KEPERAWATAN KRITIS
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK III :
PENDAHULUAN
Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit dimana terjadi gangguan metabolisme
karbohidrat, protein dan lemak. Hal ini diakibatkan oleh kurangnya sensitivitas otot ataupun
jaringan terhadap insulin, yang disebut dengan resistensi insulin ataupun oleh kurangnya hormon
insulin atau disebut dengan defisiensi insulin (Guyton & Hall, 2007). Diabetes mellitus adalah
suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang disebabkan oleh adanya peningkatan kadar
gula glukosa darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Syahbudin, 2009).
Bahaya diabetes sangat besar dan dapat memungkinkan penderita menjadi lemah ginjal, buta,
menderita penyakit bagian kaki dan banyak komplikasi serius dan menyebabkan tingkat
kematian yang tinggi. Penderita DM menghadapi bahaya setiap harinya karena kadar gula darah
yang tidak terkontrol. Glukosa darah mengandung kadar yang berubah-ubah sepanjang hari
terutama pada saat makan, dan beraktifitas (Pangestu, 2007).
Terdapat dua jenis penyakit diabetes mellitus, yaitu Diabetes mellitus tipe I (insulin-
dependent diabetes mellitus) dan diabetes mellitus tipe II (noninsulin-dependent diabetes
mellitus). Diabetes mellitus tipe I yaitu dicirikan dengan hilangnya sel penghasil insulin pada
pulau-pulau langhernas pankreas sehingga terjadi kekurangan insulin pada tubuh. Diabetes
mellitus tipe II, terjadi akibat ketidakmampuan tubuh untuk merespon dengan wajar terhadap
aktivitas insulin yang dihasilkan pankreas (resistensi insulin), sehingga tidak tercapai kadar
glukosa yang normal dalam darah. Diabetes mellitus tipe II lebih banyak ditemukan dan meliputi
90% dari semua kasus diabetes di seluruh dunia (Maulana, 2009).
Diabetes mellitus (DM) sudah merupakan salah satu ancaman utama bagi kesehatan umat
manusia pada abad 21. WHO memperkirakan bahwa pada tahun 2025, jumlah penderita DM
akan membengkak menjadi 300 juta orang (Sudoyo, 2006). Menurut WHO kasus DM di
Indonesia pada tahun 2000 adalah 8,4 juta orang berada pada rangking 4 dunia setelah India (31,7
juta), Cina (20,8 juta), dan Amerika Serikat (17,7 juta), dan WHO memperkirakan akan 2
meningkat pada tahun 2030, India (79,4 juta), Cina (42,3 juta), Amerika Serikat (30,3 juta), dan
Indonesia (21,3 juta) (Wild,S., 2004). DM tipe II banyak ditemukan (>90%) dibandingkan
dengan DM tipe I. DM tipe II timbul setelah umur 30 tahun sedangkan DM tipe I biasanya terjadi
sebelum usia 30 tahun. Penyakit yang bersifat menahun (kronis) dapat menyerang pria maupun
wanita,namun kasus tersebut meningkat pada wanita (Tahitian,2008)
Diabetes mellitus seringkali tidak terdeteksi sebelum diagnosis dilakukan, sehingga
morbiditas (terjadinya penyakit atau kondisi yang mengubah kesehatan dan kualitas hidup) dan
mortalitas (kematian) dini terjadi pada kasus yang tidak terdeteksi ini. Diabetes mellitus
merupakan suatu keadaan hiperglikemik kronis dan perlahan namun pasti akan merusak jaringan
dalam tubuh jika tidak ditangani secara tepat dan serius (Agus dkk, 2011). Dengan ditemukannya
beberapa faktor penyebab terjadinya diabetes mellitus diantaranya faktor genetik, faktor
lingkungan, faktor kegemukan, faktor demografi, dan lainnya, maka faktor-faktor tersebut
mempengaruhi seseorang akan mengalami DM tipe I atau DM tipe II.
BAB II
TINJAUAN TEORI
1. PENGERTIAN
Diabetes mellitus adalah penyakit yang disebabkan oleh penurunan kadar hormon insulin
yang diproduksi oleh kelenjar pankreas yang mengakibatkan meningkatnya kadar glukosa dalam
darah. Penurunan ini mengakibatkan glukosa yang dikonsumsi oleh tubuh tidak dapat diproses
secara sempurna sehingga konsentrasi glukosa dalam darah akan meningkat. Diabetes Mellitus
terbagi menjadi beberapa tipe, yaitu DM tipe 1, DM tipe 2, DM Sekunder dan DM gestasional.
Diabetes mellitus adalalah gangguan metabolisme yang secara genetik dan klinis termasuk
heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat, jika telah berkembang
penuh secara klinis maka diabetes mellitus ditandai dengan hiperglikemia puasa dan
postprandial, aterosklerosis dan penyakit vaskular mikroangiopati.
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, Diabetes melitus tipe 2
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi
karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Diabetes Mellitus Tipe 2 adalah
penyakit gangguan metabolik yang di tandai oleh kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi
insulin oleh sel beta pankreas dan atau ganguan fungsi insulin (resistensi insulin). Resistensi
insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh
jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati sehingga glukosa tidak dapat
masuk ke dalam sel dan akhirnya tertimbun dalam peredaran darah. Sel β tidak mampu
mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi relatif insulin.
Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa,
maupun pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel β
pankreas mengalami desensitisasi terhadap glukosa.
Pada Diabetes Melitus tipe II, pankreas masih dapat membuat insulin, tetapi kualitas
insulin yang dihasilkan buruk dan tidak dapat berfungsi dengan baik sebagai kunci untuk
memasukkan glukosa ke dalam sel. Akibatnya glukosa dalam darah tetap tinggi sehingga terjadi
hiperglikemia. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka
panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung
dan pembuluh darah (Gustaviani, 2006). Karena insulin tetap dihasilkan oleh sel-sel beta
pankreas, maka diabetes mellitus tipe II dianggap sebagai non insulin dependent diabetes
mellitus.
Diabetes tipe 2 biasanya terjadi pada usia dewasa (WHO, 2014). Biasanya terjadi pada
usia 45 tahun, tetapi bisa pula timbul pada usia di atas 20 tahun. Kejadian DM Tipe 2 pada wanita
lebih tinggi daripada laki-laki.Wanita lebih berisiko mengidap diabetes karena secara fisik wanita
memiliki peluang peningkatan indeks masa tubuh yang lebih besar. Seringkali diabetes tipe 2
didiagnosis beberapa tahun setelah onset, yaitu setelah komplikasi muncul sehingga tinggi
insidensinya sekitar 90% dari penderita DM di seluruh dunia dan sebagian besar merupakan
akibat dari memburuknya faktor risiko seperti kelebihan berat badan dan kurangnya aktivitas
fisik (WHO, 2014).
2. ETIOLOGI
Diabetes Mellitus disebut dengan the silent killer karena penyakit ini dapat mengenai
semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Diabetes melitus merupakan
penyakit yang disebabkan oleh adanya kekurangan insulin secara relatif maupun absolut.
Defisiensi insulin dapat terjadi melalui 3 jalan, yaitu:
a. Rusaknya sel-sel B pankreas karena pengaruh dari luar (virus,zat kimia,dll)
b. Desensitasi atau penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas
c. Desensitasi atau kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer
Peningkatan jumlah penderita DM yang sebagian besar DM tipe 2, berkaitan dengan
beberapa faktor yaitu faktor risiko yang tidak dapat diubah, faktor risiko yang dapat diubah dan
faktor lain. Menurut American DiabetesAssociation (ADA) bahwa DM berkaitan dengan faktor
risiko yang tidak dapat diubah meliputi:
a. Riwayat keluarga dengan DM (first degree relative)
Seorang yang menderita Diabetes Mellitus diduga mempunyai gen diabetes. Diduga bahwa
bakat diabetes merupakan gen resesif. Hanya orang yang bersifat homozigot dengan gen
resesif tersebut yang menderita Diabetes Mellitus.
b. Umur ≥45 tahun
Berdasarkan penelitian, usia yang terbanyak terkena Diabetes Mellitus adalah > 45 tahun.
c. Etnik,
d. Riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lahir bayi >4000 gram atau riwayat pernah
menderita DM gestasional
e. Riwayat lahir dengan berat badan rendah (<2,5 kg).
Sedangkan faktor risiko yang dapat diubah pada penyakit Diabetes Melitus (DM) Tipe 2
meliputi:
a. Obesitas berdasarkan IMT ≥25kg/m2 atau lingkar perut ≥80 cm pada wanita dan ≥90 cm
pada laki-laki.Terdapat korelasi bermakna antara obesitas dengan kadar glukosa darah, pada
derajat kegemukan dengan IMT > 23 dapat menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah
menjadi 200mg%.
b. Kurangnya aktivitas fisik
c. Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah pada hipertensi berhubungan erat dengan tidak
tepatnya penyimpanan garam dan air, atau meningkatnya tekanan dari dalam tubuh pada
sirkulasi pembuluh darah perifer.
d. Dislipidemi adalah keadaan yang ditandai dengan kenaikan kadar lemak darah (Trigliserida
> 250 mg/dl). Terdapat hubungan antara kenaikan plasma insulin dengan rendahnya HDL
(< 35 mg/dl) sering didapat pada klien Diabetes.
e. Diet tidak sehat.
Faktor lain yang terkait dengan risiko diabetes adalah penderita polycystic ovarysindrome
(PCOS), penderita sindrom metabolik memiliki riwatyat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau
glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya, memiliki riwayat penyakit kardiovaskuler
seperti stroke, PJK, atau peripheral rrterial Diseases (PAD), konsumsi alkohol,faktor stres,
kebiasaan merokok, jenis kelamin,konsumsi kopi dan kafein. Alkohol akan menganggu
metabolisme gula darah terutama pada penderita DM, sehingga akan mempersulit regulasi gula
darah dan meningkatkan tekanan darah. Seseorang akan meningkat tekanan darah apabila
mengkonsumsi etil alkohol lebih dari 60ml/hari yang setara dengan 100 ml proof wiski, 240 ml
wine atau 720 ml.
Gejala diabetes melitus dibedakan menjadi akut dan kronik. Gejala akut diabetes melitus
yaitu poliphagia (banyak makan), polidipsia (banyak minum), Poliuria (banyak kencing/sering
kencing di malam hari), nafsu makan bertambah namun berat badan turun dengan cepat (5-10 kg
dalam waktu 2-4 minggu), dan mudah lelah. Sedangkan gejala kronik diabetes melitus yaitu
kesemutan, kulit terasa panas atau seperti tertusuk tusuk jarum, rasa kebas di kulit, kram,
kelelahan, mudah mengantuk, pandangan mulai kabur, gigi mudah goyah dan mudah lepas,
kemampuan seksual menurun bahkan pada pria bisa terjadi impotensi, pada ibu hamil sering
terjadi keguguran atau kematian janin dalam kandungan atau dengan bayi berat lahir lebih dari
4kg.
Gejala klasik DM seperti poliuria, polidipsi, polifagia, dan penurunan berat badan tidak
selalu tampak pada lansia penderita DM karena seiring dengan meningkatnya usia terjadi
kenaikan ambang batas ginjal untuk glukosa sehingga glukosa baru dikeluarkan melalui urin bila
glukosa darah sudah cukup tinggi. Selain itu, karena mekanisme haus terganggu seiring dengan
penuaan, maka polidipsi pun tidak terjadi, sehingga lansia penderita DM mudah mengalami
dehidrasi hiperosmolar akibat hiperglikemia berat. DM pada lansia umumnya bersifat
asimptomatik, kalaupun ada gejala, seringkali berupa gejala tidak khas seperti kelemahan, letargi,
perubahan tingkah laku, menurunnya status kognitif atau kemampuan fungsional (antara lain
delirium, demensia, depresi, agitasi, mudah jatuh, dan inkontinensia urin). Inilah yang
menyebabkan diagnosis DM pada lansia seringkali agak terlambat.5,6 Bahkan, DM pada lansia
seringkali baru terdiagnosis setelah timbul penyakit lain.
4. PATOFISIOLOGI
Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal (omnious octet)
berikut :
a. Kegagalan sel beta pancreas
Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat berkurang. Obat anti
diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfonilurea, meglitinid, GLP-1 agonis dan
DPP-4 inhibitor.
b. Liver
Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu gluconeogenesis
sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver (HGP=hepatic glucose
production) meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini adalah metformin, yang menekan
proses gluconeogenesis.
c. Otot
Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multiple di
intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul gangguan transport
glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. Obat
yang bekerja di jalur ini adalah metformin, dan tiazolidindion.
d. Sel lemak
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan peningkatan
proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas (FFA=Free Fatty Acid) dalam plasma.
Penigkatan FFA akan merangsang proses glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi
insulin di liver dan otot. FFA juga akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang
disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoxocity. Obat yang bekerja dijalur ini adalah
tiazolidindion.
e. Usus
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding kalau diberikan
secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini diperankan oleh 2 hormon GLP-
1 (glucagon-like polypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent insulinotrophic polypeptide
atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide). Pada penderita DM tipe-2 didapatkan
defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin segera dipecah
oleh keberadaan ensim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat yang
bekerja menghambat kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor. Saluran pencernaan
juga mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja ensim alfa-
glukosidase yang memecah polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian diserap oleh
usus dan berakibat meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat yang bekerja untuk
menghambat kinerja ensim alfa-glukosidase adalah akarbosa.
f. Sel Alpha Pancreas
Sel B pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia dan sudah
diketahui sejak 1970. Sel berfungsi dalam sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa
kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan HGP dalam
keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding individu yang normal. Obat yang
menghambat sekresi glukagon atau menghambat reseptor glukagon meliputi GLP-1 agonis,
DPP-4 inhibitor dan amylin.
g. Ginjal
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis DM tipe-2. Ginjal
memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh persen dari glukosa terfiltrasi
ini akan diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose co-Transporter) pada
bagian convulated tubulus proksimal. Sedang 10% sisanya akan di absorbsi melalui peran
SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam
urine. Pada penderita DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang menghambat
kinerja SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan kembali glukosa di tubulus ginjal
sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urine. Obat yang bekerja di jalur ini adalah SGLT-
2 inhibitor. Dapaglifozin adalah salah satu contoh obatnya.
h. Otak
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obes baik yang DM
maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme kompensasi
dari resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru meningkat akibat adanya
resistensi insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang bekerja di jalur Ini adalah GLP-1
agonis, amylin dan bromokriptin.
5. PATHWAY
6. PENATALAKSANAAN
Tatalaksana DM tipe-2 memerlukan terapi agresif untuk mencapai kendali glikemik dan
kendali faktor risiko kardiovaskular. Hal ini dilakukan karena banyaknya komplikasi kronik yang
terjadi. Dalam Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia 2011,
penatalaksanaan dan pengelolaan DM dititik beratkan pada 4 pilar penatalaksanaan DM, yaitu
edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan intervensi farmakologis.
a. Edukasi
Tim kesehatan mendampingi klien dalam perubahan perilaku sehat yang memerlukan
partisipasi aktif dari klien dan keluarga klien. Upaya edukasi dilakukan secara
komphrehensif dan berupaya meningkatkan motivasi klien untuk memiliki perilaku
sehat.Tujuan dari edukasi diabetes adalah mendukung usaha klien penyandang diabetes
untuk mengerti perjalanan alami penyakitnya dan pengelolaannya, mengenali masalah
kesehatan/ komplikasi yang mungkin timbul secara dini/ saat masih reversible, ketaatan
perilaku pemantauan dan pengelolaan penyakit secara mandiri, dan perubahan
perilaku/kebiasaan kesehatan yang diperlukan. Edukasi pada penyandang diabetes meliputi
pemantauan glukosa mandiri, perawatan kaki, ketaatan pengunaan obat-obatan, berhenti
merokok, meningkatkan aktifitas fisik, dan mengurangi asupan kalori dan diet tinggi lemak.
b. Terapi Gizi Medis
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes yaitu makanan yang seimbang, sesuai
dengan kebutuhan kalori masing-masing individu, dengan memperhatikan keteraturan
jadwal makan, jenis dan jumlah makanan. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari
karbohidrat 45%-65%, lemak 20%-25%, protein 10%-20%, Natrium kurang dari 3g, dan
diet cukup serat sekitar 25g/hari.
c. Latihan Jasmani
Latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu, masing-masing selama kurang lebih 30
menit. Latihan jasmani dianjurkan yang bersifat aerobik seperti berjalan santai, jogging,
bersepeda dan berenang. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat
menurunkan berat badan dan meningkatkan sensitifitas insulin.
d. Intervensi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan peningkatan pengetahuan klien, pengaturan
makan dan latihan jasmani. Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.
Obat yang saat ini ada antara lain:
7. TERAPI DM TYPE II
Hal yang mendasar dalam pengelolaan Diabetes mellitus tipe 2 adalah perubahan pola
hidup yaitu pola makan yang baik dan olah raga teratur. Dengan atau tanpa terapi farmakologik,
pola makan yang seimbang dan olah raga teratur (bila tidak ada kontraindikasi) tetap harus
dijalankan.
Berikut langkah-langkah pemberian terapi pada penyakit diabetes mellitus tipe 2 yaitu:
Berdasarkan bukti-bukti keuntungan jangka pendek dan jangka panjang bila berat badan
turun dan aktivitas fisik yang ditingkatkan dapat tercapai dan dipertahankan serta “cost
effectiveness” bila berhasil, maka konsensus ini 20 menyatakan bahwa intervensi pola hidup
harus dilaksanakan sebagai langkah pertama pengobatan klien diabetes tipe 2 yang baru.
Intervensi pola hidup juga untuk memperbaiki tekanan darah, profil lipid, dan menurunkan
berat badan atau setidaknya mencegah peningkatan berat badan, harus selalu mendasari
pengelolaan klien diabetes tipe 2, bahkan bila telah diberi obat-obatan.
Untuk klien yang tidak obes ataupun berat badan berlebih, modifikasi komposisi diet dan
tingkat aktivitas fisik tetap berperan sebagai pendukung pengobatan. Terapi metformin harus
dimulai bersamaan dengan intervensi pola hidup pada saat diagnosis. Metformin
direkomendasikan sebagai terapi farmakologik awal , pada keadaan tidak ada kontraindikasi
spesifik, karena efek langsungnya terhadap glikemia, tanpa penambahan berat badan dan
hipoglikemia pada umumnya, efek samping yang sedikit, dapat diterima oleh klien dan harga
yang relatif murah. Penambahan obat penurun glukosa darah yang lain harus
dipertimbangkan bila terdapat hiperglikemia simtomatik persisten.
b. Langkah kedua : menambah obat kedua
Bila dengan intervensi pola hidup dan metformin dosis maksimal yang dapat ditolerir
target glikemik tidak tercapai atau tidak dapat dipertahankan, sebaiknya ditambah obat lain
setelah 2-3 bulan memulai pengobatan atau setiap saat bila target A1C tidak tercapai. Bila
terdapat kontraindikasi terhadap metformin atau klien tidak dapat mentolerir metformin
maka perlu diberikan obat lain. Konsensus menganjurkan penambahan insulin atau
sulfonilurea . Yang menentukan obat mana yang dipilih adalah nilai A1C. Klien dengan A1C
> 8,5% atau dengan gejala klinik hiperglikemia sebaiknya diberi insulin, dimulai dengan
insulin basal (intermediate-acting atau long –acting). Tetapi banyak juga klien DM tipe 2
yang baru masih memberi respons terhadap obat oral.
Bila intervensi pola hidup, metformin dan sulfonilurea atau insulin basal tidak
menghasilkan target glikemia, maka langkah selanjutnya adalah mengintesifkan terapi
insulin. Intensifikasi terapi insulin biasanya berupa suntikan “short acting” atau “rapid
acting” yang diberikan sebelum makan. Bila suntikan-suntikan insulin dimulai maka
sekretagog insulin harus dihentikan.
Pada kondisi-kondisi klinik tertentu algoritme tingkatan kedua ini dapat dipertimbangkan.
Secara spesifik bila hipoglikemia sangat ditakuti (misalnya pada mereka yang melakukan
pekerjaan yang berbahaya), maka penambahan exenatide atau pioglitazone dapat
dipertimbangkan. Bila penurunan berat badan merupakan pertimbangan penting dan A1C
mendekati target (<8%), exenatide merupakan pilihan. Bila inervensi ini tidak efektif dalam
mencapai target A1C, atau pengobatan tersebut tidak dapat ditolerir oleh klien, maka
penambahan dengan sulfonilurea dapat dipertimbangkan. Alternatif lain adalah bahwa “tier
2 intervention” dihentikan dan dimulai pemberian insulin basal.
8. PEMERIKSAAN PENUNJANG
TINJAUAN KASUS
Skenario 3 : KELOMPOK 3
Seorang perempuan berusia 55 tahun dirawat di ICU dengan kondisi tidak sadar, sehari-hari pasien
sebagai ibu rumah tangga yang tinggal di tengah kota. Sebelumnya pasien telah didiagnosis DM
Type 2, saat ini pasien telah mendapatkan terapi insulin 2 kali sehari dengan dosis 20 unit, dan obat
anti hiperglikemia lainnya. Pasien juga ada Riwayat serangan stroke sejak 3 tahun yang lalu. Saat ini
terpasang IVFD NaCL 0,9 % 20 tpm. Kateter urine, Oksigen nasal kanul: 4 liter/ menit.. Tekanan
darah: 150/90 mmHg, Nadi: 100 kali/menit, Pernapasan: 20 kali/menit, Suhu: 37 0 C. Hasil
pemeriksaan laboratorium. Hb: 14 mg/dl, Ht: 45%, eritrosit: 5.6 juta/mmk, Trombosit: 250
ribu/mmk. Ureum: 30 mg/dl. Creatinin: 2 mg/dl. Na: 139 mmol/L, K: 3.6 mmol/L. Cl: 50
mmol/L. BB pasien: 68 Kg. TB: 157 Cm. GDS: 230 gr/ml
FORMAT ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS
A. PENGKAJIAN
Tgl/ Jam : XXXXXXXX Tanggal MRS : XXXXXXX
Ruangan : ICU Diagnosis Medis : DM Type II
Nama/Inisial : Ny. R No.RM :
Jenis Kelamin : Perempuan Suku/ Bangsa :
IDENTITAS
Pasien di Diagnosis menderita DM Type 2 dan mendapatkan terapi insulin 2 kali sehari dengan
dosis 20 unit dan obat anti hiperglikemia lainnya.
Riwayat Allergi :
Riwayat Pengobatan :
Terapi insulin 2 kali sehari dengan dosis 20 unit dan obat anti hiperglikemia lainnya
√ Tidak
Emfisema S/C : Ada √ Tidak Ada
Suara Nafas : Snoring Gurgling Stridor Tidak ada
√ Vesikuler Stidor Wheezing Ronchi
Alat bantu nafas: OTT ETT Trakeostomi
Ventilator, Keterangan: ... ... ...
Oksigenasi : 4 lt/mnt √ Nasal kanul Simpel mask Non RBT mask RBT Mask
Tidak ada
Penggunaan selang dada : Ada √ Tidak Ada
Drainase :
Trakeostomi : Ada √ Tidak Ada
Kondisi trakeostomi:
Lain-lain: … …
Diaphoresis: Ya Tidak
Riwayat Kehilangan cairan berlebihan: Diare Muntah Luka bakar
JVP:
CVP:
Suara jantung:
IVFD : Ya Tidak, Jenis cairan: … …
Lain-lain: … …
Stoma:
Lain-lain: … …
Masalah Keperawatan:
Deformitas : Ya √ Tidak Lokasi ... ...
Contusio : Ya √ Tidak Lokasi ... ...
Abrasi : Ya √ Tidak Lokasi ... ...
(Muskuloskletal & Integumen)
Leher :
Dada :
HEAD TO TOE
Ekstremitas :
Masalah Keperawatan:
PsikoSosialKultural
:
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Jenis
Hari/Tgl/Jam Hasil Normal Interprestasi
Pemeriksaan
Hb 14 mg/dl 13,2-17,3 mg/dl Normal
Ht 45 % 40-52 % Normal
Eritrosit 5,6 juta/mmk 5,4-5,9 juta/mmk Normal
Trombosit 250 ribu/mmk 150-440 ribu/mmk Normal
Ureum 30 mg/dl 0-50 mg/dl Normal
Creatinin 2 mg/dl 0,5-1 mg/dl Tinggi
Na 139 mmol/L 136-146 mmol/L Normal
K 3,6 mmol/L 3,5-5,1 mmol/L Normal
Cl 50 mmol/L 94-110 mmol/L Rendah
GDS 230 gr/ml < 200 gr/ml Tinggi
TERAPI
Nama Klien : Ny.R Umur/Jk : 55 Th/P No. RM : XXXXXX Dx. Medis : DM Type II TGL : ...
No.
Tujuan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
Dx
1 Setelah diberikan intervensi Pola Nafas (L01004) Manajemen Jalan Nafas (I.01012)
…. X …. Jam, masalah dengan kriteria hasil ; 1. Monitor pola nafas (frekuensi, 1. Mengetahui tingkat pola nafas pasien
keperawatan pola nafas Frekuensi nafas normal kedalaman, usaha nafas)
tidak efektif dapat teratasi. Tidak terpasang Nasal 2. Pertahankan kepatenan jalan nafas 2. Membantu kepatenan jalan nafas
Kanul pasien
3. Posisikan semi fowler/fowler 3. Membantu mengurangi dispneu
4. Berikan oksigenasi 4. Membantu kecukupan oksigenasi
5. Kolaborasi pemberian obat 5. Melancarkan kepatenan jalan nafas