Anda di halaman 1dari 6

Time-in-range as a target in type 2 diabetes: An urgent need

Time-in-range (TIR) adalah metrik intuitif yang menunjukkan jumlah waktu dalam persentase bahwa
kadar glukosa seseorang tetap dalam kisaran target yang diharapkan (3,9-10,0 mmol/L (3,5-7,8
mmol/L pada kehamilan) atau 70-180 mg/dL (63-140 mg/dL pada kehamilan). Konsep TIR telah
muncul dari upaya para ahli diabetes untuk menemukan parameter yang dapat diandalkan, "selain
HbA1c" untuk menilai kontrol glikemik. Sesuai dengan konsensus Internasional tentang TIR, TIR
harus dianggap sebagai metrik utama yang didapatkan dari CGM yang menentukan kontrol glikemik
jangka pendek, karena TIR memberikan lebih banyak data yang dapat ditindaklanjuti daripada HbA1c
saja. Konsensus TIR ini jaga menetapkan rentang target spesifik yang mengidentifikasi populasi
diabetes yang berbeda seperti kehamilan dan kelompok berisiko tinggi. Diperkirakan bahwa individu
dengan DM tipe 1 atau tipe 2 harus mempunyai lebih dari 70% (16 jam, 48 menit) sehari dalam
kisaran target sementara lebih dari 50% (>12 jam) ) berlaku untuk pasien DM tipe 2 yang lebih tua
dan berisiko tinggi. Perawatan yang efektif harus selalu menargetkan untuk meningkatkan TIR
sekaligus mengurangi Time Below Range (TBR).

Analisis HbA1c yang mencerminkan kadar glukosa rata-rata telah dianggap sebagai standar emas
untuk mengevaluasi kontrol glikemik. Tetapi gagal untuk mewakili kontrol glikemik yang akurat
dalam banyak keadaan karena itu dipengaruhi oleh banyak faktor selain konsentrasi glukosa.

Pasien dengan nilai A1c yang sama menunjukkan perbedaan yang cukup besar dalam profil glukosa
mereka. Di samping itu, HbA1c gagal menunjukkan variabilitas glikemik (GV): perjalanan glikemik
harian yang dapat berkontribusi pada risiko hipoglikemia dan hiperglikemia yang telah dikaitkan
dengan terjadinya komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular pada diabetes. Empat uji coba
jangka panjang, acak, label terbuka: UKPDS 33, Action to Control Cardiovascular Risk in Diabetes
(ACCORD), Action in Diabetes and Vascular Disease: Preterax and Diamicron Modified Release
Controlled Evaluation (ADVANCE), dan Veteran Affairs Diabetes Trial (VADT) menunjukkan bahwa
kontrol glikemik intensif (target HbA1c 6,3%-7,4%) tidak mengurangi kejadian kejadian
makrovaskular dan kematian pada pasien diabetes tipe 2 (T2D) yang semakin mempertanyakan
kredibilitas HbA1c sebagai target terapi untuk T2D. Pakar diabetes telah berusaha untuk
mengalihkan fokus dari HbA1c tunggal ke metrik yang lebih berpusat pada glukosa dan pasien.
Dengan meningkatnya popularitas Continous glucose monitoring (CGM), TIR telah berkembang
sebagai metrik utama untuk menilai komplikasi diabetes. Studi sebelumnya telah menyimpulkan
bahwa setiap 10% peningkatan TIR sesuai dengan ~0,5% penurunan HbA1c pada pasien diabetes
tipe 1 (T1D) dan T2D. TIR, bahkan di rentang nondiabetes dikaitkan dengan hasil pasien yang lebih
baik. Cukup banyak penelitian yang menghubungkan TIR dengan faktor risiko dan komplikasi
diabetes. Bukti ini mendukung persentase TIR sebagai variabel hasil penting dari kontrol glikemik
dalam uji klinis dan praktik diagnostik.

Karena sebagian besar pasien diabetes adalah T2D, dengan jumlah yang meningkat pesat dalam
skala global, setiap metrik glikemik baru harus diuji efektivitasnya untuk dikaitkan dengan komplikasi
T2D untuk menggantikan HbA1c yang sudah lama ada. Pasien T2D lebih rentan untuk mengalami
disfungsi endotel, stres oksidatif, dan penyakit kardiovaskular, dikaitkan dengan GV. Tingkat
keparahan dan kejadian GV pada pasien T2D dapat dikontrol dengan meningkatkan TIR. Beck dkk
menunjukkan bahwa pada individu dengan T2D dapat meningkatkan TIR mereka sebesar 10,3%
setelah 24 minggu inisiasi CGM. Meskipun beberapa penelitian baru-baru ini melaporkan bahwa TIR
dapat memperlihatkan risiko komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular dengan lebih baik pada
pasien dengan T2D, masih diperdebatkan apakah peningkatan TIR dapat mengurangi risiko ini. Oleh
karena itu, mengingat kontroversi saat ini, kami memberikan tinjauan komprehensif dari bukti yang
tersedia tentang kinerja TIR sebagai penanda diagnostik untuk deteksi dan pengelolaan komplikasi
pada T2D.

2. Implikasi untuk manajemen T2D dan skrining populasi

'Internasional Consensus on Use of Continuous Glucose Monitoring Convened at the Advanced


Technologies and Treatment for Diabetes (ATTD) 2017 merekomendasikan penggunaan Time-in-
range dalam diagnosis klinis sebagai ukuran kontrol glikemik jangka pendek di T1D dan T2D.

Rekomendasi diberikan di bawah ini:

1. Persentase TIR (target, hipoglikemia, dan hiperglikemia) harus diukur dan dilaporkan.
2. TIR yang berbeda dalam kombinasi dengan ukuran GV harus dilaporkan sebagai metrik
kontrol diabetes kunci dalam studi klinis

Jumlah persentase TIR yang direkomendasikan dalam rentang glikemik berbeda yang spesifik untuk
populasi T2D yang berbeda termasuk pasien berisiko tinggi, lanjut usia, dan hamil dengan T2D
dirangkum dalam Tabel 1. Meskipun rekomendasi ini akan memfasilitasi pengambilan keputusan
terapeutik yang logis dan lebih aman, adalah wajib untuk menilai kegunaan mendalam TIR dalam
praktik klinis dunia nyata

2.1. Hubungan antara TIR dan HbA1c

Sampai saat ini, sangat sedikit data yang disajikan tentang besarnya TIR yang dapat dicapai pada
pasien dengan T2D. Dalam uji Multiple Daily Injections and Continuous Glucose Monitoring in
Diabetes (DIAMOND), Beck dkk secara substansial menunjukkan bahwa 158 pasien T2D (usia rata-
rata: 60 +10 tahun) yang menerima beberapa suntikan harian (MDI) insulin telah meningkatkan TIR
mereka dari 55,6% menjadi 61,3% setelah 24 minggu inisiasi CGM.

Bukti tentang bagaimana TIR berhubungan dengan hasil klinis dalam penganganan T2D telah
terwujud dari beberapa penelitian terbaru. Pada tahun 2019, sebuah meta-analisis oleh Vigersky dan
McMahon melaporkan bahwa setiap 10% perubahan TIR, menghasilkan perubahan 0,8% pada
HbA1c pada populasi campuran diabetes tipe 1/tipe 2. Studi ini menyatakan prospek persentase TIR
sebagai metrik yang disukai untuk menentukan titik akhir studi klinis, memperkirakan risiko
komplikasi diabetes, dan mengukur status glikemik individu pasien. Sebuah studi yang dilakukan
oleh Lu J dkk di Onduo's Virtual Diabetes Clinic (VDC), AS, memperkuat korelasi antara TIR dan A1c.
Kelompok tersebut mengamati TIR rata-rata 84% pada 194 pasien T2D dengan rata-rata HbA1c 7%
(53 mmol/mol). Sejalan dengan konsensus internasional, Kesavadev dkk mengungkapkan bahwa TIR
>70% akan sesuai dengan tingkat A1c <7,5% pada populasi Asia Indian.
Mayoritas studi yang ada telah melaporkan hubungan linier antara TIR dan HbA1c. Tapi asosiasi yang
tepat bisa lebih rumit. Menariknya Lu J dkk mengamati bahwa GV memiliki efek pengubah pada
hubungan ini. Studi ini melaporkan variabilitas nilai TIR yang lebih tinggi pada pasien T2D dengan
eHbA1c kisaran tinggi atau rendah atau koefisien variasi tidak stabil (CV).

Studi-studi ini menunjukkan bahwa TIR harus berubah sebagai target kuat dan prediktor dari
komplikasi diabetes dan harus menjadi rutinitas harian dalam perawatan diabetes. Korelasi A1c
untuk tingkat TIR tertentu berdasarkan analisis T2D ini terdapat pada Tabel 2. Analisis serupa
diperlukan pada populasi asal yang berbeda karena profil demografis dan biokimia T2D bervariasi
secara signifikan di antara populasi global. Menggabungkan informasi dari populasi nenek moyang
yang beragam secara besar, meta-analisis trans-etnis akan memungkinkan pemeriksaan mendalam
tentang transferabilitas TIR ke beberapa etnis. Namun, data yang secara khusus menangani individu
yang lebih tua/ berisiko tinggi dan hamil dalam konteks ini masih belum memadai.

2.2. TIR sebagai metrik efisiensi pengobatan/intervens

Beberapa penelitian telah menggunakan TIR sebagai indikator kontrol glukosa darah saat
mengevaluasi efisiensi atau membandingkan pengobatan/ intervensi yang berbeda untuk
manajemen T2D. Gal dkk menilai kelayakan inisiasi CGM jarak jauh pada 7 pasien T2D, berhasil
memanfaatkan TIR sebagai ukuran hasil. Sofizadeh dkk mengukur efek Liraglutide, reseptor glukagon
like peptide-1 (GLP-1) pada kontrol glikemik pada 124 pasien T2D yang diobati dengan MDI dalam
hal waktu-dalam-hipoglikemia (TBR), waktu-dalam-hiperglikemia (TAR), dan TIR. Kelompok
perlakuan liraglutide menghabiskan lebih banyak waktu dalam kadar glukosa target dan lebih sedikit
waktu pada kadar glukosa yang sangat tinggi. Demikian pula, Zheng dkk menunjukkan efek latihan
aerobik intensitas sedang sebelum sarapan, strategi intervensi yang diadopsi untuk mengatasi Dawn
phenomenon (DP) pada 20 pasien diabetes tipe 2 menggunakan TIR. Intervensi ini ternyata
meningkatkan TIR menjadi 90,75 + 12,27% dibandingkan dengan 83,5 + 15,41% sebelum latihan. Gao
F dkk., menggunakan TIR bersama dengan HbA1c untuk mengevaluasi efek Acarbose (ACA) atau
metformin (MET) yang dikombinasikan dengan insulin premix (INS) pada kontrol glikemik.

Vianna dkk memanfaatkan peningkatan TIR dan GV sebagai ukuran untuk membandingkan efek
dapagliflozin dan gliclazide modified release (MR) pada 97 peserta (usia rata-rata: 57,9 8,7 tahun)
dengan T2D yang tidak terkendali. Data menunjukkan bahwa pada kelompok dapagliflozin TIR
meningkat sebesar 24,9% dari baseline dan pada kelompok MR glicazid peningkatannya sebesar
17,4%. GV yang diukur dengan persentase CV meningkat secara signifikan sebesar 3,8% pada
kelompok MR gliklazid dan tidak menunjukkan perbedaan pada kelompok dapagliflozin (0,7%).
Kedua kelompok tidak menunjukkan perubahan signifikan dalam persentase HbA1c dari baseline
(kelompok dapagliflozin: -1% dan kelompok MR gliklazid: -1,3%). Studi ini menetapkan persentase
TIR sebagai metrik yang menjanjikan untuk perbandingan dua agen terapeutik yang berbeda pada
diabetes.

Memahami kesenjangan sosial-ekonomi yang diamati dalam distribusi heterogen T2D dalam suatu
populasi sangat penting untuk berkontribusi secara efektif pada intervensi kesehatan masyarakat.
Khususnya, TIR merupakan dimensi yang lebih sederhana bagi pasien T2D untuk memahami,
memahami, dan mewariskan kekuatan untuk mengoptimalkan pengelolaan penyakit sendiri. Tan et
al menyelidiki hubungan antara status sosial ekonomi (SES) dan TIR pada 300 pasien T2D yang
dikategorikan berdasarkan Indeks Sosial Ekonomi. Studi tersebut memperlihatkan bahwa kelompok
pasien mempunyai status lebih tinggi dikaitkan dengan TIR 15% lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok yang punya status sosial lebih rendah dan menegaskan kemanjuran TIR untuk
mewacanakan perbedaan dalam prevalensi T2D dan mengembangkan pendidikan pasien dan
rencana dukungan manajemen diri.

3. Implikasi untuk prediksi risiko komplikasi T2D

Saat ini masih sangat sedikit bukti berbasis penelitian tentang hubungan antara TIR sebagai variabel
hasil dari kontrol glikemik dan komplikasi mikro dan makrovaskular terkait T2D.

Omar dkk sebelumnya telah menunjukkan bahwa pasien dengan TIR >80%, terlepas dari status
diabetes, mencapai hasil klinis yang lebih baik. Sebuah studi oleh Lu J dkk melaporkan bahwa TIR
yang dinilai dengan menggunakan CGM memiliki hubungan negatif dengan semua tahap Diabetic
Retinopathy (DR) (dinilai sebagai non-DR, mild non-proliferatif ringan DR (NPDR), moderate NPDR,
atau vison threathning DR) pada pasien dengan T2D. Temuan menunjukkan bahwa keparahan DR
menurun sejalan dengan peningkatan progresif dari TIR. Studi ini juga menemukan bahwa hubungan
antara TIR dan DR tidak tergantung pada metrik HbA1c dan GV. Mayeda dkk mempelajari hubungan
antara TIR dan Diabetic peripheral neuropathy (DPN) di antara 105 pasien T2D dengan penyakit
ginjal kronis sedang hingga berat (CKD). TIR yang lebih rendah dan Glucose Manangement Indikator
(GMI) yang lebih tinggi ditemukan berhubungan dengan gejala dan prevalensi DPN. Untuk pasien
dengan TIR >70%, prevalensi DPN diperkirakan sebesar 43% sedangkan untuk pasien dengan TIR
<70% prevalensi sebesar 74% dan setiap penurunan TIR 10% dihubungkan dengan peningkatan risiko
DPN sebesar 25%. Hal yang penting juga bahwa penelitian ini tidak menemukan hubungan signifikan
antara HbA1c dan gejala DPN.

Dalam kelompok 349 pasien T2D di Cina, proporsi dan prevalensi Cardiovascular Autonomic
Neuropathy (CAN) yang parah berbanding terbalik dengan TIR independen dari metrik HbA1c dan
GV. Di sini pasien dikelompokkan berdasarkan tes refleks otonom jantung (CART) sebagai absent
CAN, early CAN dini, definite CAN, dan severe CAN. Hasil menunjukkan bahwa pasien dengan adanya
CAN yang lebih sedikit mempunyai tingkat TIR yang lebih tinggi (TIR>83%) secara signifikan. Lu J dkk
menyelidiki hubungan antara TIR dan ketebalan media intima karotid (CIMT), penanda pengganti
penyakit kardiovaskular (CVD) pada 2215 pasien T2D. Studi tersebut mengungkapkan bahwa pasien
dengan CIMT normal memiliki TIR yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang memiliki
CIMT abnormal dan peningkatan 10% pada TIR dikaitkan dengan penurunan risiko CIMT abnormal
sebesar 6,4%. Dalam studi penting lainnya, Lu J dkk membahas hubungan berbagai tingkat TIR yang
telah ditentukan sebelumnya dengan CIMT dan DR pada populasi diabetes tipe 2 yang besar. Mereka
mengamati korelasi yang signifikan antara TIR dengan batas atas 140-150 sampai 200 mg/dL dan
CIMT dan DR abnormal.

Yoo dkk mengamati bahwa metrik TIR dan hiperglikemia sangat terkait dengan albuminuria pada
T2D. Prevalensi albuminuria rendah pada pasien T2D yang mencapai target TIR 70–180 mg/dL, TAR >
180 mg/dL, dan TAR >250 mg/dL. Studi ini melaporkan kemungkinan terjadinya albuminuria sebesar
0,94 dengan peningkatan 10% pada TIR.
Li C dkk menyelidiki frekuensi Dawn Phenomenon (DP) dan hubungannya dengan Time in Range
(TIR) dan variabilitas glikemik (GV) pada pasien diabetes dengan toleransi glukosa normal, gangguan
regulasi glukosa, dan T2D yang baru didiagnosis. TIR secara signifikan lebih rendah pada kelompok
DP.

Studi-studi ini tidak diragukan lagi membuktikan TIR sebagai metrik kontrol glikemik untuk dikaitkan
dengan komplikasi pada T2D. Tetapi masih harus dibuktikan apakah pengukuran TIR saja akan
mencerminkan penilaian komprehensif diagnosis dan manajemen T2D. Khususnya, beberapa
penelitian yang disebutkan di atas menyarankan bahwa kegunaan TIR dalam memperlihatkan risiko
komplikasi T2D tidak tergantung pada metrik HbA1c dan GV. Namun, lebih banyak data diperlukan
untuk mengevaluasi hubungan antara TIR dan komplikasi diabetes. Tabel 3 merangkum literatur
tentang hubungan TIR dengan berbagai komplikasi T2D.

3.1. Tantangan dalam menerapkan time-in-range sebagai metrik glukosa

Tantangan utama untuk menerima TIR adalah tingginya biaya CGM dan tidak tersedianya perangkat
terbaru dan lebih akurat di beberapa bagian dunia. Hambatan untuk penyerapan termasuk biaya
(biaya tinggi untuk pengadaan sensor dan penggantian suku cadang sistem serta kurangnya cakupan
asuransi), masalah teknis (variabilitas dalam kinerja sensor), masalah faktor sumber daya manusia
(ketidaknyamanan karena memakai perangkat terus menerus), tidak adanya format standar untuk
menampilkan hasil, dan kurangnya pemahaman atau konsensus tentang bagaimana memanfaatkan
data CGM untuk membuat keputusan terapeutik. Jumlah studi suboptimal yang menghubungkan TIR
dan komplikasi mikro dan makrovaskular pada diabetes telah menjadi perhatian lain.

Kurangnya program pendidikan diabetes yang efektif untuk mendukung dokter dan pasien dalam
analisis data CGM dan interpretasi yang lebih baik dari data TIR adalah keterbatasan lain. Sampai
saat ini, program pelatihan telah berfokus pada aspek teknis perangkat daripada penggunaan indeks
yang optimal, terutama TIR, untuk meningkatkan perawatan diabetes. Program pelatihan memiliki
peran integral dalam menerapkan TIR sebagai ukuran klinis yang berguna yang melengkapi HbA1c
dalam pengambilan keputusan pengobatan sehari-hari.

Kesimpulan

praktek dan uji coba untuk manajemen T1D. Meskipun target untuk T1D dan T2D sangat dekat,
profil klinis/biokimia dan prevalensi demografinya sangat bervariasi. Meskipun jumlahnya
terbatas, penelitian secara substantif menunjukkan potensi TIR sebagai metrik yang berpusat pada
pasien untuk kontrol glikemik pada diabetes tipe 2. Meskipun nilainya terbukti, pemanfaatan
klinis TIR untuk manajemen T2D tetap suboptimal. Implikasinya pada efektivitas pengobatan,
stratifikasi risiko, dan komplikasi pada T2D telah ditunjukkan. Kekuatan asosiasi TIR dengan titik
akhir klinis lainnya dalam manajemen T2D dan faktor risiko tampaknya memiliki tingkat yang
sebanding dengan HbA1c. Berdasarkan kesimpulan ini, kasus persuasif dapat diteruskan bahwa
TIR memiliki hubungan yang kuat dengan komplikasi mikro dan makrovaskular dan harus
diposisikan sebagai titik akhir dan metrik yang dihargai untuk manajemen T2D. Tetapi ada
kesenjangan pengetahuan dalam memahami apakah TIR dapat dikaitkan dengan risiko T2D secara
independen dari target klinis lainnya. Studi masa depan diperlukan untuk memperoleh sketsa
konklusif dari fungsi TIR dalam manajemen T2D dan timbulnya / perkembangan komplikasinya.

Anda mungkin juga menyukai