Anda di halaman 1dari 60

UNTAD

DIABETES MELITUS TIPE II

REFARAT

Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan


dalam menyelesaikan kepanitraan klinik SMF Ilmu Penyakit Dalam
Program Studi Kedokteran FKIK
Universitas Tadulako

SAHAR, S.Ked
N 111 16 082

SMF IlMU PENYAKIT DALAM RSUD UNDATA


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TADULAKO

APRIL 2017

1
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa :

Nama : Sahar
NIM : N 111 16 082
Judul Referat : Diabetes Melitus Tipe II

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepanitraan klinik pada bagian


Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Tadulako.

Palu, April 2017


Pembimbing

dr. Rustam Amiruddin, Sp.PD

2
BAB I
PENDAHULUAN

Diabetes Melitus (DM) adalah suatu sindroma klinis kelainan metabolik,


ditandai oleh adanya hiperglikemik yang disebabkan oleh defek sekresi insulin,
defek kerja insulin atau keduanya. Beberapa jenis yang berbeda dari DM
disebabkan oleh interaksi yang kompleks dari faktor genetika dan lingkungan.
Tergantung pada etiologi DM, faktor yang berperan pada hiperglikemia termasuk
kurangnya sekresi insulin, penurunan penggunaan glukosa, dan peningkatan
produksi glukosa. Disregulasi metabolik yang berhubungan dengan DM
menyebabkan perubahan patofisiologis sekunder beberapa sistem organ yang
memaksakan beban yang luar biasapada individu dengan diabetes dan pada sistem
perawatan kesehatan. Di Amerika Serikat, DM adalah penyebab utama dari
penyakit ginjal tahap akhir (ESRD), nontraumatic amputasi ekstremitas bawah,
dan kebutaan dewasa. Hal ini juga merupakan predisposisi penyakit
kardiovaskular. Dengan meningkatnya insiden infeksi di seluruh dunia, DM akan
kemungkinan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di masa depan. (1)
World Health Organization (WHO) memperkirakan, prevalensi global
diabetes melitus tipe 2 akan meningkat dari 171 juta orang menjadi 366 juta tahun
2030. WHO memperkirakan Indonesia menduduki ranking ke-4 di dunia dalam
hal jumlah penderita diabetes setelah China, India dan Amerika Serikat. Pada
tahun 2000, jumlah penderita diabetes mencapai 8,4 juta dan diperkirakan pada
tahun 2030 jumlah penderita diabetes di Indonesia akan berjumlah 21,3 juta.
Tetapi, hanya 50% dari penderita diabetes di Indonesia menyadari bahwa mereka
menderita diabetes, dan hanya 30% dari penderita melakukan pemeriksaan secara
teratur. (1)
Diabetes Melitus tipe 2, disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja
dengan baik, kadar insulin dapat normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi
fungsi insulin untuk metabolisme glukosa tidak ada atau kurang. Peningkatan
insidensi diabetes melitus di Indonesia tentu akan diikuti oleh meningkatnya

3
kemungkinan terjadinya komplikasi kronik diabetes melitus. Dengan demikian,
pengetahuan mengenai diabetes dan komplikasinya menjadi penting untuk
diketahui dan dimengerti. (1)

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Diabetes Melitus adalah penyakit kelainan metabolik yang
dikarakteristikan dengan hiperglikemia kronis serta kelainan metabolisme
karbohidrat, lemak dan protein diakibatkan oleh kelainan sekresi insulin, kerja
insulin maupun keduanya. Hiperglikemia kronis pada diabetes melitus akan
disertai dengan kerusakan,ganguan fungsi beberapa organ tubuh khususnya
mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah. Walaupun pada diabetes
melitus ditemukan ganguan metabolisme semua sumber makanan tubuh kita,
kelainan metabolisme yang paling utama ialah kelainan metabolisme
karbohidarat. Oleh karena itu diagnosis diabetes melitus selalu berdasarkan
tinginya kadar glukosa dalam plasma darah. (1,2)
Diabetes Melitus tipe 2, disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja
dengan baik, kadar insulin dapat normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi
fungsi insulin untuk metabolisme glukosa tidak ada atau kurang. Karena
insulin tetap dihasilkan oleh sel-sel beta pankreas, maka diabetes mellitus tipe
2 dianggap sebagai non insulin dependent diabetes mellitus. Akibatnya
glukosa dalam darah tetap tinggi sehingga terjadi hiperglikemia, dan 75% dari
penderita DM type II ini dengan obesitas atau kegemukan dan biasanya
diketahui DM setelah usia 30 tahun. (1,2)

B. Epidemiologi
Prevalensi DM sulit ditentukan karena standar penetapan diagnosisnya
berbeda-beda. Berdasarkan kriteria American Diabetes Asociation tahun 2012
(ADA 2012), sekitar 10,2 juta orang di Amerika Serikat menderita DM.
Sementara itu, di Indonesia prevalensi DM sebesar 1,5-2,3% penduduk usia
>15 tahun,bahkan di daerah Manado prevalensi DM sebesar 6,1%. (1,2)

5
Kejadian DM Tipe 2 pada wanita lebih tinggi daripada laki-laki. Wanita lebih
berisiko mengidap diabetes karena secara fisik wanita memiliki peluang
peningkatan indeks masa tubuh yang lebih besar. Hasil Riset Kesehatan Dasar
pada tahun 2008, menunjukan prevalensi DM di Indonesia membesar sampai
57%, pada tahun 2012 angka kejadian diabetes melitus di dunia adalah
sebanyak 371 juta jiwa, dimana proporsi kejadian diabetes melitus tipe 2
adalah 95% dari populasi dunia yang menderita diabetes mellitus dan hanya
5% dari jumlah tersebut menderita diabetes mellitus tipe 1. (1,2)
Pemeriksan laboratorium bagi penderita DM diperlukan untuk
menegakan diagnosis serta memonitor terapi dan timbulnya komplikasi.
Dengan demikian, perkembangan penyakit bisa dimonitor dan dapat
mencegah komplikasi. (1,2)

C. Klasifikasi

Klasifikasi Diabetes Melitus, yaitu:


1. Diabetes Melitus Tipe 1
DM ini disebabkan oleh kekurangan insulin dalam darah yang terjadi
akibat kerusakan dari sel beta pankreas. Gejala yang menonjol adalah
sering kencing (terutama malam hari), sering lapar dan sering haus,
sebagian besar penderita DM tipe ini berat badannya normal atau kurus.
Biasanya terjadi pada usia muda dan memerlukan insulin seumur hidup.
(2,3)

2. Diabetes Melitus Tipe 2


DM ini disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan
baik, kadar insulin dapat normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi
fungsi insulin untuk metabolisme glukosa tidak ada atau kurang.
Akibatnya glukosa dalam darah tetap tinggi sehingga terjadi
hiperglikemia, dan 75% dari penderita DM type II ini dengan obesitas atau
kegemukan dan biasanya diketahui DM setelah usia 30 tahun. (2,3)

6
3. Diabetes Melitus Tipe lain (3,4)
a. Defek genetik pada fungsi sel beta
b. Defek genetik pada kerja insulin
c. Penyakit eksokrin pankreas
d. Endokrinopati
e. Diinduksi obat atau zat kimia
f. Infeksi
g. Imunologi
4. DM Gestasional (3,4)

D. Anatomi Pankreas
Pankreas adalah organ pipih yang terletak dibelakang dan sedikit di bawah
lambung dalam abdomen. Organ ini memiliki 2 fungsi: fungsi endokrin dan
fungsi eksokrin. Bagian eksokrin dari pankreas berfungsi sebagai sel asinar
pankreas, memproduksi cairan pankreas yang disekresi melalui duktus pankreas
ke dalam usus halus. Pankreas terdiri dari 2 jaringan utama yaitu:
- Asini sekresi getah pencernaan ke dalam duodenum.
- Pulau langerhans yang mengeluarkan sekretnya keluar. Tetapi, menyekresikan
insulin dan glukagon langsung ke darah. (3,4)
Pulau-pulau Langerhans yang menjadi sistem endokrinologi dari pankreas
tersebar di seluruh pankreas dengan berat hanya 1-3 % dari berat total pankreas.
Pulau langerhans berbentuk opoid dengan besar masing-masing pulau berbeda.
Besar pulau langerhans yang terkecil adalah 50, sedangkan yang terbesar
300, terbanyak adalah yang besarnya 100-225. Jumlah semua pulau
langerhans di pankreas diperkirakan antara 1-2 juta. (3,4)

7
Gambar 1. Anatomi Kelenjar Pankreas

Sel endokrin dapat ditemukan dalam pulau-pulau langerhans, yaitu


kumpulan kecil sel yang tersebar di seluruh organ. Ada 4 jenis sel penghasil
hormon yang teridentifikasi dalam pulau-pulau tersebut:

- Sel alfa, jumlah sekitar 20-40 %, memproduksi glukagon yang menjadi


faktor hiperglikemik, suatu hormon yang mempunyai antiinsulin like
activity. (3,4)

- Sel beta menyekresi insulin yang menurunkan kadar gula darah. (3,4)
- Sel delta menyekresi somastatin, hormon penghalang hormon pertumbuhan
yang menghambat sekresi glukagon dan insulin. (3,4)

- Sel F menyekresi polipeptida pankreas, sejenis hormon pencernaan untuk


fungsi yang tidak jelas. (3,4)

Gambar 2. Pulau Langerhans

8
Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino,
dihasilkan oleh sel beta kelenjar pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada
rangsangan pada sel beta, insulin disintesis dan kemudian disekresikan ke
dalamdarah sesuai dengan kebutuhan tubuh untuk keperluan regulasi glukosa
darah. Sintesis insulin dimulai dalam bentuk prepoinsulin (precursor
hormoninsulin) pada retikulum endoplasma sel beta. Dengan bantuan enzim
peptidase, prepoinsulin mengalami pemecahan sehingga terbentuk proinsulin,
yang kemudian dihimpun dalam gelembung-gelembung (secretory vesicle) dalam
sel tersebut. Di sini, dengan bantuan enzim peptidase, proinsulin diurai menjadi
insulin dan peptida-C (C-peptide) yang keduanya sudah siap untuk
disekresikansecara bersamaan melalui membran sel. (3,4)

Mekanisme secara fisiologis di atas, diperlukan bagi berlangsungnya proses


metabolisme glukosa, sehubungan dengan fungsi insulin dalam proses utilasi
glukosa dalam tubuh. Kadar glukosa darah yang meningkat, merupakan
komponen utama yang memberi rangsangan terhadap sel beta memproduksi
insulin, meskipun beberapa jenis asam amino dan obat-obatan, juga dapat
memiliki efek yang sama. Mekanisme sintesis dan sekresi insulin setelah adanya
rangsangan terhadap sel beta cukup rumit, dan belum sepenuhnya dipahami
secarajelas. (3,4)

Ada beberapa tahapan dalam sekresi insulin, setelah molekul glukosa


memberikan rangsangan pada sel beta. Pertama, proses untuk dapat melewati
membran sel yang membutuhkan senyawa lain. Glucose transporter (GLUT)
adalah senyawa asam amino yang terdapat dalam berbagai sel yang berperan
proses metabolisme glukosa. Fungsinya sebagai "kenderaan" pengangkut glukosa
masuk dari luar ke dalam jaringan tubuh. Glucose transforter 2(GLUT 2) yang
terdapat dalam sel beta misalnya, diperlukan dalam proses masuknya glukosa
daridalam darah, melewati membran, ke dalam sel. Proses ini merupakan langkah
penting, agar selanjutnya ke dalam sel, molekul glukosa tersebut dapat mengalami
proses glikolisis dan fosforilasi yang akan membebaskan molekul ATP. Molekul
ATP yang terbebas tersebut, dibutuhkan untuk mengaktifkan proses penutupan K

9
channel yang terdapat pada membran sel. Terhambatnya pengeluaran ion K dari
dalam sel menyebabkan depolarisasi membran sel, yang diikuti kemudian oleh
proses pembukaan Ca channel. Keadaan inilah yang memungkinkan masuknya
ion Ca sehingga meningkatkan kadar ion Ca intrasel, suasana yang dibutuhkan
bagi proses sekresi insulin melalui mekanisme yang cukup rumit dan belum
seutuhnya dapat dijelaskan. (3,4)

E. Fisiologi
Pengaturan Homeostasis Glukosa
Homeostasis glukosa mencerminkan keseimbangan antara produksi
glukosa hepatik dan pengambilan glukosa perifer dan pemanfaatannya. Insulin
adalah regulator terpenting dari keseimbangan metabolisme ini, tapi sinyal
saraf, sinyal metabolik, dan hormon lainnya (misalnya, glukagon)
menghasilkan pengontrolan terpadu untuk pasokan dan pemanfaatan glukosa.
(3,4,5,6)

Organ yang mengatur glukosa dan lipid berkomunikasi dengan


mekanisme saraf dan humoral dengan lemak dan otot memproduksi
adipokines, myokines, dan metabolit yang mempengaruhi fungsi hati. Dalam
keadaan puasa, kadar insulin yang rendah meningkatkan produksi glukosa
dengan mempromosikan glukoneogenesis hepatik dan glikogenolisis dan
mengurangi penyerapan glukosa di jaringan sensitif insulin (otot rangka dan
lemak), sehingga meningkatkan mobilisasi prekursor disimpan seperti asam
amino dan asam lemak bebas (lipolisis). (3,4,5,6)

Gambar 3. Regulasi Homeostasis Glukosa.

10
Glukagon, disekresikan oleh sel alfa pankreas ketika glukosa darah atau
insulin tingkat rendah, merangsang glikogenolisis dan glukoneogenesis oleh
hati dan medula ginjal. Pada saat postprandial, beban glukosa memunculkan
kenaikan insulin dan penurunan glukagon, mengarah ke pembalikan proses
ini. Insulin, suatu hormon anabolik, mempromosikan penyimpanan
karbohidrat dan lemak dan sintesis protein. Bagian utama dari glukosa
postprandial digunakan oleh otot rangka, efek dari penyerapan glukosa yang
dirangsang oleh insulin. Jaringan lain, terutama otak, menggunakan glukosa
dalam model insulin insulin. Faktor-faktor yang disekresi oleh miosit skeletal
(irisin), adiposit (leptin, resistin, adiponektin, dll), dan tulang juga
mempengaruhi homeostasis glukosa. (3,4,5,6)

Biosintesis Insulin
Insulin diproduksi di sel beta dari pulau pankreas. Hal ini awalnya
disintesis sebagai rantai tunggal asam amino-86 prekursor polipeptida,
preproinsulin. Pengolahan proteolitik selanjutnya menghilangkan sinyal
peptida terminal amino, sehingga menimbulkan proinsulin. Proinsulin secara
struktural terkait dengan faktor pertumbuhan seperti insulin I dan II, yang
mengikat lemah pada reseptor insulin. Pembelahan fragmen 31, residu internal
dari proinsulin menghasilkan peptida C dan A (21 asam amino) dan B (30
asam amino) rantai insulin, yang dihubungkan oleh ikatan disulfida. Molekul
insulin matang dan C peptida disimpan bersama-sama dan untuk disekresikan
dari butiran sekresi dalam sel beta. Karena C peptida dibersihkan lebih lambat
dari insulin, itu adalah penanda yang berguna sekresi insulin dan
memungkinkan diskriminasi sumber endogen dan eksogen insulin dalam
evaluasi hipoglikemia. Sel beta pankreas mensekresikan islet amyloid
polypeptide (IAPP) atau amylin, suatu peptida 37-asam amino, bersama
dengan insulin. Peran IAPP dalam fisiologi normal tidak lengkap ditetapkan,
tetapi merupakan komponen utama dari fibril amiloid yang ditemukan di
pasien dengan diabetes tipe 2, dan analog kadang-kadang digunakan dalam
mengobati tipe 1 dan tipe 2 DM. Insulin manusia diproduksi oleh teknologi

11
DNA rekombinan; perubahan struktural pada satu atau lebih residu asam
amino memodifikasi karakteristik fisik dan farmakologinya. (3,4,5,6)

Sekresi Insulin
Glukosa adalah tombol pengatur sekresi insulin oleh sel beta pankreas,
meskipun asam amino, keton, berbagai nutrisi, peptida gastro-intestinal, dan
neurotransmitter juga mempengaruhi sekresi insulin. Kadar glukosa >3,9
mmol L (70 mg/dL) merangsang sintesis insulin, terutama dengan
meningkatkan protein translation dan processing. Glukosa menstimulasi
sekresi insulin dimulai dengan transportasi ke dalam sel beta oleh transporter
glukosa fasilitatif. (3,4,5,6)

Gambar 4. Mekanisme glukosa merangsang sekresi insulin


dan kelainan pada diabetes.

Fosforilasi glukosa oleh glukokinase adalah langkah tingkat pembatas


yang mengontrol glukosa dalam regulasi sekresi insulin. Metabolisme
selanjutnya glukosa-6-fosfat melalui glikolisis menghasilkan ATP, yang
menghambat aktivitas dari K sensitif ATP+ channel. Kanal ini terdiri dari dua
protein yang terpisah: satu adalah tempat pengikatan hipoglikemik oral
tertentu (misalnya, sulfonilurea, meglitinides); yang lain adalah dalam hati
meluruskan K + channel protein (Kir6.2). Penghambatan kanal K+ ini
menginduksi depolarisasi membran sel beta, yang membuka tegangan saluran
kalsium tergantung (yang mengarah ke masuknya kalsium) dan menstimulasi
sekresi insulin. Insulin profil sekretori mengungkapkan berdenyut pat-tern dari

12
pelepasan hormon, dengan semburan yang keluar kecil terjadi sekitar setiap 10
menit, ditumpangkan pada osilasi amplitudo lebih besar dari sekitar 80-150
menit. Incretins dilepaskan dari sel-sel neuroendokrin dari saluran pencernaan
setelah asupan makanan dan memperkuat sekresi insulin glukosa-dirangsang
dan menekan sekresi glukagon. Glukagon-like peptide 1 (GLP-1), incretin
paling ampuh, dilepaskan dari sel-sel L di usus kecil dan merangsang sekresi
insulin hanya ketika glukosa darah di atas tingkat puasa. Incretin analog atau
agen farmakologis yang memperpanjang aktivitas endogen GLP-1
meningkatkan sekresi insulin. (3,4,5,6)

Aksi Insulin
Setelah insulin disekresikan ke dalam sistem vena portal, ~50% dihapus
dan terdegradasi oleh hati. Insulin yang tak terekstraksi memasuki sirkulasi
sistemik di mana ia mengikat reseptor di situs sasaran. Insulin mengikat
reseptor yang akan merangsang aktivitas tyrosine kinase intrinsik, yang
mengarah ke autofosforilasi reseptor dan perekrutan molekul sinyal
intracellular, seperti substrat reseptor insulin (IRS). IRS dan protein adaptor
lainnya menginisiasi kaskade kompleks reaksi phosphorylation dan
defosforilasi, mengakibatkan metabolisme luas dan efek mitogenik insulin.
Sebagai contoh, aktivasi dari fosfatidilinositol-3'-kinase (PI-3-kinase) jalur
merangsang translokasi dari transporter glukosa fasilitatif (misalnya, GLUT4)
ke permukaan sel, sebuah acara yang sangat penting untuk penyerapan
glukosa oleh otot rangka dan lemak. Aktivasi jalur reseptor insulin signaling
lainnya menginduksi sintesis glikogen, sintesis protein, lipogenesis, dan
regulisasi berbagai gen dalam sel insulin responsif. (3,4,5,6)

F. Patofisiologi DM Tipe II
Diabetes melitus merupakan penyakit yang disebabkan oleh
adanya kekurangan insulin secara relatif maupun absolut. Defisiensi insulin
dapat terjadi melalui 3 jalan, yaitu: (6,7,8)

13
a. Rusaknya sel-sel B pankreas karena pengaruh dari luar (virus, zat kimia,
dll)
b. Desensitasi atau penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas
c. Desensitasi atau kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer.
Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan
yaitu: (6,7,8)

- Resistensi insulin
- Disfungsi sel B pancreas
DM tipe 2 mungkin mencakup berbagai gangguan dengan fenotipe umum
dari hiperglikemia.

- Pertimbangan Genetik

DM tipe 2 memiliki komponen genetik yang kuat. Kesesuaian DM


tipe 2 pada kembar identik adalah antara 70 dan 90%. Individu dengan
orangtua dengan DM tipe 2 memiliki peningkatan risiko diabetes; jika
kedua orang tua memiliki DM tipe 2, risiko mendekati 40%. Resisten
insulin, seperti yang ditunjukkan oleh penggunaan glukosa berkurang di
otot rangka, hadir dalam banyak kerabat nondiabetes, pertama-tingkat
individu dengan DM tipe 2. Penyakit ini poligenik dan multifaktor, karena
selain kerentanan genetik, faktor lingkungan (seperti obesitas, gizi, dan
aktivitas fisik) memodulasi fenotip. Lingkungan di dalam rahim juga
berkontribusi, dan baik ditambah atau dikurangi berat badan lahir
meningkatkan risiko DM tipe 2 di usia dewasa. Gen yang mempengaruhi
mengetik 2 DM yang tidak lengkap diidentifikasi, namun studi asosiasi
genome baru-baru ini telah mengidentifikasi sejumlah besar gen yang
menyampaikan risiko yang relatif kecil untuk tipe 2 DM (>70 gen, masing-
masing dengan risiko relatif 1,06-1,5). Paling menonjol adalah varian dari
faktor transkripsi 7, seperti 2 gen yang telah dikaitkan dengan DM tipe 2 di
beberapa populasi dan dengan IGT dalam satu populasi berisiko tinggi
untuk diabetes. Polimorfisme genetik yang terkait dengan DM tipe 2 juga
telah ditemukan dalam gen yang mengkode peroksisom proliferator-

14
activated receptor , ke dalam meluruskan kanal kalium, transporter Zinc,
IRS, dan calpain 10. Mekanisme lokus genetik yang meningkatkan
kerentanan untuk DM tipe 2 masih tidak jelas, tetapi kebanyakan
diperkirakan mengubah fungsi pulau atau pengembangan atau sekresi
insulin. Meskipun kerentanan genetik untuk DM tipe 2 sedang diselidiki
aktif (sejauh ini diperkirakan <10% dari risiko genetik ditentukan oleh
lokus), saat ini tidak mungkin untuk menggunakan kombinasi dari lokus
genetik yang dikenal untukmemprediksi DM tipe 2. (6,7,8)

DM tipe 2 ditandai dengan gangguan sekresi insulin, resistensi


insulin, produksi glukosa hepatik yang berlebihan, dan metabolisme lemak
yang abnormal. Obesitas, terutama visceral atau pusat (yang dibuktikan
dengan rasio pinggul-pinggang), adalah sangat umum di DM tipe 2 (80%
dari pasien mengalami obesitas). Pada tahap awal dari gangguan, toleransi
glukosa tetap mendekati normal, meskipun resistensi insulin, karena sel-sel
beta pankreas mengimbanginya dengan meningkatkan produksi insulin.
(6,7,8)

Gambar 5. Perubahan metabolik selama pengembangan diabetes mellitus tipe 2.

Sebagai resistensi insulin dan kemajuan kompensasi


hiperinsulinemia, pulau pankreas pada individu tertentu tidak dapat
mempertahankan keadaan hiperinsulinemia. IGT, ditandai dengan
peningkatan glukosa postprandial. Penurunan lebih lanjut dalam sekresi

15
insulin dan peningkatan hepatik memimpin produksi glukosa untuk
diabetes yang nyata dengan hiperglikemia puasa. Pada akhirnya, kegagalan
sel beta terjadi kemudian. Meskipun kedua resistensi insulin dan gangguan
sekresi insulin berkontribusi pada patogenesis DM tipe 2, kontribusi relatif
dari masing-masing bervariasi dari individu ke individu. (6,7,8)

- Abnormalitas Metabolik
Abnormalitas Metabolisme Jaringan Otot dan Lemak
Resistensi insulin, penurunan kemampuan insulin untuk bertindak secara
efektif pada jaringan target (terutama otot, hati, dan lemak), merupakan fitur
yang menonjol dari DM tipe 2 dan hasil dari kombinasi kerentanan genetik
dan obesitas. Resistensi insulin relatif, karena beredarnya tingkat insulin yang
supranormal akan menormalkan glukosa plasma. Pada kurva respon dosis
insulin menunjukkan pergeseran ke kanan, menunjukkan berkurangnya
sensitivitas, dan respon maksimal berkurang, menunjukkan penurunan secara
keseluruhan dalam penggunaan glukosa maksimum (30-60% lebih rendah dari
pada individu normal). Resistensi insulin mengganggu penggunaan glukosa
oleh jaringan sensitif insulin dan meningkatkan output glukosa hepatik; kedua
efek berkontribusi pada terjadinya hiperglikemia. (6,7,8)
Peningkatan output glukosa hepatik terutama menyumbang peningkatan
tingkat GDP, sedangkan penurunan hasil penggunaan glukosa perifer di
hiperglikemia postprandial. Pada otot rangka, ada penurunan lebih besar
dalam penggunaan glukosa nonoxidative (pembentukan glikogen) daripada
metabolisme glukosa oksidatif melalui glikolisis. metabolisme glukosa pada
jaringan independen insulin tidak diubah dengan DM tipe 2. (6,7,8)
Mekanisme molekuler yang tepat mengarah ke resistensi insulin pada
DM tipe 2 belum dijelaskan. Tingkat reseptor insulin dan aktivitas tyrosine
kinase di otot rangka berkurang, tetapi perubahan ini kemungkinan besar
akibat hiperinsulinemia sekunder dan bukan defek primer. Oleh karena itu,
defek "postreseptor" pada insulin diatur oleh fosforilasi/defosforilasi
tampaknya memainkan peran dominan dalam resistensi insulin. Kelainan

16
termasuk akumulasi lipid dalam miosit skeletal, yang dapat mengganggu
fosforilasi oksidatif mitokondria dan mengurangi insulin merangsang produksi
ATP mitokondria. (6,7,8)
Gangguan oksidasi asam lemak dan akumulasi lipid dalam miosit tulang
juga dapat menghasilkan spesies oksigen reaktif seperti peroksida lipid. Dari
catatan, tidak semua jalur transduksi sinyal insulin resisten terhadap efek insulin
(misalnya, mereka mengendalikan pertumbuhan sel dan diferensiasi menggunakan
mitogenik jalur activated protein kinase). Akibatnya, hiperinsulinemia dapat
meningkatkan aksi insulin melalui jalur ini, berpotensi mempercepat
kondisidiabetes terkait seperti aterosklerosis. (6,7,8)
Obesitas menyertai DM tipe 2, khususnya di lokasi pusat atau visceral,
dianggap bagian dari proses patogenik. Selain ini depot lemak putih, manusia
sekarang diakui memiliki lemak coklat, yang memiliki kapasitas termogenik yang
jauh lebih besar. Upaya sedang dilakukan untuk meningkatkan kegiatan atau
kuantitas lemak coklat (mis, myokine, irisin, dapat mengkonversi putih untuk
lemak coklat). Massa adiposit meningkat menyebabkan peningkatan kadar
beredar asam lemak bebas dan produk sel lemak lainnya. Misalnya, adipocytes
mengeluarkan sejumlah produk biologis (asam lemak bebas nonesterified, retinol-
binding protein 4, leptin, TNF-, resistin, IL-6, dan adiponektin). Selain mengatur
berat badan, nafsu makan, dan pengeluaran energi, adipokines juga memodulasi
sensitivitas insulin. Peningkatan produksi asam lemak bebas dan beberapa
adipokines dapat menyebabkan resistensi insulin di otot rangka dan hati.
Misalnya, asam lemak bebas merusak pemanfaatan glukosa di dalam otot rangka,
meningkatkan produksi glukosa oleh hati, dan merusak fungsi sel beta.
Sebaliknya, produksi oleh adiposit adiponektin, suatu peptida yang peka terhadap
insulin, berkurang pada obesitas, dan ini dapat menyebabkan resistensi insulin
hepatik. Produk adiposit dan adipokines juga memproduksi keadaan peradangan
dan mungkin menjelaskan mengapa tanda peradangan seperti IL-6 dan protein C-
reaktif sering meningkat pada DM tipe 2. Selain itu, sel-sel inflamasi ditemukan
menginfiltrasi jaringan adiposa. Penghambatan jalur sinyal inflamasi seperti jalur
nuklir faktor-kB (NF-kB) muncul untuk mengurangi resistensi insulin dan

17
meningkatkan hiperglikemia pada model binatang dan sedang diuji pada manusia.
(6,7,8)

Gangguan Sekresi Insulin


Sekresi insulin dan sensitivitas saling terkait. Pada DM tipe 2, sekresi
insulin awalnya meningkatkan respons terhadap resistensi insulin untuk menjaga
toleransi glukosa normal. Awalnya, defek sekretori insulin ringan dan selektif
melibatkan glukosa yang merangsang sekresi insulin, termasuk penrunan pada
fase sekretori pertama. Respon terhadap secretagogues nonglucose lainnya, seperti
arginin, yang diawetkan, tapi fungsi beta keseluruhan berkurang sebanyak 50%
pada awal DM tipe 2. Kelainan pada pengolahan proinsulin tercermin dengan
peningkatan sekresi proinsulin di DM tipe 2. Akhirnya, defek sekretori insulin
adalah progresif. Alasan penurunan kapasitas sekresi insulin dalam DM tipe 2
tidak jelas. Asumsinya adalah bahwa defek genetik kedua menyebabkan
kegagalan sel beta. Massa sel beta turun sekitar 50% pada individu dengan lama
DM tipe 2. Islet amyloid polipeptida atau amylin, disekresikan oleh sel beta,
membentuk deposit amyloid fibril ditemukan di pulau dari individu dengan berdiri
lama DM tipe 2. Apakah deposit amyloid pulau seperti peristiwa primer atau
sekunder tidak diketahui. Lingkungan metabolik diabetes juga dapat berdampak
negatif terhadap fungsi islet. Misalnya, hiperglikemia kronik paradoks merusak
fungsi islet (toksisitas glukosa) dan mengarah ke memburuknya hiperglikemia.
Peningkatan kontrol glikemik sering dikaitkan dengan peningkatan fungsi islet.
Selain itu, ketinggian kadar asam lemak bebas (lipotoxicity) dan lemak dari
makanan juga dapat memperburuk fungsi pulau. Mengurangi GLP-1 tindakan
dapat berkontribusi untuk sekresi insulin berkurang. (8,9,10)

Peningkatan Glukosa Hepatik dan Produksi Lipid


Pada DM tipe 2, resistensi insulin di hati mencerminkan kegagalan
hiperinsulinemia untuk menekan glukoneogenesis, yang menghasilkan puasa
hiperglikemia dan penurunan penyimpanan glikogen oleh hati di postprandial.

18
Peningkatan produksi glukosa hepatik terjadi di awal perjalanan diabetes,
meskipun mungkin setelah timbulnya kelainan sekresi insulin dan resistensi
insulin di otot rangka. Sebagai hasil dari resistensi insulin pada jaringan adiposa,
lipolisis dan fluks asam lemak bebas dari adipocytes meningkat, yang
menyebabkan peningkatan lipid (very low density lipoprotein [VLDL] dan
trigliserida) sintesis dalam hepatosit. penyimpanan lipid ini atau steatosis di hati
dapat menyebabkan penyakit hati berlemak nonalkohol dan tes fungsi hati yang
abnormal. Hal ini juga bertanggung jawab untuk dislipidemia ditemukan pada
DM tipe 2 (peningkatan trigliserida, mengurangi high density lipoprotein [HDL],
dan peningkatan padat low density lipoprotein [LDL] partikel kecil). (8,9,10)

Secara deskriptif, tiga fase dapat dikenali pada urutan klinis yang biasa.
Pertama, glukosa plasma tetap normal walaupun terlihat resistensi insulin karena
kadar insulin meningkat. Pada fase kedua, resistensi insulin cenderung memburuk
sehingga meskipun konsentrasi insulin meningkat, tampak intoleransi glukosa
dalam bentuk hiperglikemia setelah makan. Pada fase ketiga, resistensi insulin
tidak berubah, tetapi sekresi insulin menurun, menyebabkan hiperglikemia puasa
dan diabetes yang nyata. (8,9,10)

G. Faktor Resiko
Faktor Resiko Diabetes Melitus:
1. Obesitas
Terdapat korelasi bermakna antara obesitas dengan kadar glukosa
darah, pada derajat kegemukan dengan IMT > 23 dapat menyebabkan
(8,9,10)
peningkatan kadar glukosa darah menjadi 200mg%.
2. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah pada hipertensi berhubungan erat dengan
tidak tepatnya penyimpanan garam dan air, atau meningkatnya tekanan
(8,9,10)
dari dalam tubuh pada sirkulasi pembuluh darah perifer.
3. Riwayat Keluarga Diabetes Mellitus
Seorang yang menderita Diabetes Mellitus diduga mempunyai gen
diabetes. Diduga bahwa bakat diabetes merupakan gen resesif. Hanya

19
orang yang bersifat homozigot dengan gen resesif tersebut yang menderita
(8,9,10)
Diabetes Mellitus.

4. Dislipedimia
Adalah keadaan yang ditandai dengan kenaikan kadar lemak darah
(Trigliserida > 250 mg/dl). Terdapat hubungan antara kenaikan plasma
insulin dengan rendahnya HDL (< 35 mg/dl) sering didapat pada pasien
Diabetes. (8,9,10)
5. Umur
Berdasarkan penelitian, usia yang terbanyak terkena Diabetes Mellitus
adalah > 45 tahun. (8,9,10)
6. Riwayat persalinan
Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau berat badan
bayi > 4000 gram. (8,9,10)
7. Alkohol dan Rokok
Perubahan-perubahan dalam gaya hidup berhubungan dengan
peningkatan frekuensi DM tipe 2. Walaupun kebanyakan peningkatan ini
dihubungkan dengan peningkatan obesitas dan pengurangan ketidakaktifan
fisik, faktor-faktor lain yang berhubungan dengan perubahan
darilingkungan tradisional kelingkungan kebarat- baratan yang meliputi
perubahan-perubahan dalam konsumsi alkohol dan rokok, juga berperan
dalam peningkatan DM tipe 2. Alkohol akan mengganggu metabolisme gula
darah terutama pada penderita DM, sehingga akan mempersulit regulasi
gula darah dan meningkatkan tekanan darah. (8,9,10)

H. Manifestasi Klinik
Gejala diabetes melitus dibedakan menjadi akut dan kronik. Gejala akut
diabetes melitus yaitu: Poliphagia (banyak makan), polidipsia (banyak
minum), poliuria (banyak kencing/sering kencing di malam hari), nafsu makan

20
bertambah namun berat badan turun dengan cepat (5-10 kg dalam waktu 2-4
minggu), mudah lelah. (8,9,10)
Gejala kronik diabetes melitus yaitu: Kesemutan, kulit terasa panas atau
seperti tertusuk tusuk jarum, rasa kebas di kulit, kram, kelelahan, mudah
mengantuk, pandangan mulai kabur, gigi mudah goyah dan mudah lepas,
kemampuan seksual menurun bahkan pada pria bisa terjadi impotensi, pada
ibu hamil sering terjadi keguguran atau kematian janin dalam kandungan atau
denganbayi berat lahir lebih dari 4kg. (8,9,10)

Patofisiologi gejala DM
Pada keadaan defisiensi insulin relatif, masalah yang akan ditemui
terutama adalah hiperglikemia dan hiperosmolaritas yang terjadi akibat efek
insulin yang tidak adekuat. (8,9,10)
Hiperglikemia pada diabetes melitus terjadi akibat penurunan pengambilan
glukosa darah ke dalam sel target, dengan akibat peningkatan konsentrasi
glukosa darah setinggi 300 sampai 1200 mg per 100ml. Hal ini juga diperberat
oleh adanya peningkatan produksi glukosa dari glikogen hati sebagai respon
tubuh terhadap kelaparan intrasel. Keadaan defisiensi glukosa intrasel ini juga
akan menimbulkan rangsangan terhadap rasa lapar sehingga frekuensi rasa
lapar meningkat (polifagi). (8,9,10)
Penimbunan glukosa di ekstrasel akan menyebabkan hiperosmolaritas.
Pengeluaran cairan tubuh berlebih akibat poliuria disertai dengan adanya
hiperosmolaritas ekstrasel yang menyebabkan penarikan air dari intrasel ke
ekstrasel akan menyebabkan terjadinya dehidrasi, sehingga timbul rasa haus
terus-menerus dan membuat penderita sering minum (polidipsi). Dehidrasi
dapat berkelanjutan pada hipovolemia dan syok, serta AKI akibat kurangnya
tekanan filtrasi glomerulus. Jadi, salah satu gambaran diabetes yang penting
adalah kecenderungan dehidrasi ekstra sel dan intra sel, dan ini sering juga
disertai dengan kolapsnya sirkulasi. Dan perubahan volume sel akibat keadaan
hiperosmotik ekstrasel yang menarik air dari intrasel dapat mengganggu
fungsi sel-sel dalam tubuh. (8,9,10)

21
Kadar glukosa plasma yang tinggi (di atas 180 mg%) yang melewati
batas ambang bersihan glukosa pada filtrasi ginjal, yaitu jika jumlah glukosa
yang masuk tubulus ginjal dalam filtrat meningkat kira-kira diatas
225mg/menit, maka glukosa dalam jumlah bermakna mulai dibuang atau
terekskresi ke dalam urin yang disebut glukosuria. Keberadaan glukosa dalam
urin menyebabkan keadaan diuresis osmotik yang menarik air dan mencegah
reabsorbsi cairan oleh tubulus sehingga volume urin meningkat dan terjadilah
poliuria. Karena itu juga terjadi kehilangan Na dan K berlebih pada ginjal.
(8,9,10)

I. Diagnosis
Keluhan dan gejala yang khas ditambah hasil pemeriksaan glukosa darah
sewaktu >200 mg/dl, glukosa darah puasa >126 mg/dl sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis DM. Untuk diagnosis DM dan gangguan toleransi
glukosa lainnya diperiksa glukosa darah 2 jam setelah beban glukosa.
Sekurang-kurangnya diperlukan kadar glukosa darah 2 kali abnormal untuk
konfirmasi diagnosis DM pada hari yang lain atau Tes Toleransi Glukosa Oral
(TTGO) yang abnormal. Konfirmasi tidak diperlukan pada keadaan khas
hiperglikemia dengan dekompensasi metabolik akut, seperti ketoasidosis,
berat badan yang menurun cepat. (9,10,11)

Tabel 1. Kriteria Diagnosis DM

22
Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring.
Uji diagnostik dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala DM,
sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka
yang tidak bergejala, tetapi punya resiko DM (usia > 45 tahun, berat badan
lebih, hipertensi, riwayat keluarga DM, riwayat abortus berulang, melahirkan
bayi > 4000 gr, kolesterol HDL <= 35 mg/dl, atau trigliserida 250 mg/dl).
Uji diagnostik dilakukan pada mereka yang positif uji penyaring. (9,10,11)

Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar


glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat
diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) standar. (9,10,11)

Gambar 6. Langkah-langkah diagnostik DM dan gangguan toleransi glukosa

23
J. Tatalaksana
Tujuan Tatalaksana
Jangka pendek: menghilangkan keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa
nyaman, dan mencapai target pengendalian glukosa darah. (9,10,11)
K. Jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati. (9,10,11)
L. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.
(9,10,11)

Dasar-dasar Pengobatan Terapi DM Tipe 2


Resistensi insulin merupakan dasar dari diabetes tipe 2, dan kegagalan sel
mulai terjadi sebelum berkembangnya diabetes yaitu dengan terjadinya
ketidakseimbangan antara resistensi insulin dan sekresi insulin. De Fronzo
menyatakan bahwa fungsi sel menurun sebesar kira-kira 20% pada saat terjadi
intoleransi glukosa. Dengan demikian jelas bahwa pendekatan pengobatan DM
tipe 2 harus memperbaiki resistensi insulin dan memperbaiki fungsi sel . (9,10,11)

Hal yang mendasar dalam pengel olaan Diabetes mellitus tipe 2 adalah
perubahan pola hidup yaitu pola makan yang baik dan olahraga teratur. Dengan
atau tanpa terapi farmakologik, pola makan yang seimbang dan olahraga teratur
(bila tidak ada kontraindikasi) tetap harus dijalankan. (9,10,11)

Target Glikemik
Penelitian UKPDS (United Kingdom Prospective Diabetes Study) dan
Studi Kumamoto pada pasien DM tipe 2 menunjukkan target glikemik terapi
DM tipe 2 yang menghasilkan perbaikan prognosis jangka panjang. Hasil
penelitian klinik dan epidemiologik menunjukkan bahwa dengan menurunkan
kadar glukosa maka kejadian komplikasi mikrovaskuler dan neuropati akan
menurun. Target kadar glukosa darah yang terbaik berdasarkan pemeriksaan
harian dan A1c sebagai index glikemia kronik belum diteliti secara sistematik.
Tetapi hasil penelitian DCCT (pada pasien diabetes tipe 1) dan UKPDS (pada
pasien diabetes tipe 2) mengarahkan gol pencapaian kadar glikemik pada

24
rentang nondiabetik. Akan tetapi pada kedua studi tersebut bahkan pada grup
pasien yang mendapat pengobatan intensif, kadar A1c tidak dapat dipertahankan
pada rentang nondiabetik . Stu di tersebut mencapai kadar rata-rata A1c ~7%
yang merupakan 4SD diatas rata-rata non diabetik. (9,10,11)
Target glikemik yang paling baru adalah dari ADA (American Diabetes
Association) yang dibuat berdasarkan kepraktisan dan projeksi penurunan
kejadian komplikasi, yaitu A1c <7%. (9,10,11)

Pilar Penatalaksanaan DM (9,10,11)


1. Edukasi
2. Terapi gizi medis
3. Latihan jasmani
4. Intervensi farmakologis
5. Cangkok pankreas

Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani


selama beberapa waktu (24 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum
mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik
oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera
diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan
dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan
yang menurun dengan cepat, dan adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan.
(9,10,11)

1. Edukasi

Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku
telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes
memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan
mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku sehat. Untuk mencapai
keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan

25
upaya peningkatan motivasi. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah
mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan
kepada pasien. Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara
mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus. (9,10,11)

2. Terapi Nutrisi Medis


- Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan
diabetes secara total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara
menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain
serta pasien dan keluarganya). (9,10,11)
- Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai dengan
kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. (9,10,11)
- Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan
anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan
sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masingmasing individu. Pada
penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam
hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang
menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin. (9,10,11)

Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari: (9,10,11)

Karbohidrat
- Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 4565% total asupan energi.
- Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan
- Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi.
- Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes dapat makan
sama dengan makanan keluarga yang lain.

- Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.


- Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak
melebihi batas aman konsumsi harian (Accepted-Daily Intake)

26
- Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam
sehari. Kalau diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau
makanan lain sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.

Lemak (9,10,11)
- Asupan lemak dianjurkan sekitar 2025% kebutuhan kalori. Tidak
diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.

- Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori


- Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal.
- Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak
jenuh dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu penuh (whole
milk).

- Anjuran konsumsi kolesterol <200 mg/hari.

Protein (9,10,11)
- Dibutuhkan sebesar 10 20% total asupan energi.
- Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi,dll), daging
tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan,
tahu, dan tempe.

- Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan pro-tein menjadi 0,8
g/KgBB perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya bernilai

biologiktinggi.

Natrium (9,10,11)
- Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran
untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-7
gram (1 sendok teh) garam dapur.

- Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg.

27
- Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan
pengawet seperti natrium benzoat dan na-trium nitrit.

Serat (9,10,11)
- Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes di-anjurkan
mengonsumsi cukup serat dari kacang-kacangan, buah, dan sayuran serta
sumber karbohidrat yang tinggi serat, karena mengandung vitamin, mineral,
serat, dan bahan lain yang baik untuk kesehatan.
- Anjuran konsumsi serat adalah 25 g/hari.

Pemanis alternative (9,10,11)


- Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak
berkalori. Termasuk pemanis berkalori adalah gula alkohol danfruktosa.
- Gula alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol
danxylitol.
- Dalam penggunaannya, pemanis berkalori perlu diperhitungkan kandungan
kalorinya sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
- Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang diabetes karena efek
samping pada lemak darah.
- Pemanis tak berkaloriyang masih dapat digunakan antara lain aspartam,
sakarin, acesulfame potassium, sukralose, dan neotame.
- Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman (Accepted
Daily Intake / ADI).

Kebutuhan Kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan
penyandang diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan
kalori basal yang besarnya 2530 kalori/kgBB ideal, ditambah atau dikurangi
bergantung pada beberapa faktor seperti: jenis kelamin, umur, aktivitas, berat
badan, dll. (9,10,11)
Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang
dimodifikasi adalah sbb: (9,10,11)

28
Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm 100) x 1 kg.

Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm,
rumus dimodifikasi menjadi :

Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm 100) x 1 kg.


BB Normal : BB ideal 10
% Kurus : < BBI 10 %
Gemuk : > BBI + 10 %

Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT).Indeks


massa tubuh dapat dihitung dengan rumus:

IMT = BB(kg)/TB(m2)
Klasifikasi IMT*

A. BB Kurang < 18,5


B. BB Normal 18,522,9
C. BB Lebih 23,0
*WHO WPR/IASO/IOTF dalam The Asia-Pacific
Perspective:RedefiningObesity and its Treatment.
A. Dengan risiko Obes
23,024,9
B. Obes I 25,029,9
C. Obes II > 30
Faktorfaktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain:
- Jenis Kelamin
Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria. Kebutuhan
kalori wanita sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal/kg BB.
(9,10,11)

- Umur
Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5%
untuk dekade antara 40 dan 59 tahun, dikurangi 10% untuk dekade antara 60
dan 69 tahun dan dikurangi 20%, di atas usia 70 tahun. (9,10,11)

29
- Aktivitas Fisik atau Pekerjaan
Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada
kedaaan istirahat, 20% pada pasien dengan aktivitas ringan, 30% dengan
aktivitas sedang, dan 50% dengan aktivitas sangat berat. (9,10,11)
- Berat Badan
Bila kegemukan dikurangi sekitar 2030% tergantung kepada tingkat
kegemukan. Bila kurus ditambah sekitar 2030% sesuai dengan kebutuhan
untuk meningkatkan BB. Untuk tujuan penurunan berat badan jumlah kalori
yang diberikan paling sedikit 10001200 kkal perhari untuk wanita dan
12001600 kkal perhari untuk pria. (9,10,11)

3. Latihan Jasmani

. Kegiatan jasmani seharihari dan latihan jasmani secara teratur (34 kali
seminggu selama kurang lebih 30 menit). Latihan jasmani selain untuk
menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki
sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah.
Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik
seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani
sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. (9,10,11)
Tabel 2. Aktivitas Sehari-hari

4. Terapi Farmakologi
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan
latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan
bentuk suntikan. (9,10,11)

30
Obat Hipoglikemik Oral
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:
a. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid.
1) Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi
insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien
dengan berat badan normal dan kurang. Namun masih boleh diberikan
kepadapasien dengan berat badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia
berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal
ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjur
kan penggunaan sulfonilurea kerja panjang. (12,13,14)

2) Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,
dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama.
Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam
benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan
cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui
hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial. (12,13,14)

b. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan tiazolidindion.


1) Tiazolidindion
Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator
Activated Receptor Gamma (PPARg), suatu reseptor inti di sel otot dan sel
lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin
dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas IIV karena
dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati.
Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan
pemantauan faal hati secara berkala. (12,13,14)

c. Penghambat glukoneogenesis (metformin).


1) Metformin

31
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.
Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin
dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum
kreatinin >1,5 mg/dL) dan hati, serta pasienpasien dengan kecenderungan
hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, renjatan, gagal
jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk
mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah
makan. Selain itu harus diperhatikan bahwa pemberian metformin secara
titrasi pada awal penggunaan akan memudahkan dokter untuk memantau
efek samping obat tersebut. (12,13,14)
d. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa (Acarbose).
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga
mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose
tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling
sering ditemukan ialah kembung dan flatulens. (12,13,14)
e. DPPIV inhibitor.
Glucagon-like peptide-1(GLP1) merupakan suatu hormon peptida yang
dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa
usus bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP1
merupakan perangsang kuat penglepasan insulin dan sekaligus sebagai
penghambat sekresi glukagon. Namun demikian, secara cepat GLP1 diubah
oleh enzim dipeptidyl peptidase4 (DPP4), menjadi metabolit
(12,13,14)
GLP1(9,36)amide yang tidak aktif.
Sekresi GLP1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan
untuk meningkatkan GLP1 bentuk aktif merupakan hal rasional dalam
pengobatan DM tipe 2. Peningkatan konsentrasi GLP1 dapat dicapai dengan
pemberian obat yang menghambat kinerja enzim DPP4 (penghambat DPP4),
atau memberikan hormon asli atau analognya (analog incretin=GLP1 agonis).
Berbagai obat yang masuk golongan DPP4 inhibitor, mampu menghambat
kerja DPP4 sehingga GLP1 tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk

32
aktif dan mampu merangsang penglepasan insulin serta menghambat
penglepasan glukagon. (12,13,14)

Cara Pemberian OHO, terdiri dari:


- OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai
respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal

- Sulfonilurea: 15 30 menit sebelum makan


- Repaglinid, Nateglinid: sesaat sebelum makan
- Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan
- Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapan pertama
- Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan.
- DPPIV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum makan.

Suntikan
1) Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan: (12,13,14)
- Penurunan berat badan yang cepat
- Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
- Ketoasidosis diabetik
- Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
- Hiperglikemia dengan asidosis laktat
- Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
- Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
- Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali
dengan perencanaan makan

- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat


- Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni: (12,13,14)

33
- Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
- Insulin kerja pendek (short acting insulin)
- Insulin kerja menengah (intermediate actinginsulin)
- Insulin kerja panjang (long acting insulin)
- Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin).
Efek samping terapi insulin: (12,13,14)
- Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia.
- Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang
dapat menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin.

Dasar pemikiran terapi insulin: (12,13,14)


- Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi prandial.
Terapi insulin diupayakan mampu meniru pola sekresi insulin yang
fisiologis.

- Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin basal, insulin prandial


atau keduanya. Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya
hiperglikemia pada keadaan puasa, sedangkan defisiensi insulin prandial
akan menimbulkan hiperglikemia setelah makan. (12,13,14)

Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi


terhadap defisiensi yang terjadi. (12,13,14)

Sasaran pertama terapi hiperglikemia adalah mengendalikan glukosa darah


basal (puasa, sebelum makan). Hal ini dapat dicapai dengan terapi oral
maupun insulin. Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran
glukosa darah basal adalah insulin basal (insulin kerja sedang atau
panjang). (12,13,14)

Penyesuaian dosis insulin basal untuk pasien rawat jalan dapat dilakukan
dengan menambah 24 unit setiap 34 hari bila sasaran terapi belum
tercapai. (12,13,14)

34
Apabila sasaran glukosa darah basal (puasa) telah tercapai,
sedangkan A1C belum mencapai target, maka dilakukan pengendalian
glukosa darah prandial (mealrelated). Insulin yang dipergunakan untuk
mencapai sasaran glukosa darah prandial adalah insulin kerja cepat (rapid
acting) atau insulin kerja pendek (short acting). Kombinasi insulin basal
dengan insulin prandial dapat diberikan subkutan dalam bentuk 1 kali
insulin basal + 1 kali insulin prandial (basal plus), atau 1 kali basal + 2 kali
prandial (basal 2 plus), atau 1 kali basal + 3 kali prandial (basal bolus).
(12,13,14)

Insulin basal juga dapat dikombinasikan dengan OHO untuk


menurunkan glukosa darah prandial seperti golongan obat peningkat
sekresi insulin kerja pendek (golongan glinid), atau penghambat
penyerapan karbohidrat dari lumen usus (acarbose). (12,13,14)

Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan


kebutuhan pasien dan respons individu, yang dinilai dari hasil
pemeriksaan kadar glukosa darah harian. (12,13,14)

- Agonis GLP-1
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP1 merupakan pendekatan baru
untuk pengobatan DM. Agonis GLP1 dapat bekerja sebagai perangsang
penglepasan insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun
peningkatan berat badan yang biasanya terjadi pada pengobatan dengan
insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP1 bahkan mungkin menurunkan
berat badan. Efek agonis GLP1 yang lain adalah menghambat penglepasan
glukagon yang diketahui berperan pada proses glukoneogenesis. Pada
percobaan binatang, obat ini terbukti memperbaiki cadangan sel beta
pankreas. Efek samping yang timbul pada pemberian obat ini antara lain rasa
sebah dan muntah. (12,13,14)

35
Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah,
untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar
glukosa darah. Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila
diperlukan dapat dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO
sejak dini. Terapi dengan OHO kombinasi (secara terpisah ataupun fixed-
combinationdalam bentuk tablet tunggal), harus dipilih dua macam obat dari
kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar
glukosa darah belum tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga OHO dari
kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin. Pada pasien
yang disertai dengan alasan klinis di mana insulin tidak memungkinkan untuk
dipakai, terapi dengan kombinasi tiga OHO dapat menjadi pilihan. (12,13,14)

Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah


kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja
panjang) yang diberikan pada malam hari menjelang tidur. Dengan
pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa
darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin
kerja menengah adalah 610 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian
dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa
keesokan harinya. Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah
sepanjang hari masih tidak terkendali, maka OHO dihentikan dan diberikan
terapi kombinasi insulin. (12,13,14)

Penilaian Hasil Terapi


a. Pemeriksaan kadar glukosa darah. Tujuan pemeriksaan glukosa darah:
- Untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai
- Untuk melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran
terapi. Guna mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pemeriksaan kadar
glukosa darah puasa, glukosa 2 jam post prandial, atau glukosa darah
pada waktu yang lain secara berkala sesuai dengan kebutuhan. (12,13,14)

36
b. Pemeriksaan A1C
Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai
glikohemoglobin, atau hemoglobin glikosilasi (disingkat sebagai A1C),
merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 812
minggu sebelumnya. Tes ini tidak dapat digunakan untuk menilai hasil
pengobatan jangka pendek. Pemeriksaan A1C dianjurkan dilakukan setiap 3
bulan, minimal 2 kali dalam setahun.

37
c. Pemeriksaan Glukosa Urin
Pengukuran glukosa urin memberikan penilaian yang tidak langsung.
Hanya digunakan pada pasien yang tidak dapat atau tidak mau memeriksa
kadar glukosa darah. Batas ekskresi glu-kosa renal rata-rata sekitar 180
mg/dL, dapat bervariasi pada beberapa pasien, bahkan pada pasien yang sama
dalam jangka waktu lama. Hasil pemeriksaan sangat bergantung pada fungsi
ginjal dan tidak dapat dipergunakan untuk menilai keberhasilan terapi. (12,13,14)

d. Pemantauan Benda Keton


Pemantauan benda keton dalam darah maupun dalam urin cukup penting
terutama pada penyandang DM tipe 2 yang terkendali buruk (kadar glukosa
darah>300 mg/dL). Peme-riksaan benda keton juga diperlukan pada
penyandang diabe-tes yang sedang hamil. Tes benda keton urin mengukur
kadar asetoasetat, sementara benda keton yang penting adalah asam beta
hidroksibutirat. Saat ini telah dapat dilakukan pemeriksaan kadar asam beta
hidroksibutirat dalam darah secara langsung dengan menggunakan strip
khusus. Kadar asam beta hidroksibutirat darah <0,6 mmol/L dianggap normal,
di atas 1,0 mmol/L disebut ketosis dan melebihi 3,0 mmol/L indikasi adanya
KAD. Pengukuran kadar glukosa darah dan benda ke-ton secara mandiri,
dapat mencegah terjadinya penyulit akut diabetes, khususnya KAD. (12,13,14)

Kriteria Pengendalian DM
Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diper-lukan
pengendalian DM yang baik yang merupakan sasaran terapi. Diabetes terkendali
baik, apabila kadar glukosa darah mencapai kadar yang diharapkan serta kadar
lipid dan A1C juga mencapai kadar yang diharapkan. Demikian pula status gizi
dan tekanan darah. (12,13,14)

Untuk pasien berumur lebih dari 60 tahun dengan komplikasi, sasaran


kendali kadar glukosa darah dapat lebih tinggi dari biasa (puasa 100-125 mg/dL,
dan sesudah makan 145-180 mg/dL). Demikian pula kadar lipid, tekanan darah,
dan lain-lain, mengacu pada batasan kriteria pengendalian sedang. Hal ini

38
dilakukan mengingat sifat-sifat khusus pasien usia lanjut dan juga untuk
mencegah kemungkinan timbulnya efek samping hipoglikemia dan interaksi
obat. (12,13,14)

Table 3. Target Pengendalian DM

K. Penyulit Diabetes Mellitus


Penyulit Akut
1) Ketoasidosis diabetik (KAD)
Merupakan komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan peningkatan
kadar glukosa darah yang tinggi (300600 mg/dL), disertai dengan adanya
tanda dan gejala asidosis dan plasma keton(+) kuat. Osmolaritas plasma
meningkat (300320 mOs/mL) dan terjadi peningkatan anion gap. (12,13,14)

2) Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH)


Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi
(6001200 mg/dL), tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat
meningkat (330380 mOs/mL), plasma keton (+/), anion gap normal atau
sedikit meningkat. Catatan: kedua keadaan (KAD dan SHH) tersebut
mempunyai angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Memerlukan
perawatan di rumah sakit guna mendapatkan penatalaksanaan yang memadai.
(12,13,14)

39
3) Hipoglikemia

Hipoglikemia dan cara mengatasinya:

- Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60


mg/dL (12,13,14)
- Bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandang diabetes harus selalu
dipikirkan kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Hipoglikemia paling
sering disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia
akibat sulfonilurea dapat berlangsung lama, sehingga harus diawasi
sampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja obat telah habis.
Terkadang diperlukan waktu yang cukup lama untuk pengawasannya
(2472 jam atau lebih, terutama pada pasien dengan gagal ginjal kronik atau
yang mendapatkan terapi dengan OHO kerja panjang). Hipoglikemia pada
usia lanjut merupakan suatu hal yang harus dihindari, mengingat
dampaknya yang fatal atau terjadinya kemunduran mental bermakna pada
pasien. Perbaikan kesadaran pada DM usia lanjut sering lebih lambat dan
memerlukan pengawasan yang lebih lama. (12,13,14)

- Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebar-debar, banyak


keringat, gemetar, dan rasa lapar) dan gejala neuroglikopenik (pusing,
gelisah, kesadaran menurun sampai koma). (12,13,14)

- Hipoglikemia harus segera mendapatkan pengelolaan yang memadai. Bagi


pasien dengan kesadaran yang masih baik, diberikan makanan yang
mengandung karbohidrat atau minuman yang mengandung gula berkalori
atau glukosa 15-20 gram melalui intravena. Perlu dilakukan pemeriksaan
ulang glukosa darah 15 menit setelah pemberian glukosa. Glukagon
diberikan pada pasien dengan hipoglikemia berat. (12,13,14)

- Untuk penyandang diabetes yang tidak sadar, sementara dapat diberikan


glukosa 40% intravena terlebih dahulu sebagai tindakan darurat, sebelum
dapat dipastikan penyebab menurunnya kesadaran. (12,13,14)

40
Penyulit Menahun
1) Makroangiopati (12,13,14)
- Pembuluh darah jantung
- Pembuluh darah tepi: penyakit arteri perifer sering terjadi pada
penyandang diabetes. Biasanya terjadi dengan gejala tipikal claudicatio
intermittent, meskipun sering tanpa gejala. Terkadang ulkus iskemik kaki
merupakan kelainan yang pertama muncul.
- Pembuluh darah otak
2) Mikroangiopati: (12,13,14)
- Retinopati diabetic
- Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko dan
memberatnya retinopati. Terapi aspirin tidak mencegah timbulnya
retinopati

- Nefropati diabetik

- Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan me-ngurangi risiko
nefropati

- Pembatasan asupan protein dalam diet (0,8 g/kgBB) juga akan mengurangi
risikoterjadinya nefropati

3) Neuropati (12,13,14)

- Komplikasi yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer,


berupa hilangnya sensasi distal. Berisiko tinggi untukterjadinya ulkus kaki
dan amputasi.

- Gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri, dan
lebih terasa sakit di malam hari.

- Setelah diagnosis DM ditegakkan, pada setiap pasien perlu dilakukan


skrining untuk mendeteksi adanya polineuropati distal dengan
pemeriksaan neurologi sederhana, dengan monofilamen 10 gram
sedikitnya setiap tahun.

41
- Apabila ditemukan adanya polineuropati distal, perawatan kaki yang
memadai akan menurunkan risiko amputasi.

- Untuk mengurangi rasa sakit dapat diberikan duloxetine, antidepresan


trisiklik, atau gabapentin.

- Semua penyandang diabetes yang disertai neuropati perifer harus diberikan


edukasi perawatan kaki untuk mengurangi risiko ulkus kaki.

L. Pencegahan
Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok
yang memiliki faktor resiko, yakni mereka yang belum terkena tetapi
berpotensi untuk mendapat DM dan kelompok intoleransi glukosa. Materi
penyuluhan meliputi program penurunan berat badan, diet sehat, latihan
jasmani dan menghentikan kebiasaan merokok. Perencanaan kebijakan
kesehatan ini tentunya diharapkan memahami dampak sosio-ekonomi
penyakit ini, pentingnya menyediakan fasilitas yang memadai dalam
upaya pencegahan primer. (12,13,14)
Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat
timbulnya penyulit pada pasien yang telah menderita DM. Program ini
dapat dilakukan dengan pemberian pengobatan yang cukup dan tindakan
deteksi dini penyulit sejak awal pengelolaan penyakit DM. Penyulihan
ditujukan terutama bagi pasien baru, yang dilakukan sejak pertemuan
pertama dan selalu diulang pada setiap pertemuan berikutnya. Pemberian
antiplatelet dapat menurunkan resiko timbulnya kelainan kardiovaskular
pada penyandang diabetes. (12,13,14)

42
Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang diabetes yang


telah mengalami penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan
lebih menlanjut. Pada pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan
kepada pasiendan juga kelurganya dengan materi upaya rehabilitasi yang
dapat dilakakukan untuk mencapai kualitas hidup yang optimal. Upaya
rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini mungkin sebelum kecacatan
menetap, misalnya pemberian aspirin dosis rendah 80-325 mg/hari untuk
mengurangi dampak mikroangiopati. Kolaborasi yang baik antar para ahli
di berbagai disiplin, jantung, ginjal, mata, bedah ortopedi, bedah vaskular,
radiologi, rehabilitasi medik, gizi, pediatrist dll sangat diperlukan untuk
menunjang keberhasilan pencegahan tersier. (12,13,14)

43
BAB III
LAPORAN KASUS
1. Kasus
Identitas pasien
Nama : Ny. L
Umur : 42 tahun
Pekerjaan : IRT
Alamat : Tondo
Pendidikan terakhir : SMA
Agama : ISLAM
Tanggal pemeriksaan : 22/ 02/ 2017
Ruangan : Pav. Seroja

ANAMNESIS
Keluhan Utama: Muntah
Riwayat penyakit sekarang: os datang dengan keluhan muntah banyak
kali berupa air campur makanan dan tidak ada darah. Muntah disertai
demam dan menggigil sejak 3 hari yang lalu. BAK tidak lancar, os juga
mengeluhkan tidak puas saat BAK. Nyeri saat BAK disangkal. Os
mengeluhkan susah tidur dan kram pada kedua kaki. Sakit kepala
disangkal, sakit dada disangkal, batuk disangkal, flu disangkal, sakit perut
disangkal, BAB biasa.

Riwayat penyakit dahulu: Riwayat menderita diabetes mellitus sejak 1


tahun yang lalu, riwayat hipertensi dan riwayat infeksi saluran kemih
positif. Riwayat konsumsi obat metformin 500 mg (+), glibenklamid 5 mg
(+) dan captopril 25 mg (+).

Riwayat penyakit keluarga:


Hipertensi (-)
Diabetes mellitus (+)

44
Penyakit jantug koroner (-)

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum:
SP : CM /SS/ GB
BB : 78 kg
TB : 162 cm
IMT : 29,72 kg/m2

Vital sign
Tekanan darah : 150/110 mmHg
Nadi : 96 kali/ menit
Pernafasan : 24 kali/ menit
Suhu : 37,7C

KEPALA
Wajah : simetris bilateral, DBN.
Deformitas : tidak ada.
Bentuk : normocephal.

MATA
Conjungtiva : anemis (-)/(-).
Sklera : ikterus (-)/(-).
Pupil : Isokor 2,5 mm / 2,5 mm, RCL/ RCTL (+)/(+).
Mulut : Lidah Kotor (-), sianosis (-).

LEHER
Kelenjar GB : tidak ada pembesaran.
Tiroid : tidak ada pembesaran.
JVP : tidak ada peningkatan.
Massa : tidak ada

45
DADA
Paru- paru
Inspeksi : simetris bilateral.
Palpasi : vocal fremitus kanan = kiri.
Perkusi : sonor seluruh lapang paru.
Auskultasi : vesikular (+)/(+), rhonki (-)/(-), wheezing (-)/(-).
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak.
Palpasi : ictus cordis teraba.
Perkusi
Batas atas : SIC II linea parasternal sinistra.
Batas kanan : SIC IV line parasternal dextra.
Batas Kiri : SIC V linea midclavicularis sinistra.
Auskultasi : BJ I/II murni reguler, murmur (-), gallop (-).
Perut
Inpeksi : kesan datar, tidak tampak penonjolan.
Auskultasi : peristaltik (+), kesan normal.
Perkusi : timpani (+), kesan normal.
Palpasi : nyeri tekan abdomen(+) regio suprapubik(+).
Anggota Gerak
Atas : Akral hangat (+), edema (-)/(-)
Bawah : Akral hangat (+), edema (-)/(-),

Pemeriksaan khusus
Tidak ada

RESUME
Pasien perempuan usia 42 tahun MRS dengan keluhan utama vomitus
berupa air campur makanan dengan frekuensi sering, dirasakan 3 hari
SMRS. Vomitus disertai demam dan menggigil. BAK tidak lancar dan
tidak puas. Susah tidur positif dan kram pada kedua kaki positif.

46
Hasil pengukuran tanda-tanda vital: tekanan darah: 150/110 mmHg,
pernafasan: 24 kali/ menit, nadi: 96 kali/ menit, suhu: 37,7C. Hasil
pemeriksaan fisik ditemukan nyeri tekan abdomen di regio suprapubik.

DIAGNOSA KERJA
DM tipe II
Neuropati DM
Hipertensi Grade I
Susp. ISK relaps.
DIAGNOSA BANDING
Hiperglikemia reaktif
Pre diabetes

USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG


- Pemeriksaan gula darah sewaktu
- Pemeriksaan glukosa darah puasa dan 2 jam post prandial
- Pemeriksaan HbA1c
- Pemeriksaan profil lipid pada keadaan puasa (Kolesterol total, HD, LDL,
trigliserida)
- Pemeriksaan kadar kreatinin serum.
- Pemeriksaan albuminuria, keton, sedimen, dan protein dalam urin
- Elektrokardiografi
- Foto thorax sinar-x

PENATALAKSANAAN
Non-medikamentosa
1. Diet kalori 900 kkal/hari
2. Diet lemak 280 mg/hari
3. Diet protein 200 mg/hari
4. Diet natrium 2400 mg/hari
5. Diet serat 25 gram/hari

47
Medikamentosa
22/02/2017
IVFD RL 28 tpm.
Ketorolac inj 1 amp/12 jam/iv
Novorapid 10-10-10
Amlodipin 5 mg 1-0-0
Paracetamol 500 mg 3x1
Metformin 500 mg 3x1

HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG


Lab:
Hasil pemeriksaan darah rutin:
22/02/2017

PLT 457.103 /mm3

HCT 78,2 %

WBC 8.103/mm3

RBC 7,42.106/mm3

HGB 16,7 g/dL

GDS 278 mg/dl

Radiologi: -
EKG: -
Pemeriksaan lainnya: -

48
Tabel Follow up hasil Pemeriksaan Gula Darah Sewaktu.

22/01/2017 23/01/2017 24/01/2017


278 mg/dl 231 mg/dl 197 mg/dl

DIAGNOSIS AKHIR:

DM tipe II

PROGNOSIS:
Dubia ad Bonam.

49
BAB IV
DISKUSI
Keluhan utama pada pasien ini adalah muntah. Keluhan ini dapat menjadi
gejala yang berhubungan keluhan klasik DM yakni poliuria, polifagi dan polidipsi
dan juga keluhan ini dapat berdiri sendiri yang tidak berhubungan dengan DM.
Pasien dengan keluhan klasik poliuria dapat menyebabkan dehidrasi atau
kekurangan cairan sehingga pasien cendering dapat mengalami gangguan
elektrolit. Pasien dengan keluhan muntah biasanya disebabkan oleh diare sehingga
cenderung pasien mengaami gangguan elektrolit. Hal ini sesuai dengan apa yang
disampaikan oleh Sudoyo dalam Buku Panduan Praktik Klinis Perhimpunan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) tahun 2015.

Pada riwayat penyakit sekarang, pasien selain mengalami muntah juga


mengalami demam, BAK tidak lancar, dan tidak puas saat BAK.. Pasien juga
mengeluhkan kedua kaki keram, BAB biasa. Dari data tersebut, pasien ini
kemungkinan menderita infeksi saluran kemih. Namun, ISK pada pasien ini
berdiri sendiri tanpadipengaruhi sebelumnya oleh DM.
Pada riwayat penyakit dahulu, pasien telah menderita diabetes mellitus
sejak 1 tahun yang lalu dengan riwayat hipertensi dan riwayat infeksi saluran
kemih positif. Riwayat konsumsi obat metformin 500 mg (+), glibenklamid 3 mg
(+) dan captopril 25 mg (+). Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh
Kementrian Kesehatan RI tahun 2014 dan American Diabetic Association tahun
2017 mengenai faktor risiko terjadinya DM salah satunya adalah hipertensi.
Pada riwayat penyakit keluarga, pasien memiliki ibu yang menderita DM.
Hal ini juga menjadi faktor risiko DM berupa faktor risiko yang tidak dapat
diobati sebagaimana yang disebutkan oleh Kementrian Kesehatan RI tahun 2014
dan American Diabetic Association tahun 2017.
Anamnesis pasien DM berdasarkan American Diabetic Association tahun
2017 antara lain:

1. Usia dan karaktersitik dari onset DM (ketoasidosis diabetik dan temuan lab
yang asimptomatis.

50
2. Pola makan, status nutrisi, riwayat perubahan berat badan, kebiasaan tidur
(pola dan durasi), dan kebiasaan aktivitas fisik, edukasi nutrisi dan riwayat
kebasan mendukung dan membutuhkan.
3. Penggunaan obat pelengkap dan alternatif
4. Adanya komorrbiditas umum dan penyakit gigi
5. Pemantauan depresi, cemas, dan gangguan makan menggunakan pengukuran
yang valid dan sesuai
6. Pematuan distres diabetes menggunakan pengukuran yang valid dan sesuai.
7. Pemantauan untuk penyait psikis dan penghaang untuk manajemen diabetes,
misalnya terbatasnya finansial, logistik, dan dukungan.
8. Riwayat menggunakan alkohol, merokok, dan substansi terlarang
9. Edukasi diabetes, manajemen diri, dan dukungan.
10. Melihat kembali regimen terapi dan efek dari terapi itu
11. Menilai kebiasaaan minum obat dan penghalang minum obat
12. Hasi monitoring glukosa dan data yang digunakan oleh pasien
13. Penyebab, keparahan dan frekuensi ketoasidosis diabetik
14. Episode hipoglikemia, kesadaran, frekuensi dan penyebabnya
15. Riwayat peningkatan tekanan darah dan abnormal lipid
16. Komikasi mikrovaskular, misalnya retinopati, nefropati, neuropati (sensorik
termasuk adanya lesi di kaki, autonom termasuk sidfungsi seksual dan
gastroparesis).
17. Komplikasi makrovaskular: penyakit jantung koroner, penyakit
serebrovaskular, penyakit arteri perifer.
18. Pada wanita dengan kapasitas childbearing, tinjau kembali kontrasepsi dan
rencana prekonsepsi.

Sedangkan anamnesis pasien DM berdasarkan Buku Panduan Praktik


Klinis Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) tahun
2015 antara lain:

a. Adanya gejala klasik yang timbu, misalnya poliuria, polifagi dan polidipsi
serta adanya penurunan berat badan yang tidak diketahui penyebabnya.

51
Kadang pasien juga mengeluhkan adanya rasa gata, penglihatan kabur, lemah
badan, pruritus vulva pada wanita dan disfungsi ereksi pada pria.
b. Hasil pemeriksaan laboratorium yang terdahulu meliputi glukosa darah,
HbA1c, dan hasi pemeriksaan khusus yang terkait DM.
c. Pola makan, status nutrisi, dan riwayat perubahan berat badan.
d. Riwayat tumbuh kembang pada pasien anak atau dewasa muda.
e. Pengobatan yang pernah dilakukan sebelumnya secara lengkap termasuk
terapi gizi medis dan penyuluhan yag telah diperoleh tentangn perawatan DM
secara mandiri, serta kepercayaan yang diiikuti dalam bidang terapi
kesehatan.
f. Pengobatan yang sedang dijalani, teemsuk obat yang digunakan, perencanan
makan dan program latihan jasmani.
g. Riwayat kompikasi akut seperti ketoasidosis diabetik, hiperosmolar
hiperglikemik dan hipoglikemia.
h. Riwayat infeksi sebelumnya, terutama infeks kulit, gigi, traktus urinarius dan
kaki.
i. Gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik misalnya komplikasi pada
ginjal, jantung, susunan saraf, mata, dan saluran pencernaan.
j. Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa darah.
k. Faktor risiko misalnya merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung
koroner, obesitas, dan riwayat penyakit keluarga termasuk penyakit DM dan
endokrin lain.
l. Riwayat penyakit dan pengobatan di luar DM.
m. Pola hidup, budaya, psikososial, pendidikan, dan setatus ekonomi.
n. Kehidupan seksual, pengunaan kontrasepsi, dan kehamilan.

Pada pemeriksaan fisik, indeks massa tubuh pasien ini adalah 29,72 kg/m2
yang menunjukkan bahwa pasien ini mengalami obesitas 1 menurut klasifikasi
obesitas menurut WHO.
Pada pemeriksaan tanda vital, tekanan darah pada pasien ini adalah 150/80
mmHg yang membuktikan bahwa pasien memang memiliki riwayat hipertensi

52
dan telah mengkonsumsi obat antihipertensi. Suhu pasien adalah 37,7C
menunjukkan bahwa pasien ini mengalami demam yang dinilai secara objektif.
Demam ini merupakan salah satu gejala klinis infeksi saluran kemih yang
menunjukkan adanya infeksi bakteri khususnya Escherichia coli yang merupakan
bakteri gram negatif.
Pemeriksaan fisik pasien DM berdasarkan American Diabetic Association
tahun 2017 antara lain:

1. Berat badan, tinggi badan, IMT, pertumbuhan, perkembangan pubertas, pada


anak dan dewasa
2. Pengukuran tekanan darah, termasuk hipotensi ortostatik
3. Pemeriksaan funduskopi
4. Pemeriksaan kelenjar tiroid
5. Pemeriksaan kulit (termasuk acantosis nigricans, bekas injeksi insulin, atau
bekas injeksi infus).
6. Pemeriksaan kaki secara komprehensif:
A. Inspeksi
B. Palpasi pulsasi arteri dorsalis pedis dan arteri tibialis posterior
C. Ada tidaknya refleks patellar dan Achilles
D. Penentuan sensasi proprioseptif, vibrasi dan monofilamen.

Pada pemeriksaan penunjang, yaitu pemeriksaan GDS selama 3 hari


berturut-turut adalah 278, 231 dan 197 mg/dl. berdasarkan Perhimpunan
Endokrinologi Indonesia (PERKENI) tahun 2011, pendekatan diagnosis DM tipe
II adalah dengan adanya gejala klasik berupa poliuria, polifagi, polidipsi dan
penurunan berat badan yang tidak jelas ditambah GDS 200 mg/dl atau adanya
gejala klasik ditambah GDP 126 mg/dl atau adanya gejala klasik ditambah
G2PP 200 mg/dl. Pasien ini didiagnosis sebagai DM tipe II karena awalnya
sebelum pasien masuk rumah sakit, pasien memiliki gejala kasik DM dan kadar
glukosa darah sewaktunya pada pemeriksaan saat itu 227 mg/dl.

53
Rekomendasi American Diabetic Association (ADA) tahun 2017
mengenai kontrol glukosa darah adalah sebagai berikut:
1. Kebanyakan pasien yang menggunakan rejimen insulin intensif (insulin
mutipel dosis atau terapi pompa insulin) harus melakukan self-monitoring
glukosa darah (SMBG) sebelum makan, sebelum tidur, kadang-kadang
setelah makan, sebelum latihan, ketika mereka menduga glukosa darah nya
rendah, setelah mengobati glukosa darah rendah sampai mereka
normoglikemia, dan sebelum tugas-tugas penting seperti mengemudi.
2. Ketika diresepkan sebagai bagian dari program pendidikan yang luas, SMBG
dapat membantu untuk memandu keputusan pengobatan dan / atau
pengelolaan diri untuk pasien yang memakai suntikan insulin kurang sering
atau terapi noninsulin.
3. Ketika SMBG diresepkan, hal ini untuk memastikan bahwa pasien menerima
instruksi yang sedang berlangsung dan evaluasi secara berkala mengenai
teknik SMBG, hasil SMBG, dan kemampuan mereka untuk menggunakan
data SMBG untuk menyesuaikan terapi.
4. Ketika digunakan dengan benar, pemantauan glukosa kontinyu (CGM) dalam
hubungannya dengan regimen insulin intensif adalah alat yang berguna untuk
menurunkan A1C lebih rendah pada orang dewasa tertentu (berusia 25 tahun)
dengan diabetes tipe 1.
5. Meskipun bukti penurunan A1C kurang kuat pada anak-anak, remaja, dan
orang dewasa muda, CGM dapat membantu dalam kelompok-kelompok ini.
Sukses berkorelasi dengan kepatuhan terhadap penggunaan berkelanjutan dari
perangkat.
6. CGM mungkin menjadi alat yang berguna pada mereka dengan
ketidaksadaran akan hipoglikemia dan / atau hipoglikemik episode sering.
7. Mengingat kepatuhan variabel untuk CGM, menilai kesiapan individu untuk
melanjutkan penggunaan CGM sebelum diresep.
8. Ketika resep CGM, pendidikan diabetes yang kuat, pelatihan, dan dukungan
diperlukan untuk pelaksanaan CGM optimal dan penggunaan berkelanjutan.

54
9. Orang-orang yang telah berhasil menggunakan CGM harus terus diakses
setelah mereka berpaling 65 tahun.
Berdasarkan American Diabetic Association (ADA) tahun 2017, kriteria
untuk melakukan tes untuk diabetes atau prediabetes pada orang dewasa yang
asimptomatis:
1. Tes yang harus dipertimbangkan pada pasien yang obesitas (IMT >25
kg/m2, atau IMT >23 kg/m2 pada orang dewasa Asia dan Amerika) yang
memiliki 2 atau lebih faktor risiko sebagai berikut:
A. A1c 5,8%, IGT, IFG pada tes sebelumnya.
B. Derajat pertama relatif dengan diabetes
C. Ras atau etnik yang berisiko tinggi (Amerika Afrika, Latin, Asia
Amerika, Amerika asli, Pulau Pasifik)
D. Perempuan yang didiagnosis dengan DM gestasional.
E. Riwayat penyakit kardiovaskular.
F. Riwayat hipertensi (140/90 mmHg atau riwayat terapi
hipertensi).
G. Kolesterol HDL <35 mg/dl dan/atau trigliserida >250 mg/dl.
H. Perempuan dengan sindrom ovarian polikistik.
I. Inaktivitas fisik.
J. Kondisi klinis lain yang berhubungan dengan resistensi insulin.
2. Untuk semua pasien, tes harus dimulai pada usia 45 tahun.
3. Jika hasil normal, tes harus diulang interval minimal 3 tahun dengan
pertimbangan 1 atau lebih tes yang bergantung pada hasil inisial (misalnya
mereka dengan prediabetes harus dites setiap tahun) dan status berisiko.

American Diabetic Association tahun 2017 merekomendasikan


diet, aktivitas fisik dan kebiasaan pada pasien dengan obesitas antara lain:

1. Diet, aktivitas fisik, dan terapi perilaku yang dirancang untuk mencapai
penurunan berat badan >5% harus diresepkan untuk pasien kelebihan berat
badan dan obesitas dengan diabetes tipe 2 siap untuk mencapai kehilangan
berat badan.

55
2. Intervensi tersebut harus intensitas tinggi (16 sesi dalam 6 bulan) dan
fokus pada diet, aktivitas fisik, dan strategi perilaku untuk mencapai 500-
750 kkal defisit energi / hari.
3. Diet harus individual, seperti orang-orang yang memberikan pembatasan
kalori yang sama tetapi berbeda dalam protein, karbohidrat, dan lemak
sama-sama efektif dalam mencapai penurunan berat badan.
4. Untuk pasien yang mencapai tujuan penurunan berat badan jangka pendek,
jangka panjang (1 tahun) program pemeliharaan berat badan yang
komprehensif harus diresepkan. Seperti program harus menyediakan
setidaknya kontak bulanan dan mendorong pemantauan berkelanjutan
berat badan (mingguan atau lebih sering), terus diet konsumsi kalori
berkurang, dan partisipasi dalam tingkat aktivitas fisik tinggi (200-300
min / minggu).
5. Untuk mencapai berat badan dari >5%, Jangka pendek (3 bulan) intervensi
bahwa penggunaan sangat diet rendah kalori (800 kkal / hari) dan jumlah
makanan pengganti mungkin diresepkan untuk pasien yang dipilih secara
hati-hati oleh praktisi medis terlatih dengan pengaturan perawatan medis
pemantauan medis secara dekat. Untuk menjaga kehilangan berat badan,
program tersebut harus memasukkan konseling pemeliharaan berat badan
komprehensif jangka panjang.
ADA tahun 2017 juga memberikan rekomendasi tentang
farmakoterapi pada pasien DM dengan obesitas:
1. Metformin, jika tidak kontraindikasi dan jika ditoleransi, adalah awal agen
farmakologis yang lebih disukai untuk pengobatan diabetes tipe 2
Penggunaan jangka panjang dari metformin mungkin dikaitkan dengan
biokimia kekurangan vitamin B12, dan periode pengukuran tingkat
vitamin B12 harus dipertimbangkan dalam pasien yang diobati dengan
metformin, terutama pada mereka dengan anemia atau neuropati perifer.
2. Pertimbangkan memulai terapi insulin (Dengan atau tanpa agen tambahan)
pada pasien dengan yang baru didiagnosis diabetes tipe 2 yang simtomatik

56
dan / atau memiliki A1C 10% (86 mmol / mol) dan / atau glukosa darah
tingkat 300 mg / dL (16,7 mmol / L).
3. Jika monoterapi noninsulin pada dosis maksimal ditoleransi tidak
mencapai atau mempertahankan target A1C setelah 3 bulan, maka
ditambahkan agen oral kedua, suatu glukagon-like peptide 1 reseptor
agonis, atau insulin basal.
4. Pendekatan berpusat pada pasien harus digunakan untuk memandu pilihan
agen farmakologis. Pertimbangan ini termasuk khasiat, risiko
hipoglikemia berdampak pada berat badan, potensi efek samping, biaya,
dan preferensi pasien.
5. Untuk pasien dengan diabetes tipe 2 yang tidak mencapai tujuan glikemik,
terapi insulin tidak seharusnya ditunda.
6. Pada pasien dengan lama diabetes tipe 2 kurang optimal dikendalikan dan
mendirikan aterosklerotik penyakit kardiovaskular, empagliflozin atau
liraglutide harus dipertimbangkan pada mereka telah terbukti mengurangi
risiko kardiovaskular dan semua penyebab kematian saat ditambahkan ke
perawatan standar. Studi terus-menerus sedang menyelidiki manfaat
kardiovaskular dari agen lain pada golongan obat ini.

Menurut Sudoyo et al, 2014 dalam buku ajar ilmu penyakit dalam
edisi VI bahwa diabetes melitus adalah suatu kumpulan penyakit
metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan
kerja insulin, sekresi insulin atau kedua-duanya. DM diklasifikasikan
menjadi 4 bagian besar, yaitu DM tipe 1, DM tipe II, DM tipe lain dan DM
gestasional. DM tipe I terjadi karena adanya destruksi sel beta pankreas,
yang mengarah ke defisiensi insulin absolut dimana hal ini dapat terjadi
melalui proses imunologis dama sekali tidak diketahui penyebabnya
(idiopatik). DM tipe II terjadi karena beberapa etiologi yang bervariasi,
mulai dari yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin
relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama
resistensi insulin. DM tipe lain disebabkan oleh beberapa etiologi,

57
misalnya adanya defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin,
penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, karena obat/zat kimia, infeksi,
imunologi dan sindrom genetik lain. DM gestasional merupakan DM yang
terjadi pada saat sedang hamil.

Menurut Kementrian Kesehatan RI tahun 2014, faktor risiko


diabetes melitus bisa dikelompokkan menjadi faktor risiko yang tidak
dapat dimodifikasi dan yang dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang tidak
dapat dimodifikasi adaah ras, etnik, umur, jenis kelamin, riwayat keluarga
DM, riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lebih dari 4000 gram
dan riwayat lahir dengan berat badan lahir rendah (<2500 gram).
Sedangkan faktor risiko yang dapat dimodifikasi erat kaitannya dengan
perilaku hidup yang tidak sehat, yaitu berat badan lebih, obesitas
sentral/abdominal, kurangnya aktivitas fisik, hipertensi, dislipidemia, diet
tidak sehat/tidak seimbang, riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT)
atau glukosa darah puasa terganggu (GDP terganggu) dan merokok.
Menurut Hawkins dan Rossetti tahun 2005, Leahy 2005 dan
Nathan, et al, tahun 2008, Diabetes mellitus merupakan penyakit yang
disebabkan oleh adanya kekurangan insulin secara relatif maupun absolut.
Defisiensi insulin dapat terjadi melalui 3 jalan, yaitu:
a. Rusaknya sel-sel B pankreas karena pengaruh dari luar (virus, zat
kimia, dll)
b. Desensitasi atau penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pancreas.
c. Desensitasi atau kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer.
Selain itu, Hawkin et al, juga memaparkaalam patofisiologi DM tipe
2 terdapat beberapa keadaan yang berperan yaitu:

- Resistensi insulin
- Disfungsi sel B pancreas
DM tipe 2 mungkin mencakup berbagai gangguan dengan fenotipe
umum dari hiperglikemia.

- Pertimbangan Genetik

58
DAFTAR PUSTAKA

1. American Diabetes Association; Standards of Medical Care in Diabetes


2014. American Diabetes Association. Diabetes Care Volume 38,
Supplement 1, January 2015. USA.
2. American Diabetes Association (ADA) Diabetes Guidelines Summary
Recommendations from NDEI. 2016.
3. Foster DW, et al. Diabetes melitus. Dalam: Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu
Penyakit Dalam. Asdie, A, editor. Volume 5. Jakarta : EGC, 2000; 2196.
4. Gustaviani R. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam: Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor.
Jilid III. Edisi V. Jakarta : balai penerbit FKUI, 2009.
5. Harding, Anne Helen et al. Dietary Fat and Risk of Clinic Type Diabetes.
American Journal of Epidemiology.2003;15(1);150-9.
6. Hawkins M, Rossetti L. Insulin Resistance and Its Role in the
Pathogenesis of Type 2 Diabetes. In : Kahn CR, King GL, Moses AC,
Weir GC, Jacobson AM, Smith RJ (Eds) Joslins Diabetes Mellitus.
Lippincott Williams & Wilkin. Philadelphia. Pg 425-448, 2005
7. Leahy JL. B-cell Dysfunction in Type 2 Dia betes In: Kahn CR, King GL,
Moses AC, Weir GC, Jacobson AM , Smith RJ (Eds) Joslins Diabetes
Mellitus. Lippincott Williams & Wilkin. Philadelphia. Pg 449-462, 2005
8. Nathan MN, Buse JB, Mayer BD, Ferrannini E, Holman RR, Sherwin R et
al. Medical management of Hyperglycemia in Type 2 Diabetes A
consensus Algorithm for the Initiation and Adjustment of Therapy. A
consensus statement of the American Diabetes Association and the
European Association for the Study of Diabetes. Diabetes Care 2008;
31:1-11.
9. PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe
2 di Indonesia. 2011. Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia. Jakarta. 2011.

59
10. Persi, et al. Faktor Lingkungan dan Gaya Hidup Berperan Besar Memicu
Diabetes. 2008.
11. Price, Sylvia Aderson. Pankreas: Metabolisme glukosa dan diabetes
mellitus. Patofisiologi : Konsep dan proses-proses klinis. Sylvia Anderson
price, Lorraine Mc Carty Wilson; alih bahasa, Brahm U.
Pendit[et.al.]editor bahasa Indonesia Edisi 6. Jakarta; 2014; hal.1259
12. Soegondo S, et al. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes
Melitus tipe 2 di Indonesia 2011. Jakarta : PERKENI, 2011
13. Teixeria L. Regular physical exercise training assists in preventing type 2
diabetes development: focus on its antioxidant and anti-inflammantory
properties. Biomed Central Cardiovascular Diabetology. 2011; 10(2);1-15.
14. Waspadji S, et al. Komplikasi kronik diabetes: mekanisme terjadinya,
diagnosis dan strategi pengelolaannya. Dalam : buku ajar ilmu penyakit
dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor. Jilid III. Edisi IV.
Jakarta : balai penerbit FKUI, 2006.
15. American Diabetes Association; Standards of Medical Care in Diabetes
2017. American Diabetes Association. Diabetes Care Volume 38,
Supplement 1, January 2017. USA.
16. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Waspada Diabetes Eat
Wel Life Well. Situasi dan Analisis Diabetes. Infodatin: Pusat Data dan
Informasi Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

60

Anda mungkin juga menyukai