Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Dasar Teori
a. Pengertian Diabetes Melitus
Diabetes melitus merupakan salah satu diantara penyakit tidak menular yang
masih menjadi permasalahan di Indonesia. Diabetes melitus terjadi ketika adanya
peningkatan kadar glukosa dalam darah atau yang disebut hiperglikemi, dimana
tubuh tidak dapat menghasilkan cukup hormon insulin atau menggunakan insulin
secara efektif (International Diabetes Federation, 2017). Data Sample Registration
Survey tahun 2014 menunjukkan bahwa Diabetes melitus merupakan penyebab
kematian terbesar nomor 3 di Indonesia setelah Stroke dan penyakit Jantung Koroner
(Kemenkes RI, 2016).
Diabetes adalah penyakit serius kronis yang terjadi baik ketika erobik tidak
menghasilkan cukup insulin ( erobik yang mengatur gula darah, atau glukosa), atau
ketika tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan insulin yang dihasilkan (World
Health Organization, 2016).
Diabetes adalah suatu penyakit di mana kadar glukosa (gula sederhana) di
dalam darah tinggi karena tubuh tidak dapat melepaskan atau menggunakan insulin
secara cukup. Sedangkan insulin sendiri adalah erobic yang dilepaskan oleh
pancreas, yang bertanggung jawab dalam mempertahankan kadar gula darah yang
normal. Insulin memasukkan gula ke dalam sel sehingga bisa menghasilkan erobi
atau disimpan sebagai cadangan erobi. Karena itu, jumlah glukosa pada tubuh
sebaiknnya sejak dini harus selalu dikontrol dengan cermat. Tubuh biasanya
mendapatkan glukosa dari makanan yang dikonsumsi baik secara langsung dari
makanan yana manis atau karbohidrat, maupun secara tidak langsung dari jenis
makanan lain. Glukosa diserap ke dalam aliran darah dan bergerak dari aliran darah
ke seluruh sel-sel dalam tubuh di mana ia dapat digunakan sebagai erobik.
(Musyayadah,2017)
b. Klasifikasi Diabetes Melitus
Berdasarkan etiologinya, diabetes melitus dibagi menjadi beberapa klasifikasi
(American Diabetes Association), 2016), yaitu:
a). Diabetes Tipe 1, adanya kerusakan sel beta erobic sehingga terjadi
defisiensi insulin secara erobic sehingga menyebabkan ketergantungan
insulin (apabila penderita tidak mendapat insulin tambahan maka akan terjadi
koma ketoasidosis). Diabetes tipe 1 ini biasa terjadi pada anakanak dengan
penyebabnya berupa autoimun atau idiopatik.
b). Diabetes Tipe 2, terjadi akibat dominasi resistensi insulin (obesitas), hingga
menyebabkan terjadinya defisiensi insulin erobic sampai dominasi sekresi
insulin disertai resistensi insulin (banyak terjadi pada orang dewasa)
c). Diabetes Tipe Lain, terjadi akibat penyakit eksokrin erobik , endokrinopati,
efek erobik fungsi sel beta, defek erobic fungsi insulin, pengaruh obat dan
zat kimia (kortikosteroid), infeksi, sindrom erobik lain yang berkaitan
dengan diabetes.
d). Diabetes Gestasional, diabetes yang didiagnosis pertama kali pada saat
kehamilan. Keadaan ini terjadi akibat erobic-hormon pertumbuhan yang
berfungsi untuk pertumbuhan janin merupakan erobic kontraregulasi insulin,
sehingga menyebabkan kadar glukosa darah meningkat. Kadar glukosa darah
setelah melahirkan dapat kembali normal atau menetap dan menjadi diabetes.
c. Faktor Resiko
Menurut Musyayadah (2017), Beberapa faktor yang dapat menyebabkan
Diabetes Melitus adalah sebagai berikut :
a). Genetik atau Faktor Keturunan. Diabetes melitus cenderung diturunkan atau
diwariskan, bukan ditularkan. Anggota keluarga penderita DM (diabetisi)
memiliki kemungkinan lebih besar terserang penyakit ini dibandingkan
dengan anggota keluarga yang tidak menderita DM. Para ahli kesehatan juga
menyebutkan DM merupakan penyakit yang terpaut kromosom seks atau
kelamin. Biasanya kaum laki-laki menjadi penderita sesungguhnya,
sedangkan kaum perempuan sebagai pihak yang membawa gen untuk
diwariskan kepada anak-anaknya.
b). Virus dan bakteri. Virus penyebab DM adalah rubella, mumps, dan human
coxsackievirus B4. Melalui mekanisme infeksi sitolitik dalam sel beta, virus
ini mengakibatkan destruksi atau perusakan sel. Bisa juga, virus ini
menyerang melalui reaksi otoimunitas yang menyebabkan hilangnya otoimun
dalam sel beta. Diabetes mellitus akibat bakteri masih belumbisa dideteksi.
Namun, para ahli kesehatan menduga bakteri cukup berperan menyebabkan
DM.
c). Bahan Toksik atau Beracun. Bahan beracun yang mampu merusak sel beta
secara langsung adalah alloxan, pyrinuron (rodentisida), dan streptozoctin
(produk dari sejenis jamur). Bahan lain adalah sianida yang berasal dari
singkong.
d). Nutrisi. Nutrisi yang berlebihan (overnutrition) merupakan faktor risiko
pertama yang diketahui menyebabkan DM. semakin berat badan berlebih atau
obesitas akibat nutrisi yang berlebihan, semakin besar kemungkinan
seseorang terjangkit DM.
e). Racun yang memengaruhi pembentukan atau efek dari insulin. Jika tak
terkontrol dengan baik, diabetes dapat menyebabkan masalah-masalah dalam
beberapa bagian anggota tubuh. Dengan kata lain, diabetes merupakan
penyakit yang memiliki komplikasi (menyebabkan terjadinya penyakit lain)
yang paling banyak. Hal ini berkaitan dengan kadar gula darah yang tinggi
terus-menerus, sehingga berakibat rusaknya pembuluh darah, saraf, dan
struktur internal lainnya..
f). Kehamilan diabetes gestasional, yang akan hilang setelah melahirkan.
Diabetes gestasional dapat terjadi sekitar 2-5% pada ibu hamil. Biasanya
diabetes akan hilang setelah anak lahir. Namun, dapat pula terjadi diabetes di
kemudian hari. Ibu hamil yang menderita diabetes akan melahirkan bayi besar
dengan berat badan lebih dari 4000 gram. Apabila hal ini terjadi, maka
kemungkinan besar si ibu akan mengidap diabetes tipe 2 kelak
g). Obat-obatan yang dapat merusak erobic .
Konsumsi obat-obatan tertentu seperti (pyrinuron dan strepzotocin)
dapat menyebabkan kerusakan pada pankreas. Pankreas yang memiliki
gangguan tidak mampu memproduksi enzim pencernaan secara optimal,
sehingga penyerapan makanan juga terganggu. Gangguan pada pankreas ini
menyebabkan terjadinya diabetes melitus tipe 1 dan tipe 2.
h). Kadar kortikosteroid yang tinggi.
Kadar kortikosteroid yang tinggi dapat menyebabkan glukoneogenesis atau
pembentukan glukosa (gula) baru, baik di perifer maupun di hepar hati. Hal
tersebut menyebabkan kadar gula darah menjadi tinggi, sehingga berisiko bila
dikonsumsi oleh pasien diabetes, pasien dengan berat badan berlebih, dan
wanita hamil yang memiliki anggota keluarga dengan riwayat diabetes.
d. Patofisiologi
Pada diabetes melitus kadar glukosa dalam darah meningkat atau tidak
terkontrol. Pembentukan diabetes yang penting adalah dikarenakan kurangnya
produksi insulin (diabetes mellitus tipe 1, yang pertama dikenal), atau kurang
sensitifnya jaringan tubuh terhadap insulin (diabetes melitus tipe 2, bentuk yang lebih
umum). Selain itu, terdapat jenis Diabetes Melitus yang juga disebabkan oleh
resistensi insulin yang tejadi pada wanita hamil. Tipe 1 membutuhkan penyuntikan
insulin, sedangkan tipe 2 diatasi dengan pengobatan oral dan hanya membutuhkan
insulin bila obatnya tidak efektif (Musyayadah 2017),
Diabetes melitus tipe 1 merupakan penyakit autoimun yang diturunkan secara
erobic dengan gejala-gejala yang timbul akibat proses bertahap kerusakan sel-sel
yang memproduksi insulin. Kerusakan sel-sel ini akan menimbulkan manifestasi
klinis diabetes melitus apabila terjadi lebih dari 90%
Diabetes Melitus tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin,
namun karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin secara
normal (Kahn, Cooper and Del Prato, 2014). Resistensi insulin banyak teijadi akibat
dari obesitas dan kurangnya aktivitas fisik serta penuaan. Pada penderita diabetes
melitus tipe 2 dapat juga terjadi produksi glukosa erobic berlebihan namun tidak
terjadi pengerusakan sel- sel β langerhans secara auto imun. Defisiensi fungsi insulin
pada penderita Diabetes Melitus tipe 2 hanya bersifat erobic dan tidak erobic
(D’Adamo and Caprio, 2011)
e. Diagnosis
Diagnosis Diabetes Melitus ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa
darah. Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa
secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan
dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan
glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria (Perkeni,
2015).
Menurut American Diabetes Association (ADA) (2016), diagnosis diabetes
tipe 2 ditegakkan berdasarkan erobic kadar glukosa plasma, baik aerobik kadar
glukosa plasma puasa (GDP), kadar glukosa plasma 2 jam postprandial (GD2PP)
setelah pembebanan 75 gram glukosa pada tes toleransi glukosa oral (TTGO),
maupun kadar HbA1c. Tes-tes tersebut juga digunakan untuk keperluan screening
individu dengan diabetes dan deteksi individu dengan prediabetes ataupun risiko
diabetes.
f. Manifestasi klinik
Adapun manifestasi klinis dari diabetes mellitus berdasarkan klasifikasinya
yaitu :
a). Diabetes Mellitus Tipe 1 Menurut Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes
Mellitus Tipe 1 tahun (2015), sebagian besar penderita DM Tipe 1
mempunyai riwayat perjalanan klinis yang akut. Poliuria, polidipsia, nokturia,
enuresis, penurunan berat badan yang cepat dalam 2-6 minggu sebelum
diagnosis ditegakkan, kadangkadang disertai polifagia dan gangguan
penglihatan. Manifestasi klinis pada diabetes mellitus tipe 1 bergantung pada
tingkat kekurangan insulin dan gejala yang ditimbulkan bisa ringan hingga
berat. Orang dengan DM Tipe 1 membutuhkan sumber insulin eksogen
(eksternal) untuk mempertahankan hidup.
b). Diabetes Mellitus Tipe 2 Penyandang DM tipe 2 mengalami awitan
manifestasi yang lambat dan sering kali tidak menyadari penyakit sampai
mencari perawatan kesehatan untuk beberapa masalah lain. Manifestasi yang
biasa muncul yaitu poliuria dan polidipsia, polifagia jarang dijumpai dan
penurunan berat badan tidak terjadi. Manifestasi lain juga akibat
hiperglikemia: penglihatan buram, keletihan, parastesia, dan infeksi kulit
(Lemone, Burke, Bauldoff, 2015).

g. Terapi Diabetes Melitus


a). Terapi Nonfarmakologi
Menurut Dipiro (2017), Terapi nonfarmakologi yaitu :

1. Edukasi
Upaya edukasi dilakukan untuk meningkatkan motivasi pasien untuk
memiliki perilaku sehat. Tujuan dari edukasi diabetes adalah mendukung
usaha pasien penyandang diabetes untuk mengerti penyakitnya dan
pengelolaannya, mengenali masalah kesehatan/komplikasi yang mungkin
timbul, ketaatan perilaku pemantauan dan pengelolaan penyakit secara
mandiri, dan perubahan perilaku/kebiasaan kesehatan yang diperlukan.
2. Terapi nutrisi medis
Pengaturan makanan pada penyandang Diabetes Melitus yaitu makanan yang
seimbang, sesuai dengan kebutuhan kalori masing-masing individu, dengan
memperhatikan keteraturan jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan. Pasien
harus memahami keterkaitan antara asupan karbohidrat, obat-obatan, dan
kontrol glukosa dengan semua vitamin dan mineral penting dianjurkan.
3. Aktivitas fisik
Latihan fisik secara teratur 3-4 kali seminggu, masing-masing selama kurang
lebih 30 menit. Latihan fisik dianjurkan yang bersifat erobic seperti berjalan
santai, jogging, bersepeda dan berenang. Latihan fisik selain untuk menjaga
kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan meningkatkan sensitifitas
insulin.
b). Terapi Farmakologi
Diabetes Melitus tipe 1 harus diobati dengan insulin, Semua pasien Diabetes
Melitus tipe 1 membutuhkan insulin. Namun, bagaimana insulin pengiriman
harus didasarkan pada preferensi dan gaya hidup pasien, perilaku serta preferensi
dokter dan sumber daya yang tersedia. Serta berusaha meniru sekresi insulin
secara normal yang bermanfaat untuk memahami dan menerapkan pengobatan
insulin untuk penanganan Diabetes Melitus tipe 1. Waktu onset insulin, puncak,
dan durasi efek harus sesuai dengan pola makan dan jadwal olahraga untuk
mencapai nilai glukosa darah mendekati normal sepanjang hari.(Dipiro,2017)
Menurut American Diabetes Association (ADA) (2016), terapi farmakologi
diabetes melitus tipe 2 yaitu :

1. Metformin apabila dapat ditoleransi dan tidak terdapat kontraindikasi,


merupakan obat yang paling disarankan untuk penderita diabetes tipe 2

2. Pertimbangkan terapi insulin (dengan atau tanpa obat tambahan lain) pada
pasien yang baru didiagnosis sebagai diabetes tipe 2 dengan gejala simtomatis
dan atau disertai peningkatan kadar glukosa darah atau HbA1c

3. Apabila monoterapi non-insulin pada dosis maksimum yang mampu


ditoleransi tidak dapat mencapai atau mempertahankan target HbA1c lebih
dari 3 bulan, maka perlu kombinasi dengan OHO lain, atau insulin basal.

4. Pendekatan yang berpusat pada pasien diperlukan untuk memandu pemilihan


intervensi farmakologis. Pertimbangan berupa efikasi, biaya, kemungkinan
efek samping, berat badan, penyakit yang menyertai, risiko hipoglikemia, dan
keinginan pasien

5. Pada pasien dengan diabetes tipe 2 yang tidak dapat mencapai target kadar
glukosa darah, insulin tidak dapat ditunda
B. Hewan Uji
a. Pengertian Hewan Uji
Hewan coba adalah hewan yang dapat digunakan untuk suatu tujuan
penelitian tertentu dan umumnya menggunakan hewan laboratorium hingga hewan
ternak. Penggunaan hewan percobaan dalam berbagai penelitian fisiologi, biokimia,
farmakologi, patologi, komporatif zoologi dan ekologi, juga dilakukan untuk
pengembangan obat-obatan, vaksin dan produk-produk khusus misalnya: kosmetik,
shampoo, dan pasta gigi (Jumrodah, 2016).
Hewan coba adalah hewan yang sengaja dipelihara untuk digunakan sebagai
hewan model yang berkaitan untuk pembelajaran dan pengembangan berbagai
macam bidang ilmu dalam skala penelitian atau pengamatan laboratorium. Hewan
coba banyak digunakan sebagai penunjang dalam melakukan pengujian-pengujian
terhadap obat, vaksin, atau dalam penelitian biologi (Intan dkk 2014).
b. Pemeliharaan hewan uji
Penelitian ilmiah yang baik dimana digunakan hewan sebagai objek ataupun
model kajian, maka tata kerjanya dievaluasi oleh Komisi Etik Penggunaan Hewan.
Oleh karena itu, penggunaan hewan dalam kegiatan laboratorium pendidikan
(praktikum) perlu selaras tata caranya dan memenuhi kriteria etika penggunaan
hewan percobaan. Hewan uji yang digunakan dalam penelitian tetap harus dijaga
hak-haknya yang dikenal sebagai Animal Welfare seperti yang tercantum dalam five
of freedom (Stevani, 2016).
Animal welfare dalam Bahasa Indonesia berarti kesejahteraan hewan. Standar
"yang baik" tentang kesejahteraan hewan sangat bervariasi antara konteks yang
berbeda. Standar ini berada di bawah review konstan dan diperdebatkan, dibuat dan
direvisi oleh komunitas kesejahteraan hewan, legislator dan akademisi di seluruh
dunia. Ilmu kesejahteraan hewan menggunakan berbagai langkah, seperti umur
panjang, penyakit, imunosupresi, perilaku, fisiologi, dan reproduksi, meskipun ada
perdebatan tentang yang mana dari indikator ini yang memberikan informasi terbaik
(Kadek, 2017).

Komite Penanganan Hewan Universitas McGill (UACC) merekomendasikan


penggunaan Penilaian Kondisi Tubuh (BCS) untuk menilai endpoint klinis hewan.
BCS merupakan penilaian yang cepat, non-invasif dan efektif dalam menilai kondisi
fisik hewan. Dalam banyak kasus, BCS adalah titik akhir klinis yang lebih baik
daripada berat badan. Penggunaan berat badan saja tidak dapat membedakan antara
lemak tubuh atau simpanan otot. Berat badan hewan yang kurang dapat tertutupi oleh
kondisi abnormal (misalnya pertumbuhan tumor, akumulasi cairan ascetic, dan
pembesaran organ) atau pada kondisi normal (misalnya kehamilan). selain itu jika
suatu hewan telah kehilangan berat badan lebih dari 20% namun berdasarkan
penilaian BCS kondisinya masih di nilai 3 (BCS 3) maka mungkin belum perlu
dilakukaan euthanasia segera. Dengan demikian, BCS adalah penanda yang lebih
komprehensif dan akurat untuk kesehatan hewan dibandingkan kehilangan berat
badan (Stevani, 2016).
Berikut cara menilai Body Condition Scoring (BCS) menurut Stevani (2016):
BCS Nilai 1- Mencit kurus
Tulang-tulang tubuh sangat jelas kelihatan. Bilamana diraba,
tidak terasa adanya lemak atau daging. Tampak atas juga
kelihatan sekali bagian-bagian tubuhnya tidak berisi lemak
atau daging.
BCS Nilai 2- Mencit di bawah kondisi standart
Tikus tanpak kurus. Tulang-tulang masih kelihatan jelas,
namun bilamana diraba masih terasa adanya daging atau
lemak. Tampak atas sudah tidak terlalu berlekuk lekuk, agak
berisi. Tulang pelvic dorsal dapat langsung teraba.
BCS Nilai 3- Mencit dalam kondisi yang baik
Tubuhnya tidak tampak tonjolan tulang, namun bilamana
diraba cukup mudah merasakan adanya tulang-tulang.
Tampak atas, biasanya sudah lebih lurus tampak berisi.
Tulang pelvic dorsal sedikit teraba.
BCS Nilai 4- Mencit di atas kondisi standart
Tidak tampak adanya tonjolan tulang-tulang dan bilamana
diraba agak sulit merasakan tulang karena tebalnya timbunan
lemak dan daging. hewan kelihaan berisi dan tampak juga
lipatan-lipatan lemak dibawah kulit.
BCS Nilai 5- Mencit obese
Sudah sangat sulit meraba tulang-tulang akibat
timbunan lemak dan daging yang sangat tebal.

c. Cara Penanganan Hewan Uji


Sebelum memberikan obat dan mangambil spesimen pada hewan uji, kita
dituntut untuk mampu memegang dan mengendalikan hewan uji dengan benar.
Hewan uji terlindung dari rasa sakit dan cedera yang didapat bila hewan tersebut
dipegang dengan benar, selain itu bila hewan tersebut tidak dipegang dengan benar,
maka hewan tersebut dapat melukai anda. Sebelum memegang mencit dan hewan
lainnya, sebaiknya gunakan alat pelindung diri yang berupa baju laboratorium,
sarung tangan, dan masker (Stevani, 2016).

Berikut adalah tata cara untuk memegang hewan uji Mencit(Mus musculus)
menurut Stevani (2016) :
a) Mencit diangkat dengan cara memegang ekor kearah atas dengan tangan
kanan
b) Lalu letakkan mencit di letakkan di permukaan yang kasar biarkan mencit
menjangkau / mencengkeram alas yang kasar (kawat kandang).
c) Kemudian tangan kiri dengan ibu jari dan jari telunjuk menjepit kulit tengkuk
mencit seerat / setegang mungkin.
d) Ekor dipindahkan dari tangan kanan, dijepit antara jari kelingking dan jari
manis tangan kiri.
e) Dengan demikian, mencit telah terpegang oleh tangan kiri dan siap untuk
diberi perlakuan.
d. Cara Menganestesi dan Mengorbankan Hewan Uji
Anestesi merupakan suatu tindakan untuk menghilangkan rasa sakit ketika
dilakukan pembedahan dan berbagai prosedur lain yang menimbulkan rasa sakit,
dalam hal ini rasa takut perlu ikut dihilangkan untuk menciptakan kondisi optimal
bagi pelaksanaan pembedahan (Sabiston, 2011).
Percobaan dengan hewan biasanya akan berakhir dengan mematikan hewan
tersebut, baik karena akan diambil organ in vitronya selama atau pada akhir
percobaan (misalnya pengamatan histologi paru), untuk menilai bagaimana efek obat
(misalnya efek toksik obat), atau karena hewan tersebut mengalami penderitaan atau
sakit dan cacat yang tidak mungkin sembuh lagi. Istilah mematikan hewan uji dikenal
sebagai euthanasia, yaitu suatu proses dengan cara bagaimana seekor hewan di bunuh
dengan menggunakan teknis yang dapat diterima secara manusiawi. Hal ini berarti
hewan mati dengan mudah, cepat, tenang dengan rasa sakit yang sedikit mungkin
(Stevani, 2016).
Untuk mencit, teknik euthanasia fisik dapat dilakukan diantaranya dengan
menggunakan cara dislokasi leher. Ekor mencit dipegang dan mencit ditempatkan
pada permukaan kasar yang bias dijangkaunya seperti kawat ram penutup
kandangnya. Secara otomatis mencit akan meregangkan badannya. Saat mencit
meregangkan badannya, pada tengkuk ditempatkan suatu penahan, misalnya pensil
atau batang logam yang dipegang dengan tangan kiri. Secara cepat, ekor mencit atau
tikus ditarik dengan tangan kanan dengan keras, sehingga lehernya akan terdislokasi
(Rudy Nugroho, 2018).

e. Rute Pemberian Obat


Menurut Rudy Nugroho (2018), teknik pemberian obat atau sediaan
tergantung dari tujuan penelitian, macam, dan sifat sediaan. Pemberian obat atau
sediaan sangat berpengaruh terhadap hasil penelitian, sehingga sangat perlu diketahui
teknik-tekniknya. Berikut ini akan diuraikan berbagai macam teknik pemberian obat
atau sediaan :
a) Pemberian secara oral
Percobaan dengan menggunakan hewan mencit atau tikus, pemberian obat
maupun sediaan dapat menggunakan teknik per oral. Pemberian obat secara oral
merupakan teknik paling umum dilakukan karena relatif mudah, praktis dan murah.
Namun ada beberapa kerugiannya yaitu: banyak faktor dapat mempengaruhi
bioavailabilitasnya (faktor obat, faktor penderita dan adanya interaksi dalam absorbsi
di saluran cerna). Sifat absorbsi obat mempunyai sifat-sifat tersendiri
Teknik pemberian secara oral ini sangat mudah dilakukan untuk hewan uji
seperti mencit atau tikus. Mencit atau tikus dipegang dengan cara yang telah
diuraikan bab sebelumnya, sehingga posisi hewan uji lurus. Suntikan oral (kanul)
dapat dimasukkan ke mulut hingga oesophagus. Posisi suntikan berkanul juga harus
dalam posisi tegak lurus. Larutan obat atau sediaan dalam suntikan berkanul
ditempelkan pada langit-langit mulut atas mencit, kemudian dimasukkan dengan
hati-hati sampai ke esofagus dan cairan obat dimasukkan.
b) Subkutan
Pemberian obat atau sediaan secara subkutan pada mencit dapat dilakukan di
bagian bawah kulit daerah tengkuk (leher bagian atas). Teknik yang tepat adalah
mencubit kulit di leher bagian atas dan kemudian obat dapat diberikan dengan
suntikan dengan sudut 45 derajat. Bagian subkutan lain yang dapat digunakan untuk
pemberian obat atau sediaan adalah kulit abdomen. Sementara itu jarum suntik yang
digunakan untuk mencit dapat menggunakan alat suntik (syringe dan jarumnya)
berukuran 1 mL atau menyesuaikan.
c) Intravena
Teknik pemberian obat atau sediaan secara intravena pada mencit dan tikus
dilakukan dengan bantuan holder atau alat bantu pemegang hewan uji dan
diusahakan ada lubang untuk ekor. Sebelum penyuntikan, ekor dapat dimasukkan ke
dalam air hangat terlebih dahulu, dengan tujuan agar pembuluh vena ekor
mengembang (dilatasi) sehingga mempermudah dalam pemberian obat atau sediaan.
d) Intraperitonial
Teknik intraperitonial sering dilakukan mencit. Saat penyuntikkan
berlangsung posisi kepala hewan uji harus lebih rendah dari bagian abdomen. Cara
tersebut dapat dilakukan dengan teknik menunggingkan hewan uji. Jarum suntik
kemudian disuntikkan dengan membentuk sudut 46 derajat dengan abdomen,
sementara posisi jarum agak menepi dari garis tengah agar tidak menusuk organ
dalam seperti hepar.
e) Intramuskular
Teknik pemberian obat dengan cara intramuskular (IM) merupakan teknik
pemberian sediaan atau obat melalui jaringan otot, umumnya di otot paha. Kecepatan
dan kelengkapan adsorpsi sediaan atau obat dipengaruhi oleh kelarutan obat dalam
air. Absorpsi lebih cepat terjadi di otot deltoid atau vastus lateralis daripada di bagian
gluteus maksimus. Penyuntikan intramuskular juga dapat dilakukan pada mencit atau
tikus pada bagian musculus yang tebal yaitu bicep femoris.
C. Uraian Hewan
a. Mencit (Mus musculus) (Rudy Nugroho, 2018)
Sistem taksonomi mencit adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mamalia
Ordo : Rodentia
Genus : Mus
Mus musculus
Spesies : Mus musculus
Mencit termasuk dalam filum chordate yang artinya mempunyai chorda
dorsalis, batang syaraf dorsal tunggal dan mempunyai celah insang pada masa
embrionya dan tidak berfungsi sebagai alat pernapasan. Mencit dikelompokkan
dalam klassis mamalia. Seperti telah diketahui, mamalia adalah kelompok hewan
vertebrata yang menduduki tempat tertinggi dalam perkembangan hewan. Nama
mamalia merujuk pada ciri utama anggota mamalia yaitu adanya kelenjar mamae
atau kelenjar air susu yang dapat menghasilkan air susu (pada betina) yang dapat
diberikan ke keturunannya (Rudy Nugroho, 2018)
Mencit memiliki rambut yang berwarna keabu-abuan atau putih. Mencit
memliki mata berwarna merah atau hitam, kulit berpigmen dan memiliki warna perut
sedikit pucat. Mencit dewasa pada umur 35 hari dan memiliki waktu kehamilan 19-
21 hari. Mencit dapat melahirkan 6-15 ekor. Mencit jantan dan betina siap
melakukan kopulasi pada umur 8 minggu. Siklus estrus atau masa birahi 4-5 hari
dengan lama estrus 12-14 jam. Fase estrus dimulai antara pukul 16.00-22.00 WIB.
Proses persetubuhan mencit jantan dan betina untuk tujuan fertilisasi atau disebut
dengan kopulasi terjadi pada saat estrus, dengan fertilisasi 2 jam setelah kopulasi.
(Bella Dheta, 2017).
D. Uraian Bahan
a. Alkohol 70% (Dirjen POM, 1979)
Nama Resmi : AETHANOLUM
Nama Lain : Alkohol, etanol, ethylalkohol
Rumus molekul : C2H5OH
Rumus struktur :

Berat molekul : 46,07 g/mol


Pemerian : Cairan tidakberwarna, jernih, mudah menguap dan
mudah bergerak; bau khas rasa panas, mudah terbakar
dan memberikan nyala biru yang tidak berasap.
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, dalam kloroform P dan
dalam eter P.
Manfaat : Sebagai zat tambahan, juga dapat membunuh kuman.
Kegunaan : Sebagai desinfektan dan pelarut
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, terhindar dari cahaya,
ditempat sejuk jauh dari nyala api.
b. Aquadest (Dirjen POM,1979)
Nama Resmi : AQUADESTILATA
Nama Lain : Aquadest, Air Suling
Rumus molekul : H2O
Berat molekul. : 18.02 g/mol
Rumus Struktur :

Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak


berasa.
Manfaat : Sebagai sumber mineral dari dalam tanah
Kegunaan : Sebagai pelarut.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.
c. Glibenklamid (FI VI,2020 ; PIONAS,2015 ; Pubcem, 2019)
Nama Resmi : Glibenklamid
Nama lain : Glibenklamida
Berat molekul : 494,0 g/mol
Rumus molekul :

Pemerian : Serbuk hablur;putih atau hamper putih.

Kelarutan : Agak sukar larut dalam metilen klorida;sukar larut


dalam etanol dan methanol;praktis tidak larut dalam
air.

Khasiat : Menurunkan kadar gula dalam darah

Indikasi : Diabetes melitus tipe 2

Kontra indikasi : Obat golongan Sulfonilurea sedapat mungkin


dihindari pada gangguan fungsi hati ; gagal ginjal dan
pada porfiria. Sulfonilurea sebaiknya tidak digunakan
pada ibu menyusui dan selama kehamilan sebaiknya
diganti dengan terapi insulin. Sulfonilurea
dikontraindikasikan jika terjadi ketoasidosis

Efek samping : Umumnya ringan dan jarang, diantaranya gangguan


gastrointestinal seperti mual, muntah, diare dan
konstipasi.

Interaksi obat : Peningkatan kadar glibenklamid dalam darah jika


dikonsumsi bersama antijamur, seperti miconazole
dan fluconazole. Peningkatan efek hipoglikemia dari
glibenklamid jika dikonsumsi bersama obat golongan
MAOI, fenilbutazon, probenecid, ACE inhibitor,
penghambat Beta, atau antibiotik.

Dosis : Dosis awal 5 mg 1 kali sehari; segera setelah makan


pagi (dosis lanjut usia 2.5 mg, disesuaikan
berdasarkan respon: dosis maksimum 15 mg sehari).

Onset : 15-60 menit (Rubenstein david,dkk 2007)

Durasi : 15-24 jam (Rubenstein david,dkk 2007)

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat

d. Metformin Hidroklorida ( FI VI, 2020 ; PIONAS, 2015 ; Pubcem, 2019)

Nama Resmi : Metformin Hidroklorida


Nama lain : Metformin hydrochloride

Berat molekul : 165,6 g/mol

Rumus molekul :

Pemerian : Serbuk hablur;putih;tidak berbau atau hamper tidak


berbau;higrosopik.

Kelarutan : Mudah larut dalam air;praktis tidak larut dalam aseton


dan dalam metilen klorida,sukar larut dalam etanol.

Khasiat : Menurunkan kadar gula dalam darah

Indikasi : Diabetes mellitus tipe 2, terutama untuk pasien


dengan berat badan berlebih (overweight), apabila
pengaturan diet dan olahraga saja tidak dapat
mengendalikan kadar gula darah. Metformin dapat
digunakan sebagai monoterapi atau dalam kombinasi
dengan obat antidiabetik lain atau insulin (pasien
dewasa), atau dengan insulin (pasien remaja dan anak
>10 tahun).

Kontra indikasi : Gangguan fungsi ginjal, ketoasidosis, hentikan bila


terjadi kondisi seperti hipoksia jaringan (sepsis,
kegagalan pernafasan, baru mengalami infark
miokardia, gangguan hati), menggunakan kontras
media yang mengandung iodin (jangan menggunakan
metformin sebelum fungsi ginjal kembali normal) dan
menggunakan anestesi umum (hentikan metformin
pada hari pembedahan dan mulai kembali bila fungsi
ginjal kembali normal), wanita hamil dan menyusui.

Efek samping : Anoreksia, mual, muntah, diare (umumnya


sementara), nyeri perut, rasa logam, asidosis laktat
(jarang, bila terjadi hentikan terapi), penurunan
penyerapan vitamin B12, eritema, pruritus, urtikaria
dan hepatitis.

Interaksi obat : Obat antiinflamasi nonsteroid dan antihipertensi,


efeknya meningkatkan risiko asidosis. Diuretik,
kortikosteroid, dan pil KB, efeknya meningkatkan
kadar gula darah dan menurunkan efektivitas
metformin. Insulin, efeknya meningkatkan risiko
kadar gula darah rendah atau hipoglikemia.

Dosis : Dosis ditentukan secara individu berdasarkan manfaat


dan tolerabilitas. Dewasa & anak > 10 tahun: dosis
awal 500 mg setelah sarapan untuk sekurang-
kurangnya 1 minggu, kemudian 500 mg setelah
sarapan dan makan malam untuk sekurang-kurangnya
1 minggu, kemudian 500 mg setelah sarapan, setelah
makan siang dan setelah makan malam. Dosis
maksimum 2 g sehari dalam dosis terbagi.

Onset : Sekitar 3 jam (Faretz et al,2014)

Durasi : Durasi kerja sampai 24 jam (Sukandar, 2009)

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, simpan dalam suhu ruang


e. Na-Cmc (Hope 5 th, Pubchem,2019)
Nama Resmi : Natrium Karboksimetil selulosa
Nama Lain : Na-Cmc,Carboxymethylcellulose-Natrium
Rumus molekul : C28H30Na8O27

Rumus struktur :

Berat molekul : 982.4 g/mol 


Pemerian : Serbuk granular;putih atau hamper putih;tidak berbau
Kelarutan : praktis tidak larut dalam aseton,etanol (95%),eter dan
toluen;mudah terdisperi dalam air pada berbagai suhu
membentuk larutan koloid jernih.
Khasiat : Sebagai kontrol
Kegunaan : Sebagai bahan tambahan dalam berbagai formulasi
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, pada suhu 40 derajat.

Anda mungkin juga menyukai