan cara berdiri di atasnya (dengan telapak kaki). Kaki itu jangan
digerak-gerakkan atau kaki lainnya jangan diangkat dari lantai agar tekanannya tidak menjadi
berlebihan dan jaringan paru tidak menjadi rusak (dinding alveoli pecah).2
Cara lain adalah dengan meletakkan di meja dan ditekan dengan pisau berdaun lebar
seperti pisau untuk mengiris otak (brain knife). Setelah dilakukan penekanan uji kembali.
Apabila semua potongan tetap mengapung maka hasil uji apung paru adalah positif dan
kesimpulan bayi pasti telah bernapas. Sebaliknya, jika semua tenggelam, maka hasil uji
apung adalah negative dan dibuat kesimpulan kemungkinan bayi belum bernapas. Sedangkan
bila beberapa potong paru tetap mengapung dan beberapa potong lainnya melayang dalam
air, untuk kemudian lambat-lambat tenggelam, maka hasil uji apung paru adalah positif
sebagian dan ini sudah merupakan bukti bahwa bayi telah bernapas (lahir hidup).1
Penekanan tersebut bertujuan untuk menyingkirkan gas pembusukan yang
terdapat dalam jaringan interstitial paru-paru yang membusuk. Gas pembusukan ini
membuat paru-paru bayi yang belum pernah bernapas sekalipun akan mengapung
dalam air. Oleh karena itu, setelah penekanan jaringan paru dimasukkan kembali ke
dalam air dan diamati apakah masih mengapung atau tenggelam. Bila masih
mengapung berarti alveoli paru tersebut berisi udara residu yang tidak akan keluar,
berarti bayi tersebut pernah bernapas. Tetapi bila paru tersebut sudah membusuk
sekali, alveoli sudah pecah atau menjadi pecah pada penekanan, maka residual air
tersingkirkan pula dan jaringan paru akan tenggelam. Dengan demikian bayi yang
telah bernapas dapat dinilai sebagai yang belum bernapas setelah dilahirkan. Hal ini
merupakan salah satu alasan mengapa pada hasil uji apung paru yang negative tidak
dapat kesimpulan bahwa bayi pasti belum bernapas.1
Uji apung ini memberikan hasil yang bermakna bila semua organ thoraks
secara bersamaan dimasukkan ke dalam air dan mengapung. Jika hanya paru saja,
tidak terlalu bermakna.4
Menurut Prof. Polson, tes apung paru tidak valid untuk menentukan apakah
janin lahir hidup atau mati, dia menyatakan bahwa di tahun 1990an ketika teori tes
apung paru baru muncul, hal ini tidak didasari oleh suatu pembicaraan yang jelas dan
saat ini teori tersebut terbukti tidak dapat digunakan lagi. Beberapa kelemahan dari tes
apung paru menurut Palson antara lain: jika sudah terjadi pembusukan pada janin
maka akan menghasilkan positif palsu pada tes apung paru karena adanya gas
pembusukan pada jaringan paru, selain itu udara di dalam alveoli dapat juga masuk
karena adanya pernapasan pasif (resusitasi), dengan demikian maka pada tes apung
paru, paru-paru dapat mengapung meskipun bayi lahir mati. 7,11
2. Uji Telinga Tengah1
Dasar dari uji telinga tengah (middle ear test) Wreden-Wendt adalah bahwa bila bayi
bernapas waktu dilahirkan, maka ia dapat mengadakan gerakan menelan yang mengakibatkan
tuba eudativa Eustachii terbuka ( karena aktivitas musculus tensor eta levator veli palatine )
dan udara masuk ke dalam rongga telinga tengah.
Uji ini dilakukan sebagai berikut: dengan gunting yang kuat atau pahat kecil tegmen
timpani dibuka di bawah permukaan air, dan diperhatikan apakah keluar gelembung-
gelembung dari telinga tengah (hasil positif) atau tidak (hasil negatif). Kedua telinga tengah
diuji. Usahakan tidak terdapat gelembung dari dalam air.
Hasil negatif belum tentu bayi belum bernapas, karena bayi mungkin tidak menelan
udara walaupun ia bernapas pada waktu dilahirkan. Debilitis vitae dapat menyebabkan bayi
tidak mampu untuk mengadakan gerakan menelan yang aktif. Kegunaan uji telinga tengah
adalah pada kasus mutilasi mayat bayi baru lahir, bila yang ditemukan kepalanya.
3. Uji Apung Lambung-Usus1
Bila bayi sudah bernapas, maka lambung dan usus mengapung dalam air (hasil
positif) karena berisi udara yang tertelan, sedangkan bila belum bernafas lambung dan usus
tenggelam dalam air (hasil negatif).
Uji ini atau uji Breslau dilakukan sebagai berikut : duodenum didekat pilorus, usus
halus di daerah vulva Bauhini dan usus besar di daerah rekto-sigmoid diikat tali rami
Esophagus telah diikat di atas diafragma dan telah diputuskan di atas ikatan pada waktu alat-
alat dada dikeluarkan. Seluruh saluran cerna dikeluarkan dari rongga perut dan kemudian
diletakkan dalam air serta diperhatikan apakah seluruhnya mengapung atau tenggelam. Bila
tidak seluruhnya, maka diperhatikan bagian mana saja yang tidak mengapung.
Cara lain: masing-masing bagian saluran cerna diuji secara tersendiri. Pada
tempat-tempat tersebut dibuat dua ikatan dan masing-masing bagian diuji dengan
meletakkannya dalam air.
Pada bayi yang sudah bernapas, dan meninggal tidak lama kemudian dapat
ditemukan lambung yang mengapung dalam air, kadang-kadang bersama dengan
duodenum. Bila terdapat pada lambung atau duodenum berarti hidup beberapa saat,
dalam usus halus berarti telah hidup 1-2 jam, bila dalam usus besar telah hidup 5-6
jam dan bila telah terdapat dalam rektum berarti telah hidup 12 jam. Pernapasan
buatan dengan menggunakan alat pada bayi lahir mati dan pada bayi lahir hidup tetapi
tidak bernapas (apneu atau asfiksi) dapat menyebabkan lambung dan usus halus atau
seluruh saluran cerna berisi gas pembusukan, maka tidak ada gunanya menggunakan
uji Breslau ini.
Viabilitas Bayi
Bayi dikatakan viable apabila keadaan bayi atau janin yang sudah mampu
hidup di luar kandungan ibunya tanpa peralatan khusus atau canggih. Kriteria
viabilitas terdiri atas:
Telah dikandung ibunya selama paling tidak 28 minggu
Tidak mempunyai cacat berat, seperti misalnya anencephalus (lack of a brain)
Tanda-tanda bahwa bayi telah dikandung selama 28 minggu atau lebih oleh ibunya
ialah:
a. Tanda-tanda terukur, yaitu:
Panjang badan (kepala-tumit) 35 cm atau lebih
Panjang badan (kepala-tungging) lebih dari 23 cm
Berat badan 1000 gram atau lebih
Lingkar kepala oksipito frontal 23cm atau lebih
b. Tanda-tanda tidak terukur, yaitu:
Jenis kelamin sudah dapat dibedakan meskipun testis pada bayi laki-laki
belum tentu sudah turun ke skrotum
Bulu badan, alis dan bulu mata sudah tumbuh
Kuku sudah melewati ujung jari
Inti penulangan sudah terbentuk pada tulang kalkaneus atau talus
Pertumbuhan gigi sudah sampai tingkat kalsifikasi4
Pada bayi lahir mati terdapat tanda-tanda maserasi (aseptic decomposition), yaitu
proses pembusukan intrauterine yang berlangsung dari luar ke dalam dan adanya
infark pada tali pusat. Tanda ini dapat dilihat setelah 8-10 hari kematian intrauterine.
Bila kematian baru terjadi 3 atau 4 hari maka tanda yang terlihat hanya berupa
perubahan pada kulit saja (vesikel atau bulla yang berisi cairan kemerahan ). Tanda
lain yang dapat berupa epidermis berwarna putih, keriput, bau tengik (bukan bau
busuk ), tubuh mengalami perlunakan sehingga dada terlihat datar, sendi pada lengan
dan tungkai lunak, dan organ-organ tampak basah tetapi tidak berbau busuk dan
warnanya “Brownies pink”.
Pada bayi lahir hidup tidak ditemukan tanda-tanda maserasi tetapi pada bayi lahir
hidup yang sudah mengalami pembusukan terdapat bau busuk dan warnanya
kehijauan. Tetapi pada bayi lahir mati dimana ibunya mengalami ketuban pecah dini,
bayi dapat lahir dalam keadaan membusuk.
b. Tanda pada dada
Pada bayi lahir mati tampak dada belum mengembang yang ditandai dengan
tulang iga masih datar dan diafragma masih setinggi iga 3-4. Tetapi pada saat
dilakukan otopsi, udara dapat masuk ke dalam rongga toraks sehingga diafragma
menjadi turun. Sedangkan pada bayi lahir hidup tampak dada sudah mengembang dan
diafragma sudah turun sampai sela iga 4-5, terutama pada bayi yang telah lama hidup.
c. Tanda pada paru
Cara terbaik umtuk mengetahui apakah bayi itu pernah bernafas atau tidak
adalah dengan melihat dan meraba paru-paru.
Pada bayi lahir mati
Pemeriksaan makroskopis paru bentuknya amorf atau tidak begitu jelas, belum
mengembang, terletak di belakang jantung, berwarna gelap dan homogen, beratnya rata-rata
1/70 dari berat badan bayi. Teksturnya terlihat sama atau uniform, tidak ada permukaan yang
lebih pucat, tidak ada area yang mengalami krepitasi dan sudutnya terlihat lebih tajam. Paru
terlihat lebih kecil dibandingkan rongga toraks. Bila paru dibedah bagian dalamnya terlihat
sama baik dalam warna dan teksturnya (moist mirip seperti jelly strawberry).
Menurut Bernard pemeriksaan makroskopis paru merupakan pemeriksaan yang paling
membantu untuk menentukan apakah bayi lahir mati atau lahir hidup. Pemeriksaan dapat
dilakukan dengan melihat, meraba dan mendengar paru-paru (look,feel, and listen to the
lungs). Pada bayi yang lahir mati akan ditemukan warna paru yang lebih gelap, ukuran lebih
kecil dan memiliki berat dan penampakan yang hampir sama dengan hati, bahkan terkadang
dalam pemeriksaan uji apung paru, paru-paru akan terlihat mengapung. Pada bayi lahir mati
bentuk paru tidak beraturan dan terdapat celah pada mediastinum yang seharusnya dipenuhi
oleh paru-paru apabila pernah mengembang.
Paru-paru yang belum mengembang terlihat lebih kecil daripada paru-paru yang telah
mengembang. Menurut Polson, berat paru-paru yang belum mengembang adalah 1/70 dari
berat badan, ketika paru-paru telah berfungsi dan terisi udara maka akan terjadi peningkatan
berat paru, yaitu menjadi 1/35 dari berat badan yang disebabkan oleh karena adanya
peningkatan masa vaskuler dalam paru. Walaupun pada saat otopsi akan terjadi variasi pada
berat paru-paru, rata-rata berat paru-paru adalah 40 gram dan rata-rata berat perpaduan dua
paru adalah 85 gram . pada penelitian ini, berat badan bayi rata-rata adalah 3000 gram.
Struktur dari paru-paru yang belum bernafas adalah elastis dan bentuknya sama antara
kedua paru, tidak berujung dan kadang terdapat area krepitasi pada tepi paru, sudut paru
tajam dan pada pemotongan terlihat warna dan struktur kedua paru akan terlihat sama, kenyal
seperti jelly. Ketika paru digesekkan dengan dua jari maka tidak didapatkan adanya bunyi
krepitasi.
Pada paru-paru yang telah bernafas akan terjadi perubahan bentuk yang dipengaruhi
oleh berapa lama dia hidup di luar kandungan dan berapa banyak udara yang dihirup.
Pernafasan juga akan berefek pada pembentukan tepi paru, dan semakin banyak udara yang
masuk akan menyebabkan pengembangan paru total. Hal ini juga bisa terjadi pada paru-paru
yang memperoleh terapi oksigen, resusitasi, kompresi dada dan bantuan nafas dari mulut ke
mulut, baik bayi lahir hidup maupun mati.
Pada pemeriksaan mikroskopik paru, dapat ditemukan struktur seperti kelenjar
tetapi ini bukan merupakan ciri paru bayi yang belum bernafas, melainkan merupakan ciri
bayi yang belum mencapai usia gestasi 26 minggu. Tanda khas untuk bayi belum bernafas
adalah adanya tonjolan ( projection), yang berbentuk seperti bantal (cushion-like) yang
kemudian akan bertambah tinggi dengan dasar menipis sehingga tampak seperti gada (club-
like). Pada permukaan ujung bebas projection tampak kapiler yang berisi banyak darah. Pada
paru bayi belum bernafas yang sudah membusuk, dengan pewarnaan Gomori atau Ladewig,
tampak serabut-serabut retikulin pada permukaan dinding alveoli berkelok-kelok seperti
rambut yang keriting, sedangkan pada projection berjalan di bawah kapiler sejajar dengan
permukaan projection dan membentuk gelung-gelung terbuka (open loops). Serabut-serabut
elastin pada dinding alveoli belum terwarnai dengan jelas, masih merupakan fragmen-
fragmen yang tersusun dan belum membentuk satu lapisan yang mengelilingi seluruh alveoli.
Serabut tersebut tegang, tidak bergelombang dan tidak terdapat di daerah basis projection.
Pada paru bayi lahir mati mungkin pula ditemukan tanda inhalasi cairan amnion yang
luas karena asfiksia intrauterine, misalnya akibat tertekannya tali pusat atau solutio placentae
sehingga terjadi pernafasan janin premature (intrauterine submersion). Mekoneum yang
berbentuk bulat berwarna jernih sampai hijau tua mungkin terlihat dalam bronkioli dan
alveoli. Kadang-kadang ditemukan deskuamasi sel-sel epitel bronkus yang merupakan tanda
maserasi diri, atau fagositosis mekoneum oleh sel-sel dinding alveoli. Koloni dapat
menggelembung berisi mekoneum, yang merupakan tanda usaha untuk bernafas (strunggle to
breath). Tampak sel-sel verniks akibat deskuamasi sel-sel permukaan kulit, berbentuk persegi
panjang dengan inti piknotik berbentuk huruf “S”, bila dilihat di atas samping terlihat seperti
bawang (onion bulb). Juga tampak sedikit sel-sel amnion yang bersifat asidofilik dengan
batas tidak tegas dan inti terletak eksentrik dengan batas yang juga tidak jelas.
Pada Bayi lahir hidup
Pemeriksaan makroskopis paru, tampak paru sudah mengisi rongga dada dan sudah
menutupi sebagian kandungan jantung. Paru berwarna merah muda tidak merata tidak dengan
pleura yang tegang dan menunjukkan gambaran mozaik karena sudah terisi udara. Beratnya
1/35 berat badan bayi, ujung sudut paru sudah lebih membulat karena sudah adanya ekspansi
dan jika ditekan terdapat krepitasi. Apeks paru kanan paling dahulu atau jelas terisi karena
halangannya paling minimal. Gambaran marmer terjadi akibat pembuluh darah interstisial
terisi oleh darah. Konsistensinya seperti spons. Pada waktu paru dimasukkan dalam air akan
terlihat jelas keluarnya gelembung udara dan darah. Pada umumnya dengan satu kali
pernafasan yang baik keadaan tersebut di atas sudah dapat terjadi. Tetapi bila yang terjadi
hanya pernafasan minimal maka perubahan yang terjadi hanya sedikit, biasa terjadi ekspansi
parsial yang terlihat pada batas anterior. Area lingula, batas diafragmatik anterior dan ujung
media dari lobus bawah bisa terlihat lebih merah muda dan lebih mengembang dibandingkan
bagian yang posterior. Tes yang paling sensitive adalah tes krepitasi tetapi terlebih dahulu
harus menyingkirkan segala kemungkinan proses pembusukan.
Pemeriksaan mikroskopik paru, menunjukkan alveoli paru yang mengembang
sempurna dengan atau tanpa emfisema obstruktif serta tidak terlihat adanya penonjolan
(projection). Pada pewarnaan Gomori atau Ledewig serabut retikulin akan tampak tegang.
Pada pernafasan parsial yang singkat mungkin hasil uji apung paru negative dan mikroskopis
memperlihatkan gambaran alveoli yang kolaps dengan dinding yang berhimpitan atau hampir
berhimpitan. Kadang-kadang dapat ditemukan edema yang luas pada jaringan paru,
membrane duktus alveolaris yang tersebar dalam jaringan paru yang mungkin berasal dari
lemak verniks (membrane hialin, yamg akan terlihat bila bayi telah hidup lebih dari 1 jam ),
atau atelektasis paru akibat obstruksi oleh membrane duktus alveolaris.
Namun pernyataan ini mendapat sanggahan dari Bernard dalam bukunya yang
menyatakan bahwa pemeriksaan mikroskopis paru tidak dapat digunakan dalam menentukan
apakah bayi pernah bernafas atau tidak. Bernard menyatakan bahwa bentuk dari alveoli dan
ketebalan dinding epitel mengindikasikan pengembangan paru oleh masuknya udara ke
dalam paru, baik bayi bernafas atau tidak. Sedangkan menurut Saphiro (1977) bentuk dari
alveoli dan ketebalan dinding epitel lebih menunjukkan tingkat maturitas bayi dibandingkan
indikasi apakah bayi tersebut bernafas atau tidak. Ruang alveoli dapat juga mengembang oleh
karena substansi lain, bahkan ketika bayi tidak menghirup udara. Seperti yang di jelaskan
oleh saphiro, bahwa pada saat ibu mengalami rupture uteri, maka fetus akan mengalami
reflek yang menyebabkan janin menghirup cairan amnion. Pada keadaan ini, pemeriksaan
mikroskopik juga dapat menunjukan adanya pengembangan alveoli oleh karena aspirasi
amnion.
Menurut penulis lain yang menerangkan tentang maturasi paru janin (kuroid et al.:
Parmentier; Ham and Baldwin). Menurut penulis, pengembangan paru juga dapat terjadi
sebelum masa aterm janin, karena pada usia setelah 5 bulan biasanya kelenjar alveoli secara
alami akan menghasilkan cairan amnion yang dapat mengisi lumen alveoli, bahkan pada
janin yang menderita atresia bronkhotracheal dapat juga ditemukan adanya pengembangan
alveoli pada pemeriksaan mikroskopisnya.
d. Tali Pusat dan Plasenta
Tali pusat dan plasenta harus di ukur dan ditimbang untuk memperkirakan maturitas
bayi dan juga melihat adanya kelainan yang mungkin menjadi penyebab kematian bayi.
Pada bayi yang sudah pernah hidup selama 24-48 jam akan terdapat tanda-tanda vital
pada tali pusat yang berupa cincin kemerahan pada pangkal tali pusat dan kulit di
sekitarnya. Pada pemeriksaan mikroskopik akan tampak reaksi inflamasi yang akan
timbul 24 jam post partum berupa serbukan sel-sel leukosit berinti banyak, kemudian
akan terlihat sel limfosit dan jaringan granulasi. Tanda ini tetap dapat dilihat pada awal
pembusukan.
e. Keadaan yang tidak memungkinkan terjadinya kehidupan
Keadaan tersebut misalnya trauma persalinan yang hebat, perdarahan otak yang hebat,
dengan atau tanpa robekan pada tentorium cerebri, pneumonia intrauterine, kelainan
congenital yang fatal seperti anensefali dan sebagainya sering kali terdapat pada bayi lahir
mati. Sekalipun bayi tersebut lahir hidup, bayi tersebut akan mati karena kelainan-
kelainan tersebut di atas.
f. Tanda pada saluran pencernaan
Adanya udara pada saluran pencernaan dapat dilihat pada foto rontgen. Udara dalam
duodenum atau pada saluran yang lebih distal menunjukkan lahir hidup dan telah hidup
selama 6-12 jam. Bila udara sudah sampai di usus besar berarti bayi telah hidup 12-24
jam. Tetapi harus diingat kemungkinan adanya pernapasan buatan atau gas pembusukan.
Adanya makanan pada saluran pernapasan merupakan bukti kuat bahwa bayi lahir hidup.
g. Perubahan Sirkulasi Darah
Setelah bayi lahir hidup, akan terjadi obliterasi arteri dan vena umbilikalis dalam waktu 3-
4 hari. Duktus venosus akan tertutup setelah 3-4 minggu dan foramen ovale akan tertutup
3 minggu sampai 1 bulan tetapi kadang-kadang tidak menutup walaupun sudah tidak
berfungsi lagi. Duktus arteriosus akan tetap tertutup setelah 3 minggu sampai 1 bulan.
Pada bayi lahir mati tidak akan ditemukan.
h. Eritrosit berinti
Eritrosit berinti akan hilang dalam 24 jam pertama bayi lahir hidup, namun kadang kala
masih dapat ditemukan dalam sinusoid hati.
BAB III
KESIMPULAN
1. Infatisida adalah tindakan membunuh yang baru saja dilahirkan oleh ibu kandungnya
sendiri untuk menutupi kehamilan atau kelahirannya.
2. Tindakan infatiside di Indonesia pelaku dijerat oleh pasal 341 KUHP, 342 KUHP, 343
KUHP dan 181 KUHP.
3. Pada pemeriksaan forensic, infantisida dilakukan terhadap korban dan pelaku.
DAFTAR PUSTAKA
1. Budijanto A, dkk. Pembunuhan Anak Sendiri. Ikatan Ahli Patologi Indonesia.
Yayasan AFIAT. Jakarta : 1988
2. Budijanto A, dkk. Ilmu Kedokteran Forensik. Bagian Kedokteran Forensik FKUI.
Jakarta : 1997
3. Staf Pengajar Bagian Ilmu Kedokteran Kehakiman FKUI. Tekhnik Autopsi Forensik.
Bagian Kedokteran Forensik FKUI. Jakarta : 2000
4. Dahlan S. Ilmu Kedokteran Forensik. Badan Penerbit UNDIP. Semarang : 2000
5. Idris A.M. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik edisi I. Binarupa Aksara. Jakarta :
1997
6. Hamzah A. KUHP dan KUHAP edisi Digabung Dalam Satu Buku. Rineka Cipta.
Jakarta : 1992
7. Knight B. Forensic Pathology. Oxford University Press inc. United States Of America
: 1996
8. Anonim. Pembunuhan Anak Sendiri dan Pengguguran Kandungan.
http://www.freewebs.com : 2006
9. Ranson DL. Craniofacial Identification in Forensic Medicine. Oxford University
Press inc. New York : 1997
10. Indriati E. Antropologi Forensik. Gajah Mada University Press. Yogyakarta : 2002
11. Shepherd R. Simpson’s Forensic Medicine 12th edition
VI. MEDIA PEMBELAJARAN
- LCD
Skenario Kasus
Sesosok mayat bayi baru lahir ditemukan di suatu tempat sampah. Masyarakat
melaporkannya kepada polisi. Mereka juga melaporkan bahwa semalam melihat
seorang perempuan yang menghentikan mobilnya didekat sampah tersebut dan berada
di sana cukup lama.
Silahkan interpretasi skenario diatas:
SOAL
1Yang bukan termasuk. Undang-undang pembunuhan anak sendiri adalah
a KUHP pasal 181
b KUHP pasal 341
c KUHP pasal 342
d. KUHP pasal 347
3.Yang bukan Penyebab kematian yang tersering pada pembunuhan anak sendiri adalah
a. Trauma lahir
b. kecelakaan bayi terjatuh
c. Trauma Kemis
d. Pembunuhan
4. Seorang ibu yang karena takut akan ketahuan akan melahirkan anak, pada saat anak
dilahirkan atau tidak lama kemudian, dengan sengaja merampas nyawa anaknya, diancam
karena membunuh anak sendiri dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Pernyataan di atas termasuk kedalam pasal
a. Berdasarkan KUHP pasal 341
b. Berdasarkan KUHP Pasal 342
c. Berdasarkan KUHP pasal 181
d. Berdasarkan KUHP Pasal 343
5. “Seorang ibu yang untuk melaksanakan niat yang ditentukan karena takut akan ketahuan
bahwa ia akan melahirkan, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian merampas
nyawa anaknya, diancam karena melakukan pembunuhan anak sendiri dengan rencana,
dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
”. Pernyataan ini termasuk dalam pasal
a. Berdasarkan KUHP pasal 341
b.Berdasarkan KUHP Pasal 342
c. Berdasarkan KUHP pasal 343
d. Berdasarkan KUHP Pasal 181
JAWABAN
1. D
2. A
3. C
4. A
5. B
6. C
7. C