Anda di halaman 1dari 35

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pankreas
2.1.1 Anatomi Pankreas
Pankreas manusia secara anatomi letaknya menempel pada duodenum dan
terdapat kurang lebih 200.000 – 1.800.000 pulau Langerhans. Dalam pulau
langerhans jumlah sel beta normal pada manusia antara 60% - 80% dari populasi
sel Pulau Langerhans. Pankreas berwarna putih keabuan hingga kemerahan. Organ
ini merupakan kelenjar majemuk yang terdiri atas jaringan eksokrin dan jaringan
endokrin. Jaringan eksokrin menghasilkan enzim-enzim pankreas seperti amylase,
peptidase dan lipase, sedangkan jaringan endokrin menghasilkan hormon-hormon
seperti insulin, glukagon dan somatostatin (Dolensek,Rupnik & Stozer, 2015).

Gambar 2. 1 Anatomi Pankreas (Wenyan et al., 2012)

5
6

2.1.2 Fisiologi dan Peranan Pankras dalam mengatur metabolisme glukosa


Pankreas merupakan salah satu organ dalam endokrin yang berperan
penting dalam pengaturan fisiologi terhadap keberlangsungan hidup suatu organ
atau sistem yang merupakan fungsi dari hormon-hormon yang dihasilkan didalam
pankreas terutama diepulau Lengerhans. Sel D (delta), yang lebih jarang adalah
tempat sintesis somatostatin. Sel endokrin pankreas yang terbanyak adalah sel β
(beta) tempat sintesis dan sekresi insulin, dan sel α (alfa) yang menghasilkan
glukagon. Insulin mempunyai peran yang penting terhadap metabolisme
karbohidrat, lemak dan protein. Hormon ini berfungsi untuk menurunkan kadar
glukosa dalam tubuh, asam lemak dan asam amino darah dan juga mendorong
penyimpanan bahan-bahan tersebut. Saat molekul nutrien ini masuk ke dalam darah
selama keadaan absorptif, insulin dapat mendorong penyerapan bahan-baha bini
oleh sel dan pengubahannya masing-masing akan menjadi glikogen, trigliserida dan
protein. Dalam melaksanaan fungsinya insulin mempengaruhi transpor nutrien
darah spesifik kemudian masuk kedalam sel atau mengubah aktivitas enzim-enzim
yang berperan dalam jalur-jalur metabolik tertentu (Sherwood L, 2009). Ketika
kondisi pankreas tidak adekuat dalam menghasilkan insulin dan tidak mencukupi
untuk mengubah glukosa menjadi energi maka akan timbul penyakit Diabetes
Mellitus (Kemenkes, 2010).

2.2 Diabetes Mellitus


2.2.1 Definisi
Diabetes mellitus adalah suatu penyakit yang disebabkan karena adanya
gangguan metabolik sebagai akibat dari pankreas yang tidak mampu memproduksi
cukup insulin yang dibutuhkan oleh tubuh (DeFronzo, 2015). Hormon insulin yang
bekerja dalam mengatur kadar guula darah selama proses metabolisme dalam tubuh
berlangsung. Apabila hormon insulin dalam tubuh tidak dapat bekerjansecara
optimal,nmakanakannmenyebabkannmeningkatnyamkadar glukosa dalam darah
(hiperglikemia) (IDF 7th, 2015). Keadaan hiperglikemi yang tidak terkendali dapat
menyebabkan terjadinya komplikasi akut dan kronik. Padam komplikasi kronik
diklasifikasikan menajadi 2 yaitu komplikasi makrovaskuler dan mikrovasualer
(Rosyada dan Trihandini, 2013). Pada diabetes mellitus diklasifikasikan menjadi
empati yaitu Diabetes Mellitus Tipe 1,Diabetes Mellitus Tipe 2, Diabetes Mellitus
7

Tipe Gestasional, dan Diabetes Mellitus Tipe Lainnya (Chaidir, 2017). Diabetes
Mellitus Tipe 2 adalah gangguan heterogen yang disebabkan oleh kombinasi faktor
genetik yang berkaitan dengan gangguan sekresi insulin, resistensi insulin dan
faktor lingkungan seperti obesitas, makan berlebihan, kurangi olahraga, danistress
sertai penuaan (Kaku, 2010). Menurut Pharmaceutical care untuk penyakit
diabetes mellitus tahun 2005, resistensi insulin pada Diabetes Mellitus Tipe 2
terjadi karena adanya gangguan metabolik yang ditandai oleh kenaikan gula darah
(hiperglikemi) akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan atau
gangguan fungsi insulin.

Pemeriksaan yang dilakukan untuk mendiagnosis penderita DM dengan


cara salah satunya adalah: untuk keadaan dimana tidak memungkinkan serta tidak
tersedia fasilitas untuk memeriksa TTGO, maka dilakukan pemeriksaan
mengunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler, dan hal ini diperbolehkan untuk
patokan diagnosis DM. Dalam hal ini maka harus diperhatikan adanya perbedaan
pada hasil pemeriksaan glukosa darah plasma vena dan glukosa darah kapiler
seperti pada tabel 1 di bawah ini (PERKENI, 2011)

Tabel II. 1 Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa pada diagnosis DM (mg/L)
(PERKENI, 2011)
Belum Pasti
Bukan DM DM
DM
Plasma vena <100 100-199 ≥200
Kadar glukosa
sewaktu (mg/dL) Darah Kapiler <90 90-199 ≥200

Kadar glukosa Plasma Vena <100 100-125 ≥126


darah puasa
Darah Kapiler <90 90-99 ≥100
(mg/dL)

2.2.2 Epidemiologi
International Diabetes Federation (IDF) menyebutkan bahwa prevalensi
diabetes mellitus didunia dalah 1,9% dan telah menjadikan DM sebagai penyebab
kematian urutan ke-7 didunia sedangkan pada tahun 2013 angka kejadian diabetes
diidunia adalah sebanyak 382 juta jiwa dimana proporsi kejadian DM tipe 2 adalah
95% dari populasi dunia. Gula darah yang lebih tinggi dari batas maksimum
mengakibatkan bertambahnya 2,2 juta kematian, dengan meningkatkan risiko
8

penyakit kardiovaskular dan lainnya. 43% dari 3,7 juta kematian ini terjadi sebelum
usia 70 tahun. Persentase kematian yang disebabkan oleh diabetes yang terjadi
sebelum usia 70 tahun lebih tinggi di negara-negara berpenghasilan rendah dan
menengah dari pada di negara negara berpenghasilan tinggi. (WHO Global Report,
2016). Diabetes Melitus yang paling banyak diderita adalah Diabetes Melitus Tipe
2, dimana sekitar 90-95% orang mengidap penyakit ini (Chaidir, 2017).
Menurut hasil Riskesdas 2018, jika dibandingkan dengan tahun 2013,
prevalensi DM berdasarkan diagnosis dokter pada penduduk umur ≥15 tahun
meningkat menjadi 2%. Prevalensi DM berdasarkan diagnosis dokter dan usia ≥ 15
tahun yang terendah terdapat di Provinsi NTT, yaitu sebesar 0,9%, sedangkan
prevalensi DM tertinggi di Provinsi DKI Jakarta sebesar 3,4%. Prevalensi DM
semua umur di Indonesia pada Riskesdas 2018 sedikit lebih rendah dibandingkan
prevalensi DM pada usia ≥15 tahun, yaitu sebesar 1,5%. Sedangkan provinsi dengan
prevalensi DM tertinggi semua umur berdasarkan diagnosis dokter juga masihdi
DKI Jakarta dan terendah di NTT.

2.2.3 Etiologi Diabetes Melitus


A. Diabetes Melitus Tipe 1
Diabetes mellitus tipe 1 terjadi karena adanya kerusakan sel β (beta) (WHO,
2014). Menurut Canadian Diabetes Association (CDA), rusaknya sel β (beta)
diduga karena adanya proses autoimun, namun hal ini juga tidak diketahui secara
pasti. Kerusakan sel β pankreas umumnya mengarah ke defisiensi insulin absolute
biasanya disebabakan oleh autoimun dan idiopatik (Perkeni, 2011). Diabetes
mellitus tipe 1 sangat rentan terhadap ketoas dosis, memiliki insidensi lebih sedikit
dibandingkan dengan diabetes mellitus tipe 2, akan meningkat setiap tahun baik di
negara maju maupun di negara berkembang (IDF, 2014).

B. Diabetes Melitus Tipe II


Pada diabetes mellitus tipe 2 ini biasanya merupakan penyakit heterogen
yang disebabkan secara multifaktorial (Ozougwu, 2013). Menurut Perkeni, 2011
penyebab DM Tipe 2 ini bervariasi bisa karena disebabkan oleh resistensi insulin
yang disertai insulin relatif sampai dengan efek sekresi insulin yang disertai dengan
9

resisten insulin. Umumnya penyebab diabetes mellitu tipe 2 ini dibagi menjadi
faktor genetik yang berkaitan dengan defisiensi dan resistensi insulin dan faktor
lingkungan seperti obesitas gaya hidup dan stress yang sangat berpengaruh pada
perkembangan diabetes mellitus tipe 2 (Colberg et al.,2010; Harrison,2012;
Kaku,2010).

2.2.4 Patofisiologi
A. Diabetes Melitus tipe I
Pada DM tipe 1 sistem imunitas menyerang dan menghancurkan sel yang
memproduk insuli β pankreas (ADA, 2014). Pada kondisi ini disebut sebagai
kondisi autoimun dengan tanda ditemukanya anti insulin atau antibodi sel antiislet
didalam darah (WHO, 2014). Diabetesnand Digestive and Kidney Diseases
(NIDDK) tahun 2014 menyatakan bahwa autoimun menyebabkan infiltrasi limfosit
dan keracunan islet pankreas. Kehancuran memakan waktu tetapi timbulnya
penyakit ini sangat cepat dan dapat terjadi dalam hitungan hari sampai minggu.
Akhirnya, insulin yang dibutuhkan tubuh tidak dapat terpenuhi karena adanya
kekurangan sel beta pankreas yang berfungsi memproduksi insulin. Oleh karena itu,
diabetes tipe 1 membutuhkan terapi insulin,dan tidak akan merespon insulin yang
menggunakan obat oral.

Gambar 2. 2 Patofisiologi DM tipe 1 (Ozougwu et al., 2013)


10

B. Diabetes Melitus Tipe II


Pada kondisi ini disebabkan karena kekurangan insulin tetapi tidak mutlak,
artinya tubuh tidak lagi dapat memproduksi insulin yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan tubuh dimana ditandai dengan kurangnya sel β atau defisiensi insulin,
resitensi insulin perifer (ADA, 2014). Resistensi insulin perifer berarti telah terjadi
kerusakan pada reseptor reseptor insulin sehingga insulin menjadi tidak efektif
dalam mengantarkan pesan-pesan biokimia menuju sel-sel (CDA, 2013). Pada
kasus ini ketika mengkonsumsi obat oral sudah tidak lagi dapat membantu maka
pemberian obat melalui suntikan dapat menjadi pilihan lain.

Gambar 2. 3 Patofisiologi DM tipe II (Ozougwu et al., 2013)

2.2.5 Manifestasi Klinis


Beberapa gejala umum yang dapat ditimbulkan oleh penyakiti DM
diantaranya :
1) Pengeluaran urin (Poliuria)
Poliuria adalah keadaan dimana volume air kemih dalam 24 jam meningkat
melebihi batas normal. Poliuria timbul sebagai gejala DM dikaenakan kadar
gula dalam tubuh relatif tinggi sehingga tubuh tidak sanggup untuk
menguranginya dan berusaha untuk mengeluarkannya melalui urin. Gejala
11

pengeluaran urin ini lebih sering terjadi pada malam hari dan urin yang
dikeluarkan mengandung glukosa (PERKENI, 2011).
2) Timbul rasa haus (Polidipsia)
Polidipsia adalah rasa haus berlebihan yang timbul karena kadar nglukosa
terbawa oleh urin sehingga tubuh merespon untuk meningkatkan asupan
cairan (Subekti, 2009).
3) Timbul rasa lapar (Polifagia) Pasien DM akan merasa cepat lapar dan lemas,
hal tersebut disebabkan karena glukosa dalam tubuh semakin habis
sedangkan kadar glukosa dalam darah cukup tinggi (PERKENI, 2011).
Penyusutan berat badan pada pasien DM disebabkan karena tubuh terpaksa
mengambil dan membakar lemak sebagai cadangan energi (Subekti, 2009).

a) Gejala (Kapita Selekta, 2014)


 Sebagian besar DMT1 (70%) bersifat asimtomatis;
 Gejala klasik DM
berupa poliuria (banyak buang air kecil), polidipsia (banyak minum),
polifagia (banyak makan), serta berat badan yang menurun cepat;
 Gejala lain akibat adanya hiperglikemia: luka sulit sembuh, kulit kering dan
gatal, parestesia/kesemutan pada kaki atau pandangan kabur;
 Pada kasus yang terlambat terdiagnosis pada DMT 1 akan dijumpai
komplikasi berupa ketoasidosis (napas berbau keton, penurunan kesadaran,
tanda-tanda asidosis).
b) Kriteria Diagnosis (Kapita Selekta, 2014)
Apabila memenuhi salahosatu kriteria berikut:
 Ditemukan gejala klasik DM (poliuria, polidipsia, polifagia, maupun
penurunan berat badan) dan kadar glukosa sewaktu >200 mg/dL(11,1
mmol/L)
 Pada pasien yang asimptomatis, ditemukan kadar glukosa darah sewaktu
>200 mg/dL (11,1 mmol/L) atau kadar glukosa puasa lebih tinggi dari
normal (>126 mg/Dl atau 7 mmol/L), dengan hasil tes toleransi glukosa
(TTG) terganggu pada lebih dari satu kali pemeriksaan.
12

Tabel II. 2 Kriteria Diagnostik Diabetes Mellitus (PERKENI,2011)


Kriteria Diagnostik Diabetes Melitus
1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L)
(Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu
hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir
ATAU
2. Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL (7,0 mmol/L)
(Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam)
ATAU
3. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO ≥200 mg/dL (11,1mmol/L)
(TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa
yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam
air)
*Pemeriksaan HbAlc (≥6.5%) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan menjadi salah
satu kriteria diagnosis DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium yang telah
terstandarisasi dengan baik.

2.2.6 Komplikasi Diabetes Mellitus


A. Komplikasi Akut
Komplikasi dari diabetes mellitus menurut Smeltzer et al., (2013) dan Tanto
et al., (2014) diklasifikasikan menjadi komplikasi akut dan komplikasi kronik.
Komplikasi akut terjadi karena intoleransi glukos yang berlansung dalam jangka
waktu pendek yang mencakup:

a. Hipoglikemia

Hipoglikemia adalah keadaan dimana glukosa dalam darah mengalami


hpenurunan dibawah 50-60mg/dL disertai dengan gejala pusing,
gemetar, lemas, pandangan kabur, keringat dingin, serta penurunan
kesadaran.

b. Ketoasidosis Diabetes (KAD)

KAD adalah suatu keadaan yang ditandai dengan asidosis metabolik


akibat pembentukan keton yang berlebih. Keadaan ini merupakan
konidsi dimana terjadinya dekompensasi metabolik yang ditandai
dengan hiperglikemia, asidosis, ketosis trauma disebabkan oleh
defisiensi insulin absolut atau relatif. Kondisi dimana kehilangan
urin,air, kalium, amonium, natrium menyebabkan hipovolemia,
ketidakseimbangan elektrolit, kadar glukosa dalam darah sangat tinggi
13

dan pemecahan asam lemak bebas menyebabkan asidosis dan disertai


koma (Tarwoto,2012).

c. Sindrom nonketotik hiperosmolar hiperglikemik (SNHH)

Suatu keadaan koma dimana terjadi gangguan metabolisme yang


menyebabkan kadar glukosa dalam darah sangat tinggi, menyebabkan
dehidrasi hipertonik tanpa disertai ketosis serum

Tabel II. 3 Komplikasi diabetes mellitus (Kapita Selekta, 2014)


Komplikasi Jangka Pendek Komplikasi Jangka Panjang
Ketoasidosis diabetikum (KAD), Makrovaskulari (Pada jantung, otak
secara umum terjadi akibat pemecahan dan darah tepi)
asam lemak terjadi akibat lemak (dari
adiposit) dan asam amino (dari hepar),
sehingga terbentuk benda keton yang
menyebabkan asidosis
Hipoglikemia terjadi jika kadar gula Mikrovaskular (Retinopati diabetik,
darah turun ≤60 mg/dL nefropati diabetik, neuropati perifer)
Sindrom Hiperglikemik Hiperosmolar
Nonketotik (HHNL)

B. Komplikasi Kronik
Komplikasi kronik menurut Smeltzer et al., (2013) biasanya terjadi pada
pasien yang menderita diabetes melitus lebih dari 10 – 15 tahun. Komplikasi
mencakup:

a. Makrovaskular (pembuluh darah besar):biasanya menyebabkan penyakit


jantung koroner, pembuluh darah perifer, dan pembuluh darah otak.

 Penyakit Jantung (PJK) adalah penyakit jantung yang terutama


sebabkan karena penyempitan arteri koronaria akibat proses
aterosklerosis atau spasme atau kombinasi keduanya. Penyakit
jantung koroner merupakan komplikasi yang sering terjadi dan
cenderung tidak disadari oleh penyandang diabetes mellitus
(Sylvia, 2008). Mekanisme terjadinya PJK pada DM tipe 2 sangat
kompleks dan dikaitkanwdengan adanya aterosklerosis yang
dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain hipertensi,
14

hiperglikemia, dislipidemia, merokok, riwayat keluarga dengan


PJK, dan obesitas.

 Penyakit Arteri Perifer (PAP): merupakan manifestasi umum dari


proses terjadinya aterosklerosis. Penyempitan lumen pembuluh
darah akibat aterosklerosis ini membatasi sirkulasi darah,
terutama di arteri, yang menyebabkan penyumbatan pada ginjal,
lambung, lengan, udan kaki (Hiatt, 2008).

b. Penyakit mikrovaskuler (pembuluh darah kecil): biasanya penyakit ini


mempengaruhi mata (retinopati) dari ginjal (nefropati); kontrolikadar
gula darah mencegah komplikasi mikrovaskula maupun makrovaskular

 Retinopati, yaitu gangguan penglihatan bahkan sampai kebutaan


pada retina mata. Selain itu, gangguan lainnya seperti kebutaan,
makulopati (maningkatkan cairan dibagian tengah retina),
katarak, dan kesalahan bias (adanya perubahan ketajaman lensa
mata yang dipengaruhi oleh konsentrasi glukosa dalam darah)
(Perkeni, 2011).
 Nefropati diabetik, yaitu komplikasi yang ditandai dengan
kerusakan ginjal sehingga racun dalam tubuh tidak bisa
dikeluarkan dan terjadi proteinurea (terdapat protein pada urin)
(Ndraha, 2014).

c. Penyakit neuropati: Neuropati, yaitu komplikasi yang sering terjadi pada


pasien DM tipe 2 yang ditandai dengan hilangnya sensasi distal dan
berisiko tinggi dilakukan amputasi. Selain itu, sering dirasakan nyeri
pada malam hari, bergetar dan kaki terasa terbakar (Perkeni, 2011).
Penyempitan pembuluh darah pada jantung merupakan ciri dari penyakit
pembuluh darah perifer yang diikuti dengan neuropati (Ndraha,2014).
Penyakit neuropati merupakan penyakit yang mempengaruhi saraf
sensorik, motorik, dan otonom yang mengakibatkan beberapa masalah,
seperti impotensi dan ulkus kaki.
15

Tabel II. 4 Komplikasi Vaskular pada Diabetes Mellitus (Darryl R.Meeking;


Diabetes & endocrinology, 2011)
Komplikasi mikrovaskular Gambaran Klinis
Penurunan atau terdapat gangguan
Retinopati
penglihatan
Ditemukan proteinuria, hipertensi atau
Nefropati
sindroma nefrotik
Neuropati perifer, mononeuropati,
Nauropati carpal tunnel syndrome, amyotrofi
atau ulserasi pada kaki
Komplikasi Makrovaskular Gambaran Klinis
Koroner Angina atau infark miokard
Cerebral Strok, transient ischemic attack (TIA)
Vaskularisasi perifer Intermittent claudication ischaemic
leg, Ulserasi dan gangren

2.2.7 Algoritma Diabetes Tipe 2

Gambar 2. 4 Algoritma Pengelolaan DM Tipe 2 di Indonesia (PERKENI, 2015)


16

2.2.8 Penatalaksanaan Terapi


Penatalaksanaan pada pasien diabetes menurut Perkeni (2015) dan Kowalak
(2011) dibedakan menjadi 2 yaitu terapi farmakologi dan no farmakologi.

A. Terapi farmakologi
Pemberian terapi farmakologi harus diikuti dengan pengaturan pola makan
dan gaya hidup yang sehat. Terapi farmakologi terdiri dari obat oral dan obat
suntikan, yaitu:

1. Obat antihiperglikemia oral

Menurut perkeni (2015) berdasarkan cara kerjanya obat ini dibedakan


menjadi beberapa golongan antara lain:

a. Memacu sekresi insulin: sulfonilurea dan glinid

Efek utama obat sulfonilurea yaitu memacu sekresi insulin oleh sel
beta pankreas. Cara kerja obat glinid sama dengan cara kerja obat
sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase
pertama yang dapat mengatasi hiperglikemia posprandial.

b. Penurunan sensitifitas terhadap insulin. 2 Metformin dan


tiazolidindion (TZD)

Efek utama Metformin yaitu mengurangi produksi glukosa hati


(glukoneogenesis) dan memperbaiki glukosa perifer. Sedangkan efek
dari tiazolidindion (TZD) adalah menurunkan resistensi insulin
dengan jumlah protein pengangku glukosa, sehingga meningkatkan
glukosa di perifer.

c. Penghambat absorpsi glukosa : penghambat glukosidase alfa

Fungsi obat ini bekerja dengan memperlambat absorpsi glukosa


dalam usus halus, sehingga memiliki efek menurunkan kadar gula
darah dalam tubuh sesudah makan.

d. Penghambat DPP - IV ( dipeptidyl peptidase- IV )

Obat golongan penghambat DPP-IV berfungsi untuk menghambat


kerja enzim DPP-IV sehingga GLP-1 (glukose like peptide-1) tetap
17

dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif. Aktifitas GLP-1


untuk meningkatkan sekresi insulin dan menekan sekresi glukagon
sesuai kadar glukosa darah (glucose dependent).

2. Suntikan, seperti insulin dan agonis GLP-1


1) Insulin
Terapi dengan menggunakan insulin diperlukan dalam keadaan berikut
ini (Perkeni, 2011):
a) Penurunanuberat badan yang cepat.
b) Ketoasidosis diabetik.
c) Hiperglikemia berat yang disertai ketosis.
d) Hiperglikemia dengan asidosis laktat.
e) Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik.
f) Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal.
g) Stress berat seperti infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke.
h) Kehamilan dengan diabetes melitus (diabetes melitus gestasional) yang
tidak terkendali dengan pengaturan makan.
i) Gangguan ginjal atau hati yang berat.
j) Kontraindikasi atau pasien mengalami alergi ketika menggunakan OHO.

Berdasarkan jenis dan lama kerja insulin, maka insulin tersebut dibagi ke
dalam beberapa jenis, yaitu : (Dipiro et al., 2015 dan Perkeni, 2011)

a) Insulin aksi cepat (rapid acting insulin) adalah insulin yang memiliki
durasi aksi yang pendek dan diserap dengan cepat. Insulin tipe ini
diberikan saat 10 menit pasien sedang makan karena insulin memiliki
efikasi yang baik dalam menurunkan kadar glukosa posprandial serta
meminimalkan efek hipoglikemia. Insulin lisipro, insulin gluisine, dan
insuulin aspart merupakan contoh rapid acting insulin.
b) Insulin aksi pendek (short acting insulin) adalah insulin yang onsetnya
pendek, diberikan secara subcutan dan digunakan 30 menit sebelum
makan untuk mencapai target glukos darah posprandial yang optimal dan
18

untuk mencegah terjadinya hipoglikemia. Insulin reguler merukan


contoh short acting insulin.
c) Insulin aksi menengan (Intermediate acting insulin) memiliki onset 2-4
jam daan durasi aksi 8-12 jam. NPH (neutral protamine hagedorn)
merupakan contoh intermediate acting insulin. NPH yang diberikan pada
jam tidur dapat menimbulkan hipoglikemia nokturnal.
d) Insulin aksi panjang (long acting insulin) memiliki puncak aksi yang
relatif rendah. Insulin glargine dan insulin determinan merupakan contoh
long acting insulin. Efek hipoglikemia nokturnalnya lebih ringan.

3. Kombinasi obat oral dan suntikan insulin

Kombinasi obat antihiperlipidemia oral dan insulin yag banyak


dipergunakan adalah kombinasi obat oral da insulin basal (insulin kerja
menengah atau inuslin kerja panjang), yang dapat mengendalikan kadar
glukosa darah dengan baik jika dosis insulin kecil atau cukup. Dosis awal
insulin kerja menengah adalah 6 sampai 10 unit yang diberikan sekitar
pukul 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai
kadar glukosa dalam darah puasa keesokan harinya. Ketika kadar
glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali meskipun sudah
mendapat insulin basal, maka perlu diberikan terapi kombinasi
insulinbasal dan prandial serta pemberian obat antihiperlipidemia oral
dihentikan (Perkeni, 2015).

B. Terapi non farmakologi


Terapi non farmakologi menurut perkeni 2015 dan kowalak 2011 yaitu:

1. Edukasi

Edukasi bertujuan untuk promosi kesehatan supaya hidup menjadi


sehat. Hal ini perlu dilakukan sebagai upaya pencegahan dan bisa
digunakan sebagai pengelolaan DM secara holistik.
19

2. Terapi nutrisi medis (TNM)

Pasien DM perlu diberikan pengetahuan tentang jadwal makan yang


teratur, jenis makanan yang baik serta jumlah kalorinya, terutama
pada pasien yang mengguakan obat penurun glukosa darah maupun
insulin.

3. Latihan jasmani atau olahraga

Pasien DM harusmberolahraga secara teratur yaitu 3-5 hari sekali


dalam seminggu selama 30-45 menit, dengan total 150 menitnper
minggu, danidengan jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-
turut. Jenis olahraga yang dianjurkan bersifat aerobikmdengan
intensitas sedang yaitu 50-70% denyut jantung maksimal seperti:
jalan cepat, sepeda santai, berenang, dan jogging. Denyut jantung
maksimal dihitung dengan cara 220-usia pasien.

2.3 Diabetic Foot Ulcer (Gangren)


2.3.1 Definisi
Komplikasi lain dari DM adalah kerentanan terhadap infeksi, tuberculosis paru, dan
infeksi pada kaki, yang kemudian dapat berkembang menjadi gangren. Gangren
adalah keadaan suatu komplikasi kronik dari DM yang terjadi karena adanya
penyakit pada pembuluh darah perifer ditandai dengan adanya jaringan mati atau
nekrosis, yang terjadi (kaki dingin dan nyeri), neuropati perifer (kaki hangat), serta
hilangnya sensasi nyeri pada penderit DM sehingga luka dapat terjadi tanpa disadari
(Waspadji, 2006). Gangren kaki diabetik luka pada kaki yang merah kehitam-
hitaman berbau busuk akibat sumbatan yang terjadi di pembuluh darah sedang atau
besar di tungkai. Luka gangren merupakan salah satu komplikasi kronik DM yang
paling ditakuti oleh setiap penderita DM (Tjokroprawiro, 2007). Luka gangren
merupakan keadaan yang diawali dengan adanya hipoksia jaringan dimana oksigen
dalam jaringan berkurang, hal ini akan mempengaruhi aktivitas vaskuler dan seluler
jaringan sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan (Huda, 2010).
20

2.3.2 Epidemiologi
Studi epidemiologi yang dilakukan oleh Ronald W. Kartika pada tahun 2017
menunjukkan bahwa di Indonesia terdapat lebih dari satu juta kasus amputasi setiap
tahunnya akibat diabetes mellitus. Proporsi penderita gangren diabetik di Indonesia
berkisar 15% dengan angka amputasi sebesar 30%. Sekitar 68% penderita gangren
diabetik berjenis kelamin laki-laki dan 10% penderita gangren mengalami rekuren.
Gangren yang terus berlanjut dapat berakibat dilakukannya tindakan amputasi.
Beberapa penelitian di Indonesia melaporkan bahwa angka kematian ulkus gangren
pada penderita DM berkisar 17%-32%, sedangkan angka pasien yang dilakukan
amputasi berkisar 15%-30%i(Sundari, 2009). Kasus ulkus dan gangren diabetik di
indonesia merupakan kasus yang paling banyak dirawat dirumah sakit. Angka
kematian akibat ulkus dan gangren berkisar 17%-23%, sedangkan angka amputasi
berkisar 15%-30%. Sementara angka kematian 1 tahun pasca amputasi sebesar
14,8%. Jumlah itu meningkat pada tahun ketiga menjadi 37%. Rata-rata umur
pasien hanya 23,8 bulan pasca amputasi (PDPERSI, 2011).

2.3.3 Klasifikasi Gangren


Klasifikasi wagner merupakan sistem yang paling umum digunakan, sistem
ini menggolongkan ulkus diabetik kedalam 6 tingkatan berdasarkan derajat luas dan
dalamnya lesi namun tidak menggambarkan keadaan iskemia, infeksi, dan faktor
komorbid.

Tabel II. 5 Klasifikasi Gangren Wagner – Meggit (Lipsky et al., 2012)


Stadium Keterangan
0 Tidak ada ulkus,pembentukan kalus
1 Ulkus superfisial secara klinis tidak ada infeksi
2 Ulkus dalam, sering dengan selulitis, tidak ada abses atau infeksi
tulang
3 Tukak dalam yang melibatkan tulang atau pembentukan abses
4 Gangren lokal (ibu jari, jari kaki, tumit)
5 Gangren seluruh kaki

Pembagian klasifikasi gangren terbagi menjadi beberapa tingkat salah


satunya dapat dibagi atas keparahan luka sertarinfeksi yang di alami pasien.
Keparahan luka gangren dapat terjadi akibat adanya kesalahan penanganan atau
21

keterlambatan dalam menangani luka gangren tersebut sehingga menjadi penentu


tindakan selanjutnya yang harus dilakukan, pada Tabel 6 berikut ini adalah
klasifikasi gangren yang menjelaskan tentang tingkatan-tingkatan pada luka
gangren.

Tabel II. 6 Klasifikasi Gangren Berdasarkan Tingkat Infeksi (Waspadji, 2006;


Leese et al, 2009).
Tingkatan
Manifestasi klinis infeksi Pedis
Infeksi
Luka yang kurang bernanah atau manifestasi
Tidak terinfeksi 1
peradangan
Adanya manifestasi peradangan > 2:
• Purulensim
• Eritemam
• Nyeri Ringan
• Kelembutanm
• Kehangatan atau indurasi. Tetapi selulitis/ Ringan 2
eritema meluas hingga < 2 cm ulkus di sekitarnya:
• Infeksi terbatas pada kulit atau jaringan subkutan
superfisial
• Tidak ada komplikasi lokal lain atau penyakit
sistemik
Infeksi (seperti di atas) pada pasien yang memiliki
sistemik baik dan stabil secara metabolik tetapi
memiliki > 1 cm jika memiliki karakteristik
berikut:
• Selulit memanjang > 2 cm
Sedang 3
• Garis-garis limfangitik
• Menyebar di bawah fasia superfisial
• Abses jaringan dalam
• Gangren
• Keterlibatan otot , tendon, bergabung atau tulang
Infeksi pada pasien dengan toksisitas sistemik atau
ketidakstabilan metabolisme (menggigil demam,
takikardia, hipotensi, kebingungan, muntah, Parah 4
leukositosis, asidosis, hiperglikemia berat atau
azotemia)
22

Gambar 2. 5 Klasifikasi Kaki Diabetik Menurut Wagner-Meggit


(Edmonds,2008)

2.3.4 Etiologi DM Tipe 2 dengan Gangren


Ulkus Kaki Diabetik pada dasarnya disebabkan oleh trias klasik yaitu
neuropati, iskemia, dan infeksi (Singh et al., 2013).

a. Neuropati
Sebanyak 60% penyebab terjadinya ulkus pada kaki penderita diabetes adalah
neuropati. Produk gula yang terakumulasi (sorbitol dan fruktosa)
mengakibatkan sintesis myoinositol pada sel saraf menurun sehingga
mempengaruhi konduksi saraf. Hal ini menyebabkan penurunan sensasi perifer
dan kerusakan inervasi saraf pada otot kaki. Penurunan sensasi ini
mengakibatkan pasien memiliki resiko yang lebih tinggi untuk mendapatkan
cedera ringan tanpa disadari sampai berubah menjadi suatu ulkus. Resiko
terjadinya ulkus pada kaki pada pasien dengan penurunan sensoris meningkat
tujuh kali lipat lebih tinggi dibandingkan pasien diabetes tanpa gangguan
neuropati (Singh et al., 2013)
23

b. Vaskulopati
Keadaan hiperglikemi mengakibatkan disfungsi dari sel-sel endotel dan
abnormalitas pada arteri perifer. Penurunan nitric oxide akan mengakibatkan
konstriksi pembuluh darah dan meningkatkan resiko aterosklerosis, yang
akhirnya menimbulkan iskemia. Manifestasirklinis pasien dengan insufisiensi
vaskular menunjukkan gejala berupa klaudikasio,rnyeri pada saat istirahat,
hilangnya pulsasi perifer, penipisan kulit, serta hilangnya rambut pada kaki dan
tangan (Singh et al, 2013).
c. Immunopati
Sistem kekebalan atau imunitas pada pasien DM mengalami gangguan
(compromise) sehingga memudahkan terjadinya infeksi pada luka. Selain
menurunkan fungsi dari sel-sel polimorfonuklear, gula darah yang tinggi
adalah medium yang baik untuk pertumbuhan bakteri. Pada telapak kaki
banyak terdapat jaringan lunak yang rentan terhadap infeksi dan penyebaran
yang mudah dan cepat kedalam tulang, dan mengakibatkan osteitis. Ulkus
ringan pada kaki dapat dengan mudah berubah menjadi osteitis/osteomyelitis
dan gangrene apabila tidak ditangani dengan benar (Singh et al., 2013).

2.3.5 Patofisiologi DM Tipe 2 dengan Gangren


Ulkus kaki diabetik terbentuk dari berbagai mekanisme patofisiologi dan
neuropati diabetika merupakan salah satu faktor yang paling berperan. Menurunnya
input sensorik pada ekstremitas bawah menyebabkan kaki mudah mengalami
perlukaan dan cenderung berulang. Selain neuropati, komplikasi diabetes yang lain
adalah vaskulopati baik pada mikrovasular maupun makrovasular. Hal ini
menyebabkan aliran darah ke ekstremitas bawah berkurang dan terhambatnya
tekanan oksigen gradien di jaringan. Keadaan hipoksia dan trauma berulang ini
menyebabkan ulkus berkembang menjadi luka kronis (Heyneman et al., 2016).
Hubungan neuropati, vaskulopati dan trauma pada patofisiologi terbentuknya UKD
ditunjukkan pada gambar 2.6.
24

Gambar 2. 6 Patofisiologi Gangren (Lapantalo et al., 2011)


Neuropati perifer merupakan faktor predisposisi yang paling awal muncul
meliputi disfungsi sensoris, autonom dan neuropati motorik. Gangguan serabut
sensoris menyebabkan menurunnya sensasi nyeri sehingga kaki penderita diabetik
dapat dengan mudah mengalami perlukaan tanpa disadari. Hilangnya sensasi pada
sendi juga dapat menyebabkan artropati kronik, progresif, danndestruktif. Hal ini
sangat sering terjadi pada kaki, terutama pada sendi subtalar dan
metatarsalphalangeal. Disfungsi autonom menyebabkan perubahan aliran
mikrovaskuler dan terjadi arteri-vena shunting sehingga mengganggu perfusi ke
jaringan, meningkatkan temperatur kulit dan terjadi edema. Neuropati otonom yang
menyebabkan vasodilatasi dan pengurangan keringat juga dapat mengakibatkan
hilangnya integritas kulit, sehingga pada akhirnya akan membentuk lokasi yang
ideal untuk invasii mikrobial. Selain itu, kaki penderita yang kering dan mudah
timbul fisura karena adanya penurunan fungsi kelenjar keringat sehingga cenderung
menjadi hiperkeratosis dan mudah timbul ulkus. Neuropati motorik menyebabkan
kelemahan otot sehingga terjadi biomekanik abnormal pada kaki dan menimbulkan
deformitas seperti Hammer toes, claw toes, dan Charcot. Bersama dengan adanya
25

neuropati memudahkan terbentuknya kalus. Adanya keterbatasan mobilitas sendi


akan tampak pada pasien diabetes dan sangat erat berhubungan engan glikosilasi
kolagen yang menyebabkan terjadinya penebalan struktur periartikuler, seperti
tendon, ligamen, dan kapsul sendi. Glikosilasi kolagen ikut memperburuk
pertahanan tendon Achilles pada pasien diabetes. Penurunan pergerakan tendon
Achilles menyebabkan deformitas equines. Tekanan kaki yang tinggi berhubungan
dengan ulserasi pada pasien diabetes (Hobizal, 2012; Clayton, 2009; Lepantalo,
2011). Respons inflamasi akan terjadi dan akan meningkatkan tekanan
kompartemen melebihi tekanan kapiler, menyebabkan nekrosis jaringan akibat
iskemia. Tendon yang terdapat dalam kompartemen menjadi perantara penyebaran
infeksi ke proksimal yang umumnya bergerak dari area bertekanan tinggi menuju
ke tekanan rendah (Lipsky et al., 2007; Berlanga, 2011)

2.3.6 Manifestasi Klinik


Terhambatnya aliran darah dan tekanan oksigen gradien dinjaringan ke
ekstremitas bawah sehingga menimbulkan keadaan hipoksia dan trauma berulang
ini menyebabkan ulkus berkembang menjadi luka kronis (Heyneman et al., 2016).
Gangren yang tidak ditangani dengan baik akan mengakibatkan toksin dan bakteri
dapat masuk dengan mudah kensirkulasi darah sehingga menyebabkan sepsis dan
dalam keadaan yang lebih parah maka dapat memicu terjadinya shock sepsis
(Dipiroiet al., 2008)
2.3.7 Mikroba Pada Gangren
Infeksi pada penderita ulkus diabetikum / Gangren banyak disebabkan oleh
polimikroba yang terdiri dari bakteri aerob Staphylococcusnaureus (28%),
Enterobacteriaceae (24%) termasuk Escherichia coli (15%), Citrobacter spp. (4%),
Enterobacter spp.n(4%), dan Staphylococcus spp. koagulase negatif (17%),
Enterococcus spp. (15%), Pseudomonas aeruginosa (7%) dan Acinetobacter spp.
(4%), sedangkan pada bakteri anaerob diperoleh Bacteroides fragilis (4%) (Akhi et
al., 2015).

Bakteri yang paling banyak ditemukan pada infeksi akibat luka gangren
diabetik adalah Staphylococcus aureus dan Pseudomonas spp. (Kurniawan et al.,
2011). Pada penelitian Priya et al., (2014) melaporkan bahwa bakteri yang paling
26

umum terisolasi adalah Staphylococcus aureus sebanyak 46% dan 38% dari
Klebsiella. Bakteri yang paling sedikit ditemukan adalah Pseudomonas sebanyak
12% dan 4% dari Staphylococcus albus.

2.3.8 Penatalaksanaan Terapi


A. Terapi Nonfarmakologi
Management perawatan luka terdiri dari tiga tahap, yaitu wound cleansing,
debridement dan dressing (Maryunani, 2013)
1. Wound cleansing
Wound cleansing adalah proses secara mekanis melepaskan ikatan
antara jaringan dan bakteri, bakteri, debris, kontaminan, inflamasi dan
jaringan nekrotik pada permukaan luka, kemudian mengangkat atau
membuang materi-materi dari permukaan luka (Maryunani,2013).
Wound cleansing efektif membersihkan debris yang mendukung untuk
pertumbuhan bakteri dan menghambat penyembuhan luka. Tekanan
cairan cleansing luka dilakukan ke jaringannyang nekrotik. Cleansing
luka untuk luka yang tidak terinfeksi tidak boleh dilakukan dengan
larutan antimikrobial. Beberapa studi menyatakan povidon iodine,
acetid acid hydrogen piroxide toxic terhadap fibroblast. Penggunaan
antimikrobial dihentikan ketika luka bersih dan tidak terdapat debris
(Sussman, 2012).
2. Debridement
Debridement merupakan tindakan menghilangkan jaringan nekrotik,
eksudat, bakteria, dan sisa metabolik darinluka untuk membantu proses
penyembuhan luka. Debridement adalah suatu usaha menghilangkan
jaringan nekrotik dan sangat terkontaminasi dengan mempertahankan
secara maksimal struktur anatomi yang penting. Jaringan mati tidak
hanya mengahalangi penyembuhan luka tetapi juga menyebabkan
infeksi pada luka. Debridement akan memulihkan perfusi oksigen ke
daerah luka (Sjamsuhidajat, 2010). Setelah debridement, jumlah bakteri
akan menurun dengan sendirinya yang diikuti dengan kemampuan
tubuh secara efektif melawan infeksi. Secara alami dalam keadaan
27

lembab tubuh akan membuang sendiri jaringan sendiri atau slough yang
menempel pada luka (peristiwa autolysis) (Syamsuhidayat, 2010).
3. Dressing
Dressing adalah material penutup luka untuk mendukung
penyembuhan luka. Balut primer adalah balut yang berkontak dengan
luka, sedangkan balut sekunder adalah pembalut diatas balutan primer.
Tujuan utama dalam pembalutan adalah memberikan lingkungan yang
ideal yakni lembab, bagi proses penyembuhan luka, menyerap eksudat,
melindungi luka dari bakteri, debridement, megurangi edema,
mengeliminasi ruang mati, melindungi luka dari trauma dan robekan
lebih lanjut, menjaga kehangatan luka, dan memberi tekanan yag dapat
membantu hemostasis serta mencegah pertumbuhan jaringan parut
yang buruk (Sjamsuhidajat, 2011).
4. Pembedahan
Untuk mengatasi kondisinyang dapat menyebabkan perkembangan
gangren semakin luas akibat semakin meluasnya kematian jaringan
yang ada maka dapat dilakukan bedah vaskularisasi untuk memperbaiki
pembuluh darah sehingga sirkulasi darah ke daerah luka dapat
diperbaiki (NHS, 2012).

B. Terapi Farmakologi
Pemberian terapi awal dimaksudkan untuk menghindari tindakan amputasi.
Terapi awal yang diberikan salah satunya adalah memperbaiki kelainan vaskular
serta memperbaiki sirkulasi darah dengan bantuan obat antiplatelet serta
pengendalian hiperglikemi dengan antidiabetik serta pengobatan infeksi dengan
menggunakan antibiotika.
 Obat Antiplatelet
 Cilostazol
Merupakan suatu penyekat fosfodiesterase yang kuat baik pada pada
tombosit maupun pada smooth muscle cell. Obat ini merupakan anti
agregasi trombosit yang kuat dan dapat bekerja sebaga vasodilator serta
dapat menekan poliferasi Smooth muscle cell. absorbs obat ini
28

dipengaruhi oleh makanan, dimana arbsorbsinya meningkat bila terdapat


makanan yang berlemak. Metabolismenya terjadi di hati (Tjay et al,
2007).
 Dipiridamol
Dipiridamol merupakan penghambat enzim phosphodiesterase yang
mencegah re-uptake adenosin yang dibentuk oleh suatu prekursor yang
dilepaskan oleh sel darah merah setelah terjadinya mikrotrauma,
menghambat pembentukan tromboksan A2 (Tjay et al., 2007).
 Clopidrogel
Merupakan suatu Thyenopyridine yang memiliki cara kerja yang sama
dengan ticlopidine, namun memiliki efek samping terhadap sumsum
tulang yang lebih ringan dibandingkan ticlopidine. Obat ini merupakan
suatu antagonis reseptor A2 yang memiliki sifat antitrombotik, absorpsi
obat ini lebih dari 50% dan tidak dipengaruhi oleh adanya makanan dan
memiliki waktu paruh 8 jam serta dimetabolisme di hati (Mycek et al.,
2001)
 Aspirin
Aspirin merupakannpenghambat enzin cyclooxygenase (COX), yang
menghambat metabolismenprostaglandin dan sintesis A2,nsehingga
respon agregasi platelet terhadap kolagen, adenosin difosfat, trombik dan
tromboksan A2 dapat dihambat. Disamping itu,naspirin juga memiliki
beberapa mekanismenkerja yaitu antara lain memfasilitasi penghambat
aktivitas platelet oleh neutrofil danmmenghambat sintesis prostasiklin
dalam sel endotel serta meningkatkannproduksi nitrit oxide (Mycek et
al., 2001)

 Antibiotika
Terapi awal yang diberikan lainnya untuk mengatasi hiperglikemia adalah
dengan pemberian antidiabetik dan untuk mengatasi infeksi yang terjadi
adalah dengan diberikan antibiotika.
29

2.4 Tinjauan Antibiotik


2.4.1 Definisi
Antibiotik adalah senyawa kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme
khususnya dihasilkan oleh fungi dan bakteri atau dihasilkan secara sintetik yang
memiliki khasiat membunuh atau menghambat perkembangan bakteri dan
organisme lain dan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil (Utami, 2011).
2.4.2 Klasifikasi
Antibiotik diklasifikasikan dan dibagi menjadi beberapa macam antara lain
berdasarkan mekanisme kerjanya dan berdasarkan aktifitasnya, dapat di lihat pada
tabel 8 dan 9. Untuk klasifikasi antibiotik dapat dilihat pada tabel 7:

Tabel II. 7 Klasifikasi Antibiotik (Setiabudy,2011; IONI,2014)


Golongan Contoh
Aminoglikosida Gentamycin, Kanamycin, Neomycin,
Amikacin, Streptomycin
Sefalosporin Gen. 1-4 Gen. 1: cefadroxil, cefradin
Gen. 2: cefuroxime,cefoxitin
Gen. 3: cefotaxime,ceftriaxone,cefoperazon
Gen. 4: cefepime, cefpirome
Makrolid Erythromycin, Azithromycin, Spiramycin
Penisilin Amoxicillin, Ampicillin, Cloxacillin
Antibiotik Lain Lincomycin, Metronidazole, Trimetropim
Carbapenem Imipenem, Meropenem
Quinolon Asam nalidiksat, Asam pipemidat
Fluorokuinolon Ciprofloxacin, Ofloxacin,Levofloxacin
Tetrasiklin Doxycyclin, Oxytetracyclin

Antibiotik memiliki cara kerja yang berbeda satu dengan yang lainnya, maka dari
itu antibiotik dibagi menjadi beberapa golongan sesuai dengan mekanisme kerja
dari antibiotik itu sendiri dan dapat di lihat pada tabel 8 dibawah:
30

Tabel II. 8 Klasifikasi Antibotik Berdasarkan Mekanisme Kerja (Permenkes,


2011; Mycek et al., 2001)
Mekanisme kerja antibiotik Nama antibiotik

 Penisilin
 Sefalosporin
 Karbapenem
Antibiotik yang bekerja pada dinding sel bakteri
 Bacitrasin
 Monobaktam
 Vancomisin
 Aminoglikosida
Antibiotik yang bekerja dengan menghambat sintesis  Tetrasiklin
protein  Kloramfenikol
 Makrolida

 Kuinolon
Antibiotik yang bekerja dengan menghambat sintesis
 Nitrofuran
asam nukleat
 Metronidazole
 Sulfonamid
Antibiotik yang bersifat sebagai antimetabolit
 trimetropim

Penggolongan antibiotik yang berdasarkan aktivitasnya yaitu terbagi menjadi


antibiotik yang aktivitasnya dipengaruhi oleh konsentrasi dan antibiotik yang
aktivitasnya dipengaruhi oleh waktu, hal ini di tunjungkan pada tabel 9:
Tabel II. 9 Klasifikasi Antibiotik Berdasarkan Aktivitas (Katzung, 2004;
Fatmawati et al., 2009)
Pola Aktivitas Tujuan Contoh
Pada jenis ini mempunyai  Metronidazole
karakteristik dimana semakin  Fluorokuinolon
besar kadar antibiotik didalam
darah maka akan semakin
Tipe concentration
besar pula daya bunuhnya
dependent killing
terhadap mikroorganisme,
dimana dibutuhkan kadar 10
kali diatas KHM untuk hasil
terapi yang maksimal.
31

Lanjutan Tabel II.9


Jenis ini yang paling  Penisilin
menentukan dalam mencapai  Sefalosporin
terapi yang diinginkan untuk  Karbapenem
Tipe time dependent membunuh mikroorganisme  Klatromisin
killing adalah lamanya antibiotik  Eritromisin
berada dalam darah dengan  Klindamisin
kadar KHM sebanyak 50%
 Vankomisin
interval dosis

2.4.3 Penerapan Terapi Antibiotik Pada Gangren


Pada keadaa mini biasanya didapati infeksi multiple bakteri berupa bakteri
aerob dan bakteri anaerob, pemberian antibiotik harus sesuai dengan kuman/bakteri
yang ada serta resistensinya, maka dari itu pilihan pertama pemberian antibiotik
harus dengan pemberia mantibiotik dengan spektrum luas sebagai terapi empirik
agar infeksi tidak berkelanjutan dan gangren menjadi semakin parah (Waspadji,
2006). Pemberian antibiotik harus disesuaikan dengan tingkat keparahan yang di
alami, pada gangren dengan tingkat infeksi ringan serta tidak mengancam jiwa
(mild infection) dapat diberikan antibiotik tunggal dengan menunggu hasil dari
amoksisilin klavulanat, sefaleksin, dikloksasilin, klindamisin, levofloksasin,
ciprofloksasin, cefotaxim, ampisilin sulbaktam. Sedangkan pemberian antibiotik
pada infeksi yang cukup parah (moderate infection) sampai dengan infeksi yang
sangat parah (severe infection) yang terjadi akibat adanya polymikroba dari bakteri
aerob dan bakteri anaerob sehingga harus diberikan terapi antibiotik selain untuk
mengatasi bakteri aerob tetapi juga antibiotik yang efektif terhadap bakteri anaerob
yaitu dengan penambahan terapi antibiotik metronidazole (Rodrigues et al., 2011)
Pemberian antibiotik kepada pasien haruslah rasional, pemberian antibiotik
yang rasional adalah memenuhi aspek berikut: tepat indikasi, tepat dosis, dan tepat
pasien. Menurut WHO antibiotik yang rasional adalah pemberia mantibiotik yang
sesuai dengan kebutuhan pasien dimana pasien dinyatakan penyakitnya disebabkan
karena adanya infeksi dari mikroorganisme patogen,dan antibiotik ini diberikan
dalam jangka waktu tertentu yang sesuai dengan biaya termurah untuk pasien dan
komunitasnya. Hal-hal yang harun diperhatikan dalam pemberian antibiotik adalah
sebagai berikut:
32

 Tepat Indikasi
Kesesuaian pemberian antibiotik dengan indikasi yang dilami pasien terkait
penyakit dapat dilihat dari diagnosis yang tercantum dalam kartu rekam
medis serta kesesuaian penyakit yang diderita pasien. Antibiotik diberikan
pada pasien yang memiliki penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme
sehingga dapat dipertimbangkan dalam pemberian antibiotik apakah
diperlukan atauntidak.
 Tepat Dosis
Pemberian antibiotik harus selalu dipantau baik dari segi pemberian dosis,
rute, frekuensi maupun lama pemberian yang harusnsesuai dengan umur
pasien serta fungsi organ tubuh pasien sehingga dapat menghindari pasien
dari efek obat yang merugikan yang disebabkan akibat pemberian dosis
antibiotik yang tidak sesuai.

 Tepat Pasien
Pemberian antibiotik harus tepat pada pasien yang berkepentingan, dan
dapat dilakukan degan cara mengidentifikasi kebenaran atas nama obat
terkait, nomer register, alamat pasien dan program pengobatan pasien, terapi
pada pasien DM dapat dilihat dari tabel 10 dibawah ini:
Tabel II. 10 Pengunaan Antibiotik Pada Gangren (Leese et al., 2009; Frykberg et
al., 2002; Yuliawati,2006)
Tingkattan gangren Bakteri penginfeksi Pilihan obat (Rute)
Monoterapi antibiotik rute
secara oral atau IV:
Bakteri aerob (+) Cephalexin
Grade I
(Staphylococcus, Streptococcus) (750-1000mg/6jam);
Mild to Moderate
Bakteri aerob (-) Amoxicillin/clavulanate
(infeksirlokal)
(Pseudomonas, Eschericha) (500mg+125mg/8jam PO)
Klindamisin
(450mg/6-8jam PO)
Monoterapi antibiotik rute
secara oral atau IV:
Grade II Bakteri aerob (+) Ampicillin/sulbactam
Moderate to severe (Staphylococcus, Streptococcus) (3gram/6jam IV)
(infeksi lokal pada Bakteri aerob Klindamisin
luka lebih dalam) (Pseudomonas,Eschericha) (450mg/6-8 jam PO)
Vankomisin
(1gram/12jam IV)
33

Lanjutan Tabel II.10


Kombinasi antibiotik rute
secara IV:
Bakteri aerob (+) (Klindamisin
Grade III
(Staphylococcus, Streptococcus) 450mg+Ciprofloxacin
Moderate to severe
Bakteri aerob 500mg);
(nekrosis dan
(Pseudomonas,Eschericha) (Seftasidin
kematian jaringan
Bakteri anaerob 500mg+Metronidazole
akibat infeksi)
(Clostridium,Bacteroides) 500mg);
(Seftriakson 1-2gram
IV+Metronidazole 500mg)
Kombinasi antibiotik rute
secara IV:
Bakteri aerob (+) (Klindamisin
Grade IV 450mg+Ciprofloxacin
(Staphylococcus, Streptococcus) 500mg);
Life-or limb-
threatening (infeksi Bakteri aerob (Vancomisin
berat yang dapat (Pseudomonas,Eschericha) 1gram+Metronidazole
berbahaya dan dapat Bakteri anaerob 500mg);
menyebabkan sepsis)
(Clostridium,Bacteroides) (Ciprofloxacin
500mg+Metronidazole
500mg+Vancomisin
1gram)

Antibiotik kombinasi adalah pemberian antibiotika lebih dari satu jenis


untuk mengatasi infeksi dengan tujuan meningkatkan aktivitas antibiotik pada
infeksi yang spesifik sehingga menghsilkan efek sinergis dan memperlambat serta
mengurangi resiko timbulnya bakteri yang resisten. Berikut penjelasan tentang
mekanisme kerja serta spektrum antibiotik yang digunakan untuk pasien DM
Gangren pada tabel 10.
Tabel II. 11 Mekanisme dan Spektrum Antibiotik DM Gangren (Katzung, 2001;
Yuliawati, 2006)
Mekanisme T½ Spektrum
Antibiotika Dosis
Kerja (Jam) Antibakteri

Amoksisilin/ Amoxicillin 875mg + 1-1,3 Staphylococcus


klavulanat menghambat 125mg/ 12 aures,
sintesis dinding jam PO S.Epidermidis
streptococci B,
34

Lanjutan Tabel II.11

sel bakteri hemolytic,


mucopeptide. H.Influenza, E
Coli, Klebsiella
Asam
enterobacter,
klavulanat
500mg+125m P.mirabilis
menginaktivasi
berbagai enzim g/ 8 jam PO

β-laktamase

Ampisilin/ Ampisilin IV/IM 1,5-3 1 Aktif terhadap


surbactam menghambat gram/6jam bakteri tertentu
sintesi dinding (1,5 gram Gram positif dan
sel bakteri produk Gram negatif
mucpeptide. mengandung misalnya
0,5 gram Staphylococcus
Sulbactam
sulbaktam) aureus dan
menghambat
Escherichia coli.
enzim beta-
Staphylococci,
laktamase yang
Haemophilus
biasa ditemukan
influenzae,
pada
Streptococcus
mikroorganisme
pneumoniae dan
yang resisten
H. Influenzae

Seftazidim Menghambat 500mg-1g/ 8 1,4-2 Staphylococcus


sintesa dinding jam IV aureus,
sel Streptococcus spp,
S.Pneumonia,
E.Coli, H.
Influenza, S.
Epidermidis,
Pseudomonas
aureginosa
35

Lanjutan Tabel II.11


Cefotaxime Menghambat 1gram/ 12 0,2-1,7 E.Coli, Klebsiella,
sintesa dinding jam IV S. Aures,
sel Streptococci,
bacteroides,
Clostridium

Seftriakson Menghambat 1gram/24 5,9- Staphylococcus


sintesa dinding jam; 2-4gram 10,9 aures,
sel bakteri hari pada Streptococcus spp,
infeksi berat S.Pneumonia,
IV E.Coli, H.
Influenza, S.
Epidermidis,
Pseudomonas
aureginosa

Imipenem/ Menghambat 500mg/6 jam 0,85- Staphylococcus


cilastatin sintesa dinding IV 1,3 aures,
sel bakterindan Streptococcus spp,
menghambat S.Pneumonia,
enzim E.Coli, H.
dihidropeptidas Influenza, S.
e I yang dapat Epidermidis,
menghidrolisis Pseudomonas
imipenem aureginosa

Ciprofloxacin Mengganggu 500- - Sangat aktif


sintesis DNA 750mg/12 jam terhadap bakteri
mikroba PO Gram (-)termasuk
Salmonella,
400mg/12jam
shigella, dan
IV
Pseudomonas
aureginosa
36

Lanjutan Tabel II.11


Klindamisin Menekan 150- 2-3 Aktif terhadap
sintesin protein 300mg/6jam kokus Gram (+)
bakteri dengan PO dan terhadap
berikatan pada banyak bakteri
0,6-2,7g/hari
sub unit anaerob, terutama
IV
ribosom Bacteroides
fragilis

Metronidazole Masuk ke sel 750mg/hari 6-8 Basil anaerob dan


bakteri atau PO protozoa misalnya
protozoa Vaginitis
500mg/8jam
berikatan trikomonas,
IV
dengan DNA bakteri vaginosis,
dan meghambat Entamoeba
sintesis protein histolytica,
Giardia lambia,
Bacteroides
fragilis,
Clostridium
difficile

2.5 Tinjauan Tentang Metronidazole


2.5.1 Definisi

Gambar 2. 7 Struktur Kimia Metronidazole (PubChem, 2014)


37

Metronidazole adalah antibiotik yang termasuk kedalam senyawa golongan


nitro-imidazol yang memiliki spektrum protozoa dan antibakterial yang luas,obat
ini berkhasiat kuat terhadap protozoa patogen aerob dan juga obat ini berperan aktif
terhadap semua kokus dan basil anaerob baik gram positif dan gram negatif tetapi
tidak bekerja aktif pada kuman aerob (Tjay et al., 2015).

2.5.2 Mekanisme Kerja Metronidazole


Metronidazole bekerja dengan cara mengganggu sintesis DNA, obat ini
menghambat asam deoksiribonukleat (DNA) girase sehingga menghambati sintesis
DNA. DNA girase adalah enzim yang terdapat pada bakteri yang menyebabkan
terbukanya dan terbentuknya superheliks pada DNA sehingga menghambat
replikasi DNA (Febiana, 2011). Metronidazole merupakan antibiotik dengan tipe
concentration-dependen killing dimana obat ini akan membunuh bakteri lebih cepat
apabila konsentasinya berada diatas KHM (Kadar Hambat Minimum), semakin
tinggi konsentrasinya maka daya bunuhnya juga akan semakin besar terhadap
bakteri anaerob (Fatmawati,2009)

2.5.3 Indikasi dan Efek Samping Metronidazole


Metronidazole merupakan antimikroba dengan aktivitas yang sangat baik
terhadap bakterima aerob dan protozoa. Metronidazole diindikasikan meliputi
trichomonas vaginalis, bakterial vaginosis (infeksi Gardnerella vaginalis) dan
infeksi Entamoeba histolytica dan Giardia lambia. Terutama digunakan untuk
amubiasis, trikomoniasis, danninfeksi bakteri anaerob (BPOM,2017). Dosis
penggunaan Metronidazole secara peroral adalah 500mg/8 jam/hari (MIMS,2016)
Efek samping yang paling sering ditimbulkan oleh metronidazole adalah
sakit kepala, mual, mulut kering, rasa kecap logam. Sedangkan efek samping yang
jarang terjadi adalah vertigo,ataksia,urtikaria, flushing, pruritus, disuria, rasa kering
pada mulut, leukopenia (MIMS, 2016)

2.5.4 Farmakoterapi Metronidazole


Absorbsi Metronidazole berlangsung dengan sangat baik sesudah
pemberian oral. Metronidazole diserap dengan baik secara oral dengan eliminasi
38

plasma dengan waktu paruh mulai 6-7 jam (Mourya et al., 2010). Pada beberapa
kasus terjadi kegagalan karena disebabkan oleh absorbsi yang buruk atau
metabolisme yang terlalu cepat. Obat ini diekskresi dalam urin dalam bentuk asal
dan bentuk metabolis hasil oksidasi dan glukoronidasi. Metronidazole juga
diekskresi melalui air liur, air susu,cairan vagina da lain-lain (Sukandar dkk., 2008).

2.5.5 Analisis Penggunaan Metronidazole Pada DM Tipe 2 dengan Gangren


Metronidazole merupakan kombinasi terapi yang sesuai karena
mentronidazol adalah antibiotik yang memiliki spektrum protozoa dan antibakterial
yang luas, serta obat ini berkhasiat kuat terhadap protozoa patogen aerob dan juga
obat ini berperan aktif terhadap semua kokus dan basil anaerob baik gram positif
dan gram negatif (Tjay et al., 2015).
Berdasarkan penelitian Aliakbar et al., (2019) sebanyak 60 pasien terlibat
dalam studi ini. Untuk infeksi kaki diabetik ringan menurut Infectious Diseases
Society of America, pasien dalam rejimen A menerima 1 dosis metronidazole 500
mg setiap 8 jam + 1 dosis (1tabx1g) amoksisilin oral / klavulanat setiap 12 jam
untuk 10-14 hari. Dalam rejimen B pasien yang alergi terhadap penisili ratau sudah
menggunakan penisilin tanpa respons diberikan 1 dosis (1tabx500mg/hari) PO
metronidazole 500mg setiap 8 jam + 1 dosis (1kapx300mg) PO klindamisin setiap
6 jam selama 10-14 hari.
Menurut teori Frykberg dkk, 2006 menyatakan dimana pilihan terapi infeksi
ulkus diabetik derajat sedang hingga berat menggunakan antibiotik yaitu
metronidazole yang dikombinasikan dengan ampisilin sulbaktam atau sefalosporin
generasi 3. Pilihan terapi lainnya yaitu metronidazole yang dikombinasikan dengan
amoksisilin klavulanat atau floroquinon (Dipiro,2009). Metronidazole adalah
golongan senyawa nitro-imidazole yang memiliki spektrum anti protozoa dan
antibacterial yang luas, obat ini berkhasiat kuat terhadap protozoa patogen aerob
dan juga obat ini berperan aktif terhadap kokus dan basil anaerob baik positif dan
negatif tetapi tidak bekerja aktif pada kuman aerob (Tjay et al., 2015)

Menurut penelitian Wang S et al.,(2007) sebanyak 14 pasien rawat inap


yang menerima metronidazole 1g sekali sehari atau beberapa dosis untuk infeksi
B.fragilis period antara Januari 2002 sampai Juni 2005. Orang dewasa dirawat inap
39

yang diberi terapi metronidazole dengan alasan diabetic foot infections /


osteomyelitis. Dari 145 pasien, 66 pasien diberikan terapi metronidazole dengan
dosis (1g setiap 24jam) i.v sebagai (group A), sedangkan pada 79 pasien lainnya
menerima terapi metronidazole (500mg setiap 6-8 jam) i.v/po sebagai (group B).

2.5.6 Contoh Sediaan Obat Metronidazole di Pasaran


Tabel II. 12 Sediaan Obat Metronidazole di Pasaran (Sumber: ISO, 2016)
NO NamanDagang BentuknSediaan Pabrik
1 Bacnidazole Tablet 500mg Afi Farma
2 Dumozol Tablet 500mg Actavis
Larutan Infus 5mg/ml
3 Farizol Suspensi 125mg/ml Ifars
4 Fladazol Sirup 125mg/5ml Berlico Mulia Farma
5 Grafazol Tablet 500mg Graha Farma
6 Metrolet 125 mg/5ml Harsen
7 Mintriko Tablet 250mg; 500mg Holi Pharma
8 Molazol Tablet 500mg Molex Ayus
9 Novagyl Suspensi 125mg /5ml Novapharin
Tablet 500mg
10 Progyl Suspensi Promedrahardjo
500mg/100ml
11 Promuba Suspensi 125mg/ 5ml Meprofarm
Tablet 500mg
12 Ragyl Forte Tablet 500mg Rama Emerald MS
13 Rindozol Larutan Infus Yarindo Farmatama
500mg/100ml
14 Selesnizol Kaplet 500ml Sejahtera Lestari
Farma
15 Supplin Infus 500mg/100ml Sandoz

Anda mungkin juga menyukai