Anda di halaman 1dari 81

REFERAT Maret, 2018

Tuberkulosis Paru dan Diabetes Melitus

Disusun Oleh:

NURLITA ANGGRAINI MUHTAR


N 111 17 012

PEMBIMBING KLINIK
dr. I KOMANG ADI SUJENDRA, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA PALU
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Nurlita Anggraini Muhtar

NIM : N 111 17 012

Judul Referat : Tuberkulosis Paru dan Diabetes Melitus

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka Kepaniteraan Klinik pada Bagian


Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako.

Palu, Maret 2018

Pembimbing Klinik Mahasiswa

(dr. I Komang Adi Sujendra, Sp.PD) (Nurlita Anggraini Muhtar)


BAB I
PENDAHULUAN

Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan


karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin
atau kedua-duanya. Saat ini diperkirakan terdapat lebih dari 350 juta kasus DM di
dunia dan angka ini terus meningkat dan diperkirakan angka ini akan meningkat 50%
pada tahun 2030. Jumlah penderita DM di Indonesia terus meningkat saat ini
diperkirakan sekitar 5 juta lebih penduduk Indonesia atau berarti 1 dari 40 penduduk
Indonesia menderita diabetes. Berdasarkan data Riskesdas 2013 prevalensi DM di
Indonesia mencapai 2,5%.1
Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka
panjang, disfungsi atau kerusakan jangka panjang terutama mata, ginjal, saraf,
jantung dan pembuluh darah. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa DM
meningkatkan resiko tuberkulosis (TB) aktif. Meningkatnya prevalensi DM didaerah
endemik TB dapat berdampak negatif terhadap pengendalian TB.2,3
Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
kuman Mycobacterium Tuberculosis yang masih menjadi masalah kesehatan dunia
yang utama. WHO mendeklarasikan TB sebagai global health emergency. TB
dianggap sebagai masalah kesehatan yang penting karena lebih kurang 1/3 penduduk
dunia terinfeksi oleh mikobakterium TB. Indonesia adalah negeri dengan prevalensi
TB ke-3 tertinggi di dunia setelah China dan India. Perkiraan kejadian BTA di
sputum yang positif di Indonesia adalah 266.000 tahun 1998.2,3
Hubungan antara TB dan DM telah dikenal selama berabad-abad dalam
beberapa dekade terakhir, kejadian TB telah menurun di negara-negara
berpenghasilan tinggi, namun insiden tetap tinggi di negara yang memiliki prevalensi
kehidupan yang padat, tingkat infeksi HIV tinggi, atau infrastuktur pengendalian TB
yang buruk. Pada saat yang sama, prevalensi DM melonjak secara global, didorong
oleh obesitas. Ada bukti yang berkembang bahwa DM merupakan faktor risiko yang
penting untuk TB dan dapat mempengaruhi penyajian penyakit dan respon

1
pengobatan. Selanjutnya, TB dapat menginduksi intoleransi glukosa dan
memperburuk kontrol glikemik pada penderita DM.4
Tuberkulosis dan diabetes melitus merupakan dua masalah kesehatan yang
cukup besar secara epidemiologi dan berdampak besar secara global karena
keduanya merupakan penyakit kronik dan saling berkaitan. Tuberkulosis paru tidak
akan sembuh dengan baik pada diabetes yang tidak terkontrol. TB paru pada
penderita DM mempunyai karakteristik berbeda, sehingga sering tidak terdiagnosis
dan terapinya sulit mengingat interaksi obat TB dan obat antidiabetik oral.5

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DIABETES MELITUS


A. Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010, Diabetes Melitus
(DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya.6

B. Epidemiologi
Berdasarkan laporan WHO tahun 2008, penyandang DM ada 350 juta
orang dengan prevalensi yang tidak jauh berbeda antara negara maju dan
negara miskin. Lebih dari 80% kematian karena DM terjadi di negara
berkembang dan negara miskin. Dan diperkirakan sekitar 50% terjadi
peningkatan kasus DM di tahun 2030. Senada dengan WHO, International
Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2009, memprediksi kenaikan jumlah
penyandang DM di dunia dari 7,0 juta pada tahun 2009 menjadi 12,0 juta
pada tahun 2030. Meskipun terdapat perbedaan angka prevalensi, laporan
keduanya menunjukkan adanya peningkatan jumlah penyandang DM
sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030.7

C. Etiologi
Menurut American Diabetes Association (ADA) bahwa DM berkaitan
dengan faktor risiko yang tidak dapat diubah meliputi riwayat keluarga
dengan DM (first degree relative), umur ≥ 45 tahun, etnik, riwayat
melahirkan bayi dengan berat badan lahir bayi > 4000 gram atau riwayat
pernah menderita DM gestasional dan riwayat lahir dengan berat badan
rendah (<2,5 kg). Faktor risiko yang dapat diubah meliputi obesitas
berdasarkan IMT ≥ 25kg/m2 atau lingkar perut ≥80 cm pada wanita dan ≥90

3
cm pada laki-laki, kurangnya aktivitas fisik, hipertensi, dislipidemia dan diet
tidak sehat.8
Faktor lain yang terkait dengan risiko diabetes adalah penderita
polycystic ovary sindrome (PCOS), penderita sindrom metabolik memiliki
riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa
terganggu (GDPT) sebelumnya, memiliki riwayat penyakit kardiovaskular
seperti stroke, PJK, atau peripheral arterial Diseases (PAD), konsumsi
alkohol, faktor stres, kebiasaan merokok, jenis kelamin, konsumsi kopi dan
kafein.8
1. Obesitas (kegemukan)
Terdapat korelasi bermakna antara obesitas dengan kadar glukosa
darah, pada derajat kegemukan dengan IMT > 23 dapat menyebabkan
peningkatan kadar glukosa darah menjadi 200 mg%.
2. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah pada hipertensi berhubungan erat dengan
tidak tepatnya penyimpanan garam dan air, atau meningkatnya tekanan
dari dalam tubuh pada sirkulasi pembuluh darah perifer.
3. Riwayat Keluarga Diabetes Melitus
Seorang yang menderita DM diduga mempunyai gen diabetes. Diduga
bahwa bakat diabetes merupakan gen resesif. Hanya orang yang bersifat
homozigot dengan gen resesif tersebut yang menderita DM.
4. Dislipedimia
Adalah keadaan yang ditandai dengan kenaikan kadar lemak darah
(Trigliserida > 250 mg/dl). Terdapat hubungan antara kenaikan plasma
insulin dengan rendahnya HDL (< 35 mg/dl) sering didapat pada pasien
Diabetes.
5. Umur
Berdasarkan penelitian, usia yang terbanyak terkena DM adalah > 45
tahun.

4
6. Riwayat persalinan
Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau berat badan
bayi > 4000 gram
7. Faktor Genetik
DM tipe 2 berasal dari interaksi genetis dan berbagai faktor mental.
Penyakit ini sudah lama dianggap berhubungan dengan agregasi familial.
Risiko emperis dalam hal terjadinya DM tipe 2 akan meningkat dua
sampai enam kali lipat jika orang tua atau saudara kandung mengalami
penyakit ini.
8. Alkohol dan Rokok
Perubahan-perubahan dalam gaya hidup berhubungan dengan
peningkatan frekuensi DM tipe 2. Walaupun kebanyakan peningkatan ini
dihubungkan dengan peningkatan obesitas dan pengurangan ketidak
aktifan fisik, faktor-faktor lain yang berhubungan dengan perubahan dari
lingkungan tradisional kelingkungan kebarat-baratan yang meliputi
perubahan-perubahan dalam konsumsi alkohol dan rokok, juga berperan
dalam peningkatan DM tipe 2. Alkohol akan menganggu metabolisme gula
darah terutama pada penderita DM, sehingga akan mempersulit regulasi
gula darah dan meningkatkan tekanan darah. Seseorang akan meningkat
tekanan darah apabila mengkonsumsi etil alkohol lebih dari 60ml/hari
yang setara dengan 100 ml proof wiski, 240 ml wine atau 720 ml.8

D. Klasifikasi
Klasifikasi etiologis DM menurut American Diabetes Association 2010
(ADA 2010), dibagi dalam 4 jenis yaitu: 6
a. Diabetes Melitus Tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus/IDDM
DM tipe 1 terjadi karena adanya destruksi sel beta pankreas karena
sebab autoimun. Pada DM tipe ini terdapat sedikit atau tidak sama sekali
sekresi insulin dapat ditentukan dengan level protein c-peptida yang
jumlahnya sedikit atau tidak terdeteksi sama sekali. Manifestasi klinik
pertama dari penyakit ini adalah ketoasidosis.

5
b. Diabetes Melitus Tipe 2 atau Insulin Non-dependent Diabetes
Mellitus/NIDDM
Pada penderita DM tipe ini terjadi hiperinsulinemia tetapi insulin
tidak bisa membawa glukosa masuk ke dalam jaringan karena terjadi
resistensi insulin yang merupakan turunnya kemampuan insulin untuk
merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk
menghambat produksi glukosa oleh hati. Oleh karena terjadinya resistensi
insulin (reseptor insulin sudah tidak aktif karena dianggap kadarnya masih
tinggi dalam darah) akan mengakibatkan defisiensi relatif insulin. Hal
tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin pada adanya
glukosa bersama bahan sekresi insulin lain sehingga sel beta pankreas akan
mengalami desensitisasi terhadap adanya glukosa. Onset DM tipe ini
terjadi perlahan-lahan karena itu gejalanya asimtomatik. Adanya resistensi
yang terjadi perlahan-lahan akan mengakibatkan sensitivitas reseptor akan
glukosa berkurang. DM tipe ini sering terdiagnosis setelah terjadi
komplikasi
c. Diabetes Melitus Tipe Lain
DM tipe ini terjadi karena etiologi lain, misalnya pada defek genetik
fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas,
penyakit metabolik endokrin lain, iatrogenik, infeksi virus, penyakit
autoimun dan kelainan genetik lain.
d. Diabetes Melitus Gestasional
DM tipe ini terjadi selama masa kehamilan, dimana intoleransi
glukosa didapati pertama kali pada masa kehamilan, biasanya pada
trimester kedua dan ketiga. DM gestasional berhubungan dengan
meningkatnya komplikasi perinatal. Penderita DM gestasional memiliki
risiko lebih besar untuk menderita DM yang menetap dalam jangka waktu
5-10 tahun setelah melahirkan.6

6
Tabel 1. Klasifikasi DM Menurut ADA 2010

E. Patogenesis
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas
telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2
Belakangan diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih
berat daripada yang diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver dan sel beta,
organ lain seperti: jaringan lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal
(defisiensi incretin), sel alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal
(peningkatan absorpsi glukosa), dan otak (resistensi insulin), kesemuanya ikut
berperan dalam menimbulkan terjadinya gangguan toleransi glukosa pada
DM tipe-2. Delapan organ penting dalam gangguan toleransi glukosa ini
(ominous octet) penting dipahami karena dasar patofisiologi ini memberikan
konsep tentang:9
1. Pengobatan harus ditujukan guna memperbaiki gangguan patogenesis,
bukan hanya untuk menurunkan HbA1c saja
2. Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasari atas kinerja obat
pada gangguan multipel dari patofisiologi DM tipe 2.
3. Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau
memperlambat progresivitas kegagalan sel beta yang sudah terjadi pada
penyandang gangguan toleransi glukosa.

7
DeFronzo pada tahun 2009 menyampaikan, bahwa tidak hanya otot, liver
dan sel beta pankreas saja yang berperan sentral dalam patogenesis penderita
DM tipe-2 tetapi terdapat organ lain yang berperan yang disebutnya sebagai
the ominous octet.9

Gambar 1. The ominous octet, delapan organ yang berperan dalam


patogenesis hiperglikemia pada DM tipe 2

Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal


(omnious octet) berikut: 9
1. Kegagalan sel beta pancreas:
Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah
sangat berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah
sulfonilurea, meglitinid, GLP-1 agonis dan DPP-4 inhibitor.
2. Liver:
Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan
memicu gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal
oleh liver (HGP=hepatic glucose production) meningkat. Obat yang
bekerja melalui jalur ini adalah metformin, yang menekan proses
gluconeogenesis.

8
3. Otot:
Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang
multiple di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga
timbul gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis
glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. Obat yang bekerja di jalur ini
adalah metformin, dan tiazolidindion.
4. Sel lemak:
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin,
menyebabkan peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas
(FFA=Free Fatty Acid) dalam plasma. Penigkatan FFA akan merangsang
proses glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan
otot. FFA juga akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang
disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoxocity. Obat yang bekerja
dijalur ini adalah tiazolidindion.
5. Usus:
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar
dibanding kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai
efek incretin ini diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like
polypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent insulinotrophic polypeptide
atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide). Pada penderita DM tipe-2
didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap GIP. Disamping hal
tersebut incretin segera dipecah oleh keberadaan ensim DPP-4, sehingga
hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja menghambat
kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor. Saluran pencernaan juga
mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja ensim
alfa-glukosidase yang memecah polisakarida menjadi monosakarida yang
kemudian diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan glukosa darah
setelah makan. Obat yang bekerja untuk menghambat kinerja ensim alfa-
glukosidase adalah akarbosa.

9
6. Sel Alpha Pancreas:
Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam
hiperglikemia dan sudah diketahui sejak 1970. Sel-α berfungsi dalam
sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa kadarnya di dalam plasma
akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan HGP dalam keadaan basal
meningkat secara signifikan dibanding individu yang normal. Obat yang
menghambat sekresi glukagon atau menghambat reseptor glukagon
meliputi GLP-1 agonis, DPP- 4 inhibitor dan amylin.
7. Ginjal:
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam patogenesis
DM tipe-2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan
puluh persen dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran
SGLT-2 (Sodium Glucose co-Transporter) pada bagian convulated tubulus
proksimal. Sedang 10% sisanya akan di absorbsi melalui peran SGLT-1
pada tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa
dalam urine. Pada penderita DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2.
Obat yang menghambat kinerja SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan
kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat
urine. Obat yang bekerja di jalur ini adalah SGLT-2 inhibitor.
Dapaglifozin adalah salah satu contoh obatnya.
8. Otak:
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu
yang obes baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia
yang merupakan mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada
golongan ini asupan makanan justru meningkat akibat adanya resistensi
insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang bekerja di jalur Ini adalah
GLP-1 agonis, amylin dan bromokriptin.9

F. Penegakkan Diagnosis
PERKENI membagi alur diagnosis DM menjadi dua bagian besar
berdasarkan ada tidaknya gejala khas DM. Gejala khas DM terdiri dari

10
poliuria, polidipsia, polifagia dan berat badan menurun tanpa sebab yang
jelas., sedangkan gejala tidak khas DM diantaranya lemas, kesemutan, luka
yang sulit sembuh gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, dan pruritus
vulva pada wanita. Apabila ditemukan gejala khas DM, pemeriksaan glukosa
darah abnormal satu kali saja sudah cukup untuk menegakkan diagnosis,
namun, apabila tidak ditemukan gejala khas DM, maka dipelukan dua kali
pemeriksaan glukosa darah abnormal.2
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:9
 Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
 Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.
Diagnosis DM juga dapat ditegakkan melalui kriteria diagnosis DM
yakni: 9
Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl. Puasa adalah kondisi
tidak ada asupan kalori minimal 8 jam. (B) atau

Pemeriksaan glukosa plasma ≥ 200 mg/dl 2- jam setelah Tes Toleransi


Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram. (B) atau

Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl dengan keluhan


klasik, atau

Pemeriksaan HbA1C ≥ 6,5% dengan menggunakan metode yang


terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization
Program (NGSP) (B)

Catatan:
Saat ini tidak semua laboratorium di Indonesia memenuhi standard
NGSP, sehingga harus hati-hati dalam membuat interpretasi terhadap
hasil pemeriksaan HbA1c. Pada kondisi tertentu seperti: anemia,
hemoglobinopati, riwayat transfusi darah 2-3 bulan terakhir, kondisi –
kondisi yang mempengaruhi umur eritrosit dan gangguan fungsi ginjal

11
maka HbA1c tidak dapat dipakai sebagai alat diagnosis maupun evaluasi.
9

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM


digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT). 9
 Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa
plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa
plasma 2-jam <140 mg/dl;
 Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2
-jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100
mg/dl
 Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
 Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.

Tabel 2. Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis daibetes dan


prediabetes. 9

Cara pelaksanaan TTGO (WHO 1994): 9


1. 3 hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari
(dengan karbohidrat cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti
biasa
2. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan,
minum air putih tanpa gula diperbolehkan
3. Diperiksa konsentrasi glukosa darah puasa

12
4. Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa) atau 1,75 gram/kgBB (anak-
anak) dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu 15 menit
5. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2
jam setelah minum larutan glukosa selesai
6. Diperiksa glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa
7. Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak
merokok.

Gambar 2. Langkah-langkah diagnostik DM dan toleransi glukosa


terganggu
Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan konsentrasi glukosa
darah. Dalam menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah
yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai untuk diagnosis,
pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara

13
enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Uji diagnostik DM dilakukan
pada mereka yang menunjukkan gejala/ tanda DM, sedangkan skrining
bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala. Pada
anamnesis penting untuk di tanyakan lama mederita DM, kontrol gula darah,
gejala komplikasi (jantung ginjal, penglihatan) penyakit penyerta, riwayat
pengobatan saat ini, pemakaian sepatu, adanya callus adanya kelainan bentuk
kaki, riwayat infeksi atau pembedahan pada kaki, nyeri pada tungkai saat
istrahat. Pada pemeriksaan fisik, dilakukan pemeriksaan vaskuler,
pemeriksaan neuropati, dan pemeriksaan kulit. Pada pemeriksaan vaskuler
dilakukan palpasi pulsasi arteri, adanya edema, perubahan suhu, dan kelainan
lokal diekstremitas. Pemeriksaan kulit dilakukan dengan mengamati tektur,
turgor dan warna, kulit kering, adanya kallus atau fissura, ulkus, gangren,
infeksi, atau dermopati lain.2
Pemeriksaan Penyaring dilakukan untuk menegakkan diagnosis DM
Tipe-2 dan prediabetes pada kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan
gejala klasik DM yaitu:9
1. Kelompok dengan berat badan lebih (Indeks Massa Tubuh [IMT] ≥23 kg/m2)
yang disertai dengan satu atau lebih faktor risiko sebagai berikut:
a. Aktivitas fisik yang kurang.
b. First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam keluarga).
c. Kelompok ras/etnis tertentu.
d. Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBL >4 kg
atau mempunyai riwayat diabetes melitus gestasional (DMG).
e. Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi untuk hipertensi).
f. HDL <35 mg/dL dan atau trigliserida >250 mg/dL.
g. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium.
h. Riwayat prediabetes.
i. Obesitas berat, akantosis nigrikans.
j. Riwayat penyakit kardiovaskular.
2. Usia >45 tahun tanpa faktor risiko di atas.

14
Catatan: Kelompok risiko tinggi dengan hasil pemeriksaan glukosa plasma
normal sebaiknya diulang setiap 3 tahun (E), kecuali pada kelompok
prediabetes pemeriksaan diulang tiap 1 tahun (E).
Pada keadaan yang tidak memungkinkan dan tidak tersedia fasilitas
pemeriksaan TTGO, maka pemeriksaan penyaring dengan mengunakan
pemeriksaan glukosa darah kapiler, diperbolehkan untuk patokan diagnosis
DM. Dalam hal ini harus diperhatikan adanya perbedaan hasil pemeriksaan
glukosa darah plasma vena dan glukosa darah kapiler seperti pada tabel di
bawah ini.9

Tabel 3. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan


penyaring dan diagnosis DM (mg/dl) 9

G. Penatalaksanaan
Dalam Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia
2015, penatalaksanaan dan pengelolaan DM dititik beratkan pada 4 pilar
penatalaksanaan DM, yaitu: edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan
intervensi farmakologis. 9
a. Edukasi
Tim kesehatan mendampingi pasien dalam perubahan perilaku sehat
yang memerlukan partisipasi aktif dari pasien dan keluarga pasien. Upaya
edukasi dilakukan secara komprehensif dan berupaya meningkatkan
motivasi pasien untuk memiliki perilaku sehat. Tujuan dari edukasi
diabetes adalah mendukung usaha pasien penyandang diabetes untuk
mengerti perjalanan alami penyakitnya dan pengelolaannya, mengenali
masalah kesehatan/ komplikasi yang mungkin timbul secara dini/ saat

15
masih reversible, ketaatan perilaku pemantauan dan pengelolaan penyakit
secara mandiri, dan perubahan perilaku/kebiasaan kesehatan yang
diperlukan. Edukasi pada penyandang diabetes meliputi pemantauan
glukosa mandiri, perawatan kaki, ketaatan pengunaan obat-obatan,
berhenti merokok, meningkatkan aktifitas fisik, dan mengurangi asupan
kalori dan diet tinggi lemak. 9
b. Terapi Gizi Medis
Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan
diabtes secara total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara
menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lan
serta pasien dan keluarganya). Setiap penyandang diabetes sebaiknya
mendapat TNM sesuai dengan kebutuhannya guna mencapai sasaran
terapi. Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama
dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang
seimbang dan sesuai dngan kebutuhan alori dan zat gizi masing- masing
individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya
keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan,
terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah dan
insulin. 9
Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.
Pembatasan karbohidrat total <130g/hari tidak dianjurkan, dan sebaiknya
makanan mengandung karbohidrat yang utamanya berserat tinggi. Glukosa
dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes dapat makan
sama dengan makanan keluarga yang lain. Sukrosa tidak boleh lebih dari
5% total asupan energi. Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai
pengganti glukosa, asal tidak melebihi batas aman konsumsi harian
(Accepted Daily Intake/ADI). Dianjurkan makan tiga kali sehari dan bila
perlu dapat diberikan makanan selingan seperti buah atau makanan lain
sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.9
Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori. Tidak
diperkenankan melebihi 30% total asupan energi. Lemak jenuh <7%

16
kebutuhan kalori, dan lemak tidak jenuh ganda <10%, selebihnya dari
lemak tidak jenuh tunggal. Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah
yang banyak mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara lain: daging
berlemak dan susu fullcream. Konsumsi kolesterol dianjurkan < 200
mg/hari. 9
Kebutuhan protein sebesar 10 – 20% total asupan energi. Sumber
protein yang baik adalah ikan, udang, cumi, daging tanpa lemak, ayam
tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu dan tempe.
Pada pasien dengan nefropati diabetik perlu penurunan asupan protein
menjadi 0,8 g/kg BB perhari atau 10% dari kebutuhan energi, dengan 65%
diantaranya bernilai biologik tinggi. Kecuali pada penderita DM yang
sudah menjalani hemodialisis asupan protein menjadi 1-1,2 g/kg BB
perhari.9
Anjuran asupan natrium untuk penyandang DM sama dengan orang
sehat yaitu <2300 mg perhari. Penyandang DM yang juga menderita
hipertensi perlu dilakukan pengurangan natrium secara individual. Sumber
natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan pengawet
seperti natrium benzoat dan natrium nitrit. 9
Penyandang DM dianjurkan mengonsumsi serat dari kacangkacangan,
buah dan sayuran serta sumber karbohidrat yang tinggi serat. Anjuran
konsumsi serat adalah 20-35 gram/hari yang berasal dari berbagai sumber
bahan makanan. 9
Pemanis alternatif aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas
aman (Accepted Daily Intake/ADI). Pemanis alternatif dikelompokkan
menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak berkalori. Pemanis berkalori
perlu diperhitungkan kandungan kalorinya sebagai bagian dari kebutuhan
kalori, seperti glukosa alkohol dan fruktosa. 9
Terdapat beberapa cara untuk menghitung jumlah kalori yang
dibutuhkan penyandang diabetes. Diantaranya adalah dengan
memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30
kalori/kgBB ideal, ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa

17
faktor seperi jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan. Perhitungan berat
bada ideal (BBI) dengan rumus brocca yang dimodifikasi adalah:
- Berat Badan Ideal (BBI) = 90% x (TB dalam cm -100) x 1kg
- Bagi pria dengan tinggi badan dibawah 160 cm dan wanita dibawah
150 cm, rumus dimodifikasi menjadi:9
Berat badan ideal (BBI= (TB dalam cm – 100) x 1 kg
c. Latihan Jasmani
Latihan jasmani merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DMT2
apabila tidak disertai adanya nefropati. Kegiatan jasmani sehari-hari dan
latihan jasmani dilakukan secara secara teratur sebanyak 3-5 kali
perminggu selama sekitar 30-45 menit, dengan total 150 menit perminggu.
Jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut. Dianjurkan untuk
melakukan pemeriksaan glukosa darah sebelum latihan jasmani. Apabila
kadar glukosa darah <100 mg/dL pasien harus mengkonsumsi karbohidrat
terlebih dahulu dan bila >250 mg/dL dianjurkan untuk menunda latihan
jasmani. Kegiatan sehari-hari atau aktivitas sehari-hari bukan termasuk
dalam latihan jasmani meskipun dianjurkan untuk selalu aktif setiap hari.
Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan
berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan
memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan
berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik dengan intensitas sedang (50-
70% denyut jantung maksimal) seperti: jalan cepat, bersepeda santai,
jogging, dan berenang. Denyut jantung maksimal dihitung dengan cara
mengurangi angka 220 dengan usia pasien.9
d. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan
latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat
oral dan bentuk suntikan. 9

18
I. Obat Antihiperglikemia Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi menjadi
5 golongan: 9
a. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)
Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi
insulin oleh sel beta pankreas. Efek samping utama adalah
hipoglikemia dan peningkatan berat badan. Hati-hati menggunakan
sulfonilurea pada pasien dengan risiko tinggi hipoglikemia (orang
tua, gangguan faal hati, dan ginjal). 9
Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan
sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin
fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu
Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat
fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian
secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat
mengatasi hiperglikemia post prandial. Efek samping yang mungkin
terjadi adalah hipoglikemia. 9

b. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin


Metformin
Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi
glukosa hati (glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa
di jaringan perifer. Metformin merupakan pilihan pertama pada
sebagian besar kasus DMT2. Dosis Metformin diturunkan pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal (GFR 30- 60 ml/menit/1,73
m2). Metformin tidak boleh diberikan pada beberapa keadaan sperti:
GFR<30 mL/menit/1,73 m2, adanya gangguan hati berat, serta
pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit
serebrovaskular, sepsis, renjatan, PPOK, gagal jantung [NYHA FC

19
III-IV]). Efek samping yang mungkin berupa gangguan saluran
pencernaan seperti halnya gejala dispepsia. 9
Tiazolidindion (TZD).
Tiazolidindion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator
Activated Receptor Gamma (PPAR-gamma), suatu reseptor inti yang
terdapat antara lain di sel otot, lemak, dan hati. Golongan ini
mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di jaringan perifer. Tiazolidindion
meningkatkan retensi cairan tubuh sehingga dikontraindikasikan
pada pasien dengan gagal jantung (NYHA FC III-IV) karena dapat
memperberat edema/retensi cairan. Hati-hati pada gangguan faal
hati, dan bila diberikan perlu pemantauan faal hati secara berkala.
Obat yang masuk dalam golongan ini adalah Pioglitazone. 9

c. Penghambat Absorpsi Glukosa di saluran pencernaan:


Penghambat Alfa Glukosidase.
Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa dalam
usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa
darah sesudah makan. Penghambat glukosidase alfa tidak digunakan
pada keadaan: GFR≤30ml/min/1,73 m2, gangguan faal hati yang
berat, irritable bowel syndrome. Efek samping yang mungkin terjadi
berupa bloating (penumpukan gas dalam usus) sehingga sering
menimbulkan flatus. Guna mengurangi efek samping pada awalnya
diberikan dengan dosis kecil. Contoh obat golongan ini adalah
Acarbose. 9

d. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)


Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim
DPP-IV sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam
konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk

20
meningkatkan sekresi insulin dan menekan sekresi glukagon
bergantung kadar glukosa darah (glucose dependent). Contoh obat
golongan ini adalah Sitagliptin dan Linagliptin. 9

e. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Cotransporter 2)


Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes
oral jenis baru yang menghambat penyerapan kembali glukosa di
tubuli distal ginjal dengan cara menghambat kinerja transporter
glukosa SGLT-2. Obat yang termasuk golongan ini antara lain:
Canagliflozin, Empagliflozin, Dapagliflozin, Ipragliflozin.
Dapagliflozin baru saja mendapat approvable letter dari Badan POM
RI pada bulan Mei 2015. 9

-
Tabel 4. Profil obat antihiperglikemia oral yang tersedia di Indonesia9

21
II. Obat Antihiperglikemia Suntik
Termasuk anti hiperglikemia suntik, yaitu insulin, agonis GLP-1
dan kombinasi insulin dan agonis GLP-1. 9
a. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan :
 HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolic
 Penurunan berat badan yang cepat
 Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
 Krisis Hiperglikemia
 Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
 Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut,
stroke)
 Kehamilan dengan DM/Diabetes mellitus gestasional yang tidak
terkendali dengan perencanaan makan
 Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
 Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
 Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi 9

Jenis dan Lama Kerja Insulin


Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi 5 jenis, yakni :
 Insulin kerja cepat (Rapid-acting insulin)
 Insulin kerja pendek (Short-acting insulin)
 Insulin kerja menengah (Intermediateacting insulin)
 Insulin kerja panjang (Long-acting insulin)
 Insulin kerja ultra panjang (Ultra longacting insulin)
 Insulin campuran tetap, kerja pendek dengan menengah dan kerja
cepat dengan menengah (Premixed insulin) 9

Efek samping terapi insulin


 Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia

22
 Penatalaksanaan hipoglikemia dapat dilihat dalam bagian
komplikasi akut DM
 Efek samping yang lain berupa reaksi alergi terhadap insulin

Tabel 5. Farmakokinetik Insulin Eksogen Berdasarkan Waktu


Kerja (Time Course of Action)

23
b. Agonis GLP-1/Incretin Mimetic
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan
pendekatan baru untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja
pada sel-beta sehingga terjadi peningkatan pelepasan insulin,
mempunyai efek menurunkan berat badan, menghambat pelepasan
glukagon, dan menghambat nafsu makan. Efek penurunan berat badan
agonis GLP-1 juga digunakan untuk indikasi menurunkan berat badan
pada pasien DM dengan obesitas.
Pada percobaan binatang, obat ini terbukti memperbaiki cadangan sel
beta pankreas. Efek samping yang timbul pada pemberian obat ini
antara lain rasa sebah dan muntah. Obat yang termasuk golongan ini
adalah: Liraglutide, Exenatide, Albiglutide, dan Lixisenatide. 9
Salah satu obat golongan agonis GLP-1 (Liraglutide) telah
beredar di Indonesia sejak April 2015, tiap pen berisi 18 mg dalam 3
ml. Dosis awal 0.6 mg perhari yang dapat dinaikkan ke 1.2 mg setelah
satu minggu untuk mendapatkan efek glikemik yang diharapkan.
Dosis bisa dinaikkan sampai dengan 1.8 mg. Dosis harian lebih dari
1.8 mg tidak direkomendasikan. Masa kerja Liraglutide selama 24 jam
dan diberikan sekali sehari secara subkutan. 9

III. Terapi Kombinasi


Kombinasi obat antihiperglikemia oral dengan insulin dimulai
dengan pemberian insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin
kerja panjang). Insulin kerja menengah harus diberikan jam 10 malam
menjelang tidur, sedangkan insulin kerja panjang dapat diberikan
sejak sore sampai sebelum tidur. Pendekatan terapi tersebut pada
umumnya dapat mencapai kendali glukosa darah yang baik dengan
dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin basal untuk
kombinasi adalah 6-10 unit. Kemudian dilakukan evaluasi dengan
mengukur kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Dosis insulin
dinaikkan secara perlahan (pada

24
umumnya 2 unit) apabila kadar glukosa darah puasa belum mencapai
target. Pada keadaaan dimana kadar glukosa darah sepanjang hari
masih tidak terkendali meskipun sudah mendapat insulin basal, maka
perlu diberikan terapi kombinasi insulin basal dan prandial, sedangkan
pemberian obat antihiperglikemia oral dihentikan dengan hati-hati. 9

Gambar 3. Algoritme Pengelolaan DM Tipe 2

Dengan memahami 4 pilar tata laksana DM tipe 2 ini, maka dapat


dipahami bahwa yang menjadi dasar utama adalah gaya hidup sehat (GHS).
Semua pengobatan DM tipe 2 diawali dengan GHS yang terdiri dari edukasi
yang terus menerus, mengikuti petunjuk pengaturan makan secara konsisten,
dan melakukan latihan jasmani secara teratur. Sebagian penderita DM tipe 2
dapat terkendali kadar glukosa darahnya dengan menjalankan GHS ini. Bila
dengan GHS glukosa darah belum terkendali, maka diberikan monoterapi
OHO. 6
Pemberian OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara
bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah. Pemberian OHO
berbeda-beda tergantung jenisnya. Sulfonilurea diberikan 15-30 menit

25
sebelum makan. Glinid diberikan sesaat sebelum makan. Metformin bias
diberikan sebelum/sesaat/sesudah makan. Acarbose diberikan bersama makan
suapan pertama. Tiazolidindion tidak bergantung pada jadwal makan, DPP-4
inhibitor dapat diberikan saat makan atau sebelum makan. 6
Bila dengan GHS dan monoterapi OHO glukosa darah belum terkendali
maka diberikan kombinasi 2 OHO. Untuk terapi kombinasi harus dipilih 2
OHO yang cara kerja berbeda, misalnya golongan sulfonilurea dan
metformin. Bila dengan GHS dan kombinasi terapi 2 OHO glukosa darah
belum terkendali maka ada 2 pilihan yaitu yang pertama GHS dan kombinasi
terapi 3 OHO atau GHS dan kombinasi terapi 2 OHO bersama insulin basal.
Yang dimaksud dengan insulin basal adalah insulin kerja menengah atau
kerja panjang, yang diberikan malam hari menjelang tidur. 6
Bila dengan cara diatas glukosa darah terap tidak terkendali maka
pemberian OHO dihentikan, dan terapi beralih kepada insulin intensif. Pada
terapi insulin ini diberikan kombinasi insulin basal untuk mengendalikan
glukosa darah puasa, dan insulin kerja cepat atau kerja pendek untuk
mengendalikan glukosa darah prandial. Kombinasi insulin basal dan prandial
ini berbentuk basal bolus yang terdiri dari 1 x basal dan 3 x prandial.
Algoritma tata laksana selengkapnya di bawah ini: 6

Gambar 4. Algoritma pengelolaan DM tipe 2 tanpa dekompensasi6

26
Tes hemoglobin terglikosilasi (disingkat A1c), merupakan cara yang
digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya.
Pemeriksaan ini dianjurkan setiap 3 bulan, atau minimal 2 kali setahun.

Gambar 5. Algoritma pengelolaan DM tipe 2 berdasarkan hasil A1c 6

Kriteria pengendalian DM
Untuk mencegah komplikasi kronik, diperlukan pengendalian DM yang
baik yang merupakan sasaran terapi. Diabetes dinyatakan terkendali baik bila
kadar glukosa darah, A1c dan lipid mencapai target sasaran. 6
Metformin dan DM tipe 2
Sebagai salah satu obat hipoglikemik oral, metformin mempunyai
beberapa efek terapi antara lain menurunkan kadar glukosa darah melalui
penghambatan produksi glukosa hati dan menurunkan resistensi insulin
khususnya di hati dan otot. Metformin tidak meningkatkan kadar insulin
plasma. Metformin menurunkan absorbsi glukosa di usus dan meningkatkan
sensitivitas insulin melalui efek penngkatan ambilan glukosa di perifer. Studi-
studi invivo dan invitro membuktikan efek metformin terhadap fluidity
membran palsma, plasticity dari reseptor dan transporter, supresi dari

27
mitochondrial respiratory chain, peningkatan insulin-stimulated receptor
phosphorylation dan aktivitas tirosine kinase, stimulasi translokasi GLUT4
transporters, dan efek enzimatik metabolic pathways. 6
Tatalaksana DM tipe-2 bukan hanya bertujuan untuk kendali glikemik,
tetapi juga kendali faktor risiko kardiovaskuler, karena ancaman mortalitas
dan morbiditas justru datang dari berbagai komplikasi kronik terebut. 6
Dalam mencapai tujuan ini, Metformin salah satu jenis OHO ternyata
bukan hanya berfungsi untuk kendali glikemik, tetapi juga dapat memperbaiki
disfungsi endotel, hemostasis, stress oksidatif, resistensi insulin, profil lipid
dan redistribusi lemak. Metformin terbukti dapat menurunkan berat badan,
memperbaiki sensitivitas insulin, dan mengurangi lemak visceral. 6
Pada penderita perlemakan hati (fatty liver), didapatkan perbaikan
dengan penggunaan Metformin. Metformin juga terbukti mempunyai efek
protektif terhadap komplikasi makrovaskular. Selain berperan dalam proteksi
risiko kardiovaskuler, studi-studi terbaru juga mendapatkan peranan
neuroprotektif Metformin dalam memperbaiki fungsi saraf, khususnya spatial
memory function15 dan peranan proteksi Metformin dalam karsinogenesis.
Diabetes tipe-2 mempunyai risiko lebih tinggi untuk terkena berbagai macam
kanker terutama kanker hati, pankreas, endometrium, kolorektal, payudara,
dan kantong kemih. Banyak studi menunjukkan penurunan insidens
keganasan pada pasien yang menggunakan Metformin. 6
Pedoman tatalaksana diabetes mellitus tipe-2 yang terbaru dari the
American Diabetes Association/ European Association for the Study of
Diabetes (ADA/EASD) dan the American Association of Clinical
Endocrinologists/American College of Endocrinology (AACE/ACE)
merekomendasikan pemberian metformin sebagai monoterapi lini pertama.
Rekomendasi ini terutama berdasarkan efek metformin dalam menurunkan
kadar glukosa darah, harga relatif murah, efek samping lebih minimal dan
tidak meningkatkan berat badan. Posisi Metformin sebagai terapi lini pertama
juga diperkuat oleh the United Kingdom Prospective Diabetes Study
(UKPDS) yang pada studinya mendapatkan pada kelompok yang diberi

28
Metformin terjadi penurunan risiko mortalitas dan morbiditas. UKPDS juga
mendapatkan efikasi Metformin setara dengan sulfonylurea dalam
mengendalikan kadar glukosa darah. 6

2.2 TUBERKULOSIS PARU


A. Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis complex. Kuman ini menyebar melalui inhalasi
droplet nuklei. Kemudian, masuk ke saluran nafas dan bersarang di jaringan
paru hingga membentuk afek primer. 10

B. Epidemiologi
Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah kesehatan dunia karena
bakteri TB menyebabkan gangguan kesehatan pada jutaan orang dan sebagai
penyebab kematian kedua di dunia setelah virus HIV. Estimasi terbaru
menunjukkan bahwa pada tahun 2012 sebanyak 8,6 juta kasus TB baru dan
1,3 juta kematian terjadi akibat TB. 7
Prevalensi TB paru pada DM meningkat 20 kali lipat dibandingkan
dengan prevalensi TB paru pada non-DM. Suatu penelitian melaporkan
bahwa prevalensi pasien DM yang mengalami TB di Indonesia adalah sebesar
12,8% – 42% dan akan cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya
usia. Di RSUP H. Adam Malik Medan, sebanyak 37,2% pasien DM dengan
TB paru termasuk dalam kelompok usia 51 – 60 tahun. Sebagian besar
(63,8%) dari pasien tersebut adalah laki-laki. Pasien DM laki-laki mempunyai
risiko 2 kali lebih tinggi mendapatkan TB paru dibandingkan dengan pasien
DM wanita.11
Menurut laporan WHO 2013, Indonesia menempati peringkat empat
setelah India, China, dan Afrika Selatan sebagai negara dengan insidensi TB
tertinggi di dunia. Berdasarkan data Riskesdas 2013 prevalensi penduduk
dengan gejala TB paru batuk ≥ 2 minggu sebesar 3,9% dan batuk darah
sebesar 2,8%. 7

29
Para ahli menyatakan keprihatinan tentang epidemi gabungan dari DM
dan TB terutama di negara-negara berpenghasilan menengah yang mengalami
peningkatan tercepat dalam prevalensi DM dan beban TB tertinggi di dunia.
Kekuatan hubungan antara DM dan TB di negara-negara berpenghasilan
rendah masih belum jelas 7

C. Etiologi
Penyebab penyakit tuberkulosis adalah bakteri Mycobacterium
Tuberkulosis. Terdapat beberapa spesies Mycobacterium, antara lain: M.
tuberculosis, M. africanum, M. bovis, M. leprae dsb. yang juga dikenal
sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA). Kelompok bakteri Mycobacterium
selain Mycobacterium tuberculosis yang bisa menimbulkan gangguan pada
saluran nafas dikenal sebagai MOTT (Mycobacterium Other Than
Tuberculosis) yang terkadang bisa mengganggu penegakan diagnosis dan
pengobatan TB. Untuk itu pemeriksaan bakteriologis yang mampu melakukan
identifikasi terhadap Mycobacterium tuberculosis menjadi sarana diagnosis
ideal untuk TB.12
Secara umum sifat kuman TB (Mycobacterium tuberculosis) antara lain
adalah sebagai berikut:12
 Berbentuk batang dengan panjang 1-10 mikron, lebar 0,2-0,6 mikron.
 Bersifat tahan asam dalam pewarnaan dengan metode Ziehl Neelsen.
 Memerlukan media khusus untuk biakan, antara lain Lowenstein Jensen,
Ogawa.
 Kuman nampak berbentuk batang berwarna merah dalam pemeriksaan
dibawah mikroskop.
 Tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam jangka
waktu lama pada suhu antara 40C sampai minus 700C .
 Kuman sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar ultraviolet.
 Paparan langsung terhadap Sinar ultraviolet, sebagian besar kuman akan
mati dalam waktu beberapa menit.

30
 Dalam dahak pada suhu antara 30 - 37 oC akan mati dalam waktu lebih
kurang 1 minggu.
 Kuman dapat bersifat dormant ("tidur”/ tidak berkembang) (pedoman
pengendalian TB 2014)

D. Klasifikasi
Kasus TB diklasifikasikan berdasarkan: 12
a. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit:
Tuberkulosis paru: Adalah TB yang terjadi pada parenkim (jaringan)
paru. Milier TB dianggap sebagai TB paru karena adanya lesi pada
jaringan paru. Limfadenitis TB di rongga dada (hilus dan atau
mediastinum) atau efusi pleura tanpa terdapat gambaran radiologis yang
mendukung TB pada paru, dinyatakan sebagai TB ekstra paru. Pasien yang
menderita TB paru dan sekaligus juga menderita TB ekstra paru,
diklasifikasikan sebagai pasien TB paru.12
Tuberkulosis ekstra paru: Adalah TB yang terjadi pada organ selain
paru, misalnya: pleura, kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing, kulit,
sendi, selaput otak dan tulang. Diagnosis TB ekstra paru dapat ditetapkan
berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis. Diagnosis TB
ekstra paru harus diupayakan berdasarkan penemuan Mycobacterium
tuberculosis. Pasien TB ekstra paru yang menderita TB pada beberapa
organ, diklasifikasikan sebagai pasien TB ekstra paru pada organ
menunjukkan gambaran TB yang terberat.12

b. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya: 12


a) Pasien baru TB: adalah pasien yang belum pernah mendapatkan
pengobatan TB sebelumnya atau sudah pemah menelan OAT namun
kurang dari 1 bulan (< dari 28 dosis)
b) Pasien yang pernah diobati TB: adalah pasien yang sebelumnya pemah
menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (> dari 28 dosis). Pasien ini

31
selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir,
yaitu:
 Pasien kambuh: adalah pasien TB yang pemah dinyatakan sembuh
atau pengobatan lengkap dan Saat ini didiagnosis TB berdasarkan
hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar
kambuh atau karena reinfeksi)
 Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB yang
pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhiL
 Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-
up): adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow
up (klasifikasi ini sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien
setelah putus berobat "default).
 Lain-lain: adalah pasien TB yang pemah diobati namun hasil akhir
pengobatan sebelumnya tidak diketahui
c) Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui.12

c. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan Obat


Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh
uji dari Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa: 12
 Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini
pertama saja Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu
jenis OAT lini pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara
bersamaan Multi drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid
(H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan
 Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus
juga resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan
minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin,
Kapreomisin dan Amikasin)
 Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin dengan atau
tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan
metode genotip (tes cepat) atau metode fenotip (konvensional).

32
d. Klasifikasi pasien TB berdasarkan status HIV 12
1) Pasien TB dengan HIV positif (pasien ko•infeksi TBIHIV): adalah
pasien TB dengan.
 Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan ART,
atau
 Hasil tes HIV positif pada Saat diagnosis TB
2) Pasien TB dengan HIV negatif: adalah pasien TB dengan:
 Hasil tes HIV negatif sebelumnya,
atau
 Hasil tes HIV negatif pada Saat diagnosis TB.
Catatan: Apabila pada pemeriksaan selanjutnya ternyata hasil tes HIV
menjadi positif, pasien harus disesuaikan kembali klasifikasinya sebagai
pasien TB dengan HIV positif.
3) Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui: adalah pasien TB tanpa
ada bukti pendukung hasil tes HIV Saat diagnosis TB ditetapkan.
Catatan: Apabila pada pemeriksaan selanjutnya dapat diperoleh hasil tes
HIV pasien, pasien harus disesuaikan kembali klasifkasinya
berdasarkan hasil tes HIV terakhir.

E. Patogenesis
Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau
dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel
infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada
ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk dan kelembaban. Dalam
suasana lembab dan gelap kuman dapat tahan berhari-hari sampai berbulan-
bulan. Bila partikel infeksi ini terisap oleh orang sehat, ia akan menempel
pada saluran napas atau jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila
ukuran partikel < 5 mikrometer. Kuman akan dihadapi pertama kali oleh
neutrofil, kemudian baru oleh makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati
atau dibersihkan oleh makrofag keluar dari percabangan trakeobronkial
bersama gerakan silia dengan sekretnya. Bila kuman menetap di jaringan

33
paru, berkembangbiak dalam sito-plasma makrofag. Kuman yang bersarang
di jaringan paru akan ber-bentuk sarang tuberculosis pneumonia kecil dan
disebut sarang primer atau afek primer atau sarang (fokus) Ghon. Sarang
primer ini dapat terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila menjalar sampai
ke pleura, maka terjadilah efusi pleura. Kuman dapat juga masuk melalui
saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring, dan kulit, terjadi
limfadenopati regional kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar
ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, tulang. Bila masuk ke arteri
pulmonalis maka terjadi penjalaran ke seluruh bagian paru menjadi TB
milier.2
Tuberkulosis Paska Primer (Tuberkulosis Sekunder)
Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-
tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa
(tuberkulosis post primer = TB pasca primer = TB sekunder). Mayoritas
reinfeksi mencapai 90%. Tuberkulosis sekunder terjadi karena imunitas
menurun seperti malnutrisi, alkohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS, gagal
ginjal. 2
Tuberkulosis pasca-primer ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi
di regio atas paru (bagian apikal-posterior lobus superior atau inferior).
Invasinya adalah ke daerah parenkim paruparudan tidak ke nodus hiler paru.
Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-
10 minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri
dari sel-sel Histiosit dan sel Datia-Langhans (sel besar dengan banyak inti)
yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai jaringan ikat. Sarang yang
mula-mula meluas, tetapi segera menyembuh dengan serbukan jaringan
fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras, menimbulkan per-
kapuran. Sarang dini yang meluas sebagai granuloma berkembang
menghancurkan jaringan ikat sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami
nekrosis, menjadi lembek membentuk jaringan keju. Bila jaringan keju
dibatukkan keluar akan terjadilah kavitas. Kavitas ini mula-mula berdinding
tipis, lama-lama dindingnya menebal karena infiltrasi jaringan fibroblas

34
dalam jumlah besar, sehingga menjadi kavitas sklerotik (kronik). Terjadinya
perkijuan dan kavitas adalah karena hidrolisis protein lipid dan asam nukleat
oleh ensim yang diproduksi oleh makrofag, dan proses yang berlebihan
sitokin dengan TNF-nya. Bentuk perkijuan lain yang jarang adalah cryptic
disseminate TB yang terjadi pada imunodefisiensi dan usia lanjut. Di sini lesi
sangat kecil, tetapi berisi bakteri sangat banyak, kavitas dapat 2
a. Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonia baru. Bila isi kavitas
ini masuk dalam peredaran darah arteri, maka akan terjadi TB miller.
Dapatjuga masuk ke paru sebelahnya atau tertelan masuk lambung dan
selanjutnya ke usus jadi TB usus. Bisa juga terjadi TB endobronkial dan
TB endotrakeal atau empiema bila ruptur ke pleura;
b. Memadat dan membungkus diri sehingga menjadi tuberkuloma.
Tuberkuloma ini dapat mengapur dan menyembuh atau dapat aktif
kembali menjadi cair dan jadi kavitas lagi. Komplikasi kronik kavitas
adalah kolonisasi oleh fungus seperti Aspergillus dan kemudian menjadi
mycetoma;
c. Bersih dan menyembuh, disebut open healed cavity. Dapat juga
menyembuh dengan membungkus diri menjadi kecil. Kadang-kadang
berakhir sebagai kavitas yang terbungkus, menciut dan berbentuk seperti
bintang disebut stellate shaped.
Secara keseluruhan akan terdapat 3 macam sarang yakni 2
1. Sarang yang sudah sembuh.
2. Sarang aktif eksudatif.
3. Sarang yang berada antara aktif dan sembuh.

F. Manifestasi Klinis
Keluhan yang dirasakan pasien TB dapat bermacam-macam atau malah
banyak pasien ditemukan TB paru tanpa keluhan sama sekali dalam
pemeriksaan kesehatan. Keluhan terbanyak adalah: 2
Demam. Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang-
kadang panas badan dapat mencapai 41oC. Serangan demam pertama dapat

35
sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat hilang timbul kembali. Begitulah
seterusnya hilang timbul demam influenza ini, sehingga pasien merasa tidak
pernah terbebas dari serangan demam influenza. Keadaan ini sangat
dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman
TB yang masuk. 2
Batuk/batuk darah. Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena
adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk
radang keluar. Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama,
mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan
paru yakni setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan peradangan
bermula. Sifat batuk dimulai dari batuk kering kemudian setelah timbul
peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut
adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah.
Kebanyakan darah pada TB terjadi karena kavitas,, tetapi dapat juga terjadi
pada ulkus dinding bronkus. 2
Sesak nafas. Pada penyakityang ringan (baru tumbuh) meliputi
setakahbagian paru-paru. 2
Nyeri dada. Gejala ini jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrat
radang sudah sampai ke pelura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi
gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik/melepaskan nafasnya. 2
Malaise. Penyakit TB bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering
ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu makan, badan makin kurus, sakit
kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam hilang timbul secara tidak
teratur.2

G. Penegakkan Diagnosis
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik,
pemeriksaan fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan
pemeriksaan penunjang lainnya. 12
Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala
respiratorik (atau gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik.12

36
1. Gejala respiratorik
 Batuk ≥ 3 minggu
 Batuk darah
 Sesak napas
 Nyeri dada
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala
sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang penderita
terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat
dalam proses penyakit, maka penderita mungkin tidak ada gejala batuk.
Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk
diperlukan untuk membuang dahak ke luar.
2. Gejala sistemik
 Demam
 Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan
menurun
3. Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat,
misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang
lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis
tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis
tuberkulosa terdapat. gejala sesak napas & kadang nyeri dada pada sisi
yang rongga pleuranya terdapat cairan. 12

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik kelainan yang akan dijumpai tergantung dari
organ yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung
luas kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit
umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada
umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apex dan segmen
posterior, serta daerah apex lobus inferior. Pada pemeriksaan fisik dapat
ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah,
ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum. 12

37
Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari
banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada
auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang
terdapat cairan. 12
Pada limfadenitis TB, terlihat pembesaran kelenjar getah bening,
tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-
kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold
abscess”. 12

Pemeriksaan Bakteriologik
a. Bahan pemeriksasan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis
mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan
untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan
pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan
biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH).
b. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan
Cara pengambilan dahak 3 kali, setiap pagi 3 hari berturut-turut atau
dengan cara:
 Sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
 Dahak Pagi (keesokan harinya )
 Sewaktu/spot (pada saat mengantarkan dahak pagi).
Interpretasi hasil pemeriksaan mikroskopik dari 3 kali pemeriksaan
ialah bila:
 2 kali positif, 1 kali negatif → Mikroskopik positif
 1 kali positif, 2 kali negatif → ulang BTA 3 kali , kemudian bila 1 kali
positif, 2 kali negatif → Mikroskopik positif,
 bila 3 kali negatf → Mikroskopik negative.

38
Bila terdapat fasiliti radiologik dan gambaran radiologik menunjukkan
tuberkulosis aktif, maka hasil pemeriksaan dahak 1 kali positif, 2 kali
negatif tidak perlu diulang. 12

Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral.
Pemeriksaan lain atas indikasi: foto apiko-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada
pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-
macam bentuk (multiform). Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi
TB aktif : 12
 Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas
paru dan segmen superior lobus bawah.
 Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan
atau nodular
 Bayangan bercak milier.
 Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang) Gambaran
radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif.
 Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas Kalsifikasi atau
fibrotik.
 Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura Luluh Paru
(Destroyed Lung) :
o Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang
berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru .Gambaran radiologik
luluh paru terdiri dari atelektasis, multikaviti dan fibrosis parenkim
paru. Sulit untuk menilai aktiviti lesi atau penyakit hanya berdasarkan
gambaran radiologik tersebut.
o Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktiviti
proses penyakit Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk
kepentingan pengobatan dapat dinyatakan sebagai berikut (terutama
pada kasus BTA dahak negatif) :

39
 Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru
dengan luas tidak lebih dari volume paru yang terletak di atas
chondrostemal junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus dari
vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5 (sela iga 2) dan tidak
dijumpai kaviti.
 Lesi luas, bila proses lebih luas dari lesi minimal. 12

Pemeriksaan Penunjang
Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah
lamanya waktu yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara
konvensional. Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik baru yang
dapat mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih cepat. 12
1. Polymerase chain reaction (PCR):
Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi
DNA, termasuk DNA M.tuberculosis. Salah satu masalah dalam
pelaksanaan teknik ini adalah kemungkinan kontaminasi. Cara
pemeriksaan ini telah cukup banyak dipakai, kendati masih memerlukan
ketelitian dalam pelaksanaannya. Hasil pemeriksaan PCR dapat membantu
untuk menegakkan diagnosis sepanjang pemeriksaan tersebut dikerjakan
dengan cara yang benar dan sesuai standar. Apabila hasil pemeriksaan
PCR positif sedangkan data lain tidak ada yang menunjang kearah
diagnosis TB, maka hasil tersebut tidak dapat dipakai sebagai pegangan
untuk diagnosis TB. Pada pemeriksaan deteksi M.tb tersebut diatas,
bahan/spesimen pemeriksaan dapat berasal dari paru maupun luar paru
sesuai dengan organ yang terlibat. 12
2. Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda a.1:
a. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)
Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat
mendeteksi respon humoral berupa proses antigen-antibodi yang terjadi.
Beberapa masalah dalam teknik ini antara lain adalah kemungkinan
antibodi menetap dalam waktu yang cukup lama. 12

40
b. Mycodot
Uji ini mendeteksi antibody antimikobakterial di dalam tubuh
manusia. Uji ini menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang
direkatkan pada suatu alat yang berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini
kemudian dicelupkan ke dalam serum penderita, dan bila di dalam
serum tersebut terdapat antibodi spesifik anti LAM dalam jumlah yang
memadai yang sesuai dengan aktiviti penyakit, maka akan timbul
perubahan warna pada sisir yang dapat dideteksi dengan mudah. 12
c. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)
Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi
serologi yang terjadi. 12
d. ICT
Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis)
adalah uji serologik untuk mendeteksi antibodi M.tuberculosis dalam
serum. Uji ICT tuberculosis merupakan uji diagnostik TB yang
menggunakan 5 antigen spesifik yang berasal dari membran sitoplasma
M.tuberculosis, diantaranya antigen M.tb 38 kDa. Ke 5 antigen tersebut
diendapkan dalam bentuk 4 garis melintang pada membran
immunokromatografik (2 antigen diantaranya digabung dalam 1 garis)
disamping garis kontrol. Serum yang akandiperiksa sebanyak 30 μl
diteteskan ke bantalan warna biru, kemudian serum akan berdifusi
melewati garis antigen. Apabila serum mengandung antibodi IgG
terhadap M.tuberculosis, maka antibodi akan berikatan dengan antigen
dan membentuk garis warna merah muda. Uji dinyatakan positif bila
setelah 15 menit terbentuk garis kontrol dan minimal satu dari empat
garis antigen pada membran. Dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan
serologi yang diperoleh, para klinisi harus hati hati karena banyak
variabel yang mempengaruhi kadar antibodi yang terdeteksi. Saat ini
pemeriksaan serologi belum bisa dipakai sebagai pegangan untuk
diagnosis. 12

41
3. Pemeriksaan BACTEC
Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode
radiometrik. M.tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian
menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya oleh mesin ini.
Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara
cepat untuk membantu menegakkan diagnosis. 12
4. Pemeriksaan Cairan Pleura
Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu
dilakukan pada penderita efusi pleura untuk membantu menegakkan
diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis
tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada
analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah. 12
5. Pemeriksaan histopatologi jaringan
Bahan histopatologi jaringan dapat diperoleh melalui biopsi paru
dengan trans bronchial lung biopsy (TBLB), trans thoracal biopsy (TTB),
biopsi paru terbuka, biopsi pleura, biopsi kelenjar getah bening dan biopsi
organ lain diluar paru. Dapat pula dilakukan biopsi aspirasi dengan jarum
halus (BJH =biopsi jarum halus). Pemeriksaan biopsi dilakukan untuk
membantu menegakkan diagnosis, terutama pada tuberkulosis ekstra paru.
Diagnosis pasti infeksi TB didapatkan bila pemeriksaan histopatologi pada
jaringan paru atau jaringan diluar paru memberikan hasil berupa
granuloma dengan perkejuan. 12
6. Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang
spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan
kedua sangat dibutuhkan. Data ini sangat penting sebagai indikator tingkat
kestabilan keadaan nilai keseimbangan biologik penderita, sehingga dapat
digunakan untuk salah satu respon terhadap pengobatan penderita serta
kemungkinan sebagai predeteksi tingkat penyembuhan penderita.
Demikian pula kadar limfosit bisa menggambarkan biologik/daya tahan
tubuh penderita, yaitu dalam keadaan supresi/tidak. LED sering meningkat

42
pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak
menyingkirkan tuberkulosis. Limfosit pun kurang spesifik.12
7. Uji tuberkulin
Pemeriksaan ini sangat berarti dalam usaha mendeteksi infeksi TB di
daerah dengan prevalensi tuberkulosis rendah. Di Indonesia dengan
prevalensi tuberkulosis yang tinggi, pemeriksaan uji tuberkulin sebagai
alat bantu diagnostik kurang berarti, apalagi pada orang dewasa. Uji ini
akan mempunyai makna bila didapatkan konversi dari uji yang dilakukan
satu bulan sebelumnya atau apabila kepositifan dari uji yang didapat besar
sekali atau bula. Pada pleuritis tuberkulosa uji tuberkulin kadang negatif,
terutama pada malnutrisi dan infeksi HIV. Jika awalnya negatif mungkin
dapat menjadi positif jika diulang 1 bulan kemudian. Sebenarnya secara
tidak langsung reaksi yang ditimbulkan hanya menunjukkan gambaran
reaksi tubuh yang analog dengan ; a) reaksi peradangan dari lesi yang
berada pada target organ yang terkena infeksi atau b) status respon imun
individu yang tersedia bila menghadapi agent dari basil tahan asam yang
bersangkutan (M.tuberculosis). 12

43
'
Gambar 6. Alur diagnosis dan tidak lanjut TB paru pada pasien
dewasa (tanpa kecurigaan/bukti: hasil tes HIV (+) atau terduga
TB resisten Obat 12

44
H. Penatalaksanaan
Tujuan Pengobatan TB adalah:
a. Menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta kualitas hidup
b. Mencegah terjadinya kematian oleh karena TB atau dampak buruk
selanjutnya
c. Mencegah terjadinya kekambuhan TB
d. Menurunkan penularan TB
e. Mencegah terjadinya dan penularan TB resistan Obat. 12

Prinsip Pengobatan TB:


Obat Anti Tuberkulosis ( OAT ) adalah komponen terpenting dalam
pengobatan TB. Pengobatan TB adalah merupakan salah satu upaya paling
efisien untuk mencegah penyebaran lebih lanjut dari kuman TB
Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip: 12
 Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat mengandung
minimal 4 macam Obat untuk mencegah terjadinya resistensi
 Diberikan dalam dosis yang tepat
 Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas
Menelan Obat) sampai selesai pengobatan
 Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam tahap
awal serta tahap Ianjutan untuk mencegah kekambuhan

Tahapan Pengobatan TB:


Pengobatan TB harus selalu me iputi pengobatan tahap awa dan tahap
lanjutan dengan maksud: 12
 Tahap Awai: Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada
tahap ini adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah
kuman yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari
sebagian kecil kuman yang mungkin sudah resistan sejak sebelum pasien
mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru,
harus diberikan selama 2 bulan. pada umumnya dengan pengobatan secara

45
teratur dan tanpa adanya penyulit, daya penularan sudah sangat menurun
setelah pengobatan selama 2 minggu.
 Tahap Lanjutan: Pengobatan tahap lanjutan merupakan tahap yang penting
untuk membunuh sisa sisa kuman yang masih ada dalam tubuh khususnya
kuman persister sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya
kekambuhan.

Tabel 6. OAT Lini Pertama

Tabel 7. Kisaan dosis OAT lini pertama bagi pasien dewasa

Catatan:
 Pemberian streptomisin untuk pasien yang berumur tahun atau pasien
dengan berat badan <50 kg mungkin tidak dapat mentoleransi dosis

46
>500mg/hari. Beberapa buku rujukan menganjurkan penurunan dosis
menjadi 10 mg/kg/BB/hari. 12

Tabel 8. OAT yang digunakan dalam pengobatan TB MDR

Paduan OAT yang digunakan di Indonesia (sesuai rekomendasi WHO


dan ISTC) Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional
Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah: 12
 Kategori 1 : 2 (HRZE)/ 4(HR)3
 Kategori 2 : 2 (HRZE)S/ (HRZE)/5 (HR)3E3
 Kategori Anak : 2 (HRZ)/4 (HR) atau 2HRZA (S)/4-10 HR
 Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resistan Obat di
Indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamisin, Kapreomisin,

47
Levofloksasin, Etionamide, Sikloserin, Moksifloksasin dan PAS, serta
OAT lini-l, yaitu pirazinamid and etambutol.
Paduan OAT Kategori-l dan Kategori-2 disediakan dalam bentuk
paket Obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri
dari kombinasi 2 atau 4 jenis Obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan
dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu
pasien. 12
Kombinasi dosis tetap (Fixed dose combination) ini terdiri dari :
 Empat obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg,
isoniazid 75 mg, pirazinamid 400 mg dan etambutol 275 mg,
 Tiga obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg,
isoniazid 75 mg dan pirazinamid 400 mg. 12
Paket Kombipak. Adalah paket Obat lepas yang terdiri dari Isoniasid,
Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister.
Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan
pasien yang terbukti mengalami efek samping pada pengobatan dengan OAT
KDT sebelumnya. 12
Paduan OAT Kategori Anak disediakan dalam bentuk paket Obat
kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari
kombinasi 3 jenis Obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat
badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.12
Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket,
dengan tujuan untuk memudahkan pemberian Obat dan menjamin
kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk
satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan. 12

Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket KDT


mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB, yaitu:
a) Dosis Obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin
efektifitas Obat dan mengurangi efek samping.

48
b) Mencegah penggunaan Obat tunggal sehinga menurunkan resiko
terjadinya resistensi. Obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan
resep
c) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian Obat
menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien12

Paduan OAT KDT Lini Pertama dan Peruntukannya. 12


a. Kategori-l : 2(HRZE)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
 Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis.
 Pasien TB paru terdiagnosis klinis
 Pasien TB ekstra paru

Tabel 9. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3

Tabel 10. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 1: 2HRZE/4H3R3

b. Kategori-2: 2(HRZE)S / (HRZE) / 5(HR)3E3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah
diobati sebelumnya (pengobatan ulang): 12
 Pasien kambuh
 Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1
sebelumnya
 Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up)

49
Tabel 11. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2:
2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3

Tabel 12. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 2:


2HRZES/HRZE/ 5H3R3E3

Catatan:
 Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB pada keadaan khusus.
 Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan
aquabidest sebanyak 3,7 ml sehingga menjadi 4ml. (1 ml = 250mg).
 Berat badan pasien ditimbang setiap bulan dan dosis pengobatan harus
disesuaikan apabila terjadi perubahan berat badan.
 Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya
kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada
pasien baru tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh
lebih rendah daripada OAT lini pertama. Disamping itu dapat juga
meningkatkan risiko terjadinya resistensi pada OAT lini kedua.
 OAT lini kedua disediakan di Fasyankes yang telah ditunjuk guna
memberikan pelayanan pengobatan bagi pasien TB yang resistan obat. 12

50
Paduan Obat Anti Tuberkulosis
Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi: 12
 TB paru (kasus baru), BTA positif atau lesi luas
Paduan obat yang diberikan : 2 RHZE / 4 RH
Alternatif : 2 RHZE / 4R3H3
Paduan ini dianjurkan untuk:
a. TB paru BTA (+), kasus baru
b. TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologic lesi luas (termasuk
luluh paru)
c. TB di luar paru kasus berat.
Pengobatan fase lanjutan, bila diperlukan dapat diberikan selama 7 bulan,
dengan paduan 2RHZE / 7RH, dan alternatif 2RHZE/ 7R3H3, seperti pada
keadaan:
a. TB dengan lesi luas
b. Disertai penyakit komorbid (Diabetes Melitus, Pemakaian obat
imunosupresi / kortikosteroid)
c. TB kasus berat (milier, dll).
Bila ada fasiliti biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan
hasil uji resistensi. 12
 TB Paru (kasus baru), BTA negative
Paduan obat yang diberikan : 2 RHZ / 4 RH
Alternatif : 2 RHZ/ 4R3H3 atau 6 RHE.
Paduan ini dianjurkan untuk :
a. TB paru BTA negatif dengan gambaran radiologik lesi minimal
b. TB di luar paru kasus ringan.
 TB paru kasus kambuh
Pada TB paru kasus kambuh minimal menggunakan 4 macam OAT
pada fase intensif selama 3 bulan (bila ada hasil uji resistensi dapat
diberikan obat sesuai hasil uji resistensi). Lama pengobatan fase lanjutan 6
bulan atau lebih lama dari pengobatan sebelumnya, sehingga paduan obat
yang diberikan : 3 RHZE / 6 RH. Bila tidak ada / tidak dilakukan uji

51
resistensi, maka alternatif diberikan paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5
R3H3E3 (Program P2TB).3
 TB Paru kasus gagal pengobatan
Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji resistensi, dengan
minimal menggunakan 4-5 OAT dengan minimal 2 OAT yang masih
sensitive (seandainya H resisten, tetap diberikan). Dengan lama
pengobatan minimal selama 1 - 2 tahun . Menunggu hasil uji resistensi
dapat diberikan dahulu 2 RHZES, untuk kemudian dilanjutkan sesuai uji
resistensi. 12
Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif
diberikan paduan obat: 2 RHZES/1 RHZE/5 H3R3E3 (Program P2TB).
Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil
yang optimal. Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke ahli paru.
 TB Paru kasus lalai berobat. 12
Penderita TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali
sesuai dengan kriteria sebagai berikut :
- Penderita yang menghentikan pengobatannya < 2 minggu, pengobatan
OAT dilanjutkan sesuai jadwal.
- Penderita menghentikan pengobatannya ≥ 2 minggu
1. Berobat ≥ 4 bulan , BTA negatif dan klinik, radiologik negatif,
pengobatan OAT STOP
2. Berobat > 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari awal
dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan
yang lebih lama
3. Berobat < 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari awal
dengan paduan obat yang sama
4. Berobat < 4 bulan , berhenti berobat > 1 bulan , BTA negatif, akan
tetapi klinik dan atau radiologik positif : pengobatan dimulai dari
awal dengan paduan obat yang sama
5. Berobat < 4 bulan, BTA negatif, berhenti berobat 2-4 minggu
pengobatan diteruskan kembali sesuai jadwal. 12

52
- TB Paru kasus kronik12
Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji
resistensi, berikan RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan
dengan hasil uji resistensi (minimal terdapat 2 macam OAT yang masih
sensitif dengan H tetap diberikan walaupun resisten) ditambah dengan
obat lain seperti kuinolon, betalaktam, makrolid. Jika tidak mampu
dapat diberikan INH seumur hidup. Pertimbangkan pembedahan untuk
meningkatkan kemungkinan penyembuhan. Kasus TB paru kronik perlu
dirujuk ke ahli paru. TB diluar paru lihat TB dalam keadaan khusus.

Terapi Non Farmakologis TB


a) Health Resort Area
Setiap pasien tuberculosis harus di rawat di sanatorium, yakni tempat
berudara segar, sinar matahari yang cukup, dan makanan yang bergizi
tinggi.1
b) Bedrest Area
Pasien tidak perlu dirawat di sanatorium, cukup diberi istirahat
setempat terhadap fisiknya saja disamping makanan yang bergizi tinggi.
c) Collapse Therapy Area
Cukup paru yang sakit diistrahatkan dengan melakukan pneumonia
artifisial. Paru-paru yang sakit dibuang secara wedge resection, satu lobus,
atau satu bagian paru. 1

2.3 Hubungan Tuberkulosis Paru dan Diabetes Melitus


Diabetes dapat meningkatkan risiko terjadinya infeksi saluran pernapasan
bawah dan infeksi di tempat lain. Data WHO menunjukkan bahwa DM akan
meningkatkan risiko infeksi tuberkulosis (TB) tiga kali lebih besar dibandingkan
populasi normal dan meningkatkan risiko reaktivasi TB pada TB laten. Penderita
TB dengan diabetes juga lebih sering gagal dalam pengobatan dan lebih sering
kambuh dibandingkan penderita TB tanpa diabetes sehingga meningkatkan
risiko untuk terjadinya multi drug resistance (MDR) TB. 1

53
Penelitian menunjukkan di Negara dengan prevalensi DM meningkat,
prevalensi TB juga meningkat. Di Indonesia prevalensi DM semakin meningkat,
hal ini dapat dilihat pada penelitian Riskesdas tahun 2007, prevalensi DM pada
penduduk usia 15 tahun keatas di daerah urban sebesar 5,7%, dan pada tahun
2013 di daerah urban rural sebesar 6,9%. Toleransi glukosa terganggu (TGT)
pada tahun 2007 sebesar 10,2% dan pada tahun 2013 sebesar 29,9%. Prevalensi
TB berdasarkan kuesioner Riskesdas tahun 2007 (pernah didiagnosis tenaga
kesehatan 12 bulan terakhir) sebesar 0,4%, dan pada tahun 2013 tetap 0,4%.
Namun hasil prevalensi survei TB 2004 di Indonesia, berdasarkan konfirmasi
laboratorium didapatkan TB 104 per 100.000 populasi, sementara hasil
Riskesdas 2010 mengestimasi prevalensi sebesar 289 per 100.000 pada
penduduk usia 15 tahun keatas. 13
Meningkatnya kepekaan terhadap infeksi TB paru disebabkan oleh berbagai
faktor, pada umumnya efek hiperglikemia karena kondisi tersebut akan
mengganggu fungsi netrofil, monosit, makrofag dalam kemotaksis, dan
fagositosis sebagai upaya mekanisme pertahanan. Selain itu diperkirakan adanya
defisiensi insulin yang mengakibatkan aktivitas bakterisidal leukosit dan limfosit
berkurang pada penderita yang memiliki kontrol gula yang buruk.7
Perubahan pertahanan paru pada DM
Paru pada penderita DM akan mengalami perubahan patologis, seperti
penebalan epitel alveolar dan lamina basalis kapiler paru yang merupakan akibat
sekunder dari komplikasi mikroangopati sama seperti yang terjadi pada
retinopati dan nefropati. Gangguan neuropati dari syaraf otonom dapat berupa
hipoventilasi sentral dan sleep apneu. Selain itu juga dapat terjadi penurunan
elastisitas rekoil paru, penurunan kapasitas difusi karbon monoksida, dan
peningkatan endogen produksi karbondioksida. Kejadian infeksi paru pada
penderita DM merupakan akibat kegagalan sistem pertahanan tubuh, dalam hal
ini paru mengalami gangguan fungsi pada epitel pernapasan dan juga motilitas
silia. Gangguan fungsi dari endotel kapiler vaskular paru, kekakuan korpus sel
darah merah, perubahan kurva disosiasi oksigen akibat kondisi hiperglikemia
yang lama menjadi faktor kegagalan mekanisme pertahanan melawan infeksi. 14

54
Kelainan Imunologi Disfungsi Fisiologi Pulmonal
Kelainan kemotaksis, adhesi, Reaktivitas bronkial berkurang/
fagositosis dan fungsi mikrobisidal menghilang
polimorfonuklear
Penurunan monosit perifer dengan Elastisitas rekoil dan volume paru
gangguan fagositosis menurun
Kapasitas difusi berkurang
Penyumbatan saluran napas oleh
mukus
Penurunan respon ventilasai
terhadap hipoksemia
Tabel 13. Defek imunologi dan fungsi fisiologi pulmonal pada penderita
diabetes melitus 5
Pada tabel di atas adalah beberapa pengaruh DM terhadap imunitas tubuh
dan fungsi pulmonal yang menyebabkan terjadinya rentan infeksi. Sel-sel
efektor yang sering berkontribusi terhadap infeksi M. tuberculosis adalah
fagosit, yaitu makrofag alveolar, perkursor monosit, dan limfosit sel-T.
Makrofag alveolar, berkolaborasi dengan limfosit sel-T, berperan penting dalam
mengeliminasi infeksi TB. Pada penderita DM, diketahui terjadi gangguan
kemotaksis, fagositosis, dan antigen presenting oleh fagosit terhadap bakteri M.
tuberculosis; kemotaksis monosit tidak terjadi pada penderita DM. Defek ini
tidak dapat diatasi dengan terapi insulin. Beberapa penelitian menunjukkan
makrofag alveolar pada penderita TB paru dengan komplikasi DM menjadi
kurang teraktivasi. Penurunan kadar respons Th-1, produksi TNF-α, IFN-γ, serta
produksi IL-1 β dan IL-6 juga ditemukan pada penderita TB paru disertai DM
dibandingkan pada penderita TB tanpa DM. Penurunan produksi IFN-γ lebih
signifikan pada pasien TB paru dengan DM tidak terkontrol dibandingkan pada
pasien TB paru dengan DM terkontrol. Produksi IFN-γ ini akan kembali normal
dalam 6 bulan, baik pada pasien TB paru saja maupun pasien TB paru dengan
DM terkontrol, tetapi akan terus menurun pada pasien TB paru dengan DM tidak

55
terkontrol. Selain itu, terjadi perubahan vaskuler pulmonal dan tekanan oksigen
alveolar yang memperberat kondisi pasien.5

Gambar 7. Patofisiologi dari infeksi yang berkaitan dengan DM 5

Terjadinya keadaan hiperglikemia menciptakan lingkungan yang


mendukung untuk tumbuh dan berkembangnya kuman M. Tuberculosis.
Beberapa peneliti juga menyatakan bahwa fungsi perlindungan sel yang
berkurang dapat meningkatkan kemungkinan timbulnya infeksi ditambah
meningkatnya kadar gliserol dan nitrogen yang menjadi faktor pertumbuhan
kuman M. Tuberculosis.1
Hiperglikemia menyebabkan gangguan fungsi netrofil dan monosit sehingga
kemotaktik, fagositosis dan daya bunuh bakteri menurun. Kemungkinan
penyebab meningkatnya insiden TB pada pengidap diabetes akibat defek fungsi
sel imun dan mekanisme pertahanan pejamu. Mekanisme yang mendasari
terjadinya hal tersebut masih belum dapat dipahami hingga saat ini, meskipun
telah terdapat hipotesis mengenai peran sitokin sebagai suatu molekul yang
penting dalam mekanisme pertahanan manusia terhadap TB. 13

56
Diabetes dihubungkan dengan menurunnya imunitas selular, limfosit T dan
neutrofil. Menurunnya respon T-helper l (Th-l) cytokine, produksi TNF alpha,
dan produksi IL-1 beta and IL-6 terdapat pada TB dengan DM. Th l cytokines
bersifat vital dalam mengontrol dan menghambat Mycobacterium tuberculosis.
Menurunnya jumlah dan fungsi limfosit T mengakibatkan kerentanan diabetes
berkembang menjadi TB. Fungsi makrofag juga dihambat pada individu dengan
diabetes akibat terjadinya gangguan produksi reactive oxigen spesies dan fungsi
fagosit serta kemostatik. 13
Sitokin yang dihasilkan oleh sistem imun baik innate immunity maupun
adaptive immunity sangat berperan dalam pertahanan tubuh terhadap kuman
Mycobacterium tuberculosis yang kemudian dapat menginduksi imunitas seluler
tipe 1, yang merupakan respons utama tubuh untuk melawan TB. Terdapat
peningkatan IFN- dan TNF pada pasien DM. Hal ini menunjukkan gangguan
respons imun seluler. Seperti diketahui untuk optimalisasi respons imun
membutuhkan rangsangan kemokin yang lebih besar. Terdapat peningkatan
ambang batas untuk sekresi TNF-K, IL-6, IL-8 pada pasien dengan diabetes
mellitus. 14
Penyebab lain meningkatnya risiko TB pada penderita DM adalah disfungsi
kelenjar pituitari yang menyebabkan berlebihnya produksi hormon
adrenokortikotropik sehingga meningkatkan kadar kortikosteroid di dalam
darah. Kortikosteroid merupakan antagonis insulin sehinnga kadarnya yang
berlebih akan mengakibatkan diabetes insulin resisten. Netrofil pada penderita
DM memiliki sifat kemotaksis dan oksidatif yang berkurang. Beberapa peneliti
menganggap hal ini disebabkan oleh karena berkurangnya produksi IL1-β, TNF-
α.1
Faktor yang mempermudah terjadi TB paru pada DM adalah: 13
- Fisiokimia : hiperglikemia, hipoglikemia, asidosis menyebabkan tekanan
osmosis ekstra cell meningkat, sel dehidrasi (+), fagositosis menurun, adanya
penetrasi kuman, angiopati.

57
- Kekebalan menurun: pada DM terjadi gangguan metabolisme protein, kadar
kortisol plasma meningkat, benda keton meningkat, asidosis, aktifitas
fagositosis makropag dan imunitas humoral menurun

Manifestasi klinis infeksi TB pada DM


Infeksi tuberkulosis paru dengan diabetes dapat memberikan gambaran
infiltrat di lobus manapun daripada pola klasik di bagian segmen apeks
posterior. Penderita TB dengan DM sangat mungkin dalam kondisi yang lebih
parah dan memiliki risiko penularan TB yang lebih tinggi. Kondisi neuropati,
mikroangiopati dan makroangiopati serta gangguan respons imun dapat
memberikan perbedaan gejala klinis TB pada pasien DM dengan non DM.
Gangguan motilitas silia memungkinkan turunnya reflek batuk, namun gangguan
mikro dan makroangiopati yang terjadi dapat menimbulkan kegagalan sistem
imun, yang dapat menyebabkan kondisi penyakit yang lebih buruk.14
Gejala pasien TB dengan DM memiliki gejala yang lebih banyak
dibandingkan dengan pasien TB tanpa DM. Meskipun begitu tidak ada bukti
terdapatnya kondisi penyakit yang lebih parah jika dilihat dari pemeriksaan
darah, bakteriologi, maupun radiologi. Gejala yang dilihat adalah batuk,
hemoptisis, sesak napas, demam, keringat malam, dan penurunan berat badan,
masing masing gejala diberikan poin 1 dengan total 6. Skor gejala lebih dari 4
digolongkan dengan gejala yang berat. 14
Pedoman penatalaksanaan TB dan DM belum baku dan berbeda-beda tiap
negara. Tatalaksana TB dengan DM harus difokuskan pada diagnosis awal,
pengendalian kadar gula darah serta monitoring ketat klinis dan hasil
pengobatan. Intervensi farmakologis antara obat anti tuberkulosis (OAT) dan
obat hipoglikemik oral (OHO) memerlukan kecermatan klinisi pada tatalaksana
penderita TB dengan DM. Toksisitas OAT menimbulkan gejala overlap dengan
komplikasi DM. Skrining TB pada penderita DM dan sebaliknya diperlukan
untuk menurunkan beban tinggi akibat kedua penyakit tersebut.15

58
Terapi TB pada penderita TB dengan DM
Penderita TB dengan DM mendapatkan terapi standar sesuai dengan pasien
TB yang lain. Rifampisin merupakan pengobatan yang utama untuk pasien TB,
dan efektivitasnya dipengarui oleh dosis yang diberikan. Dosis yang
direkomendasikan adalah 10 mg/kg berat badan, yang merupakan dosis terapi
minimal. Dosis yang lebih tinggi mungkin lebih efektif dan dapat mengurangi
lama pengobatan TB. Dalam praktek, pasien TB dengan DM memiliki berat
badan yang lebih tinggi, sehingga sebenarnya perlu diperhitungkan kembali
dosis OAT selama terapi terutama pada fase lanjut dimana kondisi pasien mulai
membaik dan berat badan mulai naik. Obat anti TB tidak dipengaruhi oleh obat
anti glikemik, sehingga tidak memerlukan dosis penyesuaian.14
World Health Organization dan The International Union Against
Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD) memberikan rekomendasi pemberian
terapi TB pada penderita dengan DM dengan menggunakan regimen yang sama
sesuai standar. Pada fasilitas pelayanan DM juga harus memiliki program
penanganan TB, jika tidak mampu harus segera dirujuk ke pusat penanganan TB
untuk pasien yang dicurigai atau menderita TB. 14
Penanganan TB-DM harus difokuskan pada diagnosis awal, pengendalian
kadar gula darah serta monitoring ketat klinis dan pengobatan. Dengan demikian
perlu dilakukan skrining TB yang teratur pada pasien DM, terutama yang
menunjukkan gejala yang spesifik.14
Anjuran pengobatan TB pada pasien DM:12
 Paduan OAT pada prinsipnya sama dengan TB tanpa DM, dengan syarat
kadar gula darah terkontrol
 Apabila kadar gula darah tidak terkontrol, maka lama pengobatan dapat
dilanjutkan sampai 9 bulan
 Hati-hati dengan penggunaan etambutol, karena efek samping etambutol pada
mata; sedangkan pasien DM sering mengalami komplikasi kelainan pada
mata

59
 Perlu diperhatikan penggunaan rifampisin karena akan mengurangi
efektivitas obat oral antidiabetes (sulfonil urea) sehingga dosisnya perlu
ditingkatkan
 Perlu pengawasan sesudah pengobatan selesai, untuk mendeteksi dini bila
terjadi kekambuhan

Terapi Diabetes pada penderita TB dengan DM


Dari jenis obat anti TB dan insulin, golongan obat sulfonilurea dan
thiazolodinediones (TZD) dimetabolisme di hati oleh enzim sitokrom P450, dan
enzim ini diinduksi oleh rifampisin. Kadar obat antidiabetik tersebut kadarnya
akan mengalami penurunan jika diberikan bersama rifampisin. Sedangkan
isoniazid adalah penghambat enzim P450, sehingga dapat mengurangi efek
rifampisin, namun demikian pemberian isoniazid dan rifampisin secara
bersamaan tetap menunjukkan peningkatan enzim hati oleh rifampisin. Belum
diketahui efek rifampisin dan INH terhadap metabolisme insulin, namun diduga
tidak berpengaruh oleh karena insulin di degradasi di hati melalui hidrolisis
disulfida antara rantai A dan B oleh insulin degrading enzyme (IDE). 14
Obat lini pertama yang lain seperti pirazinamid dan etambutol juga tidak
mempengaruhi kadar obat antiglikemik di dalam darah. Monitor interaksi obat
antihiperglikemik dengan rifampisin perlu diperhatikan pada satu minggu
pertama pengobatan. Metformin tidak dipengaruhi oleh rifampisin, sehingga bisa
menjadi obat alternatif yang baik, selain itu metformin juga murah dan menjadi
pilihan utama pasien dengan DM tipe 2. Namun jika dikombinasi dengan OAT
maka efek samping gastrointestinal meningkat sampai dengan 30%, sehingga
dapat menurunkan kepatuhan penderita untuk melanjutkan pengobatan TB atau
DM. Belum ada rekomendasi khusus untuk pengobatan DM pada penderita TB,
apakah harus menggunakan insulin atau cukup dengan OHO. Tujuan pengobatan
DM adalah kendali glukosa darah. American Diabetes Association (ADA) sejak
tahun 2004 menekankan pada pencapaian target kendali glukosa darah pada
level tertentu. Pada tahun 2011 ADA memberikan rekomendasi target Hb A1C
kurang dari 7 atau yang setara dengan gula darah sebesar 154 mg/dl. 14

60
Pasien dengan diabetes dan TB memiliki risiko kematian yang lebih tinggi
selama terapi juga peningkatan risiko kekambuhan setelah pengobatan, juga
dapat memberikan risiko penularan yang lebih besar. Diabetes meningkatkan
risiko kegagalan terapi dan kematian sekaligus, kematian saja, dan angka
kekambuhan pada penderita TB. Hal ini menekankan akan kebutuhan untuk
perbaikan kadar gula darah, panduan terapi, peningkatan monitoring klinik dan
terapi.14

61
BAB III
KASUS

A. IDENTITAS
Nama : Tn. B
Umur : 58 Tahun
Pekerjaan :-
Alamat : Sidera
Agama : Protestan
Tanggal Pemeriksaan : 3 Februari 2018
Ruangan : Pav. Dahlia RSUD Undata Palu

B. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Batuk darah
Riwayat Penyakit Sekarang :
Batuk berdarah yang dialami sejak 2 hari sebelum masuk Rumah sakit,
batuk darah ± 3 kali, disertai adanya lendir dan mengeluhkan sesak nafas (+).
Sebelumnya, pasien sudah mengalami batuk kering ± 1 tahun yang lalu
kemudian muncul batuk berdarah. Pasien juga mengeluhkan demam (+) 2 hari
sebelum masuk RS, demam naik turun, dalam waktu yang tidak menentu,
menggigil (+), sakit kepala (+), berkeringat malam hari (+), berat badan
menurun drastis (+), tidak ada nafsu makan.
Keluhan diatas sudah dialami sejak 1 tahun yang lalu dan sampai saat ini
belum mendapat pengobatan Obat Anti Tuberkulosis. Karena pasien mengalami
perut membesar dan seluruh badan kuning sekitar 1 tahun lalu. Pasien
mengatakan mudah lelah dan merasa lemah, mual (+) dan muntah (+) kadang-
kadang, tidak disertai darah, BAB (+) biasa, darah (-), tidak berwarna
kehitaman, BAK (+) berwarna seperti teh pekat.
Pasien juga mengeluhkan sering buang air kecil, nafsu makan meningkat
dan sering banyak minum yang sudah dikeluhkan sekitar 1 tahun yang lalu,

62
disertai penglihatan kabur (+), dan saat ini pasien mengonsumsi obat
antiidiabetik yang tidak teratur.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien memiliki riwayat DM yang tidak terkontrol sejak 1 tahun yang lalu,
dan pernah di rawat di RS Makasar bulan Desember 2016 dengan diagnosis
diabetes melitus dengan GDS 600 mg/dl dan mendapat obat metformin yang
tidak teratur
Riwayat Penyakit Dalam Keluarga :
Ibu pasien menderita Diabetes Melitus.

C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum:
SP : Compos Mentis/SS/GK BB: 45 Kg TB: 165cm IMT:16,52
kg/cm2

Vital Sign
Tekanan Darah: 110/70 mmHg
Nadi : 80x/menit
Respirasi : 20x/menit
Suhu : 36,7°C

Kepala
Wajah : Simetris, tampak lemas
Deformitas : Tidak ada
Bentuk : Normochepal
Mata
Konjungtiva : Anemis (-/-)
Sklera : Ikterus (+/+)
Pupil : Isokor +/+, ukuran 2,5 mm/2,5mm, Refleks cahaya (+/+)
Mulut : Sianosis (-), bibir kering (-), tonsil (T1/T1) tidak
hiperemis, bau nafas (fetor hepatikum)

63
Leher
KGB : Pembesaran (+/+) multifokal, padat, batas cukup tegas,
Mobile, lesi ukuran ±3 cm, dan nyeri tekan (-)
Tiroid : Tidak ada Pembesaran
JVP : Tidak ada peningkatan
Massa Lain : Tidak ada
Dada
Paru-Paru
Inspeksi : Thorax tampak simetris bilateral
Palpasi : Massa (-), Vocal fremitus simetris bilateral,
Perkusi : Apeks paru Redup (+/-)
Auskultasi : Bunyi nafas bronkial (+/+), Rh basah kasar (+/-), Wh (-/-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis terlihat linea midclavicularis sinistra
Palpasi : Ictus cordis teraba pada SIC 5 linea midclavicularis
sinistra
Perkusi :
Batas atas : SIC II linea parasternalis sinistra
Batas Kanan : SIC IV linea parasternalis dextra
Batas Kiri : SIC V linea axillaris anterior sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I/II murni reguler, Murmur (-), Gallop (-)
Perut
Inspeksi : Perut tampak cembung
Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal
Perkusi : Shifting Dullnes (+)
Palpasi : Nyeri Tekan (+) epigastrium, Hepar teraba 3 cm dibawah
arkus costa, permukaan keras dan nodular, Lien schuffner 2
Anggota Gerak
Atas : Akral Hangat +/+, edema -/-, CRT 1 detik, PPE (+/+), spider
nevi telangiekstasi (-), eritema palmaris (-), kuku murchrche
(-), ikterus (+)

64
Bawah : Akral Hangat +/+, edema +/+, CRT 1 detik, PPE (+/+),
ikterus (+)

Alat Kelamin : Atrofi testis tidak diperiksa

D. HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Lab Hematologi
Darah Rutin: (Tanggal 18 Januari 2018)
- WBC : 4,3 x 103 /mm3
- RBC : 3,99 x 106/ mm3
- Hb : 13,3 g/dl
- HCT : 40,3 %
- PLT : 171 x 103 /mm3
- MCV : 101 µm3
- MCH : 33,4 pg
- MCHC : 33,1 g/dl

b. Serologi
- HBS-Ag : Reaktif
- Pemeriksaan Anti-HIV :
 SD : Non Reaktif
 Intech : Non Reaktif
 Onco Probe : Non Reaktif
Hasil Akhir Non Reaktif

c. Lab Biokimia
GDS (18 Januari 2018) : 612 mg/dl (Meningkat)
GDS (22 Januari 2018) : 280,4 mg/dl (Meningkat)
GDS (25 Januari 2018 ) : 277,0 mg/dl (Meningkat)
GDS (29 Januari 2018) : 169 mg/dl (Meningkat)

65
Tanggal 19 Januari 2018
Albumin : 2,6 g/dl (Menurun)

Tanggal 18 Januari 2018


Urea : 29,1 mg/dl
Creatinin : 0,94 mg/dl

Fungsi Hati:
SGOT : 131 U/L (Meningkat)
SGPT : 131 U/L (Meningkat)
Tanggal 23 Januari 2018
SGOT : 177,6 U/L
SGPT : 114,0 U/L
Tanggal 31 Januari 2018
SGOT : 133,9 U/L
SGPT : 72,6 U/L

Elektrolit Darah:
Natrium : 136 mmol/L
Kalium : 3,2 mmol/L
Clorida : 88 mmol/L
Laju Endap Darah : 40/Jam

d. Lab Mikrobiologi
a. GeneXpert : MTB DETECTED MEDIUM
Rif Resistance NOT DETECTED

e. Urinalisis
PH : 6,0
Berat Jenis : 1,020
Protein :-

66
Glukosa : +4
Keton :-
Bilirubin :-
Urobilinogen : Normal
Nitrit :+
Lekosit : +2
Eritrosit :-
Sedimen :
Lekosit : 10
Eritrosit :2
Silinder :-
Epitel : ++
Kristal :-

f. Radiologi:
Foto thorax:
 Bronkopneumonia dextra dengan efusi pleura dextra ec proses
spesifik
 Perselubungan homogen pada bagian apeks paru dextra
 Batas cor normal
 Tulang intak
USG: Cholelithiasis, Gastritis dan nefrolithiasis

E. RESUME
Hemaptue yang dialami sejak 2 hari sebelum masuk Rumah sakit, hemaptue
± 3 kali, lender (+) dan mengeluhkan sesak nafas (+). Pasien sudah mengalami
batuk kering ± 1 tahun yang lalu. Pasien juga mengeluhkan febris (+) 2 hari
sebelum masuk RS, naik turun, dalam waktu yang tidak menentu, menggigil (+),
cephalgia (+), berkeringat malam hari (+), berat badan menurun drastis (+), tidak
ada nafsu makan.

67
Keluhan diatas sudah dialami sejak 1 tahun yang lalu dan sampai saat ini
belum mendapat pengobatan Obat Anti Tuberkulosis. Karena pasien mengalami
asites dan ikterus seluruh tubuh sekitar 1 tahun lalu. Pasien mengatakan mudah
lelah dan merasa lemah, nausea (+) dan vomitus (+), BAB (+) biasa, BAK (+)
berwarna seperti teh pekat.
Pasien juga mengeluhkan poliuria, polifagi dan polidipsi yang sudah
dikeluhkan sekitar 1 tahun yang lalu, disertai penglihatan kabur (+), dan saat ini
pasien mengonsumsi obat antiidiabetik yang tidak teratur.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sakit sedang,
kesadaran compos mentis, dan status gizi, gizi kurang. Pada tanda-tanda vital
didapatkan tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 82x/menit, respirasi 20x/menit dan
suhu 36,7°C. Pada pemeriksaan bagian mata didapatkan sklera ikterik ocular
dextra et sinistra, bau nafas (fetor hepatikum), terdapat dan palpasi kelenjar getah
bening (KGB) didapatkan pembesaran bilateral multifokal, padat, batas cukup
tega, mobile, ukuran ± 3cm. Pada perkusi paru-paru apeks paru redup (+/-),
auskultasi paru-paru didapatkan bunyi nafas bronkial (+/+), Rhonki basah kasar
(+/-), pada pemeriksaan abdomen inspeksi tampak cembung, shifting dullness (+)
dan pada palpasi hepar didapatkan hepatomegali 3 cm dibawah arkus costa,
permukaan keras dan nodular, splenomegali schuffner 2.
Pada pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah didapatkan edema pada kedua
ekstremitas bawah. Pada hasil pemeriksaan laboratoriun didapatkan RBC: 3,99 x
106/ mm3 (menurun), PLT: 171 x 103/mm3, MCV: 101 µm3 (meningkat), MCH:
33,4 pg (meningkat), GDS : 612 mg/dl, Albumin : 2,6 g/dl, SGOT : 131 U/L,
SGPT : 131 U/L, LED : 40/jam, Genexpert: MTB detected Rif Resistance not
detected, HBS-Ag: Reaktif, Urinalisis: Glukosa +4, lekosit +2, Sedimen lekosit
10, sedimen eritrosit 2.

F. DIAGNOSIS KERJA :
Tuberkulosis Paru + Diabetes Mellitus Tipe 2 + Sirosis Hepatis

68
G. PENATALAKSANAAN
Non Medikamentosa :
-
Edukasi mengenai aturan untuk makan yaitu karbohidrat yang dianjurkan
sebesar 45-65% total asupan energi (2000-3000 kkal/hari)
- Diet Protein 1 Gr/kgbb/ hari
- Mengurangi progresivitas penyakit dengan menghindari yang dapat merusak
hari seperti menunda pemberian obat TB
- Kurangi alkohol, tidak memberi paracetamol, dan obat herbal
-
Anjuran asupan natrium untuk penyadang DM yaitu tidak lebih dari 3000 mg
atau sama dengan 6-7 gram (1 sendok teh) garam dapur, untuk yang
hipertensi dilakukan pembatasan natrium sampai 2400 mg, untuk serat,
seperti halnya orang sehat, pasien DM dianjurkan mengkonsumsi cukup serat
dari kacang-kacangan buah, dan sayuran, sekitar 25g./hari.
-
Latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu, masing-masing selama
kurang lebih 30 menit. Seperti aerobik, berjalan santai, jogging, bersepeda
-
Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalasmalasan.

Medikamentosa :
- IVFD RL 24 Tpm
- Ranitidin 1 amp/12 jam/IV
- Codein (3x1 tab)
- Curcuma (3x1 tab)
- Urdafalk (2x1 tab)
- Vip albumin (3x1 tab)
- Novorapid 12 IU-12 IU- 12 IU Subkutan
- Observasi tanda-tanda vital per 3 jam dan pemantauan gula darah pada
malam hari dan pagi hari

H. DIAGNOSIS AKHIR
Tuberkulosis Paru + Diabetes Melitus Tipe 2 + Sirosis Hepatis

69
I. ANJURAN PEMERIKSAAN
A. Pemeriksaan HbA1c
B. Pemeriksaan Anti HBV
C. Pemeriksaan Hepatitis C

J. PROGNOSIS :
Qua Ad Vitam : Dubia ad Malam
Qua Ad Functionam : Dubia ad Malam
Qua Ad Sanationam : Dubia ad Malam

70
BAB IV
PEMBAHASAN
Diagnosis tuberkulosis pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan pasien
mengalami batuk darah ± 3 kali, disertai adanya lendir dan mengeluhkan sesak nafas
(+). Sebelumnya, pasien sudah mengalami batuk kering ± 1 tahun yang lalu
kemudian muncul batuk berdarah. Pasien juga mengeluhkan demam (+) 2 hari,
demam naik turun, dalam waktu yang tidak menentu, meriang (+), sakit kepala (+),
berkeringat malam hari (+), berat badan menurun drastis (+), tidak ada nafsu makan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan thorax tampak simetris bilateral, perkusi apeks
paru redup (+/-), auskultasi bunyi nafas bronkial (+/+), Rh basah kasar (+/-). Pada
pemeriksaan penunjang, Laju Endap Darah: 40/jam. Pemeriksaan Genexpert
terdeteksi kuman TB, pada foto thorax terdapat perselubungan homogen pada bagian
apeks paru kanan, kesan tuberkulosis.
Perselubungan homogen pada bagian apeks paru, dikarenakan kuman TB lebih
menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya yakni pada bagian apikal
paru paru daripada bagian lain.
Diagnosis diabetes melitus pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis,
dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan adanya poliuria, polifagi
dan polidipsi yang sudah dikeluhkan sekitar 1 tahun yang lalu, disertai penglihatan
kabur, dan pasien mengonsumsi obat antiidiabetik yang tidak teratur. Pada
pemeriksaan penunjang didapatkan GDS 612 mg/dl, urinalisis glukosa +6.
Diagnosis DM juga dapat ditegakkan melalui kriteria diagnosis DM yakni:9

71
Pada pasien ini, memenuhi kriteria diagnostik DM yaitu memiliki gejala klasik
DM (poliuria, polifagi dan polidipsi) dan gula darah sewaktu pada pasien 612 mg/dl.
Diabetes dapat meningkatkan risiko terjadinya infeksi saluran pernapasan bawah
dan infeksi di tempat lain. Data WHO menunjukkan bahwa DM akan meningkatkan
risiko infeksi tuberkulosis (TB) tiga kali lebih besar dibandingkan populasi normal
dan meningkatkan risiko reaktivasi TB pada TB laten. Penderita TB dengan diabetes
juga lebih sering gagal dalam pengobatan dan lebih sering kambuh dibandingkan
penderita TB tanpa diabetes sehingga meningkatkan risiko untuk terjadinya multi
drug resistance (MDR) TB.
Pada kasus ini pasien tidak menjalani pengobatan obat antidiabetik yang adekuat
karena faktor pasien itu sendiri. Sehingga beresiko tinggi untuk terjadinya infeksi
saluran pernafasan yaitu tuberkulosis.
DM tipe 2 merupakan faktor resiko utama untuk pengembangan TB paru aktif,
walaupun mekanisme imunologi yang mendasari interaksi ini belum diketahui.
Pengaruh diabetes yang tidak terkontrol terhadap respon T helper 1 dan T helper 17
patogen belum diperiksa. TB pada penderita DM ditandai oleh peningkatan frekuensi
sel CD4+.
Meningkatnya kepekaan terhadap infeksi TB paru disebabkan oleh berbagai
faktor, pada umumnya efek hiperglikemia karena kondisi tersebut akan mengganggu
fungsi netrofil, monosit, makrofag dalam kemotaksis, dan fagositosis sebagai upaya
mekanisme pertahanan. Selain itu diperkirakan adanya defisiensi insulin yang
mengakibatkan aktivitas bakterisidal leukosit dan limfosit berkurang pada penderita
yang memiliki kontrol gula yang buruk.7
Hati merupakan organ yang berfungsi untuk membantu pencernaan makanan,
tempat penyimpanan cadangan makanan (glukosa), mencegah terjadinya infeksi dan
membuat zat beracun dari dalam tubuh. Pada penderita hepatitis seperti pada kasus
ini pada hasil laboratorium HbsAg (+). Hepatitis dapat menyebabkan terjadinya
diabetes melitus tipe 2. DM tipe 2 biasanya terjadi akibat hepatitis C kronik
(penyakit yang telah terjadi dalam waktu lama). Hal ini terjadi akibat gangguan salah
satu fungsi hati yaitu gangguan penyimpanan glukosa, dimana hati tidak mampu
menyimpan kelebihan glukosa di dalam darah sehingga kadar gula darah meningkat.

72
Sebaliknya, diabetes juga dapat menyebabkan terjadinya hepatitis C hal ini terjadi
kadar gula darah tinggi dan tidak terkontrol dalam waktu lama menyebabkan hati
harus bekerja lebih keras hingga akhirnya meradang.
Menurut american diabetes assosiation, sekitar 80% penderita diabetes
mengalami penumpukan glukosa yang berlebihan pada hati yang menyebabkan hati
lebih sulit melawan berbagai infeksi termasuk infeksi virus hepatitis C.
Penderita DM - hepatitis dapat menyebabkan terjadinya komplikasi seperti
sirosis hepatis (menyebabkan peningkatan kadar insulin yang dapat mempengaruhi
pengobatan DM dan gagal hati yang dapat berakibat fatal walaupun tidak semua
penderita hepatitis akan mengalami diabetes dalam sebaliknya. Akan tetapi mereka
memiliki risiko lebih tinggi. Oleh karena itu penderita dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan sedini mungkin sehingga dapat mendeteksi gangguan lain sedini
mungkin dan memperoleh pengobatan yang secepatnya.
Diagnosis sirosis hepatis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Dari anamensis didapatkan perut membesar dan seluruh
badan kuning sekitar 1 tahun lalu. Pasien mengatakan mudah lelah dan merasa
lemah, nausea (+) dan vomit (+) kadang-kadang, tidak disertai darah, BAB (+) biasa,
tidak berwarna kehitaman, BAK (+) berwarna seperti teh pekat. Pemeriksaan fisik,
sklera ikterus (+/+), bau nafas fetor hepatikum, pemeriksaan abdomen perut tampak
cembung, shifting dullness (+), nyeri tekan epigastirum (+) hepatomegali (+) 3 jari
dibawah arcus costa, splenomegali (+) schuffner 2, spider nevi (-), eritema palmaris
(-), ikterus pada seluruh tubuh (+), edema pada ekstremitas bawah. Pada pemeriksaan
penunjang didapatkan SGOT: 131 U/L, SGPT: 131 U/L, HbsAg: Positif, albumin :
2,6 mg/dl.
DM dapat menyebabkan penyakit hati yang diawali oleh keadaan metabolik
yang disebut NAFLD (Non alkoholic Fatty Liver Disease). Kondisi DM ini dapat
diiringi dengan obesitas, dislipidemia dan hipertensi. NAFLD merupakan manifestasi
hepatik dari sindroma metabolik dan dialami oleh sekitar 20% pasien DM tipe 2.
Pada NAFLD, DM menjadi faktor resiko untuk steatohepatitis non alkoholik dan
penyakit hati progresif lanjutan.

73
Pasien dengan pembawa virus hepatitis, riwayat hepatitis akut serta konsumsi
alkohol yang berlebihan apabila tidak terdapat bukti penyakit hati kronik dan fungsi
hati normal dapat mengkonsumsi OAT standar. Reaksi hepatotoksik lebih sering
terjadi sehingga perlu diantisipasi lebih lanjut. Pada pasien dengan penyakit hati
lanjut dan tidak stabil, pemeriksaan fungsi hati harus dilakukan sebelum pengobatan
dimulai. Apabila kadar SGOT > 3x normal sebelum terapi dimulai maka paduan obat
berikut ini perlu dipertimbangkan. Semakin tidak stabil dan lanjut penyakit hatinya
maka semakin sedikit obat hepatotoksik yang bisa digunakan. Monitoring klinis dan
pemeriksaan fungsi hati harus dilakukan secara berkala. Paduan obat yang dapat
diberikan adalah:
 Dua obat hepatotoksik
o 9 bulan isoniazid + rifampisin + etambutol
o 2 bulan isoniazid + rifampisin + etambutol + streptomisin diikuti 6 bulan
isoniazid + rifampisin
o 6-9 bulan rifampisin + pirazinamid + etambutol
 Satu obat hepatotoksik
o 2 bulan isoniazid, etambutol, streptomisin diikuti 10 bulan isoniazid +
etambutol
 Tanpa obat hepatotoksik
o 18 - 24 bulan streptomisin, etambutol, fluorokuinolon
 Penggunaan antituberkulosis pada kelainan hati bergantung dari derajat beratnya
penyakit dan derajat dekompensasi. Pada penyakit hati derajat sedang (Sirosis
Child B) dapat digunakan satu atau dua obat hepatotoksik sementara seluruh obat
hepatotoksik seluruhnya harus dihindari pada sirosis Child C.
 Bila ada kecurigaan penyakit hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelum
pengobatan
 Pada kelainan hati, pirazinamid tidak boleh diberikan
 Paduan obat yang dianjurkan (rekomendasi WHO) ialah 2RHES/6RH atau
2HES/10 HE
 Pada pasien hepatitis akut dan atau klinis ikterik, sebaiknya OAT ditunda sampai
hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan sangat diperlukan dapat

74
diberikan S dan EMB maksimal 3 bulan sampai hepatitis menyembuh dan
dilanjutkan dengan 6RH
 Sebaiknya rujuk ke dokter spesialis paru atau spesialis penyakit dalam

Pada kasus ini, hasil pemeriksaan SGOT dan SGPT pasien yaitu 177,6 U/L dan
114,0 U/L. Yang berarti terjadi peningkatan lebih dari 3 kali normal, sehingga untuk
pengobatan Obat Anti Tuberkulosis perlu dipertimbangkan. Semakin tidak stabil dan
lanjut penyakit hatinya maka semakin sedikit obat hepatotoksik yang bisa digunakan.
DM juga dapat menjadi komplikasi dari sirosis hati. Keadaan resistensi insulin
bisa dilihat pada sekitar 80% pasien dengan sirosis, dan 20-63% dari keadaan ini
akan berkembang menjadi diabetes (diabetes hepatogen). Resistensi insulin yang
terjadi pada kasus diabetes hepatogen akan meningkatkan kegagalan respons
terhadap pengobatan sirosis dan meningkatkan risiko fibrosis. Selain itu, pasien
dengan sirosis yang disertai diabetes lebih sering terkena komplikasi penyakit
sehingga akan menyebabkan tingkat kematian yang lebih besar pula.
Pasien dengan diabetes dan TB memiliki risiko kematian yang lebih tinggi
selama terapi juga peningkatan risiko kekambuhan setelah pengobatan, juga dapat
memberikan risiko penularan yang lebih besar. Diabetes meningkatkan risiko
kegagalan terapi dan kematian sekaligus, kematian saja, dan angka kekambuhan pada
penderita TB. Hal ini menekankan akan kebutuhan untuk perbaikan kadar gula darah,
panduan terapi, peningkatan monitoring klinik dan terapi.

75
BAB V
KESIMPULAN

Berdasarkan kasus pada refarat ini, maka dapat disimpulkan bahwa:


1. Pasien a.n Tn. B masuk Rumah Sakit dengan batuk darah, asites dan ikterus dan
didiagnosis tuberkulosis paru + diabetes mellitus tipe 2 + sirosis hepatis
2. Pasien laki-laki masuk ke Rumah Sakit sejak batuk darah yang dialami sejak 2
hari sebelum masuk Rumah sakit, batuk darah ± 3 kali, lendir (+) dan
mengeluhkan sesak nafas (+). Pasien sudah mengalami batuk kering ± 1 tahun
yang lalu. Pasien juga mengeluhkan febris (+) 2 hari sebelum masuk RS, naik
turun, dalam waktu yang tidak menentu, menggigil (+), cephalgia (+),
berkeringat malam hari (+), berat badan menurun drastis (+), tidak ada nafsu
makan. Keluhan ini sudah dialami sejak 1 tahun yang lalu dan sampai saat ini
belum mendapat pengobatan Obat Anti Tuberkulosis. Karena pasien mengalami
asites dan ikterus seluruh tubuh sekitar 1 tahun lalu. Pasien mengatakan mudah
lelah dan merasa lemah, nausea (+) dan vomitus (+), BAB (+) biasa, BAK (+)
berwarna seperti teh pekat. Pasien juga mengeluhkan poliuria, polifagi dan
polidipsi yang sudah dikeluhkan sekitar 1 tahun yang lalu, disertai penglihatan
kabur (+), dan saat ini pasien mengonsumsi obat antiidiabetik yang tidak teratur.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sakit sedang, kesadaran
compos mentis, dan status gizi, gizi kurang. Pada tanda-tanda vital didapatkan
tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 82x/menit, respirasi 20x/menit dan suhu
36,7°C. Pada pemeriksaan bagian mata didapatkan sklera ikterik ocular dextra et
sinistra, bau nafas (fetor hepatikum), terdapat dan palpasi kelenjar getah bening
(KGB) didapatkan pembesaran bilateral multifokal, padat, batas cukup tega,
mobile, ukuran ± 3cm. Pada perkusi paru-paru apeks paru redup (+/-), auskultasi
paru-paru didapatkan bunyi nafas bronkial (+/+), Rhonki basah kasar (+/-), pada
pemeriksaan abdomen inspeksi tampak cembung, shifting dullness (+) dan pada
palpasi hepar didapatkan hepatomegali 3 cm dibawah arkus costa, permukaan
keras dan nodular, splenomegali schuffner 2. Pada pemeriksaan ekstremitas atas
dan bawah didapatkan edema pada kedua ekstremitas bawah. Pada hasil

76
pemeriksaan laboratoriun didapatkan RBC: 3,99 x 106/ mm3 (menurun), PLT:
171 x 103/mm3, MCV: 101 µm3 (meningkat), MCH: 33,4 pg (meningkat), GDS:
612 mg/dl, Albumin : 2,6 g/dl, SGOT: 131 U/L, SGPT : 131 U/L, LED : 40/jam,
Genexpert: MTB detected Rif Resistance not detected, HBS-Ag: Reaktif,
Urinalisis: Glukosa +4, lekosit +2, Sedimen lekosit 10, sedimen eritrosit 2.
3. DM tipe 2 merupakan faktor resiko utama untuk pengembangan TB paru aktif,
penyakit hati progresif lanjutan. Keadaan resistensi insulin bisa dilihat pada
sekitar 80% pasien dengan sirosis, dan 20-63% dari keadaan ini akan
berkembang menjadi diabetes (diabetes hepatogen). Selain itu, pasien dengan
sirosis yang disertai diabetes lebih sering terkena komplikasi penyakit sehingga
akan menyebabkan tingkat kematian yang lebih besar pula.
4. Untuk pengobatan TB pada sirosis hepatis pada kasus ini, dari hasil pemeriksaan
SGOT dan SGPT pasien yaitu 177,6 U/L dan 114,0 U/L. Yang berarti terjadi
peningkatan lebih dari 3 kali normal, sehingga untuk pengobatan Obat Anti
Tuberkulosis perlu dipertimbangkan. Semakin tidak stabil dan lanjut penyakit
hatinya maka semakin sedikit obat hepatotoksik yang bisa digunakan.

77
DAFTAR PUSTAKA

1. Arliny Y. Tuberkulosis Dan Diabetes Mellitus Implikasi Klinis Dua Epidemik.


Jurnal Kedokteran Syiah Kuala. 2015 : Vol. 15, No. 1
2. Sudoyo AW, Setiohadi W, Alwi I, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I.
Edisi VI. Jakarta : Pusat Penerbitan InternaPublishing; 2014
3. Jeon, CY., Murray, MB., Diabetes Mellitus Increases the Risk of Active
Tuberculosis: A systematic Review of 13 Observational Studies, Plos Medicine,
2008: Vol. 5, Issue 7
4. Dooley, KE., Chaisson, RE., Tuberculosis and diabetes mellitus: convergence of
two epidemics, NIH Public Access, 2009 : Vol.9, Edisi 11
5. Wijaya, I. Tuberkulosis Paru pada Penderita Diabetes Melitus. Departemen
Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan, 2015: Vol. 42,
No.6
6. Ndrha, S. Diabetes Melitus Tipe 3 Dan Tatalaksana Terkini, Departemen
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana Jakarta, 2014:
Vol. 27, No. 2
7. Susilawati, M. & Muljati, S. Hubungan Antara Intoleransi Glukosa dan Diabetes
Melitus dengan Riwayat Tuberkulosis Paru Dewasa di Indonesia (Analisis Lanjut
Riskesdas 2013), 2016: Vol. 26, No. 2
8. Fatimah, R. Diabetes Melitus Tipe 2. Jurnal Majority, 2015 : Vol. 4, No.5
9. Konsensus PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan pencegahan Diabetes Mellitus
tipe2 di Indonesia. Jakarta, PB PERKENI : 2015
10. Tanto, C., Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 4, Cetakan 1, Jakarta: Media
Aesculapius: 2014
11. Fauziah, Insidensi Tuberkulosis Paru pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di
Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang, Jurnal
Kesehatan Andalas, Vol. 5, No. 2 : 2016
12. Pengendalian TB Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman
Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta: KEMENKES RI; 2014

78
13. Miharja, L., Lolong, D., Ghani, L., Prevalensi Diabetes Melitus Pada
Tuberkulosis dan Masalah Terapi, 2015: Vol. 14, No. 4
14. Wulandari, D & Sugiri, Y. Diabetes Melitus dan Permasalahannya pada
Infeksi Tuberkulosis, Jurnal Respirologi Indo, Vol. 33, No.2 : 2013
15. Harsini & MR, Angga., Tuberkulosis Paru pada Diabetes Melitus:2016

79

Anda mungkin juga menyukai