DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Manfaat Penulisan
BAB V PENUTUP
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan Indonesia diarahkan guna mencapai pemecahan masalah
kesehatan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat
kesehatan yang optimal. Masalah kesehatan dapat dipengaruhi oleh pola hidup, pola
makan, lingkungan kerja, olahraga dan stres. Perubahan gaya hidup terutama di kota-
kota besar, menyebabkan meningkatnya prevalensi penyakit degeneratif, seperti penyakit
jantung, hipertensi, hiperlipidemia, diabetes melitus (DM) dan lain-lain (Waspadji, 2009).
Diabetes Melitus merupakan penyakit menahun yang ditandai oleh kadar gula darah
yang tinggi dan gangguan metabolisme pada umumnya, yang pada perjalanannya bila
tidak dikendalikan dengan baik akan menimbulkan berbagai komplikasi baik yang akut
maupun yang menahun. Kelainan dasar dari penyakit ini ialah kekurangan hormon
insulin yang dihasilkan oleh pankreas, yaitu kekurangan jumlah dan atau dalam kerjanya
( Isniati,2003). Jumlah Penderita diseluruh dunia Jumlah penderita di seluruh dunia tahun
1998 yaitu ± 150 juta, tahun 2000 yaitu ± 175,4 juta diperkirakan tahun 2010 yaitu ±
279 juta (Murwani, 2007).
Berdasarkan Riskesdas 2007 , Prevalensi penyakit DM di Indonesia berdasarkan
diagnosis oleh tenaga kesehatan adalah 0,7% sedangkan prevalensi DM (D/G) sebesar
1,1%. Data ini menunjukkan cakupan diagnosis DM oleh tenaga kesehatan mencapai
63,6%, lebih tinggi dibandingkan cakupan penyakit asma maupun penyakit jantung.
Prevalensi nasional Penyakit Diabetes Melitus adalah 1,1% (berdasarkan diagnosis
tenaga kesehatan dan gejala).
Menurut konsensus Pengelolaan Diabetes melitus di Indonesia penyuluhan dan
perencanaan makan merupakan pilar utama penatalaksanaan DM. Oleh karena itu
perencanaan makan dan penyuluhannya kepada pasien DM haruslah mendapat perhatian
yang besar (Waspadji, 2009).
B. Rumusan Masalah
Pada DM tipe 2, sekresi insulin di fase 1 atau early peak yang terjadi dalam 3-10
menit pertama setelah makan yaitu insulin yang disekresi pada fase ini adalah insulin
yang disimpan dalam sel beta (siap pakai) tidak dapat menurunkan glukosa darah
sehingga merangsang fase 2 adalah sekresi insulin dimulai 20 menit setelah stimulasi
glukosa untuk menghasilkan insulin lebih banyak, tetapi sudah tidak mampu
meningkatkan sekresi insulin sebagaimana pada orang normal. Gangguan sekresi sel beta
menyebabkan sekresi insulin pada fase 1 tertekan, kadar insulin dalam darah turun
menyebabkan produksi glukosa oleh hati meningkat, sehingga kadar glukosa darah puasa
meningkat. Secara berangsur-angsur kemampuan fase 2 untuk menghasilkan insulin akan
menurun. Dengan demikian perjalanan DM tipe 2, dimulai dengan gangguan fase 1 yang
menyebabkan hiperglikemi dan selanjutnya gangguan fase 2 di mana tidak terjadi
hiperinsulinemi akan tetapi gangguan sel beta. Penelitian menunjukkan adanya hubungan
antara kadar glukosa darah puasa dengan kadar insulin puasa. Pada kadar glukosa darah
puasa 80-140 mg/dl kadar insulin puasa meningkat tajam, akan tetapi jika kadar glukosa
darah puasa melebihi 140 mg/dl maka kadar insulin tidak mampu meningkat lebih tinggi
lagi; pada tahap ini mulai terjadi kelelahan sel beta menyebabkan fungsinya menurun.
Pada saat kadar insulin puasa dalam darah mulai menurun maka efek penekanan insulin
terhadap produksi glukosa hati khususnya glukoneogenesis mulai berkurang sehingga
produksi glukosa hati makin meningkat dan mengakibatkan hiperglikemi pada puasa.
Faktor-faktor yang dapat menurunkan fungsi sel beta diduga merupakan faktor yang
didapat (acquired) antara lain menurunnya massa sel beta, malnutrisi masa kandungan
dan bayi, adanya deposit amilyn dalam sel beta dan efek toksik glukosa (glucose
toXicity) (Schteingart, 2005 dikutip oleh Indraswari, 2010).
Pada sebagian orang kepekaan jaringan terhadap kerja insulin tetap dapat
dipertahankan sedangkan pada sebagian orang lain sudah terjadi resistensi insulin dalam
beberapa tingkatan. Pada seorang penderita dapat terjadi respons metabolik terhadap
kerja insulin tertentu tetap normal, sementara terhadap satu atau lebih kerja insulin yang
lain sudah terjadi gangguan. Resistensi insulin merupakan sindrom yang heterogen,
dengan faktor genetik dan lingkungan berperan penting pada perkembangannya. Selain
resistensi insulin berkaitan dengan kegemukan, terutama gemuk di perut, sindrom ini juga
ternyata dapat terjadi pada orang yang tidak gemuk. Faktor lain seperti kurangnya
aktifitas fisik, makanan mengandung lemak, juga dinyatakan berkaitan dengan
perkembangan terjadinya kegemukan dan resistensi insulin (Indraswari, 2010).
D. Gambaran Klinis
Beberapa keluhan dan gejala yang perlu mendapat perhatian ialah (Agustina, 2009):
Keluhan Klasik
a. Penurunan berat badan
Penurunan berat badan yang berlangsung dalam waktu relatif singkat harus
menimbulkan kecurigaan. Hal ini disebabkan glukosa dalam darah tidak dapat masuk
ke dalam sel, sehingga sel kekurangan bahan bakar untuk menghasilkan tenaga. Untuk
kelangsungan hidup, sumber tenaga terpaksa diambil dari cadangan lain yaitu sel
lemak dan otot. Akibatnya penderita kehilangan jaringan lemak dan otot sehingga
menjadi kurus.
b. Banyak kencing
Karena sifatnya, kadar glukosa darah yang tinggi akan menyebabkan banyak
kencing. Kencing yang sering dan dalam jumlah banyak akan sangat mengganggu
penderita, terutama pada waktu malam hari.
c. Banyak minum
Rasa haus sering dialami oleh penderita karena banyaknya cairan yang keluar
melalui kencing. Keadaan ini justru sering disalah tafsirkan. Dikira sebab rasa haus
ialah udara yang panas atau beban kerja yang berat. Untuk menghilangkan rasa haus
itu penderita minum banyak.
d. Banyak makan
Kalori dari makanan yang dimakan, setelah dimetabolisme menjadi glukosa dalam
darah tidak seluruhnya dapat dimanfaatkan, penderita selalu merasa lapar.
Keluhan lain:
a. Gangguan saraf tepi / Kesemutan
Penderita mengeluh rasa sakit atau kesemutan terutama pada kaki di waktu
malam, sehingga mengganggu tidur. Gangguan penglihatan Pada fase awal
penyakit Diabetes sering dijumpai gangguan penglihatan yang mendorong
penderita untuk mengganti kacamatanya berulang kali agar ia tetap dapat melihat
dengan baik.
b. Gatal / Bisul
Kelainan kulit berupa gatal, biasanya terjadi di daerah kemaluan atau daerah
lipatan kulit seperti ketiak dan di bawah payudara. Sering pula dikeluhkan
timbulnya bisul dan luka yang lama sembuhnya. Luka ini dapat timbul akibat hal
yang sepele seperti luka lecet karena sepatu atau tertusuk peniti.
c. Gangguan Ereksi
Gangguan ereksi ini menjadi masalah tersembunyi karena sering tidak secara terus
terang dikemukakan penderitanya. Hal ini terkait dengan budaya masyarakat yang
masih merasa tabu membicarakan masalah seks, apalagi menyangkut kemampuan
atau kejantanan seseorang.
d. Keputihan
Pada wanita, keputihan dan gatal merupakan keluhan yang sering ditemukan dan
kadang-kadang merupakan satu-satunya gejala yang dirasakan.
Tabel 1.
Kadar glukosa darah sewaktu* dan puasa* sebagai patokan penyaring dan diagnosis
DM (mg/dl)
3. Spesific protection
Spesific protection dilakukan dalam upaya pemberian perlindungan secara dini
kepada masyarakat sehubungan dengan masalah kesehatan. Pada beberapa penyakit
biasanya dilakukan dalam bentuk pemberian imunisasi namun untuk perkembangan
sekarang, diabetes mellitus dapat dilakukan melalui :
a. Pemberian penetral radikal bebas seperti nikotinamid
b. Mengistirahatkan sel-beta melalui pengobatan insulin secara dini
c. Penghentian pemberian susu formula pada masa neonatus dan bayi sejak dini
d. Pemberian imunosupresi atau imunomodulasi
4. Early diagnosis and promp treatment
Early diagnosis and prompt treatmen dilakukan sehubungan dengan upaya
pendeteksian secara dini terhadap individu yang nantinya mengalami DM dimasa
mendatang sehingga dapat dilakukan upaya penanggulangan sedini mungkin untuk
mencegah semakin berkembangnya risiko terhadap timbulnya penyakit tersebut.
Upaya sehubungan dengan early diagnosis pada DM adalah dengan melakukan :
a. Melakukan skrining DM di masyarakat
b. Melakukan survei tentang pola konsumsi makanan di tingkat keluarga pada
kelompok masyarakat
5. Disability limitation
Disability limitation adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk mencegah dampak
lebih besar yang diakibatkan oleh DM yang ditujukan kepada seorang yang telah
diangap sebagai penderita DM karena risiko keterpaparan sangat tinggi. Upaya yang
dapat dilakukan adalah :
a. Pemberian insulin yang tepat waktu
b. Penanganan secara komprehensif oleh tenaga ahli medis di rumah sakit
c. Perbaikan fasilitas-fasilitas pelayanan yang lebih baik
6. Rehabilitation
Rehabilitation ditujukan untuk mengadakan perbaikan-perbaikan kembali pada
individu yang telah mengalami sakit. Pada penderita DM, upaya rehabilitasi yang
dapat dilakukan adalah :
a. Pengaturan diet makanan sehari-hari yang rendah lemak dan pengkonsumsian
makanan karbohidrat tinggi yang alami
b. Pemeriksaan kadar glukosa darah secara teratur dengan melaksanakan
pemeriksaan laboratorium komplit minimal sekali sebulan
c. Penghindaran atau penggunaan secara bijaksana terhadap obat-obat yang
diabetagonik
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada orang-orang yang
termasuk kelompok risiko tinggi, yakni mereka yang belum menderita, tetapi
berpotensi untuk menderita DM. Penyuluhan sangat penting perannya dalam upaya
pencegahan primer. Masyarakat luas melalui lembaga swadaya masyarakat dan
lembaga sosial lainnya harus diikutsertakan. Demikian pula pemerintah melalui
semua jajaran terkait seperti Departemen Kesehatan dan Departemen Pendidikan
perlu memasukkan upaya pencegahan primer DM dalam program penyuluhan dan
pendidikan kesehatan. Sejak masa prasekolah hendaknya telah ditanamkan
pengertian mengenai pentingnya kegiatan jasmani teratur, pola dan jenis makanan
yang sehat, menjaga badan agar tidak terlalu gemuk, dan risiko merokok bagi
kesehatan.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya
penyulit pada pasien yang telah menderita DM. Dilakukan dengan pemberian
pengobatan yang cukup dan tindakan deteksi dini penyulit sejak awal pengelolaan
penyakit DM. Salah satu penyulit DM yang sering terjadi adalah penyakit
kardiovaskular yang merupakan penyebab utama kematian pada penyandang
diabetes.
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan :
a. Skrinning
Skrinning dilakukan dengan menggunakan tes urin, kadar gula darah puasa,
dan GIT. Skrinning direkomendasikan untuk :
b. Pengobatan
Pengobatan diabetes mellitus bergantung kepada pengobatan diet dan
pengobatan bila diperlukan. Kalau masih bisa tanpa obat, cukup dengan
menurunkan berat badan sampai mencapai berat badan ideal. Untuk itu perlu
dibantu dengan diet dan bergerak badan.
Pengobatan dengan perencanaan makanan (diet) atau terapi nutrisi medik
masih merupakan pengobatan utama, tetapi bilamana hal ini bersama latihan
jasmani/kegiatan fisik ternyata gagal maka diperlukan penambahan obat oral.
Obat hipoglikemik oral hanya digunakan untuk mengobati beberapa individu
dengan DM tipe II. Obat ini menstimulasi pelapisan insulin dari sel beta
pancreas atau pengambilan glukosa oleh jaringan perifer.
Tabel 2
Aktivitas Obat Hipoglisemik Oral
Obat Lamanya jam Dosis lazim/hari
Klorpropamid (diabinise) 60 1
Glizipid (glucotrol) 12-24 1-2
Gliburid (diabeta, micronase) 16-24 1-2
Tolazamid (tolinase) 14-16 1-2
Tolbutamid (orinase) 6-12 1-3
c. DIET
Diet adalah penatalaksanaan yang penting dari kedua tipe DM. makanan
yang masuk harus dibagi merata sepanjang hari. Ini harus konsisten dari hari
kehari. Adalah sangat penting bagi pasien yang menerima insulin dikordinasikan
antara makanan yang masuk dengan aktivitas insulin lebih jauh orang dengan
DM tipe II, cenderung kegemukan dimana ini berhubungan dengan resistensi
insulin dan hiperglikemia. Toleransi glukosa sering membaik dengan penurunan
berat badan. (Hendrawan,2002).
1) Modifikasi dari faktor-faktor resiko
Menjaga berat badan
Tekanan darah
Kadar kolesterol
Berhenti merokok
Membiasakan diri untuk hidup sehat
Biasakan diri berolahraga secara teratur. Olahraga adalah aktivitas fisik
yang terencana dan terstruktur yang memanfaatkan gerakan tubuh yang
berulang untuk mencapai kebugaran.
Hindari menonton televisi atau menggunakan komputer terlalu lama,
karena hali ini yang menyebabkan aktivitas fisik berkurang atau minim.
Jangan mengonsumsi permen, coklat, atau snack dengan kandungan.
garam yang tinggi. Hindari makanan siap saji dengan kandungan kadar
karbohidrat dan lemak tinggi.
Konsumsi sayuran dan buah-buahan.
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang diabetes yang telah
mengalami penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut. Upaya
rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini mungkin, sebelum kecacatan menetap.
Sebagai contoh aspirin dosis rendah (80-325 mg/hari) dapat diberikan secara rutin
bagi penyandang diabetes yang sudah mempunyai penyulit makroangiopati. Pada
upaya pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan pada pasien dan keluarga.
Materi penyuluhan termasuk upaya rehabilitasi yang dapat dilakukan untuk mencapai
kualitas hidup yang optimal . Pencegahan tersier memerlukan pelayanan kesehatan
holistik dan terintegrasi antar disiplin yang terkait, terutama di rumah sakit rujukan.
Kolaborasi yang baik antar para ahli di berbagai disiplin (jantung dan ginjal, mata,
bedah ortopedi, bedah vaskular, radiologi, rehabilitasi medis, gizi, podiatrist, dll.)
sangat diperlukan dalam menunjang keberhasilan pencegahan tersier
(Konsensus,2006).
Gambar 1
Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2
C. Penanggulangan Diabetes Mellitus Tipe 2
Tabel 3.
Klasifikasi IMT (Asia Pasific)
Lingkar Perut
Klasifikasi IMT (Asia Pasific)
<90cm (Pria) >90cm (Pria)
<80cm (Wanita) >80cm (Wanita)
Risk of co-morbidities
BB Kurang <18,5 Rendah Rata-rata
BB Normal 18,5-22,9 Rata-rata Meningkat
BB Lebih >23,0 :
- Dengan risiko : 23,0-24,9 Meningkat Sedang
- Obes I : 25,0-29,9 Sedang Berat
- Obes II : ≥ 30 Berat Sangat berat
4) Progresive:
a) Latihan dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan, dari intensitas ringan
sampi sedang selama mencapai 30 – 60 menit.
b) Sasaran HR = 75 – 85 % dari maksimal HR.
c) Maksimal HR = 220 – (umur).
5). Endurance:
Latihan daya tahan untuk meningkatkan kemampuan kardiorespirasi, seperti
jalan jogging dan sebagainya. Latihan dengan prinsip seperti di atas minimal
dilakukan 3 hari dalam seminggu, sedang 2 hari yang lain dapat digunakan untuk
melakukan olah raga kesenangannya. Olah raga yang teratur memainkan peran
yang sangat penting dalam menangani diabetes, manfaat – manfaat utamanya
sebagai berikut:
a) Olah raga membantu membakar kalori karena dapat mengurangi berat
badan.
b) Olah raga teratur dapat meningkatkan jumlah reseptor pada dinding sel
tempat insulin bisa melekatkan diri.
c) Olah raga memperbaiki sirkulasi darah dan menguatkan otot jantung.
d) Olah raga meningkatkan kadar kolesterol “baik” dan mengurangi kadar
kolesterol “jahat”.
e) Olah raga teratur bisa membantu melepaskan kecemasan stress, dan
ketegangan, sehingga memberikan rasa sehat dan bugar.
Petunjuk Berolah Raga Untuk Diabetes Tidak Bergantung Insulin
a) Gula darah rendah jarang terjadi selama berola raga dan arena itu tidak perlu
untuk memakan karbohidrat ekstra
b) Olah raga untuk menurunkan berat badan perlu didukung dengan
pengurangan asupan kalori
c) Olah raga sedang perlu dilakukan setiap hari. Olah raga berat mungkin bisa
dilakukan tiga kali seminggu
d) Sangat penting untuk melakukan latihan ringan guna pemanasan dan
pendinginan sebelum dan sesudah berolah raga
e) Pilihlah olah raga yang paling sesuai dengan kesehatan dan gaya hidup anda
secara umum
f) Manfaat olah raga akan hilang jika tidak berolah raga selama tiga hari
berturut-turut
g) Olah raga bisa meningkatkan nafsu makan dan berarti juga asupan kalori
bertambah. Karena itu sangat penting bagi anda untuk menghindari makan
makanan ekstra setelah berolah raga.
h) Dosis obat telan untuk diabetes mungkin perlu dikurangi selama olah raga
teratur.
d. Intervensi Farmakologis
Apabila pengendalian diabetesnya tidak berhasil dengan pengaturan diet dan
gerak badan barulah diberikan obat hipoglikemik oral. Di Indonesia umumnya OHO
yang dipakai ialah Metformin 2 – 3 X 500 mg sehari. Pada pasien yang mempunyai
berat badan sedang dipertimbangkan pemberian sulfonilurea.
Pedoman pemberian sulfonilurea pada DM usia lanjut :
1) Harus waspada akan timbulnya hipoglikemia. Ini disebabkan karena
metabolisme sulfonilurea lebih lambat pada usia lanjut, dan seringkali pasien
kurang nafsu makan, sering adanya gangguan fungsi ginjal dan hati serta
pengaruh interaksi sulfonilurea dengan obat-obatan lain.
2) Sebaiknya digunakan digunakan sulfonyl urea generasi II yang mempunyai
waktu paruh pendek dan metabolisme lebih cepat.
3) Jangan mempergunakan klorpropamid karena waktu paruhnya sangat panjang
serta sering ditemukan retensi air dan hiponatremi pada penggunaan
klorpropamid. Begitu pula bila ada komplikasi ginjal, klorpropamid yang
kerjanya 24 – 36 jam tidak boleh diberikan, oleh karena ekskresi obat sangat
berkaian dengan fungsi ginjal. Hipoglikemia akibat klorpamid dapat berlangsung
lama, berbeda dengan hipoglikemi karena tolbutamid.
4) Sulfonilurea dengan kerja sedang ( seperti glibenklamid, glikasid), biasanya
dosis awal setengah tablet sehari, kalau perlu dapat dinaikkan 1 – 2 kali sehari.
5) Dosis oral pada umumnya bila dianggap perlu dapat dinaikkan tiap 1 – 2
minggu. Untuk mencegah hipoglikemia pada pasien tua lebih baik tidak
memberikan dosis maksimum.
6) Kegagalan sekunder dapat terjadi setelah penggunan OHO beberapa lama. Pada
kasus sperti ini biasanya dapat dicoba kombinasi OHO dengan insulin atau
langsung diberikan insulin saja.
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Diabetes Mellitus Tipe 2 adalah pankreas dapat menghasilkan cukup jumlah insulin
untuk metabolisme glukosa (gula), tetapi tubuh tidak mampu untuk memanfaatkan secara
efisien. Seiring waktu, penurunan produksi insulin dan kadar glukosa darah meningkat.
Dalam patofisiologi diabetes melitus tipe 2, dimulai dengan gangguan fase earlypeak yang
menyebabkan hiperglikemi dan selanjutnya gangguan fase sekresi insulin dimulai 20 menit
setelah stimulasi glukosa untuk menghasilkan insulin lebih banyak, tetapi sudah tidak mampu
meningkatkan sekresi insulin sebagaimana pada orang normal di mana tidak terjadi
hiperinsulinemi akan tetapi gangguan sel beta. NIDDM ditandai dengan adanya kelainan
dalam sekresi insulin maupun dalam kerja insulin.
Gambaran klini terjadinya DM tipe 2 ini yaitu melalui keluhan klasik seperti penurunan
berat badan, banyak kencing, banyak minum, banyak makan. adapun keluhan lain yang terjadi
yaitu gangguan saraf tepi / kesemutan, gatal / bisul, gangguan ereksi dan keputihan. dalam
menegakkan diagosis dm dapat dilakukan berdasarkan cara pelaksanaan TTGO menurut
WHO 1985.
Faktor risiko DM tipe 2 seperti genetik, usia, stres, minim gerak, pola makan yang
salah, dan obesitas. Pencegahannya dilakukan pada tiga level, yaitu primer berupa penyuluhan
pada faktor risiko; sekunder berupa diagnosis dini (skirning), pengobatan, dan diet; tersier
berupa tindakan rehabilitatif untuk mencapai kualitas hidup yang optimal. Adapun strategi
penanggulangan DM yaitu primordial prevention, health promotion, spesific protection,
early diagnosis and prompt treatmen, disability limitation dan rehabilitation. Tindakan
penanggulangan iaalah pengendalian DM yang lebih diprioritaskan pada pencegahan dini
melalui upaya pencegahan faktor risiko DM seperti upaya promotif dan preventif dengan
tidak mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif. Dan adapun faktor penanggulangan
Diabetes Melitus Tipe 2 yaitu melalui Edukasi, Perencanaan Makan, Aktivitas fisik dan
Pengobatan.
DAFTAR PUSTAKA