Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Diabetes melitus (DM) merupakan masalah kesehatan masyarakat utama
yang mempengaruhi lebih dari 400 juta orang di seluruh dunia. Gangguan
metabolisme ini secara progresif menyebabkan komplikasi mikrovaskular,
makrovaskular dan neuropatik kronis yang mengancam kehidupan.1,2
DM disebabkan oleh defisiensi sekresi insulin, kerusakan sel β pankreas
atau resistensi insulin yang berhubungan dengan tidak digunakannya insulin.
Kecenderungan untuk gaya hidup sedentary (kurang gerak) dapat menjadi alasan
utama peningkatan terus-menerus jumlah pasien diabetes secara global yang
diperkirakan mencapai 366 juta pada tahun 2030 pada populasi lanjut usia (>65
tahun). Berbagai komplikasi yang terkait dengan DM termasuk nefropati,
neuropati, komplikasi kardiovaskular dan ginjal, retinopati, gangguan terkait
makanan dan sebagainya. DM tipe 1 dan DM tipe 2 adalah 2 tipe DM. DM tipe 1
adalah gangguan autoimun yang mempengaruhi sel pankreas yang mengurangi
atau merusak produksi insulin sedangkan DM tipe 2 adalah akibat dari gangguan
sel beta pankreas yang menghambat kemampuan individu untuk menggunakan
insulin.1
Gejala yang menunjukkan adanya diabetes termasuk poliuria, yaitu
meningkatnya rasa haus, serta adanya penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan dengan penurunan berat badan yang diinginkan. Terdapat juga gejala
dan tanda lain yang kurang khas seperti kelelahan dan kantuk, lesi kulit bernanah,
dan kondisi inflamasi pada saluran genitourinari.3
Hiperglikemia kronis berhubungan dengan kerusakan, disfungsi, dan
kegagalan berbagai organ, khususnya mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh
darah. Gangguan kulit muncul pada 79,2% pasien DM, dimana penyakit kulit
terbanyak pada DM ialah pruritus, penyakit kulit dapat muncul sebagai tanda
pertama DM atau berkembang kapan saja selama perjalanan penyakit. Penyakit
tidak menular dan menular telah digambarkan sebagai manifestasi dermatologi
dari diabetes melitus. Pada diabetes, patofisiologi yang mendasari, perjalanan
penyakit, komorbiditas dan obat-obatan yang ada bersamaan akan cenderung
mempengaruhi pasien untuk terjadinya rasa gatal.3
Pruritus atau gatal adalah kondisi dermatologis umum yang ditandai
dengan sensasi tidak nyaman pada kulit yang memicu keinginan untuk
menggaruk. Hal ini disebabkan oleh berbagai penyakit dermatologi mulai dari
autoimun, genetik, dan infeksi hingga berbagai penyakit sistemik seperti
gangguan endokrin dan metabolik, gangguan neoplastik dan hematologi,
kehamilan, dan beberapa obat. Diperkirakan 3-50% pasien dengan diabetes dapat
mengalami pruritus menyeluruh.4
Patofisiologi yang mendasari, komorbiditas dan obat-obatan
mempengaruhi pasien dengan diabetes untuk dapat terjadinya pruritus.3 Diabetes
berhubungan dengan gangguan elastisitas kulit dan penurunan aktivitas kelenjar
sebaceous kulit. Beberapa penelitian telah melaporkan adanya hubungan
peningkatan kadar glukosa darah dengan perkembangan dan derajat keparahan
pruritus. Pruritus yang berhubungan dengan diabetes dapat dianggap sebagai
kondisi dermatometabolik dan seringkali terlokalisasi.3,4
Tata laksana diabetes dapat menyebabkan berbagai lesi dermatologi.
Pengobatan dengan insulin dapat menyebabkan reaksi alergi, lipoatrofi, dan
edema insulin. Juga telah ditemukan bahwa beberapa kondisi berhubungan
dengan penderita diabetes dibandingkan non-diabetes seperti lichen planus,
xanthomas erupsi, dermatosis perforasi, vitiligo, dan kuku kuning. Pruritus, atau
gatal-gatal, melibatkan manifestasi kutaneus selama periode yang lama dan sering
menyebabkan tekanan psikologis pada pasien, dan menyebabkan infeksi kulit.5
Pada diabetes melitus, pruritus generalisata jarang terjadi tetapi pruritus
lokal lebih sering terjadi, terutama pada daerah perianal/genital, dan disebabkan
oleh infeksi jamur. Sampai saat ini, telah banyak penelitian mengenai hubungan
antara kadar glukosa plasma dan pruritus. Telah dilaporkan bahwa peningkatan
kadar glukosa plasma secara signifikan berhubungan dengan prevalensi pruritus
yang lebih besar pada pasien DM.5 Namun demikian, data hubungan antara
pruritus dan kualitas hidup terkait kesehatan pada pasien DM masih sangat
terbatas.
Berdasarkan latar belakang tersebut, dimana tampaknya pruritus sering
menyertai pada pasien DM, peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan kualitas
hidup dengan intensitas gatal pada pasien pruritus DM.

1.2 Rumusan Masalah


Apakah terdapat hubungan kualitas hidup dengan intensitas gatal pada
pasien pruritus diabetes melitus (DM)?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan kualitas hidup dengan intensitas gatal pada pasien
pruritus diabetes melitus (DM).

1.3.2 Tujuan Khusus

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Bidang Akademik
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menunjukkan bagaimana
hubungan kualitas hidup dengan intensitas gatal pada pasien pruritus diabetes
melitus (DM).
1.4.2 Bidang Institusi Kesehatan
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
kualitas hidup serta intensitas gatal pada pasien pruritus diabetes melitus (DM)
yang diharapkan dapat menjadi sebuah landasan dalam pengembangan modalitas
terapi baru.
1.4.3 Bidang Pengembangan Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai data untuk
penelitian yang akan datang.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Mellitus


2.1.1 Definisi
Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau kedua-duanya.6
Menurut WHO, diabetes adalah penyakit kronis yang terjadi baik ketika
pankreas tidak menghasilkan cukup insulin atau ketika tubuh tidak dapat secara
efektif menggunakan insulin yang dihasilkannya. Insulin adalah hormon yang
mengatur gula darah. Hiperglikemia, atau peningkatan gula darah, adalah efek
umum dari diabetes yang tidak terkontrol dan seiring waktu menyebabkan
kerusakan serius pada banyak sistem tubuh, terutama saraf dan pembuluh darah.7

2.1.2 Epidemiologi
Pada tahun 2014, 8,5% orang dewasa berusia 18 tahun ke atas menderita
diabetes. Pada tahun 2019, diabetes menjadi penyebab langsung pada 1,5 juta
kematian. Sementara pada tahun 2012, terdapat 2,2 juta kematian oleh karena
glukosa darah tinggi.7
Antara tahun 2000 dan 2016, terdapat peningkatan 5% dalam kematian
dini akibat diabetes. Di negara berpenghasilan tinggi angka kematian dini akibat
diabetes menurun dari tahun 2000 hingga 2010 namun kemudian meningkat pada
tahun 2010 hingga 2016. Di negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah,
angka kematian dini akibat diabetes meningkat di kedua periode tersebut.7
Data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) di Indonesia sendiri
menunjukkan bahwa jika dibandingkan dengan tahun 2013, prevalensi DM
berdasarkan diagnosis dokter pada penduduk umur ≥ 15 tahun hasil Riskesdas
2018 meningkat menjadi 2%. Prevalensi DM berdasarkan diagnosis dokter dan
usia ≥ 15 tahun yang terendah terdapat di Provinsi NTT, yaitu sebesar 0,9%,
sedangkan prevalensi DM tertinggi di Provinsi DKI Jakarta sebesar 3,4%.
Prevalensi DM semua umur di Indonesia pada Riskesdas 2018 sedikit lebih
rendah dibandingkan prevalensi DM pada usia ≥15 tahun, yaitu sebesar 1,5%.
Sedangkan provinsi dengan prevalensi DM tertinggi semua umur berdasarkan
diagnosis dokter juga masih di DKI Jakarta dan terendah di NTT.8
Sekitar 463 juta orang dewasa (usia 20-79 tahun) hidup dengan diabetes,
yang diperkirakan akan meningkat menjadi 700 juta pada tahun 2045. Proporsi
orang dengan diabetes tipe 2 meningkat di sebagian besar negara dan 79% orang
dewasa dengan diabetes tinggal di negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Selain itu, diabetes sendiri menyebabkan 4,2 juta kematian. Lebih dari 20 juta
kelahiran hidup (1 dari 6 kelahiran hidup) terkena diabetes selama kehamilan dan
374 juta orang berada pada peningkatan risiko terkena diabetes tipe 2.9

2.1.3 Klasifikasi
Menurut Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2
di Indonesia tahun 2019 yang diterbitkan PERKENI, klasifikasi DM berdasarkan
etiologinya adalah sebagai berikut6:

Tabel 2.1 Klasifikasi Etiologis DM6


2.1.4 Patogenesis
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas
telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe 2. Belakangan
diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat daripada
yang diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver dan sel beta, organ lain seperti:
jaringan lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi incretin), sel
alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan
otak (resistensi insulin), kesemuanya ikut berperan dalam menimbulkan terjadinya
gangguan toleransi glukosa pada DM tipe 2.6
Secara garis besar patogenesis DM tipe 2 disebabkan oleh sebelas hal
(egregious eleven) berikut 6,10:
a. Kegagalan sel beta pancreas
Pada saat diagnosis DM tipe 2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat
berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah
sulfonilurea, meglitinid, glucagon-like peptide (GLP-1) dan penghambat
dipeptidil peptidase-4 (DPP-4).
b. Liver
Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu
gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver
(HGP / hepatic glucose production) meningkat. Obat yang bekerja melalui
jalur ini adalah metformin, yang menekan proses gluconeogenesis.
c. Otot
Pada penderita DM tipe 2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang
multiple di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin, sehingga
timbul gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis
glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. Obat yang bekerja di jalur ini
adalah metformin, dan tiazolidindion.
d. Sel lemak
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin,
menyebabkan peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas
(FFA / Free Fatty Acid) dalam plasma. Penigkatan FFA akan merangsang
proses glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot.
FFA juga akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan oleh
FFA ini disebut sebagai lipotoksisitas. Obat yang bekerja di jalur ini adalah
tiazolidindion.
e. Usus
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding
kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini
diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan GIP
(glucose-dependent insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric
inhibitory polypeptide). Pada penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi GLP-
1 dan resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin segera dipecah
oleh keberadaan ensim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit.
Obat yang bekerja menghambat kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4
inhibitor.
Saluran pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat
melalui kinerja ensim alfa-glukosidase yang memecah polisakarida menjadi
monosakarida yang kemudian diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan
glukosa darah setelah makan. Obat yang bekerja untuk menghambat kinerja
ensim alfa-glukosidase adalah akarbosa.
f. Sel Alpha Pancreas
Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia
dan sudah diketahui sejak 1970. Sel α berfungsi dalam sintesis glukagon yang
dalam keadaan puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan
ini menyebabkan HGP dalam keadaan basal meningkat secara signifikan
dibanding individu yang normal. Obat yang menghambat sekresi glukagon
atau menghambat reseptor glukagon meliputi GLP-1 agonis, DPP- 4 inhibitor
dan amylin.
g. Ginjal
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis DM
tipe 2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh
persen dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran SGLT-2
(Sodium Glucose co-Transporter) pada bagian convulated tubulus proksimal.
Sedang 10% sisanya akan di absorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus
desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada
penderita DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang
menghambat kinerja SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan kembali
glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urine. Obat
yang bekerja di jalur ini adalah SGLT-2 inhibitor. Dapaglifozin adalah salah
satu contoh obatnya.
h. Otak
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang
obes baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang
merupakan mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini
asupan makanan justru meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga
terjadi di otak. Obat yang bekerja di jalur ini adalah agonis GLP-1, amylin dan
bromokriptin.
i. Kolon/Mikrobiota
Mikrobiota pada kolon berhubungan dengan kejadian DM tipe 1, DM
tipe 2, dan obesitas. Hal ini menjelaskan hanya sebagian individu dengan
berat badan berlebih yang akan berkembang menjadi DM. Probiotik dan
prebiotik diperkirakan sebagai mediator untuk menangani hiperglikemia.
j. Lambung
Akibat kerusakan sel beta pancreas, terjadi penurunan produksi amylin
pada penderita DM, yang mana akan menyebabkan percepatan pengosongan
lambung serta peningkatan absorpsi glukosa di usus halus, yang berhubungan
dengan peningkatan kadar glukosa postprandial.
k. Sistem Imun
Terdapat bukti yang menunjukkan sitokin menginduksi terjadinya respon
fase akut (inflamasi derajat rendah, yang merupakan bagian dari aktivasi
system imun bawaan) yang berhubungan kuat dengan pathogenesis dari DM
tipe 2, serta komplikasi dyslipidemia dan aterosklerosis. Inflamasi sistemik
derajat rendah berperan dalam induksi stress di endoplasma akibat
peningkatan kebutuhan metabolism untuk insulin. DM tipe 2 ditandai dengan
adanya resistensi insulin perifer dan penurunan produksi insulin, serta
inflamasi kronik derajat rendah di jaringan perifer (adiposa, hepar, dan otot).
Dalam beberapa dekade terakhir, terbukti bahwa adanya hubungan antara
obesitas dan resistensi insulin terhadap inflamasi. Hal tersebut
menggambarkan peran penting inflamasi terhadap patogenesis DM tipe 2,
yang dianggap sebagai kelainan imun (immune disorder). Kelainan metabolik
lain yang berkaitan dengan inflamasi juga banyak terjadi pada DM tipe 2.

2.1.5 Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus


Diagnosis diabetes melitus ditegakkan berdasarkan kriteria berikut6:
- Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL (puasa adalah kondisi
tidak ada asupan kalori minimal selama 8 jam, atau
- Pemeriksaan glukosa plasma ≥ 200 mg/dL 2 jam setelah Tes Toleransi
Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram, atau
- Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL dengan keluhan klasik,
atau
- Pemeriksaan HbA1c ≥ 6,5% dengan menggunakan metode yang
terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program
(NGSP).
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM
digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
- Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa
plasma puasa antara 100-125 mg/dL dan pemeriksaan TTGO glukosa
plasma 2-jam <140 mg/dL;
- Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma
2-jam setelah TTGO antara 140-100 mg/dL dan glukosa plasma puasa
<100mg/dL
- Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
- Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%

Tabel 2.2 Kadar Tes Laboratorium Darah untuk Diagnosis Diabetes dan
Prediabetes6
Gambar 2.2 Cara pelaksanaan TTGO6

Pemeriksaan penyaring dilakukan untuk menegakkan diagnosis Diabetes


Melitus Tipe 2 dan prediabetes pada kelompok risiko tinggi yang tidak
menunjukkan gejala klasik DM yaitu6:
1. Kelompok dengan berat badan lebih (Indeks Massa Tubuh [IMT] ≥23
kg/m2) yang disertai dengan satu atau lebih faktor resiko sebagai berikut:
a. Aktivitas fisik yang kurang
b. First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam
keluarga)
c. Kelompok ras/etnis tertentu
d. Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBL
>4 kg atau mempunyai riwayat diabetes melitus gestasional
(DMG)
e. Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi untuk
hipertensi)
f. HDL <35 mg/dL dan atau trigliserida >250 mg/dL
g. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium
h. Riwayat prediabetes
i. Obesitas berat, akantosis nigricans
j. Riwayat penyakit kardiovaskular
2. Usia >45 tahun tanpa faktor risiko di atas
Pada keadaan yang tidak memungkinakn dan tidak tersedia fasilitas
pemeriksaan TTGO, maka pemeriksaan penyaring dengan menggunakan
pemeriksaan glukosa darah kapiler diperbolehkan untuk patokan diagnsosis DM.

2.2 Pruritus pada DM


Pruritis adalah gejala umum dari banyak penyakit lokal sistemik dan kulit,
dan diabetes mellitus merupakan sindrom umum dengan beberapa komplikasi
jangka panjang, termasuk neuropati diabetik. Keterlibatan neuron serabut kecil,
pada neuropati diabetik, diakui sebagai patofisiologi utama yang mendasarinya.11
Gatal dengan durasi lebih dari 2 minggu merupakan gejala yang umum
terjadi, yang dilaporkan oleh 8,4% populasi umum. Berbagai kondisi klinis
sistemik berhubungan dengan pruritus, dan kondisi endokrin merupakan salah
satunya.11 Literatur yang diterbitkan sebelumnya telah menetapkan bahwa pruritus
adalah manifestasi umum dari diabetes. Selain itu, pruritus bahkan mempengaruhi
pola tidur dan ritme sirkadian pada pasien diabetes. Pasien mengalami lebih
banyak rasa gatal pada tidur N1, N2, dan REM. Penelitian telah menunjukkan
bahwa kurangnya waktu tidur berhubungan dengan disregulasi metabolik
termasuk diabetes. Juga diamati bahwa dalam kasus di mana gangguan ritme
sirkadian terjadi, ada kemungkinan lebih tinggi untuk mengembangkan kondisi
seperti psoriasis.4
Pedoman British Association of Dermatologists (BAD) 2018, tentang
pruritus umum pada orang dewasa tanpa dermatosis, mengklasifikasikan pasien
tersebut sebagai penyakit sistemik yang mendasari (pruritus sekunder) atau
pruritus umum yang tidak diketahui asalnya (generalized pruritus of unknown
origin / GPUO). Daftar penyebab pruritus umum tanpa ruam menyebutkan 15
etiologi, dengan penyakit endokrin disebutkan pada posisi ke-8.11
BAD menggambarkan pruritus neuropatik sebagai "disebabkan oleh
patologi yang terletak di setiap titik sepanjang jalur aferen sistem saraf". Jalur ini
yaitu serat kecil yang dapat terpengaruh pada neuropati diabetik. BAD dengan
jelas menyatakan bahwa pruritus neuropatik harus dirujuk ke spesialis yang tepat
untuk perawatan. Pruritus psikogenik atau gangguan gatal fungsional
diidentifikasi sebagai kondisi klinis yang berbeda, dengan kriteria diagnostiknya
sendiri (Gambar-1). Salah satu dari tiga kriteria wajib menyatakan bahwa
penyebab somatik, termasuk kulit dan sistemik, harus disingkirkan. Dari tujuh
kriteria opsional, setidaknya empat tumpang tindih dengan gejala neuropati nyeri
diabetik, yaitu memburuk di malam hari, dominasi selama istirahat atau
kelambanan, perbaikan dengan obat-obatan psikotropika, dan perbaikan dengan
terapi psikologis.11
The International Forum for the Study of Itch (IFSI) mengklasifikasikan
gatal memiliki enam faktor etiologi, termasuk dermatologi, sistemik, neurologis,
psikogenik/ psikosomatik, campuran dan lain-lain. Meskipun beberapa peneliti
menggambarkan gatal diabetik sebagai pruritis sistemik, peneliti lainnya merasa
bahwa adanya komponen dermatologi dan neurologis mendukung inklusi dalam
etiologi campuran. Beberapa penyebab gatal pada diabetes mudah dilihat, seperti
infeksi kandida, namun beberapa lainnya dapat tidak jelas. Terjadinya gatal umum
pada diabetes bervariasi, mulai dari 2,72% sampai 27,5%.3,11
Prevalensi truncal pruritus of unknown origin (TPUO) pada subjek
diabetes secara signifikan lebih tinggi daripada pada subjek nondiabetes (11,3 vs
2,9%). TPUO ditemukan berhubungan dengan gejala dan tanda neuropati periferal
diabetik (DPN), termasuk perubahan neuropati otonom, dan oleh karena itu dapat
menjadi gejala neuropati diabetik yang baru dikenali.11
2.2.1 Patofisiologi Pruritus
Pruritus dikodekan oleh neuron yang berbeda secara genetik baik di sistem
saraf perifer maupun pusat, yang secara khas dapat memicu garukan. Meskipun
neuron spesifik untuk pruritus telah terdeteksi, tidak jelas apakah semua neuron
menandakan pruritus. Namun, pruritus juga berinteraksi dengan modalitas
sensorik lainnya (nyeri, suhu, dan kekuatan mekanik) di beberapa lokasi, dari
dermatom tertentu ke otak.12
Pruritus dirasakan oleh serabut saraf kulit yang disebut pruriceptors.
Sebagian besar serabut C yang tidak bermielin dan serabut Aδ bermielin tipis
bertanggung jawab untuk merasakan pruritus. Serabut terminal percabangan dari
neuron aferen sensorik ini ditemukan di persimpangan epidermal-dermal.14
Beberapa di antaranya mencapai lapisan paling atas dari epidermis.23 Saraf
sensorik adalah bagian dari lingkungan interaktif dengan sejumlah besar mediator
yang dihasilkan dari neuron sensorik itu sendiri, sel tetangga (neighboring cells),
keratinosit, dan mikrobioma. Terdapat komunikasi multiarah antara saraf dan
sistem kekebalan di dalam kulit, yang kemungkinan diarahkan terhadap
komponen mikrobiota, yang dapat menimbulkan pruritus. Mediator pruritus yang
diketahui saat ini, yang memainkan peran berbeda dalam kondisi pruritus yang
berbeda, termasuk histamin, serotonin/5-hidroksitriptamin (5-HT), protease,
sitokin-interleukin, peptida (bradikinin, substansi P, peptida terkait gen kalsitonin,
neurotrophin, peptida opioid), dan metabolit fosfolipid (kanabinoid, eikosanoid,
faktor pengaktif trombosit). Mediator ini adalah kontributor utama dan
memperburuk pruritus dengan mengaktifkan reseptor serumpun pada neuron
sensorik.12
Pengikatan mediator tersebut dengan reseptor serumpunnya mengaktifkan
serangkaian sistem transduksi sinyal. Saat ini, dua jalur sinyal pruritus telah
diidentifikasi, yaitu jalur pensinyalan yang bergantung histamin (histaminergik)
dan jalur pensinyalan yang tidak bergantung histamin (non-histaminergik). Pada
jalur histaminergik, pengikatan histamin ke reseptor serumpunnya, terutama
reseptor H1 dan Reseptor H4, mempromosikan aktivasi fosfolipase C (PLC) β3,
meningkatkan kadar kalsium, dan mengiritasi lipoksigenase (LOX) dan
fosfolipase A (PLA). Hal ini lebih lanjut akan menginduksi aktivasi downstream
target transient receptor potential cation channel vanilloid 1 (TRPV1). Sinyal
pruritus melalui jalur ini diteruskan melalui mechanically insensitive C-fibers
(CMi), yang terutama didistribusikan oleh ujung saraf di persimpangan dermo-
epidermal, ke badan selnya di akar dorsal atau ganglia trigeminal diikuti dengan
bersinaps dengan neuron orde kedua di dorsal horn sumsum tulang belakang.12
Jalur pensinyalan lainnya, nonhistaminergik, tampaknya terlibat dalam
pruritus yang resisten terhadap antihistamin, seperti pruritus kronis. Banyak
pruritogen dapat merangsang jalur ini. Pengikatan pruritogen dengan reseptor
serumpunnya merangsang protease-activated receptor 2 (PAR-2) atau Mas-
related G protein-coupled receptors (Mrgprs). Aktivasi PAR2 mensensitisasi
PLC, kemudian target hilir (downstream target) termasuk TRPV1 dan saluran
kation potensial reseptor sementara ankyrin 1 (TRPA1) diaktifkan. Mrgprs yang
diaktifkan, kemudian digabungkan ke kompleks protein G beta-gamma (Gβγ) atau
PLC atau lainnya, dimana kemudian mereka mempromosikan aktivasi TRPA1/
TRPV1. Jalur pensinyalan non-histaminergik ini biasanya dimediasi oleh kelas
serat tipe-C yang sensitif secara mekanis (CMHs), yang terutama didistribusikan
oleh ujung saraf di epidermis. CMH ini juga bersinaps dengan neuron urutan
kedua di dorsal horn sumsum tulang belakang.12

Gambar 2.1 Jalur pensinyalan pruritus kronis12

2.2.2 Patofisiologi Pruritus pada DM


Menurut Kalra et al., terdapat tiga kemungkinan etiologi untuk terjadinya
pruritus pada diabetes: (1) diabetes yang sudah berlangsung lama menyebabkan
kulit kering, yang selanjutnya dapat memicu gatal dan garukan, terutama selama
musim dingin, (2) Mikro-angiopati, yaitu pembuluh darah perifer tidak mensuplai
jumlah yang tepat darah ke jaringan kulit dan penurunan suplai darah ini
mengakibatkan gatal dan (3) infeksi karena jumlah glukosa darah yang berlebihan
bertindak sebagai media kultur untuk ragi atau organisme menular terkait
lainnya.4
Lebih lanjut, kulit kering (xerosis cutis) dan neuropati perifer diabetik
merupakan dua faktor utama yang berhubungan dengan pruritus pada DM.3,12
Baik xerosis kulit dan neuropati terlibat dalam perkembangan gatal pada penderita
diabetes. Disfungsi sensorik dan otonom berkontribusi pada rasa gatal yang
dicatat dengan neuropati. Mati rasa pada telapak kaki dan telapak tangan, tidak
adanya refleks tendon, dan hasil tes kemiringan kepala yang abnormal terbukti
berhubungan dengan gatal. Individu dengan glukosa postprandial yang lebih
tinggi memiliki kemungkinan lebih besar untuk mengalami gatal menyeluruh.11
1. Gangguan skin barrier
Gangguan sawar kulit (skin barrier) adalah kondisi yang mendasari
terjadinya kulit kering.3,12 Skin barrier (SB) diberikan oleh epidermis, terutama
oleh stratum korneum. SB melindungi manusia dari lingkungan sekitarnya, serta
mencegah masuknya pruritogen potensial seperti agen infeksi dan alergen,
memberikan perlindungan terhadap sinar ultraviolet dan stres oksidatif, dan
berperan dalam homeostasis, seperti kelembaban stratum korneum. SB terdiri dari
struktur seluler dan non seluler. Gangguan integritas SB menyebabkan kehilangan
air yang berlebihan dan menyebabkan kekeringan kulit. Kehilangan air
transepidermal (transepidermal water loss / TEWL), hidrasi stratum korneum,
dan pH adalah beberapa parameter yang biasanya diukur untuk menilai fungsi
SB.12,13
Fungsi dan integritas SB terganggu pada DM. 12,13 Sebuah penelitian
mengenai perubahan fisiologis pada kulit pria Jepang yang obesitas dan diabetes
yang dilakukan oleh Ibuki et al. melaporkan bahwa TEWL ditemukan lebih tinggi
secara signifikan dan tingkat hidrasi stratum korneum yang jauh lebih rendah
dibandingkan dengan kontrol, yang menunjukkan kulit kering.14 Hidrasi kulit pada
pasien diabetes ditemukan 38% lebih rendah jika dibandingkan dengan pasien
non-diabetes.12 Sebuah penelitian case control yang dilakukan pada 52 pasien
dengan DM tipe 2 oleh Kim et al. juga menemukan bahwa hidrasi stratum
korneum secara signifikan lebih rendah dibandingkan pasien kontrol non-diabetes.
Selain itu, mereka menemukan penurunan ceramide, asam lemak bebas, dan
kolesterol yang signifikan pada stratum korneum pasien DM. Trigliserida
menggantikan ceramide sebagai lipid stratum korneum yang paling substansial.
Perubahan jumlah dan komposisi lipid stratum korneum, berfungsi sebagai
penghalang air, menyebabkan kekeringan kulit. Penurunan aktivitas kelenjar
sebaceous juga diamati pada pasien DM dan akan memperparah kekeringan
kulit.12,15
Kulit kering ditandai dengan permukaan yang bersisik, kasar, pecah-pecah,
dan berfissura. Pada peneltiain dengan model tikus diabetes, gangguan integritas
epidermis disebabkan oleh jenis protein tertentu yang berhubungan dengan
struktur tight junction, bernama ZO-1, yang ditemukan diekspresikan lebih luas
dan difus, menyebabkan hipoplasia dan misalignment dari lapisan basal
epidermis. Biasanya, ketika pewarna lucifer yellow (LY) diberikan pada telinga
tikus normal, distribusi noda akan terbatas pada folikel rambut dan area luar. dari
stratum korneum. Pada tikus diabetes, LY menodai area stratum korneum yang
lebih luas. Kuantitas sinyal positif LY ditemukan 2,7 ± 0,4 kali lipat lebih besar
pada tikus diabetes dibandingkan pada kontrol. Ukuran diameter bintik pewarna
LY dapat mencapai hingga 10 μm atau lebih. Gangguan integritas epidermal
membuat kulit penderita diabetes lebih rentan terhadap zat eksternal, seperti
patogen menular dan kerusakan kimia. Jamur dapat dengan mudah menginfiltrasi
kulit penderita diabetes karena ukuran hifanya sekitar 6–12 μm, lebih kecil dari
ukuran bercak pewarna.12
Masuknya patogen atau agen kimia melalui skin barrier yang terganggu
itu sendiri dapat memicu reaksi inflamasi. Sel kulit, sel imun, dan mikrobioma
dapat melepaskan mediator pruritus yang dapat mengaktifkan pruriseptor
serumpun pada ujung saraf. Dalam lingkungan inflamasi, jalur histaminergik atau
nonhistaminergik dapat diaktifkan, tergantung pada mediator yang ada. Histamin
yang dilepaskan dari sel mast mengaktifkan CMi yang berbeda dengan CMH
yang diaktifkan dengan pruritogen lain, seperti yang dijelaskan pada bagian
patofisiologi pruritus secara umum. Tindakan potensial yang terbentuk di saraf
sensorik aferen akan diteruskan ke kornu dorsal medula spinalis, kemudian
diproyeksikan ke talamus dan akhirnya ke korteks somatosensori di otak,
termasuk korteks motorik, untuk menginduksi persepsi pruritus dan garukan.
Siklus pruritus-garuk dapat melanggengkan kerusakan skin barrier dan pruritus.
Cedera epidermal akibat garukan yang parah juga melukai ujung saraf sensorik
yang dapat menjadi hipereksitasi saat regenerasi.12
2. Neuropati periferal diabetik
Neuropati diabetik adalah komplikasi kronis yang paling umum dari
diabetes. Bentuk neuropati diabetik yang paling umum adalah neuropati perifer
diabetik. Faktor risiko neuropati perifer diabetik meliputi usia, jenis kelamin laki-
laki, durasi diabetes, glikemia yang tidak terkontrol, tinggi badan, kelebihan berat
badan dan obesitas, dan pengobatan insulin. Hal ini ditandai dengan
neurodegenerasi sistem saraf perifer yang secara khusus menargetkan neuron
sensorik dan otonom. Di antara serabut saraf perifer, serabut saraf kecil (misalnya,
Aδ dan C) adalah struktur yang paling rentan. Kerusakan serabut saraf kecil
bertanggung jawab atas perkembangan neuropati serat kecil (small fiber
neuropathy / SFN) pada DM.12
Penipisan serabut saraf kecil di sekitar kelenjar keringat menyebabkan
disfungsi sudomotor. Disfungsi sudomotor adalah gambaran umum dari neuropati
otonom diabetik. Pasokan otonom di kulit dan jaringan subkutan memiliki peran
penting dalam aliran darah, pemberian nutrisi, dan pelumasan yang dimodulasi
oleh fungsi sudomotor (kelenjar keringat). Disfungsi sudomotor menurunkan
produksi keringat. Produksi keringat yang lebih rendah memiliki korelasi positif
yang kuat dengan status hidrasi permukaan kulit. Status hidrasi yang lebih rendah
akan menyebabkan kulit kering. Selanjutnya, pruritus dapat terjadi oleh karena
gangguan skin barrier yang disebabkan oleh kulit kering.12
Lebih lanjut, kerusakan pada serabut saraf kecil yang pruriseptif dapat
mengakibatkan pruritus neuropatik. Pruritus neuropatik umumnya dipahami
sebagai pruritus akibat kerusakan saraf atau glial tanpa perubahan kulit.12
3. Stres oksidatif
Stres oksidatif didefinisikan sebagai status ketidakseimbangan antara
oksidan (radikal bebas, reactive oxygen and nitrogen species, metabolit reaktif)
dan antioksidan dalam sel dengan keunggulan oksidan. Stres oksidatif
berhubungan dengan DM. Peningkatan kadar glukosa pada DM menyebabkan
kegagalan fosforilasi oksidatif di mitokondria, hilangnya produksi ATP, dan
produksi berlebihan reactive oxygen species (ROS) oleh rantai transpor elektron
mitokondria. Akumulasi ROS tambahan dan inflamasi menyebabkan kerusakan
pada struktur dan fungsi sel dan akhirnya komplikasi DM seperti gangguan skin
barrier dan neuropati. Gangguan skin barrier dan neuropati kemudian
menginduksi pruritus pada DM.12
4. Terapi anti-diabetik
Pruritus dapat disebabkan oleh reaksi terhadap obat antidiabetes, seperti
sulfonilurea generasi pertama, biguanida, dan penghambat SGLT2. Patofisiologi
pruritus pada obat-obatan selain biguanide masih belum dipahami. Biguanide
menyebabkan pruritus melalui cedera kolestatik pada hati. Mekanisme di balik
pruritus kolestatik sebagian besar tidak diketahui, tetapi diyakini bahwa adanya
pruritogen terkait hati dalam tubuh pasien dengan penyakit hati mempengaruhi
sistem opioid dan serotoninergik. Penyakit hati yang dimaksud biasanya bersifat
kolestatik, dan pasien dengan hepatitis jarang melaporkan pruritus. Pruritogen
yang diusulkan untuk teori ini yaitu: garam empedu (bile salts), bilirubin,
mikrobioma usus, dan asam lisofospatid.12
5. Faktor lainnya
Hanya sedikit penelitian yang berfokus pada rasa gatal dan kadar glukosa
darah. Keterbatasan penelitian ini adalah penggunaan parameter yang berbeda,
seperti glukosa plasma puasa, glukosa postprandial, dan kadar HbA1c. Glukosa
plasma puasa (fasting plasma glucose / FPG) menunjukkan keadaan
hiperglikemik pada saat pengukuran, sedangkan HbA1c mencerminkan kadar
glukosa darah rata-rata dalam 7-8 minggu terakhir sebelum pengukuran.
Tampaknya terdapat korelasi antara glukosa postprandial dan gatal pada pasien
DM. Ko et al. menemukan bahwa pasien dengan kadar glukosa postprandial yang
lebih tinggi memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk mengalami gatal (p =
0,02).3,16 Hillson et al. menemukan korelasi antara glukosa plasma puasa dan
pruritus pada pasien yang baru didiagnosis dan tidak diobati dengan DM tipe 2.3
Dalam hal kadar HbA1c, penelitian yang berbeda menunjukkan hasil yang
berbeda. Pada kedua penelitian tersebut di atas, tidak ditemukan hubungan antara
kadar HbA1c dan gatal.3,16 Namun, dalam sebuah penelitian yang dirancang oleh
Afsar dan Elsurer pada 75 pasien (diabetes/non-diabetes, 29/46), intensitas gatal
yang dinilai dengan Visual Analog Scale (VAS) ditemukan lebih tinggi pada
pasien diabetes dibandingkan dengan pasien non-diabetes (4,7 ±2,8 vs 3,0 ±1,0, p
= 0,015). Selain itu, pada penderita diabetes, skor gatal VAS secara independen
berhubungan dengan HbA1c (β = +0,310, p = 0,027). Masih belum jelas
bagaimana kontrol glikemik berhubungan dengan gatal.3,17
Sayangnya, sebagian besar penelitian kekurangan data yang menunjukkan
apakah gatal tersebut diikuti oleh infeksi bakteri atau jamur. Dalam penelitian
oleh Al-Mutairi et al., pasien diabetes yang dirawat di bangsal dermatologi dinilai
adanya gatal. Gatal adalah salah satu tanda kulit yang paling umum dari diabetes
pada 49% dari (n = 106) pasien, diikuti oleh infeksi jamur (78,8%) dan bakteri
(51,9%).3

2.3 Pengukuran Intensitas Gatal, Tingkat Keparahan, serta Kualitas Hidup


Pruritus
2.3.1 Nyeri dan Pruritus
Gatal dan nyeri merupakan rasa yang tidak menyenangkan, tetapi
keduanya memberi tahu tubuh tentang adanya potensi bahaya. Keduanya adalah
perangkat pencari perhatian yang bertujuan untuk mencegah kerusakan lebih
lanjut. Keduanya menggunakan serabut C untuk transmisi, melalui subset pruritus
terkait serabut C yang unik dan berbeda, dimana sensasi gatal dianggap
ditransmisikan oleh serabut C sensorik kecil yang tidak bermyelin.10 Pada
beberapa orang dengan dermatitis atopik dan nostalgia parasthetica, nyeri
rangsangan dapat dirasakan sebagai gatal.11
Nyeri berasal dari berbagai nosiseptor, dari mana stimulus berjalan,
melalui serat C kecil polimodal, serta serat alfa-delta. Pruritus atau gatal,
merupakan respon terhadap rangsangan ujung saraf bebas polimodal dermal.
Stimulasi tersebut mengaktifkan jalur serat C yang unik, yang tidak sensitif
terhadap tekanan mekanis. Neurotransmiter seperti histamin, prostaglandin dan
protease dilepaskan, yang akan menimbulkan sensasi gatal.11
Mediator proinflamasi yang terlibat dalam rasa gatal dan nyeri serupa,
tetapi pelepasannya diatur oleh sel yang berbeda. Sel dominan yang berkontribusi
terhadap pruritus adalah limfosit, sedangkan rasa nyeri diatur oleh makrofag dan
sel dendritik. Saluran ion yang sama digunakan oleh keduanya untuk penyebaran
rasa gatal dan nyeri.11
Teori yang berbeda telah diusulkan untuk hubungan nyeri dan gatal, satu
teori “Intensitas” menunjukkan bahwa neuron akan membedakan antara keduanya
tergantung pada intensitas rangsangan. Sel yang sama dapat diaktifkan secara
lemah atau kuat, masing-masing menghasilkan sensasi gatal atau nyeri. Teori lain
menunjukkan bahwa kedua sensasi membutuhkan populasi neuron yang terpisah
untuk deteksi gatal atau nyeri.11
Bagian otak yang sama, yaitu amigdala, hipokampus, dan hipotalamus,
diaktifkan oleh rasa gatal dan nyeri. Komponen psikologis serupa terlibat dalam
menafsirkan kedua sensasi tersebut. Keduanya adalah sensasi multidimensi
kompleks yang meliputi seluruh spektrum model kesehatan dan penyakit
biopsikososial.11
Gatal kronis dan nyeri kronis berdampak negatif pada plastisitas saraf
otak, mencegahnya beradaptasi dengan rangsangan dengan cara yang tepat.
Banyak modalitas pengobatan, baik non-farmakologis maupun farmakologis yang
umum untuk kondisi ini. Semua aspek ini memperkuat pernyataan bahwa nyeri
dan pruritus harus dipandang sebagai hal yang setara.11
2.3.2 VAS pada Pruritus
Tingkat keparahan pruritus serta intensitas gatal dapat dievaluasi dengan
menggunakan alat sederhana yang disebut visual analogue scale (VAS) untuk
pruritus. Dengan VAS, pasien menilai intensitas pruritus dengan melewati garis
pada titik yang sesuai dengan tingkat keparahan pruritus mereka dalam garis
horizontal dari 0 (“tidak gatal”) hingga 10 (“gatal yang sangat parah”). 18 Skala
unidimensi ini adalah alat sederhana dan efisien untuk mengukur intensitas gatal
secara subjektif.19
Berbagai penelitian telah menggunakan VAS sebagai alat pengukur
tingkat keparahan pruritus. Boonsiri dan Duangthipnate di Thailand melaporkan
bahwa skor rata-rata VAS pada pasien DM tipe 2 dengan pruritus adalah 3,15 ±
1,93, dimana subjek memiliki tingkat pruritus ringan sampai sedang. Tingkat
keparahan pruritus menggunakan VAS diklasifikan menjadi ringan (0 – 2,9),
sedang (3 – 6,9), berat (7 – 8,9), dan sangat berat (9 – 10). 5 Selain itu, seperti yang
telah disebutkan sebelumnya, Afsar dan Elsurer melaporkan pada 75 pasien
(diabetes/non-diabetes, 29/46), intensitas gatal yang dinilai dengan Visual Analog
Scale (VAS) ditemukan lebih tinggi pada pasien diabetes dibandingkan dengan
pasien non-diabetes (4,7 ±2,8 vs 3,0 ±1,0, p = 0,015).3,17
Karakteristik klinis pruritus uremik berbeda antara berbagai penelitian.
Dalam kohort yang terdiri dari 471 pasien, 40% menyatakan intensitas pruritusnya
ringan (rata-rata VAS 1,9), 37% sedang (rata-rata VAS 5,1), dan 8,1% berat (rata-
rata VAS 8,6).20,21 Dalam penelitian lainnya, rata-rata skor VAS adalah 4,1 ± 2,0
(n = 171).21,22
Lebih lanjut, selain pada DM tipe 2, dalam penelitian pada 100 pasien
dengan cutaneous T-cell lymphoma (CTCL), 88% mengeluhkan pruritus dalam 4
minggu sebelumnya. Intensitas gatal rata-rata (VAS) adalah 3,2 ± 3,2.23 Sementara
itu, dalam penelitian pada 201 pasien Amerika dengan HIV, prevalensi gatal
sangat tinggi (45%), dengan intensitas yang mencolok (rata-rata 5,1 ± 2,8). 24
Ponikowska et al. melaporkan 87 pasien dengan gagal jantung akut dan
mengamati bahwa pruritus mempengaruhi 16% dari semua pasien. Dari jumlah
tersebut, 71,4% melaporkan pruritus dalam 3 hari terakhir, dengan intensitas rata-
rata 5,4 (VAS).25
2.3.3 Dermatology Life Quality Index (DLQI)
Skala multidimensi telah dirancang untuk mendapatkan gambaran yang
lebih holistik tentang beban gatal pada pasien, dengan mempertimbangkan ukuran
kualitas hidup, frekuensi gatal, perjalanan penyakit, dan/atau ekspektasi pasien.
Skala ini yaitu termasuk instrumen Dermatology Life Quality Index (DLQI),
ItchyQoL, 5-D Itch Scale, dan Patient Benefit Index for Pruritus (PBI-P).
Dermatology Life Quality Index (DLQI) adalah kuesioner kualitas hidup
terkait kesehatan kulit (health-related quality of life / HRQoL) pertama yang
berhubungan dengan kulit. Dalam 25 tahun terakhir sejak dipublikasikan,
instrumen ini telah menjadi instrumen yang paling sering digunakan untuk
mengukur HRQoL dalam dermatologi. DLQI telah diterjemahkan ke dalam lebih
dari 110 bahasa dan sekarang digunakan dalam lebih dari 40 kondisi kulit di
seluruh dunia. Sifat pengukuran DLQI, seperti validitas, reliabilitas, dan daya
tanggap terhadap perubahan dilaporkan oleh lebih dari 100 studi independen.
DLQI telah digunakan secara luas dalam praktik klinis dan dalam penelitian,
termasuk uji coba terkontrol secara acak (randomized controlled trial),
pendaftaran pasien, dan pengobatan.26
Kualitas hidup pasien (misalnya, tidur, fungsi sosial, dll) sangat
dipengaruhi oleh gatal kronis. Meskipun skala yang divalidasi seperti DLQI
menggunakan gatal sebagai komponen dalam penilaian keseluruhannya, DLQI
tidak dirancang untuk secara khusus menangkap hubungan gatal dengan QoL.
Oleh karena itu, DLQI sering digunakan sebagai pengukuran kualitas hidup
bersamaan dengan skala gatal unidimensi, seperti VAS. DLQI adalah kuesioner
10 item singkat di mana pasien menilai keparahan gejala kulit non-spesifik (gatal,
perih, nyeri, menyengat) dan dampak penyakit pada berbagai aspek kehidupan
sehari-hari dan fungsi sosial dengan skor dari 0 hingga 3 (0 = tidak sama sekali, 1
= sedikit, 2 = banyak, 3 = sangat banyak). DLQI merupakan instrumen yang
mudah digunakan, tervalidasi dan terpercaya, tersedia dalam banyak bahasa dan
versi anak-anak, dan dapat langsung dibandingkan dengan kondisi dermatologi
lainnya.19
Skala 5-D itch menilai perjalanan gatal selama periode 2 minggu terakhir
dengan pertimbangan perspektif pasien terhadap gejala mereka. Lima dimensi
tersebut adalah derajat (5-point NRS), durasi (total jam), arah (lebih baik atau
lebih buruk), disabilitas (gangguan tidur, waktu luang, dan fungsi di rumah/kerja),
dan distribusi pada kulit (16 lokasi potensial dari gatal). Sebuah penelitian
terhadap 234 pasien dengan penyebab gatal multipel menemukan skala 5-D itch
dapat diandalkan dan valid dengan korelasi tinggi dengan VAS unidimensi. Skala
5-D itch memberikan informasi berharga tentang perjalanan gatal dan dampak
kualitas hidup namun tetap singkat, mudah digunakan, dan dapat diterapkan
secara luas. Namun demikian, instrumen ini cukup memakan waktu dan dapat
menimbulkan recall bias.19

Kerangka Konsep
Variabel dependent Variable independent

Intensitas pruritus Kualitas Hidup Pasien


(VAS) pasien DM DM

Kerangka Teori

Defisiensi sekresi kerusakan sel β


resistensi insulin
insulin pankreas

Komplikasi :
Nefropati
Diabetes Mellitus
Neuropati
kardiovaskular

Glukosa darah tinggi ginjal


retinopati
gangguan kulit

penurunan aktivitas Gangguan elastisitas


kelenjar sebaceous kulit kulit

Pruritus local & generalisata

Intensitas gatal
VAS
DAFTAR PUSTAKA

1. Padhi S, Nayak AK, Behera A. Type II diabetes mellitus: a review on


recent drug based therapeutics. Biomed Pharmacother. 2020;131:110708.
2. Khursheed R, Singh SK, Wadhwa S, Kapoor B, Gulati M, Kumar R, et al.
Treatment strategies against diabetes: Success so far and challenges ahead.
Vol. 862, European Journal of Pharmacology. Elsevier B.V.; 2019. 172625
p.
3. Stefaniak AA, Chlebicka I, Szepietowski JC. Itch in diabetes: A common
underestimated problem. Postep Dermatologii i Alergol. 2021;38(2):177–
83.
4. Kalra S, Mittal A, Rathod RM, Pinto C, Rathod R, Mane A. Knowledge,
Attitude and Practice for Pruritus Management in Physicians and Patients
with Diabetes. Clin Pract. 2022;12(1):27–36.
5. Boonsiri M. The Characteristics of Pruritus in Thai Type2 Diabetic Patients
and its Impact on their Dermatology Life Quality Index. Biomed J Sci Tech
Res. 2020;24(2):18120–4.
6. Soelistijo SA, Lindarto D, Decroli E, Permana H, Sucipto KW, Kusnadi Y.
Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di
Indonesia 2019. Jakarta: Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia (PB PERKENI); 2019.
7. WHO. Diabetes [Internet]. WHO. 2021 [cited 2023 Jan 30]. Available
from: https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/diabetes
8. Kementerian Kesehatan RI. Hasil Utama Riskesdas 2018. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI; 2018.
9. IDF. IDF Diabetes Atlas 2019. 9th ed. International Diabetes Federation;
2019.
10. DeFronzo RA. From the Triumvirate to the Ominous Octet: A New
Paradigm for the Treatment of Type 2 Diabetes Mellitus. Diabetes. 2009
Apr 1;58(4):773–95.
11. Kalra S, Verma R, Kumar A. Pruritus as a microvascular equivalent in
diabetes. J Pak Med Assoc. 2022;72(8):1659–62.
12. Wijaya L, Melanie A, Veronica V, Christy G. Pruritus in diabetes mellitus
(DM) and its pathophysiology-based treatment. J Med Sci (Berkala Ilmu
Kedokteran). 2022;54(1):80–102.
13. Moniaga CS, Tominaga M, Takamori K. Mechanisms and management of
itch in dry skin. Acta Derm Venereol. 2020;100(1):10–21.
14. Ibuki A, Kuriyama S, Toyosaki Y, Aiba M, Hidaka M, Horie Y, et al.
Aging-like physiological changes in the skin of Japanese obese diabetic
patients. SAGE Open Med. 2018;6:205031211875666.
15. Kim J-H, Yoon NY, Kim DH, Jung M, Jun M, Park H-Y, et al. Impaired
permeability and antimicrobial barriers in type 2 diabetes skin are linked to
increased serum levels of advanced glycation end-product. Exp Dermatol.
2018 Aug;27(8):815–23.
16. Ko MJ, Chiu HC, Jee SH, Hu FC, Tseng CH. Postprandial blood glucose is
associated with generalized pruritus in patients with type 2 diabetes. Eur J
Dermatology. 2013;23(5):688–93.
17. Afsar B, Elsurer Afsar R. HbA1c is related with uremic pruritus in diabetic
and nondiabetic hemodialysis patients. Ren Fail. 2012;34(10):1264–9.
18. Kremer AE, Mayo MJ, Hirschfield G, Levy C, Bowlus CL, Jones DE, et al.
Seladelpar improved measures of pruritus, sleep, and fatigue and decreased
serum bile acids in patients with primary biliary cholangitis. Liver Int.
2022;42(1):112–23.
19. Erickson S, Kim BS. Research Techniques Made Simple : Itch
Measurement in Clinical Trials. J Invest Dermatol. 2020;139(2):264-
269.e1.
20. Phan NQ, Blome C, Fritz F, Gerss J, Reich A, Ebata T, et al. Assessment of
pruritus intensity: Prospective study on validity and reliability of the visual
analogue scale, numerical rating scale and verbal rating scale in 471
patients with chronic pruritus. Acta Derm Venereol. 2012;92(5):502–7.
21. Welz-kubiak K, Reszke R, Szepietowski JC. Pruritus as a sign of systemic
disease. Clin Dermatol. 2019;(xxxx).
22. Heisig M, Reich A, Szepietowski JC. Is uremic pruritus still an important
clinical problem in maintenance hemodialysis patients? J Eur Acad
Dermatology Venereol. 2016;30(12):e198–9.
23. Wright A, Wijeratne A, Hons M, Uk M, Hung T, Gao W, et al. Prevalence
and Severity of Pruritus and Quality of Life in Patients With Cutaneous T-
Cell Lymphoma. J Pain Symptom Manage. 2013;45(1):114–9.
24. Kaushik SB, Cerci FB, Miracle J, Pokharel A, Chen SC, Chan YH, et al.
Chronic pruritus in HIV-positive patients in the southeastern United States:
Its prevalence and effect on quality of life. J Am Acad Dermatol. 2014
Apr;70(4):659–64.
25. Ponikowska M, Biegus J, Zymlinski R, Szepietowski J. Itch in Patients
with Acute Heart Failure. Acta Derm Venereol. 2019;99(7):679–80.
26. Rencz F, Szabó Á, Brodszky V. Questionnaire Modifications and
Alternative Scoring Methods of the Dermatology Life Quality Index: A
Systematic Review. Value Heal. 2021;13–5.

Anda mungkin juga menyukai