Anda di halaman 1dari 22

Tinjauan Pustaka 3

PERAN TIME IN RANGE (TIR) SEBAGAI KONTROL EVALUASI VARIABILITAS


GLUKOSA DARAH PADA PASIEN DIABETES MELITUS

KERANGKA
BAB I

PENDAHULUAN

Time in range (TIR) adalah metrik intuitif yang menunjukkan jumlah waktu dalam
persentase bahwa kadar glukosa seseorang tetap dalam kisaran target yang diharapkan (3,9-
10,0 mmol/L (3,5-7,8 mmol/L pada kehamilan) atau 70-180 mg/dL (63-140 mg/dL pada
kehamilan).(1,2) Konsep TIR telah muncul dari upaya para ahli diabetes untuk menemukan
parameter yang dapat diandalkan, "selain HbA1c" untuk menilai kontrol glikemik. Sesuai
dengan konsensus Internasional tentang TIR, TIR harus dianggap sebagai metrik utama yang
didapatkan dari Continuous Glucose Monitoring (CGM) yang menentukan kontrol glikemik
jangka pendek, karena TIR memberikan lebih banyak data yang dapat ditindaklanjuti
daripada HbA1c saja. (1,2)
Konsensus TIR ini jaga menetapkan rentang target spesifik yang mengidentifikasi
populasi diabetes yang berbeda seperti kehamilan dan kelompok berisiko tinggi.
Diperkirakan bahwa individu dengan DM tipe 1 atau tipe 2 harus mempunyai lebih dari 70%
(16 jam, 48 menit) sehari dalam kisaran target sementara lebih dari 50% (>12 jam) ) berlaku
untuk pasien DM tipe 2 yang lebih tua dan berisiko tinggi. Perawatan yang efektif harus
selalu menargetkan untuk meningkatkan TIR sekaligus mengurangi Time Below Range
(TBR).1
Meningkatnya popularitas Continous glucose monitoring (CGM), TIR telah
berkembang sebagai metrik utama untuk menilai komplikasi diabetes. Studi sebelumnya telah
menyimpulkan bahwa setiap 10% peningkatan TIR sesuai dengan 0,5% penurunan HbA1c
pada pasien diabetes tipe 1 (T1D) dan T2D.(10, 11) Time in range (TIR) di rentang nondiabetes
dikaitkan dengan hasil pasien yang lebih baik. Cukup banyak penelitian yang
menghubungkan TIR dengan faktor risiko dan komplikasi diabetes. 12 Time in range (TIR)
sebagai variabel hasil penting dari kontrol glikemik dalam uji klinis dan praktik diagnostik.13
BAB II

DIABETES MELITUS

2.1. DEFINISI
Diabetes melitus adalalah gangguan metabolisme yang secara genetik dan klinis
termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat, jika telah
berkembang penuh secara klinis maka diabetes melitus ditandai dengan hiperglikemia
puasa dan postprandial, aterosklerosis dan penyakit vaskular mikroangiopati. DM
Tipe 2 merupakan penyakit hiperglikemi akibat insensitifitas sel terhadap insulin. Kadar
insulin mungkin sedikit menurun atau berada dalam rentang normal. Karena insulin tetap
dihasilkan oleh sel-sel β pankreas, maka DM tipe 2 dianggap sebagai non insulin
dependent diabetes mellitus. DM Tipe 2 adalah penyakit gangguan metabolik yang di
tandai oleh kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas
dan atau ganguan fungsi insulin (resistensi insulin).13

2.2 EPIDEMIOLOGI
Diabetes tidak hanya menyebabkan kematian premature di seluruh dunia. Penyakit ini
juga menjadi penyebab utama kebutaan, penyakit jantung, dan gagal ginjal. Organisasi
International Diabetes Federation (IDF) memperkirakan sedikitnya terdapat 536,6 juta orang
pada usia 20-79 tahun di dunia menderita diabetes pada tahun 2021 atau setara dengan angka
prevalensi sebesar 10,5% dari total penduduk pada usia yang sama. Berdasarkan jenis
kelamin, IDF memperkirakan prevalensi diabetes di tahun 2021 yaitu 10,2% pada perempuan
dan 10,8% pada laki-laki. Prevalensi diabetes diperkirakan meningkat seiring penambahan
umur penduduk menjadi 19,9% atau 111,2 juta orang pada umur 65-79 tahun. Angka
diprediksi terus meningkat hingga mencapai 578 juta di tahun 2030 dan 783 juta di tahun
2045.3 Negara di wilayah Arab-Afrika Utara, dan Pasifik Barat menempati peringkat pertama
dan kedua dengan prevalensi diabetes pada penduduk umur 20-79 tahun tertinggi di antara 7
regional di dunia, yaitu sebesar 12,2% dan 11,4%. Wilayah Asia Tenggara dimana Indonesia
berada, menempati peringkat ketiga dengan prevalensi sebesar 11,3%.
Kejadian DM Tipe 2 pada wanita lebih tinggi dari pada laki-laki. Wanita lebih
berisiko menderita diabetes karena secara fisik wanita memiliki peluang peningkatan indeks
masa tubuh yang lebih besar. Hasil Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2018, menunjukan
prevalensi DM di Indonesia sebesar 1,5% atau sekitar 1 juta penduduk. Pada tahun 2012
angka kejadian diabetes melitus di dunia adalah sebanyak 371 juta jiwa, dimana proporsi
kejadian diabetes melitus tipe 2 adalah 95% dari populasi dunia yang menderita diabetes
mellitus dan hanya 5% dari jumlah tersebut menderita diabetes mellitus tipe 1.

2.3 FAKTOR RESIKO


Peningkatan jumlah penderita DM yang sebagian besar DM tipe 2, berkaitan dengan
beberapa faktor yaitu faktor risiko yang tidak dapat diubah, faktor risiko yang dapat diubah
dan faktor lain. Menurut American Diabetes Association (ADA) bahwa DM berkaitan dengan
faktor risiko yang tidak dapat diubah meliputi riwayat keluarga dengan DM (first degree
relative), umur ≥ 45 tahun, etnik, riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lahir bayi >
4000 gram atau riwayat pernah menderita DM gestasional dan riwayat lahir dengan berat
badan rendah (< 2,5 kg). Faktor risiko yang dapat diubah meliputi obesitas berdasarkan IMT
≥ 25kg/m2 atau lingkar perut ≥ 80 cm pada wanita dan ≥ 90 cm pada laki-laki, kurangnya
aktivitas fisik, hipertensi, dislipidemia dan diet tidak sehat.13
Faktor lain yang terkait dengan risiko diabetes adalah penderita polycystic ovary
sindrome (PCOS), penderita sindrom metabolic memiliki riwayat toleransi glukosa
terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya, memiliki riwayat
penyakit kardiovaskuler seperti stroke, PJK, atau peripheral arterial diseases (PAD),
konsumsi alkohol, faktor stres, kebiasaan merokok, jenis kelamin, konsumsi kopi dan kafein.
Berikut beberapa faktor resiko DM.
1. Obesitas (kegemukan)
Terdapat korelasi bermakna antara obesitas dengan kadar glukosa darah, pada derajat
kegemukan dengan IMT > 23 dapat menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah menjadi
200 mg/dl.
2. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah pada hipertensi berhubungan erat dengan tidak tepatnya
penyimpanan garam dan air, atau meningkatnya tekanan dari dalam tubuh pada sirkulasi
pembuluh darah perifer.
3. Riwayat keluarga DM
Seorang yang menderita DM diduga mempunyai gen diabetes. Diduga bahwa
bakat diabetes merupakan gen resesif. Hanya orang yang bersifat homozigot dengan
gen resesif tersebut yang menderita DM.
4. Dislipidemia
Dislipidemia adalah keadaan yang ditandai dengan kenaikan kadar lemak
darah (Trigliserida > 250 mg/dl). Terdapat hubungan antara kenaikan plasma insulin dengan
rendahnya HDL (< 35 mg/dl) sering didapat pada pasien DM.
5. Umur
Berdasarkan penelitian, usia yang terbanyak terkena DM adalah usia > 45 tahun.
6. Riwayat persalinan
Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau berat badan bayi > 4000 gram.
7. Faktor genetik
DM tipe 2 berasal dari interaksi genetis dan berbagai faktor mental Penyakit ini sudah
lama dianggap berhubungan dengan agregasi familial. Risiko empiris dalam hal terjadinya
DM tipe 2 akan meningkat dua sampai enam kali lipat jika orang tua atau saudara kandung
mengalami penyakit ini.
8. Alkohol dan rokok
Perubahan-perubahan dalam gaya hidup berhubungan dengan peningkatan frekuensi
DM tipe 2. Walaupun kebanyakan peningkatan ini dihubungkan dengan peningkatan obesitas
dan pengurangan ketidakaktifan fisik, faktor-faktor lain yang berhubungan dengan
perubahan dari lingkungan tradisional menjadi kebarat- baratan yang meliputi perubahan-
perubahan dalam konsumsi alkohol dan rokok, juga berperan dalam peningkatan DM
tipe 2.16

2.4 PATOGENESIS
Resistensi insulin pada sel otot dan hati, serta kegagalan sel beta pankreas telah
dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe 2. Hasil penelitian terbaru
telah diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat dari yang
diperkirakan sebelumnya. Organ lain yang juga terlibat pada DM tipe 2 adalah jaringan
lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi inkretin), sel alfa pankreas
(hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan otak (resistensi insulin),
yang ikut berperan menyebabkan gangguan toleransi glukosa. Saat ini sudah ditemukan tiga
jalur patogenesis baru dari ominous octet yang memperantarai terjadinya hiperglikemia
pada DM tipe 2 (PERKENI, 2021).
Sebelas organ penting dalam gangguan toleransi glukosa ini (egregious eleven)
perlu dipahami karena dasar patofisiologi ini memberikan konsep:
1. Pengobatan harus ditujukan untuk memperbaiki gangguan patogenesis, bukan hanya
untuk menurunkan HbA1c saja.
2. Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasarkan pada kinerja obat sesuai
dengan patofisiologi DM tipe 2.
Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau memperlambat
progresivitas kerusakan sel beta yang sudah terjadi pada pasien gangguan toleransi glukosa.
Schwartz, et al., 2016 menyampaikan, bahwa tidak hanya otot, hepar, dan sel beta pankreas
saja yang berperan sentral dalam patogenesis pasien DM tipe 2 tetapi terdapat delapan organ
lain yang berperan, disebut sebagai the egregious eleven (Gambar 1).

Gambar 1. The Egregious Eleven (Schwatrz, et al., 2016)

2.5 KLASIFIKASI
Klasifikasi Diabetes Melitus dapat dilihat pada tabel 1. (PERKENI, 2021)

Tabel 1. Klasifikasi Etiologi Diabetes Melitus


2.6 GEJALA KLINIS
Gejala diabetes melitus dibedakan menjadi akut dan kronik. Gejala akut diabetes
melitus yaitu: poliphagia (banyak makan), polidipsia (banyak minum), poliuria (banyak
kencing/sering kencing di malam hari), nafsu makan bertambah namun berat badan turun
dengan cepat (5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu), mudah lelah. Gejala kronik DM yaitu :
kesemutan, kulit terasa panas atau seperti tertusuk tusuk jarum, rasa kebas di kulit, kram,
kelelahan, mudah mengantuk, pandangan mulai kabur, gigi mudah goyah dan mudah
lepas, kemampuan seksual menurun bahkan pada pria bisa terjadi impotensi, pada ibu hamil
sering terjadi keguguran atau kematian janin dalam kandungan atau dengan bayi berat lahir
lebih dari 4 kg.13

2.7 DIAGNOSIS
Keluhan dan gejala yang khas ditambah hasil pemeriksaan glukosa darah
sewaktu > 200 mg/dl, glukosa darah puasa > 126 mg/dl sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis DM. Untuk diagnosis DM dan gangguan toleransi glukosa lainnya
diperiksa glukosa darah 2 jam setelah beban glukosa. Sekurang- kurangnya diperlukan kadar
glukosa darah 2 kali abnormal untuk konfirmasi diagnosis DM pada hari yang lain atau Tes
Toleransi Glukosa Oral (TTGO) yang abnormal. Konfirmasi tidak diperlukan pada keadaan
khas hiperglikemia dengan dekompensasi metabolik akut, seperti ketoasidosis, berat badan
yang menurun cepat.
Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji
diagnostik dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala DM, sedangkan
pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak
bergejala, tetapi punya resiko DM (usia > 45 tahun, berat badan lebih, hipertensi, riwayat
keluarga DM, riwayat abortus berulang, melahirkan bayi > 4000 gr, kolesterol HDL ≤
35 mg/dl, atau trigliserida ≥ 250 mg/dl). Uji diagnostik dilakukan pada mereka yang positif
uji penyaring.
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah
sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa
oral (TTGO), Berdasarkan PERKENI 2021, DM ditegakkan dengan:
1. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl.
2. Pemeriksaan glukosa plasma ≥ 200 mg/dl 2 jam setelah TTGO.
3. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl dengan keluhan klasik.
4. Pemeriksaan HbA1C ≥ 6.5% menggunakan metode High Performance Liquid
Chromatography (HPLC) yang terstandarisasi National Glycohemoglobin
Standardization Program (NGSP).(1,2)
2.8 PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksanaan diabetes melitus secara umum ada lima sesuai dengan
Konsensus Pengelolaan DM di Indonesia tahun 2006 adalah untuk meningkatkan kualitas
hidup pasien DM. Tujuan Penatalaksanaan DM adalah :
1. Jangka pendek: hilangnya keluhan dan tanda DM, mempertahankan ras nyaman dan
tercapainya target pengendalian glukosa darah.
2. Jangka panjang: tercegah dan terhambatnya progresifitas penyulit mikroangiopati,
makroangiopati dan neuropati.
Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM. Untuk
mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan darah, berat
badan dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara holistik dengan mengajarkan
perawatan mandiri dan perubahan perilaku.
1. Diet
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran
makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan
kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan
pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama
pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin. Standar yang
dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat 60-
70%, lemak 20-25% dan protein 10-15%. Untuk menentukan status gizi, dihitung dengan
body mass indeks (BMI).
2. Exercise (latihan fisik/olahraga)
Dianjurkan latihan secara teratur (3-4 kali seminggu) selama kurang lebih 30 menit,
yang sifatnya sesuai dengan Continous, Rhythmical, Interval, Progresive, Endurance
(CRIPE). Training sesuai dengan kemampuan pasien. Sebagai contoh adalah olah raga
ringan jalan kaki biasa selama 30 menit. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau
bermalas-malasan.
3. Pendidikan Kesehatan
Pendidikan kesehatan sangat penting dalam pengelolaan. Pendidikan kesehatan
pencegahan primer harus diberikan kepada kelompok masyarakat resiko tinggi.
Pendidikan kesehatan sekunder diberikan kepada kelompok pasien DM. Sedangkan
pendidikan kesehatan untuk pencegahan tersier diberikan kepada pasien yang sudah
mengidap DM dengan penyulit menahun.
4. Obat DM
Jika pasien telah melakukan pengaturan makan dan latihan fisik tetapi tidak berhasil
mengendalikan kadar gula darah maka dipertimbangkan pemakaian obat hipoglikemik.
a. Antidiabetik oral
Penatalaksanaan pasien DM dilakukan dengan menormalkan kadar gula darah dan
mencegah komplikasi.Lebih khusus lagi dengan menghilangkan gejala,optimalisasi
parameter metabolik, dan mengontrol berat badan. Bagi pasien DM tipe 1 penggunaan
insulin adalah terapi utama. Indikasi antidiabetik oral terutama ditujukan untuk
penanganan pasien DM tipe 2 ringan sampai sedang yang gagal dikendalikan dengan
pengaturan asupan energi dan karbohidrat serta olah raga. Obat golongan ini ditambahkan
bila setelah 4-8 minggu upaya diet dan olah raga dilakukan, kadar gula darah tetap di atas 200
mg% dan HbA1c di atas 8%. Jadi obat ini bukan menggantikan upaya diet, melainkan
membantunya.
Pemilihan obat antidiabetik oral yang tepat sangat menentukan keberhasilan
terapi diabetes. Pemilihan terapi menggunakan antidiabetik oral dapat dilakukan dengan
satu jenis obat atau kombinasi. Pemilihan dan penentuan regimen antidiabetik oral yang
digunakan harus mempertimbangkan tingkat keparahan penyakit DM serta kondisi kesehatan
pasien secara umum termasuk penyakit-penyakit lain dan komplikasi yang ada. Dalam hal ini
obat hipoglikemik oral adalah termasuk golongan sulfonilurea, biguanid, inhibitor alfa
glukosidase dan insulin sensitizing.(1,20)
b. Insulin
Insulin merupakan protein kecil dengan berat molekul 5808 pada manusia. Insulin
mengandung 51 asam amino yang tersusun dalam dua rantai yang dihubungkan
dengan jembatan disulfide, terdapat perbedaan asam amino kedua rantai tersebut. Untuk
pasien yang tidak terkontrol dengan diet atau pemberian hipoglikemik oral,
kombinasi insulin dan obat-obat lain bisa sangat efektif. Insulin kadangkala dijadikan pilihan
sementara, misalnya selama kehamilan. Namun pada pasien DM tipe 2 yang memburuk,
penggantian in
sulin total menjadi kebutuhan. Insulin merupakan hormon yang mempengaruhi
metabolisme karbohidrat maupun metabolisme protein dan lemak. Fungsi insulin antara lain
menaikkan pengambilan glukosa ke dalam sel–sel sebagian besar jaringan, menaikkan
penguraian glukosa secara oksidatif, menaikkan pembentukan glikogen dalam hati dan
otot serta mencegah penguraian glikogen, menstimulasi pembentukan protein dan lemak dari
glukosa.(1,2)

2.9 KOMPLIKASI
Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik akan menimbulkan komplikasi akut dan
kronis. Menurut PERKENI (2021), komplikasi DM dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu :
a. Komplikasi akut
1. Krisis Hiperglikemia
 Ketoasidosis Diabetik (KAD)
Komplikasi akut DM yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah
yang tinggi (300-600 mg/dL), disertai tanda dan gejala asidosis dan plasma keton (+) kuat.
Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/mL) dan peningkatan anion gap.
 Status Hiperglikemia Hiperosmolar (SHH)
Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi (>600 mg/dL),
tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat meningkat (>320 mOs/mL),
plasma keton (+/-), anion gap normal atau sedikit meningkat. Catatan: Kedua keadaan
(KAD dan SHH) tersebut mempunyai angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi,
sehingga memerlukan perawatan di rumah sakit guna mendapatkan penatalaksanaan yang
memadai.
2. Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan menurunya kadar glukosa darah <70 mg/dL.
Hipoglikemia adalah penurunan konsentrasi glukosa serum dengan atau tanpa adanya
tanda dan gejala sistem autonom, seperti adanya whipple’s triad:
o Terdapat gejala-gejala hipoglikemia
o Kadar glukosa darah yang rendah
o Gejala berkurang dengan pengobatan.

Tabel 2. Klasifikasi Hipoglikemia menurut ADA 2020


b. Komplikasi kronis
1. Komplikasi makrovaskuler
Komplikasi makrovaskuler yang umum berkembang pada penderita DM adalah trombosit
otak (pembekuan darah pada sebagian otak), mengalami penyakit jantung koroner (PJK), gagal
jantung kongetif, dan stroke.

2. Komplikasi mikrovaskuler
Komplikasi mikrovaskuler terutama terjadi pada penderita DM tipe 1 seperti
nefropati, diabetic retinopati (kebutaan), neuropati, dan amputasi.

2.10 Pencegahan
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada orang orang yang termasuk
kelompok risiko tinggi, yaitu mereka yang belum menderita DM, tetapi berpotensi untuk
menderita DM diantaranya:
a. Kelompok usia tua (> 45tahun).
b. Kegemukan (BB (kg) > 120% BB idaman atau IMT>27 (kg/m2)).
c. Tekanan darah tinggi (> 140/90 mmHg).
d. Riwayat keiuarga DM.
e. Riwayat kehamilan dengan BB bayi lahir > 4000 gr.
f. Dislipidemia (HDL< 35mg/dl dan atau Trigliserida > 250mg/dl).
g. Pernah TGT atau glukosa darah puasa tergangu (GDPT).
Untuk pencegahan primer harus dikenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
timbulnya DM dan upaya untuk menghilangkan faktor-faktor tersebut. Oleh karena sangat
penting dalam pencegahan ini. Sejak dini hendaknya telah ditanamkan pengertian tentang
pentingnya kegiatan jasmani teratur, pola dan jenis makanan yang sehat menjaga badan agar
tidak terlalu gemuk, dan risiko merokok bagi kesehatan.(1,2)
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya
penyulit dengan tindakan deteksi dini dan memberikan pengobatan sejak awal penyakit.
Dalam pengelolaan pasien DM, sejak awal sudah harus diwaspadai dan sedapat mungkin
dicegah kemungkinan terjadinya penyulit menahun. Pilar utama pengelolaan DM meliputi:
a. Penyuluhan
b. Perencanaan makanan
c. Latihan jasmani
d. Obat berkhasiat hipoglikemik
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut dan
merehabilitasi pasien sedini mungkin, sebelum kecacatan tersebut menetap. Pelayanan
kesehatan yang holistik dan terintegrasi antar disiplin terkait sangat diperlukan, terutama
dirumah sakit rujukan, misalnya para ahli sesama disiplin ilmu seperti ahli penyakit jantung,
mata, rehabilitasi medis, gizi dan lain-lain.

2.11 EVALUASI
A. Variabilitas Glikemik
Satu-satunya metrik pilihan untuk variabilitas glikemik disajikan dalam laporan
konsensus yang baru-baru ini diterbitkan adalah coefficient of variance (CV). Persentase CV
bisa mudah dihitung dari rumus berikut: [%CV = 100× (SD glukosa)/ glukosa rata-rata]. Ini
mencerminkan amplitudo variabilitas glikemik relatif terhadap rata-rata glukosa darah,
dengan demikian, hubungan linier dengan glukosa rata-rata menghilang dan lebih tepat
mencerminkan perjalanan hipoglikemik daripada SD.(35,36)
Apabila SD sama dengan 40 mg/dL, jika rata-rata glukosa adalah 150 mg/dL, CV
adalah 26,7% dan, jika rata-rata glukosa adalah 80 mg/dL, CV akan menjadi 50%. Metrik
lain seperti mean amplitudo perjalanan glikemik (MAGE), glukosa rendah atau tinggi indeks
(LBGI, HBGI), area di bawah kurva (AUC) dan lainnya adalah dikecualikan karena
kerumitan perhitungan.(35,37)
B. Alat ukur/ Metode evaluasi : HbA1C dan CGM
Glucose management indicator (GMI) yang diturunkan dari CGM termasuk dalam
metrik inti. GMI adalah perkiraan HbA1c dari glukosa rata-rata yang diukur dengan CGM.
Oleh karena itu GMI dapat memperkirakan HbA1c selama periode singkat, karena
laboratorium HbA1c mencerminkan status glikemik jangka panjang lebih dari 2 sampai 3
bulan. Hal ini membuat GMI menjadi metrik yang lebih dipersonalisasi dalam manajemen
diabetes daripada HbA1c laboratorium saat digunakan bersama dengan metrik inti lainnya.(15-
19)

Analisis HbA1c yang mencerminkan kadar glukosa rata-rata telah dianggap sebagai
standar emas untuk mengevaluasi kontrol glikemik. Tetapi gagal untuk mewakili kontrol
glikemik yang akurat dalam banyak keadaan karena itu dipengaruhi oleh banyak faktor selain
konsentrasi glukosa. Pasien dengan nilai A1c yang sama menunjukkan perbedaan yang cukup
besar dalam profil glukosa mereka. Di samping itu, HbA1c gagal menunjukkan variabilitas
glikemik (VG): perjalanan glikemik harian yang dapat berkontribusi pada risiko hipoglikemia
dan hiperglikemia yang telah dikaitkan dengan terjadinya komplikasi mikrovaskular dan
makrovaskular pada diabetes.
Continous glucose monitoring (CGM) mengatasi masalah yang melekat pada HbA1c
dan SMBG dengan menginformasikan konsekuensi kadar glukosa dengan berbagai metrik
CGM untuk lebih memahami profil glikemik unik individu, yang pada akhirnya mengarah
pada peningkatan kontrol glikemik. Terlebih lagi, karena sensor akurasi, kenyamanan
penggunaan, dan penggantian memiliki ditingkatkan dan banyak penelitian telah
menunjukkan peningkatan dalam kontrol glikemik terlepas dari jenis diabetes dan metode
pemberian insulin, penggunaan CGM berkembang pesat. 9 Dengan meningkatnya popularitas
Continous glucose monitoring (CGM), TIR telah berkembang sebagai metrik utama untuk
menilai komplikasi diabetes. Studi sebelumnya telah menyimpulkan bahwa setiap 10%
peningkatan TIR sesuai dengan ~0,5% penurunan HbA1c pada pasien diabetes tipe 1 (T1D)
dan T2D.
C. Target kontrol Glikemik
Kontrol glikemik mengacu pada seberapa besar perbedaan metabolisme karbohidrat
seseorang dari nilai standar. Kontrol glikemik merupakan suatu dasar dalam pengelolaan atau
manajemen DM. Pengukuran kontrol glikemik ini berfungsi untuk menilai konsentrasi
glukosa darah untuk mengukur metabolisme glukosa. Hasil pemantauan digunakan untuk
menilai manfaat pengobatan, sebagai pedoman penyesuaian diet, latihan jasmani dan obat-
obatan agar mencapai kadar glukosa darah senormal mungkin, sehingga dapat terhindar dari
hiperglikemia atau hipoglikemia (Tandra, 2017).
Kontrol glikemik tidak hanya sekedar menjaga kadar glukosa darah dalam batas
normal, namun dibutuhkan pengendalian penyakit penyerta dan mencegah terjadinya
penyakit kronik. Oleh sebab itu, faktor-faktor risiko dan indikator penyulit perlu pemantauan
ketat sehingga pengendalian DM dapat dilakukan dengan baik. Tujuan kontrol glikemik dapat
dibagi menjadi tujuh tujuan, seperti: menghilangkan gejala, menciptakan dan
mempertahankan rasa sehat, memperbaiki kualitas hidup, mencegah komplikasi akut dan
kronik, mengurangi laju perkembangan komplikasi yang telah ada, mengurangi kematian dan
mengobati penyakit penyerta bila ada (Soegondo, 2019).
Adapun menurut PERKENI (2021), menyatakan tujuan kontrol glikemik yaitu secara
umum bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup, dengan tujuan jangka pendek adalah
untuk menghilangkan keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman serta dapat
mencapai target pengendalian glukosa darah. Sedangkan tujuan jangka panjang dalam
penatalaksanaan pengendalian kadar glukosa darah ini yakni untuk mencegah atau
menghambat penyakit makroangiopati, mikroangiopati dan neuropati sehingga dapat
menurunkan angka morbiditas dan mortalitas dari DM.
Indikator kontrol glikemik Menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
(PERKENI) (2021), di antaranya:

1) Pengukuran kadar glukosa darah kapiler


a) Tes glukosa darah preprandial kapiler
b) Tes glukosa darah 1-2 jam post prandial kapiler
2) Pemeriksaan hemoglobin glikosilasi (HbA1C)
3) Indeks masa tubuh (IMT)
4) Lipid dalam darah
5) Tekanan darah
BAB III

TIME IN RANGE (TIR)

3.1 DEFINISI

Time in range (TIR) adalah metrik lain, yang didefinisikan sebagai persentase glukosa

waktu antara 70 mg/dL dan 180 mg/dL (3,9–10.0 mmol/L). Selama beberapa tahun terakhir,

TIR telah menjadi populer sebagai penanda pengganti kontrol glikemik, yang juga

berkorelasi dengan A1c.4 Konsensus internasional merekomendasikan TIR 70% untuk

menyelaraskan dengan A1c sebesar ~7%, dengan penurunan 0,5% pada A1c per 10%

peningkatan TIR.(4,6) Selanjutnya, peningkatan 5% pada TIR dikaitkan dengan manfaat klinis

yang signifikan di antara pasien dengan diabetes mellitus tipe 2 (DMT2).

3.2 METODE PENGUKURAN

Time in range adalah jumlah waktu yang Anda habiskan dalam kisaran target gula
darah (glukosa darah) antara 70 dan 180 mg/dL bagi kebanyakan orang. Metode waktu
bekerja dengan data CGM dengan melihat jumlah waktu gula darah berada dalam kisaran
target dan waktu tinggi (hiperglikemia) atau rendah (hipoglikemia). Dalam waktu rentang
sering digambarkan sebagai grafik batang yang menunjukkan persentase waktu selama
jumlah waktu tertentu ketika gula darah rendah, dalam kisaran, dan tinggi. Data ini berguna
untuk mengetahui jenis makanan dan tingkat aktivitas apa yang menyebabkan gula darah naik
dan turun.
Kebanyakan orang dengan diabetes tipe 1 dan tipe 2 harus menargetkan waktu dalam
kisaran setidaknya 70 persen dari pembacaan, artinya 70 persen dari pembacaan, harus
menargetkan sekitar 17 dari 24 jam setiap hari untuk berada dalam kisaran (tidak tinggi atau
rendah). Beberapa mungkin memiliki target yang berbeda.

3.3 EFEK TERHADAP PENGOBATAN ORAL/INSULIN

Beberapa penelitian telah menggunakan TIR sebagai indikator kontrol glukosa darah
saat mengevaluasi efisiensi atau membandingkan pengobatan/ intervensi yang berbeda untuk
manajemen T2D. Gal dkk menilai kelayakan inisiasi CGM jarak jauh pada 7 pasien T2D,
berhasil memanfaatkan TIR sebagai ukuran hasil. Sofizadeh, et al., 2019, mengukur efek
Liraglutide, reseptor glukagon like peptide-1 (GLP-1) pada kontrol glikemik pada 124 pasien
T2D yang diobati dengan MDI dalam hal waktu-dalam-hipoglikemia (TBR), waktu-dalam-
hiperglikemia (TAR), dan TIR. Kelompok perlakuan liraglutide menghabiskan lebih banyak
waktu dalam kadar glukosa target dan lebih sedikit waktu pada kadar glukosa yang sangat
tinggi. Demikian pula, Zheng dkk menunjukkan efek latihan aerobik intensitas sedang
sebelum sarapan, strategi intervensi yang diadopsi untuk mengatasi Dawn phenomenon (DP)
pada 20 pasien diabetes tipe 2 menggunakan TIR. Intervensi ini ternyata meningkatkan TIR
menjadi 90,75 + 12,27% dibandingkan dengan 83,5 + 15,41% sebelum latihan. Gao F dkk.,
menggunakan TIR bersama dengan HbA1c untuk mengevaluasi efek Acarbose (ACA) atau
metformin (MET) yang dikombinasikan dengan insulin premix (INS) pada kontrol glikemik.
Vianna dkk memanfaatkan peningkatan TIR dan GV sebagai ukuran untuk membandingkan
efek dapagliflozin dan gliclazide modified release (MR) pada 97 peserta (usia rata-rata: 57,9
8,7 tahun) dengan T2D yang tidak terkendali. Data menunjukkan bahwa pada kelompok
dapagliflozin TIR meningkat sebesar 24,9% dari baseline dan pada kelompok MR glicazid
peningkatannya sebesar 17,4%. GV yang diukur dengan persentase CV meningkat secara
signifikan sebesar 3,8% pada kelompok MR gliklazid dan tidak menunjukkan perbedaan pada
kelompok dapagliflozin (0,7%). Kedua kelompok tidak menunjukkan perubahan signifikan
dalam persentase HbA1c dari baseline (kelompok dapagliflozin: -1% dan kelompok MR
gliklazid: -1,3%). Studi ini menetapkan persentase TIR sebagai metrik yang menjanjikan
untuk perbandingan dua agen terapeutik yang berbeda pada diabetes.
Memahami kesenjangan sosial-ekonomi yang diamati dalam distribusi heterogen T2D dalam
suatu populasi sangat penting untuk berkontribusi secara efektif pada intervensi kesehatan
masyarakat. Khususnya, TIR merupakan dimensi yang lebih sederhana bagi pasien T2D
untuk memahami, memahami, dan mewariskan kekuatan untuk mengoptimalkan pengelolaan
penyakit sendiri. Tan et al menyelidiki hubungan antara status sosial ekonomi (SES) dan TIR
pada 300 pasien T2D yang dikategorikan berdasarkan Indeks Sosial Ekonomi. Studi tersebut
memperlihatkan bahwa kelompok pasien mempunyai status lebih tinggi dikaitkan dengan
TIR 15% lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang punya status sosial lebih rendah
dan menegaskan kemanjuran TIR untuk mewacanakan perbedaan dalam prevalensi T2D dan
mengembangkan pendidikan pasien dan rencana dukungan manajemen diri.

3.4 HUBUNGAN TIR DENGAN KADAR INSULIN DAN HbA1c

Sampai saat ini, sangat sedikit data yang disajikan tentang besarnya TIR yang dapat
dicapai pada pasien dengan T2D. Dalam uji Multiple Daily Injections and Continuous
Glucose Monitoring in Diabetes (DIAMOND), Beck, et al., secara substansial menunjukkan
bahwa 158 pasien T2D (usia rata-rata: 60 +10 tahun) yang menerima beberapa suntikan
harian (MDI) insulin telah meningkatkan TIR mereka dari 55,6% menjadi 61,3% setelah 24
minggu inisiasi CGM.
Tabel 3. Correlation between TIR (70–180 mg/dL or 3.9–10.0 mmol/L) and HbA1c as estimated
by studies

Bukti tentang bagaimana TIR berhubungan dengan hasil klinis dalam penganganan
T2D telah terwujud dari beberapa penelitian terbaru. Pada tahun 2019, sebuah meta-analisis
oleh Vigersky dan McMahon melaporkan bahwa setiap 10% perubahan TIR, menghasilkan
perubahan 0,8% pada HbA1c pada populasi campuran diabetes tipe 1/tipe 2. Studi ini
menyatakan prospek persentase TIR sebagai metrik yang disukai untuk menentukan titik
akhir studi klinis, memperkirakan risiko komplikasi diabetes, dan mengukur status glikemik
individu pasien. Sebuah studi yang dilakukan oleh Beck, et al., di Onduo's Virtual Diabetes
Clinic (VDC), AS, memperkuat korelasi antara TIR dan A1c. Kelompok tersebut mengamati
TIR rata-rata 84% pada 194 pasien T2D dengan rata-rata HbA1c 7% (53 mmol/mol). Sejalan
dengan konsensus internasional, Kesavadev dkk mengungkapkan bahwa TIR >70% akan
sesuai dengan tingkat A1c <7,5% pada populasi Asia Indian.
Mayoritas studi yang ada telah melaporkan hubungan linier antara TIR dan HbA1c.
Tapi asosiasi yang tepat bisa lebih rumit. Menariknya Lu J dkk mengamati bahwa GV
memiliki efek pengubah pada hubungan ini. Studi ini melaporkan variabilitas nilai TIR yang
lebih tinggi pada pasien T2D dengan eHbA1c kisaran tinggi atau rendah atau koefisien
variasi tidak stabil (CV).
Tabel 4. Estimation of HbA1c for given CGM-TIR

Studi-studi ini menunjukkan bahwa TIR harus berubah sebagai target kuat dan
prediktor dari komplikasi diabetes dan harus menjadi rutinitas harian dalam perawatan
diabetes. Korelasi A1c untuk tingkat TIR tertentu berdasarkan analisis T2D ini terdapat pada
Tabel 3. Analisis serupa diperlukan pada populasi asal yang berbeda karena profil
demografis dan biokimia T2D bervariasi secara signifikan di antara populasi global.
Menggabungkan informasi dari populasi nenek moyang yang beragam secara besar, meta-
analisis trans-etnis akan memungkinkan pemeriksaan mendalam tentang transferabilitas TIR
ke beberapa etnis. Namun, data yang secara khusus menangani individu yang lebih tua/
berisiko tinggi dan hamil dalam konteks ini masih belum memadai.

3.5 PENGGUNAAN TIR SEBAGAI PENCEGAHAN HIPOGLIKEMIK

Saat ini masih sangat sedikit bukti berbasis penelitian tentang hubungan antara TIR
sebagai variabel hasil dari kontrol glikemik dan komplikasi mikro dan makrovaskular terkait
T2D. Omar, et al., 2015, sebelumnya telah menunjukkan bahwa pasien dengan TIR >80%,
terlepas dari status diabetes, mencapai hasil klinis yang lebih baik. Sebuah studi oleh Lu J
dkk melaporkan bahwa TIR yang dinilai dengan menggunakan CGM memiliki hubungan
negatif dengan semua tahap Diabetic Retinopathy (DR) (dinilai sebagai non-DR, mild non-
proliferatif ringan DR (NPDR), moderate NPDR, atau vison threathning DR) pada pasien
dengan T2D. Temuan menunjukkan bahwa keparahan DR menurun sejalan dengan
peningkatan progresif dari TIR. Studi ini juga menemukan bahwa hubungan antara TIR dan
DR tidak tergantung pada metrik HbA1c dan GV. Mayeda dkk mempelajari hubungan antara
TIR dan Diabetic peripheral neuropathy (DPN) di antara 105 pasien T2D dengan penyakit
ginjal kronis sedang hingga berat (CKD). TIR yang lebih rendah dan Glucose Manangement
Indikator (GMI) yang lebih tinggi ditemukan berhubungan dengan gejala dan prevalensi
DPN. Untuk pasien dengan TIR >70%, prevalensi DPN diperkirakan sebesar 43% sedangkan
untuk pasien dengan TIR <70% prevalensi sebesar 74% dan setiap penurunan TIR 10%
dihubungkan dengan peningkatan risiko DPN sebesar 25%. Hal yang penting juga bahwa
penelitian ini tidak menemukan hubungan signifikan antara HbA1c dan gejala DPN.
Yoo, et al., mengamati bahwa metrik TIR dan hiperglikemia sangat terkait dengan
albuminuria pada T2D. Prevalensi albuminuria rendah pada pasien T2D yang mencapai target
TIR 70–180 mg/dL, TAR > 180 mg/dL, dan TAR >250 mg/dL. Studi ini melaporkan
kemungkinan terjadinya albuminuria sebesar 0,94 dengan peningkatan 10% pada TIR.
Li C, et al., menyelidiki frekuensi Dawn Phenomenon (DP) dan hubungannya dengan
Time in Range (TIR) dan variabilitas glikemik (GV) pada pasien diabetes dengan toleransi
glukosa normal, gangguan regulasi glukosa, dan T2D yang baru didiagnosis. TIR secara
signifikan lebih rendah pada kelompok DP.
Studi-studi ini tidak diragukan lagi membuktikan TIR sebagai metrik kontrol glikemik
untuk dikaitkan dengan komplikasi pada T2D. Tetapi masih harus dibuktikan apakah
pengukuran TIR saja akan mencerminkan penilaian komprehensif diagnosis dan manajemen
T2D. Khususnya, beberapa penelitian yang disebutkan di atas menyarankan bahwa kegunaan
TIR dalam memperlihatkan risiko komplikasi T2D tidak tergantung pada metrik HbA1c dan
GV. Namun, lebih banyak data diperlukan untuk mengevaluasi hubungan antara TIR dan
komplikasi diabetes. Tabel 3 merangkum literatur tentang hubungan TIR dengan berbagai
komplikasi T2D.
Tabel 5. Results of studies that evaluated the effect of TIR on diabetes complications
BAB IV

KESIMPULAN

Setelah meninjau data yang tersedia, Perhimpunan Diabetes Brasil


merekomendasikan penggunaan TIR sebagai alat yang sangat berguna untuk mengevaluasi
kontrol glikemik. Data seharusnya diekstraksi dari sensor, setidaknya selama 10 hari, tetapi
biasanya selama 14 hari. Praktek dan uji coba untuk manajemen T1D. Meskipun target untuk
T1D dan T2D sangat dekat, profil klinis/biokimia dan prevalensi demografinya sangat
bervariasi. Meskipun jumlahnya terbatas, penelitian secara substantif menunjukkan potensi
TIR sebagai metrik yang berpusat pada pasien untuk kontrol glikemik pada diabetes tipe 2.
Meskipun nilainya terbukti, pemanfaatan klinis TIR untuk manajemen T2D tetap suboptimal.
Implikasinya pada efektivitas pengobatan, stratifikasi risiko, dan komplikasi pada T2D telah
ditunjukkan. Kekuatan asosiasi TIR dengan titik akhir klinis lainnya dalam manajemen T2D
dan faktor risiko tampaknya memiliki tingkat yang sebanding dengan HbA1c. Berdasarkan
kesimpulan ini, kasus persuasif dapat diteruskan bahwa TIR memiliki hubungan yang kuat
dengan komplikasi mikro dan makrovaskular dan harus diposisikan sebagai titik akhir dan
metrik yang dihargai untuk manajemen T2D.

Anda mungkin juga menyukai