Anda di halaman 1dari 29

Tinjauan Pustaka 3

PERAN TIME IN RANGE (TIR) SEBAGAI KONTROL EVALUASI VARIABILITAS


GLUKOSA DARAH PADA PASIEN DIABETES MELITUS

KERANGKA
BAB I

PENDAHULUAN

Diabetes Melitus merupakan penyakit gangguan metabolik menahun dengan


karakteristik hiperglikemia kronis yang berhubungan dengan gangguan metabolisme
karbohidrat, lemak, dan protein sebagai akibat adanya gangguan sekresi insulin, penurunan
efektivitas insulin atau keduanya. Selain itu, Diabetes Melitus dapat dilihat dari Faktor
genetik, gaya hidup, dan pola makan yang buruk.(1) Secara global, diperkirakan 463 juta orang
menderita diabetes dan jumlah ini diproyeksikan dapat mencapai 700 juta pada tahun 2045.
Pasien-pasien ini memiliki setidaknya peningkatan dua kali lipat untuk risiko kejadian
kardiovaskular dibandingkan dengan mereka yang tidak menderita diabetes mellitus dan
mempunyai risiko tinggi dalam morbiditas dan mortalitas terkait diabetes. Selain itu, diabetes
mellitus berkontribusi terhadap perkembangan komplikasi makrovaskular, seperti penyakit
arteri koroner, penyakit pembuluh darah perifer dan penyakit serebrovaskular, dan
komplikasi mikrovaskular, termasuk retinopati, nefropati, dan neuropati.(1,2)
Konsensus Internasional (IC) baru-baru ini menjelaskan mengenai Time in Range
(TIR) yang telah diterbitkan dan didalamnya membahas tentang informasi untuk Diabetelogis
dan endokrinologis mengenai ringkasan TIR. Time in range (TIR) adalah metrik intuitif yang
menunjukkan jumlah waktu dalam persentase bahwa kadar glukosa seseorang tetap dalam
kisaran target yang diharapkan (3,9-10,0 mmol/L (3,5-7,8 mmol/L pada kehamilan) atau 70-
180 mg/dL (63-140 mg/dL pada kehamilan).(1,2) Konsep TIR telah menurut para ahli diabetes
dapat menemukan parameter yang dapat diandalkan dibandingkan dengan HbA1c untuk
menilai kontrol glikemik. TIR juga dianggap sebagai metrik utama yang didapatkan dari
Continuous Glucose Monitoring (CGM) yang menentukan kontrol glikemik jangka pendek,
karena TIR memberikan lebih banyak data yang dapat ditindaklanjuti daripada HbA1c saja.
(1,2)

Meningkatnya popularitas Continous glucose monitoring (CGM), TIR telah


berkembang sebagai metrik utama untuk menilai komplikasi diabetes. Studi sebelumnya telah
menyimpulkan bahwa setiap 10% peningkatan TIR sesuai dengan 0,5% penurunan HbA1c
pada pasien diabetes tipe 1 (T1D) dan T2D.(10, 11) Time in range (TIR) di rentang nondiabetes
dikaitkan dengan hasil pasien yang lebih baik.12 Time in range (TIR) merupakan variabel
penting dari kontrol glikemik dalam uji klinis dan praktik diagnostik.13
BAB II

DIABETES MELITUS

2.1. DEFINISI
Diabetes melitus adalalah gangguan metabolisme yang secara genetik dan klinis
termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat, jika telah
berkembang penuh secara klinis maka diabetes melitus ditandai dengan hiperglikemia
puasa dan postprandial, aterosklerosis dan penyakit vaskular mikroangiopati. DM
Tipe 2 merupakan penyakit hiperglikemi akibat insensitifitas sel terhadap insulin. Kadar
insulin mungkin sedikit menurun atau berada dalam rentang normal. Karena insulin tetap
dihasilkan oleh sel-sel β pankreas, maka DM tipe 2 dianggap sebagai non insulin
dependent diabetes mellitus. DM Tipe 2 adalah penyakit gangguan metabolik yang di
tandai oleh kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas
dan atau ganguan fungsi insulin (resistensi insulin).13

2.2 EPIDEMIOLOGI
Diabetes tidak hanya menyebabkan kematian premature di seluruh dunia. Penyakit ini
juga menjadi penyebab utama kebutaan, penyakit jantung, dan gagal ginjal. Organisasi
International Diabetes Federation (IDF) memperkirakan sedikitnya terdapat 536,6 juta orang
pada usia 20-79 tahun di dunia menderita diabetes pada tahun 2021 atau setara dengan angka
prevalensi sebesar 10,5% dari total penduduk pada usia yang sama. Berdasarkan jenis
kelamin, IDF memperkirakan prevalensi diabetes di tahun 2021 yaitu 10,2% pada perempuan
dan 10,8% pada laki-laki. Prevalensi diabetes diperkirakan meningkat seiring penambahan
umur penduduk menjadi 19,9% atau 111,2 juta orang pada umur 65-79 tahun. Angka
diprediksi terus meningkat hingga mencapai 578 juta di tahun 2030 dan 783 juta di tahun
2045.3 Negara di wilayah Arab-Afrika Utara, dan Pasifik Barat menempati peringkat pertama
dan kedua dengan prevalensi diabetes pada penduduk umur 20-79 tahun tertinggi di antara 7
regional di dunia, yaitu sebesar 12,2% dan 11,4%. Wilayah Asia Tenggara dimana Indonesia
berada, menempati peringkat ketiga dengan prevalensi sebesar 11,3%.
Kejadian DM Tipe 2 pada wanita lebih tinggi dari pada laki-laki. Wanita lebih
berisiko menderita diabetes karena secara fisik wanita memiliki peluang peningkatan indeks
masa tubuh yang lebih besar. Hasil Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2018, menunjukan
prevalensi DM di Indonesia sebesar 1,5% atau sekitar 1 juta penduduk. Pada tahun 2012
angka kejadian diabetes melitus di dunia adalah sebanyak 371 juta jiwa, dimana proporsi
kejadian diabetes melitus tipe 2 adalah 95% dari populasi dunia yang menderita diabetes
mellitus dan hanya 5% dari jumlah tersebut menderita diabetes mellitus tipe 1.

2.3 FAKTOR RESIKO


Peningkatan jumlah penderita DM yang sebagian besar DM tipe 2, berkaitan dengan
beberapa faktor yaitu faktor risiko yang tidak dapat diubah, faktor risiko yang dapat diubah
dan faktor lain. Menurut American Diabetes Association (ADA) bahwa DM berkaitan dengan
faktor risiko yang tidak dapat diubah meliputi riwayat keluarga dengan DM (first degree
relative), umur ≥ 45 tahun, etnik, riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lahir bayi >
4000 gram atau riwayat pernah menderita DM gestasional dan riwayat lahir dengan berat
badan rendah (< 2,5 kg). Faktor risiko yang dapat diubah meliputi obesitas berdasarkan IMT
≥ 25kg/m2 atau lingkar perut ≥ 80 cm pada wanita dan ≥ 90 cm pada laki-laki, kurangnya
aktivitas fisik, hipertensi, dislipidemia dan diet tidak sehat.13
Faktor lain yang terkait dengan risiko diabetes adalah penderita polycystic ovary
sindrome (PCOS), penderita sindrom metabolic memiliki riwayat toleransi glukosa
terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya, memiliki riwayat
penyakit kardiovaskuler seperti stroke, PJK, atau peripheral arterial diseases (PAD),
konsumsi alkohol, faktor stres, kebiasaan merokok, jenis kelamin, konsumsi kopi dan kafein.
Berikut beberapa faktor resiko DM.
1. Obesitas (kegemukan)
Terdapat korelasi bermakna antara obesitas dengan kadar glukosa darah, pada derajat
kegemukan dengan IMT > 23 dapat menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah menjadi
200 mg/dl.
2. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah pada hipertensi berhubungan erat dengan tidak tepatnya
penyimpanan garam dan air, atau meningkatnya tekanan dari dalam tubuh pada sirkulasi
pembuluh darah perifer.
3. Riwayat keluarga DM
Seorang yang menderita DM diduga mempunyai gen diabetes. Diduga bahwa
bakat diabetes merupakan gen resesif. Hanya orang yang bersifat homozigot dengan
gen resesif tersebut yang menderita DM.
4. Dislipidemia
Dislipidemia adalah keadaan yang ditandai dengan kenaikan kadar lemak
darah (Trigliserida > 250 mg/dl). Terdapat hubungan antara kenaikan plasma insulin dengan
rendahnya HDL (< 35 mg/dl) sering didapat pada pasien DM.
5. Umur
Berdasarkan penelitian, usia yang terbanyak terkena DM adalah usia > 45 tahun.
6. Riwayat persalinan
Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau berat badan bayi > 4000 gram.
7. Faktor genetik
DM tipe 2 berasal dari interaksi genetis dan berbagai faktor mental Penyakit ini sudah
lama dianggap berhubungan dengan agregasi familial. Risiko empiris dalam hal terjadinya
DM tipe 2 akan meningkat dua sampai enam kali lipat jika orang tua atau saudara kandung
mengalami penyakit ini.
8. Alkohol dan rokok
Perubahan-perubahan dalam gaya hidup berhubungan dengan peningkatan frekuensi
DM tipe 2. Walaupun kebanyakan peningkatan ini dihubungkan dengan peningkatan obesitas
dan pengurangan ketidakaktifan fisik, faktor-faktor lain yang berhubungan dengan
perubahan dari lingkungan tradisional menjadi kebarat- baratan yang meliputi perubahan-
perubahan dalam konsumsi alkohol dan rokok, juga berperan dalam peningkatan DM
tipe 2.16

2.4 PATOGENESIS
Resistensi insulin pada sel otot dan hati, serta kegagalan sel beta pankreas telah
dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe 2. Hasil penelitian terbaru
telah diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat dari yang
diperkirakan sebelumnya. Organ lain yang juga terlibat pada DM tipe 2 adalah jaringan
lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi inkretin), sel alfa pankreas
(hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan otak (resistensi insulin),
yang ikut berperan menyebabkan gangguan toleransi glukosa. Saat ini sudah ditemukan tiga
jalur patogenesis baru dari ominous octet yang memperantarai terjadinya hiperglikemia
pada DM tipe 2 (PERKENI, 2021).
Sebelas organ penting dalam gangguan toleransi glukosa ini (egregious eleven)
perlu dipahami karena dasar patofisiologi ini memberikan konsep:
1. Pengobatan harus ditujukan untuk memperbaiki gangguan patogenesis, bukan hanya
untuk menurunkan HbA1c saja.
2. Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasarkan pada kinerja obat sesuai
dengan patofisiologi DM tipe 2.
Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau memperlambat
progresivitas kerusakan sel beta yang sudah terjadi pada pasien gangguan toleransi glukosa.
Schwartz, et al., 2016 menyampaikan, bahwa tidak hanya otot, hepar, dan sel beta pankreas
saja yang berperan sentral dalam patogenesis pasien DM tipe 2 tetapi terdapat delapan organ
lain yang berperan, disebut sebagai the egregious eleven (Gambar 1).

Gambar 1. The Egregious Eleven (Schwatrz, et al., 2016)

2.5 KLASIFIKASI
Klasifikasi Diabetes Melitus dapat dilihat pada tabel 1. (PERKENI, 2021)

Tabel 1. Klasifikasi Etiologi Diabetes Melitus


2.6 GEJALA KLINIS
Gejala diabetes melitus dibedakan menjadi akut dan kronik. Gejala akut diabetes
melitus yaitu: poliphagia (banyak makan), polidipsia (banyak minum), poliuria (banyak
kencing/sering kencing di malam hari), nafsu makan bertambah namun berat badan turun
dengan cepat (5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu), mudah lelah. Gejala kronik DM yaitu :
kesemutan, kulit terasa panas atau seperti tertusuk tusuk jarum, rasa kebas di kulit, kram,
kelelahan, mudah mengantuk, pandangan mulai kabur, gigi mudah goyah dan mudah
lepas, kemampuan seksual menurun bahkan pada pria bisa terjadi impotensi, pada ibu hamil
sering terjadi keguguran atau kematian janin dalam kandungan atau dengan bayi berat lahir
lebih dari 4 kg.13

2.7 DIAGNOSIS
Keluhan dan gejala yang khas ditambah hasil pemeriksaan glukosa darah
sewaktu > 200 mg/dl, glukosa darah puasa > 126 mg/dl sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis DM. Untuk diagnosis DM dan gangguan toleransi glukosa lainnya
diperiksa glukosa darah 2 jam setelah beban glukosa. Sekurang- kurangnya diperlukan kadar
glukosa darah 2 kali abnormal untuk konfirmasi diagnosis DM pada hari yang lain atau Tes
Toleransi Glukosa Oral (TTGO) yang abnormal. Konfirmasi tidak diperlukan pada keadaan
khas hiperglikemia dengan dekompensasi metabolik akut, seperti ketoasidosis, berat badan
yang menurun cepat.
Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji
diagnostik dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala DM, sedangkan
pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak
bergejala, tetapi punya resiko DM (usia > 45 tahun, berat badan lebih, hipertensi, riwayat
keluarga DM, riwayat abortus berulang, melahirkan bayi > 4000 gr, kolesterol HDL ≤
35 mg/dl, atau trigliserida ≥ 250 mg/dl). Uji diagnostik dilakukan pada mereka yang positif
uji penyaring.
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah
sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa
oral (TTGO), Berdasarkan PERKENI 2021, DM ditegakkan dengan:
1. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl.
2. Pemeriksaan glukosa plasma ≥ 200 mg/dl 2 jam setelah TTGO.
3. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl dengan keluhan klasik.
4. Pemeriksaan HbA1C ≥ 6.5% menggunakan metode High Performance Liquid
Chromatography (HPLC) yang terstandarisasi National Glycohemoglobin
Standardization Program (NGSP).(1,2)
2.8 PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksanaan diabetes melitus secara umum ada lima sesuai dengan
Konsensus Pengelolaan DM di Indonesia tahun 2006 adalah untuk meningkatkan kualitas
hidup pasien DM. Tujuan Penatalaksanaan DM adalah :
1. Jangka pendek: hilangnya keluhan dan tanda DM, mempertahankan ras nyaman dan
tercapainya target pengendalian glukosa darah.
2. Jangka panjang: tercegah dan terhambatnya progresifitas penyulit mikroangiopati,
makroangiopati dan neuropati.
Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM. Untuk
mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan darah, berat
badan dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara holistik dengan mengajarkan
perawatan mandiri dan perubahan perilaku.
1. Diet
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran
makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan
kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan
pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama
pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin. Standar yang
dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat 60-
70%, lemak 20-25% dan protein 10-15%. Untuk menentukan status gizi, dihitung dengan
body mass indeks (BMI).
2. Exercise (latihan fisik/olahraga)
Dianjurkan latihan secara teratur (3-4 kali seminggu) selama kurang lebih 30 menit,
yang sifatnya sesuai dengan Continous, Rhythmical, Interval, Progresive, Endurance
(CRIPE). Training sesuai dengan kemampuan pasien. Sebagai contoh adalah olah raga
ringan jalan kaki biasa selama 30 menit. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau
bermalas-malasan.
3. Pendidikan Kesehatan
Pendidikan kesehatan sangat penting dalam pengelolaan. Pendidikan kesehatan
pencegahan primer harus diberikan kepada kelompok masyarakat resiko tinggi.
Pendidikan kesehatan sekunder diberikan kepada kelompok pasien DM. Sedangkan
pendidikan kesehatan untuk pencegahan tersier diberikan kepada pasien yang sudah
mengidap DM dengan penyulit menahun.
4. Obat DM
Jika pasien telah melakukan pengaturan makan dan latihan fisik tetapi tidak berhasil
mengendalikan kadar gula darah maka dipertimbangkan pemakaian obat hipoglikemik.
a. Antidiabetik oral
Penatalaksanaan pasien DM dilakukan dengan menormalkan kadar gula darah dan
mencegah komplikasi.Lebih khusus lagi dengan menghilangkan gejala,optimalisasi
parameter metabolik, dan mengontrol berat badan. Bagi pasien DM tipe 1 penggunaan
insulin adalah terapi utama. Indikasi antidiabetik oral terutama ditujukan untuk
penanganan pasien DM tipe 2 ringan sampai sedang yang gagal dikendalikan dengan
pengaturan asupan energi dan karbohidrat serta olah raga. Obat golongan ini ditambahkan
bila setelah 4-8 minggu upaya diet dan olah raga dilakukan, kadar gula darah tetap di atas 200
mg% dan HbA1c di atas 8%. Jadi obat ini bukan menggantikan upaya diet, melainkan
membantunya.
Pemilihan obat antidiabetik oral yang tepat sangat menentukan keberhasilan
terapi diabetes. Pemilihan terapi menggunakan antidiabetik oral dapat dilakukan dengan
satu jenis obat atau kombinasi. Pemilihan dan penentuan regimen antidiabetik oral yang
digunakan harus mempertimbangkan tingkat keparahan penyakit DM serta kondisi kesehatan
pasien secara umum termasuk penyakit-penyakit lain dan komplikasi yang ada. Dalam hal ini
obat hipoglikemik oral adalah termasuk golongan sulfonilurea, biguanid, inhibitor alfa
glukosidase dan insulin sensitizing.(1,20)
b. Insulin
Insulin merupakan protein kecil dengan berat molekul 5808 pada manusia. Insulin
mengandung 51 asam amino yang tersusun dalam dua rantai yang dihubungkan
dengan jembatan disulfide, terdapat perbedaan asam amino kedua rantai tersebut. Untuk
pasien yang tidak terkontrol dengan diet atau pemberian hipoglikemik oral,
kombinasi insulin dan obat-obat lain bisa sangat efektif. Insulin kadangkala dijadikan pilihan
sementara, misalnya selama kehamilan. Namun pada pasien DM tipe 2 yang memburuk,
penggantian in
sulin total menjadi kebutuhan. Insulin merupakan hormon yang mempengaruhi
metabolisme karbohidrat maupun metabolisme protein dan lemak. Fungsi insulin antara lain
menaikkan pengambilan glukosa ke dalam sel–sel sebagian besar jaringan, menaikkan
penguraian glukosa secara oksidatif, menaikkan pembentukan glikogen dalam hati dan
otot serta mencegah penguraian glikogen, menstimulasi pembentukan protein dan lemak dari
glukosa.(1,2)

2.9 KOMPLIKASI
Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik akan menimbulkan komplikasi akut dan
kronis. Menurut PERKENI (2021), komplikasi DM dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu :
a. Komplikasi akut
1. Krisis Hiperglikemia
 Ketoasidosis Diabetik (KAD)
Komplikasi akut DM yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah
yang tinggi (300-600 mg/dL), disertai tanda dan gejala asidosis dan plasma keton (+) kuat.
Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/mL) dan peningkatan anion gap.
 Status Hiperglikemia Hiperosmolar (SHH)
Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi (>600 mg/dL),
tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat meningkat (>320 mOs/mL),
plasma keton (+/-), anion gap normal atau sedikit meningkat. Catatan: Kedua keadaan
(KAD dan SHH) tersebut mempunyai angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi,
sehingga memerlukan perawatan di rumah sakit guna mendapatkan penatalaksanaan yang
memadai.
2. Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan menurunya kadar glukosa darah <70 mg/dL.
Hipoglikemia adalah penurunan konsentrasi glukosa serum dengan atau tanpa adanya
tanda dan gejala sistem autonom, seperti adanya whipple’s triad:
o Terdapat gejala-gejala hipoglikemia
o Kadar glukosa darah yang rendah
o Gejala berkurang dengan pengobatan.

Tabel 2. Klasifikasi Hipoglikemia menurut ADA 2020

b. Komplikasi kronis
1. Komplikasi makrovaskuler
Komplikasi makrovaskuler yang umum berkembang pada penderita DM adalah trombosit
otak (pembekuan darah pada sebagian otak), mengalami penyakit jantung koroner (PJK), gagal
jantung kongetif, dan stroke.
2. Komplikasi mikrovaskuler
Komplikasi mikrovaskuler terutama terjadi pada penderita DM tipe 1 seperti
nefropati, diabetic retinopati (kebutaan), neuropati, dan amputasi.

2.10 PENCEGAHAN
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada orang orang yang termasuk
kelompok risiko tinggi, yaitu mereka yang belum menderita DM, tetapi berpotensi untuk
menderita DM diantaranya:
a. Kelompok usia tua (> 45tahun).
b. Kegemukan (BB (kg) > 120% BB idaman atau IMT>27 (kg/m2)).
c. Tekanan darah tinggi (> 140/90 mmHg).
d. Riwayat keiuarga DM.
e. Riwayat kehamilan dengan BB bayi lahir > 4000 gr.
f. Dislipidemia (HDL< 35mg/dl dan atau Trigliserida > 250mg/dl).
g. Pernah TGT atau glukosa darah puasa tergangu (GDPT).
Untuk pencegahan primer harus dikenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
timbulnya DM dan upaya untuk menghilangkan faktor-faktor tersebut. Oleh karena sangat
penting dalam pencegahan ini. Sejak dini hendaknya telah ditanamkan pengertian tentang
pentingnya kegiatan jasmani teratur, pola dan jenis makanan yang sehat menjaga badan agar
tidak terlalu gemuk, dan risiko merokok bagi kesehatan.(1,2)
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya
penyulit dengan tindakan deteksi dini dan memberikan pengobatan sejak awal penyakit.
Pilar utama pengelolaan DM meliputi: penyuluhan, perencanaan makanan, latihan jasmani, obat
berkhasiat hipoglikemik
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut dan
merehabilitasi pasien sedini mungkin, sebelum kecacatan tersebut menetap. Pelayanan
kesehatan yang holistik dan terintegrasi antar disiplin terkait sangat diperlukan, terutama
dirumah sakit rujukan, misalnya para ahli sesama disiplin ilmu seperti ahli penyakit jantung,
mata, rehabilitasi medis, gizi dan lain-lain.

2.11 EVALUASI
A. Variabilitas Glikemik
Secara umum variabilitas glikemik didefinisikan sebagai pengukuran fluktuasi
glukosa atau parameter keseimbangan glukosa lainnya dalam interval waktu tertentu. Namun,
saat ini, konsensus mengatakan tidak ada metode yang tepat untuk menilai variabilitas
glikemik. Meskipun berbagai metrik yang mengukur variabilitas glikemik telah
diperkenalkan, banyak dari metrik ini belum dipahami dengan baik. Oleh karena itu saat ini
dicari metrik yang secara efektif menggambarkan variabilitas glikemik. Terdapat dua
kategori metrik: variabilitas glikemik jangka panjang, berdasarkan penentuan serial selama
periode waktu yang lebih lama, biasanya melibatkan HbA1c, pengukuran serial glukosa
plasma puasa [fasting plasma glucosa (FPG)] dan glukosa setelah makan ([Post prandial
glucosa (PPG)], dan pengukuran variabilitas glikemik jangka pendek, dinilai dengan within
day GV dan between day GV (Tabel 1).

Satu-satunya metrik pilihan untuk variabilitas glikemik disajikan dalam laporan


konsensus yang baru-baru ini diterbitkan adalah coefficient of variance (CV). Persentase CV
bisa mudah dihitung dari rumus berikut: [%CV = 100× (SD glukosa)/ glukosa rata-rata]. Ini
mencerminkan amplitudo variabilitas glikemik relatif terhadap rata-rata glukosa darah,
dengan demikian, hubungan linier dengan glukosa rata-rata menghilang dan lebih tepat
mencerminkan perjalanan hipoglikemik daripada SD.(35,36)

Apabila SD sama dengan 40 mg/dL, jika rata-rata glukosa adalah 150 mg/dL, CV
adalah 26,7% dan jika rata-rata glukosa adalah 80 mg/dL, maka CV akan menjadi 50%.
Metrik lain seperti mean amplitudo perjalanan glikemik (MAGE), glukosa rendah atau tinggi
indeks (LBGI, HBGI), area di bawah kurva (AUC) dan lainnya dikecualikan karena
kerumitan dalam perhitungan.(35,37)

B. Alat ukur/ Metode evaluasi : HbA1C dan CGM


Metode pengukuran variasi glikemik berbeda-beda dalam beberapa tahun terakhir.
Pendekatan tradisional untuk mengukur variasi glikemik mengandalkan Self Monitoring
Blood Glucosa (SMBG), tetapi metode ini secara bertahap digantikan oleh Continous
Glucosa Monitoring (CGM) selama beberapa tahun terakhir ini. Dibandingkan dengan
SMBG, CGM dengan pengukuran glukosa kontinyu setiap interval 5 menit memberikan
catatan yang lebih komprehensif selama periode siang dan malam hari.

Continous Glucose Monitoring (CGM) mengatasi masalah yang melekat pada HbA1c
dan SMBG dengan menginformasikan kadar glukosa secara serial dengan berbagai metrik
CGM untuk lebih memahami profil glikemik individual, yang pada akhirnya mengarah pada
peningkatan kontrol glikemik. Terlebih lagi, karena telah banyak perbaikan sensor akurasi,
kenyamanan penggunaan, dan penggantian serta sudah banyak penelitian lain yang telah
menunjukkan peningkatan dalam kontrol glikemik terlepas dari jenis diabetes dan metode
pemberian insulin, penggunaan CGM berkembang dengan pesat. Dengan meningkatnya
popularitas Continous glucose monitoring (CGM), TIR telah berkembang sebagai metrik
utama untuk menilai komplikasi diabetes. Studi sebelumnya telah menyimpulkan bahwa
setiap 10% peningkatan TIR sesuai dengan ~0,5% penurunan HbA1c pada pasien diabetes
tipe 1 (T1D) dan T2D.
Pada Februari 2019, pernyataan konsensus tentang 10 metrik inti CGM, termasuk
waktu yang dihabiskan dalam rentang target; Time in Range (TIR, 70 hingga 180 mg/dL),
yang telah muncul sebagai metrik penting untuk melengkapi HbA1c. Dalam ulasan ini
penggunaan CGM terus meningkat sebagai standar perawatan baru pada diabetes, kami
memberikan informasi terperinci tentang CGM inti metrik, terutama berfokus pada TIR,
untuk secara efektif menggunakan dan menafsirkannya dalam praktik klinis.
CGM memungkinkan pengguna untuk mendapatkan profil glukosa lengkap dengan
mengukur kadar glukosa interstisial setiap 5 hingga 15 menit (96 hingga 288
pengukuran/hari). Hal ini juga memungkinkan untuk pengembangan inti metrik untuk
pemahaman yang komprehensif tentang status glikemik, seperti waktu yang dihabiskan di
TIR, hiperglikemia, atau hipoglikemia, dan variabilitas glikemik[10]. Dalam menafsirkan
data CGM, setidaknya diperlukan selama 14 hari dengan penilaian waktu yang diperiksa
sedikitnya 70% atau lebih diperlukan untuk menyediakan perkiraan yang baik untuk periode
3 bulan dari TIR dan metrik hiperglikemik. Namun diperlukan lebih dari 14 hari data untuk
mendapatkan metrik hipoglikemik yang akurat dan koefisien varians (CV). Ketika data yang
cukup telah dikumpulkan sebagai bahan intepretasi, maka bisa dibuat Laporan Ambulatory
Glucose Profile (AGP), yang memvisualisasikan metrik dan target CGM selama beberapa
hari ke dalam periode 24 jam tunggal dalam sebuah makalah, dan dapat digunakan untuk
membuat suatu keputusan terapeutik. [12].
Glucose management indicator (GMI) yang diturunkan dari CGM termasuk dalam
metrik inti. GMI adalah perkiraan HbA1c dari glukosa rata-rata yang diukur dengan CGM.
Oleh karena itu GMI dapat memperkirakan HbA1c selama periode singkat, karena
laboratorium HbA1c mencerminkan status glikemik jangka panjang lebih dari 2 sampai 3
bulan. Hal ini membuat GMI menjadi metrik yang lebih dipersonalisasi dalam manajemen
diabetes daripada HbA1c laboratorium saat digunakan bersama dengan metrik inti lainnya.(15-
19)

C. Target kontrol Glikemik


Kontrol glikemik mengacu pada seberapa besar perbedaan metabolisme karbohidrat
seseorang dari nilai standar. Kontrol glikemik merupakan suatu dasar dalam pengelolaan atau
manajemen DM. Pengukuran kontrol glikemik ini berfungsi untuk menilai konsentrasi
glukosa darah untuk mengukur metabolisme glukosa. Hasil pemantauan digunakan untuk
menilai manfaat pengobatan, sebagai pedoman penyesuaian diet, latihan jasmani dan obat-
obatan agar mencapai kadar glukosa darah senormal mungkin, sehingga dapat terhindar dari
hiperglikemia atau hipoglikemia (Tandra, 2017).
Kontrol glikemik dinilai dengan pengukuran HbA1C, pemantauan glukosa
berkelanjutan (CGM) baik menggunakan time in range (TIR) dan/atau indikator manajemen
glukosa (GMI), dan pemantauan glukosa darah (BGM). HbA1C adalah metrik yang
digunakan hingga saat ini dalam uji klinis yang menunjukkan manfaat dari peningkatan
kontrol glikemik. Pemantauan glukosa individu adalah alat yang berguna untuk manajemen
mandiri diabetes, yang meliputi pengaturan makan, olahraga, dan pengobatan, terutama pada
individu yang menggunakan insulin. CGM memainkan peran yang semakin penting dalam
pengelolaan efektivitas dan keamanan pengobatan pada banyak pasien dengan diabetes tipe 1
dan tipe 2.
1. Penilaian Glikemik

HbA1C mencerminkan rata-rata glikemia selama kurang lebih 3 bulan. Kinerja tes
umumnya sangat baik berdasarkan tes bersertifikat National Glycohemoglobin
Standardization Program (NGSP). Tes ini adalah alat utama untuk menilai kontrol glikemik
dan memiliki nilai prediksi yang kuat untuk komplikasi diabetes. Dengan demikian,
pengujian HbA1C harus dilakukan secara rutin pada semua pasien dengan diabetes pada
penilaian awal dan sebagai bagian dari perawatan berkelanjutan. Pengukuran kira-kira setiap
3 bulan menentukan apakah target glikemik pasien telah tercapai dan dipertahankan.
Penilaian selama 14 dari TIR pada CGM dan GMI dapat berfungsi sebagai pengganti HbA1C
untuk digunakan dalam manajemen klinis. Frekuensi tes HbA1C harus bergantung pada
situasi klinis, rejimen pengobatan, dan penilaian dokter.

Penggunaan pengujian HbA1C di tempat perawatan atau TIR dan GMI yang
diturunkan dari CGM dapat memberikan kesempatan untuk perubahan pengobatan yang lebih
tepat selama pertemuan antara pasien dan penyedia layanan kesehatan. Pasien dengan
diabetes tipe 2 dengan glikemia stabil yang sesuai dengan target dapat melakukan
pemeriksaannya baik dengan pengujian HbA1C atau penilaian glukosa lainnya hanya dua
kali per tahun. Pasien yang tidak stabil atau dikelola secara intensif atau orang yang tidak
mencapai tujuan dengan penyesuaian pengobatan mungkin memerlukan pengujian lebih
sering (setiap 3 bulan dengan penilaian sementara yang diperlukan untuk keamanan).
Parameter CGM dapat dilacak di klinik atau melalui telemedicine untuk mengoptimalkan
manajemen diabetes.

2. Tujuan glikemik
Secara keseluruhan, terlepas dari populasi yang dilayani, sangat penting bagi target
glikemik untuk digabungkan ke dalam strategi yang berpusat pada pasien secara keseluruhan.
Misalnya, pada anak yang sangat muda, keamanan dan kesederhanaan mungkin lebih penting
daripada kebutuhan akan kontrol yang sempurna dalam jangka pendek. Penyederhanaan
dapat menurunkan kecemasan orang tua dan membangun kepercayaan dan keyakinan, yang
dapat mendukung penguatan lebih lanjut dari target glikemik dan efikasi diri. Demikian pula,
pada orang dewasa yang lebih tua yang sehat, tidak ada kebutuhan empiris untuk
melonggarkan kontrol. Namun, penyedia perlu bekerja dengan individu dan harus
mempertimbangkan untuk menyesuaikan target atau menyederhanakan rejimen jika
perubahan ini diperlukan untuk meningkatkan keamanan dan kepatuhan.
D. Variasi glikemik dan komplikasi makrovaskular diabetes

Secara umum telah diketahui bahwa komplikasi makrovaskular termasuk penyakit


arteri koroner, penyakit pembuluh darah perifer dan penyakit serebrovaskular. Sebuah meta-
analisis menemukan bahwa penilaian model homeostasis resistensi insulin (HOMA-IR) dan
penurunan tingkat ketebalan media intima (IMT) adalah faktor risiko penyakit kardiovaskular
(CVD) dan secara signifikan lebih kecil pada kelompok dengan variasi glikemik yang rendah
dibandingkan kelompok variasi glikemik yang tinggi.

Meminimalkan variasi glikemik dapat memperbaiki resistensi insulin dan IMT, serta
konsisten dengan penurunan risiko CVD. Selain itu, studi analisis kohort post prosedur
tindakan termasuk 160 pasien dengan atau tanpa diabetes mellitus menunjukkan bahwa
variasi glikemik pascaprosedural dinilai dengan menghitung rata-rata glukosa darah harian
selama 2 hari pertama setelah implantasi katup aorta transkateter dikaitkan dengan
peningkatan risiko komplikasi makrovaskular (stroke, infark miokard dan kematian).
Demikian pula, sebuah penelitian retrospektif yang melibatkan 2215 pasien yang menjalani
pencangkokan bypass arteri koroner melaporkan bahwa peningkatan variasi glikemik 24 jam
pasca operasi merupakan prediktor efek buruk dari komplikasi tindakan. Benalia dkk
mengungkapkan bahwa pasien Diabetes Melitus tipe 2 yang dirawat karena infark miokard
akut dengan peningkatan variasi glikemik memiliki skor SYNTAX yang jauh lebih tinggi.
Skor SYNTAX yang menggambarkan keparahan lesi arteri koroner, secara independen
dikaitkan dengan variasi glikemik tinggi di luar kadar HbA1c dan menunjukkan bahwa
variasi glikemik dikaitkan dengan keparahan penyakit arteri koroner. Hal ini dapat diartikan
bahwa evaluasi awal variasi glikemik dapat berfungsi sebagai target terapi untuk pencegahan
primer dan sekunder dari penyakit arteri koroner.

Konsisten dengan metrik variasi glikemik jangka pendek, variasi glikemik jangka
panjang juga berkorelasi dengan komplikasi makrovaskular diabetes. Sebuah studi prospektif
oleh Gerbaud dan rekanrekannya menemukan bahwa variasi glikemik jangka panjang yang
dinilai oleh SD selama rawat inap awal adalah faktor prediktif independen terkuat untuk
kejadian kardiovaskular jangka menengah pada pasien dengan diabetes. Demikian pula, studi
kohort prospektif lainnya termasuk 53.607 pasien di Cina melaporkan bahwa peningkatan
variabilitas FPG secara signifikan meningkatkan risiko CVD dan semua penyebab kematian.

Sebuah studi kohort prospektif dengan 455 pasien dengan DMT2 dan yang di follow
up selama rata-rata 4,7 tahun memperlihatkan bahwa variabilitas FPG yang dihitung oleh CV
bisa menjadi faktor risiko baru untuk perubahan merugikan jangka panjang pada struktur
jantung kiri dan fungsi sistolik pada pasien dengan DMT2. Dalam Veteran Afairs Diabetes
Trial (VADT), variabilitas FPG dievaluasi oleh CV dan rata-rata variabilitas nyata secara
signifikan terkait dengan CVD bahkan setelah disesuaikan dengan faktor risiko pada pasien
dengan DMT2. Selain itu, studi Coronary Artery Risk Development in Young Adults
(CARDIA) menunjukkan bahwa variabilitas FPG jangka panjang yang lebih tinggi yang
dinilai oleh CV selama masa dewasa muda sebelum timbulnya diabetes dikaitkan dengan
insiden diabetes, kejadian makrovaskular, dan kematian. Barubaru ini, Lee dkk menunjukkan
bahwa variabilitas FPG jangka panjang yang dihitung dengan VIM berkorelasi dengan risiko
stroke, infark miokard, dan semua penyebab kematian pada pasien diabetes.
E. GV dan komplikasi mikrovaskular diabetes

Nefropati diabetik (DN), neuropati perifer diabetik (DPN) dan retinopati diabetik
(DR) merupakan komplikasi mikrovaskuler utama yang disebabkan oleh hiperglikemia
kronis. Seperti komplikasi makrovaskular diabetes, variasi glikemik juga memainkan peran
penting dalam komplikasi mikrovaskular diabetes (Tabel 3).

F. Peran variasi glikemik dalam Nefropati Diabetik

Analisis berdasarkan tiga uji klinis besar dan dirancang dengan baik menunjukkan
temuan yang konsisten bahwa variabilitas FPG berkorelasi dengan peningkatan risiko DN
sedang hingga berat. Dalam database Association of Clinical Diabetologists Annals, Ceriello
dkk mengidentifikasi bahwa variabilitas tinggi dalam HbA1c (dinilai oleh SD) memiliki
risiko tertinggi untuk terjadinya kejadian albuminuria, berkontribusi pada perkembangan
penyakit ginjal diabetes. Demikian pula, penelitian lain juga menegaskan bahwa HbA1c_CV
merupakan faktor risiko independen untuk kerusakan fungsi ginjal, dan minimalisasi awal
dari variasi glikemik dapat mencegah penurunan fungsi ginjal.

G. Peran GV dalam Neuropati diabetik perifer

Variasi glikemik jangka pendek yang diukur dengan oleh MAGE di CGM ditemukan
secara independen terkait dengan risiko DPN yang lebih tinggi pada diabetes tipe 1 atau 2,
tetapi penelitian ini memiliki ukuran sampel yang kecil, yang mungkin tidak dapat
mengevaluasi pasien dengan komplikasi diabetes yang parah. Yang dkk menemukan bahwa
penurunan tingkat TIR secara signifikan terkait dengan peningkatan risiko neuropati diabetik
sebagai ukuran evaluasi klinis yang berharga. Studi retrospektif sebelumnya melaporkan
bahwa variabilitas jangka panjang yang dievaluasi oleh CV FPG dikaitkan dengan risiko
DPN pada pasien dengan DMT2. Konsisten dengan hasil ini, beberapa penelitian menemukan
bahwa HbA1c, CV FPG dan CV-HbA1c meningkatkan risiko DPN dan merupakan prediktor
kuat DPN pada pasien DMT2.

H. Peran variasi glikemik di Retinopati diabetik

Di antara total 3262 pasien dengan DMT2, Lu dkk menunjukkan bahwa TIR yang
diukur dengan CGM secara signifikan terkait dengan kejadian semua tahap Retinopati
diabetik. Dalam Studi Kelompok Diabetes Tipe 2 Rio De Janeiro, variasi glikemik jangka
panjang khususnya parameter 24 bulan baik yang diperkirakan oleh HbA1c atau FPG, dapat
memprediksi perkembangan retinopati pada pasien dengan kontrol glikemik yang baik
(HbA1c <7,5%, 58 mmol/mol) dan memprediksi terjadinya neuropati perifer baru. Sebuah
meta-analisis baru-baru ini menunjukkan bahwa variabilitas FPG yang tinggi (dinilai dengan
median atau rata-rata tingkat variabilitas FPG) sangat terkait dengan risiko retinopati [rasio
odds (OR) = 3,68; 95% CI 1,01-13,4] pada pasien dengan DMT2. Namun demikian, untuk
pasien lanjut usia dengan DMT2, variabilitas FPG tidak meningkatkan perkembangan
Retinopati diabetik. Di sisi lain, variabilitas jangka panjang HbA1c yang dinilai dengan CV
atau nilai rata-rata terkait erat dengan DR (OR: 8,93; 95% CI 1,86-42,87), menunjukkan
bahwa status glikemik yang baik dan stabil mungkin penting untuk mencegah komplikasi
mikrovaskular.

I. Mekanisme GV yang relevan pada komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular


diabetes

Akumulasi bukti klinis menggambarkan hubungan variasi glikemik dan komplikasi


makrovaskular dan mikrovaskular diabetes, melewati mekanisme yang relevan sangat banyak
dan tidak jelas. Studi sebelumnya menunjukkan bahwa variasi glikemik dikaitkan dengan
risiko hiperglikemia dan hipoglikemia. Semakin banyak bukti telah menunjukkan bahwa GV,
hipoglikemia dan hiperglikemia semuanya terkait erat dengan stres oksidatif. Perlu dicatat
bahwa hiperglikemia transien telah terbukti menginduksi lebih banyak kerusakan pembuluh
darah daripada hiperglikemia berkelanjutan, terutama dimediasi oleh stres oksidatif.
Selanjutnya, beberapa penelitian menunjukkan bahwa hiperglikemia transien dapat
menyebabkan perubahan epigenetik, seperti memori metabolik seluler, peningkatan resistensi
insulin dan disfungsi sel pankreas dan apoptosis.

Menariknya, Costantino dkk menunjukkan bahwa MAGE secara independen terkait


dengan epigenetik yang merugikan pada promotor p66Shc dan mengakibatkan perubahan
kromatin, yang menyebabkan disfungsi vaskular persisten pada pasien dengan DMT2.
Menariknya, percobaan pada hewan juga menunjukkan bahwa variasi glikemik yang lebih
tinggi menunjukkan produksi spesies oksigen reaktif yang lebih banyak dan terjadinya
disfungsi endotel. Lebih penting lagi, fluktuasi glikemia jangka pendek dilaporkan
menginduksi produksi berlebih dari superoksida, pembentukan sitokin inflamasi, peningkatan
stres oksidatif dan disfungsi endotel yang berkontribusi pada komplikasi diabetes kronis.

Variasi glikemik tinggi juga telah terbukti terkait dengan risiko hipoglikemia, yang
mungkin menjadi penyebab independen kerusakan kardiovaskular. Mekanisme potensial
dimana hipoglikemia dapat menyebabkan peningkatan risiko kardiovaskular dimanifestasikan
oleh pelepasan sitokin inflamasi, peningkatan aktivasi trombosit dan disfungsi endotel.
Secara kolektif, hasil ini menunjukkan bahwa variasi glikemik tinggi meningkatkan risiko
hiperglikemia dan hipoglikemia, selanjutnya menginduksi stres oksidatif, produksi sitokin
inflamasi, perubahan epigenetik dan disfungsi serta kerusakan endotel, yang pada akhirnya
berkontribusi pada komplikasi diabetes.

J. Strategi terapi berbasis mekanisme

Ada beberapa kemungkinan strategi nonfarmakologis dan farmakologis berbasis


mekanisme untuk mengurangi GV dalam praktik klinis (Tabel 4). CGM, baik dari
penggunaan waktu nyata atau sesekali dilihat, memiliki efek menguntungkan pada kontrol
metabolik, mengurangi risiko hiperglikemia dan hipoglikemia, dan menurunkan GV,
konsentrasi glukosa rata-rata, dan nilai HbA1c. Konsensus internasional tentang penggunaan
CGM menyoroti pentingnya menilai dan melaporkan persentase TIR, waktu di atas kisaran
(TAR) dan waktu di bawah kisaran (TBR) dalam hubungannya dengan evaluasi kontrol
glukosa. Selain itu, analisis meta baru-baru ini menemukan bahwa CGM dapat meningkatkan
kontrol glikemik dengan memperluas TIR dan menurunkan GV, TBR dan TAR pada
diabetes. Selain itu, penelitian sebelumnya menyarankan bahwa latihan olahraga, termasuk
latihan resistensi dan latihan aerobik, dapat mengurangi GV dan tingkat stres oksidatif pada
pasien dengan DMT2. Secara analog, sebuah penelitian baru-baru ini mengungkapkan bahwa
dua minggu dari keduanya dengan latihan intensitas interval tinggi dan pelatihan
berkelanjutan dengan intensitas sedang menurunkan GV dan kerusakan sel endotel pada
wanita gemuk dengan risiko tinggi DMT2. Sebagai catatan, latihan aerobik dan eksentrik
mengurangi GV pada individu sehat, yang mungkin dimediasi oleh sitokin inflamasi dan
penanda stres oksidatif. Strategi nonfarmakologis lainnya adalah intervensi diet. Diet rendah
karbohidrat tampaknya cukup untuk mengurangi hiperglikemia postprandial dan
meningkatkan fluktuasi glukosa, menghasilkan lebih banyak waktu dalam euglikemia, lebih
sedikit waktu pada hipoglikemia dan lebih sedikit GV

K. Strategi farmakologis

Obat penurun glukosa yang dipakai untuk mencapai target HbA1c dan menurunkan
risiko hipoglikemia sangat penting untuk pengelolaan diabetes. Sebuah studi percontohan
secara acak menyimpulkan bahwa trelagliptin sekali seminggu dan alogliptin sekali sehari
mengurangi GV dan meningkatkan kontrol glikemik tanpa menyebabkan efek samping yang
muncul akibat pengobatan dan hipoglikemia. Khususnya, manfaat yang lebih besar
ditunjukkan dalam terapi yang menggabungkan obat penurun glukosa baru dengan metformin
atau insulin. Kombinasi insulin basal dengan agonis reseptor 1 peptida seperti glukagon
(GLP-1 RA) menunjukkan GV dan efek hipoglikemia terendah pada pasien dengan DMT2,
yang mungkin berkontribusi pada pengurangan risiko kejadian kardiovaskular. Lebih jauh
lagi, inhibitor dipeptidyl peptidase 4 (DPP4) dikombinasikan dengan terapi metformin
memperbaiki kadar glukosa dengan penurunan GV dan hipoglikemia yang jauh lebih besar.
Selanjutnya, penelitian saat ini menyimpulkan bahwa terapi metformin plus vildagliptin lebih
efektif daripada monoterapi metformin dengan melemahkan indeks stres oksidatif. Hasil yang
konsisten diperoleh ketika kombinasi penghambat sodium glucose cotransporter 2 (SGLT2)
dengan terapi insulin. Empaglifozin sebagai tambahan untuk insulin menurunkan paparan
glukosa dan variabilitas, serta peningkatan waktu dalam kisaran target glukosa pada pasien
dengan T1DM.

Dalam pengobatan hipoglikemia petugas kesehatan harus terus menasihati pasien


untuk mengobati hipoglikemia dengan karbohidrat kerja cepat pada nilai hipoglikemia 70
mg/dL (3,9 mmol/L) atau kurang. Ini harus diperiksa pada setiap kunjungan pasien.
Pengobatan hipoglikemia memerlukan konsumsi makanan yang mengandung glukosa atau
karbohidrat. Respon glikemik akut berkorelasi lebih baik dengan kandungan glukosa
makanan dibandingkan dengan kandungan karbohidrat makanan. Glukosa murni adalah
pengobatan yang lebih disukai, tetapi segala bentuk karbohidrat yang mengandung glukosa
akan meningkatkan glukosa darah. Lemak yang ditambahkan dapat memperlambat dan
kemudian memperpanjang respon glikemik akut. Pada diabetes tipe 2, protein yang dicerna
dapat meningkatkan respon insulin tanpa meningkatkan konsentrasi glukosa plasma. Oleh
karena itu, sumber karbohidrat tinggi protein tidak boleh digunakan untuk mengobati atau
mencegah hipoglikemia. Aktivitas insulin yang sedang berlangsung atau insulin dapat
menyebabkan hipoglikemia berulang kecuali lebih banyak makanan tertelan setelah
pemulihan. Setelah glukosa kembali normal, individu harus dinasihati untuk makan makanan
atau makanan ringan untuk mencegah hipoglikemia berulang.

 Glukagon

Penggunaan glukagon diindikasikan untuk pengobatan hipoglikemia pada orang yang


tidak mampu atau tidak mau mengonsumsi karbohidrat melalui mulut. Mereka yang
berhubungan dekat dengan, atau memiliki perawatan kustodian, orang dengan diabetes yang
rentan hipoglikemia (anggota keluarga, teman sekamar, personel sekolah, penyedia penitipan
anak, staf lembaga pemasyarakatan, atau rekan kerja) harus diinstruksikan tentang
penggunaan glukagon, termasuk di mana glukagon produk disimpan dan kapan dan
bagaimana mengelolanya. Seseorang tidak perlu menjadi profesional perawatan kesehatan
untuk mengelola glukagon dengan aman. Selain bubuk injeksi glukagon tradisional yang
memerlukan rekonstitusi sebelum injeksi, glukagon intranasal dan glukagon siap pakai
persiapan untuk injeksi subkutan tersedia. Perawatan harus diambil untuk memastikan bahwa
produk glukagon tidak kedaluwarsa

BAB III
TIME IN RANGE (TIR)

3.1 DEFINISI
Time in range (TIR) adalah metrik lain, yang didefinisikan sebagai persentase glukosa
waktu antara 70 mg/dL dan 180 mg/dL (3,9–10.0 mmol/L). Selama beberapa tahun terakhir,
TIR telah menjadi populer sebagai penanda pengganti kontrol glikemik, yang juga
berkorelasi dengan A1c.4 Konsensus internasional merekomendasikan TIR 70% untuk
menyelaraskan dengan A1c sebesar ~7%, dengan penurunan 0,5% pada A1c per 10%
peningkatan TIR.(4,6) Selanjutnya, peningkatan 5% pada TIR dikaitkan dengan manfaat klinis
yang signifikan di antara pasien dengan diabetes mellitus tipe 2 (DMT2).

3.2 METODE PENGUKURAN

Time in range adalah jumlah waktu yang Anda habiskan dalam kisaran target gula
darah (glukosa darah) antara 70 dan 180 mg/dL bagi kebanyakan orang. Metode waktu
bekerja dengan data CGM dengan melihat jumlah waktu gula darah berada dalam kisaran
target dan waktu tinggi (hiperglikemia) atau rendah (hipoglikemia). Dalam waktu rentang
sering digambarkan sebagai grafik batang yang menunjukkan persentase waktu selama
jumlah waktu tertentu ketika gula darah rendah, dalam kisaran, dan tinggi. Data ini berguna
untuk mengetahui jenis makanan dan tingkat aktivitas apa yang menyebabkan gula darah naik
dan turun.
Sebelum konsensus 2017, TIR dilaporkan dalam berbagai cara, dan tidak mungkin
membandingkan satu studi dengan studi lainnya. Kesepakatan konsensus menyelesaikan
diskusi tentang metrik apa yang terbaik untuk digunakan. Pada tahun 2019, konsensus
internasional TIR merekomendasikan target klinis untuk data CGM untuk T1DM dan T2DM,
pasien berisiko atau "frail" dengan diabetes dan menetapkan rekomendasi khusus untuk
kehamilan. Selain itu, persentase waktu dalam hipoglikemia dan hiperglikemia juga
merupakan suatu masalah dalam konsensus internasioal-TIR.

3.3 EFEK TERHADAP PENGOBATAN ORAL/INSULIN

Beberapa penelitian telah menggunakan TIR sebagai indikator kontrol glukosa darah
saat mengevaluasi efisiensi atau membandingkan pengobatan/ intervensi yang berbeda untuk
manajemen T2D. Gal dkk menilai kelayakan inisiasi CGM jarak jauh pada 7 pasien T2D,
berhasil memanfaatkan TIR sebagai ukuran hasil. Sofizadeh, et al., 2019, mengukur efek
Liraglutide, reseptor glukagon like peptide-1 (GLP-1) pada kontrol glikemik pada 124 pasien
T2D yang diobati dengan MDI dalam hal waktu-dalam-hipoglikemia (TBR), waktu-dalam-
hiperglikemia (TAR), dan TIR. Kelompok perlakuan liraglutide menghabiskan lebih banyak
waktu dalam kadar glukosa target dan lebih sedikit waktu pada kadar glukosa yang sangat
tinggi. Demikian pula, Zheng dkk menunjukkan efek latihan aerobik intensitas sedang
sebelum sarapan, strategi intervensi yang diadopsi untuk mengatasi Dawn phenomenon (DP)
pada 20 pasien diabetes tipe 2 menggunakan TIR. Intervensi ini ternyata meningkatkan TIR
menjadi 90,75 + 12,27% dibandingkan dengan 83,5 + 15,41% sebelum latihan. Gao F dkk.,
menggunakan TIR bersama dengan HbA1c untuk mengevaluasi efek Acarbose (ACA) atau
metformin (MET) yang dikombinasikan dengan insulin premix (INS) pada kontrol glikemik.
Vianna dkk memanfaatkan peningkatan TIR dan GV sebagai ukuran untuk
membandingkan efek dapagliflozin dan gliclazide modified release (MR) pada 97 peserta
(usia rata-rata: 57,9 8,7 tahun) dengan T2D yang tidak terkendali. Data menunjukkan bahwa
pada kelompok dapagliflozin TIR meningkat sebesar 24,9% dari baseline dan pada kelompok
MR glicazid peningkatannya sebesar 17,4%. GV yang diukur dengan persentase CV
meningkat secara signifikan sebesar 3,8% pada kelompok MR gliklazid dan tidak
menunjukkan perbedaan pada kelompok dapagliflozin (0,7%). Kedua kelompok tidak
menunjukkan perubahan signifikan dalam persentase HbA1c dari baseline (kelompok
dapagliflozin: -1% dan kelompok MR gliklazid: -1,3%). Studi ini menetapkan persentase TIR
sebagai metrik yang menjanjikan untuk perbandingan dua agen terapeutik yang berbeda pada
diabetes.
Memahami kesenjangan sosial-ekonomi yang diamati dalam distribusi heterogen T2D
dalam suatu populasi sangat penting untuk berkontribusi secara efektif pada intervensi
kesehatan masyarakat. Khususnya, TIR merupakan dimensi yang lebih sederhana bagi pasien
T2D untuk memahami, memahami, dan mewariskan kekuatan untuk mengoptimalkan
pengelolaan penyakit sendiri. Tan et al menyelidiki hubungan antara status sosial ekonomi
(SES) dan TIR pada 300 pasien T2D yang dikategorikan berdasarkan Indeks Sosial Ekonomi.
Studi tersebut memperlihatkan bahwa kelompok pasien mempunyai status lebih tinggi
dikaitkan dengan TIR 15% lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang punya status
sosial lebih rendah dan menegaskan kemanjuran TIR untuk mewacanakan perbedaan dalam
prevalensi T2D dan mengembangkan pendidikan pasien dan rencana dukungan manajemen
diri.

3.4 HUBUNGAN TIR DENGAN KADAR INSULIN DAN HbA1c


Sampai saat ini, sangat sedikit data yang disajikan tentang besarnya TIR yang dapat
dicapai pada pasien dengan T2D. Dalam uji Multiple Daily Injections and Continuous
Glucose Monitoring in Diabetes (DIAMOND), Beck, et al., secara substansial menunjukkan
bahwa 158 pasien T2D (usia rata-rata: 60 +10 tahun) yang menerima beberapa suntikan
harian (MDI) insulin telah meningkatkan TIR mereka dari 55,6% menjadi 61,3% setelah 24
minggu inisiasi CGM.
Table 1. Estimation of HbA1c for given CGM-derived TIR

Tabel 2. Correlation between TIR (70–180 mg/dL or 3.9–10.0 mmol/L) and HbA1c

Bukti tentang bagaimana TIR berhubungan dengan hasil klinis dalam penganganan
T2D telah terwujud dari beberapa penelitian terbaru. Pada tahun 2019, sebuah meta-analisis
oleh Vigersky dan McMahon melaporkan bahwa setiap 10% perubahan TIR, menghasilkan
perubahan 0,8% pada HbA1c pada populasi campuran diabetes tipe 1/tipe 2. Studi ini
menyatakan prospek persentase TIR sebagai metrik yang disukai untuk menentukan titik
akhir studi klinis, memperkirakan risiko komplikasi diabetes, dan mengukur status glikemik
individu pasien. Sebuah studi yang dilakukan oleh Beck, et al., di Onduo's Virtual Diabetes
Clinic (VDC), AS, memperkuat korelasi antara TIR dan A1c. Kelompok tersebut mengamati
TIR rata-rata 84% pada 194 pasien T2D dengan rata-rata HbA1c 7% (53 mmol/mol). Sejalan
dengan konsensus internasional, Kesavadev dkk mengungkapkan bahwa TIR >70% akan
sesuai dengan tingkat A1c <7,5% pada populasi Asia Indian.
Mayoritas studi yang ada telah melaporkan hubungan linier antara TIR dan HbA1c.
Tapi asosiasi yang tepat bisa lebih rumit. Menariknya Lu J dkk mengamati bahwa GV
memiliki efek pengubah pada hubungan ini. Studi ini melaporkan variabilitas nilai TIR yang
lebih tinggi pada pasien T2D dengan eHbA1c kisaran tinggi atau rendah atau koefisien
variasi tidak stabil (CV). Studi-studi ini menunjukkan bahwa TIR harus berubah sebagai
target kuat dan prediktor dari komplikasi diabetes dan harus menjadi rutinitas harian dalam
perawatan diabetes. Korelasi A1c untuk tingkat TIR tertentu berdasarkan analisis T2D ini
terdapat pada Tabel 1. Analisis serupa diperlukan pada populasi asal yang berbeda karena
profil demografis dan biokimia T2D bervariasi secara signifikan di antara populasi global.

Gambar. (A) Hubungan linier terbalik antara perubahan TIR dan perubahan HbA1c berbeda sesuai
dengan data HbA1c awal. Peningkatan 10% pada TIR hanya cocok dengan penurunan -0,4% HbA1c
pada pasien dengan HbA1c awal <7,0% tetapi dengan penurunan -1,0% pada HbA1c pada mereka
dengan HbA1c awal 8.0%. (B) Hubungan linier terbalik antara TIR dan glukosa rata-rata
dipertahankan hanya pada nilai glukosa 120 hingga 200 mg/dL, dan sebaliknya turun ketika glukosa
kadarnya menurun di bawah 120 mg/dL. (C) Hubungan antara TIR dan HbA1c berbeda dengan %CV.
TIR jauh lebih rendah pada mereka dengan %CV tinggi, bahkan pada mereka dengan HbA1c yang
sama.
3.5 PENGGUNAAN TIR SEBAGAI PENCEGAHAN HIPOGLIKEMIK

Saat ini masih sangat sedikit bukti berbasis penelitian tentang hubungan antara TIR
sebagai variabel hasil dari kontrol glikemik dan komplikasi mikro dan makrovaskular terkait
T2D. Omar, et al., 2015, sebelumnya telah menunjukkan bahwa pasien dengan TIR >80%,
terlepas dari status diabetes, mencapai hasil klinis yang lebih baik. Sebuah studi oleh Lu J
dkk melaporkan bahwa TIR yang dinilai dengan menggunakan CGM memiliki hubungan
negatif dengan semua tahap Diabetic Retinopathy (DR) (dinilai sebagai non-DR, mild non-
proliferatif ringan DR (NPDR), moderate NPDR, atau vison threathning DR) pada pasien
dengan T2D. Temuan menunjukkan bahwa keparahan DR menurun sejalan dengan
peningkatan progresif dari TIR. Studi ini juga menemukan bahwa hubungan antara TIR dan
DR tidak tergantung pada metrik HbA1c dan GV. Mayeda dkk mempelajari hubungan antara
TIR dan Diabetic peripheral neuropathy (DPN) di antara 105 pasien T2D dengan penyakit
ginjal kronis sedang hingga berat (CKD). TIR yang lebih rendah dan Glucose Manangement
Indikator (GMI) yang lebih tinggi ditemukan berhubungan dengan gejala dan prevalensi
DPN. Untuk pasien dengan TIR >70%, prevalensi DPN diperkirakan sebesar 43% sedangkan
untuk pasien dengan TIR <70% prevalensi sebesar 74% dan setiap penurunan TIR 10%
dihubungkan dengan peningkatan risiko DPN sebesar 25%. Hal yang penting juga bahwa
penelitian ini tidak menemukan hubungan signifikan antara HbA1c dan gejala DPN.
Yoo, et al., mengamati bahwa metrik TIR dan hiperglikemia sangat terkait dengan
albuminuria pada T2D. Prevalensi albuminuria rendah pada pasien T2D yang mencapai target
TIR 70–180 mg/dL, TAR >180 mg/dL, dan TAR >250 mg/dL. Studi ini melaporkan
kemungkinan terjadinya albuminuria sebesar 0,94 dengan peningkatan 10% pada TIR.
Li C, et al., menyelidiki frekuensi Dawn Phenomenon (DP) dan hubungannya dengan
Time in Range (TIR) dan variabilitas glikemik (GV) pada pasien diabetes dengan toleransi
glukosa normal, gangguan regulasi glukosa, dan T2D yang baru didiagnosis. TIR secara
signifikan lebih rendah pada kelompok DP.
Studi-studi ini tidak diragukan lagi membuktikan TIR sebagai metrik kontrol glikemik
untuk dikaitkan dengan komplikasi pada T2D. Tetapi masih harus dibuktikan apakah
pengukuran TIR saja akan mencerminkan penilaian komprehensif diagnosis dan manajemen
T2D. Khususnya, beberapa penelitian yang disebutkan di atas menyarankan bahwa kegunaan
TIR dalam memperlihatkan risiko komplikasi T2D tidak tergantung pada metrik HbA1c dan
GV. Namun, lebih banyak data diperlukan untuk mengevaluasi hubungan antara TIR dan
komplikasi diabetes. Tabel 3 merangkum literatur tentang hubungan TIR dengan berbagai
komplikasi T2D.
Tabel 3. Results of studies that evaluated the effect of TIR on diabetes complications
BAB IV

KESIMPULAN

Setelah meninjau data yang tersedia, Perhimpunan Diabetes Brasil


merekomendasikan penggunaan TIR sebagai alat yang sangat berguna untuk mengevaluasi
kontrol glikemik. Data seharusnya diekstraksi dari sensor, setidaknya selama 10 hari, tetapi
biasanya selama 14 hari. Praktek dan uji coba untuk manajemen T1D. Meskipun target untuk
T1D dan T2D sangat dekat, profil klinis/biokimia dan prevalensi demografinya sangat
bervariasi. Meskipun jumlahnya terbatas, penelitian secara substantif menunjukkan potensi
TIR sebagai metrik yang berpusat pada pasien untuk kontrol glikemik pada diabetes tipe 2.
Meskipun nilainya terbukti, pemanfaatan klinis TIR untuk manajemen T2D tetap suboptimal.
Implikasinya pada efektivitas pengobatan, stratifikasi risiko, dan komplikasi pada T2D telah
ditunjukkan. Kekuatan asosiasi TIR dengan titik akhir klinis lainnya dalam manajemen T2D
dan faktor risiko tampaknya memiliki tingkat yang sebanding dengan HbA1c. Berdasarkan
kesimpulan ini, kasus persuasif dapat diteruskan bahwa TIR memiliki hubungan yang kuat
dengan komplikasi mikro dan makrovaskular dan harus diposisikan sebagai titik akhir dan
metrik yang dihargai untuk manajemen T2D.

Anda mungkin juga menyukai