Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Salah satu penyakit degeneratif dengan sifat kronis adalah DM yang dalam
perjalanannya akan terus meningkat baik prevalensinya maupun keadaan penyakit itu
mulai dari tingkat awal atau yang berisiko DM sampai pada tingkat lanjut atau terjadi
komplikasi. DM dapat menimbulkan kerusakan pada semua organ tubuh dan
menimbulkan berbagai keluhan atau komplikasi, seperti komplikasi kronik pada
mata, ginjal, pembuluh darah dan lain-lain. Masalah kesehatan akibat DM dapat
menurunkan kualitas hidup sehingga penyakit DM merupakan masalah kesehatan
nasional dan dunia (Depkes, 2008).
Diabetes melitus (DM) adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin,
atau keduanya. Diabetes melitus merupakan salah satu masalah kesehatan utama pada
masyarakat yang mempunyai komplikasi jangka panjang dan pendek . Terdapat dua
jenis penyakit diabetes, yaitu DM tipe 1 dan DM tipe 2 (American Diabetes
Association, 2017).
Menurut International Diabetes Federation (IDF), DM adalah salah satu
masalah kesehatan yang serius pada masa sekarang. Setiap tahunnya, jumlah
penderita DM terus bertambah dan semakin berdampak pada peningkatan masalah
kesehatan apabila terjadi komplikasi pada penderitanya. IDF menemukan 85-95%
kasus diabetes dari seluruh penderita di seluruh dunia adalah DM tipe 2. Selain itu,
prevalensi orang dewasa yang mengalami gangguan toleransi glukosa berhubungan
erat dengan DM tipe 2 (Bilous, 2014).
IDF membagi wilayah dunia menjadi 7 wilayah dengan kejadian diabetes.
Western Pasific adalah salah satu wilayah dengan angka kematian tertinggi yang
disebabkan oleh DM diantara wilayah pembagian IDF lainnya yaitu sebanyak 44,9 %
kematian akibat DM terjadi pada usia dibawah usia 60 tahun. Negara Cina adalah
bagian dari Western Pasific yang mencapai 40,8% kematian dibawah usia 60 tahun.
Angka ini menjadikan negara Cina menjadi posisi teratas sebagai 10 negara dengan
penderita diabetes usia dewasa terbanyak dengan 39,4% penduduk penderita DM dan
Bangladesh pada posisi kesepuluh 2,5% penduduk. Negara Indonesia adalah bagian
dari wilayah Western Pasific dengan 39 negara lainnya. Negara Indonesia menduduki
posisi ketujuh dari 10 negara dengan predikat penderita diabetes terbanyak, yaitu
sebanyak 3,6% penduduk (IDF, 2015).
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi adanya peningkatan jumlah
penyandang DM yang menjadi salah satu ancaman kesehatan global. WHO
memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 4% pada tahun 2000
menjadi sekitar 6.2% pada tahun 2030. Laporan ini menunjukkan adanya peningkatan
jumlah penyandang DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2035. Sedangkan
International Diabetes Federation (IDF) memprediksi adanya kenaikan jumlah
penyandang DM di Indonesia dari 3,6% pada tahun 2014 menjadi 4,6% pada tahun
2035 (Perkeni, 2015).
Menurut data Riskesdas 2013, proporsi DM di Indonesia adalah 6,9 %.
Prevalensi diabetes di Indonesia tahun 2013 adalah 2,1%. Angka tersebut lebih tinggi
dibanding dengan tahun 2007 (1,1%). Sebanyak 31 provinsi yang ada di Indonesia
(93,9%) menunjukkan kenaikan prevalensi DM (Profil Kesehatan Indonesia, 2014).
Hasil Riskesdas 2013 menunjukkan prevalensi tertinggi adalah Provinsi Sulawesi
Tengah (3,7%), provinsi terendah adalah Bengkulu dan Kalimantan Barat (1%).
Provinsi Sumatera Utara memiliki prevalensi DM dengan komplikasi (1,8%) dan
proporsi penderita DM dengan komplikasi 2,3%. Hasil Riset Kesehatan Dasar khusus
Provinsi Sumatera Utara tahun 2013, prevalensi DM tertinggi di Deli Serdang 2,9%,
di daerah Karo 1,9% dan terendah di Mandailing Natal 0.3% (Kemenkes, 2014).
Tingginya prevalensi DM sejalan dengan tingginya komplikasi dari DM itu
sendiri. Di Indonesia sendiri komplikasi kronik dari DM ini terdiri atas neuropati
(60%), penyakit jantung koroner (20,5%), ulkus diabetik (15%), retinopati diabetik
(10%), dan nefropati (7,1%) (Hastuti, 2008).
Berdasarkan penelitian Tarigan (2011) di RSU Herna Medan tahun 2009 –
2010 terdapat 134 penderita DM dengan komplikasi yang dirawat inap. Proporsi
penderita DM yang mengalami komplikasi yaitu yang mengalami ulkus diabetik
(26,1%), hipertensi (15,7%), nefropati diabetik (13,4%), TB paru (12,8%),
hipoglikemia (6,7%), stroke (6,7%), neuropati diabetik (5,2%), hiperglikemia (4,5%),
PJK (3,7%), dyspepsia (3,7%), dan retinopati diabetik (1,5%) (Tarigan, 2011).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Diabetes Melitus


Diabetes melitus (DM) adalah penyakit gangguan metabolik menahun akibat
pankreas tidak memproduksi cukup insulin atau tubuh tidak dapat menggunakan
insulin yang diproduksi secara efektif (Kementrian Kesehatan RI, 2014). Menurut
American Diabetes Asosiation (ADA) (2017), Diabetes melitus merupakan salah satu
kelompok penyakit metabolik yang ditandai oleh hiperglikemia karena gangguan
sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya. Keadaan hiperglikemia kronis dari
diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, gangguan fungsi dan
kegagalan berbagai organ, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah.

2.2 Klasifikasi
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2017, klasifikasi DM
dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:
1. Diabetes Melitus tipe 1
Akibat kerusakan sel beta pankreas, sehingga dapat menyebabkan defisiensi
insulin.
2. Diabetes Melitus tipe 2
Akibat adanya gangguan sekresi insulin yang dapat menyebabkan resistensi
insulin. Pada kebanyakan kasus, DM ini terjadi pada usia >30 tahun dan
timbul secara perlahan (Guyton, 2006). Menurut Perkeni (2011) untuk kadar
gula darah puasa normal adalah ≤ 126 mg/dl, sedangkan untuk kadar gula
darah 2 jam setelah makan yang normal adalah ≤ 200 mg/dl.
3. Gestasional Diabetes Melitus (GDM)
Timbul pada saat kehamilan. Didiagnosa pada trimester kedua atau ketiga
kehamilan.
4. Diabetes karena penyebab lain
a. Sindrom diabetes monogenik, seperti neonatal diabetes, dan maturity-
onset diabetes of the young (MODY).
b. Penyakit eksokrin pankreas, seperti fibrosis kistik.
c. Karena pengaruh obat atau zat kimia, seperti dalam penggunaan
glukokortikoid, pengobatan HIV/AIDS atau paska transplantasi organ.

2.3 Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 2


Transporter glukosa yang paling utama dan berperan pada jaringan otot dan
jaringan lemak adalah Glucose transporter type 4 (GLUT-4). GLUT-4 normalnya
didaur ulang diantara membran plasma sel dan simpanan intraselular. Translokasi
GLUT-4 intraselular dirangsang oleh insulin, sebenarnya 8 dimulai dari ikatan insulin
kepada reseptor di bagian ekstraselular. Bila ada insulin, akan terjadi translokasi
reseptor ke membran plasma yang akan menyebabkan peningkatan glukosa masuk ke
dalam sel. Insulin akan berikatan dengan reseptor di ekstraseluler yang akan
menyebabkan reaksi fosforilasi. Reaksi tersebut akan memfosforilasi protein
intraseluler yaitu Insulin Reseptor Substrate-1 (IRS-1). IRS-1 memicu transpor
glukosa transmembran. Tingginya kadar glukosa darah pada seseorang yang
mengalami resistensi insulin maka akan menyebabkan terganggunya translokasi
GLUT-4 dari intraseluler ke membran plasma (Raymond RT, 2016).
Mekanisme utama patofisiologi DM tipe 2 adalah terjadinya resistensi insulin dan
insufisiensi sekresi insulin. Resistensi insulin berhubungan erat dengan kondisi
obesitas, dimana obesitas akan menyebabkan peningkatan kadar sitokin proinflamasi
sistemik, menyebabkan sel-sel tidak peka terhadap insulin. Mekanisme persisnya
yang menyebabkan sitokin proinflamasi dapat menyebabkan penurunan kepekaan sel
terhadap insulin masih belum dapat diketahui pasti (Ozougwu et al, 2013).
Karena resistensi insulin, maka sel beta pankreas akan meningkatkan produksi
insulin untuk menyesuaikan keadaan glukosa darah dan kebutuhan relatif sel akan
insulin dimana kepekaannya telah berkurang. Oleh karena itu, pada keadaan
prediabetik, akan ditemukan keadaan hiperinsulinemia dengan kadar glukosa darah
yang masih normal. Namun kemampuan pankreas untuk mempertahankan sekresi
insulin yang tinggi tersebut terbatas, dan semakin lama resistensi insulin yang
semakin meningkat akan meningkatkan stres sel beta pankreas memproduksi insulin,
sehingga pelan-pelan sel-sel beta akan mengalami kemunduran produksi insulin, dan
terjadilah keadaan insufisiensi sekresi insulin (Ozougwu et al, 2013; Price & Wilson,
2003).
Saat resistensi insulin dan insufisiensi sekresi insulin terjadi, maka terjadilah
keadaan diabetes. Gula darah akan meningkat, dan mekanisme lain untuk
mempertahankan kadar glukosa darah agar tetap dalam kadar normal diambil alih
oleh ginjal. Ginjal akan mengekskresikan glukosa, sehingga akan timbul glikosuria.
Kadar glukosa yang tinggi di urin inilah yang menjadi alasan diabetes mellitus juga
disebut penyakit “kencing manis” (Romesh, 2014; Ozougwu et al, 2013).
Glikosuria akan menyebabkan peningkatan tekanan osmotik urin. Hal ini akan
menyebabkan plasma darah yang melewati ginjal akan ditarik ke nefron sehingga
kadar air yang diekskresikan ginjal bertambah, menyebabkan poliuria. Poliuria
kemudian akan menyebabkan kadar cairan tubuh berkurang, sehingga mekanisme
fisiologis akan dehidrasi bekerja, menyebabkan rasa haus dan polidipsia. Glikosuria
menyebabkan sumber energi tubuh (glukosa) terbuang, ditambah dengan
ketidakmampuan relatif sel-sel tubuh mengonsumsi glukosa karena resistensi insulin
dan insufisiensi sekresi insulin, menyebabkan rasa lapar, polifagia, mudah lelah, dan
penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya pada pasien DM tipe
2. Oleh karena itu, poliuria, polidipsia, dan polifagia adalah gejala klasik DM yang
paling awal (Romesh, 2014; Ozougwu et al, 2013; Price & Wilson, 2003)
Ginjal tidak dapat menyekresikan glukosa hingga pada kadar yang normal,
sehingga walaupun sudah terjadi glikosuria dan poliuria, kadar glukosa darah tetap
tinggi. Kadar glukosa darah yang tinggi ini akan menyebabkan gangguan metabolik
dan penumpukan “produk glukosa” sistemik, yang terutama akan menumpuk pada
pembuluh darah dan neuron. Apabila keadaan hiperglikemia tetap dibiarkan kronis,
maka komplikasi metabolik akut, vaskular, dan neurologis DM akan terjadi (Romesh,
2014; Ozougwu et al, 2013).
Komplikasi metabolik akut lebih dikarenakan oleh disfungsi kontrol
metabolik insulin, terutama pada hati, dibandingkan hiperglikemia itu sendiri. Insulin
tidak hanya menyebabkan glukosa darah dapat dikonsumsi oleh sel, namun insulin
juga mengontrol fungsi glikogenesis, lipogenesis, glukoneogenesis, lipolisis, dan
pembentukan badan keton. Ketosis adalah keadaan metabolik akut yang dapat terjadi
pada keadaan DM dengan insufisiensi sekresi insulin yang nyata, menyebabkan
keadaan yang disebut sebagai ketoasidosis metabolik (KAD). Namun KAD lebih
sering ditemui pada pasien dengan DM tipe 1. Keadaan ini ditandai dengan terjadinya
gejala-gejala asidosis, seperti takipnea, penurunan pH darah, dan penurunan kadar
bikarbonat darah (Romesh, 2014; Ozougwu et al, 2013).
Pada pasien dengan DM tipe 2, gangguan metabolik akut yang lebih sering
terjadi adalah hyperglicemic hyperosmolar state (HHS). Karena pada DM tipe 2
hanya terjadi (walau hanya pada awalnya) insufisiensi sekresi insulin relatif, maka
insulin yang ada masih cukup untuk mengontrol fungsi metabolik hati untuk
memproduksi badan keton, sehingga kadar badan keton pada tubuh dapat ditekan, dan
tidak terjadi ketosis. Namun, hiperglikemia akut, yang biasanya terjadi apabila
glukosa darah lebih dari 600 mg/dL dan terutama pada pasien tua, akan menyebabkan
terjadinya peningkatan tekanan osmotik plasma yang drastis, menyebabkan
pengeluaran urin masif yang menyebabkan dehidrasi. Kadar glukosa yang tinggi
tersebut juga menyebabkan kadar pH darah menurun, sehingga terjadi asidosis
nonketotik. Keadaan asidosis dan dehidrasi pada HHS ini dapat menyebabkan
penurunan kesadaran dan kematian apabila tidak segera ditangani dengan rehidrasi
dan pengontrolan hiperglikemia dengan insulin (Romesh, 2014; Ozougwu et al,
2013).
Selain komplikasi metabolik akut, dapat terjadi juga komplikasi jangka
panjang yang menyerang vaskular dan saraf. Hiperglikemia kronis menyebabkan
peningkatan kadar glikoprotein, dan glikoprotein tersebut akan menumpuk di
vaskular dan neuron. Pada vaskular, komplikasi penumpukan glikoprotein ini dibagi
menjadi lesi mikrovaskular dan lesi makrovaskular (Romesh, 2014; Ozougwu et al,
2013).
Lesi mikrovaskular akan menyebabkan komplikasi seperti retinopati diabetik
dan nefropati diabetik. Retinopati diabetik ditandai dengan mikroaneurisma,
neovaskularisasi, dan perdarahan sehingga menyebabkan kebutaan. Sedangkan pada
nefropati diabetik, kadar glukosa masif darah yang melewati ginjal akan
menyebabkan lesi pada struktur nefron, sehingga dapat menyebabkan
glomerulosklerosis, yang kemudian akan meluas ke seluruh struktur nefron dan
menyebabkan gagal ginjal (Romesh, 2014; Ozougwu et al, 2013).
Lesi makrovaskular akan menyebabkan aterosklerosis pada pembuluh-
pembuluh darah, terutama pada pembuluh darah perifer, pembuluh darah koroner,
dan pembuluh darah serebral. Lesi aterosklerotik pada pembuluh darah perifer lebih
sering nyata terjadi pada pembuluh darah telapak kaki, dimana disertai dengan
menurunnya sensitivitas sensorik terhadap trauma saat berjalan (neuropati), maka lesi
aterosklerotik pada pembuluh darah perifer tersebut akan menyebabkan darah sulit
untuk mengalir dan terjadi luka yang berulang pada daerah kaki. Hambatan aliran
darah pada daerah luka akan menyebabkan sel-sel imun yang berfungsi untuk
regenerasi dan peradangan tidak dapat sampai pada daerah lesi, sehingga
penyembuhan luka tidak terjadi dan terjadi infeksi pada daerah luka. Mekanisme
inilah yang menyebabkan ulkus diabetik pada penderita DM tipe 2 (Romesh, 2014;
Rowe, 2014; Ozougwu et al, 2013).
Lesi aterosklerotik pada pembuluh darah koroner akan menyebabkan
penderita DM tipe 2 untuk lebih beresiko mengalami penyakit jantung koroner (PJK).
Lesi pada pembuluh darah serebral dapat meningkatkan resiko penderita DM tipe 2
untuk mengalami penyakit serebrovaskular (Cerebrovascular Disease; CVD)
(Romesh, 2014; Ozougwu et al, 2013).
Mekanisme lain yang terjadi pada penderita DM tipe 2 adalah gangguan
metabolisme jalur poliol (glukosa, sorbitol, fruktosa) dikarenakan insufisiensi insulin
relatif menyebabkan kadar insulin yang kurang tidak dapat mengatur jalannya
metabolisme ini. Akibatnya, akan terjadi penumpukan sorbitol pada lensa mata, yang
akan menyebabkan elastisitas lensa berkurang, dan terjadilah katarak diabetika
(Ozougwu et al, 2013; Price & Wilson, 2003).
Penumpukan sorbitol juga terjadi pada serabut mielin, dimana sorbitol akan
merusak serabut mielin dan akson akan mengalami degenerasi. Penurunan
kemampuan akson ini akan menyebabkan neuropati diabetik, yang akan berakibat
luas kepada sistem saraf sensorik, sistem saraf motorik, dan sistem saraf otonom
(Romesh, 2014; Ozougwu et al, 2013).
Kerusakan sistem saraf sensorik akan menyebabkan parestesia, anestesia, dan
penurunan kepekaan akan rangsang nosiseptif, sehingga penderita DM tipe 2 dapat
mengalami kecenderungan untuk mengalami luka tanpa disadari, terutama pada
daerah kaki. Sedangkan pada sistem saraf motorik, dapat terjadi kelemahan otot.
Kerusakan pada sistem otonom dapat menyebabkan impotensi (Price & Wilson,
2003).

2.4 Etiologi Diabetes Mellitus


Faktor-faktor penyebab DM meliputi :
2.4.1 Genetik
Faktor genetik merupakan faktor penting pada DM yang dapat mempengaruhi
sel beta dan mengubah kemampuannya untuk mengenali sekretoris insulin.
Keadaan ini meningkatkan kerentanan individu tersebut terhadap faktor-faktor
lingkungan yang dapat mengubah integritas dan fungsi sel beta pankreas
(Price and Wilson, 2006).
2.4.2 Usia
Diabetes mellitus tipe II biasanya terjadi setelah usia 30 tahun dan semakin
sering terjadi setelah usia 40 tahun, selanjutnya terus meningkat pada usia
lanjut. Kejadian usia lanjut dengan gangguan toleransi glukosa mencapai 50-
92% (Rochman dalam Sudoyo, 2006). Sekitar 6% individu berusia 45-64
tahun dan 11% individu berusia lebih dari 65 tahun menderita DM tipe II
(Ignativicius & Workman, 2006). Rochman W dalam Sudoyo (2006)
menyatakan bahwa usia sangat erat kaitannya dengan terjadinya kenaikan
kadar glukosa darah, sehingga semakin meningkat usia maka prevalensi DM
dan gangguan toleransi glukosa semakin tinggi. Proses menua yang
berlangsung setelah usia 30 tahun mengakibatkan perubahan anatomis,
fisiologis dan biokimia. Perubahan dimulai dari tingkat sel, berlanjut pada
tingkat jaringan dan akhirnya pada tingkat organ, yang dapat mempengaruhi
fungsi homeostasis (Price and Wilson, 2006).
2.4.3 Jenis kelamin
Penyakit DM ini sebagian besar dijumpai pada perempuan dibandingkan laki-
laki karena terdapat perbedaan dalam melakukan semua aktivitas dan gaya
hidup sehari-hari yang sangat mempengaruhi kejadian suatu penyakit, dan hal
tersebut merupakan salah satu faktor risiko terjadinya penyakit DM
(Soegondo, 2007). Jumlah lemak pada laki-laki dewasa rata-rata berkisar
antara 15-20% dari berat badan total, dan pada perempuan sekitar 20-25%.
Jadi peningkatan kadar lemak pada perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-
laki, sehingga faktor risiko terjadinya DM pada perempuan 3-7 kali lipat lebih
tinggi dibandingkan pada laki-laki yaitu 2-3 kali lipat (Soegondo, 2007).
2.4.4 Berat badan
Obesitas adalah berat badan yang berlebih minimal 20% dari BB idaman atau
indeks massa tubuh lebih dari 25 kg/m2. Soegondo (2007) menyatakan bahwa
obesitas menyebabkan respon sel beta pankreas terhadap peningkatan glukosa
darah berkurang, selain itu reseptor insulin pada sel di seluruh tubuh termasuk
di otot berkurang jumlahnya dan kurang sensitif.
2.4.5 Aktivitas fisik
Kurangnya aktifitas merupakan salah satu faktor yang ikut berperan dalam
resistensi insulin pada DM tipe II (Soegondo, 2007). Kriska (2007)
menyatakan mekanisme aktifitas fisik dapat mencegah atau menghambat
perkembangan DM tipe II yaitu :
1) resistensi insulin
2) peningkatan toleransi glukosa
3) Penurunanlemak adipose
4) Pengurangan lemak sentral; perubahan jaringan otot. Aktivitas fisik yang
semakin jarang maka gula yang dikonsumsi juga akan semakin lama terpakai,
akibatnya prevalensi peningkatan kadar gula dalam darah juga akan semakin
tinggi.
2.4.6 Pola makan
Penurunan kalori berupa karbohidrat dan gula yang diproses secara
berlebihan, merupakan faktor eksternal yang dapat merubah integritas dan
fungsi sel beta individu yang rentan (Prince & Wilson, 2006). Individu yang
kelebihan berat badan harus melakukan diet untuk mengurangi kebutuhan
kalori sampai berat badannya turun mencapai batas ideal. Penurunan kalori
yang moderat (500-1000 Kkal/hari) akan menghasilkan penurunan berat
badan yang perlahan tapi progresif (0,5-1 kg/minggu). Penurunan berat badan
2,5-7 kg/bulan akan memperbaiki kadar glukosa darah (ADA, 2006).
2.4.7 Stress
Respon stress menyebabkan terjadinya sekresi sistem saraf simpatis yang
diikuti oleh sekresi simpatis-medular, dan bila stress menetap maka sistem
hipotalamus-pituitari akan diaktifkan dan akan mensekresi corticotropin
releasing factor yang menstimulasi pituitary anterior untuk memproduksi
adenocorticotropic faktor (ACTH). Adenocorticotropic menstimulasi
produksi kortisol, kortisol adalah hormon yang dapat menaikkan kadar gula
darah (Guyton, 2006).

2.5 Manifestasi Klinis Diabetes Mellitus


Menurut Price and Wilson (2006), manifestasi klinis DM dikaitkan dengan
konsekuensi metabolik defisiensi insulin. Pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat
mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal, atau toleransi glukosa
setelah makan karbohidrat. Jika hiperglikemianya berat dan melebihi ambang ginjal
untuk zat ini, maka akan akan menimbulkan glukosa. Glukosa ini akan
mengakibatkan diuresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran urine (poliuria) dan
timbul rasa haus (polidipsia). Biasanya mereka tidak mengalami ketoasidosis karena
pasien ini tidak defisiensi insulin secara absolute namun hanya relatif. Sejumlah
insulin tetap disekresi dan masih cukup untuk menghambat ketoasidosis. Apabila
terjadi hiperglikemia berat dan pasien berespon terhadap terapi diet, atau terhadap
obat-obat hipoglikemik oral, mungkin diperlukan terapi insulin untuk menormalkan
kadar darahnya. Pasien ini biasanya memperlihatkan kehilangan sensitivitas perifer
terhadap insulin. Kadar insulin pada pasien sendiri mungkin berkurang, normal atau
malahan tinggi, tetapi tetap tidak memadai untuk mempertahankan kadar glukosa
darah normal (Price and Wilson,2006).

2.6 Diagnosis
Diagnosis Diabetes Melitus (DM) ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar
glukosa darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna
penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah
pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan
bahan darah utuh (whole blood) vena ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan
dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai
pembakuan oleh WHO (Sudoyo Aru, 2006).
Ada perbedaan antara uji diagnostik Diabetes Melitus (DM) dan
pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik DM dilakukan pada mereka yang
menunjukkan gejala atau tanda DM, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan
untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai resiko
DM. Serangkaian uji diagnostik akan dilakukan kemudian pada mereka yang
hasil pemeriksaan penyaringnya positif, untuk memastikan diagnosis definitif
(Sudoyo Aru, 2006).
Diagnosis klinis Diabetes Melitus (DM) umumnya akan dipikirkan bila ada
keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin
dikemukakan pasien adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita. Apabila ditemukan
gejala khas DM, pemeriksaan glukosa darah abnormal satu kali saja sudah cukup
untuk menegakkan diagnosis, namun apabila tidak ditemukan gejala khas DM,
maka diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal. Diagnosis DM
juga dapat ditegakkan melalui cara pada tabel 1.
Tabel 1. Kriteria Diagnosis DM
1. Gejala klasik DM + Glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/L)
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari
tanpa memperhatikan waktu makan terakhir
2. Atau, gejala klasik DM + Glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl (7,0 mmol/L)
Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam
3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/L)
TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang
setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.
(Purnamasari, D. 2009)

Cara Pelaksanaan TTGO (PERKENI, 2002) :


 3 (tiga) hari sebelum pemeriksaan makan seperti biasa (karbohidrat
cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti yang biasa
dilakukan
 Puasa paling sedikit 8 jam mulai malam hari sebelum pemeriksaan,
minum air putih tanpa gula diperbolehkan
 Diperiksa kadar glukosa darah puasa
 Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB
(anak-anak), dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu
15 menit
 Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk
pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glukosa selesai
 Diperiksa kadar glukosa darah dua jam sesudah beban glukosa
 Selama proses pemeriksaan subyek yang dipeiksa tetap istirahat dan
tidak merokok
Pemeriksaan penyaringan
Pemeriksaan penyaring ditujukan pada mereka yang mempunyai risiko
Diabetes Melitus (DM) namun tidak menunjukkan adanya gejala DM. Pemeriksaan
ini bertujuan untuk menemukan pasien dengan DM, TGT (Toleransi Glukosa
Terganggu) maupun GDPT (Glukosa Darah Puasa Terganggu), sehingga dapat
ditangani lebih dini secara tepat. Pasien dengan TGT dan GDPT juga disebut sebagai
prediabetes, merupakan tahapan sementara menuju DM. Kedua keadaan tersebut
merupakan faktor risiko untuk terjadinya DM dan penyakit kardiovaskular di
kemudian hari.
Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada semua individu dewasa dengan Indeks Massa
Tubuh (IMT) ≥ 25 Kg/m2 dengan faktor resiko lain sebagai berikut
1. Aktivitas fisik kurang
2. Riwayat keluarga mengidap DM pada turunan pertama (first degree relative)
3. Masuk kelompok etnik risiko tinggi (African American, Latino, Native
American, Asian American, Pasific Islander)
4. Wanita dengan riwayat melahirkan bayi dengan berat > 4000 gram atau
riwayat DM gestasional (DMG)
5. Hipertensi (tekanan darah > 140/90 mmHg atau sedang dalam terapi obat anti
hipertensi
6. Kolesterol HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL
7. Wanita dengan sindrim polikistik ovarium
8. Riwayat Toleransi glukosa terganggu (TGT) atau Glukosa darah puasa
terganggu (GDPT)
9. Keadaan lain yang berhubungan dengan resistensi insulin (obesitas, akantosis
nigrikans)
10. Riwayat penyakit kardiovaskular

Tabel 2.
Konsentrasi Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa
Sebagai Patokan Penyaring dan Diagnosis DM (mg/dL)
Bukan Belum pasti DM
DM DM
Kadar glukosa darah Plasma vena < 110 110-199 > 200
sewaktu (mg/dl)
Darah < 90 90-199 > 200
kapiler
Kadar glukosa darah Plasma vena < 110 110-125 > 126
puasa (mg/dl)
Darah < 90 90-199 > 110
kapiler
Sumber : Soegondo S (2005)

Tabel 3.
Kriteria diagnostik diabetes melitus * dan gangguan toleransi glukosa
1. Konsentrasi glukosa darah sewaktu (plasma vena) ³ 200 mg/dl
2. Konsentrasi glukosa darah puasa > 126 mg/dL atau
3. Kadar glukosa plasma ³ 200 mg/dl pada dua jam sesudah beban
glukosa 75 gram pada TTGO **
*
Kriteria diagnostik tersebut harus dikonfirmasi ulang pada hari yang
lain, kecuali untuk keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi metabolik
berat, seperti ketoasidosis, gejala klasik : poliuri, polidipsi, polifagi dan berat
badan menurun cepat.
**
Cara Diagnosis dengan kriteria ini tidak dipakai rutin di klinik, untuk
penelitian epidemiologis pada penduduk dianjurkan memakai kriteria diagnostik
kadar glukosa darah puasa dan dua jam pasca pembebanan. Untuk DM
gestasional juga dianjurkan kriteria diagnostik yang sama.

2.7 Penatalaksanaan
Tujuan terapeutik pada setiap tipe DM adalah mencapai kadar glukosa darah
normal tanpa terjadinya hipoglikemia dan gangguan serius pada pola aktivitas pasien.
Menurut Konsensus Perkeni 2011, ada empat pilar penatalaksanaan DM.
2.7.1 Edukasi
Pengelolaan mandiri DM secara optimal membutuhkan partisipasi aktif pasien
dalam merubah perilaku yang tidak sehat. Tim kesehatan harus mendampingi
pasien dalam perubahan perilaku tersebut, yang berlangsung seumur hidup.
Keberhasilan dalam mencapai perubahan perilaku, membutuhkan edukasi,
pengembangan keterampilan (skill), dan upaya peningkatan motivasi.
2.7.2 Terapi Gizi Medis
Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM hampir sama dengan anjuran
makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai
dengan kebutuhan kalori masing masing individu. Perlu ditekankan
pentingnya keteraturan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan
terutama pada pasien yang menggunakan obat penurun glukosa darah dan
insulin. Menurut Smeltzer dan Bare (2002), tujuan utama terapi DM adalah
menormalkan aktivitas insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya untuk
mengurangi terjadinya komplikasi vaskuler serta neuropatik. Tujuan
terapeutik pada setiap tipe DM adalah mencapai kadar glukosa darah normal
(euglikemia) tanpa terjadinya hipoglikemia dan gangguan serius pada pola
aktivitas pasien. Salah satu penalaksanaan DM antara lain dengan diet dan
apabila DM telah terjadi komplikasi Chronic kidney disease (CKD) pada
stadium 3 maka penatalaksaan diet DM tidak tepat untuk digunakan.
Diet dan pengendalian berat badan merupakan dasar dari penatalaksanaan
DM. Penatalaksanaan nutrisi pada penderita diarahkan untuk mencapai tujuan
sebagai berikut:
a. Memberikan semua unsur makanan esensial (misalnya vitamin dan mineral)
b. Mencapai dan mempertahankan berat badan yang sesuai
c. Memenuhi kebutuhan energi
d. Mencegah fluktuasi kadar glukosa darah setiap harinya dengan
mengupayakan kadar glukosa darah mendekati normal melalui cara-cara yang
aman dan praktis
e. Menurunkan kadar lemak darah jika kadar ini meningkat (Perkeni, 2011).
Syarat diet penyakit DM menurut Perkeni 2011 adalah :
a. Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan
penyandang diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan
kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kalori / kg BB ideal,
ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa faktor yaitu jenis
kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dll. Perhitungan berat badan
ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT) berdasarkan kriteria Asia
Pasifik dapat dihitung dengan rumus IMT = BB(kg)/ TB(m2).
b. Kebutuhan protein sebesar 10-20 % dari total asupan energy
c. Kebutuhan lemak dianjurkan sekitar 20-25% dari kebutuhan energi
total, dalam bentuk <7% dari kebutuhan energi total berasal dari lemak
jenuh, 10% dari lemak tak jenuh ganda, sedangkan sisanya dari lemak
jenuh tunggal. Asupan kolesterol dibatasi, yaitu < 200 mg hari.
d. Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.
e. Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang DM dapat
makan sama dengan makanan keluarga yang lain. Buahbuahan tidak
secara berlebihan dari 5% total asupan energy.
f. Anjuran konsumsi serat adalah ± 25 g/hari.

2.7.3 Latihan Jasmani


Kegiatan jasmani sangat penting dalam penatalaksanaan diabetes karena
efeknya dapat menurunkan kadar glukosa darah dan mengurangi resiko
kardiovaskuler. Latihan akan menurunkan kadar glukosa darah dengan
meningkatkan pengambilan glukosa oleh otot dan memperbaiki pemakaian
insulin. Sirkulasi darah dan tonus otot juga diperbaiki dengan berolahraga.
Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran
jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat latihan jasmani dapat ditingkatkan,
sementara yang sudah mendapat komplikasi dapat dikurangi. Hindarkan
kebiasaan yang kurang gerak.
2.6.4 Terapi Farmakologis
a. Obat Anti-hiperglikemia Oral:
1. Insulin secretagogue: memacu sekresi insulin. Contohnya yaitu
sulfonilurea dan glinid.
2. Peningkat sensitivitas terhadap insulin. Contohnya yaitu metformin
dan tiazolidindion (TZD).
3. Penghambat Glukosidase Alfa: menghambat absorbsi glukosa dalam
usus halus.
4. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV): saat kerja DPP-IV
dihambat maka GLP-1 tetap dalam konsentrasi yang tinggi sehingga
dapat meningkatkan sekresi insulin dan menekan sekresi glukagon.
5. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2):
menghambat reabsorpsi glukosa di tubuli distal ginjal. Contohnya
yaitu: canagliflozin, empagliflozin.
b. Obat Antihiperglikemia Suntik
1. Insulin
2. Agonis GLP-1/Incretin Mimetic: merangsang pelepasan insulin yang
tidak menimbulkan hipoglikemia (Eliana, 2015).

2.8 Komplikasi
Menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) komplikasi DM
dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Komplikasi akut
a. Hipoglikemia adalah kadar gula darah <50 mg/dl. Kadar gula yang rendah dapat
menyebabkan kerusakan pada sel–sel otak karena tidak mendapat pasokan
energi.
b. Hiperglikemia adalah kadar gula darah tiba–tiba tinggi. Keadaan ini dapat
menyebabkan ketoasidosis diabetik, koma hiperosmolar non ketotik (KHNK)
dan kemolakto asidosis.
2. Komplikasi kronis
a. Komplikasi makrovaskular yang biasanya terjadi adalah trombosit otak
(pembekuan darah pada sebagian otak), dan mengalami penyakit jantung
koroner (PJK).
b. Komplikasi mikrovaskular, seperti nefropati, diabetik retinopati, dan neuropati
(ADA, 2011).
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 ANAMNESIS

3.1.1 IDENTITAS PRIBADI

Nama : Ny. EP

Jenis Kelamin : Perempuan

Usia : 35 tahun

Agama : Kristen

Pekerjaan : Pegawai Swasta

Alamat : Jl. F. Pasaribu Gg. Jambu bol no. 39 P. Siantar

Tanggal Masuk : 05 Januari 2021

3.1.2 AUTOANAMNESIS

Keluhan Utama : Sesak Nafas

Telaah : Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan sesak


nafas yang dialami ± 1 minggu dan memberat sejak hari
ini. Sesak nafas bersifat terus menerus, tidak
dipengaruhi aktivitas dan tidak berkurang dengan
istirahat. Os juga mengeluhkan lemas sejak 1 minggu
ini, sering buang air kecil terutama pada malam hari
sehingga pasien sulit tidur, sering merasa haus dan BB
turun dalam waktu 2 bulan ini. Os juga mengalami
batuk dan demam naik turun 1 minggu ini. Mual (+),
muntah disangkal, nafsu makan baik, BAB (+) normal.

Riwayat penyakit Terdahulu : HT

Riwayat penyakit Keluarga : DM

Riwayat penggunaan obat : Paracetamol

Alergi obat :-

3.2 PEMERIKSAAN FISIK

3.2.1 PEMERIKSAAN UMUM

Kesadaran : Compos Mentis (G C S: E4 M6 V5)

Keadaan Umum : Tampak Sakit sedang

Berat Badan : 75 kg

Tinggi Badan : 158 cm

IMT : 30 kg/m2

Tekanan darah : 140/90 mmHg

Frekuensi nadi : 90 kali/menit

Pernapasan : 30 kali/menit

Temperatur : 37’ C

3.2.2 KEPALA DAN LEHER

Pupil : Bulat isokor


Konjungtiva : Anemis (-/-)

Sklera : Tidak Ikterik

Lidah : Dalam batas normal

3.2.3 THORAKS

Inspeksi : Simetris

Palpasi : Stem Fremitus Kiri=kanan

Perkusi : Sonor / Sonor

Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi kering (+/+),


wheezing (-/-)

3.2.4 ABDOMEN

Inspeksi : Simetris

Palpasi : Nyeri tekan a/r epigastrium

Perkusi : Timpani

Auskultasi : Peristaltik (+) normal

3.2.5 KELENJAR & GETAH BENING

Dalam batas normal

3.2.6 EKSTREMITAS

Akral hangat, ROM tidak terbatas, CRT : < 2 detik.

3.2.7 GENITALIA

Inspeksi : Tidak dievaluasi


3.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG

3.3.1 DARAH LENGKAP

Tanggal 04/01/2020

Pemeriksaan Laboratorium Hasil Nilai Normal

Darah Rutin
Hemoglobin 13,5 12-16 gr/dl
Hematokrit 39,7 36-46 %
Leukosit 10.700 4.500-11.000/mm3
Eritrosit 4,52 4,20 – 5,40
Trombosit 301.000 150.000-400.000/mm3
MCV 86,7 80-97 fL
MCH 29,8 26,5 – 33,5pg
MCHC 34,4 31,5- 35,5 %
LED 74 0-20 mm/jam
Kimia Darah

Gula Darah Sewaktu 517 110-200 mg/dL


HbA1c 13,5 0.00-6.50%
Serologi Imunologi
Rapid Test Covid-19
SARS_COV-2 IgG Non- Reaktif Non- Reaktif
SARS_COV-2 IgM Non- Reaktif Non- Reaktif
3.3.2 FOTO THORAX

Tanggal: 04 Januari 2021


Kesan: - Cor: Dalam batas normal
- Pulmo: Pneumonia bilateral terutama basal pulmodextra.
Saran: Foto evaluasi bila klinis memburuk.

3.3. Diagnosis Banding :


- DM Type 2 + Pneumonia
- Dm type 2 + Tumor Paru
- DM Type 2 + TB Paru

3.4. Diagnosis Kerja : DM Type 2 + Pneumonia

3.5. Penatalaksanaan :

- O2 4-5 L/i
- IVFD RL 20 gtt/i
- Konsul dr. Sp.P
- Inj. Ceftriaxone 1gr/12jam
- Inj. Methylprednisolon 1amp/8jam
- Inj. Vit C 1gr/24jam
- Inj. N-Acetylsistein 1amp/24jam
- Bcomzet 2x1
- Rencena swab PCR
- Konsul ke Sp.PD
- Omeprazole 1amp/12jam
- Inj. Apidra 3x20 IU
- Inj. Mecobalamin 1amp/24jam
- Furosemide 1x1
- Candesartan 1x8mg
-

BAB IV

FOLLOW UP HA RIAN DI RUANGAN

Tanggal Assessment
06/012021 S/ Lemas (+), sesak nafas(+), demam (+), batuk(+)

O/ TD: 142/103, HR:106, RR: 26, T:37,8’C, SPO2: 96%, KGD ad


Random: 495 mg/dL

A/ DM Type 2 + Pneumonia+ susp. Covid-19

P/ O2: 3-4 L/i (nasal canul)


IVFD RL 20gtt/I (makro)
Inj. Ceftriaxone 1gr/12jam
Inj. Omeprazole 1amp/12jam/8jam
Inj. Methylprednisolon 1amp
Inj. Vit C 4g/24jam
Inj. N-Acetylsistein 1amp/24jam
Inj. Mecobalamin 1amp/24jam
Inj. Apidra 3x20 IU
Paracetamol 3x500 mg
Furosemide 1x1
Azytromicin 1x1
Candesartan 1x8mg
Bcomzet 1x1

Cek KGD perhari, HbA1C

07/01/2021 S/ Lemas (+), sesak nafas berkurang, batuk(+), demam (-)

O/ TD: 152/107 mmHg, HR: 108x/I, RR: 24x/I, T: 37C, SPO2: 97%,
KGD: 337 mg/ dL, HbA1C: 13,5%

A/ DM Type 2 + Pneumonia + susp. Covid-19

P/ O2: 3-4 L/i (nasal canul)


IVFD RL 20gtt/I (makro)
Inj. Ceftriaxone 1gr/12jam
Inj. Omeprazole 1amp/12jam/8jam
Inj. Vit C 4g/24jam
Inj. N-Acetylsistein 1amp/24jam
Inj. Mecobalamin 1amp/24jam
Inj. Apidra 3x20 IU
Paracetamol (K/P)
Furosemide 1x1
Azytromicin 1x1
Candesartan 1x8mg
Bcomzet 1x1

08/01/2021 S/ Lemas (+), sesak nafas berkurang, batuk(+)

O/ TD: 140/100 mmHg, Hr: 98x/I, RR: 24x/I, SpO2: 96x/I, T: 36,6
KGD: 257 mg/dL

A/ DM Type 2 + Pneumonia susp. Covid-19

P/ Inj. Apidra 3x20 IU


Inj. Lantus 10 IU
N Acetylsistein 3x200 mg
Furosemid 1x1
Azytromicin 1x1
Diovan 1x80 mg
Bcomzet 1x1

09/01/2021 S/ Sesak nafas sudah berkurang, batuk(+), sulit tidur (+)

O/ TD; 124/88 mmHg, HR 91x/I, RR: 25x/I, SpO2: 92%, T:


KGD:322 mg/dL
Foto thorax: Pneumonia (tidak ada perbaikan dari foto sebelumnya)

A/ DM Type 2 + Pneumonia susp. Covid-19

P/ Inj. Apidra 3x20 IU


Inj. Lantus 10 IU
N Acetylsistein 3x200 mg
Furosemid 1x1
Azytromicin 1x1
Diovan 1x80 mg
Bcomzet 1x1
10/01/2021 S/ Sesak nafas sudah berkurang, sulit tiddur (+)
O/ TD; 108/73 mmHg, HR 88x/I, RR: 26x/I, SpO2: 95%, T: 36,5,
KGD: 300 mg/dL
A/ DM Type 2 + Pneumonia susp. Covid-19

P/ Inj. Apidra 3x20 IU


Inj. Lantus 10 IU
N Acetylsistein 3x200 mg
Furosemid 1x1
Azytromicin 1x1
Diovan 1x80 mg
Bcomzet 1x1
11/02/2021 S/ Sesak nafas sudah berkurang, batuk(+)

O/ TD; 133/85 mmHg, HR 82x/I, RR: 22x/I, SpO2: 92%, T: 36,8


KGD: 361 mg/dL
Swab PCR: Positif

A/ DM Type 2 + Pneumonia + Covid-19 Terkonfirmasi

P/ Inj. Apidra 3x20 IU


Inj. Lantus 10 IU
N Acetylsistein 3x200 mg
Furosemid 1x1
Azytromicin 1x1
Diovan 1x80 mg
Bcomzet 1x1
12/01/2021 S/ Sesak nafas sudah berkurang, batuk(+)

O/ TD; 113/81 mmHg, HR 77x/I, RR: 22x/I, SpO2: 96%, T: 36,5


KGD: 194 mg/dL

A/ DM Type 2 + Pneumonia + Covid-19 Terkonfirmasi

P/ Inj. Apidra 3x20 IU


Inj. Lantus 10 IU
N Acetylsistein 3x200 mg
Furosemid 1x1
Azytromicin 1x1
Diovan 1x80 mg
Oseltamivir 2x1
Bcomzet 1x1
13/01/2021 S/ Batuk (+)
O/ TD: 135/90 mmHg, HR: 94x/I, RR: 20x/I, T: 36,4, SpO2: 97%,
KGD: 179 mg/dL
A/ DM Type 2 + Pneumonia + Covid-19 Terkonfirmasi

P/ Inj. Apidra 3x20 IU


Inj. Lantus 0 – 0 - 20IU
N-Acetylsistein 3x1
Azytromicin 1x1
Oseltamivir 2x1
Diovan 1x80 mg
Furosemide 1x1
Bcomzet 1x1
14/01/2021 S/ Batuk (+)

O/ TD: 115/80 mmHg, HR: 94x/I, RR: 22x/I, T: 36,6, SpO2: 98%,
KGD: 191 mg/dL
Foto thorax: Pneumonia lesi moderate ( tidak ada perbaikan dari foto
sebelumnya)

A/ DM Type 2 + Pneumonia + Covid-19 Terkonfirmasi

P/ Inj. Apidra 3x20 IU


Inj. Lantus 0 – 0 - 20IU
N-Acetylsistein 3x1
Azytromicine 1x1
Oseltamivir 2x1
Diovan 1x80 mg
Furosemide 1x1
Bcomzet 1x1
15/01/2021 S/ Batuk (+)

O/ TD: 135/88 mmHg, HR: 83x/I, RR: 22x/I, T: 36,4, SpO2: 98%,
KGD: 194 mg/dL
A/ DM Type 2 + Pneumonia + Covid-19 Terkonfirmasi

P/ Inj. Apidra 3x20 IU


Inj. Lantus 0 – 0 - 20IU
N-Acetylsistein 3x1
Azytromicine 1x1
Oseltamivir 2x1
Diovan 1x80 mg
Furosemide 1x1
Bcomzet 1x1
16/01/2021 S/ Batuk (+)

O/ TD: 161/96 mmHg, HR: 82x/I, RR: 22x/I, T: 36,6, SpO2: 98%,
KGD: 191 mg/dL
A/ DM Type 2 + Pneumonia + Covid-19 Terkonfirmasi

P/ Inj. Apidra 3x20 IU


Inj. Lantus 0 – 0 - 20IU
N-Acetylsistein 3x1
Azytromicine 1x1
Oseltamivir 2x1
Diovan 1x80 mg
Furosemide 1x1
Bcomzet 1x1
17/01/2021 S/ Batuk (+)

O/ TD: 135/90 mmHg, HR: 94x/I, RR: 20x/I, T: 36,4, SpO2: 97%,
KGD: 176 mg/dL
A/ DM Type 2 + Pneumonia + Covid-19 Terkonfirmasi

P/ Inj. Apidra 3x20 IU


Inj. Lantus 0 – 0 - 20IU
N-Acetylsistein 3x1
Azytromicine 1x1
Oseltamivir 2x1
Diovan 1x80 mg
Furosemide 1x1
Bcomzet 1x1
18/012021 S/ Batuk Sudah berkurang

O/ TD: 137/100 mmHg, HR: 113x/I, RR: 20x/I, T: 36,7, SpO2: 97%,
KGD: 156 mg/dL

A/ DM Type 2 + Pneumonia + Covid-19 Terkonfirmasi

P/ Inj. Apidra 3x20 IU


Inj. Lantus 0 – 0 - 20IU
Azytromicine 1x1
N-Acetylsistein 3x1
Oseltamivir 2x1
Diovan 1x80 mg
Furosemide 1x1
Bcomzet 1x1
19/01/2021 S/ Batuk sudah berkurang

O/ TD: 130/90 mmHg, HR: 83x/I, RR: 20x/I, T: 36,6, SpO2:98%,


KGD: 192 mg/Dl
Foto thorax:
- Cor: dalam batas normal
- Pulmo: pneumonia minimal ( dibandingkan foto sebelumnya ada
perbaikan)

A/ DM Type 2 + Pneumonia + Covid-19 Terkonfirmasi

P/ PBJ + Cek KGD perhari dirumah + Isolasi Mandiri


Terapi pulang:
Inj. Apidra 3x20 IU
Inj. Lantus 0 – 0 - 20IU
N-Acetylsistein 3x1
Bcomzet 1x1
Cetirizine 1x1

BAB V
DISKUSI KASUS

Pasien datang ke RSUD Djasamen Saragih dengan keluhan sesak nafas yang
dialami sejak ± 1 minggu ini. Pasien juga memiliki riwayat batuk dan demam.Pasien
juga mengeluhkan lemas dan tidak bisa tidur. Hasil pemeriksaan darah lengkap
dijumpai peningkatan leukosit dan LED. Pemeriksaan HbA1c dijumpai nilai
13,5gr/dl. Pada hasil pemeriksaan thoraks didapatkan kesan Pneumonia bilateral.
Kejadian infeksi paru pada penderita DM tipe II merupakan kegagalan sistem
pertahanan tubuh, dalam hal ini paru mengalami gangguan fungsi pada epitel
pernafasan dan juga motilitas silia. Gangguan fungsi dari endotel kapiler vaskular
paru, kekakuan korpus sel darah merah, perubahan kurva disosiasi oksigen akibat
kondisi hiperglikemia yang lama menjadi faktor kegagalan mekanisme pertahanan
melawan infeksi. Selain itu dapat juga disebabkan oleh adanya gangguan sistem imun
pada penderita DM tipe II, peningkatan daya lekat bakteri Mycobacterium
tuberculosis pada sel penderita DM tipe II, adanya komplikasi mikroangiopati,
makroangiopati dan neuropati, dan banyaknya intervensi medis pada pasien DM tipe
II.

Pengobatan DM pada Pneumonia meliputi pengobatan terhadap DM-nya dan


pengobatan terhadap Pneumonia . Pengobatan DM adalah sama saja pengobatan DM
pada umumnya yang meliputi perencanaan makan/diet, anti diabetes oral maupun
insulin. Perencanaan makan selain untuk menormalkan kadar glukosa darah, juga
untuk mengembalikan berat badan ke BB ideal. Sebagai petunjuk atau guidellines
untuk pengelolaan DM selama infeksi adalah sebagai berikut: pada pasien yang
berobat jalan tindakan adalah monitor kadar glukosa plasma sekurang-kurangnya 4
jam terakhir, pada pasien yang sudah mendapat insulin, dosis insulin ditingkatkan
untuk mengantisipasi hiperglikemia persisten, pertahankan asupan cairan, kendalikan
DM seoptimal mungkin kadar GDP 80-109 mg/dl, GD2PP 0-144 mg/dl, HbA1c <6,5,
kolesterol total <200 mg/dl, LDL <100 mg/dl, HDL > 45 mg/dl, Tg < 150 mg/dl,
IMT 18,5-23 dan Td <130/80 mmHg.

Awasi bila timbul muntah-muntah atau terjadi hiperglikemia berat atau


hipoglikemia dan tindaki segera. Pada pasien rawat inap tindakan adalah monitor
kadar glukosa plasma 4 jam terakhir, tingkatkan dosis insulin untuk mengatasi
hiperglikemia bila perlu berikan insulin IV atau tetes. Pada pasien yang memakai obat
hiperglikemia oral pertimbangkan untuk mengganti atau menambah dosis insulin,
pertahankan hidrasi dan pemberian cairan intravena bila diperlukan.Pengobatan
Pneumonia - DM meliputi pengobatan terhadap DM dan pengobatan pneumonia
secara bersamaan.

DAFTAR PUSTAKA
American Diabetes Association. (2017). “Standards of Medical Care in Diabetes
2017”. Vol. 40. USA : ADA

ADA, 2006, Complications of Diabetes in the United States, (online),


http://www.diabetes.org/diabetes-statistic/complications.jsp, diakses tanggal
21 Desember 2010

Alebiasu Christoper Outaya, oduson Olaturiae, 2009. Metabolic Syndrome in Subject


with Type-2 Diabetes Mellitus. Journal of The National Medical Association.
Vol 96 no.2.

Barbagallo Mario, Dominguez Ligia , 2015. Magnesium and Type 2 Diabetes: an


Update. International Journal of Diabetes and Clinical Research. Department
of Internal Medicine and Medical Specialities . University of Palemo. Italy

Bilous, D. 2014. Buku Pegangan Diabetes Edisi Ke 4. Bumi Medika, Jakarta

Chehade Joe M, Ali Mac Sheikh, Moradin Arshag D, 2009. The Role of
Micronutrients in Managing Diabetes. From Research Practice,Diabetes
spectrum volume 22 number 4.

Connel Bellinda S,2001. Select Vitamins and Minerals in the Management of


Diabetes.Diabetes Spectrum. Volume 14, number 3.

Chutia Happy, Lynrah Kyyshanlang G, 2015. Association of Serum Magnesium


Deficiency with Insulin Resistance in Type 2 Diabetes Melitus. Departments of
Biochemistry and General Medicine,North East India Gandhi Institute of Health
and Medical Science. Shillong, Meghalaya.India.
Depkes R.I. 2008. Pedoman Pengendalian Diabetes Melitus dan Penyakit Metabolik.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Eliana F. 2015. Penatalaksanaan DM sesuai konsensus PERKENI 2015. Satelit


Simposium 6.1 DM Update Dan Hb1C: 1–7.

Guyton AC, Hall JE. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC

IDF. 2015. Diabetes Atlas. Edisi ke 7. International Diabetes Federation, Belgia.

Kemenkes, 2014. Hasil Riskesdas 2013. Kementerian Kesehatan RI, Jakarta.

Ozougwu JC, Obimba KC, Belonwu CD, Unakalamba CB. 2013. The pathogenesis
and pathophysiology of type 1 and type 2 diabetes mellitus. Journal of
Physiology and Pathophysiology ; 4(4):46-57.

Perkeni. 2011. Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe2


di Indonesia 2011. Jakarta.

Perkeni. 2015. Konsensus Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia.

Price, SA. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi ke-6.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

Raymond RT. 2016. Patogenesis diabetes tipe 2: resistensi defisiensi insulin. Dexa
Medica.

Rochman W. 2006.Diabetes Melitus pada Usia Lanjut. Dalam: Sudoyo


AW,Setiyohadi
B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, Editor. Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III. Jakarta:
FK UI

Rao Yeluri Seshagiri, V Rao Dharma, 2016. Serum Magnesium Levels in Type 2
Diabetes. Department of General Medicine , Gayatri Vidya Parishad Institute
of Health Care and MeicalTecnology. Vishakapatnam Andira Pradesh. India.

Soegondo, S. 2007. Diagnosis dan klasifikasi Diabetes Melitus terkini. Dalam


Penatalaksanaan Diabetes Mellitus terpadu. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Sudoyo Aru.W, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed IV, jl III. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2006

Tarigan, L.A., 2011. Karakteristik Penderita Diabetes Mellitus dengan Komplikasi


yang Dirawat Inap di RSU Herna Medan Tahun 2009-2010. Skripsi
Mahasiswa FKM USU
Thomassian, B. Diabetes Mellitus and Metabolic Syndrome. Health Promotion and
Disease Preventation. Chapter 39 Part V.

Zhang Xiaoyan, Cui, Xiaoli, Wang Shuo, dkk, 2014. Association Between Diabetes
Mellitus with Metabolic Syndrome and Diabetic Microangiopathy.
Department of Endocrinology< First Affiliated Hospital, Lianing Medical
Collage.China.

Anda mungkin juga menyukai