Anda di halaman 1dari 31

1

LAPORAN PROBLEM BASED LEARNING 3


BLOK ENDOKRIN DAN METABOLISME (ENDMET)
SKENARIO 3: BADANKU MAKIN TAK MENENTU












Tutor:
dr. Wiwiek Fatchurohmah
Kelompok 14
1 G1A012011 Rizka Putri Pratiwi
2 G1A012022 Agustin Nurul F.
3 G1A012027 Agung Maulana R.
4 G1A012040 Dzicky Rifqi Fuady
5 G1A012042 Astri Dewi Wardhani
6 G1A012045 Sofiana Ulya Nuha
7 G1A012059 Yudith Anindita
8 G1A012078 Khoirunnisa Fajar I. P.
9 G1A012085 Yona Ajeng Triafatma
10 G1A012087 Iqbal Maulana Malik
11 G1A009067 Suci Nuryanti



JURUSAN KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERA SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2013

2

BAB I
PENDAHULUAN

Badanku Makin Tak Menentu
A. Info 1
Tn. A, 48 thn adalah seorang pengusaha Real Estate, datang ke klinik, dengan
leher terasa kakun yang dirasakan hilang timbul sejak 1 bulan terakhir. Karena
kesibukannya Tn.A baru sempat memeriksakan kesehatannya, Tn. A juga
mengaku jarang melakukan pemeriksaan sebelumnya. Sebagai pengusaha Tn.A
hampir setiap hari makan direstoran bersama rekan bisnisnya, Tn.A suka sekali
memakan makanan cepat saji, steak, dan masakan seafood. Tn.A juga
mengeluhkan berat badannya yang semakin meningkat, dan bertanya kepada anda
bagaimana tips menurunkan berat badan selain dengan olahraga, karena Tn.A
tidak punya waktu untuk berolah raga.
Pertanyaan :
1. Informasi atau masalah apakah yang dapatkan dan simpulkan dari kasus
tersebut ?
2. Buatlah kemungkinan hipotesis penyebab dari masalah tersebut
B. Info 2
KU : Baik
KS : Compos mentis
TD : 120/70 mmHg
Nadi : 88x/menit
RR : 24x/menit
BB : 98 kg
TB : 168 cm
Lingkar pinggang : 108 cm
Status internus : dalam batas normal

3

C. Info 3
Dari pemeriksaan darah ditemukan hasil :
GDP : 110 mg/dl
TG : 315 mg/dl
HDL : 48 mg/dl
LDL : 200 mg/dl
Kolesterol total : 277 mg/dl
D. Info 4
Diagnosis : Obesitas klas I
Dislipidemia
E. Info 5
Tatalaksana
Non farmakologis :
1. Memperbaiki gaya hidup
2. Meningkatkan aktivitas fisik
3. Diet/ terapi nutrisi medis dengan pembatasan jumlah kalori dan
jumlah lemak
4. Kontrol teratur minimal setiap 3 bulan sekali
Farmakologi :
Lovastatin 1x10 mg
Diberikan jika terapi non farmakologis gagal ( tidak ada penurunan profil
lipid )








4

BAB II
PEMABAHSAN

A. Klasifikasi Istilah
1. Kaku Leher
Kaku adalah kondisi dengan beberapa sebab yang mengakibatkan
penurunan atau pengurangan gerak pada sendi dan otot. Sebabnya dapat
berupa cedera fisik/karena beberapa penyakit seperti reumatik.
B. Batasan Masalah
Anamnesis
1. Identitas Pasien
a. Nama : Tn. A
b. Usia : 48 tahun
2. Keluhan Utama : Leher terasa kaku
3. Onset KU : 1 bulan terakhir
4. Keluhan Penyerta : Berat badan semakin meningkat
5. Riwayat Penyakit Dahulu : Tidak ada
6. Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada
7. Riwayat Pribadi (Sosial, Ekonomi, Psikologi) :
a. Pengusaha Real Estate
b. Hampir setiap hari makan di restoran bersama rekan bisnisnya
c. Sukasekali memakan makanan cepat saji, steak, dan masakan seafood
C. Analisis Masalah
1. Profil lemak
2. Metabolisme lemak
3. Patofisiologi leher kaku dan penyakit terkait
4. Pengukuran Lingkar Perut
5. Hipotesis Sementara (Diagnosis Diferensial) dan Usulan Pemeriksaan
Fisik
6. Interpretasi Pemeriksaan Fisik
5

7. Eliminasi Hipotesis sementara atau DD
D. Menyusun Berbagai Penjelasan Mengenai Permasalahan yang Ada
1. Profil Lemak
Klasifikasi lipoprotein didasarkan pada densitas, ukuran dan
kandungan lipid protein serta pergerakan elelchoporesisnya. Semakin
besar rasio lipid/protein maka semakin besar ukurannya dan makin rendah
densitasnya. Terdapat lima kelas utama lipoprotein yaitu kilomikron, very
low density lipoprotein (VLDL), intermediate density lipoprotein (IDL),
low density lipoprotein (LDL) dan high density lipoprotein (HDL)
(Pusparini, 2006).
Kepustakaan lain memasukkan intermediate-density lipoprotein
(IDL), lipoprotein(a) & p(a) sebagai salah satu bagian klasifikasi jenis
lipoprotein (Rader and Hobbs, 2005).
2. Metabolisme Lemak
Ada 3 jalur metabolisme lemak, yaitu jalur metabolisme eksogen,
jalur metabolisme endogen, dan jalur metabolisme revers cholesterol
transport (RCT).
a. Jalur Metabolisme Eksogen
Jalur metabolism lemak eksogen adalah jalur metabolism
lemak yang berasal dari luar tubuh, seperti dari makanan, ataupun
kolesterol yang dieksresikan oleh enterosit di usus. Pada awalnya,
lemak eksogen tersebut akan dipecah menjadi trigliserid dan
kolesterol. Trigliserid akan berubah menjadi asam lemak bebas di usus
halus, dan akan kembali lagi menjadi trigliserid sedangkan kolesterol
akan mengalami esterifikasi menjadi kolesterol ester. Kemudian,
keduanya akan bergabung membentuk senyawa kompleks posfolipid
dan apolipoprotein menjadi lipoprotein. Lipoprotein ini lalu akan
berkembang menjadi kilomikron karena kompleks posfolipid dan
apolipoprotein yang telah ada di dalamnya. Kilomikron akan
memasuki aliran limfe dan masuk kealiran darah, lalu dihidrolisis oleh
enzim lipoprotein lipase (LPL) sehingga membentuk asam lemak
bebas (Sacher& McPherson, 2004).
6

Asam lemak bebas ini sebagian akan disimpan sebagai
cadangan makanan dan sisanya akan diambil oleh hepar. Kilomikron
yang kehilangan trigliseridanya ini akan menjadi kilomikron remnant
lalu akan mengalami esterifikasi lagi menjadi kolesterol ester yang
akan mengalami metabolisme di hepar menjadi kolesterol bebas.
Selanjutnya, kolesterol bebas ini akan dikeluarkan di usus, disimpan
di kantong empedu untuk selanjutnya menjadi asam empedu yang
dibuang di feses, serta ada lagi sebagian yang didistribusikan
keseluruh tubuh untuk menjalani jalu rmetabolisme endogen (Sacher&
McPherson, 2004).
Adapun secara singkat, berikut ini gambaran metabolism jalur
eksogen.

Gambar 1. Jalur metabolisme eksogen (Sacher& McPherson, 2004)

b. Jalur Metabolisme Endogen
Jalur metabolism endogen dimulai dari dihasilkannya lemak
yang didapat dari jalur metabolisme eksogen. Selanjutnya, lemak ini
akan disekresikan ke dalam sirkulasi darah, lalu dihidrolisis secara
bertahap oleh enzim LPL menjadi VLDL, lalu dihidrolisis lagi
7

menjadi apolipoprotein B100, lalu IDL, lalu LDL, yang mengandung
paling banyak kolesterol. LDL ini sebagian ada yang didistribusikan
ke hepar dan ke jaringan steroid ogenik dan sebagian lagi akan
mengalami oksidasi dan akan berikatan dengan reseptor scavenger-A
(SR-A) di makrofag sehingga difagosit dan menghasilkan foam cell.
Foam cell inilah yang akan menyebabkan timbulnya aterosklerosis
(Sacher& McPherson, 2004). Adapun secara singkat, berikut ini
gambaran metabolism jalur endogen.

Gambar 2. Jalurmetabolisme endogen (Sacher& McPherson, 2004)
c. Jalur Metabolisme Reverse Cholesterol Transport (RCT)
Jalur metabolisme RCT merupakan jalur metabolism
pembersihan plak-plak foam cell yang dilakukan oleh HDL,
khususnya yang diawali oleh HDL nascent. HDL akan mengambil
kolesterol dari makrofag foam cell di atas dan menjadi HDL dewasa
yang berbentuk bulat dan mengandung kolesterol bebas. Selanjutnya,
akan terjadi esterifikasi oleh enzim (Lechitin Cholesterol
Acyltransferase) menjadi kolesterol ester. Lalu, sebagian akan dibawa
ke hepar membentuk scavenger receptor class B type 1 (SR-B1) dan
8

sebagian akan ditukarkan dengan trigliserida dari VLDL dan IDL
membentuk Cholesterol Ester Transfer Protein (CETP) (Sacher&
McPherson, 2004). Adapun secara singkat, berikut ini gambaran
metabolism jalur RCT.

Gambar 3. Jalur metabolism RCT (Sacher& McPherson, 2004)

3. Patofisiologi Leher Kaku dan Penyakit Terkait
Trigliserida merupakan lemak dalam darah, yang merupakan hasil
uraian tubuh pada makanan yang mengandung lemak dan kolesterol,
yang telah dikonsumsi dan masuk ke tubuh serta juga dibentuk di hati.
Dalam jumlah yang normal (tidak lebih dari 150 mg/dl), ia berfungsi
sebagai partikel yang mengangkat lemak dalam tubuh.
Ketika berlebih, otomatis menghambat kelancaran peredaran darah,
karena bersifat viskositas (kental) itu tadi. Akibatnya, kita akan merasa
kaku di daerah leher atau jari-jari tangan. Efek jangka panjangnya,
menimbulkan penyakit jantung, diabetes dan ginjal (Manggia, 2012).
9

Beberapa penyakit dengan gejala kaku leher:
a. Hipertensi
b. Dislipidemia
c. Obesitas
4. Pengukuran Lingkar Perut
Cara Pengukuran Lingkar Perut:
a. Jelaskan pada responden tujuan pengukuran lingkar perut dan
tindakan apa saja yang akan dilakukan dalam pengukuran.
b. Untuk pengukuran ini responden diminta dengan cara yang santun
untuk membuka pakaian bagian atas atau menyingkapkan pakaian
bagian atas dan raba tulang rusuk terakhir responden untuk
menetapkan titik pengukuran.
c. Tetapkan titik batas tepi tulang rusuk paling bawah.
d. Tetapkan titik ujung lengkung tulang pangkal paha/panggul.
e. Tetapkan titik tengah di antara di antara titik tulang rusuk terakhir titik
ujung lengkung tulang pangkal paha/panggul dan tandai titik tengah
tersebut dengan alat tulis.
f. Minta responden untuk berdiri tegak dan bernafas dengan normal
(ekspirasi normal).
g. Lakukan pengukuran lingkar perut dimulai/diambil dari titik tengah
kemudian secara sejajar horizontal melingkari pinggang dan perut
kembali menuju titik tengah diawal pengukuran.
h. Apabila responden mempunyai perut yang gendut ke bawah,
pengukuran mengambil bagian yang paling buncit lalu berakhir pada
titik tengah tersebut lagi.
i. Pita pengukur tidak boleh melipat dan ukur lingkar pinggang
mendekati angka 0,1 cm ( Departemen Kesehatan RI, 2007).
5. Hipotesis Sementara (Diagnosis Diferensial) dan Usulan Pemeriksaan
Fisik
a. Sindrom Metabolik
Dari pemeriksaan fisik, memang sangat sulit untuk
membedakan sindrom metabolic dengan penyakit lainnya karena
10

secara fisik, sindroma metabolik ditandai dengan obesitas dan ukuran
lingkar pinggang lebih dari 90 cm pada pria dan lebih dari 80 cm pada
wanita. Adapun diagnosis ini dapat ditegakkan apabila ditemukan
kenaikan kadar trigliserida, penurunan HDL-C, kenaikan gula darah
puasa dan hipertensi (Hartono, 2006).
b. Obesitas
Obesitas adalah suatu keadaan dimana ditemukan adanya
kelebihan lemak dalam tubuh. Obesitas ditentukan dengan indeks
massa tubuh (IMT), secara umum IMT >25 dapat dikatakan menderita
obesitas. Selain itu juga dapat dengan pengukuran lingkar pinggang,
dimana untuk pria > 90 cm dan wanita > 80 cm.
c. Cushing Sindrom
Penyakit Cushing bisa menjadi salah satu hipotesis atau
diagnosis banding penyakit yang diderita pasien karena adanya
obesitas. Adapun hasil pemeriksaan fisik yang akan membantu
penegakkan diagnosis penyakit ini antara lain adalah sebagai berikut
(Davey, 2005):
1) Rambut menipis
2) Moon face
3) Jerawat
4) Hirsutisme
5) Buffalo hump
6) Hipertensi
7) Obesitas
8) Ulkuspeptikum
9) Strieungu di abdomen
10) Miopatiproksimal
11) Kulit tipis
d. Dislipidemia
6. Interpretasi Pemeriksaan Fisik
KU : Baik
11

KS : Compos mentis Kesadaran penuh
TD : 120/70 mmHg Normal
Nadi : 88x/menit Normal
RR : 24x/menit Meningkat
BB : 98 kg
TB : 168 cm IMT/BMI = 34,72 Meningkat
Lingkar pinggang : 108 cm Meningkat
Status internus : dalam batas normal
7. Eliminasi Hipotesis Sementara (DD)
a. Eliminasi Diagnosis Cushing Sindrom
Dari hasil pemeriksaan fisik, tidak ditemukan beberapa kriteria
penegakkan diagnosis dari cushing sindrom seperti moon face, buffalo
hump, rambut menipis, dan hirsutisme.
E. Merumuskan Tujuan Belajar
1. Penjelasan sekilas mengenai Obesitas, Dislipidemia, Sindrom Metabolik
dan usulan pemeriksaan laboratorium serta penunjang
2. Interpretasi Hasil Laboratorium
3. Penentuan diagnosis
4. Definisi
5. Epidemiologi
6. Etiologi
7. Klasifikasi
8. Patogenesis
9. Patofisiologi
10. Komplikasi
11. Faktor Resiko
12. Tata Laksana
13. Prognosis
F. Belajar Mandiri
Sudah dilaksanakan


12

G. Menarik atau Mengambil Informasi yang Dibutuhkan
1. Penjelasan sekilas mengenai Obesitas, Dislipidemia, Sindrom Metabolik
dan usulan pemeriksaan laboratorium serta penunjang
a. Obesitas
Obesitas berasal dari kata ob (akibat dari) dan esum (makanan),
yang berarti obesitas merupakan akibat dari makanan. Obesitas adalah
suatu keadaan dimana ditemukan adanya kelebihan lemak dalam tubuh.
Obesitas ditentukan dengan indeks massa tubuh (IMT), secara umum
IMT >25 dapat dikatakan menderita obesitas.
b. Dislipidemia
Dislipidemia membutuhkan penanda khas berupa peningkatan
kolesterol total, LDL, dan trigliserid, tetapi dengan penurunan HDL
(Sugondo& Purnamasari, 2009).
c. Sindrom Metabolik
Pandemi sindrom metabolik berkembang seiring prevalensi
obesitas yang terjadi pada populasi Asia. Kategori IMT obesitas > 25
lebih cocok untuk diterapkan pada orang Indonesia. Prevalensi sindrom
metabolik adalah 13,13%. Prevalensi sindrom metabolik menggunakan
kriteria National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel
III dengan modifikasi Asia, terdapat pada 25,7% pria dan 25% wanita
(Soegondo, 2006).
2. Interpretasi Hasil Laboratorium
Dari pemeriksaan darah ditemukan hasil :
GDP : 110 mg/dl Normal
TG : 315 mg/dl Meningkat
HDL : 48 mg/dl Normal
LDL : 200 mg/dl Meningkat
Kolesterol total : 277 mg/dl Meningkat
3. Penentuan diagnosis
Obesitas dengan dislipidemia merupakan diagnois yang kami
anggap paling sesuai berdasarkan dapat berkaitan dengan hasil
laboratorium yaitu peningkatan TG, LDL, dan kolesterol total serta dari
13

hasil pemeriksaan fisik (IMT dan lingkar pinggang) yang melebihi batas
normal.
4. Definisi
Obesitas berasal dari kata ob (akibat dari) dan esum (makanan),
yang berarti obesitas merupakan akibat dari makanan. Obesitas adalah
suatu keadaan dimana ditemukan adanya kelebihan lemak dalam tubuh.
Obesitas ditentukan dengan indeks massa tubuh (IMT), secara umum
IMT >25 dapat dikatakan menderita obesitas.
Obesitas merupakan suatu kelainan kompleks pengaturan nafsu
makan dan metabolisme energi yang dikendalikan oleh beberapa faktor
biologik spesifik. Secara fisiologis obesitas didefinisikan sebagai suatu
keadaan dengan akumulasi lemak yang tidak normal atau berlebihan di
jaringan adiposa sehingga dapat menganggu kesehatan (Sugondo, 2006).
5. Epidemiologi
Obesitas didefinisikan sebagai kelebihan kandungan lemak di
jaringan adiposa; batas untuk obesitas umumnya adalah kelebihan berat
lebih dari 20% berat standar normal (Sherwood, 2012). Menurut World
Health Organization (WHO), pada tahun 1995 ada sekitar 200 juta orang
dewasa gemuk di seluruh dunia dan 18 juta lainnya adalah balita yang
diklasifikasikan sebagai kelebihan berat badan. Pada tahun 2000, jumlah
orang dewasa obesitas telah meningkat menjadi lebih dari 300 juta.
Bertentangan dengan kebijaksanaan konvensional, epidemi obesitas tidak
terbatas pada masyarakat industri. Pada negara-negara yang sedang
berkembang, diperkirakan bahwa lebih dari 115 juta orang menderita
obesitas (WHO, 2003).
14


Di Amerika Serikat, saat ini lebih dari dua pertiga orang dewasa
secara klinis mengalami kelebihan berat, dengan sepertiganya digolongkan
mengalami obesitas. Yang mempermarah keadaan, obesitas ini cenderung
untuk terus meningkat. Jumlah orang dewasa dengan obesitas di Amerika
Serikat kini 75% jauh lebih banyak daripada 15 tahun yang lalu.
(Sherwood, 2012). Sedangkan di Indonesia sendiri angka obesitas juga
terus meningkat dari tahun ke tahun. Data Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan prevalensi obesitas dan gizi lebih
pada penduduk usia 15 tahun keatas secara nasional adalah 19,1%.
(Suryaputra, 2012).
Fenomena gizi lebih merupakan ancaman yang serius karena
terjadi di berbagai strata ekonomi, pendidikan, desa-kota, dan lain
sebagainya. Hal ini diketahui berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2010,
14% balita termasuk gizi lebih, di mana besarannya hampir sama dengan
balita kurus. Pada kelompok usia di atas 15 tahun, prevalensi obesitas
sudah mencapai 19,1%. Analisis lebih lanjut menunjukkan tidak terdapat
perbedaan prevalensi balita gizi lebih pada keluarga yang termiskin
15

(13.7%) dengan keluarga terkaya (14.0%). Demikian pula tidak terdapat
perbedaan menurut kelompok umur anak, jenis kelamin, dan pendidikan
orang tua (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2007).
Dengan menggunakan data dari Survei Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT), analisis data dari 20.137 orang dewasa dilakukan, terdiri dari
9.390 pria dan 10.747 wanita dari daerah perkotaan dan pedesaan. Studi ini
menemukan bahwa prevalensi kelebihan berat badan adalah 7,2% di antara
laki-laki dan 10,4% di kalangan perempuan. Prevalensi kelebihan berat
badan lebih tinggi di perkotaan (10,8%) daripada di pedesaan (7,5%).
Prevalensi obesitas pada wanita lebih dari dua kali (13,3%) dibandingkan
dengan pria (5,3%), lebih tinggi di daerah perkotaan (12,8%) dibandingkan
daerah pedesaan (7,1%). Puncak kelebihan berat badan dan obesitas
ditemukan pada rentang usia 45-49 tahun. Sebagai kesimpulan, prevalensi
overweight dan obesitas lebih tinggi di kedua aspek, pada wanita
dibandingkan pria dan di daerah perkotaan daripada di daerah pedesaan
(Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2010).
6. Etiologi
Penyebab obesitas antara lain adalah masukan makanan yang
meningkat tajam. Makanan tidak sehat (junk food) yang banyak tersedia
dan enak rasanya dapat memicu timbulnya obesitas.Selain itu ketidak
seimbangan asupan makanan dengan kurangnya aktivitas fisik baik dalam
bekerja maupun bermain dapat menimbulkan obesitas.
7. Klasifikasi
Klasifikasi Obesitas Berdasarkan IMT/BMI dan Lingkar Perut
a. Menurut WHO technical series, 2000
Klasifikasi IMT (kg/m
2
)
Berat Badan Kurang < 18,5
Kisaran Normal 18,5 24, 9
Berat Badan Lebih > 25
Pre Obes 25,0 29,9
Obes Tingkat I 30,0 344,9
Obes Tingkat II 35,0 39,9
16

Obes Tingkat III > 40

b. Menurut WHO/IPR/IASO/IOTF, 2000
Kriteria Asia Pasifik
Klasifikasi IMT (kg/m
2
) Risiko Ko-Morbiditas
Lingkar Perut
< 90 cm (L) 90 cm (L)
< 80 cm (P) 80 cm (P)
Berat Badan
Kurang
< 18, 5 Rendah (risiko
meningkat pada
masalah klinis
lain)
Sedang
Kisaran
Normal
18,5 22,9 Sedang Meningkat
Berat Badan
Lebih
23,0
Berisiko 23,0 24,9 Meningkat Moderat
Obes I 25,0 29,9 Moderat Berat
Obes II 30,0 Berat Sangat Berat
Keterangan : L = Laki-laki, P = Perempuan (Sugondo, 2009)
Klasifikasi obesitasi berdasar distribusi lemak (Fitranto, 2008) :
a. Ginekoid, pada obesitas ini lemak banyak terkumpul di bagian
bawah tubuh/gluteus, umumnya diderita oleh wanita.
b. Android (obesitas sentral/visceral), umumnya diderita oleh laki-
laki. lemak banyak terkumpul di bagian perut berhubungan erat
risiko penyakit kardiovaskuler sindroma metabolik) .
8. Patogenesis
Obesitas terjadi karena ketidakseimbangan antara asupan energi
dengan keluaran energi (energy expenditures) sehingga terjadi kelebihan
energi yang selanjutnya disimpan dalam bentuk jaringan lemak. Hampir
setiap individu, pada saat asupan makanan meningkat, konsumsi
kalorinya juga ikut meningkat, begitupun sebaliknya. Karena itu, berat
badan dipertahankan secara baik dalam cakupan yang sempit dalam
waktu yang lama. Diperkirakan, keseimbangan yang baik ini
dipertahankan oleh internal set point atau lipostat, yang dapat
mendeteksi jumlah energi yang tersimpan (jaringan adiposa) dan
17

semestinya meregulasi asupan makanan supaya seimbang dengan energi
yang dibutuhkan (Isbayuputra, 2009).
Pada keadaan energi tersimpan berlebih dalam bentuk jaringan
adiposa dan individu tersebut makan, sinyal adipose aferen (insulin,
leptin, ghrelin) akan dikirim ke unit proses sistem saraf pusat pada
hipotalamus. Di sini, sinyal adiposa menghambat jalur anabolisme dan
mengaktifkan jalur katabolisme. Lengan efektor pada jalur sentral ini
kemudian mengatur keseimbangan energi dengan menghambat masukan
makanan dan mempromosi pengeluaran energi. Hal ini akan mereduksi
energi yang tersimpan. Sebaliknya, jika energi tersimpan sedikit,
ketersedian jalur katabolisme akan digantikan jalur anabolisme untuk
menghasilkan energi yang akan disimpan dalam bentuk jaringan adiposa,
sehingga tercipta keseimbangan antara keduanya. Pada sinyal aferen,
insulin dan leptin mengontrol siklus energi dalam jangka waktu yang
lama dengan mengaktifkan jaras katabolisme dan menghambat jaras
anabolisme. Sebaliknya, ghrelin secara dominan menjadi mediator dalam
waktu yang singkat. Hormon ghrelin menstimulasi rasa lapar melalui
aksinya di pusat makan di hipotalamus. Sintesis ghrelin terjadi dominan
di sel-sel epitel di bagian fundus lambung. Sebagian kecil dihasilkan di
plasenta, ginjal, kelenjar pituitari, dan hipotalamus. Sedangkan reseptor
ghrelin terdapat di sel-sel pituitari yang mensekresikan hormon
pertumbuhan, hipotalamus, jantung, dan jaringan adiposa. Konsentrasi
ghrelin dalam darah paling rendah terjadi setelah makan dan meningkat
ketika puasa sampai waktu makan berikutnya (Isbayuputra, 2009).
Walaupun insulin dan leptin sama-sama berpengaruh dalam siklus
energi, data yang ada menyatakan bahwa leptin mempunyai peran yang
lebih pentingdaripada insulin dalam pengaturan homeostatis energi di
sistem saraf pusat. Sel-sel adiposa berkomunikasi dengan
pusat hypothalamic yang mengontrol selera makan dan pengeluaran
energi dengan cara mengeluarkan leptin, salah satu jenis sitokin. Jika
terdapat energi tersimpan yang berlimpah dalam bentuk jaringan adiposa,
dihasilkan leptin dalam jumlah besar, melintasi sawar darah otak, dan
18

berikatan dengan reseptor leptin. Reseptor leptin menghasilkan sinyal
yang mempunyai dua efek, yaitu menghambat jalur anabolisme dan
memicu jalur katabolisme melalui neuron yang berbeda. Hasil akhir dari
leptin adalah mengurangi asupan makanan dan mempromosikan
Fapengeluaran energi. Karena itu, dalam beberapa saat, energi yang
tersimpan dalam sel-sel adipose mengalami reduksi dan mengakibatkan
berat badan berkurang. Pada keadaan ini, equilibrium atau energy
balance tercapai. Siklus ini akan terbalik jika jaringan adiposa habis dan
jumlah leptin berada di bawah ambang batas normal. Cara kerja leptin
secara molekuler sangat kompleks dan belum dapat diuraikan secara
lengkap. Secara garis besar, leptin bekerja melalui salah satu bagian jaras
neural terintegrasi yang disebut leptin-melanocortin circuit, seperti
diilustrasikan pada gambar 2.5. Pemahaman tentang sirkuit ini penting
mengingat obesitas merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
cukup serius dan pengembangan obat antiobesitas tergantung sepenuhnya
pada pemahaman jaras ini (Isbayuputra, 2009).
9. Patofisiologi
Obesitas terjadi karena adanya kelebihan energi yang disimpan
dalam bentuk jaringan lemak. Gangguan keseimbangan energi ini dapat
disebabkan oleh faktor eksogen (obesitas primer) sebagai akibat
nutrisional (90%) dan faktor endogen (obesitas sekunder) akibat adanya
kelainan hormonal, sindrom atau defek genetik (meliputi 10%)
(Satoto,ddk 1998).
Pengaturan keseimbangan energi diperankan oleh hipotalamus
melalui 3 proses fisiologis yaitu pengendalian rasa lapar dan kenyang,
mempengaruhi laju pengeluaran energi dan regulasi sekresi hormon.
Proses dalam pengaturan penyimpanan energi ini terjadi melalui sinyal-
sinyal eferen (yang berpusat di hipotalamus) setelah mendapatkan sinyal
aferen dari perifer (jaringan adipose, usus dan jaringan otot). Sinyal-
sinyal tersebut bersifat anabolik (meningkatkan rasa lapar serta
menurunkan pengeluaran energi) dan dapat pula bersifat katabolik
(anoreksia, meningkatkan pengeluaran energi) dan dibagi menjadi 2
19

kategori, yaitu sinyal pendek dan sinyal panjang. Sinyal pendek
mempengaruhi porsi makan dan waktu makan, serta berhubungan dengan
faktor distensi lambung dan peptida gastrointestinal, yang diperankan
oleh kolesistokinin (CCK) sebagai stimulator dalam peningkatan rasa
lapar. Sinyal panjang diperankan oleh fat-derived hormon leptin dan
insulin yang mengatur penyimpanan dan keseimbangan energi
(Satoto,ddk 1998).
Apabila asupan energi melebihi dari yang dibutuhkan, maka
jaringan adiposa meningkat disertai dengan peningkatan kadar leptin
dalam peredaran darah. Leptin kemudian merangsang anorexigenic
center di hipotalamus agar menurunkan produksi Neuro PeptideY
(NPY), sehingga terjadi penurunan nafsu makan. Demikian pula
sebaliknya bila kebutuhan energi lebih besar dari asupan energi, maka
jaringan adiposa berkurang dan terjadi rangsangan pada orexigenic center
di hipotalamus yang menyebabkan peningkatan nafsu makan. Pada
sebagian besar penderita obesitas terjadi resistensi leptin, sehingga
tingginya kadar leptin tidak menyebabkan penurunan nafsu makan
(Satoto, dkk 1998).
10. Komplikasi
Kegemukan dan obesitas menimbulkanbanyak masalah dan
memperbesar risiko seseorang terserang penyakit degeneratif (penyakit
yang timbul akibat ada perubahan atau kerusakan tingkat seluler yang
meluas ke jaringan yang sama). Beberapa penyakit yang disebabkan oleh
obesitas, antara lain :
a. Hipertensi
Penderita kegemukan mempunyai risiko yang tinggi
terhadap hipertensi. Seseorang dikatakan menderita hipertensi bila
tekanan systole >140 mmHg dan diastole >90 mmHg. Penderita
obesitas tipe buah apel beresiko lebih tinggi dalam kemungkinan
menderita hipertensi dibandingkan dengan orang yang kurus dan
penderita obesitas tipe buah pear.
20

Berat badan yang berlebih sudah tentu akan meningkatkan
beban jantung dalam memompa darah keseluruh tubuh. Hal ini
menyebabkan tekanan darah cenderung akan lebih tinggi. Selain
itu, pembuluh darah pada lansia lebih tebal dan kaku atau disebut
aterosklerosis, sehingga tekanan darah akan meningkat. Untuk itu
lansia hendaknya mengurangi konsumsi natrium (garam), karena
garam yang berlebih dalam tubuh dapat meningkatkan tekanan
darah (Desky, 2011).
b. Diabetes Mellitus (DM)
Obesitas dapat menyebabkan penyakit diabetes mellitus
tipe II. Sebagaimana diketahui, diabetes mellitus adalah suatu
keadaan/kelainan dimana terdapat gangguan metabolisme
karbohidrat, lemak, dan protein yang disebabkan oleh
kekuranganinsulin atau tidak berfungsinya insulin, akibatnya gula
dalam darah tertimbun (tinggi). Biasanya 75% penderita DM tipe II
adalah orang yang mengalami obesitas atau riwayat obesitas.
Diabetes mellitus sebenarnya merupakan penyakit
keturunan, tetapi kondisi tersebut tidak selalu timbul jika seseorang
tidak kelebihan berat badan. Pada umumnya, penderita diabetes
mempunyai kadar lemak yang abnormal dalam darah (Desky,
2011).
c. Kanker
Hasil penelitian menunjukkan bahwa laki-laki yang
mengalami obesitas akan berisiko lebih tinggi untuk menderita
kanker usus besar, rektum, dan kelenjar prostat. Adapun pada
wanita penderita obesitas, akan mengalami risiko terkena penyakit
kanker payudara dan rahim. Wanita yang telah menopause,
umumnya pada usia lebih dari 50 tahun dan mengalami kelebihan
berat badan akan mudah terserang penyakit kanker payudara.
Untuk mengurangi risiko terkena kanker, konsumsi lemak total
harus dikurangi (Desky, 2011).
d. Penyakit Jantung Koroner (PJK)
21

Penyakit jantung koroner merupakan penyakit yang terjadi
akibat penyempitan pembuluh darah koroner (pembuluh darah
yang mendarahi dinding jantung). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa dari 500 penderita kegemukan sekitar 88% mendapat risiko
terserang penyakit jantung koroner. Meningkatnya faktor risiko
penyakit jantung koroner sejalan dengan terjadinya penambahan
berat badan seseorang.
Konsumsi lemak jenuh dan kolesterol yang berlebihan akan
meningkatkan risiko penyakit ini. Lemak jenuh dan kolesterol
hanya terdapat pada bahan makanan hewani. Oleh karena itu, usia
lanjut lebih disarankan mengkonsumsi ikan karena dapat
menurunkan risiko menderita penyakit jantung dibandingkan
sumber protein hewan lain. Pengaruh kegemukan pada penyakit
jantung koroner tidak selalu berdiri sendiri, tetapi biasanya
diperburuk oleh faktor risiko lain seperti hipertensi, diabetes, dan
hiperlipidemia (Desky, 2011).
e. Arthritis dan Gout
Orang yang menderita kegemukan dan obesitas mempunyai
risiko tinggi terhadap penyakit arthritis (radang sendi) yang lebih
serius bila dibandingkan dengan orang yang memiliki berat badan
ideal atau gemuk.Gout merupakan salah satu bentuk penyakit
arthritis atau lebih tepatnya radang sendi akibat meningkatnya
kadar asam urat dan terbentuknya kristal asam urat pada sendi.
Penyakit ini sering menyerang penderita kegemukan yang
mengalami kelebihan berat badan > 30% dari berat badan ideal dan
kandungan asam urat dalam darahnya tinggi (Desky, 2011).
f. Batu Empedu
Sewaktu tubuh mengubah kelebihan lemak makanan
menjadi lemak tubuh, cairan empedu lebih banyak diproduksi di
dalam hati dan di simpan dalam kantong empedu. Hal inilah yang
meningkatkan risiko terkena penyakit batu empedu (adanya
endapan zat-zat berbentuk seperti batu di dalam empedu). Lebih
22

sering terjadi padapenderita obesitas tipe buah apel. Penurunan
berat badan tidak akan mengobati penyakit batu empedu, tetapi
hanya akan membantu dalam pencegahannya (Desky, 2011).
11. Faktor Resiko
Beberapa faktor resiko obesitas adalah sebagai berikut :
a. Riwayat keluarga dengan hiperlipidemia
b. Diet kaya lemak
c. Kurang melakukan olah raga
d. Penggunaan alkohol
e. Merokok sigaret
f. Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik
g. Kelenjar tiroid yang kurang aktif (LIPI, 2009)
12. Tata Laksana
a. Terapi Non Farmakologis
i. Diet/ terapi nutrisi medis dengan pembatasan jumlah kalori dan
jumlah lemak
Untuk menanggulangi obesitas umumnya dikenal 2
macam diet (Soegih, 2009):
1) Low calorie diet (LCD): 1200-1600 kkal
a) LC high fat
b) LC high carbohydrate
c) LC balance diet
2) Very low calorie diet (VLCD) biasanya diberikan pada
pasien obesitas dengan IMT > 40.
Untuk pasien pada kasus ini dapat diterapkan low calorie
diet karena dari hasil pengukuran IMT pasien 34,72 sehingga
tidak cocok untuk diberikan very low calorie diet. LCD sendiri
memiliki syarat pemenuhan gizi 1200-1600 kkal per hari dan
dapat dibagi sesuai kebutuhan menjadi beberapa kali makan
(Soegih, 2009).
Yang terpenting dalam menjalankan terapi diet adalah
keseimbangan antara asupan energi dan pemakaiannya. Untuk
23

tambahan, pasien dianjurkan menkonsumsi serat sebesar 25-30
g/ hari untuk menurunkan densitas kalori dan memperpanjang
rasa kenyang dengan memperlambat pengosongan lambung
(Soegih, 2009).
ii. Meningkatkan aktivitas fisik
Untuk mempermudah perhitungan dalam menentukan
kebutuhan kalori seorang olahragawan, maka dilakukan penggolongan
terhadap macam-macam olahraga berdasarkan berat ringannya
olahraga tersebut, dengan memperhitungkan kedua macam bentuk
latihan (latihan kondisi fisik dan latihan keterampilan teknik) juga
jumlah waktu dari masing-masing latihan yang dijalankannya.
Macam-macam olahraga digolongkan ke dalam 4 kelompok, yaitu
ringan, sedang, berat, dan berat sekali (Wolinsky, 1994).
Olahraga Ringan Olahraga Sedang Olahraga Berat
Olahraga Berat
Sekali
Menembak
Bowling
Golf
Panahan
Atletik
Sepak Bola
Tenis
Badminton
Senam
Bola Basket
Hockey
Tenis Meja
Soft Ball
Renang
Balap Sepeda
Tinju
Gulat
Kempo
Judo
Balap Sepeda
(lebih dari 130 km)
Angkat Besi
Marathon
Rowing
Daftar yang resmi tentang pembagian ini belum ada dan daftar
ini pun masih bisa mengalami perubahan. Apabila ada suatu cabang
olahraga yang belum tercantum pada daftar ini, penggolongannya
supaya disesuaikan dengan cabang yang kira-kira sama aktivitasnya
dengan yang ada di daftar.
24

Aktivitas fisik yang dapat dilaksanakan oleh Tn. A yang sibuk
dan kurang senang berolahraga yaitu dapat dimulai dengan berjalan
kaki misalnya ketika naik-turun di kantor jangan menggunakan lift,
ketika akan menghadiri acara yang dekat juga dengan berjalan kaki.
Untuk lebih intensifnya apabila dilakukan secara rutin 3 kali seminggu
selama 30 menit. Apabila sudah intensif melakukannya, dapat
ditingkatkan intensitasnya menjadi 45 menit dengan frekuensi 5 kali
seminggu. Hal ini akan menambah pengeluaran energi tambahan
sebanyak 100 sampai 200 kalori per hari. Selanjutnya dapat ditambah
dengan aktivitas fisik yang disukai oleh Tn. A misalnya lari-lari kecil,
bersepeda, berenang, ataupun olahraga permainan (Sugondo, 2009).
b. Terapi Farmakologis
Berbagai obat obesitas dapat digunakan sebagai terapi
obesitas dan dislipidemia jika pasien sudah memiliki IMT > 27.
Terapi penggunaan obat pun harus dilanjutkan jika telah ada
penurunan berat badan 0,5 kg/ minggu. Jika tidak, perlu
dipertimbangkan kembali penggunaannya (Tandra, 2007; Davey,
2005).
Selain itu, jika IMT pasien hanya sekitar 25 26,9, terapi
yang perlu dilakukan hanyalah perubahan gaya hidup. Jika IMT >
35, harus mulai dipikirkan pilihan untuk melakukan tindakan
pembedahan (Tandra, 2007).
Berikut merupakan beberapa sediaan obat anti obesitas :
i. Golongan statin
Golongan obat statin seperti simvastatin, lovastatin, dan
sejenis nya memiliki sediaan dalam bentuk tablet, dengan
dosis tiap tablet nyamulai dari 5mg, 10 mg, 20 mg, hingga 40
mg (MenteriKesehatan RI, 2011).
ii. Golongan penghambat absorpsi kolesterol
Salah satu contoh golongan obat ini adalah Colestipol,
dengan sediaan tablet 1 mg, granul botol dan granul paket 5
mg. Contoh obat lain adalah Cholestyramine yang tersedia
25

dalam bentuk suspensi dengan dosis 4 g resin/ 5 g serbuk
sampai 4g resin / 9 g serbuk (Hamilton, 2012).
iii. Golongan fibrat
Contoh obat golongan fibrat adalah gemfibrozil dengan
sediaan tablet 600 mg serta Fenofibrate yang memiliki
sediaan tablet 160 mg (Upfal, 2006).
iv. Golongan Niasin
Golongan niasin memiliki sediaan tablet dengan dosis
bervariasi, mulai dari 25 mg, 50 mg, 100 mg, 250 mg, dan
500 mg (Upfal, 2006).
Beberapa obat yang dapat diberikan antara lain :
Bile acid sequestran : Kolestiramin 8-12 g, 2/3 kali pemberian
Kolestipol 10-15 9, 2/3 kali pemberian
HMG-CoA reductase inhibitors : Lovastatin 10-80 mg/dl
Pravastatin 10-40 mg/dl
Simvastatin 5-40 mg/dl
Fluvastatin 20-40 mg/dl
Atorvastatin 10-80 mg/dl
Rosurvastatin 10-20 mg/dl
Derivat asam fibrat : Gemfibrozil 600-1200 mg
Fenofibrat 160 mg
Asam nikotinik : Niasin 50-100 mg, 3 kali pemberian, kemudian
tingkatkan 1,0-2,5 dengan 3 kali pemberian
Ezetimibe : 10 mg/hari
Asam lemak omega-3 : Contoh Maxepa 10 kapsul/hari
c. Terapi Bedah
Terapi bedah merupakan salah satu pilihan untuk
menurunkan berat badan. Terapi ini hanya diberikan kepada pasien
obesitas berat secara klinis dengan BMI 40 atau 35 dengan
kondisi komorbid. Terapi bedah ini harus dilakukan sebagai
26

alternatif terakhir untuk pasien yang gagal dengan farmakoterapi dan
menderita komplikasiobesitas yang ekstrem.
Penatalaksanaan bedah atas obesitas morbid dimulai sekitar
25 tahun yang lalu, sewaktu dikenal bahwa reseksi segmental yang
luas atas usus halus atau tindakan pintas yang dirancang untuk
menyingkirkan ke banyak usus halus dapat efektif dalam
meningkatkan pengurangan berat badan dalam pasien kegemukan
massif. Dalam waktu ini, telah muncul kontroversi besar tentang
kebijakan tindakan bedah jenis apa pun untuk mengendalikan
obesitas, pada bagian terbesar karena komplikasi serius yang bisa
terjadi dengan berlalunya waktu. Operasi gastroplastik telah
dirancang untuk mengurangi insidens komplikasi ini (David, 1995).
Tindakan bedah yang telah dicoba dengan derajat keberhasilan
bervariasi mencakup tiga jenis utama:
i. Tindakan pintas jejunum yang mula-mula dirangsang oleh
pengetahuan fakta bahwa reseksi usus halus massif biasanya
menyebabkan penurunan berat badan parah, inanisi, dan dalam kasus
ekstrim, mematikan. Karena alasan ini, maka pintas usus halus
diperkenalkan untuk penatalaksanaan obesitas morbid.
Jejunoileostomi ujung-ke-ujung telah dilakukan dalam banyak
pasien seperti juga pintas jejunoileum ujung-ke-ujung.
ii. Tindakan gastroplastik ditandai oleh pembentukan
kantong lambung yang kecil pada sambungan esophagogaster
dengan penempatan jahitan atau staples melintasi cardia dan hanya
meninggalkan saluran kecil (1 cm). (Gambar 1A dan B)
iii. Tindakan pintas lambung umumnya ditandai oleh
pembentukan kantong lambung proksimal yang kecil bersama
dengan gastrojejunostomi roux-en-Y, juga dengan saluran sekitar 1
cm, untuk mengurangi kapasitas reservoir kantong lambung
proksimal. (Gambar 1C)
27


Walaupun hasil memuaskan lebih dicapai dalam beberapa
pasien dengan menggunakan teknik ini, namun komplikasi segera
dan jangka lama cukup besar. Komplikasi dini mencakup infeksi
luka, dehisensi, splenektomi untuk limpa yang cedera pada waktu
operasi serta gangguan cairan dan elektrolit. Komplikasi jangka lama
mencakup obstruksi stoma, batu ginjal, kolelitiasis, keadaan
defisiensi gizi (vitamin B12) dan insufisiensi hati. Jika dilakukan
suatu tindakan maka ia harus dipertimbangkan secara bijaksana
dengan pembahasan penuh bersama masing-masing pasien dengan
risiko dan manfaat. (David, 1995)
13. Prognosis
Obesitas tidak dapat digeneralisasi dengan prognosis yang sama.
Menurunkan berat badan dan mempertahankannya adalah hal yang sangat
sulit bagi penderita obesitas, namun keinginan atas pola hidup yang lebih
sehat serta penurunan faktor risiko komplikasi dapat memotivasi beberapa
orang untuk mengikuti diet dan program penurunan berat badan. (Wadden,
2011)
Prognosis obesitas tergantung pada penyebab dan ada tidaknya
komplikasi. Obesitas pada anak yang berlanjut sampai dewasa, morbiditas
dan mortalitasnya tinggi. Tetapi jika ditangani dengan baik dan tepat dalam
menurunkan berat badan maka prognosis baik. Namun jika dibiarkan maka
obesitas akan berlanjut dan bisa sampai terjadi komplikasi. (Wadden, 2011)

28

BAB III
KESIMPULAN

Diagnosis pada kasus ini adalah Obesitas kelas I dengan Dislipidemia.
Penatalaksanaan Diabetes Melitus dapat dilakukan secara non
medikamentosa dengan mengatur diit dan pola hidup yang sehat, dengan medika
mentosa berupa penggunaan obat-obat obesitas dan dislipidemia, serta dapat juga
dengan terapi bedah.





















29

DAFTAR PUSTAKA

Adam, John MF. 2009. Dislipidemia. Dalam IPD FKUI. Jakarta: Badan Penerbit
FKUI
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2007. Laporan Nasional
Riskesdas 2007. http://www.litbang.depkes.go.id/bl_riskesdas2007/
(Diakses pada 20 Oktober 2013).
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2010. Laporan Nasional
Riskesdas 2010.
http://www.litbang.depkes.go.id/sites/download/buku_laporan/lapnas_riskesd
as2010/Laporan_riskesdas_2010.pdf (Diakses pada 20 Oktober 2013).
Davey, P. 2005. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga
David C. Sabiston, Jr.,M.D. 1995. Sabiston Buku Ajar Bedah. Jakarta: GC. P.
367-373.
Departemen Kesehatan RI. 2007. Pedoman Pengukuran dan Pemeriksaan dapat
diunduh di
http://www.riskesdas.litbang.depkes.go.id/download/PedomanPengukuran.
pdf (diakses pada tanggal 20 Oktober 2013 pukul 10.50 WIB)

Desky, Bustanil Rasyid. 2011. Faktor - Faktor Yang Berhubungan Dengan
Obesitas Lansia Di Posyandu Lansia Wilayah Kerja Puskesmas PB
Selayang II Kecamatan Medan Selayang Tahun 2011. Available at :
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/28147 (diakses tanggal 18
Oktober 2013)
Gotto, AM. 2001. Contemporery Diagnosis And Management Of Lipid Disorders.
Pennsylvania, USA: Handbooks in Healthcare Compnay
Hamilton, R. J. 2013. Tarascon Pharmacopoeia 2013 Professional Desk
Reference Edition. Burlington: Jones & Barlett Learning
Hartono, A. 2006. TerapiGizidan Diet RumahSakit.Edisi 2. Jakarta:
PenerbitBukuKedokteran EGC
30

Isbayuputra, Marsen. 2009. PREVALENSI OBESITAS PADA ANAK TAMAN
KANAK-KANAK DI KELURAHAN CIKINI, KECAMATAN
MENTENG, DKI JAKARTA DAN HUBUNGANNYA DENGAN
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA. Available at :
http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/124623-S09052fk-
Prevalens%20obesitas-Literatur.pdf. Diakses tanggal 17 Oktober
2013
LIPI. 2009. Kolesterol Tinggi. Jakarta : Balai Informasi Teknologi LIPI Pangan
dan Kesehatan
Manggia, Irma dan Miftahun Nikmah. 2012. Mengenal Lemak Dalam Darah
available at :
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/04/29/18
4809/Mengenal-Lemak-dalam-Darah diunduh tanggal 15 Oktober 2013
Menteri Kesehatan RI. 2011. KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2500/MENKES/SK/XII/2011.
Available at: http://www.binfar.depkes.go.id/dat/04/SK_Doen.pdf
(diaksestanggal 20 Oktober 2013).
Pusparini. 2006. Low density lipoprotein padat kecil sebagai faktor risiko
aterosklerosis. Universa Medicina. Vol.25 No.1. dapat diunduh di
http://www.univmed.org/wp-content/uploads/2012/04/Puspa1.pdf (diakses
20 Oktober 2013 pukul 11.50 WIB)
Rader DJ,Hobbs HH. Disorders Of Lippoprotein Metabolism.Harrisons
Principles of Internal Medicine. 16th Edition. McGraw-Hill
Professional.USA.2005;p 2343-52

Sacher, R.A., & McPherson, R.A. 2004. TinjauanKlinisHasilPemeriksaan,
Laboratorium. Jakarta: PenerbitBukuKedokteran EGC
Satoto, dkk. 1998. Kegemukan, Obesitas, dan Penyakit Degeneratif :
Epidemiologi dan Strategi Penanggulangannya. Jakarta:LIPI.
31

Sherwood, Lauralee. 2012. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Soegih, Rachmad, Kunkun K. Wiramihardja. 2009. Obesitas: Permasalahan dan
Terapi Praktis. Jakarta: Sagung Seto.
Sugondo, Sidartawan,dan Dyah Purnamasari. Sindrom Metabolik. Dalam IPD
FKUI. Jakarta: Badan Penerbit FKUI
Sugondo, Sidartawan. 2009. Obesitas. Dalam IPD FKUI. Jakarta: Badan Penerbit
FKUI
Suryaputra, Kartika., dan Nadhiroh, Siti Rahayu. 2012. Perbedaan Pola Makan
dan Aktivitas Fisik Antara Remaja Obesitas dengan Non Obesitas, Makara
Kesehatan, Vol. 16, No. 1: 45-50.
Tandra, H. 2007. SegalaSesuatuygHakTentang: Diabetes. Jakarta: Gramedia
Upfal, J. 2006. Australian Drug Guide. Melbourne: Schwartz Publishing
Wadden, Thomas. 2011. The Treatment of Obesity. Available at :
http://www.cognitivetherapynyc.com/pdf/wadden2.pdf diakases pada
tanggal 19 Oktober 2013.
Wolinsky. 1994. Nutrition in Exercise and Sport Second Edition. London: CRC
Press.
World Health Organization. 2003. Controlling The Global Obesity Epidemic.
http://www.who.int/nutrition/topics/obesity/en/ (Diakses pada 20 Oktober
2013).

Anda mungkin juga menyukai