Anda di halaman 1dari 32

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Hiperglikemia adalah suatu kondisi medik berupa peningkatan kadar glukosa
dalam darah melebihi batas normal. Hiperglikemia merupakan salah satu tanda
khas penyakit diabetes mellitus (DM), meskipun juga dapat dijumpai pada
beberapa keadaan yang lain.1 Menurut American Diabetes Association (ADA)
2010, Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau kedua-duanya.2,3
Saat ini penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan
peningkatan angka insidensi dan prevalensi DM tipe-2 di berbagai penjuru dunia.
Menurut survei yang di lakukan oleh World Health Organization (WHO) tahun
2012, lebih dari 347 juta penduduk dunia menderita diabetes. 1 Diperkirakan pada
tahun 2030, DM akan menjadi 7 penyebab kematian utama di dunia dan diabetes
akan meningkat dua pertiganya antara tahun 2008 sampai 2030. 4 WHO
memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada
tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Berdasarkan data dari
Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penyadang diabetes pada tahun 2003
sebanyak 13,7 juta orang dan berdasarkan pola pertambahan penduduk
diperkirakan pada 2030 akan ada 20,1 juta penyandang DM dengan tingkat
prevalensi 14,7 persen untuk daerah urban dan 7,2 persen di rural.5
Apabila tidak ditangani dengan baik DM akan menimbulkan berbagai macam
komplikasi, baik akut maupun kronik. Salah satu komplikasi kronis yang serius
dan paling ditakuti adalah ulkus diabetikum atau gangren kaki diabetik.4 Studi
sebelumnya menyatakan bahwa pasien diabetes memiliki 25% resiko terjadinya
ulkus diabetikum. Insidensi terjadinya ulkum diabetikum di Amerika Serikat dan
Inggris adalah 10%.6 Prevalensi penderita ulkus diabetikum di Indonesia sekitar
15%, angka mortalitas 32% dan ulkus diabetikum merupakan sebab perawatan
rumah sakit yang terbanyak sebesar 80% untuk DM.7
3

Ulkus diabetikum terjadi karena hiperglikemia yang berkepanjangan


mengakibatkan perubahan struktur pembuluh darah perifer (angiopati) yang
mengakibatkan berkurangnya suplai darah ke arah distal khususnya pada
ekstremitas bagian bawah sehingga terjadi ulkus di kaki.8,9 Apabila telah terjadi
ulkus yang lama, tidak dilakukan penatalaksanaan dan tidak sembuh, maka terjadi
peningkatan resiko progresi luka yang dapat menyebabkan amputasi. Pada studi
sebelumnya menyatakan bahwa amputasi terjadi pada 85% kasus ulkus
diabetikum,10 Setidaknya 40% amputasi pada pasien diabetes dapat dicegah
dengan perawatan luka.11 Berdasarkan hal di atas, penulis menyajikan laporan
kasus tentang diabetes mellitus dan ulkus diabetikum.

1.2. Rumusan Masalah


Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam laporan kasus ini adalah
Bagaimana gambaran klinis dan penatalaksanaan serta perjalanan penyakit pasien
yang mengalami diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi ulkus diabetikum?

1.3. Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan laporan kasus ini diantaranya :
1. Untuk memahami tinjauan ilmu teoritis tentang DM tipe 2 dan ulkus
diabetikum.
2. Untuk mengintegrasikan ilmu kedokteran terhadap kasus DM tipe 2 dan
ulkus diabetikum pada pasien secara langsung.
3. Untuk memahami perjalanan penyakit pada pasien DM tipe 2 dan ulkus
diabetikum.

1.3. Manfaat Penulisan


Manfaat yang diharapkan dari penulisan laporan kasus ini diantaranya:
1. Memperkokoh landasan teoritis ilmu kedokteran di bidang ilmu penyakit
dalam, khususnya mengenai DM tipe 2 dan ulkus diabetikum.
2. Sebagai bahan informasi bagi pembaca yang ingin mendalami lebih lanjut
topik – topik yang berkaitan dengan DM tipe 2 dan ulkus diabetikum.
4

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus Tipe 2


2.1.1 Definisi
Diabetes melitus tipe 2 atau lebih sering disebut juga dengan DM tipe 2 atau
penyakit gula atau kencing manis merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau kedua-duanya.1 World Health Organization (WHO) sebelumnya
juga telah merumuskan bahwa DM tipe 2 merupakan sesuatu yang tidak dapat
dituangkan dalam suatu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum dapat
dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi akibat dari
sejumlah faktor dimana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan
gangguan fungsi insulin.12

2.1.2 Epidemiologi dan Faktor Resiko


Jumlah penduduk di Indonesia saat ini diperkirakan mencapai 240 juta. Menurut
data RISKESDAS 2007, prevalensi nasional penderita DM tipe 2 di Indonesia
untuk usia di atas 15 tahun sebesar 5,7%. Berdasarkan data dari International
Diabetes Federation (IDF) 2014, saat ini diperkiraan 9,1 juta orang penduduk
didiagnosis sebagai penyandang DM tipe 2. Dengan angka tersebut Indonesia
menempati peringkat ke-5 di dunia, atau naik dua peringkat dibandingkan data
IDF tahun 2013 yang menempati peringkat ke-7 di dunia dengan 7,6 juta orang
penyandang DM tipe 2.1
Dalam suatu penelitian menyebutkan bahwa penduduk Indonesia dengan
usia 65 tahun akan bertambah dari 7,1 juta pada tahun 1990 menjadi 18,5 juta
pada tahun 2020. Jadi, selama 30 tahun itu jumlah penduduk dengan usia lanjut
akan bertambah sebanyak 11,4 juta. Kekerapan diabetes pada usia lanjut jauh
lebih tinggi, yaitu 4 kali lipat dari rata-rata.13
Dari angka-angka tersebut, dapat dilihat bahwa dalam kurun waktu 30 tahun
penduduk Indonesia akan naik sebesar 40% dengan peningkatan jumlah pasien
5

diabetes yang jauh lebih besar yaitu 86-138% yang disebabkan oleh berbagai
faktor, seperti:13
1. Faktor demografi
Hal ini dipengaruhi oleh jumlah penduduk yang meningkat, penduduk usia
lanjut bertambah banyak serta urbanisasi yang tidak terkendali.
2. Gaya hidup yang ke barat-baratan
Hal ini dipengaruhi oleh penghasilan per kapita yang tinggi, restoran siap
santap, dan teknologi canggih yang menimbulkan sedentary life atau
kurangnya pergerakan badan.
3. Berkurangnya penyakit infeksi dan kurang gizi
4. Meningkatnya pelayanan kesehatan hingga umur pasien diabetes menjadi
lebih panjang.
Beberapa faktor yang diketahui dapat mempengaruhi DM tipe 2 antara lain:14
a. Kelainan genetik
Diabetes dapat menurun menurut silsilah keluarga yangmengidap diabetes,
karena gen seperti alel TCF7L2, yang mengakibatkan tubuh tidak dapat
menghasilkan insulin dengan baik.
b. Usia
Umumnya penderita DM tipe 2 mengalami perubahan fisiologi secara
drastis. DM tipe 2 sering muncul setelah usia 30 tahun ke atas dan pada
mereka yang berat badannya berlebihan, yang menyebabkan tubuhnya tidak
peka terhadap insulin.
c. Gaya hidup stress
Stres kronis cenderung membuat seseorang makan makanan yang manis-
manis untuk meningkatkan kadar lemak serotonin otak. Serotonin
mempunyai efek penenang sementara untuk meredakan stress. Tetapi gula
dan lemak berbahaya bagi mereka yang beresiko mengidap penyakit DM
tipe 2.
d. Pola makan yang salah
Pada penderita DM tipe 2 terjadinya obesitas (kegemukan berlebihan)
yang dapat mengakibatkan gangguan kerja insulin (resistensi insulin).
6

Obesitas bukan karena makanan yang manis atau kaya lemak,tetapi lebih
disebabkan jumlah konsumsi yang terlalu banyak, sehingga cadangan gula
darah yang disimpan didalam tubuh sangat berlebihan. Sekitar 80% pasien
DM tipe 2 adalah mereka yang tergolong gemuk.

2.1.3 Patogenesis
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas telah
dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe 2. Belakangan
diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat daripada
yang diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver dan sel beta, organ lain seperti
jaringan lemak, gastrointestinal, sel alpha pankreas, ginjal, dan otak, semuanya
ikut berperan dalam menimbulkan terjadinya gangguan toleransi glukosa pada
DM tipe 2. Delapan organ penting dalam gangguan toleransi glukosa ini (ominous
octet) penting dipahami karena dasar patofisiologi ini memberikan konsep
tentang:16
1. Pengobatan harus ditujukan guna memperbaiki gangguan patogenesis,
bukan hanya untuk menurunkan HbA1c.
2. Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasari ataskinerja obat pada
gangguan multipel dari patofisiologi DM tipe 2.
3. Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegahatau
memperlambat progresivitas kegagalan sel beta yangsudah terjadi pada
penyandang gangguan toleransi glukosa.

Gambar 2.1 Ominous Octet5


7

Secara garis besar patogenesis DM tipe 2 disebabkan oleh delapanhal (omnious


octet) berikut :1
1. Kegagalan sel beta pankreas
Pada saat diagnosis DM tipe 2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat
berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah
sulfonilurea, meglitinid, GLP-1 agonis dan DPP-4 inhibitor.
2. Liver
Pada penderita DM tipe 2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu
gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh
liver (HGP=hepatic glucose production) meningkat. Obat yang bekerja
melalui jalur ini adalah metformin,yang menekan proses gluconeogenesis.
3. Otot
Pada penderita DM tipe 2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang
multiple di intramioselular, akibat gangguan fosforilasitirosin sehingga
timbul gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis
glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. Obat yang bekerja di jalur ini
adalah metformin, dan tiazolidindion.
4. Sel lemak
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin
menyebabkan peningkatan proses lipolisis dan kadar asam lemak bebas
(FFA=Free Fatty Acid) dalam plasma. Penigkatan FFA akan merangsang
proses glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan
otot. FFA juga akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang
disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoxocity. Obat yang bekerja
dijalur ini adalah tiazolidindion.
5. Usus
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding
kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenalsebagai efek incretin
ini diperankan oleh 2 hormon GLP-1(glucagon-like polypeptide-1) dan
GIP (glucose-dependent insulinotrophic polypeptide atau disebut juga
gastric inhibitory polypeptide). Pada penderita DM tipe 2 didapatkan
8

defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut


incretin segera dipecah oleh keberadaan enzim DPP-4, sehingga hanya
bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja menghambat kinerja
DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor. Saluran pencernaan juga
mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja enzim
alfa-glukosidase yang memecah polisakarida menjadi monosakarida yang
kemudian diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan glukosa darah
setelah makan. Obat yang bekerja untuk menghambat kinerjaensim alfa-
glukosidase adalah akarbosa.
6. Sel Alpha Pancreas
Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalamhiperglikemia
dan sudah diketahui sejak 1970. Sel-α berfungsidalam sintesis glukagon
yang dalam keadaan puasa kadarnya didalam plasma akan meningkat.
Peningkatan ini menyebabkanHGP dalam keadaan basal meningkat secara
signifikan dibanding individu yang normal. Obat yang menghambat
sekresi glucagon atau menghambat reseptor glukagon meliputi GLP-1
agonis, DPP-4 inhibitor dan amylin.
7. Ginjal
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam patogenesis DM
tipe 2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh
persen dari glukosa terfiltrasi iniakan diserap kembali melalui peran
SGLT-2 (Sodium Glucose co-Transporter) pada bagian convulated tubulus
proksimal. Sedangkan 10% sisanya akan di absorbsi melalui peran SGLT-
1 pada tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa
dalam urine. Pada penderita DM tipe 2 terjadi peningkatan ekspresi gen
SGLT-2. Obat yang menghambat kinerja SGLT-2 ini akan menghambat
penyerapan kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa akan
dikeluarkan lewat urine. Obat yangbekerja di jalur ini adalah SGLT-2
inhibitor. Dapaglifozin adalah salah satu contoh obatnya.
9

8. Otak
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang
obesitas baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia
yang merupakan mekanisme kompensasi dariresistensi insulin. Pada
golongan ini asupan makanan justru meningkat akibat adanya resistensi
insulin yang juga terjadi diotak. Obat yang bekerja di jalur Ini adalah
GLP-1 agonis, amylindan bromokriptin.

2.1.4 Diagnosis dan Gejala Klinis


Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara
enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan
glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM
perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:13
 Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
 Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

Gambar 2.2 Kriteria Diagnosis DM1


10

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM


digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi : toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
 Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa
plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa
plasma 2-jam <140 mg/dl.
 Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2
-jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100
mg/dl.
 Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT.
 Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan
HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.

Tabel 2.1 Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis diabetes dan prediabetes.
Kriteria HbA1c (%) Glukosa darah puasa Glukosa plasma 2 jam
(mg/dL) setelah TTGO (mg/dL)
Diabetes ≥6,5 ≥126 ≥200
Prediabetes 5,7-6,4 100-125 140-199
Normal < 5,7 <100 <140

Pemeriksaan Penyaring dilakukan untuk menegakkan diagnosis Diabetes


Melitus Tipe-2 (DMT2) dan prediabetes pada kelompok risiko tinggi yang tidak
menunjukkan gejala klasik DM (B) yaitu:
1. Kelompok dengan berat badan lebih (Indeks Massa Tubuh [IMT] ≥ 23
kg/m2) yang disertai dengan satu atau lebih faktor risiko sebagai berikut:
a. Aktivitas fisik yang kurang.
b. First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam
keluarga).
c. Kelompok ras/etnis tertentu.
d. Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBL >4 kg
atau mempunyai riwayat diabetes mellitus gestasional (DMG).
e. Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat terapiuntuk
hipertensi).
11

f. HDL <35 mg/dL dan atau trigliserida >250 mg/dL.


g. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium.
h. Riwayat prediabetes.
i. Obesitas berat, akantosis nigrikans.
j. Riwayat penyakit kardiovaskular.
2. Usia>45 tahun tanpa faktor risiko di atas.

Tabel 2.2 Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan
diagnosis DM (mg/dL)13
Bukan DM Belum pasti DM DM
Kadar glukosa Plasma Vena <100 100-199 ≥ 200
darah sewaktu
(mg/dL) Darah <90 90-199 ≥200
Kapiler
Kadar glukosa Plasma Vena <100 100-125 ≥126
darah puasa
(mg/dL) Darah <90 90-99 ≥100
Kapiler

2.1.5 Komplikasi
Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik akan menimbulkan komplikasi akut
dan kronis. Komplikasi DM tipe 2 dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu:17
a. Komplikasi akut
Hiperglikemia yaitu apabila kadar gula darah meningkat secara tiba-tiba,
dapat berkembang menjadi keadaan metabolisme yang berbahaya, antara
lain ketoasidosis diabetik, Koma Hiperosmoler Non Ketotik (KHNK) dan
kemolakto asidosis.

b. Komplikasi Kronis
 Komplikasi makrovaskuler
12

Komplikasi makrovaskuler yangumum berkembang pada penderita DM


adalah trombosit otak (pembekuan darah pada sebagian otak),
mengalami penyakit jantung koroner (PJK), gagal jantung kongetif, dan
stroke.
 Komplikasi mikrovaskuler
Komplikasi mikrovaskuler yang terjadi pada penderita DM tipe 2 seperti
infeksi kulit, nefropati, diabetik retinopati, neuropati, hingga dapat
menyebabkan amputasi.

2.1.6 Penatalaksanaan1
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah untuk meningkatkan kualitas hidup
penyandang diabetes, yaitu:
1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas
hidup, dan mengurangi risiko komplikasiakut.
2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati dan makroangiopati.
3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas danmortalitas DM.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah,
tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara
komprehensif.
2.1.6.1 Penatalaksanaan Umum
Adapun penatalaksanaan umum yang perlu dilakukan, yaitu evaluasi medis yang
lengkap pada pertemuan pertama, yang meliputi:
1. Riwayat Penyakit.
2. Pemeriksaan Fisik.
3. Evaluasi Laboratorium.
4. Penapisan Komplikasi.

2.1.6.2 Penatalaksanaan Khusus


13

Penatalaksanaan DM dimulai dengan menerapkan pola hidup sehat (terapi nutrisi


medis dan aktivitas fisik) bersamaan dengan intervensi farmakologis dengan obat
anti-hiperglikemia secara oral dan/atau suntikan. Obat anti-hiperglikemia oral
dapat diberikan sebagai terapi tunggal atau kombinasi. Pada keadaan emergensi
dengan dekompensasi metabolik berat, misalnya: ketoasidosis, stres berat, berat
badan yang menurun dengan cepat, atau adanya ketonuria harus segera dirujuk ke
Pelayanan Kesehatan Sekunder atau Tersier. Pengetahuan tentang pemantauan
mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan
kepada pasien. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri tersebut dapat dilakukan
setelah mendapat pelatihan khusus.
Edukasi merupakan salah satu bentuk penatalaksanaan khusus. Hal ini
dikarenakan edukasi memiliki tujuan untuk mempromosikan hidup sehat. Hidup
sehat perlu selalu dilakukan sebagai bagian dari upaya pencegahan dan
merupakan bagian yang sangat penting dari pengelolaan DM secara holistik.
Materi edukasi terdiri dari materi edukasi tingkat awal dan materi edukasi tingkat
lanjutan.
a. Materi edukasi pada tingkat awal dilaksanakan di Pelayanan Kesehatan
Primer yang meliputi:
 Materi tentang perjalanan penyakit DM.
 Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM secara
berkelanjutan.
 Penyulit DM dan risikonya.
 Intervensi non-farmakologis dan farmakologis serta target pengobatan.
 Interaksi antara asupan makanan, aktivitas fisik, dan obat
antihiperglikemia oral atau insulin serta obat-obatan lain.
 Cara pemantauan glukosa darah danpemahaman hasil glukosa darah
atau urinmandiri (hanya jika pemantauan glukosa darah mandiri tidak
tersedia).
 Mengenal gejala dan penanganan awalhipoglikemia.
 Pentingnya latihan jasmani yang teratur.
14

 Pentingnya perawatan kaki.


 Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan.
b. Materi edukasi pada tingkat lanjut dilaksanakan di Pelayanan Kesehatan
Sekunder dan / atau Tersier, yang meliputi:
 Mengenal dan mencegah penyulit akut DM.
 Pengetahuan mengenai penyulit menahun DM.
 Penatalaksanaan DM selama menderita penyakit lain.
 Rencana untuk kegiatan khusus (contoh : olahraga prestasi).
 Kondisi khusus yang dihadapi (contoh : hamil, puasa, hari-hari sakit).
 Hasil penelitian dan pengetahuan masa kini dan teknologi mutakhir
tentang DM.
 Pemeliharaan/perawatan kaki.

2.1.6.3 Penatalaksanaan Farmakologis


Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan
jasmani (gaya hidupsehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral danbentuk
suntikan.
1. Obat Antihiperglikemia Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemiaoral dibagi menjadi 5
golongan :
a. Pemacu Sekresi Insulin (InsulinSecretagogue)
 Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi
insulin oleh sel beta pankreas. Efek samping utama adalah
hipoglikemia dan peningkatan berat badan. Hati-hati menggunakan
sulfonilurea pada pasien dengan risiko tinggi hipoglikemia (orang
tua, gangguan faal hati, dan ginjal).
 Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,
dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama.
15

Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat


asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini
diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan
diekskresisecara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi
hiperglikemia post prandial. Efek samping yang mungkin terjadi
adalah hipoglikemia.
b. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin
 Metformin
Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa
hati (glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa di
jaringan perifer. Metformin merupakan pilihan pertama pada
sebagian besar kasus DMT2. Dosis Metformin diturunkan pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal (GFR 30-60 ml/menit/1,73
m2). Metformin tidak boleh diberikan pada beberapa keadaan
seperti: GFR<30 mL/menit/1,73m2, adanya gangguan hati berat,
serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya
penyakit serebrovaskular, sepsis, renjatan, PPOK, gagal jantung
[NYHA FC III-IV]). Efek samping yang mungkin berupa gangguan
saluran pencernaan seperti halnya gejala dispepsia.
 Tiazolidindion (TZD)
Tiazolidindion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator
Activated Receptor Gamma (PPAR-gamma), suatu reseptor inti yang
terdapat antara lain di sel otot, lemak, dan hati. Golongan ini
mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di jaringan perifer. Tiazolidindion
meningkatkan retensi cairan tubuh sehingga dikontraindikasikan
pada pasien dengan gagal jantung (NYHA FC III-IV) karena dapat
memperberat edema/retensi cairan. Hati-hati pada gangguan faal
hati, dan bila diberikan perlu pemantauan faal hati secara berkala.
Obat yang masuk dalam golongan ini adalah Pioglitazone.
16

c. Penghambat Absorpsi Glukosa di saluranpencernaan:


 Penghambat Alfa Glukosidase
Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa dalam usus
halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah
sesudah makan. Penghambat glukosidase alfa tidak digunakan pada
keadaan : GFR≤30ml/min/1,73 m2, gangguan faal hati yang berat,
irritable bowel syndrome. Efek samping yang mungkin terjadi
berupa bloating (penumpukan gas dalam usus) sehingga sering
menimbulkan flatus guna mengurangi efek samping pada awalnya
diberikan dengan dosis kecil. Contoh obat golongan ini adalah
Acarbose.
d. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)
Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim DPP-IV
sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi
yang tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan
sekresi insulin dan menekan sekresi glucagon bergantung kadar
glukosa darah (glucosedependent). Contoh obat golongan ini adalah
Sitagliptin dan Linagliptin.
e. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Cotransporter2)
Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes oral
jenis baru yang menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli
distal ginjal dengan cara menghambat kinerja transporter glukosa
SGLT-2. Obat yang termasuk golongan iniantara lain : Canagliflozin,
Empagliflozin, Dapagliflozin, Ipragliflozin. Dapagliflozin baru saja
mendapat approvable letter dari Badan POM RI pada bulan Mei 2015.
17

Gambar 2.3 Profil obat antihiperglikemia oral yang tersedia di Indonesia1

2. Obat Antihiperglikemia Suntik


Termasuk anti hiperglikemia suntik, yaituinsulin, agonis GLP-1 dan
kombinasi insulin danagonis GLP-1.
1. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan :
 HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik.
 Penurunan berat badan yang cepat.
 Hiperglikemia berat yang disertai ketosis.
 Krisis Hiperglikemia.
 Gagal dengan kombinasi obat hipoglikemik oral dosis optimal.
 Stres berat (infeksi sistemik, operasibesar, infark miokard akut,
stroke).
 Kehamilan dengan DM/Diabetes mellitus gestasional yang tidak
terkendali dengan perencanaan makan.
18

 Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat.


 Kontraindikasi dan atau alergi terhadap obat hipoglikemik oral
(OHO).
 Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi.
Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi 5 jenis, yakni :
 Insulin kerja cepat (Rapid-acting insulin)
 Insulin kerja pendek (Short-acting insulin)
 Insulin kerja menengah (Intermediate-actinginsulin)
 Insulin kerja panjang (Long-acting insulin)
 Insulin kerja ultra panjang (Ultra long acting insulin)
 Insulin campuran tetap, kerja pendek dengan menengah dan kerja cepat
dengan menengah (Premixed insulin)
Efek samping terapi insulin :
 Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia
 Efek samping yang lain berupa reaksialergi terhadap insulin.
2. Agonis GLP-1/Incretin Mimetic
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan
baru untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja pada sel-beta
sehingga terjadi peningkatan pelepasan insulin, mempunyai efek
menurunkan berat badan, menghambat pelepasan glukagon, dan
menghambat nafsu makan. Efek penurunan berat badan agonis GLP-1
juga digunakan untuk indikasi menurunkan berat badan pada pasien
DM dengan obesitas. Pada percobaan binatang, obat ini terbukti
memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang timbul
pada pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah.Obat yang
termasuk golongan ini adalah : Liraglutide, Exenatide, Albiglutide, dan
Lixisenatide. Salah satu obat golongan agonis GLP-1(Liraglutide)
telah beredar di Indonesia sejak April 2015, tiap pen berisi 18 mg
dalam 3 ml. Dosis awal 0.6 mg perhari yang dapat dinaikkan ke 1.2 mg
setelah satu minggu untuk mendapatkan efek glikemik yang
19

diharapkan. Dosis bisa dinaikkan sampai dengan 1.8 mg. Dosis harian
lebih dari 1.8 mg tidak direkomendasikan. Masa kerja Liraglutide
selama 24 jam dan diberikan sekali sehari secara subkutan.
3. Terapi Kombinasi
Pengaturan diet dan kegiatan jasmani merupakan hal yang utama dalam
penatalaksanaan DM, namun bila diperlukan dapat dilakukan bersamaan
dengan pemberian obat antihiperglikemia oral tunggal atau kombinasi
sejak dini. Pemberian obat anti hiperglikemia oral maupun insulin selalu
dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap
sesuai dengan respons kadar glukosa darah. Terapi kombinasi obat
antihiperglikemia oral, baik secara terpisah ataupun fixed dose
combination, harus menggunakan dua macam obat dengan mekanisme
kerja yang berbeda. Pada keadaan tertentu apabila sasaran kadar glukosa
darah belum tercapai dengan kombinasi dua macam obat, dapat diberikan
kombinasi dua obat anti hiperglikemia dengan insulin. Pada pasien yang
disertai dengan alasan klinis dimana insulin tidak memungkinkan untuk
dipakai, terapidapat diberikan kombinasi tiga obat antihiperglikemia oral.
Kombinasi obat antihiperglikemia oraldengan insulin dimulai dengan
pemberian insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja
panjang). Insulin kerja menengah harus diberikan jam 10 malam
menjelang tidur, sedangkan insulin kerja panjang dapat diberikan sejak
sore sampai sebelum tidur. Pendekatan terapi tersebut pada umumnya
dapat mencapai kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin
yang cukup kecil. Dosis awal insulin basal untuk kombinasi adalah 6-10
unit. Kemudian dilakukan evaluasi dengan mengukur kadar
glukosa darah puasa keesokan harinya. Dosis insulin dinaikkan secara
perlahan (pada umumnya 2 unit) apabila kadar glukosa darah puasa
belum mencapai target. Pada keadaaan dimana kadar glukosa darah
sepanjang hari masih tidak terkendali meskipun sudah mendapat insulin
basal, maka perlu diberikanterapi kombinasi insulin basal dan
20

prandial,sedangkan pemberian obat anti hiperglikemia oral dihentikan


dengan hati-hati.

Gambar 2.4 Algoritme Pengelolaan DM Tipe 21

2.2 Ulkus Diabetikum


2.2.1 Definisi
Kaki diabetes adalah kelainan tungkai kaki bawah akibat diabetes mellitus yang
tidak terkendali dengan baik yang disebabkan olah gangguan pembuluh darah,
gangguan persyarafan dan infeksi. Kaki diabetes merupakan gambaran secara
umum dari kelainan tungkai bawah secara menyeluruh pada penderita diabetes
mellitus yang diawali dengan adanya lesi hingga terbentuknya ulkus yang sering
disebut dengan ulkus kaki diabetika yang pada tahap selanjutnya dapat
dikategorikan dalam gangrene, yang pada penderita diabetes mellitus disebut
dengan gangrene diabetik.18
Ulkus diabetikum adalah salah satu bentuk komplikasi kronik diabetes
mellitus berupa luka terbuka pada permukaan kulit yang dapat disertai adanya
kematian jaringan setempat.Ulkus diabetika merupakan luka terbuka pada
permukaan kulit karena adanya komplikasi makroangiopati sehingga terjadi
21

vaskuler insusifiensi dan neuropati, yang lebih lanjut terdapat luka pada penderita
yang sering tidak dirasakan, dan dapat berkembang menjadi infeksi disebabkan
oleh bakteri aerob maupun anaerob.19

2.2.2 Klasifikasi
Klasifikasi Wagner banyak dipakai secara luas, menggambarkan derajat luas dan
berat ulkus namun tidak menggambarkan keadaan iskemia dan ikhtiar
pengobatan.
Kriteria diagnosa infeksi pada ulkus kaki diabetik bila terdapat 2 atau lebih
tanda-tanda berikut : bengkak, indurasi, eritema sekitar lesi, nyeri lokal, teraba
hangat lokal, adanya pus. Infeksi dibagi dalam infeksi ringan (superfisial, ukuran
dan dalam terbatas), sedang (lebih dalam dan luas), berat (disertai tanda-tanda
sistemik atau gangguan metabolik). Termasuk dalam infeksi berat seperti gas
gangren, selulitis asenden, terdapat sindroma kompartemen, infeksi dengan
toksisitas sistemik atau instabilitas metabolik yang mengancam kaki dan jiwa
pasien.20 Klasifikasi Wagner21 :

Grade Interpretasi
Grade 0 Tidak ada ulkus pada penderita kaki
resiko tinggi
Grade 1 Ulkus superfisial terlokalisir
Grade 2 Ulkus lebih dalam, mengenai tendon,
ligamen, otot,sendi, belum mengenai
tulang, tanpa selulitis atau abses.
Grade 3 Ulkus lebih dalam sudah mengenai
tulang sering komplikasi osteomielitis,
abses atau selulitis.
Grade 4 Gangren jari kaki atau kaki bagian
distal
Grade 5 Gangren seluruh kaki
22

Gambar 2.5 Klasifikasi Wagner21

2.2.3 Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala ulkus kaki diabetes seperti sering kesemutan, nyeri kaki saat
istirahat., sensasi rasa berkurang, kerusakan jaringan (nekrosis), penurunan denyut
nadi arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea, kaki menjadi atrofi, dingin dan
kuku menebal dan kulit kering.18

2.2.4 Patogenesis
Salah satu akibat komplikasi kronik atau jangka panjang diabetes mellitus adalah
ulkus kaki diabetes. Ulkus kaki diabetes disebabkan adanya tiga faktor yang
sering disebut trias yaitu : iskemik, neuropati, dan infeksi. Pada penderita diabetes
mellitus apabila kadar glukosa darah tidak terkendali akan terjadi komplikasi
kronik yaitu neuropati, menimbulkan perubahan jaringan syaraf karena adanya
penimbunan sorbitol dan fruktosa sehingga mengakibatkan akson menghilang,
penurunan kecepatan induksi, parastesia, menurunnya reflek otot, atrofi otot,
keringat berlebihan, kulit kering dan hilang rasa, apabila penderitadiabetes
mellitustidak hati-hati dapat terjadi trauma yang akan meneybabkan lesi dan
menjadi ulkus kaki diabetes.22
Iskemik merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh karena kekurangan
darah dalam jaringan, sehingga jaringan kekurangan oksigen. Hal ini disebabkan
adanya proses makroangiopati pada pembuluh darah sehingga sirkulasi jaringan
menurun yang ditandai oleh hilang atau berkurangnya denyut nadi pada arteri
dorsalis pedis, tibialis dan poplitea, kaki menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal.
Kelainan selanjutnya terjadi nekrosis jaringan sehingga timbul ulkus yang
23

biasanya dimulai dari ujung kaki atau tungkai. Aterosklerosis merupakan sebuah
kondisi dimana arteri menebal dan menyempit karena penumpukan lemak pada
bagian dalam pembuluh darah. Menebalnya arteri di kaki dapat mempengaruhi
otot-otot kaki karena berkurangnya suplai darah, sehingga mengakibatkan
kesemutan, rasa tidak nyaman, dan dalam jangka waktu lama dapat
mengakibatkan kematian jaringan yang akan berkembang menjadi ulkus kaki
diabetes. Proses angiopati pada penderita diabetes mellitus berupa penyempitan
dan penyumbatan pembuluh darah perifer, sering terjadi pada tungkai bawah
terutama kaki, akibat perfusi jaringan bagian distal dari tungkai menjadi
berkurang kemudian timbul ulkus kaki diabetes.19
Pada penderita diabetes mellitus yang tidak terkendali kadar gula darahnya
akan menyebabkan penebalan tunika intima (hiperplasia membram basalis arteri)
pada pembuluh darah besar dan pembuluh kapiler bahkan dapat terjadi kebocoran
albumin keluar kapiler sehingga mengganggu distribusi darah ke jaringan dan
timbul nekrosis jaringan yang mengakibatkan ulkus diabetika. Eritrosit pada
penderita diabetes mellitus yang tidak terkendali akan meningkatkan HbA1C yang
menyebabkan deformabilitas eritrosit dan pelepasan oksigen di jaringan oleh
eritrosit terganggu, sehingga terjadi penyumbatan yang menggangu sirkulasi
jaringan dan kekurangan oksigen mengakibatkan kematian jaringan yang
selanjutnya timbul ulkus kaki diabetes. Peningkatan kadar fibrinogen dan
bertambahnya reaktivitas trombosit menyebabkan tingginya agregasi sel darah
merah sehingga sirkulasi darah menjadi lambat dan memudahkan terbentuknya
trombosit pada dinding pembuluh darah yang akan mengganggu sirkulasi darah.
Penderita diabetes mellitus biasanya kadar kolesterol total, LDL, trigliserida
plasma tinggi. Buruknya sirkulasi ke sebagian besar jaringan akan menyebabkan
hipoksia dan cedera jaringan, merangsang reaksi peradangan yang akan
merangsang terjadinya aterosklerosis. Perubahan / inflamasi pada dinding
pembuluh darah, akan terjadi penumpukan lemak pada lumen pembuluh darah,
konsentrasi HDL (high density- lipoprotein) sebagai pembersih plak biasanya
rendah. Adanya faktor risiko lain yaitu hipertensi akan meningkatkan kerentanan
terhadap aterosklerosis.19
24

Konsekuensi adanya aterosklerosis yaitu sirkulasi jaringan menurun


sehingga kaki menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal. Kelainan selanjutnya
terjadi nekrosis jaringan sehingga timbul ulkus yang biasanya dimulai dari ujung
kaki atau tungkai. Pada penderita diabetes mellitus apabila kadar glukosa darah
tidak terkendali menyebabkan abnormalitas lekosit sehingga fungsi khemotoksis
di lokasi radang terganggu, demikian pula fungsi fagositosis dan bakterisid
menurun sehingga bila ada infeksi mikroorganisme sukar untuk dimusnahkan oleh
sistem plagositosis-bakterisid intra selluler. Pada penderita ulkus kaki diabetes, 50
% akan mengalami infeksi akibat adanya glukosa darah yang tinggi
karenamerupakan media pertumbuhan bakteri yang subur. Bakteri penyebab
infeksi pada ulkus diabetika yaitu kuman aerobik Staphylococcus atau
Streptococcus serta kuman anaerob yaitu Clostridium Perfringens, Clostridium
Novy, dan Clostridium Septikum.19,22

2.2.5 Diagnosis
Diagnosis kaki diabetes meliputi :
1. Pemeriksaan Fisik : Inspeksi kaki untuk mengamati terdapat luka / ulkus
pada kulit atau jaringan tubuh pada kaki, pemeriksaan sensasi vibrasi / rasa
berkurang atau hilang, palpasi denyut nadi arteri dorsalis pedis menurun
atau hilang.
2. Pemeriksaan Penunjang : X-ray, EMG (Electromyographi) dan
pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui apakah ulkus kaki diabetes
menjadi infeksi dan menentukan kuman penyebabnya.22

2.2.6 Faktor Risiko


Faktor risiko terjadi ulkus diabetikum yang menjadi gambaran dari kaki diabetes
pada penderita diabetes mellitus terdiri atas faktor-faktor risiko yang tidak dapat
diubah dan faktor-faktor risiko yang dapat diubah.19,22
1. Umur
25

Pada usia tua fungsi tubuh secara fisiologis menurun karena proses aging
terjadi penurunan sekresi atau resistensi insulin sehingga kemampuan fungsi
tubuh terhadap pengendalian glukosa darah yang tinggi kurang optimal.
Proses aging menyebabkan penurunan sekresi atau resistensi insulin
sehingga terjadi makroangiopati, yang akan mempengaruhi penurunan
sirkulasi darah salah satunya pembuluh darah besar atau sedang di tungkai
yang lebih mudah terjadi ulkus kaki diabetes.19,22
2. Lama Menderita Diabetes Mellitus ≥ 10 tahun.
Ulkus kaki diabetes terutama terjadi pada penderita diabetes mellitus yang
telah menderita 10 tahun atau lebih, apabila kadar glukosa darah tidak
terkendali, karena akan muncul komplikasi yang berhubungan dengan
vaskuler sehingga mengalami makroangiopati dan mikroangiopati yang akan
terjadi vaskulopati dan neuropati yang mengakibatkan menurunnya sirkulasi
darah dan adanya robekan/luka pada kaki penderita diabetes mellitus yang
sering tidak dirasakan karena terjadinya gangguan neurophati perifer.19,22
3. Neuropati (sensorik, motorik, perifer).
Kadar glukosa darah yang tinggi semakin lama akan terjadi gangguan mikro
sirkulasi, berkurangnya aliran darah dan hantaran oksigen pada serabut saraf
yang mengakibatkan degenerasi pada serabut syaraf yang lebih lanjut akan
terjadi neuropati. Syaraf yang rusak tidak dapat mengirimkan sinyal ke otak
dengan baik, sehingga penderita dapat kehilangan indra perasa selain itu
juga kelenjar keringat menjadi berkurang, kulit kering dan mudah robek.
Neuropati perifer berupa hilangnya sensasi rasa yang berisiko tinggi menjadi
penyebab terjadinya lesi yang kemudian berkembang menjadi ulkus kaki
diabetes.19,22

4. Obesitas.
Pada obesitas dengan index massa tubuh ≥ 23 kg/m2 (wanita) dan IMT
(index massa tubuh) ≥ 25 kg/m2 (pria) atau berat badan ideal yang berlebih
akan sering terjadi resistensi insulin. Apabila kadar insulin melebihi 10
μU/ml, keadaan ini menunjukkan hiperinsulinmia yang dapat menyebabkan
26

aterosklerosis yang berdampak pada vaskulopati, sehingga terjadi gangguan


sirkulasi darah sedang / besar pada tungkai yang menyebabkan tungkai akan
mudah terjadi ulkus / ganggren sebagai bentuk dari kaki diabetes.19,22
5. Hipertensi.
Hipertensi (TD > 130/80 mm Hg) pada penderita diabetes mellitus karena
adanya viskositas darah yang tinggi akan berakibat menurunnya aliran darah
sehingga terjadi defesiensi vaskuler, selain itu hipertensi yang tekanan darah
lebih dari 130/80 mmHg dapat merusak atau mengakibatkan lesi pada
endotel. Kerusakan pada endotel akan berpengaruh terhadap makroangiopati
melalui proses adhesi dan agregasi trombosit yang berakibat vaskuler
defisiensi sehingga dapat terjadi hipoksia pada jaringan yang akan
mengakibatkan terjadinya ulkus.19,22

2.2.7 Penatalaksanaan
Tujuan perawatan ulkus diabetikum yaitu mengurangi risiko infeksi dan amputasi,
memperbaiki fungsi dan kualitas hidup pasien serta mengurangi biaya perawatan
kesehatan.
Sasaran terapi ulkus diabetik adalah kuman penyebab infeksi. Infeksi
biasanya disebabkan oleh Staphylococcus aureus, bakteri Gram negatif aerob
seperti Enterobacter sp., Escherichia coli, Klebsiella sp., Proteus mirabilis,
Pseudomonas aeruginosa dan bakteri anaerob seperti Peptostreptococcus.23
Kuman penginfeksi dan antibiotika yang sensitif terhadap kuman penginfeksi
tersebut dapat diketahui dengan kultur dan sensitivitas tes. Faktor-faktor penting
perawatan ulkus diabetik adalah mencegah infeksi, menghindari tekanan pada
ulkus, membersihkan jaringan dan kulit mati atau debridemen, melakukan
pengobatan atau pembalutan luka dan mengatur kadar glukosa darah agar tidak
terlalu tinggi. Perawatan dan pembalutan luka juga penting untuk mencegah
infeksi.Jenis-jenis perawatan dan pembalutan tergantung tingkat keparahan
ulkus.Sebagian besar ulkus keadaannya semakin baik dengan pengurangan
tekanan dan pembalutan luka.24 Strategi terapi pada ulkus diabetik meliputi :
27

1. Pengurangan Tekanan Pada Ulkus (Off-Loading)


Pengurangan tekanan pada ulkus merupakan faktor penting pada
penyembuhan luka ulkus.Dengan dilakukannya off-loading pada pasien
merupakan salah satu usaha mencegah tekanan mekanik akibat stress pada
ulkus. Saat terjadi ulkus, pasien dianjurkan untuk tidak menggunakan kaki
yang mengalami ulkus sebagai penumpu berat tubuh, baik ketika berjalan
maupun melakukan aktivitas sehari-hari.
2. Debridemen
Debridemen merupakan tahap awal evaluasi ulkus. Debridemen
menghilangkan semua jaringan nekrosis yang ada di sekeliling ulkus
sampai dinyatakan sehat dan tidak terjadi perdarahan lagi di tepi luka.
Sesudah debridemen sebaiknya ulkus diperiksa untuk menentukan
keterlibatan struktur-struktur mendasar seperti tendon, tulang atau tulang
sendi. Keterlibatan struktur-struktur mendasar, ada tidaknya iskemia dan
infeksi harus ditentukan sebelum dilakukan penggolongan kondisi klinis
pasien yang tepat untuk membuat rencana perawatan yang akan
dilaksanakan. Tanpa memperhatikan perawatan, terdapat beberapa ulkus
yang tidak dapat sembuh. Ulkus diabetik seringkali lambat sembuh.Salah
satu penyebabnya adalah protein-protein yang menyembuhkan luka atau
faktor-faktor pertumbuhan rusak. Faktor-faktor pertumbuhan ini adalah
proteinprotein yang memegang peranan penting dalam proses
penyembuhan luka. Tidak berfungsinya faktor-faktor pertumbuhan
menyebabkan ulkus tidak dapat sembuh.

3. Antibiotika Ulkus Diabetik


Penggunaan terapi antibiotika dilihat dari munculnya gejala infeksi pada
pasien. Antibiotika merupakan senyawa kimia khas yang dihasilkan oleh
suatu organisme yang hidup, termasuk turunan senyawa dan struktur
analognya yang dibuat secara sintetik dan dalam kadar rendah mampu
28

menghambat proses penting dalam kehidupan satu spesies atau lebih


mikroorganisme. Antibiotika empiris biasanya diberikan sebagai permulaan
terapi sambil menunggu hasil kultur dan sensitivitas tes. Terapi empiris
juga diberikan apabila kultur dan sensitivitas tes tidak dilakukan.Terapi
empirik berdasarkan kondisi klinis dan hasil laboratorium pasien yaitu
leukosit, limfosit, monosit dan neutrofil nilainya melebihi normal. Terapi
absolut diberikan berdasarkan kultur dan sensitivitas tes. Untuk infeksi
yang parah, direkomendasikan untuk memulai terapi dengan antibiotika
spektrum luas sambil menunggu hasil kultur dan sensitivitas terhadap
antibiotika keluar.Penggunaan antibiotika harus diteruskan sampai infeksi
benar-benar teratasi. Durasi antibiotika pada ulkus kaki diabetik meliputi,
untuk infeksi ringan, durasi pemberian 1-2 minggu dan untuk infeksi
sedang sampai berat, durasi pemberian biasanya 2-4 minggu sudah
mencukupi tergantung pada jaringan yang terlibat dan debridemen yang
adekuat.20
29
30

DAFTAR PUSTAKA

1. Soelestijo,S.A., et al. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus


Tipe 2 di Indonesia. PB Perkeni, 1(1) : 17-50.
2. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2011. Konsensus pengelolaan dan
pencegahan diabetes melitus tipe 2 di Indonesia. hlm. 4-10, 15-29
3. American Diabetes Association. Diagnosis And Classification Of Diabetes
Mellitus. Diabetes Care. 2011; 34: s62-9.
4. Warren,C., Elasy,T.A. 2009. A Review of Pathophysiology Classification, and
Treatment of Foot Ulcers in Diabetic Patients. Clinical Diabetes, 27(2) : 1-7.
5. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007. Laporan Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan, Republik Indonesia.
6. Robert,G., Frykberg, D. 2002. Diabetic Foot Ulcers : Pathogenesis and
Management. American Family Physician, 66 (9) : 2-6.
7. Tatti, P., Barbar, A. 2010. Nutritional Treatment of Diabetic Foot Ulcers- A Key
to Success. Global Perspective on Diabetic Foot Ulceration, 2(1) : 1-17.
8. Wild S, Roglic G, Green A, et al. Global prevalence of diabetes: estimates for the
year 2000 and projections for 2030. Diabetes Care 2004;27:1047-53.
9. Singh N, Armstrong DG, Lipsky BA. Preventing foot ulcers in patients with
diabetes. JAMA 2005;293:217-28.
10. Reiber, G.E., et al. 1999. Casual Pathways for Incident Lower Extremity Ulcers
in Patients with Diabetes from Two Settings. Diabetes Care, 22(1) : 157-162.
31

11. Mendes, JJ., Neves, J. 2012. Diabetic Foot Infections : Current Diagnosis and
Treatment. The Journal of Diabetic Foot Complications, 4(2) : 26-45.
12. Definition, Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus and its
Complications. World Health Organization Department of Non-Communicable
Disease Surveilance. Geneva. 1999.
13. Sudoyo, A.W. et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Diabetes Melitus. Ed.V.
Jilid III. 2009; 1873-1899.
14. Smeltzer & Bare. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah, Edisi 8,
Jakarta : EGC.

15. Ralph A. DeFronzo. From the Triumvirate to the Ominous Octet: A New
Paradigm for the Treatment of Type 2 Diabetes Mellitus. Diabetes. 2009;
16. 58: 773-795)
17. American Diabetes Association, Diabetes Care in Specific Settings, Diabetes
Care. 2012, 35(suppl 1), S44.
18. Misnadiarly, 2006. Diabetes Melitus Gangren, Ulcer, Infeksi, Mengenali Gejala,
Menanggulangi, dan Mencegah Komplikasi. Jakarta: Pustaka Obor Populer.
19. Tambunan, M..2006. Perawatan Kaki Diabetes. Jakarta: FK UI.
20. Lipskyet al., 2012. Diagnosis and Treatment of Diabetic Foot Infections. 39: 894
21. Oyibo SO, Chalmers N, Boulton AJ. 2001. Peripheral arterial disease in diabetic
and non diabetic patients. Diabetes Care. 24 (8) : 1433–7.
22. Waspadji, S. (2006). Komplikasi Kronik Diabetes : Mekanisme Terjadinya,
Diagnosis dan Strategi Pengelolaan. Jakarta: Penerbit FK UI.
23. Koda-Kimble & Young. 2010. Applied Therapeutics: The Clinical Use of Drugs.
Lippincott Williams & Wilkins.
24. Kalla, T.B., 2006. Complications: Footcare and The Trouble with Ulcers,
Available from : http://www.diabetes.ca/Section_About/feet.asp [ Accessed : 8
October 2016.
32

Anda mungkin juga menyukai