Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dasar Teori
2.1.1 Metabolisme
Metabolisme atau biotransformasi adalah proses dalam memetabolisme atau
merubah senyawa obat yang biasanya bersifat lipofil (non polar) yang sukar
dieliminasi menjadi metabolit inaktif (polar) sehingga mudah untuk dieliminasi dari
tubuh melalui urin dan feses. Proses ini dilakukan oleh enzim pemetabolisme yang
ada di hati. Interaksi obat pada fase ini dapat meningkatkan atau menurunkan kadar
obat di dalam darah (Wynn et al., 2009).
Interaksi fase metabolisme dapat terjadi melalui beberapa cara, yaitu :
1. Induksi enzim Pada peristiwa ini dapat menurunkan kadar dari salah satu obat
di dalam plasma dan mempercepat eliminasinya. Hal ini dikarenakan enzim
pemetabolisme diinduksi sehingga produksi enzim lebih banyak dan lebih aktif
untuk memetabolisme obat. Obat penginduksi enzim ini dapat menurunkan
kerja dari obat lain. Contoh obat penginduksi enzim adalah barbiturat
(fenobarbital) yang meningkatkan metabolisme penghambat reseptor beta
(propanolol). (Baxter, 2008)
2. Inhibisi enzim Obat penginhibisi enzim dapat meningkatkan kadar obat lain di
dalam plasma dan memperlama eliminasinya. Interaksi ini dapat meningkatkan
kerja obat, tetapi juga dapat menimbulkan toksisitas. Contohnya adalah obat
antitukak lambung (simetidin) menurunkan metabolisme teofilin (antiasma)
dalam plasma. Dosis teofilin harus diturunkan untuk menghindari toksisitas.
Jika simetidin dihentikan, maka dosis teofilin perlu disesuaikan. Contoh-contoh
interaksi obat pada fase metabolisme dijelaskan pada tabel 1(Baxter, 2008)
Metabolisme obat (disebut juga biotransformasi) terjadi terutama di hepar
melalui reaksi fase I (oksidasi, hidrolisis, dan reduksi) dan fase II (konjugasi).
Reaksi fase I termasuk dalam sistem enzim yang diperantarai cytocrom P
(CYP) 450, diperkirakan dilalui lebih dari 90% dari semua pengobatan. Induksi dan
inhibisi sistem enzimatik ini membantu memantau interaksi obat-obatan dan juga
menggambarkan karakteristik fungsi genetik yang bervariasi, hal
ini menghasilkan perbedaan klinis yang signifikan dalam metabolisme
obat (farmakogenomik). Reaksi Fase I juga termasuk dalam konversi prodrug,
dari tidak aktif menjadi aktif. Prodrug digunakan untuk beberapa alasan
seperti stabilitas, absorbsi, dan keuntungan tertentu. Sebagai contoh
enalapril merupakan prodrug yang dimetabolisme cepat di hepar menjadi
enalaprilat, yang merupakan bentuk aktif yang menghambat
angiotensin-converting enzym (ACE). Perubahan metabolisme obat melalui sistem
enzim dipengaruhi oleh genetik, fungsi hepatik, dan obat-obatan lain, yang
hasilnya dapat meningkatkan atau menurunkan paparan pengobatan tersebut
(Sleder et al., 2016).
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme obat antara lain
(Neal, 2006) :
a. Induksi enzim
b. Inhibisi enzim
c. Polimorfisme genetik
d. Enzim yang mengasetilasi obat
e. Pseudokolinesterase plasma
f. Usia.
Sitokrom P450 berperan penting pada metabolisme berbagai zat, baik senyawa

endogen maupun eksogen, termasuk xenobiotik. Pada metabolisme obat, sitokrom

P450 terlibat dalam 75% metabolisme obat, yaitu pada tahap metabolisme fase I.

Reaksi yang dikatalisis oleh sitokrom P450 adalah hidroksilasi, heteroatom

oksigenasi, heteroatom dealkilasi, pembentukan epoksida, dan perpindahan suatu

gugusan. Reaksi-reaksi ini terjadi karena sitokrom P450 mengkatalisis reaksi

oksidasi substrat oleh molekul oksigen (O2). Mekanisme katalisis ini secara umum

diawali oleh pengikatan substrat pada sitokrom P450. Pengikatan substrat akan

menyebabkan perubahan posisi molekul air sebagai ligan ion Fe sehingga terjadi

perubahan tingkat spin dan potensial reduksi ion Fe. Perubahan potensial reduksi ini

menyebabkan ion Fe akan tereduksi oleh NADPH dan reaksi ini dikatalisis oleh

enzim NADPH-P450 reduktase. Setelah itu, ion Fe yang tereduksi akan mengikat

molekul oksigen. Sitokrom P450 akan memecah molekul oksigen yang terikat lalu

mereduksi satu atom oksigen untuk membentuk molekul air (H 2O) dengan ion H+

dan menginkorporasikan satu atom oksigen yang lain pada substrat, yaitu pada ikatan

C-H, sehingga membentuk gugus hidroksil (Lamb et al,. 2007)

2.1.2 Hewan Uji


a. Pengertian Hewan Uji
Hewan coba adalah hewan yang dapat digunakan untuk suatu tujuan
penelitian tertentu dan umumnya menggunakan hewan laboratorium hingga hewan
ternak. Penggunaan hewan percobaan dalam berbagai penelitian fisiologi, biokimia,
farmakologi, patologi, komporatif zoologi dan ekologi, juga dilakukan untuk
pengembangan obat-obatan, vaksin dan produk-produk khusus misalnya: kosmetik,
shampoo, dan pasta gigi (Jumrodah, 2016).
Hewan coba adalah hewan yang sengaja dipelihara untuk digunakan sebagai
hewan model yang berkaitan untuk pembelajaran dan pengembangan berbagai
macam bidang ilmu dalam skala penelitian atau pengamatan laboratorium. Hewan
coba banyak digunakan sebagai penunjang dalam melakukan pengujian-pengujian
terhadap obat, vaksin, atau dalam penelitian biologi (Intan dkk 2014).
b. Pemeliharaan hewan uji
Penelitian ilmiah yang baik dimana digunakan hewan sebagai objek ataupun
model kajian, maka tata kerjanya dievaluasi oleh Komisi Etik Penggunaan Hewan.
Oleh karena itu, penggunaan hewan dalam kegiatan laboratorium pendidikan
(praktikum) perlu selaras tata caranya dan memenuhi kriteria etika penggunaan
hewan percobaan. Hewan uji yang digunakan dalam penelitian tetap harus dijaga hak-
haknya yang dikenal sebagai Animal Welfare seperti yang tercantum dalam five of
freedom (Stevani, 2016).
Animal welfare dalam Bahasa Indonesia berarti kesejahteraan hewan. Standar
"yang baik" tentang kesejahteraan hewan sangat bervariasi antara konteks yang
berbeda. Standar ini berada di bawah review konstan dan diperdebatkan, dibuat dan
direvisi oleh komunitas kesejahteraan hewan, legislator dan akademisi di seluruh
dunia. Ilmu kesejahteraan hewan menggunakan berbagai langkah, seperti umur
panjang, penyakit, imunosupresi, perilaku, fisiologi, dan reproduksi, meskipun ada
perdebatan tentang yang mana dari indikator ini yang memberikan informasi terbaik
(Kadek, 2017).
Komite Penanganan Hewan Universitas McGill (UACC) merekomendasikan
penggunaan Penilaian Kondisi Tubuh (BCS) untuk menilai endpoint klinis hewan.
BCS merupakan penilaian yang cepat, non-invasif dan efektif dalam menilai kondisi
fisik hewan. Dalam banyak kasus, BCS adalah titik akhir klinis yang lebih baik
daripada berat badan. Penggunaan berat badan saja tidak dapat membedakan antara
lemak tubuh atau simpanan otot. Berat badan hewan yang kurang dapat tertutupi oleh
kondisi abnormal (misalnya pertumbuhan tumor, akumulasi cairan ascetic, dan
pembesaran organ) atau pada kondisi normal (misalnya kehamilan). selain itu jika
suatu hewan telah kehilangan berat badan lebih dari 20% namun berdasarkan
penilaian BCS kondisinya masih di nilai 3 (BCS 3) maka mungkin belum perlu
dilakukaan euthanasia segera. Dengan demikian, BCS adalah penanda yang lebih
komprehensif dan akurat untuk kesehatan hewan dibandingkan kehilangan berat
badan (Stevani, 2016).
Berikut cara menilai Body Condition Scoring (BCS) menurut Stevani (2016):
BCS Nilai 1- Mencit kurus
Tulang-tulang tubuh sangat jelas kelihatan. Bilamana diraba,
tidak terasa adanya lemak atau daging. Tampak atas juga
kelihatan sekali bagian-bagian tubuhnya tidak berisi lemak
atau daging.
BCS Nilai 2- Mencit di bawah kondisi standart
Tikus tanpak kurus. Tulang-tulang masih kelihatan jelas,
namun bilamana diraba masih terasa adanya daging atau
lemak. Tampak atas sudah tidak terlalu berlekuk lekuk, agak
berisi. Tulang pelvic dorsal dapat langsung teraba.
BCS Nilai 3- Mencit dalam kondisi yang baik
Tubuhnya tidak tampak tonjolan tulang, namun bilamana
diraba cukup mudah merasakan adanya tulang-tulang.
Tampak atas, biasanya sudah lebih lurus tampak berisi.
Tulang pelvic dorsal sedikit teraba.
BCS Nilai 4- Mencit di atas kondisi standart
Tidak tampak adanya tonjolan tulang-tulang dan bilamana
diraba agak sulit merasakan tulang karena tebalnya timbunan
lemak dan daging. hewan kelihaan berisi dan tampak juga
lipatan-lipatan lemak dibawah kulit.
BCS Nilai 5- Mencit obese
Sudah sangat sulit meraba tulang-tulang akibat
timbunan lemak dan daging yang sangat tebal.

c. Cara Penanganan Hewan Uji


Sebelum memberikan obat dan mangambil spesimen pada hewan uji, kita
dituntut untuk mampu memegang dan mengendalikan hewan uji dengan benar.
Hewan uji terlindung dari rasa sakit dan cedera yang didapat bila hewan tersebut
dipegang dengan benar, selain itu bila hewan tersebut tidak dipegang dengan benar,
maka hewan tersebut dapat melukai anda. Sebelum memegang mencit dan hewan
lainnya, sebaiknya gunakan alat pelindung diri yang berupa baju laboratorium, sarung
tangan, dan masker (Stevani, 2016).
Berikut adalah tata cara untuk memegang hewan uji Mencit(Mus musculus)
menurut Stevani (2016) :
a) Mencit diangkat dengan cara memegang ekor kearah atas dengan tangan
kanan
b) Lalu letakkan mencit di letakkan di permukaan yang kasar biarkan mencit
menjangkau / mencengkeram alas yang kasar (kawat kandang).
c) Kemudian tangan kiri dengan ibu jari dan jari telunjuk menjepit kulit tengkuk
mencit seerat / setegang mungkin.
d) Ekor dipindahkan dari tangan kanan, dijepit antara jari kelingking dan jari
manis tangan kiri.
e) Dengan demikian, mencit telah terpegang oleh tangan kiri dan siap untuk
diberi perlakuan.
d. Cara Menganestesi dan Mengorbankan Hewan Uji
Anestesi merupakan suatu tindakan untuk menghilangkan rasa sakit ketika
dilakukan pembedahan dan berbagai prosedur lain yang menimbulkan rasa sakit,
dalam hal ini rasa takut perlu ikut dihilangkan untuk menciptakan kondisi optimal
bagi pelaksanaan pembedahan (Sabiston, 2011).
Percobaan dengan hewan biasanya akan berakhir dengan mematikan hewan
tersebut, baik karena akan diambil organ in vitronya selama atau pada akhir
percobaan (misalnya pengamatan histologi paru), untuk menilai bagaimana efek obat
(misalnya efek toksik obat), atau karena hewan tersebut mengalami penderitaan atau
sakit dan cacat yang tidak mungkin sembuh lagi. Istilah mematikan hewan uji dikenal
sebagai euthanasia, yaitu suatu proses dengan cara bagaimana seekor hewan di bunuh
dengan menggunakan teknis yang dapat diterima secara manusiawi. Hal ini berarti
hewan mati dengan mudah, cepat, tenang dengan rasa sakit yang sedikit mungkin
(Stevani, 2016).
Untuk mencit, teknik euthanasia fisik dapat dilakukan diantaranya dengan
menggunakan cara dislokasi leher. Ekor mencit dipegang dan mencit ditempatkan
pada permukaan kasar yang bias dijangkaunya seperti kawat ram penutup
kandangnya. Secara otomatis mencit akan meregangkan badannya. Saat mencit
meregangkan badannya, pada tengkuk ditempatkan suatu penahan, misalnya pensil
atau batang logam yang dipegang dengan tangan kiri. Secara cepat, ekor mencit atau
tikus ditarik dengan tangan kanan dengan keras, sehingga lehernya akan terdislokasi
(Rudy Nugroho, 2018).
e. Rute Pemberian Obat
Menurut Rudy Nugroho (2018), teknik pemberian obat atau sediaan
tergantung dari tujuan penelitian, macam, dan sifat sediaan. Pemberian obat atau
sediaan sangat berpengaruh terhadap hasil penelitian, sehingga sangat perlu diketahui
teknik-tekniknya. Berikut ini akan diuraikan berbagai macam teknik pemberian obat
atau sediaan :
a) Pemberian secara oral
Percobaan dengan menggunakan hewan mencit atau tikus, pemberian obat
maupun sediaan dapat menggunakan teknik per oral. Pemberian obat secara oral
merupakan teknik paling umum dilakukan karena relatif mudah, praktis dan murah.
Namun ada beberapa kerugiannya yaitu: banyak faktor dapat mempengaruhi
bioavailabilitasnya (faktor obat, faktor penderita dan adanya interaksi dalam absorbsi
di saluran cerna). Sifat absorbsi obat mempunyai sifat-sifat tersendiri
Teknik pemberian secara oral ini sangat mudah dilakukan untuk hewan uji
seperti mencit atau tikus. Mencit atau tikus dipegang dengan cara yang telah
diuraikan bab sebelumnya, sehingga posisi hewan uji lurus. Suntikan oral (kanul)
dapat dimasukkan ke mulut hingga oesophagus. Posisi suntikan berkanul juga harus
dalam posisi tegak lurus. Larutan obat atau sediaan dalam suntikan berkanul
ditempelkan pada langit-langit mulut atas mencit, kemudian dimasukkan dengan hati-
hati sampai ke esofagus dan cairan obat dimasukkan.
b) Subkutan
Pemberian obat atau sediaan secara subkutan pada mencit dapat dilakukan di
bagian bawah kulit daerah tengkuk (leher bagian atas). Teknik yang tepat adalah
mencubit kulit di leher bagian atas dan kemudian obat dapat diberikan dengan
suntikan dengan sudut 45 derajat. Bagian subkutan lain yang dapat digunakan untuk
pemberian obat atau sediaan adalah kulit abdomen. Sementara itu jarum suntik yang
digunakan untuk mencit dapat menggunakan alat suntik (syringe dan jarumnya)
berukuran 1 mL atau menyesuaikan.
c) Intravena
Teknik pemberian obat atau sediaan secara intravena pada mencit dan tikus
dilakukan dengan bantuan holder atau alat bantu pemegang hewan uji dan diusahakan
ada lubang untuk ekor. Sebelum penyuntikan, ekor dapat dimasukkan ke dalam air
hangat terlebih dahulu, dengan tujuan agar pembuluh vena ekor mengembang
(dilatasi) sehingga mempermudah dalam pemberian obat atau sediaan.
d) Intraperitonial
Teknik intraperitonial sering dilakukan mencit. Saat penyuntikkan
berlangsung posisi kepala hewan uji harus lebih rendah dari bagian abdomen. Cara
tersebut dapat dilakukan dengan teknik menunggingkan hewan uji. Jarum suntik
kemudian disuntikkan dengan membentuk sudut 46 derajat dengan abdomen,
sementara posisi jarum agak menepi dari garis tengah agar tidak menusuk organ
dalam seperti hepar.
e) Intramuskular
Teknik pemberian obat dengan cara intramuskular (IM) merupakan teknik
pemberian sediaan atau obat melalui jaringan otot, umumnya di otot paha. Kecepatan
dan kelengkapan adsorpsi sediaan atau obat dipengaruhi oleh kelarutan obat dalam
air. Absorpsi lebih cepat terjadi di otot deltoid atau vastus lateralis daripada di bagian
gluteus maksimus. Penyuntikan intramuskular juga dapat dilakukan pada mencit atau
tikus pada bagian musculus yang tebal yaitu bicep femoris.
2. 2 Uraian Hewan
a. Klasifikasi Mencit (Mus musculus) (ITIS, 2018)
Kingdom : Animalia
Phyllum : Chordata
Class : Mamalia
Ordo : Rodentia
Gambar mencit
Family : Muridae (Mus musculus)
Genus : Mus
Species : Mus musculus L.
Salah satu hewan laboratorium yang digunakan dalampenelitian biologis
maupun bromedis dan dipelihara secara intensif dilaboratorium digunakan yaitu
mencit (Mus musculus). Mencit dilaboratorium digunakan untuk untuk meneliti atau
untuk penelitian dalam bidang obat-obatan generik, diabetes melitus dan obesitas.
Mencit termasuk ke dalam golongan hewan omnivora sehingga mencit dapat
memakan semua jenis makanan. (Weki Yuli Andri, 2011).
Mencit bila diperlakukan dengan baik akan memudahkan penanganan,
sebaliknya perlakuan yang kasar akan menimbulkan sifat agresif bahkan dapat
menggigit pada kondisi tertentu. Mencit betina yang sedang menyusui anak akan
mempertahankan sarangnya dan bila anaknya dipegang dengan tangan yang kotor,
induknya akan menggigit dan memakan anak tersebut (Tortora, 2015).
b. Anatomi dan fisiolgi mencit
Menurut Murwanti, dkk (2004) dalam Adelea (2018) mencit adalah hewan
yang termasuk ke dalam kelas Mamalia. Mencit merupakan salah satu golongan
hewan mamalia pengerat yang bersifat omivorus dan nokturnal. Ciri umum dari
mencit yaitu memiliki warna kulit rambut tubuh putih atau keabu-abuan dengan perut
sedikit pucat, mata berwarna merah atau hitam.
Menurut Somala (2006) dalam Adelea (2018), mencit (Mus musculus) dewasa
memiliki berat badan sekitar 20-40 g pada hewan jantan, sedangkan 18-35 g pada
hewan betina. Kedewasaan dicapai pada saat usia 35 hari. Berdasarkan struktur
anatomi mencit mempunyai mulut, faring, laring, jantung, paru-paru, hati, kantung
empedu, lambung, ginjal, usus halus, usus besar, organ reproduksi dan perkemihan
serta rektum dan anus.
2.3 Uraian Bahan
2.3.1 Alkohol 70% (Dirjen POM, 1979)
Nama Resmi : AETHANOLUM
Nama Lain : Alkohol, etanol, ethylalkohol
Rumus molekul : C2H5OH
Rumus struktur :

Berat molekul : 46,07 g/mol


Pemerian : Cairan tidakberwarna, jernih, mudah menguap dan
mudah bergerak; bau khas rasa panas, mudah terbakar
dan memberikan nyala biru yang tidak berasap.
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, dalam kloroform P dan
dalam eter P.
Kegunaan : Sebagai desinfektan dan pelarut
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, terhindar dari cahaya,
ditempat sejuk jauh dari nyala api.
2.3.2 Aquadest (Dirjen POM,1979)
Nama Resmi : AQUADESTILATA
Nama Lain : Aquadest, Air Suling
Rumus molekul : H2O
Berat molekul. : 18.02 g/mol
Rumus Struktur :

Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak


berasa.
Kegunaan : Sebagai pelarut.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
2.3.3 Glibenklamid (FI VI,2020 ; PIONAS,2015 ; Pubcem, 2019)
Nama Resmi : Glibenklamid
Nama lain : Glibenklamida
Berat molekul : 494,0 g/mol
Rumus molekul :
Pemerian : Serbuk hablur;putih atau hamper putih.
Kelarutan : Agak sukar larut dalam metilen klorida;sukar larut
dalam etanol dan methanol;praktis tidak larut dalam
air.
Khasiat : Menurunkan kadar gula dalam darah
Indikasi : Diabetes melitus tipe 2
Kontra indikasi : Obat golongan Sulfonilurea sedapat mungkin dihindari
pada gangguan fungsi hati ; gagal ginjal dan pada
porfiria. Sulfonilurea sebaiknya tidak digunakan pada
ibu menyusui dan selama kehamilan sebaiknya diganti
dengan terapi insulin. Sulfonilurea dikontraindikasikan
jika terjadi ketoasidosis
Efek samping : Umumnya ringan dan jarang, diantaranya gangguan
gastrointestinal seperti mual, muntah, diare dan
konstipasi.
Interaksi obat : Peningkatan kadar glibenklamid dalam darah jika
dikonsumsi bersama antijamur , seperti miconazole
dan fluconazole. Peningkatan efek hipoglikemia dari
glibenklamid jika dikonsumsi bersama obat golongan
MAOI, fenilbutazon, probenecid, ACE inhbitor,
penghambat Beta, atau antibiotic.
Dosis : Dosis awal 5 mg 1 kali sehari; segera setelah makan
pagi (dosis lanjut usia 2.5 mg, disesuaikan berdasarkan
respon: dosis maksimum 15 mg sehari).
Onset : 15-60 menit (Rubenstein david,dkk 2007)
Durasi : 15-24 jam (Rubenstein david,dkk 2007)
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat
2.3.4 Rifampisin ( FI VI, 2020 ; PIONAS, 2015 ; Pubcem, 2019)
Nama Resmi : RIFAMPISIN
Nama lain : Rifamycin
Berat molekul : 822,95 g/mol
Rumus molekul :

Pemerian : Serbuk hablur,cokelat merah


Kelarutan : Sangat sukar larut dalam air;mudah larut dalam
kloroform;larut dalam etil asetat dan dalam metanol.
Indikasi : Untuk pengobatan tuberkulosis yang disebabkan
oleh Mycobacterium tuberculosis dalam kombinasi
dengan obat antituberkulosis lain dan dalam kombinasi
dengan obat antilepra untuk pengobatan lepra dengan
mengubah keadaan infeksi menjadi keadaan
noninfeksi.
Kontra indikasi : Penderita hipersensitif, penderita gangguan saluran
empedu, serta selama kehamilan trimester pertama.
Efek samping : Gangguan saluran cerna meliputi mual, muntah,
anoreksia, diare; pada terapi intermiten dapat terjadi
sindrom influenza, gangguan respirasi (napas Pendek),
kolaps dan syok, anemia hemolitik, anemia, gagal
ginjal akut, purpura trombo-sitopenia; gangguan
fungsi hati, ikterus; flushing, urtikaria, ruam;
gangguan sistem saraf pusat meliputi sakit kepala,
pusing, kebingungan, ataksia, lemah otot, psikosis.
Interaksi obat : Peggunaan dengan antasida, opiat, antikolinergik dan
ketokonazol, berinteraksi dengan kontrasepsi
hormonal, obat antiretroviral (non-nucleoside reverse
transcriptase inhibitors dan protease inhibitors).
Dosis : Tuberkulosis : Dewasa dalam dosis tunggal, BB <50kg
adalah 450 mg, BB >50kg adalah 600mg (pasien
dengan gangguan fungsi hati tidak lebih dari
8mg/kgBB). Anak: 10-20 mg/kgBB sebagai dosis
harian (dosis total tidak lebih dari 600 mg).
Onset : 2-4 jam
Durasi : 1,5-5 jam
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat,tidak tembus cahaya dan
pada suhu terkendali

Anda mungkin juga menyukai