TINJAUAN PUSTAKA
A. Dasar Teori
a. Pengertian Diabetes Melitus
Diabetes melitus merupakan salah satu diantara penyakit tidak menular yang
masih menjadi permasalahan di Indonesia. Diabetes melitus terjadi ketika adanya
peningkatan kadar glukosa dalam darah atau yang disebut hiperglikemi, dimana
tubuh tidak dapat menghasilkan cukup hormon insulin atau menggunakan insulin
secara efektif (International Diabetes Federation, 2017). Data Sample Registration
Survey tahun 2014 menunjukkan bahwa Diabetes melitus merupakan penyebab
kematian terbesar nomor 3 di Indonesia setelah Stroke dan penyakit Jantung Koroner
(Kemenkes RI, 2016).
Diabetes adalah penyakit serius kronis yang terjadi baik ketika erobik tidak
menghasilkan cukup insulin ( erobik yang mengatur gula darah, atau glukosa), atau
ketika tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan insulin yang dihasilkan (World
Health Organization, 2016).
Diabetes adalah suatu penyakit di mana kadar glukosa (gula sederhana) di
dalam darah tinggi karena tubuh tidak dapat melepaskan atau menggunakan insulin
secara cukup. Sedangkan insulin sendiri adalah erobic yang dilepaskan oleh
pancreas, yang bertanggung jawab dalam mempertahankan kadar gula darah yang
normal. Insulin memasukkan gula ke dalam sel sehingga bisa menghasilkan erobi
atau disimpan sebagai cadangan erobi. Karena itu, jumlah glukosa pada tubuh
sebaiknnya sejak dini harus selalu dikontrol dengan cermat. Tubuh biasanya
mendapatkan glukosa dari makanan yang dikonsumsi baik secara langsung dari
makanan yana manis atau karbohidrat, maupun secara tidak langsung dari jenis
makanan lain. Glukosa diserap ke dalam aliran darah dan bergerak dari aliran darah
ke seluruh sel-sel dalam tubuh di mana ia dapat digunakan sebagai erobik.
(Musyayadah,2017)
b. Klasifikasi Diabetes Melitus
Berdasarkan etiologinya, diabetes melitus dibagi menjadi beberapa klasifikasi
(American Diabetes Association), 2016), yaitu:
a). Diabetes Tipe 1, adanya kerusakan sel beta erobic sehingga terjadi
defisiensi insulin secara erobic sehingga menyebabkan ketergantungan
insulin (apabila penderita tidak mendapat insulin tambahan maka akan terjadi
koma ketoasidosis). Diabetes tipe 1 ini biasa terjadi pada anakanak dengan
penyebabnya berupa autoimun atau idiopatik.
b). Diabetes Tipe 2, terjadi akibat dominasi resistensi insulin (obesitas), hingga
menyebabkan terjadinya defisiensi insulin erobic sampai dominasi sekresi
insulin disertai resistensi insulin (banyak terjadi pada orang dewasa)
c). Diabetes Tipe Lain, terjadi akibat penyakit eksokrin erobik , endokrinopati,
efek erobik fungsi sel beta, defek erobic fungsi insulin, pengaruh obat dan
zat kimia (kortikosteroid), infeksi, sindrom erobik lain yang berkaitan
dengan diabetes.
d). Diabetes Gestasional, diabetes yang didiagnosis pertama kali pada saat
kehamilan. Keadaan ini terjadi akibat erobic-hormon pertumbuhan yang
berfungsi untuk pertumbuhan janin merupakan erobic kontraregulasi insulin,
sehingga menyebabkan kadar glukosa darah meningkat. Kadar glukosa darah
setelah melahirkan dapat kembali normal atau menetap dan menjadi diabetes.
c. Faktor Resiko
Menurut Musyayadah (2017), Beberapa faktor yang dapat menyebabkan
Diabetes Melitus adalah sebagai berikut :
a). Genetik atau Faktor Keturunan. Diabetes melitus cenderung diturunkan atau
diwariskan, bukan ditularkan. Anggota keluarga penderita DM (diabetisi)
memiliki kemungkinan lebih besar terserang penyakit ini dibandingkan
dengan anggota keluarga yang tidak menderita DM. Para ahli kesehatan juga
menyebutkan DM merupakan penyakit yang terpaut kromosom seks atau
kelamin. Biasanya kaum laki-laki menjadi penderita sesungguhnya,
sedangkan kaum perempuan sebagai pihak yang membawa gen untuk
diwariskan kepada anak-anaknya.
b). Virus dan bakteri. Virus penyebab DM adalah rubella, mumps, dan human
coxsackievirus B4. Melalui mekanisme infeksi sitolitik dalam sel beta, virus
ini mengakibatkan destruksi atau perusakan sel. Bisa juga, virus ini
menyerang melalui reaksi otoimunitas yang menyebabkan hilangnya otoimun
dalam sel beta. Diabetes mellitus akibat bakteri masih belumbisa dideteksi.
Namun, para ahli kesehatan menduga bakteri cukup berperan menyebabkan
DM.
c). Bahan Toksik atau Beracun. Bahan beracun yang mampu merusak sel beta
secara langsung adalah alloxan, pyrinuron (rodentisida), dan streptozoctin
(produk dari sejenis jamur). Bahan lain adalah sianida yang berasal dari
singkong.
d). Nutrisi. Nutrisi yang berlebihan (overnutrition) merupakan faktor risiko
pertama yang diketahui menyebabkan DM. semakin berat badan berlebih atau
obesitas akibat nutrisi yang berlebihan, semakin besar kemungkinan
seseorang terjangkit DM.
e). Racun yang memengaruhi pembentukan atau efek dari insulin. Jika tak
terkontrol dengan baik, diabetes dapat menyebabkan masalah-masalah dalam
beberapa bagian anggota tubuh. Dengan kata lain, diabetes merupakan
penyakit yang memiliki komplikasi (menyebabkan terjadinya penyakit lain)
yang paling banyak. Hal ini berkaitan dengan kadar gula darah yang tinggi
terus-menerus, sehingga berakibat rusaknya pembuluh darah, saraf, dan
struktur internal lainnya..
f). Kehamilan diabetes gestasional, yang akan hilang setelah melahirkan.
Diabetes gestasional dapat terjadi sekitar 2-5% pada ibu hamil. Biasanya
diabetes akan hilang setelah anak lahir. Namun, dapat pula terjadi diabetes di
kemudian hari. Ibu hamil yang menderita diabetes akan melahirkan bayi besar
dengan berat badan lebih dari 4000 gram. Apabila hal ini terjadi, maka
kemungkinan besar si ibu akan mengidap diabetes tipe 2 kelak
g). Obat-obatan yang dapat merusak erobic .
Konsumsi obat-obatan tertentu seperti (pyrinuron dan strepzotocin)
dapat menyebabkan kerusakan pada pankreas. Pankreas yang memiliki
gangguan tidak mampu memproduksi enzim pencernaan secara optimal,
sehingga penyerapan makanan juga terganggu. Gangguan pada pankreas ini
menyebabkan terjadinya diabetes melitus tipe 1 dan tipe 2.
h). Kadar kortikosteroid yang tinggi.
Kadar kortikosteroid yang tinggi dapat menyebabkan glukoneogenesis atau
pembentukan glukosa (gula) baru, baik di perifer maupun di hepar hati. Hal
tersebut menyebabkan kadar gula darah menjadi tinggi, sehingga berisiko bila
dikonsumsi oleh pasien diabetes, pasien dengan berat badan berlebih, dan
wanita hamil yang memiliki anggota keluarga dengan riwayat diabetes.
d. Patofisiologi
Pada diabetes melitus kadar glukosa dalam darah meningkat atau tidak
terkontrol. Pembentukan diabetes yang penting adalah dikarenakan kurangnya
produksi insulin (diabetes mellitus tipe 1, yang pertama dikenal), atau kurang
sensitifnya jaringan tubuh terhadap insulin (diabetes melitus tipe 2, bentuk yang lebih
umum). Selain itu, terdapat jenis Diabetes Melitus yang juga disebabkan oleh
resistensi insulin yang tejadi pada wanita hamil. Tipe 1 membutuhkan penyuntikan
insulin, sedangkan tipe 2 diatasi dengan pengobatan oral dan hanya membutuhkan
insulin bila obatnya tidak efektif (Musyayadah 2017),
Diabetes melitus tipe 1 merupakan penyakit autoimun yang diturunkan secara
erobic dengan gejala-gejala yang timbul akibat proses bertahap kerusakan sel-sel
yang memproduksi insulin. Kerusakan sel-sel ini akan menimbulkan manifestasi
klinis diabetes melitus apabila terjadi lebih dari 90%
Diabetes Melitus tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin,
namun karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin secara
normal (Kahn, Cooper and Del Prato, 2014). Resistensi insulin banyak teijadi akibat
dari obesitas dan kurangnya aktivitas fisik serta penuaan. Pada penderita diabetes
melitus tipe 2 dapat juga terjadi produksi glukosa erobic berlebihan namun tidak
terjadi pengerusakan sel- sel β langerhans secara auto imun. Defisiensi fungsi insulin
pada penderita Diabetes Melitus tipe 2 hanya bersifat erobic dan tidak erobic
(D’Adamo and Caprio, 2011)
e. Diagnosis
Diagnosis Diabetes Melitus ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa
darah. Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa
secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan
dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan
glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria (Perkeni,
2015).
Menurut American Diabetes Association (ADA) (2016), diagnosis diabetes
tipe 2 ditegakkan berdasarkan erobic kadar glukosa plasma, baik aerobik kadar
glukosa plasma puasa (GDP), kadar glukosa plasma 2 jam postprandial (GD2PP)
setelah pembebanan 75 gram glukosa pada tes toleransi glukosa oral (TTGO),
maupun kadar HbA1c. Tes-tes tersebut juga digunakan untuk keperluan screening
individu dengan diabetes dan deteksi individu dengan prediabetes ataupun risiko
diabetes.
f. Manifestasi klinik
Adapun manifestasi klinis dari diabetes mellitus berdasarkan klasifikasinya
yaitu :
a). Diabetes Mellitus Tipe 1 Menurut Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes
Mellitus Tipe 1 tahun (2015), sebagian besar penderita DM Tipe 1
mempunyai riwayat perjalanan klinis yang akut. Poliuria, polidipsia, nokturia,
enuresis, penurunan berat badan yang cepat dalam 2-6 minggu sebelum
diagnosis ditegakkan, kadangkadang disertai polifagia dan gangguan
penglihatan. Manifestasi klinis pada diabetes mellitus tipe 1 bergantung pada
tingkat kekurangan insulin dan gejala yang ditimbulkan bisa ringan hingga
berat. Orang dengan DM Tipe 1 membutuhkan sumber insulin eksogen
(eksternal) untuk mempertahankan hidup.
b). Diabetes Mellitus Tipe 2 Penyandang DM tipe 2 mengalami awitan
manifestasi yang lambat dan sering kali tidak menyadari penyakit sampai
mencari perawatan kesehatan untuk beberapa masalah lain. Manifestasi yang
biasa muncul yaitu poliuria dan polidipsia, polifagia jarang dijumpai dan
penurunan berat badan tidak terjadi. Manifestasi lain juga akibat
hiperglikemia: penglihatan buram, keletihan, parastesia, dan infeksi kulit
(Lemone, Burke, Bauldoff, 2015).
1. Edukasi
Upaya edukasi dilakukan untuk meningkatkan motivasi pasien untuk
memiliki perilaku sehat. Tujuan dari edukasi diabetes adalah mendukung
usaha pasien penyandang diabetes untuk mengerti penyakitnya dan
pengelolaannya, mengenali masalah kesehatan/komplikasi yang mungkin
timbul, ketaatan perilaku pemantauan dan pengelolaan penyakit secara
mandiri, dan perubahan perilaku/kebiasaan kesehatan yang diperlukan.
2. Terapi nutrisi medis
Pengaturan makanan pada penyandang Diabetes Melitus yaitu makanan yang
seimbang, sesuai dengan kebutuhan kalori masing-masing individu, dengan
memperhatikan keteraturan jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan. Pasien
harus memahami keterkaitan antara asupan karbohidrat, obat-obatan, dan
kontrol glukosa dengan semua vitamin dan mineral penting dianjurkan.
3. Aktivitas fisik
Latihan fisik secara teratur 3-4 kali seminggu, masing-masing selama kurang
lebih 30 menit. Latihan fisik dianjurkan yang bersifat erobic seperti berjalan
santai, jogging, bersepeda dan berenang. Latihan fisik selain untuk menjaga
kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan meningkatkan sensitifitas
insulin.
b). Terapi Farmakologi
Diabetes Melitus tipe 1 harus diobati dengan insulin, Semua pasien Diabetes
Melitus tipe 1 membutuhkan insulin. Namun, bagaimana insulin pengiriman
harus didasarkan pada preferensi dan gaya hidup pasien, perilaku serta preferensi
dokter dan sumber daya yang tersedia. Serta berusaha meniru sekresi insulin
secara normal yang bermanfaat untuk memahami dan menerapkan pengobatan
insulin untuk penanganan Diabetes Melitus tipe 1. Waktu onset insulin, puncak,
dan durasi efek harus sesuai dengan pola makan dan jadwal olahraga untuk
mencapai nilai glukosa darah mendekati normal sepanjang hari.(Dipiro,2017)
Menurut American Diabetes Association (ADA) (2016), terapi farmakologi
diabetes melitus tipe 2 yaitu :
2. Pertimbangkan terapi insulin (dengan atau tanpa obat tambahan lain) pada
pasien yang baru didiagnosis sebagai diabetes tipe 2 dengan gejala simtomatis
dan atau disertai peningkatan kadar glukosa darah atau HbA1c
5. Pada pasien dengan diabetes tipe 2 yang tidak dapat mencapai target kadar
glukosa darah, insulin tidak dapat ditunda
B. Hewan Uji
a. Pengertian Hewan Uji
Hewan coba adalah hewan yang dapat digunakan untuk suatu tujuan
penelitian tertentu dan umumnya menggunakan hewan laboratorium hingga hewan
ternak. Penggunaan hewan percobaan dalam berbagai penelitian fisiologi, biokimia,
farmakologi, patologi, komporatif zoologi dan ekologi, juga dilakukan untuk
pengembangan obat-obatan, vaksin dan produk-produk khusus misalnya: kosmetik,
shampoo, dan pasta gigi (Jumrodah, 2016).
Hewan coba adalah hewan yang sengaja dipelihara untuk digunakan sebagai
hewan model yang berkaitan untuk pembelajaran dan pengembangan berbagai
macam bidang ilmu dalam skala penelitian atau pengamatan laboratorium. Hewan
coba banyak digunakan sebagai penunjang dalam melakukan pengujian-pengujian
terhadap obat, vaksin, atau dalam penelitian biologi (Intan dkk 2014).
b. Pemeliharaan hewan uji
Penelitian ilmiah yang baik dimana digunakan hewan sebagai objek ataupun
model kajian, maka tata kerjanya dievaluasi oleh Komisi Etik Penggunaan Hewan.
Oleh karena itu, penggunaan hewan dalam kegiatan laboratorium pendidikan
(praktikum) perlu selaras tata caranya dan memenuhi kriteria etika penggunaan
hewan percobaan. Hewan uji yang digunakan dalam penelitian tetap harus dijaga
hak-haknya yang dikenal sebagai Animal Welfare seperti yang tercantum dalam five
of freedom (Stevani, 2016).
Animal welfare dalam Bahasa Indonesia berarti kesejahteraan hewan. Standar
"yang baik" tentang kesejahteraan hewan sangat bervariasi antara konteks yang
berbeda. Standar ini berada di bawah review konstan dan diperdebatkan, dibuat dan
direvisi oleh komunitas kesejahteraan hewan, legislator dan akademisi di seluruh
dunia. Ilmu kesejahteraan hewan menggunakan berbagai langkah, seperti umur
panjang, penyakit, imunosupresi, perilaku, fisiologi, dan reproduksi, meskipun ada
perdebatan tentang yang mana dari indikator ini yang memberikan informasi terbaik
(Kadek, 2017).
Berikut adalah tata cara untuk memegang hewan uji Mencit(Mus musculus)
menurut Stevani (2016) :
a) Mencit diangkat dengan cara memegang ekor kearah atas dengan tangan
kanan
b) Lalu letakkan mencit di letakkan di permukaan yang kasar biarkan mencit
menjangkau / mencengkeram alas yang kasar (kawat kandang).
c) Kemudian tangan kiri dengan ibu jari dan jari telunjuk menjepit kulit tengkuk
mencit seerat / setegang mungkin.
d) Ekor dipindahkan dari tangan kanan, dijepit antara jari kelingking dan jari
manis tangan kiri.
e) Dengan demikian, mencit telah terpegang oleh tangan kiri dan siap untuk
diberi perlakuan.
d. Cara Menganestesi dan Mengorbankan Hewan Uji
Anestesi merupakan suatu tindakan untuk menghilangkan rasa sakit ketika
dilakukan pembedahan dan berbagai prosedur lain yang menimbulkan rasa sakit,
dalam hal ini rasa takut perlu ikut dihilangkan untuk menciptakan kondisi optimal
bagi pelaksanaan pembedahan (Sabiston, 2011).
Percobaan dengan hewan biasanya akan berakhir dengan mematikan hewan
tersebut, baik karena akan diambil organ in vitronya selama atau pada akhir
percobaan (misalnya pengamatan histologi paru), untuk menilai bagaimana efek obat
(misalnya efek toksik obat), atau karena hewan tersebut mengalami penderitaan atau
sakit dan cacat yang tidak mungkin sembuh lagi. Istilah mematikan hewan uji dikenal
sebagai euthanasia, yaitu suatu proses dengan cara bagaimana seekor hewan di bunuh
dengan menggunakan teknis yang dapat diterima secara manusiawi. Hal ini berarti
hewan mati dengan mudah, cepat, tenang dengan rasa sakit yang sedikit mungkin
(Stevani, 2016).
Untuk mencit, teknik euthanasia fisik dapat dilakukan diantaranya dengan
menggunakan cara dislokasi leher. Ekor mencit dipegang dan mencit ditempatkan
pada permukaan kasar yang bias dijangkaunya seperti kawat ram penutup
kandangnya. Secara otomatis mencit akan meregangkan badannya. Saat mencit
meregangkan badannya, pada tengkuk ditempatkan suatu penahan, misalnya pensil
atau batang logam yang dipegang dengan tangan kiri. Secara cepat, ekor mencit atau
tikus ditarik dengan tangan kanan dengan keras, sehingga lehernya akan terdislokasi
(Rudy Nugroho, 2018).
Rumus molekul :
Rumus struktur :